fermentasi nata de coco_cynthia christinne_11.70.0047_universitas soegijapranata

34
1. HASIL PENGAMATAN 1.1. Pengukuran Lapisan Nata de coco Hasil pengamatan terhadap pengukuran lapisan nata de coco pada hari ke-0, hari ke-7, dan hari ke-14 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengukuran Lapisan Nata de coco pada hari ke-0, ke- 7, dan ke-14 Ke l Tinggi Media Awal (cm) Tinggi Ketebalan Nata (cm) % Lapisan Nata H 0 H 7 H 14 H 0 H 7 H 14 C1 3 0 1,5 1,8 0 50 60 C2 1,8 0 0,7 1,1 0 38,89 61,11 C3 1 0 0,7 0,5 0 70 50 C4 2 0 0,5 1,8 0 25 90 C5 1,6 0 0,75 2 0 46,88 125 Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa tinggi media awal pada setiap kelompok berbeda-beda tergantung dari volume wadah yang digunakan. Pada hari ke-0, belum ada pertumbuhan lapisan nata de coco. Pada hari ke-7 dan hari ke-14, sudah terlihat tumbuhnya lapisan nata de coco pada permukaan media air kelapa. Dari semua kelompok terlihat bahwa dari hari ke-7 menuju hari ke-14, prosentase ketebalan lapisan nata de coco mengalami peningkatan. Pada kelompok C1, ketebalan nata de coco dari 50% meningkat menjadi 60%. Pada kelompok C2, ketebalan nata de coco dari 38,89% meningkat menjadi 61,11%. Pada kelompok C4, ketebalan nata de coco dari 25% meningkat menjadi 90%. Pada kelompok C5, ketebalan nata de coco dari 1

Upload: james-gomez

Post on 19-Jan-2016

193 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

nata de coco dibuat dari bahan dasar air kelapa. pembuatan nata de coco terdiri dari 2 tahap yaitu pembuatan media dan proses fermentasi. nata de coco merupakan lapisan selulosa yang tumbuh pada permukaan media berwanra putih agak keruh. bakteri yang dilibatkan adalah acetobacter xylinum.

TRANSCRIPT

Page 1: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

1. HASIL PENGAMATAN

1.1. Pengukuran Lapisan Nata de coco

Hasil pengamatan terhadap pengukuran lapisan nata de coco pada hari ke-0, hari ke-7,

dan hari ke-14 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran Lapisan Nata de coco pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14

KelTinggi Media

Awal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm) % Lapisan Nata

H0 H7 H14 H0 H7 H14

C1 3 0 1,5 1,8 0 50 60C2 1,8 0 0,7 1,1 0 38,89 61,11C3 1 0 0,7 0,5 0 70 50C4 2 0 0,5 1,8 0 25 90C5 1,6 0 0,75 2 0 46,88 125

Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa tinggi media awal pada setiap kelompok berbeda-

beda tergantung dari volume wadah yang digunakan. Pada hari ke-0, belum ada

pertumbuhan lapisan nata de coco. Pada hari ke-7 dan hari ke-14, sudah terlihat

tumbuhnya lapisan nata de coco pada permukaan media air kelapa. Dari semua

kelompok terlihat bahwa dari hari ke-7 menuju hari ke-14, prosentase ketebalan lapisan

nata de coco mengalami peningkatan. Pada kelompok C1, ketebalan nata de coco dari

50% meningkat menjadi 60%. Pada kelompok C2, ketebalan nata de coco dari 38,89%

meningkat menjadi 61,11%. Pada kelompok C4, ketebalan nata de coco dari 25%

meningkat menjadi 90%. Pada kelompok C5, ketebalan nata de coco dari 46,88%

meningkat menjadi 125%. Namun hal yang berlawanan terjadi pada kelompok C3, yang

justru mengalami penurunan prosentase ketebalan lapisan nata de coco sebesar 70%

pada hari ke-7 dan menjadi 50% pada hari ke-14.

1.2. Uji Sensoris Nata de coco

Hasil pengamatan terhadap uji sensoris karakteristik nata de coco yang meliputi aroma,

warna, tekstur, dan rasa dapat dilihat pada Tabel 2.

1

Page 2: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

2

Tabel 2. Uji Sensoris Nata de coco

Kelompok Aroma Warna Tekstur RasaC1 +++ ++ ++ +++C2 ++++ ++ ++ +++C3 ++++ ++ +++ +++C4 ++++ ++ +++ ++++C5 ++++ ++ +++ ++++

Keterangan:Aroma Warna Tekstur Rasa++++ : tidak asam ++++ : putih ++++ : sangat kenyal ++++ : sangat manis+++ : agak asam +++ : putih bening +++ : kenyal +++ : manis++ : asam ++ : putih agak bening ++ : agak kenyal ++ : agak manis+ : sangat asam + : bening + : tidak kenyal ++ : tidak manis

Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa dari nata de coco yang dihasilkan, nata de coco

memiliki aroma yang tidak asam kecuali pada kelompok C1 nata de coco yang

dihasilkan memiliki aroma agak asam. Dari segi warna, nata de coco yang dihasilkan

semua kelompok memiliki warna putih agak bening. Ditinjau dari segi tekstur, nata de

coco yang dihasilkan oleh kelompok C1 dan C2 memiliki tekstur agak kenyal,

sedangkan yang dihasilkan oleh kelompok C3, C4, dan C5 memiliki tekstur yang

kenyal. Apabila dilihat dari segi rasa, nata de coco yang dihasilkan oleh kelompok C1,

C2, dan C3 memiliki rasa manis, sedangkan pada kelompok C4 dan C5 nata de coco

yang dihasilkan memiliki rasa sangat manis.

