fermentasi substrat padat pada fermentasi kecap_matius inda tatontos_12.70.0062_a2

29
FERMENTASI SUBSTRAT PADAT PADA FERMENTASI KECAP LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh : Nama : Matius Inda Tatontos NIM : 12.70.0062 Kelompok A2

Upload: james-gomez

Post on 06-Nov-2015

42 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Kecap adalah jenis makanan tradisional yang dihasilkan melalui proses fermentasi kedelai hitam atau kacang-kacangan lainnya hingga menghasilkan cairan coklat sampai hitam yang kental. Pada praktikum ini dilakukan dengan menggunakan kedelai hitam. Inokulum yang digunakan adalah ragi tempe dengan konsentrasi 0,5%, 0,75%, dan 1%. Pada fermentasi moromi garam yang digunakan adalah 20%

TRANSCRIPT

FERMENTASI SUBSTRAT PADAT PADA FERMENTASI KECAP

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh :Nama : Matius Inda TatontosNIM : 12.70.0062Kelompok A2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan uji sensoris kecap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Uji Sensoris KecapKelompokBahan dan PerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan

A1Kedelai hitam 0,5% inokulum + cengkeh+++++++++

A2Kedelai hitam 0,75% inokulum + cengkeh++++++

A3Kedelai hitam 0,75% inokulum + daun sere+++++

A4Kedelai hitam 1% inokulum + daun sere++++++

A5Kedelai hitam 1% inokulum + pala+++++++++

Keterangan :AromaKekentalan+++: sangat kuat+++: sangat kental++: kuat++: kental+: kurang kuat+: kurang kentalWarnaRasa+++: sangat hitam+++: sangat kuat++: hitam++: kuat+: kurang hitam+: kurang kuat

Dari Tabel 1. dapat dilihat berbagai perlakuan dalam pembuatan kecap dan hasil sensori beberapa kriteria yang digunakan. Dapat dilihat bahwa hasil sensori menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Pada kelompok A1 dihasilkan kecap yang baik dengan aroma kuat, warna hitam, rasa sangat kuat, dan kental. Pada kelompok A2 terdapat sedikit perbedaan yaitu pada aroma kuat, warna kurang hitam, rasa kuat, dan kurang kental. Pada kelompok A3 kecap yang dihasilkan memiliki aroam kurang kuat, warna kurang hitam, rasa kuat, dan kurang kental. Pada kelompok A4 kecap yang dihasilkan memiliki aroam kurang kuat, warna kurang hitam, rasa kuat, dan kental. Sedangkan pada kelompok A5 kecap yang dihasilkan sama seperti A1. Namun secara umum perbedaan yang terjadi tidak terlalu jauh antara satu produk dengan produk yang lain.

1

2. PEMBAHASAN

Kecap adalah jenis makanan tradisional yang dihasilkan melalui proses fermentasi kedelai hitam atau kacang-kacangan lainnya hingga menghasilkan cairan coklat sampai hitam yang kental (Rahman, 1992). Menurut Santosa (1994) kedelai yang akan digunakan dalam proses pembuatan kecap harus bebas dari sisa tanaman, batu, tanah, biji-bijian lain, tidak luka, bebas hama dan penyakit, dan tidak memar atau rusak. Secara umum pH kecap adalah 4,9-5.0 dengan warna kecoklatan hingga hitam. Berdasarkan Kasmidjo (1990), warna hitam pada kecap disebabkan oleh reaksi antara asam amino dengan gula yang ditambahkan. Adanya asam amino dan gula yang ditambahkan disertai pemanasan pada pemasakan kecap menyebabkan terjadinya karamelisasi dan reaksi Maillard. Proses pencoklatan ini termasuk reaksi non enzimatik. Karamelisasi disebabkan oleh degradasi gula, sedangkan reaksi Maillard disebabkan karena reaksi kimia antara gula dengan asam amino.

