fermentasi substrat cair fermentasi nata de coco_vina anyerina_12.70.0046

17
1. HASIL PENGAMATAN 1.1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de Coco Kloter D Hasil pengamatan lapisan lapisan nata de coco yang dilakukan oleh kloter D praktikum fermentasi susbstrat cair nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1 d Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de Coco Kloter D Kel Tinggi media awal (cm Ketebalan (cm Presentase Lapisan (! H" H# H1$ H" H# H1$ D1 % " "&' "&# " %' ' D% 1&% " "&' "&) " $1&)# '" D 1& " "&$ "&' " "&## *&$) D$ 1 " "&$ "&' " $" '" D' %&' " "&$ "&) " %$ %$ Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat hasil ketebalan (cm dan persentase lapisan coco pada setiap kelompok. Pada hari ke+" semua nata masih belum terbentuk. Pa hari ke+# semua kelompok mengalami peningkatan ketebalan dan persentase lapisa nata. Pada kelompok D1+D% ketebalan nata men,adi "&'cm- D +D$ men,adi "&$cm- d D' men,adi "&)cm. Presentase lapisan nata ,uga ikut naik. Pada kelompok D1 presentase lapisan nata adalah sebesar %'!- D% $1&)#!- D "&##!- D$ $"!- D' Kemudian pada hari ke+1$ semua kelompok mengalami kenaikan tinggi ketebalan na kecuali kelompok D'. Pada kelompok D1 ketebalan nata men,adi "&#cm- D% men,adi "&)cm- D +D$ men,adi "&'cm- dan D' tetap "&)cm. egitu pula unutk p semua kelompok mengalami kenaikan presentase kecuali kelompok D'. Pada kelompo D1 presentase lapisan nata adalah sebesar '!- D% '"!- D &$)!- D$ '"!- D' %$!. 1.2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco Kloter D Hasil pengamatan u,i sensori pada nata de coco yang dibuat oleh kloter D dapat pada Tabel % di bawah. Tabel %. Hasil Pengamatan /,i 0ensori Nata de Coco Kloter D Kelompok roma 2arna Tesktur 1

Upload: james-gomez

Post on 04-Nov-2015

20 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Nata de coco diperoleh dari limbah air kelapa. Air kelapa adalah media yang tepat dalam pembuatan nata de coco karena mengandung gula, mineral dan asam amino untuk pertumbuhan A. xylinum. Bakteri Acetobacter xylinum mengubah glukosa menjadi selulosa dan asam asetat pada pembuatan nata de coco.

TRANSCRIPT

1. HASIL PENGAMATAN

1.1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de Coco Kloter DHasil pengamatan lapisan lapisan nata de coco yang dilakukan oleh kloter D pada praktikum fermentasi susbstrat cair nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de Coco Kloter DKelTinggimediaawal (cm)Ketebalan (cm)Presentase Lapisan (%)

H0H7H14H0H7H14

D1200,50,702535

D21,200,50,6041,6750

D31,300,40,5030,7738,46

D4100,40,504050

D52,500,40,602424

Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat hasil ketebalan (cm) dan persentase lapisan nata de coco pada setiap kelompok. Pada hari ke-0 semua nata masih belum terbentuk. Pada hari ke-7 semua kelompok mengalami peningkatan ketebalan dan persentase lapisan nata. Pada kelompok D1-D2 ketebalan nata menjadi 0,5cm; D3-D4 menjadi 0,4cm; dan D5 menjadi 0,6cm. Presentase lapisan nata juga ikut naik. Pada kelompok D1 presentase lapisan nata adalah sebesar 25%; D2 41,67%; D3 30,77%; D4 40%; D5 24%. Kemudian pada hari ke-14 semua kelompok mengalami kenaikan tinggi ketebalan nata kecuali kelompok D5. Pada kelompok D1 ketebalan nata menjadi 0,7cm; D2 menjadi 0,6cm; D3-D4 menjadi 0,5cm; dan D5 tetap 0,6cm. Begitu pula unutk presentase, semua kelompok mengalami kenaikan presentase kecuali kelompok D5. Pada kelompok D1 presentase lapisan nata adalah sebesar 35%; D2 50%; D3 33,46%; D4 50%; D5 24%.

