skenario b blok 27

90
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO B BLOK 27 2015 HALAMAN JUDUL Disusun Oleh : Kelompok L4 Trie Vany Putri 04121001008 Eddy Yuristo 04121001009 Suci Larasati 04121001058 M. Salman Alfarisi 04121001060 Fitri Amaliah 04121001073 Divorian Adwiditanra 04121001088 Khairunnisa 04121001091 Galih Cahya W. 04121001094 Renita Agustina 04121001095 Asnhy Anggun D 04121001102 Ari Julian Saputra 04121001105 Bena Nadhira 04121001114 Ahmad Syaukat 04121001115 Deni Saputra 04121001141 Ayu Syartika 04121001143 Tutor : dr. Hendarmin Aulia, SU

Upload: anggun-dienputri

Post on 22-Jan-2016

54 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Fraktur Basis Cranii

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario B Blok 27

LAPORAN TUTORIALSKENARIO B BLOK 27 2015

HALAMAN JUDUL

Disusun Oleh :Kelompok L4

Trie Vany Putri 04121001008Eddy Yuristo 04121001009Suci Larasati 04121001058M. Salman Alfarisi 04121001060Fitri Amaliah 04121001073Divorian Adwiditanra 04121001088Khairunnisa 04121001091Galih Cahya W. 04121001094Renita Agustina 04121001095Asnhy Anggun D 04121001102Ari Julian Saputra 04121001105Bena Nadhira 04121001114Ahmad Syaukat 04121001115Deni Saputra 04121001141Ayu Syartika 04121001143

Tutor : dr. Hendarmin Aulia, SU

PENDIDIKAN DOKTER UMUMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2015

Page 2: Skenario B Blok 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun Laporan Tutorial Skenario B Blok 27

ini dengan baik dan tepat waktu.

Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian

dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Diharapkan pada kegiatan tutorial ini menjadi sarana bagi kami untuk belajar lebih

aplikatif dalam menjalani profesi dokter nantinya.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Hendarmin Aulia, SU

atas bimbingannya selaku tutor kami serta semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan laporan tutorial ini.

Kami menyadari laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kami

mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna perbaikan di

kesempatan mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, 25 September 201

Penyusun

ii

Page 3: Skenario B Blok 27

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii

SKENARIO B BLOK 27 TAHUN 2015..................................................................................1

I. KLARIFIKASI ISTILAH..................................................................................................1

II. IDENTIFIKASI MASALAH............................................................................................2

III. ANALISIS MASALAH.....................................................................................................3

IV. HIPOTESIS.......................................................................................................................14

V. LEARNING ISSUE..........................................................................................................15

VI. KERANGKA KONSEP...................................................................................................15

VII. SINTESIS MASALAH....................................................................................................16

ANATOMI KEPALA.................................................................................................16

TRAUMA KEPALA..................................................................................................27

TATALAKSANA KEGAWATDARURATAN TRAUMA KEPALA......................36

VISUM ET REPERTUM...........................................................................................45

VIII. KESIMPULAN.................................................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................54

iii

Page 4: Skenario B Blok 27

SKENARIO B BLOK 27 TAHUN 2015

1 jam sebelum masuk RS, Bujang 20 th, dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan

sepotong kayu. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali dan

melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat. Polisi mengantar Bujang ke RSUD untuk

dibuatkan visum et repertum, di RSUD Bujang mengeluh luka dan memar di kepala sebelah

kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan:

RR: 28 x/mnt, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50 x/mnt, GCS: E4 M6 V5, pupil isokor,

reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.

Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival bleeding (-)

Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan

dasar fraktur tulang.

Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.

Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.

Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:

Pasien ngorok, RR 24 x/mnt, Nadi 50 x/mnt, tekanan darah 140/90 mmHg,

Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang dalam

bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, refleks cahaya pupil kanan negative, refleks cahaya

pupil kiri reaktif/normal.

Pada saat itu Anda merupakan Dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang

perawat.

I. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Visum et repertum : keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas

permintaan penyidik yang berwenang mengenai

hasil pemeriksaan medik terhadap manusia baik

hidup atau mati ataupun yang diduga bagian tubuh

manusia

2. Memar : perubahan warna kulit karena adanya ekstravasasi

darah ke jaringan yang mendasarinya

1

Page 5: Skenario B Blok 27

3. Pingsan : hilangnya kesadaran pada seseorang untuk

sementara waktu

4. Hematom : kumpulan darah di luar pembuluh darah biasanya

pada tempat dimana dinding pembuluh darah

tertusuk atau mengalami trauma

5. Pupil anisokor : keadaan dimana kedua pupil tidak sama besar

ukuran dan bentuknya

6. Sub-conjuctival bleeding : perdarahan akibat rupturnya pembuluh darah di

bawah lapisan konjungtiva yaitu pembuluh darah

konjungtivalis atau episklera

7. Ngorok : suara berderak kasar yang dihasilkan oleh inspirasi

di saat tidur oleh getaran langit-langit lunak dan

uvula

8. Mengerang : mengeluarkan suara yang tidak punya arti, tidak

mengucapkan kata yang lengkap

9. GCS : Glasgow Coma Scale adalah pengukuran yang

digunakan untuk melihat kesadaran pasien dilihat

dari mata (Eye), gerakan (Movement), dan Verbal.

II. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bujang 20 th, dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong kayu 1

jam sebelum masuk RS. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar

kembali. (main problem)

2. Bujang diantar oleh polisi untuk dibuatkan visum et repertum dan mengeluh luka

dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah. (chief

complaint)

3. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:

RR: 28 x/mnt, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50 x/mnt, GCS: E4 M6 V5,

pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.

Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival bleeding (-)

Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut

tumpul dengan dasar fraktur tulang.

2

Page 6: Skenario B Blok 27

Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.

4. Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan

diri. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:

Pasien ngorok, RR 24 x/mnt, Nadi 50 x/mnt, tekanan darah 140/90 mmHg,

Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang

dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, refleks cahaya pupil kanan

negative, refleks cahaya pupil kiri reaktif/normal.

III. ANALISIS MASALAH

1. Bujang 20 th, dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong kayu 1

jam sebelum masuk RS. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar

kembali.

1) Apa saja cedera yang dapat ditimbulkan oleh trauma tumpul di kepala?

a) Kulit

L. Lecet

L. Memar

L. Robek

b) Tengkorak

Fraktur Basis Cranii

Fraktur Calvaria

c) Otak

Contusio Cerebri

Laceratio Cerebri

Oedema Cerebri

Commotio Cerebri

d) Selaput Otak

Epidural Haemorrhage

Sub dural Haemorrhage

Sub arachnoid Haemorrhage

2) Bagaimana mekanisme pingsan pada kasus ini?

Mekanisme pingsan ± 5 menit lalu sadar :

3

Page 7: Skenario B Blok 27

1. Benturan kepala proses akselerasi goncangan pada batang otak

pons turun, a. basilaris meregang perfusi ke ascending reticulo

activation system (ARAS) terganggu penurunan kesadaran

pingsan selama 5 menit stabil (ARAS kembali berfungsi) sadar

kembali

2. Akselerasi kepala hiperekstensi kepala otak membentang batang

otak terlalu kuat blokade reversible terhadap lintasan asendens

retikularis difus otak tidak mendapat input aferen kesadaran

hilang selama blokade reversibel berlangsung.

Mekanisme pingsan kembali :

Trauma kepala frakturpecahnya arteri meningea media di antara

duramater dan tengkorak pembentukan hematoma di epidural TIK

↑kompresi lobus temporalis ke arah bawah dan dalam herniasi uncus

melalui incisura tentorii menekan batang otak (ARAS) penurunan

kesadaran (pingsan) kembali

3) Bagaimana biomekanika trauma pada kasus?

Pukulan kayu kepala dibebani gaya berintensitas tinggi energi pukulan

melampaui batas elastisitas tulang tengkorak deformitas pada tulang

tengkorak

2. Bujang diantar oleh polisi untuk dibuatkan visum et repertum dan mengeluh luka

dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.