Fermentasi dalam pembuatan kecap terdiri dari 2 tahap, yaitu fermentasi padat (fermentasi koji/tempe) dan fermentasi cair (fermentasi moromi). Kapang, bakteri, dan khamir yang digunakan pada proses fermentasi kecap terdapat secara alami di lingkungan tempat pembuatan kecap (Santoso, 1994). Kapang yang digunakan dalam fermentasi padat adalah Aspergillus sp. dan Rhizopus sp. Fermentasi oleh kapang menghasilkan 4-etilguakol, 4-etilfenol, dan 2-fenil etanol yang berperan dalam pembentukan cita rasa khas kecap. Senyawa pembentuk cita rasa khas kecap ini juga berkontribusi dalam pembentukan warna coklat (pencoklatan) karena reaksi antara komponen pembentuk citarasa dan gula (Kasmidjo, 1990). Bakteri yang berperan dalam fermentasi cair adalah Lactobacillus delbruckii dan ragi Hansenula sp.(Astawan & Astawan, 1991). Fermentasi oleh bakteri menghasilkan asam-asam organik (asam asetat, asam laktat, asam suksinat dan asam fosfat) yang berperan dalam pembentukan citarasa, warna dan umur simpan.

Proses pembuatan kecap terdiri dari 4 tahapan utama yaitu proses perebusan biji kedelai yang telah disortir, penjamuran (mold fermentation), penggaraman, dan 2perebusan akhir. Berdasarkan pendapat Santoso (1994), tahap pembuatan kecap adalah sebagai berikut:1. Penyortiranbertujuan untuk memperoleh produk kecap kedelai yang berkualitas prima.b. Pencucianbertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih melekat.c. Perebusan Ibertujuan untuk membuat kedelai lunak dan mudah dikupas kulitnya.d. Penirisanbertujuan untuk memisahkan kedelai dari air rebusan.e. PenjamuranTahap ini sangat menentukan berhasil atau tidaknya pembuatan kecap. Proses penjamuran dilakukan pada saat kedelai dingin karena jika kedelai dalam kondisi panas akan menyebabkan jamur mati. Penjamuran dilakukan dengan mengusap-usapkan bibit jamur ke kedelai hingga merata. Setelah rata, kedelai dianginanginkan dan disimpan sekitar 4-5 hari. Pada akhir proses penjamuran, biji kedelai akan ditumbuhi jamur berwarna putih merata atau berwarna kehijau-hijauan menyerupai tempe.f. PenggaramanBiji kedelai yang sudah berjamur dimasukkan ke dalam larutan garam 20%. Selama proses penggaraman perlu dilakukan penjemuran di panas matahari sambil diaduk-aduk.g. Penyaringanbertujuan untuk mendapatkan filtrat. Filtrat ini akan diolah menjadi kecap.h. Perebusan II (pemasakan)Filtrat ditambahkan dengan air lalu direbus hingga mendidih. Setelah mendidih, ditambahkan larutan gula dan bumbu-bumbu penyedap (daun sereh, salam, daun jeruk, lengkuas, pekak, kemiri, bawang putih, dan lain-lain). Proses perebusan disertai dengan proses pengadukan. Perebusan dapat dihentikan jika buih tidak terbentuk kembali.3

i. Penyaringan IIbertujuan untuk mendapatkan kecap yang bersih. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan kain saring.

2.1. Langkah KerjaBahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah kedelai hitam. Hal ini sesuai dengan Kasmidjo (1990) yang mengatakan bahwa bahan dasar pembuatan kecap adalah kedelai kuning atau hitam dalam bentuk utuh atau hancur yang sudah hilang lemaknya. Berikut ini adalah langkah kerja yang dilakukan dalam fermentasi koji praktikum ini :

Gambar 1. Diagram Alir Fermentasi Koji

Pertama-tama kedelai hitam sebanyak 250 gram direndam satu malam dengan seluruh bagian terendam. Proses ini sesuai dengan Tortora et al.(1995) yang mengatakan bahwa proses perendaman bertujuan untuk hidrasi air ke dalam biji. Proses hidrasi ini akan menyebabkan kedelai menjadi lunak, sehingga saat dimasak hanya memerlukan waktu singkat. Kasmidjo (1990) menambahkan bahwa proses perendaman akan meningkatkan berat kedelai menjadi dua kali lipat, membuat kulit ari kedelai lebih mudah terkelupas, dan dapat menghambat pertumbuhan jamur pada biji kedelai.

