fermentasi nata de coco kloter a_frisky fediana_11.70.0034_universitas soegijapranata
TRANSCRIPT
0
FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh:Frisky Fediana H
11.70.0034Kelompok A1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
2014
Acara II
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan mengenai fermentasi nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Fermentasi Substrat Cair Fermentasi Nata de Coco
Kel Tinggi media awal
cm
Tinggi ketebalan nata cm Lapisan nata0 14 0 14
A1 1 0 0, 0, 0 0 0A2 1 0 1 0,5 0 100 50A3 1,2 0 0, 0, 0 8,33 41,6A4 1 0 0,8 0, 0 80 0A 1 0 1 0,8 0 100 80
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, dapat diketahui tinggi media awal, tinggi ketebalan
nata, serta % lapisan nata yang diperoleh. Tinggi media awal setiap kelompok sama yaitu 1
cm, kecuali pada kelompok A3 karena tinggi media awalnya adalah 1,2 cm. Ketebalan nata
diamati setiap 7 hari dalam 14 hari. Pada hari ke 0 belum ada ketebalan nata. Pada hari ke
7, mulai tampak ketebalan nata. Nata paling tebal adalah kelompok A2 dan A5 yaitu 1 cm,
sedangkan nata A1 setebal 0,9 cm, nata A3 setebal 0,7 cm, dan nata A4 setebal 0,8 cm.
Diketahui bahwa nata A3 paling tipis. Kemudian pada hari ke 14, tidak ada perubahan
ketebalan pada nata A1 karena tetap setebal 0,9 cm. Ada penurunan ketebalan nata pada
kelompok A2, A3, A4, dan A5. Nata A2, A3, dan A4 menjadi 0,5, sedangkan nata A5
menjadi 0,8 cm. Berdasarkan pengamatan hari ke 14, diketahui ada penurunan ketebalan
nata yang besar pada nata kelompok A2 yaitu sebanyak 0,5 cm. Berdasarkan ketinggian
media awal dan ketebalan nata, dapat diperoleh % lapisan nata melalui perhitungan, yaitu
membagi tinggi ketebalan nata dengan tinggi media awal. Pada hari ke 0, didapatkan 0%
lapisan nata. Pada hari ke 7, % lapisan nata terbesar adalah nata A2 dan A5 yaitu 100%.
Kemudian diikuti dengan % lapisan nata A1 sebesar 90%, nata A4 sebesar 80%, dan
terakhir adalah nata A3 sebesar 58,33%. Pada hari ke 14, tidak ada perubahan % lapisan
nata A1. Nata A2 mengalami penurunan % lapisan nata paling besar, yaitu sebanyak 50%.
Dari hasil tersebut, diketahui bahwa pada hari ke 7, nata akan mengembang, dan kembali
1
2
menipis 7 hari berikutnya. Sehingga, semakin lama akan didapatkan % lapisan nata
semakin kecil.
Kemudian hasil pengamatan mengenai uji sensori nata de coco dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Uji Sensori Nata de Coco
Kelompok Aroma Warna Tekstur RasaA1 +++ ++ ++ +++A2 ++++ ++ ++ +++A3 ++++ ++ +++ +++A4 ++++ ++ +++ ++++A ++++ ++ +++ ++++
Keterangan :Aroma Warna Tekstur Rasa
++++ : Tidak asam Putih Sangat kenyal Sangat manis+++ : Agak asam Putih bening Kenyal Manis++ : Asam Putih agak bening Agak kenyal Agak manis+ : Sangat asam Kuning Tidak kenyal Tidak manis
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, diketahui hasil uji sensori meliputi aroma, warna,
tekstur, serta rasa. Aroma nata A1 agak asam, sedangkan nata A2 hingga A5 tidak terasa
aroma asam. Warna nata yang dihasilkan tiap kelompok sama, yaitu putih agak bening.