1.2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco Kloter DHasil pengamatan uji sensori pada nata de coco yang dibuat oleh kloter D dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco Kloter DKelompok Aroma WarnaTesktur

D1++++

D2++++++

D3+++++++

D4+++++

D5++++

Keterangan :Aroma Warna Tekstur++++: tidak asam ++++: putih++++: sangat kenyal+++: agak asam +++: putih bening+++: kenyal++: asam ++: putih agak bening++: agak kenyal+ : sangat asam +: bening+: tidak kenyal

Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil uji sensori pada nata de coco yang dibuat oleh kelompok D1 hingga D5, dilihat dari parameter aroma, warna, dan tekstur. Untuk parameter aroma, kelompok D1-D2 menunjukkan aroma asam, D3 agak asam, D4 sangat asam, D5 asam. Sedangkan untuk parameter warna, semua kelompok menunjukkan warna kuning, kecuali kelompok D3 menunjukkan warna putih bening. Kemudian untuk parameter tekstur, kelompok D1, D3, D5 menunjukkan tekstur tidak kenyal dan kelompok D2, D4 menunjukkan tekstur kenyal.

17

2. 16

3. PEMBAHASAN

Nata merupakan salah satu produk fermentasi berupa selulosa padat, bertekstur kenyal, berwarna putih transparan, dan mengandung air sekitar 98% (Rahman, 1992). Menurut Palungkun (1996), nata berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim yang dibentuk olehAcetobacter xylinum melalui proses fermentasi. Pada praktikum kali ini bahan yang digunakan yakni air kelapa, untuk membuat nata de coco. Air kelapa merupakan minuman yang manis dan menyegarkan dari buah kelapa. Air kelapa mengandung sejumlah mineral (klorida, zat besi, potasium, dan sulfur), gula (glukosa, fruktosa, galaktosa, sukrosa, sorbitol, xylosa, dan mannosa), asam amino (alanin, arginin, sistein, dan serin), sehingga biasanya digunakan untuk minuman isotonik alami. Kandungan dalam air kelapa yang cukup lengkap dapat digunakan sebagai media pertumbuhan Acetobacter xylinum untuk menghasilkan produk fermentasi nata de coco. Air kelapa juga memiliki faktor pertumbuhan yang dapat menstimulasi strain bakteri yang berbeda dan kultur in vitro tanaman (Prades et al., 2011).

Menurut Santosa (2012), nata de coco yakni salah satu produk pangan yang rendah kalori dan kaya serat untuk menjaga melancarkan pencernaan, sehingga sangat cocok dikonsumsi sebagai makanan diet sehat. Nata de coco adalah komponen selulosa yang diproduksi selama proses fermentasi air kelapa dengan menggunakan mikroba Acetobacter xylinum. Menurut Czaja et al. (2004), selulosa merupakan golongan biopolimer dari prokariotik, organisme non-fotosintetik, Acetobacteryang memiliki kemampuan untuk mensintesa selulosa. Selulosa tersebut memiliki kekuatan mekanik, kristalinitas, dan kapasitas menahan air yang tinggi.

Produk nata de coco sering dikonsumsi sebagai minuman instan yang kaya serat dengan metode pengeringan, penambahan komponen dekstrin, dan dengan carboxy methyl cellulose (CMC) untuk menstabilkan produk. Komponen dasar pembuatan nata de coco antara lain gula, protein, dan mineral. Perbedaan karakteristik bahan baku yang digunakan akan menghasilkan nata dengan perbedaan karakteristik pula. Seperti bahan baku air kelapa akan menghasilkan nata de coco, sari kedelai menghasilkan nata de soya, sari buah mangga menghasilkan nata de mango , sari buah nanas menghasilkan nata de pina, dll. Penyimpanan nata de coco tidaklah mudah, karena memiliki kandungan air yang tinggi sehingga mudah rusak oleh mikroorganisme (Pambayun, 2002).