4Setelah direndam semalam, kedelai ditiriskan hingga kering. Setelah kering, kedelai direbus selama 10 menit (hingga empuk) dan ditiriskan kembali hingga kering dan menurun suhunya. Proses perebusan berdasarkan Tortora et al., (1995) bertujuan

untuk melunakkan biji kedelai, merusak protein inhibitor, menginaktifkan zat-zat antinutrisi, menghilangkan bau langu, dan membunuh bakteri pada permukaan kedelai. Selain itu, proses perbusan juga akan memecah protein yang terkandung di dalam kedelai. Berdasarkan Atlas (1984) kondisi kedelai hangat (setelah perebusan) akan membantu pertumbuhan jamur pada permukaan kedelai, serta dapat mengaktifkan enzim proteinase dan amilase. Enzim proteinase menguraikan protein menjadi asam amino, sedangkan enzim amilase akan memecah karbohidrat menjadi gula sederhana yang memudahkan proses fermentasi. Proses pendingingan juga penting karena jika kadar air terlalu tinggi dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri pembusuk (Bacillus subtilis) yang ditandai timbulnya lendir di permukaan biji (Tortora et al., 1995).

5Setelah proses tersebut, kedelai dimasukkan ke dalam besek beralaskan daun pisang yang telah disterilkan dengan alkohol. Pembersihan daun pisang dengan alkohol bertujuan untuk mencegah kontaminasi silang pada produk fermentasi koji. Kedelai ditambahkan dengan inokulum komersial pembuatan tempe dengan konsentrasi berbeda masing-masing kelompok. Inokulum yang digunakan oleh kelompok A1 sebanyak 0,5%, A2 dan A3 sebanyak 0,75%, serta A4 dan A5 sebanyak 1%. Inokulum yang digunakan telah sesuai dengan Santoso (1994) yaitu Rhizopus sp. Setelah tercampur, dilakukan inkubasi selama 3 hari pada suhu ruang. Setelah 3 hari, kapang tumbuh dan membentuk lembaran putih seperti tempe. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi koji telah berjalan dengan baik. Pada proses fermentasi koji akan terjadi degradasi karbohidrat dan protein oleh enzim yang dihasilkan oleh kapang (Rahayu et al., 1993). Proses inkubasi ini sesuai dengan Astawan & Astawan (1991) yang mengatakan bahwa inkubasi dapat dilakukan pada suhu ruang selama 3-5 hari. Jika waktu fermentasi terlalu singkat, enzim yang dihasilkan oleh kapang tidak akan menghasilkan komponen yang menimbulkan reaksi penting. Namun jika proses fermentasi terlalu lama, akan semakin banyak enzim yang dihasilkan yang menyebabkan cita rasa kurang baik. Setelah tahapan koji selesai, maka dilanjutkan dengan tahapan moromi. Tahapan moromi yang dilakukan dapat dilihat pada diagaram alir di bawah ini.

Gambar 2. Diagram Alir Fermentasi Moromi

6Kedelai yang telah berjamur dipotong-potong dan dikeringkan dalam dehumidifier selama 2-4 jam. Pemotongan bertujuan untuk mempercepat dan meratakan proses pengeringan serta memudahkan pelepasan filamen putih yang terbentuk. Proses pengeringan bertujuan untuk memudahkan penghilangan kapang pada permukaan kedelai. Setelah kering, kedelai dimasukkan ke dalam toples plastik. Kedelai ditambahkan dengan larutan garam 20% dalam 500 ml air dan direndam selama 1 minggu. Penambahan garam 20% ini sesuai dengan Astawan & Astawan (1991) yang mengatakan bahwa perendaman dalam larutan garam bertujuan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa sederhana hasil hidrolisis pada tahap fermentasi oleh jamur. Selain itu, proses perendaman akan menyebabkan bakteri halofilik tumbuh secara spontan. Bakteri halofilik ini berperaran dalam pembentukan flavor yang khas. Proses perendaman dalam larutan garam juga bertujuan untuk menimbulkan rasa asin, medium selektif untuk mencegah pertumbuhan mikroba berbahaya, tapi masih dapat ditumbuhi khamir dan bakteri yang diperlukan. Selama proses perendaman, setiap harinya kedelai dijemur selama 1 jam dan sesekali diaduk. Selama proses fermentasi moromi dapat terjadi kerusakan karena adanya Bacillus circulans. Hal ini berdasarkan jurnal Predisposing Factors Contributing to Spoilage of Soy Sauce by Bacillus circulans oleh Sumague, M. J. et al. (2008) yang mengatakan bahwa bakteri Bacillus circulans