Page 3: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

2. PEMBAHASAN

Air kelapa merupakan bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan nata de

coco. Air kelapa seringkali dijadikan sebagai limbah yang tidak digunakan lagi dari sisa

penggunaan buah atau daging kelapa. Sebenarnya, air kelapa masih mengandung

banyak nutrisi yang dapat digunakan sebagai sumber nutrisi bagi pertumbuhan

mikroorganisme. Apabila air kelapa dapat dimanfaatkan dengan benar dengan

penggunaan mikroorganisme yang sesuai, salah satu produk yang dihasilkan dapat

berupa nata de coco (Astawan & Astawan, 1991).

Menurut Widayati et al., (2002), air kelapa dapat dibuat menjadi substrat dan sumber

isolat bakteri dalam proses fermentasi. Air kelapa sebagai sumber nutrisi banyak

mengandung gula, protein, asam-asam amino, dan bermacam-macam vitamin serta

mineral. Kandungan gula pada air kelapa berkisar antara 7 – 10% yang tersusun atas

polisakarida (dekstrosa) yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan

dasar fermentasi asam-asam organik. Onifade (2003) menambahkan, air kelapa

mengandung beberapa nutrisi seperti 0,14% protein, 1,5% lemak, 4,6% karbohidrat,

1,06% abu, dan sisanya air. Gula merupakan turunan dari karbohidrat, dimana di dalam

air kelapa gula yang tersedia adalah sukrosa, dekstrosa, dan fruktosa. Selain itu, di

dalam air kelapa juga terdapat vitamin B kompleks yang terdiri dari asam nikotinat,

asam folat, asam pantotenat, riboflavin, dan biotin.

Nata de coco merupakan salah satu produk fermentasi yang dihasilkan dari air kelapa

dengan melibatkan jasad renik (mikroba) untuk menghasilkan nata yang tersusun atas

senyawa selulosa (dietary fiber) (Pambayun, 2002). Pendapat yang sama diungkapkan

pula oleh Santosa et al., (2012) yang mengatakan bahwa nata de coco adalah produk

fermentasi yang terdiri dari komponen selulosa yang dihasilkan dari air kelapa dengan

melibatkan mikroba Acetobacter xylinum. Menurut Anastasia et al., (2008), dari asal

katanya; “Nata” dapat diartikan sebagai selulosa yang berbentuk padat, berwarna putih

transparan, dan bertekstur kenyal serta kuat, dengan kandungan air sekitar 98%;

sedangkan “Coco” dapat diartikan sebagai buah kelapa. Maka, selulosa yang dihasilkan

dari air buah kelapa dinamakan sebagai nata de coco.

3

Page 4: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

4

Mekanisme Pembentukan Nata

Dalam pembuatan nata de coco, mikroorganisme yang dilibatkan selama proses

fermentasinya adalah bakteri Acetobacter xylinum. Komponen selulosa yang dinamakan

“nata” bisa terbentuk apabila bakteri tersebut dapat tumbuh selama proses fermentasi,

dimana air kelapa terpenuhi sebagai substratnya yang banyak mengandung gula. Seperti

proses fermentasi pada umumnya, ketersediaan gula sangat penting untuk mendukung

pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses fermentasi karena gula

dijadikan sebagai substrat utama pertumbuhannya dan akan mengalami konversi

menjadi senyawa-senyawa asam organik akibat aktivitas mikroorganisme yang terlibat.

Dalam air kelapa, proses konversi gula menjadi asam-asam organik diawali dengan

pemecahan gula menjadi polisakarida (selulosa) oleh Acetobacter xylinum. Kemudian,

dari hasil pemecahan ini akan terbentuk serat-serat tipis seperti benang-benang halus

yang dibentuk oleh selulosa. Seiring dengan waktu berjalannya proses fermentasi, serat-

serat tipis tersebut akan membentuk jaringan kuat dengan lapisan selulosa yang semakin

tebal. Meskipun nutrisi dalam nata de coco kecil karena hanya terdiri dari air, tetapi

serat-serat kasar yang dihasilkan dari selulosa ini (dietary fiber) sangat diperlukan oleh

tubuh dalam proses fisiologi, terutama daalam sistem pencernaan (Astawan & Astawan,

1991). Bentuk bakteri Acetobacter xylinum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Acetobacter xylinum

Dalam praktikum pembuatan nata de coco ini, proses pembuatan dibagi menjadi 2 tahap

utama, yaitu pembuatan media dan proses fermentasi. Media yang digunakan dalam

praktikum ini adalah air kelapa, dimana hal ini sesuai dengan teori Widayati et al.,

(2002) yang mengatakan bahwa kandungan gula pada air kelapa tersusun atas

polisakarida (dekstrosa) yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan

dasar fermentasi asam-asam organik. Sedangkan pada proses fermentasi, bakteri yang

terlibat dalam pembuatan nata de coco ini adalah Acetobacter xylinum. Sesuai dengan

teori Ofinade (2003), nutrisi yang ada pada air kelapa seperti sukrosa, dekstrosa,

Page 5: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

5

fruktosa, dan vitamin B kompleks sangat mendukung sebagai substrat pertumbuhan

bagi bakteri Acetobacter xylinum di saat fermentasi berlangsung.