Beberapa komponen dalam pembuatan nata de coco antara lain sebagai berikut : Bahan utama : air kelapa Sumber karbon : sumber karbon yang digunakan yakni monosakarida dan disakarida. Monosakarida merupakan senyawa karbohidrat yang sederhana yang meliputi glukosa, sukrosa, fruktosa, laktosa, maltosa, dan manosa. Akan tetapi, sukrosa yang paling banyak digunakan karena paling murah dan mudah ditemukan. Sukrosa dapat ditemukan dalam bentuk gula pasir. Sumber nitrogen : sumber nitrogen digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata de coco. Sumber nitrogen dapat diperoleh dari protein, ekstrak yeast (nitrogen organik), ammonium fosfat (ZA), dan ammonium sulfat (nitrogen anorganik). Ammoniun fosfat (ZA) sering digunakan dalam proses pembutaan nata de coco karena ZA dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter acesi, dimana bakteri tersebut adalah bakteri pesaing Acetobacter xylinum. Asam : pH optimal bakteri Acetobacter xylinum yakni 4,3. Acetobacter xylinum tidak dapat tumbuh pada kondisi basa. Jenis asam yang digunakan dalam pembuatan nata de coco adalah asam cuka, sehingga dapat menurunkan pH dan meningkatkan keasaman. Suhu : bakteri Aetobacter xylinum dapat tumbuh pada suhu ruang yakni sekitar 28-31oC . Pengaruh Aerasi (oksigen) dan Agitasi Medium terhadap Pembentukan Nata de Coco : Inokulasi nata de coco akan menurun atau tidak berproduksi sama sekali apabila dalam keadaan kurang udara atau terjadinya agitasi (pengocokan). Bakteri Acetobacter xylinum merupakan bakteri aerobik, yaitu yang membutuhkan O2 dala pertumbuhannya. Akan tetapi O2 yang masuk ke dalam cairan nata de coco tidak boleh bersentuhan langsung dengan udara luar karena dapat menimbulkan kontaminasi. Sehingga harus ditutup dengan kertas koran yang tidak terlalu tebal. Supaya O2 bisa tetap masuk ke dalam loyang yang berisi cairan nata dan tidak kontak langsung dengan udara. Pengaruh Media dan Kondisi Lingkungan. Medium yang digunakan untuk pertumbuhan mikrobia dalam suatu proses fermentasi harus mengandung semua elemen yang dibutuhkan mikrobia tersebut dalam pertumbuhannya baik untuk keperluan sintesis maupun dalam proses metabolismenya. Selain itu sanitasi dan kebersihan lingkungan kerja tidak kalah pentingnya, mengingat kondisi medium fermentasi yang mudah terkontaminasi oleh berbagai jenis mikroba dari udara. Hal ini dapat menyebabkan menurun atau gagalnya pembentukan nata de coco (Pambayun, 2002).

Menurut Pambayun (2002), fase pertumbuhan bakteri adalah sebagai berikut: a.Fase adaptasi : Bakteri akan beradaptasi saat ditambahkan pada media. Maka bakteri tidak langsung tumbuh, tetapi beradaptasi terlebih dulu. Fase adaptasi berlangsung selama 24 jam setelah perlakuan inokulasi. b.Fase pertumbuhan awal : Bakteri mulai membelah diri dengan kecepatan yang rendah.c.Fase pertumbuhan eksponensial : Bakteri mengeluarkan banyak enzim ekstraseluler polimerasi untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa. Fase ini berlangsung selama 1 - 5 hari.d.Fase pertumbuhan lambat : Pertumbuhan yang lambat terjadi karena nutrisi mulai berkurang, umur sel sudah tua, atau karena adanya metabolit yang bersifat toksik. Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak dari sel yang mati. e.Fase perumbuhan tetap : Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh menjadi sama dengan jumlah sel yang mati. f. Fase menuju kematian : Bakteri mulai mati pada fase ini.g.Fase kematian : Bakteri mati pada fase ini dan tidak dapat digunakan sebagai bibit fermentasi nata. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan jamur pada nata, dan fase ini terjadi pada hari ke-15.