termasuk bakteri halofil moderate yaitu tahan pada kadar garam yang cukup tinggi. Faktor- faktor kerusakannya yaitu pada jumlah mikroorganisme awal, tingkat keasaman, dan kandungan natrium klorida ataupun garam. Pengadukan dilakukan sebagai salah satu langkah aerasi pada larutan garam. Berdasarkan Tortora et al. (1995) pengadukan dilakukan agar larutan garam dapat merata dan memberikan udara untuk pertumbuhan khamir dan bakteri. Setelah proses fermentasi moromi selesai dilakukan, dilanjutkan dengan proses pemasakan dengan rempah dan bumbu. Berikut ini adalah tahapan proses pemasakan yang dilakukan.

Gambar 3. Diagram Alir Proses Pemasakan dan Sensori

7Setelah satu minggu perendaman, kedelai dipres dan disaring. Setelah perendaman selama 1 minggu akan dihasilkan warna air garam yang keruh (Peppler & Perlman, 1979). Air hasil penyaringan (filtrat) dimasak dengan penambahan1 kilogram gula jawa, 20 gram kayu manis, 3 gram ketumbar, 1 jentik laos, dan 1 biji pekak. Pertama-tama gula jawa ditambahkan ke dalam cairan filtrat. Setelah gula jawa larut, ditambahkan bumbu dan rempah yang lain. Penambahan gula jawa ini sesuai dengan

Santosa (1994) yang mengatakan bahwa gula kelapa digunakan untuk menentukan jenis kecap yang dihasilkan yakni kecap manis atau kecap asin. Penambahan gula jawa sesuai dengan Kasmidjo (1990) digunakan untuk meningkatkan viskositas kecap, memberikan flavor, tekstur, dan rasa yang khas dari kecap. Gula jawa juga berfungsi sebagai agen browning karena terjadi reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino yang secara langsung mempengaruhi warna coklat dari kecap. Penggunaan rempah-rempah lain sesuai dengan Astawan & Astawan (1991) yang mengatakan bahwa bumbu-bumbu penyedap akan mempengaruhi rasa dari kecap, bumbu-bumbu tersebut antara lain daun sereh, salam, daun jeruk, lengkuas, pekak, kemiri, bawang putih, dan sebagainya

Untuk kelompok A1 dan A2 ditambahkan 1 gram cengkeh, untuk kelompok A3 dan A4 ditambahkan 1 buah sereh yang digeperek, dan untuk kelompok A5 ditambahkan 1 buah pala yang diparut. Penambahan bumbu-bumbu yang berbeda ini akan memberikan aroma dan citarasa yang berebeda pada kecap. Dalam pembuatan kecap manis terdapat 2 jenis bumbu, yaitu bumbu sederhana dan bumbu lengkap. Pada bumbu sederhana ditambahkan gula, lengkuas, jahe, dan kayu manis. Pada bumbu lengkap ditambahkan kunyit, bawang putih, kemiri, dan ketumbar. Kecap manis dengan bumbu lengkap biasanya lebih disukai konsumen. Proses pemasakan disertai dengan proses pengadukan untuk menghindari kegosongan pada dasar wajan yang digunakan. Setelah cairan mengental dan matang, dimasukkan dalam wadah steril dan dilakukan uji sensori.