2.1. Pembuatan Media

Pembuatan media fermentasi bertujuan untuk memberikan makanan, menunjang kondisi

lingkungan untuk pembiakan mikroorganisme dalam jumlah besar, membuat biakan

penyuburan, dan agar diperoleh biakan murni (Volk & Wheeler, 1993). Untuk proses

pembuatan media, pertama-tama, dilakukan penyaringan air kelapa yang akan

digunakan sebagai media sebanyak 1500 ml (untuk 5 kelompok). Sesuai dengan teori

Volk & Wheeler (1993), proses penyaringan bertujuan untuk memisahkan kotoran yang

tidak terlarut pada air kelapa. Setelah disaring, air kelapa dimasak melalui proses

perebusan hingga mendidih, dimana hal ini bertujuan untuk membunuh semua

mikroorganisme yang terkandung pada air kelapa. Dengan membunuh semua

mikroorganisme, Acetobacter xylinum yang nantinya akan ditanamkan pada media tidak

mengalami gangguan pertumbuhan karena hadirnya mikroorganisme kontaminan

(Tortora et al., 1995). Proses penyaringan air kelapa dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses penyaringan air kelapa (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Proses selanjutnya adalah pemberian gula pasir ke sebanyak 10% (150 gram untuk 5

kelompok) ke dalam air kelapa yang telah direbus, lalu diaduk hingga larut. Sesuai

dengan teori Hayati (2003), proses penambahan gula dilakukan untuk memperoleh

karakteristik nata de coco yang diinginkan dari segi penampakan, tekstur, dan flavor.

Selain itu, gula yang ditambahkan juga bertujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi Nata

de coco dan juga sebagai pengawet.

Page 6: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

6

Jika yang dijelaskan oleh Hayati (2003) tersebut lebih kepada fungsi gula dalam produk

akhir nata de coco yang dihasilkan, berbeda dengan Awang (1991) yang menjelaskan

fungsi utama gula dalam proses fermentasi. Fungsi utama gula selama proses fermentasi

adalah sebagai sumber karbon yang digunakan untuk menunjang pertumbuhan bakteri.

Dalam praktikum ini, gula yang digunakan adalah gula pasir, dimana hal ini sesuai

dengan teori Pambayun (2002) bahwa monosakarida, disakarida, dan sukrosa (gula

pasir) merupakan sumber karbon yang sering digunakan dalam proses fermentasi.

Jumlah gula yang ditambahkan dalam praktikum ini adalah sebanyak 10%. Sesuai

dengan teori Sunarso (1982), dalam proses pembuatan nata de coco, konsentrasi

optimum gula sebesar 10% akan dapat diperoleh serat-serat selulosa yang tebal, liat,

dan kokoh. Apabila konsentrasi gula yang digunakan terlalu banyak, bakteri

Acetobacter xylinum tidak mampu memanfaatkan gula tersebut secara optimal.

Akibatnya, akan ada banyak gula yang tidak dimanfaatkan oleh bakteri dan hasil akhir

nata de coco yang dihasilkan menjadi terlalu manis.

Setelah proses penambahan gula, tahap selanjutnya adalah penambahan ammonium

sulfat sebanyak 0,5% (7,5 gram untuk 5 kelompok). Menurut Awang (1991), syarat

medium yang akan digunakan dalam proses fermentasi minimal harus mengandung

unsur karbon dan nitrogen. Jika unsur karbon sudah didapatkan melalui penambahan

gula, maka sesuai dengan teori Awang (1991), sumber nitrogen diperoleh dari

penambahan ammonium sulfat. Pambayun (2002) menambahkan, selain karbon,

nitrogen juga digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri Acetobacter

xylinum. Selain dari ammonium sulfat, sumber nitrogen yang lain dapat diperoleh dari

ammonium fosfat (ZA) dan urea. Pada praktikum ini, penggunaan ammonium sulfat

tergolong ke dalam sumber nitrogen yang bersifat anorganik.

Proses selanjutnya setelah penambahan dengan ammonium sulfat adalah proses

pemanasan selama ± 10 menit untuk menghomogenkan media, kemudian dilakukan

penambahan asam asetat glasial (asam cuka glasial) di dalam lemari asam sampai

tercapai kondisi media dengan pH 4 – 5. Anastasia et al., (2008) mengatakan bahwa

acidulan perlu ditambahkan ke dalam media pertumbuhan Acetobacter xylinum agar

tercipta kondisi pH medium yang sesuai dengan pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan

Page 7: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

7

teori Pambayun (2002), bakteri Acetobacter xylinum tumuh dalam suasana asam sekitar

pH 4.3 dan tidak dapat tumbuh pada suasana basa/alkali. Atlas (1984) juga

menambahkan, pada kondisi pH 4.5, selulosa akan terbentuk melalui senyawa 2,5,-asam

ketoglukonat. Dalam pengukuran pH menggunakan pH-meter sesuai dengan yang

dilakukan pada praktikum ini harus diperhatikan agar pengukuran pH tidak terlalu

tinggi dan tidak terlalu rendah. Atlas (1984) mengatakan, pengukuran pH yang terlalu

rendah akan mengakibatkan Acetobacter xylinum menggunakan energi secara

berlebihan untuk mengatasi stress akibat perbedaan pH yang terlalu besar dengan

kondisi sebenarnya ia tumbuh. Lama-kelamaan, aktivitas Acetobacter xylinum akan

terhenti karena energi yang tersedia telah habis.

Setelah pengkondisian pH pada media, selanjutnya dilakukan pemanasan kembali media

hingga semua campuran larut. Setelah itu, media kembali disaring dengan menggunakan

kain saring. Sesuai dengan teori Pato & Dwiloted (1994), proses pemasakan kembali

dilakukan untuk mensterilkan media pertumbuhan Acetobacter xylinum. Hal ini karena

selama proses penambahan gula, ammonium sulfat, dan asam asetat glasial tidak dapat

dilakukan secara aseptis, sehingga diperlukan pemanasan lagi untuk membunuh

mikroorganisme yang nantinya tidak diinginkan tumbuh dan mengganggu aktivitas

Acetobacter xylinum dalam membentuk nata (selulosa). Proses penyaringan kembali

juga dilakukan untuk tujuan yang sama yaitu memurnikan media agar tidak

mengandung kontaminan bersifat fisik seperti kotoran, pasir, dan padatan-padatan lain.