Cara kerja praktikum kali ini yakni mula-mula air kelapa disaring menggunakan kain saring untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang ada di air kelapa, misalnya ampas kelapa, kerikil, serabut, dll sehingga nantinya nata yang dihasilkan dapat memiliki karakteristik yang baik (Pato & Dwiloka, 1994). Proses penyaringan air kelapa dapat dilihat di Gambar 1. Selanjutnya air kelapa diambil 200 ml untuk tiap kelompok. Kemudian dilakukan penambahan gula pasir sebanyak 20 gram, untuk menghasilkan air kelapa dengan konsentrasi gula 10 %. Hal ini sesuai dengan teori Awang (1991), jumlah gula optimum yang ditambahkan dalam pembuatan nata de coco adalah 10%. Tujuan penambahan gula adalah sebagai substrat untuk Acetobacter xylinum sehingga dapat menghasilkan selulosa yang kemudian dapat menjadi produk nata de coco. Menurut Rahman (1992), bakteri Acetobacter xylinum akan mengubah gula menjadi selulosa. Selain gula pasir (sukrosa), sumber karbon lain yang dapat digunakan yakni glukosa, fruktosa, laktosa, manosa, dan maltosa (Pambayun, 2002).

Gambar 1. Proses Penyaringan Air Kelapa

Kemudian ditambahkan ammonium sulfat sebanyak 0,5%. Tujuaannya yakni untuk menyediakan sumber nitrogen. Selain ammonium sulfat, sumber nitrogen juga dapat diperoleh dari nitrogen organik (ekstrak yeast) atau nitrogen anorganik (urea, ammonium fosfat). Biasanya dalam pembuatan nata de coco, ammonium fosfat paling sering dipakai sebagai sumber nitrogen karena memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter acesi. Lalu ditambahkan pula asam cuka glasial 95% sampai pH air kelapa 4-5 (Pambayun, 2002). Pada praktikum ini, air kelapa yang digunakan menunjukkan hasil pH 4,74 ketika diukur dengan pHmeter. Pengukuran pH dapat dilihat pada Gambar 2. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hayati (2003) bahwa pH optimal pada pembuatan nata yaitu sekitar 4.3 4.5 yang dapat diukur ketika penamabahan asam asetat glasial. Menurut Pambayaun (2002), pengontrolan pH harus dilakukan untuk mengetahui derajat keasaman air kelapa yang dipakai sebagai media. Hal ini dilakukan karena Acetobacter xylinum tidak mampu tumbuh di pH basa. Menurut Jagannath et al. (2008) dalam jurnalnya yang berjudul The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum menyatakan bahwa untuk menghasilkan nata yang optimal digunakan sukrosa 10 %, ammonium sulfat 0,5 %, dengan pH terbaik adalah pH 4.

Gambar 2. Proses Pengecekan pH Nata de Coco

Setelah ditambahkan semua bahan tersebut, tahap selanjutnya adalah pemanasan air kelapa sampai semua gula larut dan lalu dilakukan penyaringan kedua. Menurut Palungkung (1996), mikroorganisme kontaminan di media nata de coco dapat dinonaktifkan dengan pemanasan ataupun perebusan air kelapa, supaya Acetobacter xylinum dapat tumbuh dengan optimal dan menghasilkan nata de coco dengan kualitas baik.

Setelah persiapan awal selesai dan air kelapa sudah tidak panas, 5 wadah plastik bersih disiapkan pada tiap kelompok. Lalu 100 ml media steril dimasukkan ke dalam wadah dan ditutup rapat dengan kertas coklat. Penutupan dengan kertas coklat ini menurut Tujuannya untuk menyediakan oksigen untuk pertumbuhan bakteri aerob Acetobacter xylinum. Oksigen yang masuk tidak bersentuhan langsung dengan permukaan nata. Selain kertas coklat juga berfungsi untuk menghindari kontaminasi dari lingkungan di sekitar tempat pembuatan nata de coco (Pambayun, 2002).