2.2. Perbedaan Koji dan Moromi Serta Pengaruh Jumlah Inokulum8Fermentasi dalam pembuatan kecap terdiri dari 2 tahap, yaitu fermentasi padat (fermentasi koji/tempe) dan fermentasi cair (fermentasi moromi). Pada tahapan koji digunakan kapang / yeast sebagai inokulum. Kapang yang digunakan dalam fermentasi padat adalah Aspergillus sp. dan Rhizopus sp. Pada praktikum ini fermentasi koji dilakukan dengan menggunakan inokulum komersial pembuatan tempe dengan konsentrasi berbeda masing-masing kelompok. Inokulum yang digunakan oleh kelompok A1 sebanyak 0,5%, A2 dan A3 sebanyak 0,75%, serta A4 dan A5 sebanyak 1%. Setelah 3 hari, kapang tumbuh dan membentuk lembaran putih seperti tempe. Berikut ini adalah koji yang terbentuk pada masing-masing kelompok :

Gambar 4. Koji Kelompok A1

Gambar 5. Koji Kelompok A2

9Gambar 6. Koji Kelompok A3

Gambar 7. Koji Kelompok A4

Gambar 8. Koji Kelompok A5

Dari gambar 4 - gambar 8 dapat dilihat bahwa fermentasi koji telah berjalan dengan baik. Namun dapat dilihat perbedaan pada masing-masing kelompok. Pada kelompok A1 (0,5% inokulum) tidak semua kedelai tertutup oleh miselia karena miselia yang tumbuh tidak banyak. Untuk kelompok A2 dan A3 (0,75% inokulum) pertumbuhan miselia telah menutup sebagian kedelai yang ada. Sedangkan untuk A4 dan A5 (1% inokulum) miselia yang tumbuh adalah yang terbanyak dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hasil ini sesuai dengan Kasmidjo (1990) yang mengatakan bahwa penambahan inokulum dengan konsentrasi yang kecil (0,5%) akan menghasilkan tempe kurang padat dan tidak kompak. Hal ini disebabkan karena miselia jamur yang menghubungkan kedelai hanya sedikit. Pada konsentrasi inokulum besar (0,75%-1%) miselia yang terbentuk meningkat sehingga mempengaruhi kepadatan tempe. Kadar serat kasar tempe akan meningkat dengan penambahan konsentrasi inokulum yang diberikan.

10Sementara untuk proses moromi (fermentasi cair) kedelai dimasukkan ke dalam toples plastik dan ditambahkan larutan garam 20% kemudian direndam selama 1 minggu.

Penambahan larutan garam 20% telah sesuai dengan teori oleh Astawan & Astawan (1991). Tujuan perendaman dalam larutan garam adalah untuk mengekstraksi senyawa-senyawa sederhana hasil hidrolisis pada tahap fermentasi oleh jamur. Pada saat perendaman bakteri halofilik akan tumbuh secara spontan. Bakteri halofilik akan membantu terbentuknya flavor yang khas. Selain itu, perendaman dalam larutan garam juga bertujuan untuk menimbulkan rasa asin, dan berfungsi sebagai medium selektif untuk mencegah pertumbuhan mikroba berbahaya tetapi masih memungkinkan pertumbuhan khamir dan bakteri yang diperlukan dalam pembentukan citarasa. Pada jurnal Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus oleh Purwoko dan Handajani (2007) dikatakan bahwa pembuatan kecap manis tanpa fermentasi moromi mampu menghasilkan kandungan protein terlarut dan protein total lebih tinggi daripada kecap manis dengan fermentasi moromi. Kecap manis hasil fermentasi R. oligosporus mengandung kadar protein terlarut dan protein total lebih tinggi daripada kecap manis hasil fermentasi R. oryzae.

11Pada semua kelompok tidak terdapat perbedaan pada moromi yang dihasilkan. Semua kelompok menghasilkan aroma tidak sedap, warna keruh, dan agak kental. Apabila hasil pembuatan kecap didapatkan aroma yang kurang kuat, rasa yang kurang manis, warna kurang hitam, dan kurang kental dapat disebabkan karena ragi tidak tumbuh secara maksimal. Menurut Kasmidjo (1990) hal-hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah kelembaban, suhu, dan aerasi. Fermentasi moromi ditambahkan oleh Atlas (1984) bahwa selama inkubasi larutan garam, enzim protease dan amilase dari koji menjadi aktif untuk menghidrolisis komponen-komponen protein. Protein terlalut selama fermentasi adalah 65-90%. Pada proses moromi juga akan terjadi penguraian protein menjadi asam amino oleh enzim proteinase. Untuk enzim amilase digunakan untuk memecah karbohidrat menjadi gula pereduksi yang akan mempermudah fermentasi selanjutnya. Hasil dari pemecahan gula ini adalah 4-etilguakol, 4-etilfenol dan 2-fenil etanol yang juga berperan dalam pembentukan cita rasa khas kecap. Selain itu menurut Astawan & Astawan (1991) selama fermentasi dalam larutan garam, warna larutan kecap akan berubah. Hal ini disebabkan oleh warna yang terbentuk sebagai hasil reaksi pencoklatan antara gula pereduksi dengan gugus amino dari protein.