Tekstur nata A1 dan A2 adalah agak kenyal, sedangkan nata A3 hingga A5 adalah kenyal.
Rasa nata A1, A2, dan A3 adalah manis, sedangkan nata A4 dan A5 sangat manis. Hal ini
disebabkan karena kelompok A4 dan A5 menggunakan gula lebih banyak. Jumlah gula
yang digunakan nata A1 adalah 100 gram, nata A2 125 gram, nata A3 150 gram, nata A4
175 gram, dan nata A5 200 gram.
2. PEMBAHASAN
1.1. Jurnal
Berdasarkan jurnal menurut Halib et al (2012) berjudul “Physicochemical Properties and
Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as as Source of Cellulose”,
diketahui bahwa tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mempelajari karakteristik nata
de coco dari industri pangan lokal sebagai sumber selulosa bakteri, melalui tes kelarutan
dan analisa pH. Actetobacter xylinum adalah bakteri asam asetat yang memiliki
kemampuan mengoksidasi alkohol dan gula menjadi asam asetat. Bakteri ini dapat
memetabolisme glukosa dari air kelapa sebagai sumber karbon, dan mengubahnya menjadi
selulosa ekstraseluler sebagai metabolit. Selulosa bakteri yang diperoleh dari Acetobacter
xylinum merupakan biopolimer yang banyak digunakan, dan biasanya digunakan untuk
membuat nata. Berdasarkan hasil penelitian, pH dari selulosa adalah 5-6. Selulosa bakteri
diketahui tidak dapat larutdalam solven sodium hidroksida (NaOH), metanol, dan aseton.
Pelarut untuk selulosa adalah cuprietilendiamin (Cuen). Etilendiamin adalah agen yang
dapat menggembungkan selulosa. Hal ini disebabkan dengan memutus ikatan hidrogen
intermolekuler. Penggembungan menyebabkan pemisahan ikatan molekuler melalui
penetrasi dari solven. Proses ini memperkuat formasi kompleks dengan gugus selulosa
glikol. Kompleks tersebut stabil untuk mencegah agregasi dari ikatan dan presipitasi,
sehingga selulosa dapat larut.
Jurnal kedua berjudul “Mineral Consumption by Acetobacter xylinum on Cultivation
Medium on Cococut Water” oleh Almeida et al (2013). Penelitian tersebut bertujuan untuk
menguji konsumsi mineral K, Na, Fe, Mg, P, S-SO4, Boron, N Total Kjedahl (NTK), NO3-
N dan NH4+-N dalam produksi selulosa bakteri oleh Acetobacter xylinum. Diketahui bahwa
NO3-N tidak mempengaruhi produksi selulosa bakteri secara langsung karena ada konsumsi
mineral secara besar. Nitrogen adalah komponen utama protein yang penting dalam
metabolisme sel, dan menyusun 8-14% massa sel kering bakteri. Dengan kaitannya dengan
produksi selulosa, proses fermentasi menghasilkan konsumsi Na dan NO3-N yang besar.
3
4
Konsumsi NO3-N besar pada air kelapa fermentasi yang matang, sedangkan Na dan NH4+-N
pada fermentasi air kelapa hijau.
Jurnal ketiga berjudul “Evaluation of Physical and Mechanical Properties Composite of
Nata de Coco Fibers/Resin Filled SiO2 and Al2O3” oleh Saputra & Darmansyah (2010).
Penelitian tersebut dilakukan untuk memperoleh serat nata de coco menggunakan berbagai
kondisi proses seperti komposisi asam asetat (pH), gula (sumber sukrosa), dan urea (sumber
nitrogen). Kemudian nata tersebut diberi perlakuan penambahan bahan pengisi (filler)
seperti SiO2 dan Al2O3. Nata yang dicampur dengan bahan pengisi dapat meningkatkan
modulus elastic 3 kali lebih besar dari pada nata de coco yang murni. Dengan demikian
diharapkan diperoleh nata yang mempunyai nilai tambah. Nata tersebut kemudian
dicampurkan dengan resin seperti epoksi, polyester, dan vinyl ester, lalu diuji fisik dan
mekanis. Berdasarkan hasil penenlitian, komposisi nata de coco yang terbaik adalah 0,3%
v/v asam asetat, 2% w/v gula, dan 0,5% w/v urea, dimana komposisi tersebut menghasilkan
ketebalan 14,57 cm dan massa 595 gram setiap 700 ml air kelapa.