Lalu, 10% biang nata / starter ditambahkan ke dalam masing-masing wadah secara aseptis dan dikocok dengan pelan sampai semua starter homogen dan ditutup kembali dengan kain saring yang sudah dioven sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori Hadioetomo (1993), penambahan 10% biang starter harus dilakukan pada kondisi aeptis untuk mencegah terjadinya kontaminasi ulang. Pato & Dwiloka (1994) juga menambahkan bahwa jumlah starter untuk pembuatan nata berkisar 4 10 %. Penambahan starter ini dilakukan secara aseptis. Karena menurut Hadioetomo (1993), dengan menerapkan teknik aseptik maka organisme yang akan tumbuh dalam biakan hasil pemindahan hanya organisme yang diinginkan sehingga tidak terjadi terkontaminasi. Bakteri Acetobacter xylinum yakni bakteri aerob yang memerlukan oksigen. Akan tetapi, oksigen yang masuk ke dalam substrat tidak boleh bersentuhan langsung dengan permukaan nata dan tidak boleh terlalu kencang (Pambayun, 2002). Maka, air kelapa ditutup dengan menggunakan kertas coklat yang memiliki ventilasi yang cukup baik. Disamping itu, tujuan penutupan dengan kertas coklat untuk melindungi nata dari kontaminasi lingkungan sekitar. Media yang telah diberi starter diinkubasi pada suhu ruang (30C) selama 2 minggu, dan setiap 7 hari dilakukan pengamatan. Hal ini sesuai dengan teori Hayati (2003), suhu harus selalu diamati, dan suhu yang baik untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum yakni sekitar 30C. Sedangkan jika suhu 40C dapat membunuh bakteri Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Santosa et al (2012) menambahkan bahwa dalam jurnalnya yang berjudul Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulose in Making of Fiber Rich Instant Beverage from Nata de Coco bahwa waktu fermentasi optimal pembuatan nata adalah 10 14 hari. Proses inkubasi nata de coco dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Proses Inkubasi Nata de Coco

Setelah proses fermentasi selesai, lapisan nata akan semakin terbentuk pada permukaan medium karena lapisan nata terangkat oleh gas CO2 yang memiliki kecenderungan menempel pada lapisan selulosa (Palungkun, 1996). Terdapat 2 metode dalam menghasilkan selulosa bakteri yakni kultur stasioner dan kultur teragitasi. Pada kultur stasioner, membran selulosa berkumpul di permukaan medium. Sedangkan pada kultur teragitasi, selulosa disintesa di media dalam bentuk suspensi berserat, pelet, atau massa yang tidak beraturan. Sehingga dapat dikatakan bahwa nata de coco dalam praktikum kali ini menggunakan sistem kultur stasioner (Czaja et al, 2004).

Setelah 2 minggu proses fermentasi berlangsung, nata dipanen dan dicuci di bawah air mengalir. Lalu, nata direndam di dalam aquades selama 3 hari. Tujuannya untuk menghialngkan rasa asam pada nata. Hal ini sesuai dengan teori Wahyudi (2003), setelah lapisan nata dibentuk, nata dicuci dan direndam dengan air untuk menetralkan rasa nata. Maka, nata dapat digunakan sebagai bahan untuk pembuatan produk pangan.

Kemudian nata dipotong kecil-kecil berbentuk dadu dan dimasak dengan air dan gula untuk memberikan rasa manis. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Halib et al (2012) dalam jurnalnya berjudul Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose bahwa nata de coco biasanya disajikan dalam bentuk kotak dan dipotong berukuran 1 x 1 cm. Menurut Rahman (1992) tujuan perebusan nata dengan air dan gula untuk menghilangkan asam dan memberi rasa manis. Perebusan nata cukup dilakukan 1 kali. Akan tetapi, hal tersebut tidak dilakukan saat praktikum karena nata yang dibuat gagal dan hasil akhirnya dapat dilihat di Gambar 4.

Gambar 4. Hasil Nata de Coco Kelompok D4

Pengamatan nata diamati dari segi ketebalannya dan persentase lapisannya dengan rumus :

Persentase Lapisan Nata =

Pada hari ke-0 semua nata masih belum terbentuk. Pada hari ke-7 semua kelompok mengalami peningkatan ketebalan dan persentase lapisan nata. Pada hari ke-14 semua kelompok mengalami kenaikan tinggi ketebalan nata kecuali kelompok D5 tetap. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Palungkun (1996), semakin banyak gula yang digunakan maka nata yang terbentuk akan semakin baik. Hal ini dikarenakan gula digunakan sebagai substrat pertumbuhan oleh sel-sel Acetobacter xylinum. Bakteri ini merupakan bakteri selulosa murni yang tidak mengandung hemiselulosa, pektin, dan lignin. Sementara itu pada hari ke 14 kelompok D5 tidak mengalami kenaikan / penurunan ketebalan dan persentase lapisan nata. Menurut Pambayun (2002) hal ini bisa disebabkan oleh ketidaktepatan penambahan gula pasir yakni gula tidak tercampur rata, sehingga bibit nata tidak tumbuh normal dan hasil nata menjadi kurang maksimal. Kemungkinan lain yaitu terjadi kontaminasi saat proses fermentasi sehingga bakteri terhambat pertumbuhannya. Selain itu faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah suhu ruangan yang tidak stabil dan kurang cocok untuk prtumbuhan bakteri Acetobacter xylinum.