2.2. Proses Fermentasi

Proses fermentasi diawali dengan mempersiapkan 5 wadah plastik bersih (untuk 5

kelompok) sebagai tempat fermentasi. Masing-masing wadah diisi dengan 250 media

yang telah disiapkan sebelumnya pada proses pembuatan media. Kemudian, biang nata

(starter) Acetobacter xylinum ditambahkan ke dalam media sebanyak 10% dari jumlah

media (25 ml). Penuangan biang nata (starter) ke dalam media ini harus dilakukan

secara aseptis, setelah itu, media yang telah dituang biang nata digojog secara perlahan

agar seluruh starter tercampur secara homogen di dalam media. Selanjutnya, wadah

ditutup dengan kertas coklat untuk proses inkubasi. Proses penuangan starter ini sudah

sesuai dengan teori Rahayu et al., (1993) yang mengatakan bahwa jumlah inokulum

Page 8: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

8

yang ditambahkan pada pembuatan nata berkisar antara 5-10%. Proses penuangan biang

nata (starter Acetobacter xylinum) ke dalam media dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Proses penuangan biang nata (starter Acetobacter xylinum) ke dalam media(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Inkubasi dilakukan selama 14 hari pada suhu ruang. Selama proses inkubasi, media

yang akan ditumbuhi lapisan nata harus dijaga agar tidak terkena goncangan dan

terhindar dari paparan cahaya matahari. Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, hari ke-

7, dan hari ke-14 mengenai terbentuknya lapisan pada permukaan media cair. Ketebalan

lapisan yang terbentuk diukur dengan menggunakan penggaris dan kemudian dihitung

proseantasenya. Dari prosentase tersebut dapat diketahui besarnya kenaikan lapisan nata

dari hari ke hari.

Proses inkubasi dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pada bakteri

Acetobacter xylinum untuk beradaptasi, beraktivitas, dan memproduksi selulosa (nata)

pada media air kelapa yang mengandung gula (Rahayu et al., 1993). Kondisi waktu dan

suhu inkubasi (fermentasi) yang dibutuhkan untuk sampai terbentuk lapisan nata de

coco ini sesuai dengan teori Rahayu et al., (1993), bahwa untuk memperoleh lapisan

nata dengan ketebalan yang optimum, lama fermentasi yang dibutuhkan sekitar 10-14

hari pada suhu 28-32°C. Maka sesuai apabila pada praktikum ini, suhu ruang yang

digunakan untuk inkubasi nata adalah 30°C. Pada penelitiannya, Czaja et al., (2004)

menambahkan, pada hari ke-16 sudah tidak tampak adanya peningkatan ketebalan

lapisan nata. Hal ini menandakan bahwa sudah tidak ada lagi pertumbuhan nata oleh

bakteri Acetobacter xylinum, yang dapat membuktikan bahwa waktu inkubasi mencapai

optimal pada 14 hari.

Page 9: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

9

Selama proses inkubasi, wadah ditutup dengan kertas coklat. Kertas coklat ini

merupakan kertas yang sangat tipis dan memiliki pori-pori yang besar. Menurut

Pambayun (2002), penutupan dengan kertas coklat ini bertujuan untuk melindungi nata

dari kontaminasi luar atau lingkungan sekitar. Namun, penutupan dengan kertas coklat

ini masih memungkinkan adanya udara (oksigen) untuk masuk ke dalam wadah

fermentasi. Hal ini juga sesuai dengan teori Budiyanto (2002) yang mengatakan bahwa

bakteri Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang bersifat obligat anaerob. Kouda et

al (1997) manambahkan, ketersediaan oksigen berpengaruh terhadap produksi selulosa

sebagai hasil metabolit sekunder dari Acetobacter xylinum.

Selama proses inkubasi, penempatan media juga dijaga agar jangan sampai terkena

goncangan. Seperti yang dikatakan oleh Budiyanto (2002), gerakan atau goncangan

selama proses fermentasi nata de coco akan menenggelamkan lapisan nata yang telah

terbentuk dan menyebabkan terbentuknya lapian nata yang baru yang strukturnya

terpisah dari nata yang sudah terbentuk sebelumnya (pecah). Akibatnya, ketebalan nata

de coco yang diproduksi tidak seragam antara sisi satu dengan sisi yang lain. Budiyanto

(2002) juga mengatakan bahwa penempatan inkubasi juga harus diperhatikan dimana

tempat fermentasi harus terhindar dari paparan cahaya matahari secara langsung dan

jauh dari sumber panas. Paparan panas akan menyebabkan pertumbuhan Acetobacter

xylinum terhambat oleh karena suhu yang tidak sesuai dengan kondisi pertumbuhannya.

Wadah fermentasi yang ditutup dengan kertas coklat dan kondisi inkubasi yang

terhindar dari paparan cahaya matahari dapat dilihat pada Gambar 4.

(a) (b)

Gambar 4. (a) Wadah fermentasi yang ditutup dengan kertas coklat; dan (b)Kondisi inkubasi yang terhindar dari paparan cahaya matahari

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Page 10: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

10

Pada praktikum ini, pembentukan nata berada pada permukaan atas media cair. Sesuai

dengan teori Palungkun (1996), bakteri Acetobacter xylinum menghasilkan CO2 selama

proses fermentasi. Pada media, timbulnya CO2 dapat terlihat melalui adanya gelembung-

gelembung. Gelembung-gelembung CO2 tersebut memiliki kecenderungan untuk

melekat pada jaringan selulosa yang juga dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum.