1) Bagaimana mekanisme

a. Luka di kepala sebelah kanan

Benda tumpul apabila mengenai bagian tubuh dapat menyebabkan

luka lecet, memar dan luka robek atau luka terbuka. Apabila

kekerasan benda tumpul tersebut sedemikian hebatnya maka dapat

menyebabkan patah tulang. luka terbuka atau luka robek dapat terjadi

karena kekerasan benda tumpul yang sedemikian kuat hingga

melampaui elastisitas kulit atau otot. Kekerasan benda tumpul dapat

membentuk sudut dengan permukaan kulit yang terkena. Misalnya

luka terbuka kearah kanan, maka benda tumpul berasal dari arah kiri.

4

Page 8: Skenario B Blok 27

Luka robek akibat benda tumpul dapat dibedakan dengan luka robek

akibat benda tajam. Luka robek akibat benda tumpul memiliki tepi

yang tidak teratur, terdapat jembatan jaringan yang menghubungkan

kedua tepi luka, akar rambut tampak hancur apabila mengenai bagian

berambut, disekitar luka robek sering tampak luka memar.

Benda tumpul bergerak pada korban yang diam gesekan antara

bagian benda tumpul yang runcing dengan kulit+kekuatan pukulan

luka robek

b. Memar di kepala sebelah kanan

Trauma tumpul → pecahnya kapiler dan vena → perdarahan dalam

jaringan bawah kulit/kutis

c. Nyeri kepala hebat

Fraktur di os temporal dextra ruptur a. meningea media

hematomepidural darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih

tinggi sehingga lebih cepat memancar setelah hematom bertambah

besar terlihat tanda pendesakan dan peningkatan TIK penderita

akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh

penurunan kesadaran. 

Mekanisme kompensasi.

5

Page 9: Skenario B Blok 27

d. Muntah.

Peningkatan tekanan intrakranial → penurunan perfusi ke otak →

memperberat iskemik → mengeluarkan substansi-substansi seperti

bradikinin, serotonin, fosfolipid yang menstimulasi chemoreceptor

trigger zone di medulla oblongata → muntah

2) Bagaimana syarat permohonan visum et repertum oleh penyidik?

a. Dilakukan oleh 2 orang yakni penyidik dan penyidik pembantu oleh

pihak yang berwenang. Dalam kasus ini pihak yang berwenang sebagai

penyidik ialah pejabat polisi negara dengan pangkat serendah-rendahnya

pembantu letnan dua. Dan penyidik pembantu berpangkat serendah-

rendahnya pembantu sersan dua. Bila penyidik tersebut adalah pegawai

negeri sipil, maka pangkat PNS tersebut serendah-rendahnya golongan

II/b untuk penyidik, dan II/a untuk penyidik pembantu.

b. Membawa surat permintaan keterangan ahli yang disebutkan dengan

tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau

pemeriksaan benda mayat.

KUHAP Pasal 1 ayat (1)

“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau

pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

KUHAP Pasal 6 ayat 1 jo PP 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1)

mengenai penyidik yang berhak meminta visum et repertum:

“Pejabat Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu

Letnan Dua. Penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya

Sersan Dua. Bila penyidik tersebut adalah pegawai negeri sipil,

maka kepangkatannya adalah serendah-rendahnya golongan II/b

untuk penyidik, dan II/a untuk penyidik pembantu.”

KUHAP Pasal 133 ayat (1)

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani

seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga

karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang

6

Page 10: Skenario B Blok 27

mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran

kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”

KUHAP Pasal 133 ayat (2)

”Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan

tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau

pemeriksaan bedah mayat.”

KUHAP Pasal 179 ayat (1)

“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran

kehakirnan atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan

keterangan ahli demi keadilan.”

3) Apa saja yang harus diperiksa dan ditulis pada visum et repertum?

Dalam penulisan Visum et Repertum (VeR), dianjurkan untuk dibuat

menggunakan mesin ketik. Penulisan dilakukan pada sebuah kertas putih

kosong yang harus disertakan dengan adanya kop surat yang berasal dari

institusi yang mengeluarkan VeR tersebut. Menggunakan singkatan, bahasa

asing termasuk bahasa medis tidak dianjurkan dalam pembuatan visum. Jika

terpaksa menggunakan bahasa asing, maka keterangan jelas menggunakan

bahasa Indonesia harus disertakan.