Jurnal selanjutnya berjudul “The Effect of pH, Sucrose, and Amonium Sulphate
Concentration on the Production of Bacterial Cellulose (Nata de Coco)by Acetobacter
xylinum” oleh Jagannath et al (2008). Penelitian tersebut dilakukan untuk mendapatkan
nata dengan kualitas dan sifat fisik yang baik. Diketahui konsentrasi sukrosa 10%,
ammonium sulfat 0,5% dan pH 4, akan menghasilkan ketebalan nata yang maksimal.
Ketebalan nata memiliki efek langsung terhadap kemampuan mengikat air dan kekerasan
dari nata. Hal ini disebabkan karena nata bersifat hidrofilik dan memiliki kemampuan
mengikat air. Selain itu, 1% dari berat nata total adalah selulosa, sedangkan sisanya adalah
air. Kandungan gula yang lebih dari 5% tidak memiliki keuntungan dalam meningkatkan
efisiensi produksi selulosa. Kombinasi sukrosa 10% dengan pH 4 akan menghasilkan nata
yang baik.
Jurnal berikutnya berjudul “Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC)
in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco” oleh Santosa et al (2012).
5
Penelitian pada jurnal tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan dekstrin
dan CMC terhadap kualitas nata de coco. Semakin tinggi konsentrasi dekstrin dan CMC,
kelarutan dari minuman instan nata de coco. Penambahan CMC dan dekstrin dapat
meningkatkan serat kasar dari minuman instan nata de coco. CMC tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kadar air, namun pada kadar CMC 12,5% dapat
menurunkan kadar air. Dengan penambahan dekstrin sebanyak 15%, dapat meningkatkan
kembali kadar air. Minuman instan kaya serat dari nata de coco diketahui paling baik
dengan konsentrasi 15% dekstrin dan 2,5% CMC.
2.2. Pembahasan
Pada praktikum nata de coco, dibuat nata dari substrat air kelapa. Menurut Pambayun
(2002), nata merupakan sejenis komponen minuman yang adalah senyawa selulosa (dietary
fiber). Senyawa selulosa ini dihasilkan dari proses fermentasi dengan bantuan jasad renik
atau mikroorganisme. Senyawa tersebut dikenal sebagai bibit nata. Nata dapat dibuat dari
berbagai macam substrat, dimana substrat tersebut mengandung gula, protein, serta mineral.
Contoh substrat untuk nata adalah air kelapa (nata de coco), sari buah mangga (nata de
mango), sari kedelai (nata de soya), sari buah nanas (nata de pina), dan lain sebagainya.
Bibit nata merupakan bakteri Acetobacter xylinum yang tidak berbahaya. Bakteri ini
memiliki sifat menguntungkan karena sering dimanfaatkan untuk membuat produk seperti
nata.
Menurut Palungkun (1996), nata berasal dari bahasa Spanyol yang artinya adalah krim.
Sehingga nata de coco berarti krim yang berasal dari air kelapa. Nata terbentuk akibat
proses konversi glukosa yang berasal dari substrat oleh Acetobacter xylinum. Glukosa
tersebut akan digabungkan dengan asam lemak untuk membentuk prekursor pada membran
sel yang akan dikeluarkan dalam bentuk ekskresi. Prekursor tersebut akan mempolimerisasi
glukosa menjadi selulosa dengan bantuan enzim. Acetobacter xylinum dapat membentuk
nata karena dalam substrat air kelapa terkandung 91,23% air; 0,29% protein; 0,15% lemak;
7,27% karbohidrat; serta 1,06% abu.