Peristiwa ini menyebabkan jaringan selulosa terangkat ke permukaan media cair karena

terisi oleh CO2. Pembentukan nata di atas permukaan media cair dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5. Pembentukan nata di atas permukaan media cair(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Nata yang sudah terbentuk selama 14 hari kemudian diambil dari wadahnya dan dicuci

pada air mengalir. Setelah itu, nata de coco dipotong-potong dan dan dimasak dengan

menggunakan air gula sampai mendidih. Proses pencucian, pemotongan, dan

pemasakan nata de coco dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b)

(c)

Gambar 5. (a) Pencucian nata de coco pada air mengalir; (b) Pemotongan nata de coco; dan (c) Pemasakan nata de coco dalam larutan gula

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Page 11: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

11

Perlakuan proses pemasakan dengan menggunakan air gula pada setiap kelompok

berbeda-beda. Pada kelompok C1, penambahan gula dilakukan sebanyak 100 gram.

Pada kelompok C2 penambahan gula dilakukan sebanyak 125 gram. Kelompok C3

ditambahkan gula sebanyak 150 gram. Kelompok C4 ditambahkan gula sebanyak 175

gram. Sedangkan kelompok C5 ditambahkan gula sebanyak 200 gram. Dari hasil

pemasakan yang diperoleh, kemudian nata de coco dipisahkan dengan larutan air gula

dan dilakukan pengamatan sensori meliputi meliputi aroma, warna, tekstur, dan rasa.

Dari hasil pengamatan yang diperoleh (dapat dilihat pada Tabel 1), pada hari ke-0

belum terbentuk lapisan nata karena memang proses inkubasi baru dimulai. Pada hari

ke-7 mulai terbentuk lapisan nata pada semua kelompok. Prosentase lapisan nata

tertinggi terdapat pada kelompok C3 sebesar 70%, kemdian diikuti oleh kelompok C1

sebesar 50%, lalu kelompok C5 sebesar 46,88%, kemudian kelompok C2 sebesar

38,89%, dan prosentase terkecil terdapat pada kelompok C4 sebesar 25%. Perbedaan

prosentase tiap kelompok ini dikarenakan wadah fermentasi yang digunakan tidak

memiliki volume yang sama sehingga tinggi nata yang terbentuk mengikuti panjang dan

lebar wadah. Pada hari ke-7, semua nata mulai terbentuk, dimana hal ini sesuai dengan

teori Rahman (1992) yang mengatakan bahwa pembentukan lapisan nata menunjukkan

adanya aktivitas dari Acetobacter xylinum pada media air kelapa.

Pada hari ke-14, lapisan nata yang terbantuk semakin tebal. Prosentase ketebalan nata

yang paling besar ditunjukkan oleh kelompok C5 sebesar 125%, lalu diikuti oleh

kelompok C4 sebesar 90%, lalu kelompok C2 sebesar 61,11%, kelompok C1 sebesar

60%, dan prosentase terkecil terdapat pada kelompok C3 sebesar 50%. Jika

dibandingkan dari hari ke-7 sampai hari ke-14, kenaikan ketebalan nata pada kelompok

C1 sebesar 10%, kelompok C2 sebesar 22,22%, kelompok C4 sebesar 65%, dan

kelompok C5 sebesar 78,12%. Prosentase kenaikan nata terbesar terjadi pada nata yang

dihasilkan oleh kelompok C5 dan terkecil pada kelompok C1. Sesuai dengan teori

Rahman (1992), aktivitas Acetobacter xylinum ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan

yang berwarna putih yang lama kelamaan akan semakin menebal dan memadat.

Ketebalan nata yang mengalami peningkatan dari hari ke-0 hingga hari ke-14 pada

praktikum ini sudah membuktikan bahwa Acetobacter xylinum selama proses fermentasi

Page 12: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

12

terus bekerja memecah gula yang ada dalam media cair. Polisakarida yaitu selulosa

akan membentuk benang-benang serat yang terus menebal dengan jaringan yang kokoh

atau kuat sehingga disebut sebagai pelikel nata (Anastasia et al., 2008). Sedangkan

perbedaan ketebalan nata antar kelompok, seperti pada kelompok C5 yang

menghasilkan nata paling tebal adalah karena aktivitas Acetobacter xylinum yang lebih

tinggi daripada starter yang diberikan di kelompok lain.

Ketidaksesuaian dengan teori Rahman (1992) dan Anastasia et al., (2008) di atas terjadi

pada kelompok C3 yang justru mengalami penurunan ketebalan dari hari ke-7 sampai

hari ke-14 sebesar 20%. Pada praktikum ini, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap

ketidakberhasilan nata yang dihasilkan, adalah sebagai berikut:

a. Kebersihan alat

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan nata de coco harus dalam keadaan steril

agar tidak menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum (Budiyanto,

2002). Dalam praktikum ini, alat-alat yang tidak steril seperti wadah fermentasi

yang kurang bersih dan kertas coklat sebagai penutup yang kurang bersih

memungkinkan ketidakberhasilan nata yang dibuat oleh kelompok C3.

b. pH Fermentasi

Kondisi keasaman media yang kurang sesuai juga dapat berpengaruh terhadap nata

yang dihasilkan (Anastasia et al., 2008). Mungkin pada saat penentuan pH dengan

asam asetat glasial tidak ditentukan secara tepat sehingga mempengaruhi nata akhir

yang dihasilkan karena pH optimum untuk pertumbuhan nata adalah 4.3 – 4.5

(Pambayun, 2002 dan Atlas, 1984).

c. Kondisi Aseptis

Kondisi aseptis perlu diterapkan dalam pembuatan nata de coco karena

penggunakan sukrosa (gula pasir) dalam jumlah besar akan sangat memungkinkan

terjadinya kontaminasi oleh yeast (Jagannath et al., 2008). Pada praktikum ini,

ketidakaseptisan saat proses inokulasi starter / biang nata menyebabkan nata de

coco yang dihasilkan tidak mengalami peningkatan ketebalan dan malah mengalami

kontaminasi oleh mikroorganisme lain.