2.3. Analisa SensoriAnalisa sensori yang pertama dilakukan adalah aroma. Penambahan jumlah inokulum menurut Rahayu et al. (1993) akan mempengaruhi aroma kecap yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah inokulum yang digunakan, maka aroma kecap akan semakin lemah. Dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa kelompok A1, A2, dan A5 memiliki aroma yang kuat, sedangkan kelompok A3 dan A4 memiliki aroma yang kuat. Data yang dihasilkan kurang sesuai dengan teori. Jika dibandingkan antara kelompok A1 (0,5%) dengan kelompok A3 (0,75%) dan A4 (1%) maka hasilnya tepat karena aroma kelompok A1 lebih kuat daripada kelompok A3 dan A4 yang kurang kuat. Namun jika dibandingkan antara A1 dengan A2 dan A5 hasilnya tidak tepat karena aroma yang ditimbulkan sama kuat. Perbedaan antara teori dengan hasil ini dapat disebabkan karena adanya penambahan bumbu yang berbeda antar kelompok. Menurut Astawan & Astawan (1991) aroma kecap ditentukan oleh bumbu karena bumbu berperan dalam menimbulkan bau dan cita rasa yang spesifik pada kecap. Sementara menurut Kasmidjo (1990) flavor spesifik kecap terutama ditentukan oleh gula jawa. Aroma dan flavor kecap dipengaruhi oleh komponen nitrogen pendukung yaitu kadaverin, putresin, arginin, histidin dan amonia. Berdasarkan Astawan & Astawan (1991) jika membentuk senyawa garam dengan asam glutamat akan menimbulkan flavor yang sedap.

12Analisa sensosri yang kedua adalah warna. Dari hasil pengamatan kelompok A1 dan A5 menghasilkan warna hitam, sedangkan kelompok A2, A3, dan A4 menghasilkan warna kurang hitam. Jumlah gula jawa yang ditambahkan pada setiap kelompok sama, yaitu 1 kg. Warna hitam yang dihasilkan pada saat pemasakan ini sesuai dengan Peppler & Perlman (1979) yang mengatakan bahwa kecap berwarna coklat kehitaman karena adanya penambahan bumbu saat pemasakan, terutama gula kelapa. Pada proses pemasakan akan terjadi karamelisasi pada gula dan Maillard antara gula reduksi dengan asam amino. Namun seharusnya warna yang dihasilkan sama pada setiap kelompok. Perbedaan ini dapat terjadi karena proses pemasakan yang tidak sama, sehingga dapat terjadi perbedaan kematangan pada setiap kelompok sehingga mempengaruhi warna yang dihasilkan. Pemasakan yang dimaksud adalah penggunaan api yang besar atau kecil. Jika api yang digunakan besar, proses Maillard (gula dan gugus asam amino) lebih cepat terjadi (Kasmidjo, 1990). Reaksi Maillard (browning non-enzimatis)

menghasilkan senyawa aromatik, melanoid, antioksidan, dan aktivitas antimikroba. Senyawa melanoid inilah yang berperan pada warna coklat-hitam yang timbul pada kecap. Dengan semakin cepatnya proses Maillard, maka akan semakin cepat terbentuk warna coklat kehitaman pada kecap. Warna yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh temperatur fermentasi moromi yang digunakan. Berdasarkan jurnal Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration oleh Wu et al. (2009) yang mengatakan bahwa temperature fermentasi moromi memberikan pengaruh yang besar pada kualitas kecap. Pada suhu 45C warna cairan adalah yang paling gelap, kandungan alkohol terendah, dan pH yang mendekati basa dibandingkan dengan suhu 25C dan 35C