6
Rahayu et al (1993) mengatakan bahwa bakteri yang digunakan dalam pembuatan nata
dipengaruhi oleh jumlah dan umur inokulum. Biasanya, inokulum yang ditambahkan dalam
pembuatan nata adalah 1% hingga 10%. Dalam pertumbuhannya, inokulum tersebut
membutuhkan gula. Oleh karena itu, jumlah gula harus mencukupi dengan jumlah dan
pertumbuhan inokulum. Acetobacter xylinum yang ditumbuhkan pada media yang
mengandung gula dapat mengubah gula menjadi selulosa. Selulosa tersebut kemudian akan
diakumulasi secara ekstraseluler dalam bentuk folikel yang liat dalam proses fermentasi.
Menurut Pambayun (2002), Acetobacter xylinum dapat membentuk nata, apabila
ditumbuhkan pada media yang kaya akan sumber karbon serta nitrogen, dan melalui proses
yang terkontrol. Acetobacter xylinum akan menghasilkan enzim ekstraseluler yang akan
menyusun gula (glukosa) menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau selulosa. Karena
jumlah jasad renik yang tumbuh banyak, maka akan dihasilkan benang-benang selulosa
yang banyak pula, sehingga akan tampak berwarna putih atau transparan. Selulosa itulah
yang disebut sebagai nata. Menurut Fardiaz (1988), biakan murni Acetobacter xylinum
memerlukan adaptasi dengan media untuk dapat tumbuh. Ketersediaan nitrogen juga
berpengaruh pada pembentukkan massa bakteri sehingga berpengaruh pada produk nata.
Rahman (1992) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh pada pembuatan nata
yaitu pH, kandungan gula pada substrat, serta suhu. Dalam pembuatan nata, pH yang
optimal adalah 4, dan untuk media adalah 4 hingga 5. Fermentasi yang berhasil akan
ditandai dari terbentuknya lapisan putih mengambang pada permukaan substrat. Rahayu et
al (1993) menambahkan bahwa waktu fermentasi yang optimal untuk membuat nata adalah
10 hingga 14 hari dengan suhu 28-32˚C. Teori ini sesuai dengan yang dilakukan pada
praktikum, yaitu fermentasi selama 14 hari dalam suhu ruang.
Menurut Sanchez et al (1998), Acetobacter xylinum dapat membentuk nata apabila
komponen selulosa yang dibuat dari glukosa dapat membentuk mikrofibril yang panjang
dalam cairan fermentasi. Menurut Rahayu (1993), apabila terjadi gangguan selama proses
fermentasi berlangsung, misalnya terjadi goncangan, maka permukaan cairan akan turun ke
7
bawah. Menurut Kane (1996), sumber nitrogen memiliki peran penting dalam pertumbuhan
protein dan asam nukleat. Protein ini dapat berfungsi sebagai sumber energi untuk
pertumbuhan bakteri.
Suhardiyono (1988) mengatakan bahwa pembuatan nata de coco memerlukan lingkungan
yang optimal. Selain nutrisi yang diperoleh dari substrat air kelapa, nutrisi lain dapat
ditambahkan dalam media sebelum fermentasi berlangsung. Kondisi fermentasi, perlakuan
pada bahan dasar, dan konsentrasi larutan induk dapat berpengaruh pada ketebalan nata.
Menurut Tranggono & Sutardi (1990), jika muncul mikroorganisme perusak pada air
kelapa, dapat timbul warna kuning keruh dan kecoklatan pada nata yang dihasilkan.