Page 13: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

13

Dari segi karakteristik aroma, nata de coco yang dihasilkan oleh semua kelompok

adalah tidak asam, kecuali pada kelompok C1 menghasilkan aroma nata de coco yang

agak asam. Menurut Halib et al., (2012), aroma asam yang ditimbulkan adalah berasal

dari produksi asam dari gula oleh bakteri Acetobacter xylinum. Selain itu, asam asetat

glasial yang ditambahkan pada saat pembuatan media juga mempengaruhi rasa asam

pada nata de coco.

Dari segi karakteristik warna, nata de coco yang dihasilkan oleh kelompok C1 hingga

C5 adalah putih agak bening. Sesuai dengan teori Rahman (1992), nata yang baik

memiliki warna yang putih namun agak keruh. Warna putih disebabkan karena

terjadinya degradasi atau perombakan substrat oleh Acetobacter xylinum, sedangkan

kekeruhan disebabkan oleh reaksi antara gula dan nitrogen yang terlarut di dalam

cairan.

Dari segi karakteristik tekstur, nata de coco yang dihasilkan oleh kelompok C1 dan C2

adalah agak kenyal, sedangkan pada kelompok C3, C4, dan C5 memiliki tekstur yang

kenyal. Menurut Anastasia et al. (2008), kekenyalan nata ditentukan oleh ketebalan

nata yang dihasilkan. Semakin tinggi ketebalan serat (selulosa) yang dihasilkan maka

semakin banyak air yang mengisi rongga-rongga antar selulosa, sehingga kekenyalan

nata semakin tidak kenyal. Apabila dibandingkan dengan ketebalan nata yang

terbentuk, seharusnya nata yang memiliki kekenyalan paling tinggi (paling kenyal)

adalah nata kelompok C1 karena memiliki ketebalan nata yang paling rendah.

Sedangkan nata yang memiliki kekenyalan paling rendah seharusnya adalah kelompok

C5 karena memiliki ketebalan yang paling tinggi. Ketidaksesuaian dengan teori

Anastasia et al. (2008) mungkin disebabkan karena persepsi sensori seseorang yang

tidak spesifik, sehingga hasil tekstur yang dianalisa tidak seakurat jika menggunakan

alat pengukur tekstur, misalnya Texture Analyzer.

Dari segi karakteristik rasa, nata de coco yang dihasilkan oleh kelompok C1, C2, dan

C3 memiliki rasa manis, sedangkan yang dihasilkan oleh kelompok C4 dan C5 berasa

sangat manis. Hal ini dikarenakan jumlah penambahan gula yang berbeda-beda tiap

kelompok. Penambahan gula dalam jumlah paling besar terdapat pada kelompok C4 dan

Page 14: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

14

C5 sehingga rasa nata de coco yang dihasilkan terlalu manis. Penyataan ini didukung

oleh Palungkun (1996) yang mengatakan bahwa semakin tinggi kandungan gula yang

ditambahkan saat pemasakan nata de coco, maka rasa manis akan semakin menonjol.

Maka, dalam praktikum ini penambahan gula yang tepat adalah 100 -150 gram karena

rasa nata de coco yang dihasilkan tidak terlalu manis dan tidak kurang manis.

Pada Jurnal: “Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making

of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco” (Santosa et al., 2012), dijelaskan

mengenai pembuatan minuman instan dari nata de coco. Penelitian dilakukan dengan

tujuan untuk mengetahui konsentrasi dekstrin dan CMC yang tepat agar produk

minuman yang dihasilkan dapat memiliki penampakan, warna, flavor, kelarutan, kadar

air, dan kandungan serat kasar yang baik. Konsentrasi dekstrin dianalisa pada 3 level

konsentrasi yaitu 10%, 12,5% , dan 15%. Sedangkan konsnetrasi CMC yang dianalisa

terdiri dari 5 level konsentrasi yaitu 0,5%; 1%; 1,5%; 2%; dan 2,5%. Dari hasil yang

diperoleh, ternyata pada konsentrasi dekstin 15% dan konsentrasi CMC 2,5% dapat

menghasilkan minuman instan nata de coco yang memiliki tingkat kelarutan tertinggi,

kandungan serat kasar (crude dietary fiber) yang tertinggi, warna yang paling menarik,

aroma yang menyenangkan, dan penampilan serbuk instan yang homogen.

Pada Jurnal: “The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the

production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum”

(Jagannath et al., 2008), diteliti mengenai pengaruh konsentrasi pH,

sukrosa, dan ammonium sulfat terhadap produksi nata de coco oleh

bakteri Acetobacter xylinum. Sesuai dengan yang dilakukan pada

praktikum, untuk mendapatkan ketebalan lapisan nata yang

optimum, media fermentasi dikondisikan pada pH 4.0 dengan

penambahan sukrosa 10%, serta penambahan ammonium sulfat

sebesar 0,5%. Pada kondisi tersebut, kualitas nata de coco yang

dihasilkan adalah memiliki permukaan yang lembut dan tekstur yang

kenyal serta lembut.