Jika dalam penulisan visum tidak berakhir pada tepi kiri format, maka

penggunaan garis pada akhir kalimat hingga ke batas ujung kanan format

harus dilakukan. Foto dapat diberikan dalam bentuk lampiran jika ternyata

dibutuhkan untuk memperjelas suatu VeR. Dalam penulisan VeR, ada 5

bagian yang harus selalu disertakan, yaitu :

Kata Pro Justisia: diletakkan di bagian kiri atas yang menjelaskan bahwa

visum yang dibuat adalah untuk tujan peradilan. Visum et repertum tidak

memerlukam materai untuk menjadikannya alat bukti yang sah.

Pendahuluan : dalam pendahuluan terdapat keterangan seperti nama

pembuat VER, institusi kesehatan, instansi penyidik lengkap dengan

permintaan dan tanggal surat permintaan. Selain itu, tempat, waktu

7

Page 11: Skenario B Blok 27

dilakukannya pemeriksaan juga harus ditulis. Jangan lupa pula sertakan

identitas korban.

Pemberitaan: menjelaskan mengenai hasil pemeriksaan yang dilakukan,

baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam.

Kesimpulan: berisi tentang pendapat dokter berdasarkan tentang

keilmuannya yang meliputi tentang jenis perlukaan, jenis kekerasan, zat

penyebab, derajat luka dan penyebab kematian

Penutup: pada bagian ini berisi kalimat baku yang selalu digunakan untuk

menutup suatu visum, yaitu “ Demikianlah visum et repertum ini saya buat

dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat

sumpah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 

Pada pasien ini belum bisa ditentukan derajat luka pada visum et

repertum

3. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:

RR: 28 x/mnt, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50 x/mnt, GCS: E4 M6 V5,

pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.

Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival bleeding (-)

Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut

tumpul dengan dasar fraktur tulang.

Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.

1) Bagaimana interpretasi dan mekanisme hasil pemeriksaan tersebut?

RR: 28 x/mnt, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50 x/mnt, GCS: E4

M6 V5, pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.

Pemeriksaan Normal Interpretasi Mekanisme

RR : 28 x/mnt 16-24

x/menit

Takipneu Cedera kepala perdarahan

epidural hematom

mendesak TIK meningkat

PCO2 meningkat di sistem

saraf pusat merangsang

medulla oblongata untuk

meningkatkan pernapasan

8

Page 12: Skenario B Blok 27

TD 130/90

mmHg

120/80

mmHg

Hipertensi Cedera kepala perdarahan

epidural hematom

mendesak TIK meningkat

peningkatan MAP untuk

mempertahankan perfusi otak

peningkatan tekanan darah

(hipertensi)

kompensasi iskemik otak.

* CPP = MAP – ICP

Nadi 50 x/mnt 60-100

mmHg

Bradikardi Cedera kepala perdarahan

epidural hematom

mendesak TIK meningkat

menurunkan aliran darah ke

otak (cerebral blood flow)

iskemia merangsang pusat

vasomotor rangsangan pada

pusat inhibisi jantung

mengakibatkan bradikardia

GCS E4M6V5 E4M6V5 Normal

pupil isokor Isokor Normal, N. III

normal

reflex cahaya :

pupil kanan

reaktif, pupil

kiri reaktif

Reaktif Normal, N. III

normal

Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival

bleeding (-)

Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata,

sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang.

Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.

9

Page 13: Skenario B Blok 27

Pemeriksaan Interpretasi Mekanisme

Regio Orbita

Dextra et sinistra:

Hematom

Abnormal:

Raccoon’s eye

tanda fraktur basis

kranii

Fraktur os temporal

merobek lapisan duramater

ekstravasasi darah pada

jaringan lunak sekitar basis

kranii perdarahan regio

periorbital raccoon’s eye

Sub-conjunctival

bleeding (-)

Normal

Regio Temporal

Dextra:

Luka ukuran 6x1 cm,

tepi tidak rata, sudut

tumpul dengan dasar

fraktur tulang.

Vulnus laceratum

(laserasi) dengan

fraktur terbuka

Trauma tumpul fraktur

terbuka luka laserasi

Regio Nasal

Tampak darah segar

mengalir dari kedua

lubang hidung.