Menurut Hayati (2003), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat nata,
yaitu:
a. Peralatan yang digunakan harus steril
b. Suhu harus stabil, yaitu sekitar 30˚C
c. pH harus optimal, yaitu sekitar 4,3-4,5. pH dapat diukur saat penambahan asam asetat
glasial
d. Sisa media nata yang sudah dipanen dapat digunakan kembali sebagai starter untuk
membuat nata
Menurut Pambayun (2002), bakteri akan melalui fase pertumbuhan sebagai berikut:
a. Fase adaptasi
Bakteri akan beradaptasi ketika ditambahkan pada media. Oleh karena itu, bakteri
tidak langsung tumbuh, namun menyesuaikan diri terlebih dulu. Fase adaptasi
berlangsung selama 24 jam setelah dilakukan inokulasi.
b. Fase pertumbuhan awal
Bakteri mulai membelah diri dengan kecepatan yang rendah
c. Fase pertumbuhan eksponensial
Bakteri mengeluarkan banyak enzim ekstraseluler polimerasi untuk menyusun polimer
glukosa menjadi selulosa. Fase ini berlangsung selama 1 hingga 5 hari.
8
d. Fase pertumbuhan lambat
Pertumbuhan yang lambat terjadi karena beberapa hal seperti nutrisi yang mulai
berkurang, umur sel sudah tua, atau karena keberadaan metabolit yang bersifat toksik.
Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak dari sel yang mati.
e. Fase perumbuhan tetap
Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh menjadi sama dengan jumlah sel yang mati.
f. Fase menuju kematian
Bakteri mulai mati pada fase ini
g. Fase kematian
Bakteri mati pada fase ini dan tidak dapat digunakan sebagai bibit fermentasi nata. Hal
ini ditunjukkan dengan tumbuhnya jamur pada nata, dan fase ini terjadi pada hari ke
15.
Dalam praktikum pembuatan nata de coco, air kelapa yang digunakan untuk substrat
disaring dengan kain saring, lalu ditambah gula sebanyak 10% (100 gram) dan diaduk
hingga larut. Setelah itu, ditambahkan ammonium sulfat sebanyak 0,5% dan asam cuka
glasial hingga pH air kelapa menjadi 4-5, dan pH yang didapat saat praktikum adalah 4,74.
Hal tersebut sudah sesuai dengan teori Rahman (1992) bahwa pH optimal untuk media
adalah 4-5. Menurut Pambayun (2002), ammonium sulfat ditambahkan sebagai sumber
nitrogen untuk pertumbuhan bakteri. Selain ammonium sulfat, dapat digunakan sumber
nitrogen lain dari protein, ekstrak yeast (nitrogen organik), urea, atau ammonium fosfat
(ZA). Biasanya, yang digunakan sebagai sumber nitrogen adalah ZA, karena dapat
menghambat Acteobacter acesi untuk tumbuh. Pertumbuhan Acetobacter acesi dapat
menghambat pertumbuhan Acetobacter xylinum. Menurut Atlas (1984), penambahan urea
dilakukan agar mencapai pH media awal yang optimal yaitu sekitar 4 hingga 5. Karena
pada kondisi pH yang sesuai, asam ketoglukonat akan diubah menjadi selulosa.
Gambar 1. Penyaringan Air Kelapa
9
Gambar 2. Pengukuran pH Air Kelapa
Kemudian, air kelapa dipanaskan lagi dan disaring. Menurut (Palungkun, 1996), perebusan
atau pemanasan air kelapa dilakukan untuk mengurangi jumlah mikroba kontaminan yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Air kelapa sebanyak 100 ml
dimasukkan ke dalam wadah plastik kotak yang bening, kemudian ditambahkan 10% biang
nata (starter) secara aseptis, lalu digojog perlahan agar starter tercampur rata. Menurut Pato
& Dwiloka (1994), jumlah starter yang ditambahkan pada pembuatan nata kurang lebih
adalah 4 hingga 10%. Awang (1991) menambahkan bahwa konsentrasi gula yang optimal
untuk 100 ml substrat adalah 10 gram.