Page 15: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

15

Pada Jurnal: “Different Media Formulation on Biocellulose Production by Acetobacter

xylinum (0416)” (Kamarudin et al., 2013), dijelaskan mengenai pembuatan media

dengan formulasi yang berbeda dalam rangka menghasilkan selulosa yang diproduksi

oleh Acetobacter xylinum. Media yang diuji terdiri dari 3 jenis, dimana ketiganya

menggunakan bahan baku yang sama yaitu dari air kelapa sebagai sumber karbon

namun formulasi yang dibuat berbeda-beda. Media tersebut adalah CWHSM (Coconut

water in Hestrin-Schramm medium), CM (Complex medium), dan HSM (Hestrin-

Schramm medium), dengan masing-masing komposisinya sebagai berikut.

Fermentasi dilakukan selama 12 hari dengan kondisi yang sama seperti yang dilakukan

pada praktikum ini. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan berat kering,

kemampuan penangkapan sel (cell entrapped), pH media, dan tingkat produktivitas nata

yang dihasilkan. Dari hasil fermentasi, diperoleh bahwa media CWHSM paling cocok

untuk memproduksi nata de coco karena menghasilkan produktivitas tinggi yaitu

sampai dengan 0.044 gram per liter per hari.

Pada Jurnal: “Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas Inokulum Pasta

Nata de Coco” (Melliawati, 2008), dijelaskan mengenai pengaruh jenis bahan pembawa

terhadap kualitas Acetobacter xylinum yang dihasilkan. Dimana Acetobacter xylinum

ini nantinya dibuat untuk inokulasi dalam bentuk pasta (bubur) ke dalam nata de coco.

Bahan pembawa yang digunakan adalah CMC, agar, pati sagu, dan selulosa yang

diinokulasikan dengan Acetobacter sp.RMG-2. Hasil menunjukkan bahwa semua bahan

tersebut dapat digunakan sebagai agen pembawa dalam inokulum Acetobacter xylium

Page 16: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

16

berbentuk pasta. Tetapi, bahan pembawa yang memiliki kualitas tekstur paling baik

adalah pada bahan pembawa kombinasi antara CMC dan selulosa yang diinokulasikan

dengan Acetobacter sp.RMG-2. Hal ini karena kedua materi pembawa tersebut dapat

mempertahankan konsistensi jumlah inokulum Acetobacter xylium selama penyimpanan

12 minggu pada suhu 4°C tanpa kehilangan kemampuannya untuk memproduksi

selulosa.

Pada Jurnal: “Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from

Local Food Industries as a Source of Cellulose” (Halib et al., 2012), diteliti mengenai

sifat fisikokimia dan karakteristik selulosa yang diekstrak dari nata de coco. Pengujian

dilakukan dengan metode FTIR untuk melihat pengaruh selulosa terhadap panas dan

sifat kelarutan. Diperoleh hasil bahwa, kelarutan selulosa dari nata de coco yang

tertinggi diperoleh pada selulosa yang dilarutkan ke dalam pelarut

cupriethylenediamine. Dengan melarutkan selulosa pada pelarut tersebut, secara tidak

langsung menunjukkan kemurnian selulosa yang dihasilkan.

Pada Jurnal: “Dinamika Populasi Acetobacter selama Proses Fermentasi Nata de Coco”

(Seumahu et al., 2005), diamati mengenai dinamika populasi bakteri yang terlibat dalam

pembuatan nata de coco. Pengukuran dinamika populasi bakteri dilakukan dengan

isolasi DNA, amplifikasi, dan kloning Gen 16S rRNA. Metode yang digunakan adalah

metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Pengujian dilakukan terhadap 2 jenis nata

yaitu nata yang berkualitas baik dan nata yang berkualitas buruk. Pada intinya, dengan

pengujian untuk mengetahui dinamika populasi Acetobacter dalam nata, baik pada

media yang baik maupun pada media yang buruk sama-sama mengandung bakteri yang

merugikan, dimana bakteri yang merugikan tersebut akan mengganggu aktivitas

Acetobacter. Sama dengan yang dilakukan pada praktikum, fermentasi yang pada

awalnya menggunakan kultur murni Acetobacter xylinum, tetapi pada prosesnya, media

tetap bercampur dengan mikroorganisme lain. Akhirnya media tersebut malah menjadi

media dengan kultur campuran. Mixed culture dalam jumlah kecil tidak akan

berpengaruh nyata pada kegagalan pembentukan nata, tetapi jika jumlah mixed culture

terlalu besar akan menyebabkan kontaminasi dan nata tidak terbentuk.

Page 17: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

17

Selain dapat dihasilkan dari air kelapa, nata juga dapat dihasilkan dari air jagung yang

produknya disebut dengan nata de corn. Pada Jurnal: “Pengaruh Penambahan Gula,

Asam Asetat, dan Waktu Fermentasi terhadap Kualitas Nata de Corn” (Rizal et al.,

2013), ternyata dibuktikan bahwa jumlah penambahan gula, asam asetat, dan waktu

fermentasi yang dilakukan tidak sama dengan pembuatan nata de coco. Pada media air

jagung yang digunakan untuk menghasilkan nata de corn, kondisi optimum

pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah pada pH 5 – 5.5, dengan penambahan gula

sebanyak 4,5%, dan waktu fermentasi selama 14 hari. Dibandingkan dengan kondisi

pertumbuhan Acetobacter xylinum pada air kelapa, pH optimum untuk pertumbuhannya

hampir sama yaitu pada rentang pH 5, namun pad aair jagung kondisinya sedikit lebih

basa. Sedangkan penambahan gula lebih banyak pada pembuatan nata de coco karena

membutuhkan 10% sedangkan nata de corn hanya membutuhkan 4,5%. Tetapi, waktu

yang diperlukan adalah sama yaitu 14 hari.

Page 18: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

3. KESIMPULAN

Nata de coco adalah produk fermentasi yang terdiri dari komponen selulosa yang

dihasilkan dari air kelapa dengan melibatkan mikroba Acetobacter xylinum.