Ketebalan lapisan nata dipengaruhi oleh waktu dan suhu fermentasi (Rahayu et al., 1993), tingkat keaseptisan (Tranggono & Sutardi, 1990), serta fluktuasi populasi inokulum selama proses fermentasi (Seumahu et al., 2005). Menurut Jagannath et al. (2008), ketebalan nata yang maksimum diperoleh pada kondisi pH media 4,0 dengan kandungan sukrosa sebesar 10% dan ammonium sulfat sebesar 0,5% seperti yang telah dilakukan selama praktikum pembuatan nata. Namun ketebalan nata antar satu kelompok dan yang lainnya tidak dapat langsung dibandingkan karena ukuran tempat yang digunakan berbeda-beda. Layuk et al., (2007) dalam jurnalnya yang berjudul Perbaikan Teknologi Pengolahan Nata de Coco di Tingkat Petani menuliskan bahwa untuk menghasilkan rendemen yang tinggi dan ketebalan yang baik sebaiknya menggunakan wadah segi empat atau berbentuk nampan dengan tinggi 5-10 cm sehingga permukaannya cukup luas. Untuk ukuran nampan adalah 30 cm x 20 cm x 5 cm, dengan wadah yang sesuai pertukaran oksigen akan berlangsung dengan baik sehingga bakteri Acetobacter xylinumn dapat tumbuh dengan optimal.

Kegagalan pembentukan nata de coco pada praktikum ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : Pengaruh Media dan Kondisi Lingkungan: misalnya dalam pembuatan media, gula yang diberikan pada campuran cairan nata de coco kurang banyak, sehingga kebutuhan karbon dalam pembentukan nata de coco kurang. Kemudian kondisi lingkungan juga harus mendukung, suhu lingkungan tidak boleh terlalu panas ataupun dingin, harus suhu ruang. Selain itu, suhu lingkungan juga tidak boleh berubah-ubah karena hal tersebut dapat mengganggu aktivitas pembentukan nata de coco. Sanitasi dan kebersihan lingkungan kerja tidak kalah pentingnya, mengingat kondisi medium fermentasi yang mudah terkontaminasi oleh berbagai jenis mikroba dari udara. Hal ini dapat menyebabkan menurun atau gagalnya pembentukan nata de coco Kontaminasi dari zat ataupun unsur lain yang tidak seharusnya, wadah tempat menyimpan biakan nata de coco terlalu sering terkena goncangan, wadah yang menngalami goncangan akan merusak / memcah struktur nata yang sudah terbentuk sehingga nata gagal.(Pambayun, 2002).

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan nata yakni umur dari starter dan umur dari air kelapa sangat memperngaruhi keberhasilan fermentasi. Starter yang baik yakni saat bakterinya memasuki fase log, sehingga aktivitas metabolismenya tinggi selama fermentasi. Layuk et al., (2007) mengatakan di jurnal yang berjudul Perbaikan Teknologi Pengolahan Nata de Coco di Tingkat Petani bahwa starter yang baik untuk nata ialah dari kultur cair Acetobacter xylinum yang telah disimpan selama 3-4 hari sejak inokulasi, pada penyimpanan tersebut bakteri memasuki jumlah maksimal (fase log). Umur starter maksimal ialah 12 hari. Jika lebih dari 12 hari, maka akan menghasilkan nata yang baik karena umur starter terlalu tua. Umur substrat juga perlu diperhatikan yakni substrat tidak boleh terlalu tua karena nutrisinya sudah hilang (Pato & Dwiloted, 1994). Kontaminasi terjadi pada saat menambahkan starter nata jika perlakuan tidak aseptis. Kondisi aseptis harus diterapkan dalam pembuatan nata de coco untuk menghindari pertumbuhan bakteri lain yang tidak diinginkan yang menjadi kompetitor bakteri Acetobacter xylinum (Jagannath et al., 2008).