10
Gambar 4. Pemanasan Air Kelapa
Wadah tersebut kemudian ditutup dengan kertas coklat dengan rapat dan diinkubasi selama
2 minggu. Selama inkubasi, wadah diletakkan pada ruang yang teduh dan tidak boleh
digoyang agar lapisan yang terbentuk tidak terpisah-pisah. Hal tersebut sesuai dengan teori
Rahayu et al (1993) yaitu, waktu fermentasi yang optimal untuk membuat nata adalah 10
hingga 14 hari dengan suhu 28-32˚C. Pada hari ke 0, 7, dan 14, diamati nata yang
terbentuk. Setelah 7 hari, diamati ketinggian nata, lalu nata dicuci dengan air. Hal yang
sama dilakukan pada hari ke 14. Pada hari ke 14, nata dipotong-potong dan dimasak dengan
air gula. Jumlah gula yang digunakan nata A1 adalah 100 gram, nata A2 125 gram, nata A3
150 gram, nata A4 175 gram, dan nata A5 200 gram. Setelah dimasak, dilakukan uji sensori
meliputi rasa, aroma, tekstur, dan warna.
Gambar 5. Inkubasi
11
Bentuk nata setelah proses fermentasi selama 14 hari dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Nata de Coco
Dari gambar di atas, dapat diketahui bahwa nata sudah terbentuk, yaitu dengan adanya
lapisan putih agak bening. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ketinggian media awal
dan ketebalan nata, diketahui bahwa ketinggian media awal yang diperoleh adalah 1 cm,
kecuali ketinggian media A2 yang 1,2 cm. Ketebalan nata pada hari ke 0 adalah 0 karena
belum ada pembentukan selulosa dari bakteri Acteobacter xylinum.Kemudian pada hari ke
7 ketebalan nata de coco A2 dan A5 paling tebal, yaitu 1 cm, sedangkan nata de coco A3
paling tipis, yaitu 0,7 cm. Pada hari ke 7, diketahui penambahan ketebalan nata. Menurut
Gunsalus & Staines (1962), hal tersebut disebabkan adanya gelembung CO2. Gelembung
CO2 memiliki kecenderungan untuk melekat pada selulosa. Hal tersebut menyebabkan
jaringan tersebut akan terangkat.
Lalu pada hari ke 14, nata de coco A1 menjadi paling tebal karena tidak ada perubahan
ketebalan dari 0,9 cm. Nata de coco paling tipis adalah nata de coco A2, A3, dan A4 yaitu
0,5 cm. Penurunan ketebalan nata paling drastis adalah kelompok A2 yaitu menurun dari 1
cm menjadi 0,5 cm. Oleh karena itu, % lapisan nata kelompok A2 menurun paling drastis.
Namun demikian, % lapisan nata terkecil adalah A3 yaitu 41,67% dan paling besar adalah
A1 yaitu 90%. Menurut Rahayu (1993), apabila terjadi gangguan selama proses fermentasi
berlangsung, misalnya terjadi goncangan, maka permukaan cairan akan turun ke bawah.
12
Penurunan % lapisan nata dapat disebabkan adanya gangguan tersebut, atau kesalahan
dalam pengukuran ketebalan nata. Hal tersebut disebabkan karena pengukuran ketebalan
nata dilakukan oleh orang yang berbeda sehingga kemungkinan memiliki persepsi yang
berbeda.
Nata selanjutnya dicuci dengan air untuk menghilangkan asam. Kemudian, nata de coco
dipotong-potong dan dimasak dengan air gula. Nata yang dimasak dapat dilihat pada
Gambar 7 dan 8.