Air kelapa mengandung 0,14% protein, 1,5% lemak, 4,6% karbohidrat, 1,06% abu,

dan 98% air.

Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang bersifat obligat anaerob.

Selulosa berbentuk serat-serat tipis seperti benang-benang halus yang disebut nata.

Tahap pembuatan nata de coco terdiri dari pembuatan media dan proses fermentasi.

Kemampuan Acetobacter xylinum dalam menghasilkan selulosa tergantung dari

metode fermentasi, sumber karbon, sumber nitrogen, pH, dan temperatur.

Kondisi optimum media air kelapa adalah pada konsentrasi gula 10%, ammonium

sulfat 0,5%, dan pH 4.5.

Jumlah inokulum yang ditambahkan pada pembuatan nata berkisar antara 5-10%.

Inkubasi dilakukan selama 14 hari pada suhu 28-32°C, tanpa goncangan, dan

terhindar dari paparan cahaya matahari.

Pada hari ke-7, nata mulai terbentuk di permukaan media cair.

Aktivitas Acetobacter xylinum ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan yang

berwarna putih yang lama kelamaan akan semakin menebal dan memadat.

Proses pembuatan nata de coco memerlukan perlakuan aseptis.

Aroma asam berasal dari produksi asam oleh bakteri Acetobacter xylinum.

Nata de coco memiliki warna yang putih agak keruh.

Semakin tinggi ketebalan serat (selulosa), maka nata semakin tidak kenyal.

Untuk menghasilkan rasa yang manis, penambahan gula yang tepat pada praktikum

ini adalah 100 -150 gram.

Semarang, 20 Juni 2014 Asisten Dosen:Praktikan: - Chrysentia Archinitta L.M

- Stella Mariss H.- Meilisa Lelyana D.- Katharina Nerissa A.A.

Cynthia Christinne S - Andriani Cintya S(11.70.0047)

18

Page 19: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

4. DAFTAR PUSTAKA

Anastasia; Nadia; dan Afrianto Eddy. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.

Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian Sosial–Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Budiyanto, M.A.K., (2002), Dasar-dasar Ilmu Gizi, Malang: UMM Press.

Czaja W.; Dwight R; and R. Malcolm Brown, Jr. (2004). Structural Investigations of Microbial Cellulose Produced in Stationary and Agitated Culture. Cellulose 11: 403 411.

Halib, N; M.C.I.M. Amin; dan I. Achmad. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Journal of Sains Malaysia 41 (2) (2012): 205 – 211.

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; dan S.S. Manjunatha. (2008). The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World Journal Microbiology Biotechnology (2008) 24: 2593 – 2599.

Kamarudin, S; M. Sahaid. K.; M. Sobri, T.;W. Mochtar, W.Y.; D. Radiah, A.B.; dan H. Norhasliza. (2013). Different Media Formulation on Biocellulose Production by Acetobacter xylinum (0416). Journal of Science and Technology. 21 (1): 29 – 36.

Kouda T, Naritomi T, Yano H, dan Yoshinaga F. (1997). Effects of oxygen and carbon dioxide pressures on bacterial cellulose production by Acetobacter in aerated and agitated culture. Journal of Fermentation and Bioengineering. 84: 124-127.

Melliawati, R. (2008). Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas Inokulum Pasta Nata de Coco. Jurnal Biodiversitas Volume 9, Nomor 4, halaman 255 – 258.

19

Page 20: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

20

Onifade. A.K. Jeff-Agboola, Y.A. 2003. Effect of Fungal Infectionon Proximate nutrient Composition of Coconut (Cocos Nucifera Linn) fruit. Food, Agriculture & Environment. Volume 1(2).

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. dan Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 – 77.

Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti dan M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Rizal, H.M.; D.M. Pandiangan; dan A. Saleh. (2013). Pengaruh Penambahan Gula, Asam Asetat, dan Waktu Fermentasi terhadap Kualitas Nata de Corn. Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 19. Halaman 34 – 39.

Santosa, B; Kgs. Ahmadi; dan D. Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1, No. 1, pp. 6 – 11.

Seumahu, C.A.; A. Suwanto; dan M.T. Suhartono. (2005). Dinamika Populasi Acetobacter selama Proses Fermentasi Nata de Coco. Jurnal Mikrobiologi Indonesia, Vol. 10, No. 2, pp. 75 – 78.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.

Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002). Seleksi Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35.

Page 21: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus :

Persentase Lapisan Nata =

Tinggi Ketebalan NataTinggi Media Awal

x 100%

Kelompok C1

H0 Persentase Lapisan Nata =

03

x 100% = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = 3x 100%

= %

H14 Persentase Lapisan Nata = 3x 100%

= %

Kelompok C2

H0 Persentase Lapisan Nata =

01

x 100% = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata =

0,71,8

x 100% = 38,89 %

H14 Persentase Lapisan Nata =

1,11,8

x 100%

= 61,11 %

Kelompok C3

H0 Persentase Lapisan Nata =

01

x 100% = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata =

0,71

x 100% = 70 %

H14 Persentase Lapisan Nata =

0,51

x 100%

= 50 %

Kelompok C4

H0 Persentase Lapisan Nata =

02

x 100% = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata =

0,52

x 100% = 25 %

21

Page 22: fermentasi nata de coco_Cynthia Christinne_11.70.0047_Universitas Soegijapranata

22

H14 Persentase Lapisan Nata =

1,82

x 100%

= 90 %

Kelompok C5

H0 Persentase Lapisan Nata =

01,6

x 100% = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata =

0,751,6

x 100% = 44,88%

H14 Persentase Lapisan Nata =

21,6

x 100%

= 125%

5.2. Jurnal (Abstrak)

5.3. Laporan Sementara