Epistaksis Trauma fraktur basis cranii

pecahnya Aa. Ethmoidales

anterior dan/atau posterior

perdarahan mengalir dari

kedua hidung (epistaksis)

2) Apa makna klinis tidak ditemukannya sub-conjunctival bleeding?

Untuk menyingkirkan kemungkinan trauma pada bola mata, sehingga

pemeriksaan lanjutan pada mata tidak perlu dilakukan.

4. Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan

diri. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:

Pasien ngorok, RR 24 x/mnt, Nadi 50 x/mnt, tekanan darah 140/90 mmHg,

Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang

dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, refleks cahaya pupil kanan

negative, refleks cahaya pupil kiri reaktif/normal. GCS 9 (E2, M5, V2).

10

Page 14: Skenario B Blok 27

1) Bagaimana interpretasi dan mekanisme hasil pemeriksaan tersebut?

Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, Tekanan darah 140/90

mmHg

Interpretasi : terjadi obstruksi saluran napas bagian atas.

Mekanisme : pada waktu pasien tidak sadar, kemungkinan lidah jatuh

kebelakang karena tonus otot yang menurun sehingga menyumbat saluran

pernafasan dan pasien mendengkur/ngorok.

Herniasi penekanan pada medula oblongata sistem ARAS terganggu

penurunan kesadaran (GCS 9) udara yang masuk melalui mulut

mengalami turbulensi pasien ngorok

Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan

mengerang dalam bentuk kata-kata.

Interpretasi:

Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri: 2 (Eye)

Melokalisir nyeri: 5 (Motoric response)

11

Page 15: Skenario B Blok 27

Mengerang dalam bentuk kata-kata: 2 (Verbal response)

GCS = E+V+M = 2++5 = 9.

Skor GCS 9 menandakan pasien mengalami cedera kepala sedang.

Pupil anisokor dekstra, refleks cahaya pupil kanan (-), refleks cahaya

pupil kiri reaktif/normal.

Trauma tumpul temporal a. meningea media robek perdarahan epidural

(perlu pemeriksaan CT scan untuk memastikan) volume intracranial ↑

compliance pertama oleh otak mengeluarkan CSF ke ruang spinal

perdarahan masih berlangsung compliance pertama tidak adekuat

Tekanan intracranial terus ↑ pergeseran jaringan dari lobus temporal ke

pinggiran tentorium herniasi unkus menekan saraf parasimpatis n. III

tidak terjadi vasokonstriksi pupil tidak ada hambatan terhadap saraf

simpatis midriasis ipsilateral (mata kanan) pupil anisokor dextra dan

reflex cahaya pupil kanan negatif

2) Bagaimana mekanisme lucid interval?

Interval lucid merupakan gangguan kesadaran sebentar dan dengan

bekas gejala beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran

progresif disertai dengan kelainan neurologis fokal. Kemudian gejala

neurologi timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparesis, papil

edema, dan gejala herniasi transtentorial (Toyama et al, 2005).

Interval lucid bukan merupakan tanda patognomonik pada cedera

kepala dengan epidural hematom (EDH). Hal ini dikarenakan hanya 40%

pasien dengan EDH yang mengalami interval lucid. Selain itu, sepertiga dari

pasien subdural hematom (SDH) akut juga menpresentasikan adanya interval

lucid (Toyama et al, 2005).

Interval lucid terjadi karena adanya gangguan tekanan darah intra

kranial yang berubah secara mendadak di mana tubuh masih dapat

mengkompensasi dengan peningkatan tekanan darah. Pecahnya pembuluh

darah menyebabkan daerah distal tidak mendapat pasokan nutrisi sehingga

mengalami iskemik. Oleh karena itu, baroreseptor yang berada pada sinus

karotikus akan memicu sistem saraf simpatis sehingga terjadi peningkatan

tekanan darah untuk mengkompensasi iskemik (Ropper & Browen, 2005)

12

Page 16: Skenario B Blok 27

Sebelum terjadinya proses kompensasi, akan terjadi vasodepressor

sinkop (vasovagal sinkop) sebagai salah satu mekanisme pertahanan

penurunan tekanan intracranial yang mendadak. Sinkop ini dapat berdurasi

menit hingga jam tergantung dari seberapa cepat tubuh dapat

mengkompensasi (Ropper & Browen, 2005).