Gambar 7. Pemasakan Nata de Coco
Gambar 8. Nata de Coco setelah dimasak
13
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa nata de coco sudah dipotong kotak-kotak dan
dimasak dengan air gula. Menurut Rahman (1992), pemasakan nata de coco dilakukan
untuk menghilangkan bau asam. Selain melalui pemasakan, aroma asam dapat dihilangkan
melalui perendaman dan pencucian. Oleh karena itu, dalam praktikum pembuatan nata de
coco, setiap 7 hari dilakukan pencucian nata. Penggunaan gula tiap kelompok berbeda,
yaitu A1 100 gram, A2 125 gram, A3 150 gram, A4 175 gram, dan A5 200 gram. Hasil
nata setelah dimasak dengan air gula dan ditiriskan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Nata de Coco yang Sudah Jadi
Keterangan: dari kiri ke kanan → nata de coco A1, A2, A3, A4, A5
Dari penampakan, tidak terlihat ada perbedaan nata de coco dari tiap kelompok. Nata de
coco tersebut kemudian diuji secara sensoris meliputi rasa, aroma, warna, dan tekstur oleh
seorang panelis, agar hasil pengamatan tidak bias. Berdasarkan pengamatan, hanya aroma
nata A1 yang masih agak asam, sedangkan nata yang lain tidak beraroma asam. Hal ini
dapat terjadi karena pencucian nata de coco yang kurang bersih, atau pemanasan nata de
coco yang belum optimal. Untuk warna nata de coco yang dihasilkan tidak ada perbedaan,
yaitu putih agak bening. Tekstur nata de coco A1 dan A2 agak kenyal, sedangkan A3, A4,
dan A5 adalah kenyal. Menurut Herman (1979), jumlah serat atau selulosa dapat
mempengaruhi kekenyalan dari nata de coco yang dihasilkan. Teori ini tidak sesuai dengan
praktikum, karena nata de coco yang tebal justru memiliki tekstur agak kenyal, sedangkan
14
yang lebih tipis bertesktur kenyal. Kesalahan ini dapat disebabkan akibat perbedaan
persepsi kekenyalan. Rasa nata de coco A1, A2, dan A3 manis, sedangkan nata de coco A4
dan A5 sangat manis. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan jumlah gula yang
digunakan. Kelompok A4 dan A5 menggunakan jumlah gula lebih banyak, sehingga
dihasilkan rasa yang lebih manis dari nata de coco kelompok lain.
3. KESIMPULAN
Contoh substrat untuk nata adalah air kelapa (nata de coco), sari buah mangga (nata de
mango), sari kedelai (nata de soya), sari buah nanas (nata de pina), dan lain
sebagainya.
Nata terbentuk akibat proses konversi glukosa yang berasal dari substrat oleh
Acetobacter xylinum
Bakteri yang digunakan dalam pembuatan nata dipengaruhi oleh jumlah dan umur
inokulum.
Acetobacter xylinum yang ditumbuhkan pada media yang mengandung gula dapat
mengubah gula menjadi selulosa.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada pembuatan nata yaitu pH, kandungan gula pada
substrat, serta suhu.
pH optimal pembuatan nata adalah 4, dan untuk media adalah 4 hingga 5.
Waktu fermentasi yang optimal untuk membuat nata adalah 10 hingga 14 hari dengan
suhu 28-32˚C.
Kondisi fermentasi, perlakuan pada bahan dasar, dan konsentrasi larutan induk dapat
berpengaruh pada ketebalan nata.
Ammonium sulfat ditambahkan sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan bakteri.
Pemanasan air kelapa dilakukan untuk mengurangi jumlah mikroba kontaminan yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum.
Jumlah starter yang ditambahkan pada pembuatan nata kurang lebih adalah 4 hingga
10%.
Gelembung CO2 memiliki kecenderungan untuk melekat pada selulosa sehingga
menyebabkan jaringan nata akan terangkat.
Gangguan selama proses fermentasi berlangsung seperti goncangan dapat
menyebabkan permukaan cairan turun ke bawah.
Jumlah serat atau selulosa dapat mempengaruhi kekenyalan dari nata de coco yang
dihasilkan.