Analisa sensori yang ketiga adalah rasa. Dari hasil pengamatan kelompok A1 dan A5 menghasilkan rasa yang sangat kuat, sedangkan kelompok A2, A3, dan A4 menghasilkan rasa kuat. Penambahan yang dilakukan pada setiap kelompok sama, yaitu 1 kg gula jawa, maka seharusnya rasa yang dihasilkan sama kuat. Semakin banyak jumlah gula jawa yang ditambahkan maka rasa kecap akan semakin manis. Rasa kecap yang ditentukan oleh penambahan gula jawa ini sesuai dengan Kasmidjo (1990) yang mengatakan bahwa flavor spesifik kecap ditentukan oleh gula jawa. Selain itu, menurut Yanfang (2009), rasa kecap juga dipengaruhi oleh asam amino yang dikeluarkan kecap. Jika ingin dihasilkan kecap dengan rasa yang baik, perlu diperhatikan semua komponen penyusun kecap termasuk berat dari komposisi yang digunakan. Berdasarkan Astawan & Astawan (1991) jika membentuk senyawa garam dengan asam glutamat akan menimbulkan flavor yang sedap. Perbedaan teori dengan data yang diperoleh menurut Amalia (2008) dapat terjadi karena proses pemasakan. Proses pemasakan yang terlalu lama akan menghasilkan rasa kecap yang cenderung pahit. Berdasarkan Astawan dan Astawan (1991) rasa pahit ini disebabkan karena adanya garam-garam tiramin dan kholin, asam laktat, format, fosfat, dan asetat.

13Analisa sensori yang keempat adalah kekentalan. Dari hasil pengamatan kelompok A1, A4, dan A5 menghasilkan kecap yang kental, sedangkan kelompok A2 dan A3 menghasilkan kecap yang kurang kental. Berdasarkan Kasmidjo (1990) penambahan gula jawa mempengaruhi viskositas kecap. Semakin banyak gula jawa

yang ditambahkan, viskositas kecap akan semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan antara kecap manis dengan kecap asin. Pada kecap manis jumlah gula jawa yang digunakan jauh lebih banyak daripada kecap asin, sehingga viskositas kecap manis lebih tinggi daripada kecap asin. Kekentalan kecap juga dipengaruhi oleh proses pemasakan. Api turut mempengaruhi kekentalan atau viskositas dari kecap. Jika api besar, maka kekentalan dari kecap lebih cepat terbentuk. Menurut Kasmidjo (1990) hal ini disebabkan karena proses karamelisasi antara gula dengan asam amino lebih terjadi. Selain itu kekentalan kecap juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ragi. Jika pertumbuhan ragi tidak maksimal, maka kekentalan akan menurun. Menurut Kasmidjo (1990) jika kondisi kelembaban dan aerasi yang terjadi tidak baik akan menyebabkan pertumbuhan ragi tidak sempurna. Perbedaan kekentalan yang terjadi pada praktikum ini dapat terjadi karena hal ini. Hal ini karena toples yang digunakan oleh masing-masing kelompok berbeda bentuk dan ukurannya. Hal ini tentunya mempengaruhi terutama proses aerasi. Jika pada saat pengadukan kedelai sulit diaduk karena wadah yang terlalu kecil, hal ini menghambat proses aerasi sehingga kekentalannya menurun. Secara umum dari semua hasil sensori tidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan antara satu produk dengan produk yang lain. Kecap dapat digunakan sebagai tambahan media untuk menumbuhkan koloni. Hal ini berdasarkan jurnal Peningkatan Efektivitas Media Isolasi Khamir Contoh Kecap Dengan Penambahan Kecap oleh Sugiawan (2006) yang mengatakan bahwa penambahan 10% kecap ke dalam media SDA untuk isolasi khamir dapat meningkatkan efektivitas media untuk isolasi khamir. Efektivitas kecap ini dapat meningkatkan hasil isolasi sebanyak 181%

14Selain menggunakan kedelai, kecap dapat dibuat dari kacang-kacangan lain. Berdasarkan jurnal Development of Healthy Soy Sauce from Pigeon Pea and Soybean oleh Muangthai, P., et. al. (2009) dibuat kecap dari campuran antara kedelai dengan koro. Tujuannya adalah untuk menghasilkan kecap yang rendah garam dengan kombinasi kacang koro dengan kacang kedelai. Dari beberapa formulasi yang digunakan yang optimum adalah dengan perbandingan 6:4 (koro : kedelai). Formulasi ini kemudian dilanjutkan untuk penelitian berikutnya untuk menentukan jumlah garam yang perlu ditambahkan. Dari hasil penelitian kedua, ternyata jumlah garam yang ditambahkan tidak mempengaruhi proses fermentasi yang terjadi.