Untuk parameter aroma, kelompok D1-D2 menunjukkan aroma asam, D3 agak asam, D4 sangat asam, D5 asam. Menurut Halib et al. (2012) dalam jurnalnya berjudul Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose hal ini disebabkan oleh bakteri Acetobacter xylinum yang dapat mengubah gula menjadi selulosa dan dapat membentuk asam asetat. Menurut pendapat Astawan & Astawan (1991) aroma asam atau lebih seperti cuka menunjukkan bahwa pada nata memiliki pH yang lebih asam dibanding yang tidak beraroma asam. Aroma asam juga mengindikasikan proses fermentasi telah berlangsung. Aroma asam ini juga berasal dari hasil oksidasi gula oleh bakteri Acetobacter xylinum menjadi asam asetat. Selain gula, bakteri Acetobacter xylinum juga mampu mengoksidasi berbagai jenis alkohol menjadi asam asetat (Halib et al., 2012). Perbedaan aroma pada tiap kelompok dapat disebabkan oleh proses pencucian yang berbeda. Pencucian yang kurang bersih menyebabkan aroma asam masih tertinggal pada nata.

Sedangkan untuk parameter warna, semua kelompok menunjukkan warna kuning, kecuali kelompok D3 menunjukkan warna putih bening. Hasil kelompok D3 sudah sesuai dengan pernyataan dari Rahman (1992) bahwa warna nata de coco yang baik dan bagus adalah putih transparan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Seumahu et al. (2007) dalam jurnalnya yang berjudul The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de Coco Fermentationbahwa warna nata de coco yang baik adalah nata yang memiliki transparansi yang tinggi. Hal ini juga sudah sesuai dengan pernyataan Astawan & Astawan (1991) yang menyatakan bahwa nata de coco memiliki bentuk yang padat, kuat, kokoh, dan memiliki warna yang putih (Santosa et al., 2012). Warna pada nata yang dihasilkan memang tidak putih bening melainkan sedikit keruh sebab pada air kelapa yang ditumbuhi Acetobacter xylinum dapat memberikan warna sedikit keruh akibat fermentasi, gula dan kandungan asam. Warna kuning menunjukkan adanya aktivitas mikrobia lain sebagai perusak. Mikrobia perusak akan menyebabkan kebusukan yang ditandai dengan munculnya warna kuning keruh dan kuning kecoklatan pada nata yang dihasilkan (Tranggono & Sutardi, 1990).

Untuk parameter tekstur, kelompok D1, D3, D5 menunjukkan tekstur tidak kenyal dan kelompok D2, D4 menunjukkan tekstur kenyal. Menurut Astawan & Astawan (1991) tekstur kenyal berkaitan dengan kandungan selulosa pada nata. Semakin banyak selulosa, maka nata yang terbentuk akan semakin kenyal dan sebaliknya. Hal ini diperkuat oleh teori Anastasia et al (2008) dalam jurnalnya Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis kekenyalan juga berhubungan dengan ketebalan nata yang dihasilkan. Jika nata semakin tebal, berarti serat kasar semakin banyak maka akan semakin banyak air yang mengisi rongga antar selulosa sehingga kekenyalan nata menjadi turun. Menurut Herman (1979), kekenyalan nata dipengaruhi oleh banyak sedikitnya serat (selulosa). Pada jurnal berjudul The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum oleh Jagannath et al. (2008), banyak strain Acetobacter xylinum yang mampu menghasilkan selulosa dalam jumlah yang bermacam-macam dan tumbuh pada berbagai substrat seperti glukosa, sukrosa, fruktosa, gula invert, etanol dan gliserol .