15
16
Semarang, 2 Juni 2014 Asisten Dosen,
Praktikan, - Chrysentia Archinitta
Frisky Fediana H
11.70.0034
4. DAFTAR PUSTAKA
Almeida, D.M., Rosilene Aparecida Prestes, Adriel Ferreira da Fonseca, Adenise L. Woiciechowski, Gilvan Wosiacki. (2013). Mineral Consumption by Acetobacter xylinum on Cultivation Medium on Cococut Water. Brazillilan Journal of Microbiology 44,1,197-206 (2013)
Atlas, R. M. ( 1984 ). Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.
Awang, S. A. ( 1991 ). Kelapa: Kajian Sosial – Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.Fardiaz, S. (1988). Fisiologi Fermentasi. IPB. Bogor.
Gunsalus, I. C. & R. Y. Stainer. (1962). The Bacteri A. Treatise on Structure & Function. Academic Press.New York.
Halib, N., Mohd Cairul Iqbal Mohd Amin. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as as Source of Cellulose. Sains Malaysiana 41(2)(2012): 205-211
Hayati, M. ( 2003 ). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.
Herman, A.H. (1979). Pengolahan Air Kelapa. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia 4(1) Halaman 9 – 17.
Jagannath, A., A. Kalaiselvan, S.S. Manjunatha. (2008). The Effect of pH, Sucrose, and Amonium Sulphate Concentration on the Production of Bacterial Cellulose (Nata de Coco)by Acetobacter xylinum. World J. Microbiology Biotechnol (2008) 24:2593-2599.
Kane, L. Mc & Kandel. J. (1996). Mikrobiology : Essential & Applications. Mc Graw Hill International. Singapore.
Palungkun, R. ( 1996 ). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. ( 2002 ). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. & Dwiloka, B. (1994). Proses & Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (4) : 70-77.
17
18
Rahayu, E. S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. ( 1993 ). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
Rahman, A. ( 1992 ). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.
Sanchez, C; S. Prissilla & Yeshida. T. (1998). Microbial Cellulose Productions & Utilization. The Institue of Physical and Chemical Research (RIKEN). Science and Technology Agency. Japan.
Santosa, B. Kgs. Ahmadi, Domingus Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. International Journal of Science and Technology Vol 1 No 1, Mar 2012,6-11.
Saputra, A.H., Darmansyah. (2010). Evaluation of Physical and Mechanical Properties Composite of Nata de Coco Fibers/Resin Filled SiO2 and Al2O3. ISCAFChE 2010 November 3-4,2010, Bali-Indonesia.
Suhardiyono, L. (1988). Tanaman Kelapa : Budidaya dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta.
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Lapisan nata= tinggi ketebalannata cmtinggi mediaawal cm
x100
Kelompok A1
Hari ke-0
lapisannata=0 cm1 cm
x100=0
Hari ke-
lapisannata=0 , cm1 cm
x100=0
Hari ke-14
lapisannata=0 , cm1 cm
x100=0
Kelompok A2
Hari ke-0
lapisannata= 0 cm0 , cm
x100=0
Hari ke-
lapisannata=1 cm1 cm
x100=100
Hari ke-14
19
20
lapisannata=0,5 cm1 cm
x100=50Kelompok A3
Hari ke-0
lapisannata= 0 cm1,2 cm
x100=0
Hari ke-
lapisannata= 0 , cm1,2 cm
x100=8,33
Hari ke-14
lapisannata= 0 , cm1,2 cm
x100=41,6
Kelompok A4
Hari ke-0
lapisannata=0cm1cm
x100=0
Hari ke-
lapisannata=0,8 cm1 cm
x100=80
Hari ke-14
lapisannata=0 , cm1 cm
x100=0
Kelompok A
Hari ke-0
lapisannata=0 cm1 cm
x100=0
21
Hari ke-
lapisannata=1cm1cm
x100=100
Hari ke-14
lapisannata=0,8 cm1 cm
x 100 = 80
5.2. Laporan Sementara
5.3. Jurnal