Ketika tubuh dapat mengkompensasi dengan suplai nutrisi yang

optimal, maka kesadaran pasien akan dapat segera kembali. Namun, apabila

perdarahan masih berlanjut, akan terjadi desakan pada parenkim otak yang

mengakibatkan penurunan kesadaran progresif, hemiparesis/ plegi sesuai

dengan focus desakan, dan herniasi yang mempengaruhi fungsi saraf

kranialis (Ropper & Browen, 2005).

Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada

epidural hematom. Kalau pada epidural hematoma dengan trauma primer

berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri

dan tidak pernah mengalami fase sadar.

3) Bagaimana manajemen tatalaksana yang harus dilakukan dokter jaga di

RSUD terhadap pasien?

Tatalaksana Awal: ABCDE

Airway

Posisikan kepala pasien dalam posisi datar, cegah head down (kepala

lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di

kepala dan meningkatkan tekanan intrakranial yang memperparah cedera

kepala.

Bersihkan muntahan dan perdarahan hidung.

Pasang oropharyngeal airway (OPA), jika setelah pemasangan OPA

pasien batuk-batuk, maka cabut OPA (batuk meningkatkan tekanan

intracranial).

Pasien dibaringkan miring, isi lambung dikosongkan melalui OGT untuk

menghindari aspirasi dari muntahan.

Pasang C-spine untuk melindungi medulla oblongata.

Breathing

Berikan oksigen 10-15 L/menit

13

Page 17: Skenario B Blok 27

Jika keadaan makin memburuk dan kesadaran pasien semakin menurun

(GCS <8), lakukan intubasi dengan pemasangan ETT.

Circulation

Cegah hipotensi, maka berikan cairang pengganti yaitu resusitasi cairan

kristaloid (Ringer Laktat) 2 iv line yang telah dihangatkan (39oC). Jika

mungkin dilakukan pemasangan kateter untuk monitor urine output.

Balut tekan pada pelipis kanan.

Nilai sumber perdarahan pada hidung dan lakukan tamponade hidung.

Disability

Periksa ulang GCS pasien

Periksa status neurologi pasien

Exposure

Lepas semua pakaian pasien dan tutup dengan selimut untuk mencegah

hipotermi.

Setelah stabil:

- Untuk membantu menurunkan tekanan intrakranial, berikan Mannitol

20% (untuk menyerap) dengan dosis awal 0,25 - 1 gr/kgBB, berikan

dalam waktu ½ - 1 jam, drip cepat, dilanjutkan pemberian dengan dosis

0,5 gr/kgBB cepat, ½ - 1 jam setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian

pertama. Furosemid (untuk mengeluarkan) 0,3 - 0,5 gr/kgBB melalui

intravena.

- Rujuk untuk intervensi bedah saraf (cedera kepala sedang kompetensi

dokter umum 3B)

IV. HIPOTESIS

Bujang 20 th, mengalami perdarahan epidural dengan fraktur temporal dekstra.

V. LEARNING ISSUE

1. Anatomi kepala

2. Trauma kepala

14

Page 18: Skenario B Blok 27

3. Tatalaksana kegawatdaruratan pada trauma kepala

4. Visum et repertum

VI. KERANGKA KONSEP

VII. SINTESIS MASALAH

ANATOMI KEPALA

A. Kulit Kepala (SCALP)

Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:

15

Pupil anisokor

Lucid intervalHerniasi Nyeri kepala hebat

Penurunan GCS Muntah

Raccoon’s eye Peningkatan TIK

Perdarahan epidural

Epistaksis anterior

Laserasi A. meningea media

Fraktur Basis cranii Memar

Laserasi SCALPFraktur Temporal Dextra

Cedera Kepala Sedang

Trauma Tumpul Kepala

Page 19: Skenario B Blok 27

Kulit kepala terdiri atas lima lapis, tiga lapisan yang pertama saling melekat dan

bergerak sebagai sebuah unit. Untuk membantu mengingat nama kelima lapisan

kulit kepala tersebut, gunakan setiap huruf dari SCALP (=kulit kepala) untuk

menunjukkan lapisan kulit kepala

Skin atau kulit, tebal dan berambut, dan mengandung banyak kelenjar sebacea

Connective Tissue atau jaringan penyambung, jaringan ikat di bawah kulit,

yang merupakan jaringan lemak fibrosa. Septa fibrosa menghubungkan kulit

dengan aponeurosis m.occipitofrontalis. Pada lapisan ini terdapat banyak

pembuluh arteri dan vena. Arteri merupakan cabang-cabang dari a. carotis

externa dan interna, dan terdapat anastomosis yang luas di antara cabang-

cabang ini.

Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat berhubungan langsung

dengan tengkorak, merupakan lembaran tendo yang tipis, yang

menghubungkan venter occipitale dan venter frontale m.occipitofrontalis.

Pinggir lateral aponeurosis melekat pada fascia temporalis. Spatium

subapomeuroticum adalah ruang potensial di bawah aponeurosis epicranial.

Dibatasi di depan dan belakang oleh origo m.occipitofrontalis dan melah ke

lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis

Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, jaringan ikat, yang

mengisi spatium subaponeuroticum dan secara longgar menghubungkan

cranium (pericranium). Jaringan areolar ini mengandung beberapa arteri kecil,

dan juga beberapa vv.emissaria yang penting. Vv.emissaria tidak berkatup dan

menghubungkan vena-vena superificial kulit kepala dengan vv.diploicae

tulang tengkorak dan dengan sinus venosus intracranialis.. Merupakan tempat

terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).

Perikranium, merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang

tengkorak. Perlu diingat bahwa sutura di antara tulang tulang tengkorak dan

periosteum pada permukaan luar tulang berlanjut dengan periosteum pada

permukaan dalam tulang-tulang tengkorak.

16

Page 20: Skenario B Blok 27

Otot-otot Kulit Kepala

M.Occipitofrontalis

Origo : otot ini mempunyai empat venter, dua occipitalis dan dua frontalis, yang

dihubungkan oleh aponeurosis. Setiap venter occipitalis berasal dari linea nuchalis

suprema ossis occipitale dan berjalan ke depan untuk melekat pada aponeurosis.

Setiap venter frontalis berasal dari kulit dan fascia superficialis alis mata, berjalan

ke belakang untuk melekat pada aponeurosis.

Persarafan : venter occipitalis dipersarafi oleh ramus auricularis n.facialis, venter

frontalis dipersarafi oleh ramus temporalis n.facialis

Fungsi : ketiga lapisan pertama kulit kepala dapat bergerak ke depan dan belakang,

jaringan ikat longgar dari lapisan keempat kulit kepala memungkinkan aponeurosis

bergerak di atas pericranium. Venter frontalis dapat menaikkan alis mata seperti

pada ekspresi keheranan dan ketakutan.

17

Page 21: Skenario B Blok 27

Persarafan Sensorik Kulit Kepala

Truncus utama saraf sensorik terletak pada fascia superficialis. Dari

anterior di garis tengah menuju ke lateral ditemukan saraf-saraf berikut ini :

N.supratrochlearis, cabang dari divisi ophtalmica n.trigeminus, membelok

di sekitar margo superior orbitalis dan berjalan ke depan di atas dahi. Mempersarafi

kulit kepala ke arah belakang sampai ke vertex. N.zygomaticotemporalis, cabang

dari divisi maxillaris n.trigeminus, mempersarafi kulit kepala di atas

pipi.N.auriculotemporales, cabang dari divisi mandibula n.trigeminus, berjalan ke

atas di samping kepala dari depan aurikula. Cabang terakhirnya mempersarafi kulit

daerah temporal. N.occipitalis minor, cabang dari plexus cervicalis (C2),

mempersarafi kulit kepala di bagian lateral regio occipitale dan kulit di atas

permukaan medial auricula. N.occipitalis major, cabang dari ramus posterior

n.cervicalis kedua, berjalan ke atas di belakang kepala dan mempersarafi kulit

sampai ke depan sejauh vertex cranii.