4. 5. KESIMPULAN

Nata yakni produk hasil fermentasi yang mengandung selulosa, dengan kadar yang air tinggi. Syarat terbentuknya nata yakni adanya sumber karbon, nitrogen, asam, suhu ruang, oksigen. Konsentrasi gula sukrosa 10%, ammonium sulfat 0,5%, dan pH 4 dapat memberi kondisi optimal bagi Acetobacter xylinum. Bakteri Acetobacter xylinum mengubah glukosa menjadi selulosa dan asam asetat pada pembuatan nata de coco. Air kelapa adalah media yang tepat dalam pembuatan nata de coco karena mengandung gula, mineral dan asam amino untuk pertumbuhan A. xylinum. Tujuan penyaringan untuk menghilangkan kotoran pada air kelapa. Tujuan penambahan gula pasir optimum adalah 10 % yakni sebagai substrat untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum. Tujuan penambahan ammonium sulfat yakni sebagai sumber nitrogen. Tujuan penambahan asam cuka glasial untuk mengatur pH media supaya optimum (4 5). Tujuan pemanasan air kelapa untuk membunuh mikroorganisme kontaminan. Tujuan penutupan dengan kertas coklat untuk menyediakan oksigen yang cukup bagi bakteri aerob Acetobacter xylinum namun tidak terlalu banyak, sehingga tidak mengganggu pembentukan nata. Penamabahan starter yang optimum yakni 10 % dari total volume media. Inkubasi yang baik dilakukan pada suhu 30 C selama 10 14 hari. Nata terbentuk di lapisan permukaan karena CO2 menempel di selulosa sehingga lapisan terangkat ke atas. Nata de coco pada praktikum ini menggunakan sistem kultur stasioner yakni nata berkumpul di permukaan media air kelapa. Tujuan pencucian dan perendaman dengan akuades untuk menghilangkan asam asetat yang terbentuk selama proses fermentasi. Tujuan perebusan dengan gula untuk memberikan rasa manis pada nata de coco. Kekenyalan nata dipengaruhi oleh jumlah selulosa. Nata yang baik beraroma tidak asam, berwarna putih transparan, dan kenyal (kandungan selulosa banyak). Wadah yang digunakan akan mempengaruhi ketebalan nata yang dihasilkan di mana jika wadah luas permukaannya, nata yang dihasilkan akan lebih tinggi atau tebal.

Semarang, 8 Juli 2015Asisten Dosen:Praktikan,- Wulan Apriliana Nies Mayangsari

Vina Anyerina12.70.0046

6. 7. DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, N. & Eddy, A. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Padjajaran. Bandung.

Astawan, M. dan M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Awang, S. A. (1991). Kelapa Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Jakarta.

Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004). Structural investigations of microbial cellulose produced in stationary and agitated culture. Cellulose 11: 403-411.

Hadioetomo, R.S. (1993). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta

Halib, N; M. Cairul & I. Ahmad. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Malaysiana Journal. Malaysia.

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Herman, A.H. (1979). Pengolahan Air Kelapa. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia 4(1) Halaman 9 17.

Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum.World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:25932599

Layuk, P.; H. Salamba.; R. Djuri. (2007). Perbaikan Teknologi Pengiolahan Nata de Coco di Tingkat Petani. Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian, Mendugkung Program Pembangunan Pertanian Propinsi Sulawesi Utara.

Palungkun R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. & Dwiloka, B. (1994). Proses & Faktor faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (4) : 70 77.

Prades, A., M. Dornier, N. Diop, and J. P. Pain. (2011). Coconut Water Uses, Composition and Properties: a Review. Fruits Journal vol. 67, p. 87-107

Rahayu, E.S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M.N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santosa, B.; K. Ahmadi & D. Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulose in Making of Fiber Rich Instant Beverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1 No. 1, Mar. 2012, 6 -11. ISSN : 2252 5297.

Seumahu, C. A.; Antonius S.; Debora H.; dan Maggy T. S. (2007). The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de Coco Fermentation. Microbiology Indonesia. August 2007, p 65-68. ISSN 1978-3477.

Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

Wahyudi. (2003). Memproduksi Nata. http://ww2.pustaka.ictsleman.net/pertanian/agro_industri_pangan/3_memproduksi_nata_de_coco.pdf. Diakses 1 Juni 2014.

8. 9. LAMPIRAN

9.1. Perhitungan

Persentase Lapisan Nata =

Kelompok D1

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 25%

H14 Persentase Lapisan Nata = = 35 %

Kelompok D2

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 41.67 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 50 %

Kelompok D3

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 30.77 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 38.46 %

Kelompok D4

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 40 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 50 %

Kelompok D5

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 24 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 24 %

9.2. Laporan Sementara9.3. Hasil Viper9.4. Abstrak Jurnal