Dari hal ini disimpulkan bahwa komposisi kacang koro dan kacang kedelai 6 : 4 serta garam 12% mampu menghasilkan kecap yang baik.15

3. KESIMPULAN

Kecap adalah produk fermentasi dari kedelai hitam berupa cairan coklat hitam. Fermentasi kecap terdiri dari 2 tahap, yaitu fermentasi padat (fermentasi koji) dan fermentasi cair (fermentasi moromi). Pembuatan kecap terdiri dari 4 tahap, yaitu perebusan biji kedelai, penjamuran, penggaraman, dan perebusan akhir. Perendaman biji kedelai selama 1 malam untuk hidrasi air ke dalam biji sehingga proses pemasakan hanya membutuhkan waktu singkat. Perebusan akan melunakkan biji kedelai, merusak protein inhibitor, menginaktifkan zat antinutrisi, menghilangkan bau langu, dan membunuh bakteri pada permukaan kedelai. Pengeringan dalam dehumidifier bertujuan untuk memudahkan penghilangan kapang yang melekat pada permukaan substrat dan menurunkan kadar air. Fermentasi koji dilakukan pada suhu ruang selama 3-5 hari. Pada fermentasi koji dihasilkan enzim protease yang menghidrolisis protein dalam biji kedelai. Tahap moromi (brine fermentation) adalah proses fermentasi kedelai dalam larutan garam 20%. Fungsi tahapan moromi adalah menimbulkan rasa asin dan sebagai medium selektif (dari mikroorganisme kontaminan). Gula jawa mempengaruhi rasa, aroma, warna dan kekentalan kecap. Warna kecap berasal dari reaksi antar asam-asam amino dengan gula reduksi. Aroma kecap berasal dari bumbu-bumbu dan reaksi kimiawi yang terjadi selama proses pemasakan kecap.

Semarang, 17 Juni 2015PraktikanAsisten Dosen Abigail Sharon E. Frisca MeliaMatius Inda Tatontos

12.70.0062164. DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Tika. (2008). Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/13813/2/F08tam.pdf. diakses pada tanggal 16 Juni 2015.

Astawan, M. & Astawan W. M. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New York.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe : mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Muangthai, P., Upajak P., Suwunna, P., & Patumpai, W.(2009). Development of healthy soy sauce from pigeon pea and soybean. Asian Journal of Food and Agro-Industry, 2(03), 291-301. diakses pada tanggal 16 Juni 2015.

Peppler, H. J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology, Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.

Purwoko, T dan Handajani, N.S. 2007. Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus. Jurnal Biodiversitas Volume 8(2) p:223-227. diakses pada tanggal 16 Juni 2015.

Rahayu, E.; R. Indrati; T. Utami; E. Harmayani & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi Food & Nutition. Collection. PAU Pangan & Gizi. Yogyakarta.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Sugiawan, W. (2006). Peningkatan Efektivitas Media Isolasi Khamir Contoh Kecap Dengan Penambahan Kecap. Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. diakses pada tanggal 16 Juni 2015.

Sumague, M. J. V.; R. C. Mabesa; E. I. Dizon; E. V. Carpio & N. P. Roxas. (2008). Predisposing Factors Contributing to Spoilage of Soy Sauce by Bacillus circulans.Philippine Journal of Science 137(2):105-114. diakses pada tanggal 16 Juni 2015.

17

Tortora, G. J.; R. Funke & C. L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Wu, Ta Yeong; M. S. Kan; L.F Siow; dan Lithnes Kalaivani P. (2009). Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration. diakses pada tanggal 16 Juni 2015.18

5. LAMPIRAN5.1. Laporan Sementara5.2. Jurnal19