Pendarahan Kulit Kepala

Kulit kepala mempunyai banyak suplai darah untuk memberi makanan ke

folikel rambut, dan oleh karena itu, luka kecil akan menyebabkan perdarahan yang

banyak. Arteri terletak di dalam fascia superficialis. Dari arah anterior ke lateral,

ditemukan arteri-arteri berikut ini :

A. supratrochlearis dari a.supraorbitalis, cabang-cabang a.ophthalmica, berjalan ke

atas melalui dahi bersama dengan n.supratrochlearis dan n.supraorbitalis.

A.temporalis superficialis, cabang terminal kecil a.carotis externa, berjalan di

depan auricula bersama dengan n.auriculotemporalis. arteri ini bercabang dua,

ramus anterior dan posterior yang mendarahi kulit di daerah frontal dan temporal.

A.auricularis posterior cabang a.caroti externa, naik di belakang telinga dan

mendarahi kulit kepala di atas dan belakang telinga.

A.occipitalis, sebuah cabang a.carotis externa, berjalan ke atas dari puncak

trigonum posterior bersama dengan n.occipitalis major. Pembuluh ini mendarahi

kulit di belakang kepala sampai ke vertex cranii.

Aliran Vena Kulit Kepala

18

Page 22: Skenario B Blok 27

V.supratrochlearis dan v.supraorbitalis bersatu di pinggir medial orbita

untuk membentuk v.facialis. V.temporalis superficialis bersatu dengan v.maxillaris

di dalam substansi glandula parotidea untuk membentuk v.retromandibularis.

V.auricularis posterior bersatu denga divisi posterior v.retromandibularis, tepat di

bawah glandula parotidea, untuk membentuk v.jugularis externa. V.occipitalis

bermuara ke plexus venosus suboccipitalis, yang terletak di dasar bagian atas

trigonum posterior, kemudian plexus bermuara ke dalam v.vertebralis atau

v.jugularis interna. Vena-vena di kulit kepala beranastomosis luas satu dengan

yang lain, dihubungkan ke vv.diploicae tulang tengkorak dan sinus venosus

intracranial oleh Vv.emissariae yang tidak berkatup.

B. Tulang Tengkorak

Cavum cranii berisi otak dan meningen yang membungkusnya, bagian saraf

otak, arteri, vena dan sinus venosus.

a. Calvaria

Permukaan dalam calvaria memperlihatkan sutura coronalis, sagitalis,

lambdoidea. Pada garis tengah terdapat sulcus sagittalis yang dangkal untuk tempat

sinus sagittalis superior. Di kanan dan kiri sulcus terdapat beberapa lubang kecil,

disebut foveae granulares yang menjadi tempat lacunae laterales dan granulationes

arachnoidales. Didapatkan sejumlah alur dangkal untuk divisi anterior dan

poesterior a. et v.meningea media sewaktu keduanya berjalan di sisi tengkorak

menuju calvaria.

b. Basis Cranii

Bagian dalam basis cranii dibagi dalam tiga fossa yaitu fossa cranii

anterior, media, dan posterior. Fossa cranii anterior dipisahkan dari fossa cranii

media oleh ala minor ossis sphenoidalis, dan fossa cranii media dipisahkan dari

fossa cranii posterior oleh pars petrosa ossis temporalis.

1) Fossa Cranii Anterior

Fossa cranii anterior menampung lobus frontalis cerebri. Dibatasi di

anterior oleh permukaan dalam os.frontale, dan di garis tengah terdapat crista untuk

tempat melekatnya falx cerebri. Batas posteriornya adalah ala minor ossis

sphenoidalis yang tajam dan bersendi di lateral dengan os frontale dan bertemu

dengan angulus anteroinferior os parietale atau pterion.Ujung medial ala minor

ossis sphenoidalis membentuk processus clinoideus anterior pada masing-masing

19

Page 23: Skenario B Blok 27

sisi, yang menjadi tempat melekatnya tentorium cerebelli. Bagian tengah fossa

cranii media dibatasi di posterior oleh alur chiasma opticum.

Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh

lamina cribriformis ossis ethmoidalis di medial. Crista galli adalah tonjolan tajam

ke atas dari os ethmoidale di garis tengah dan merupakan tempat melekatnya falx

cerebri. Di antara crista galli dan crista ossis frontalis terdapat apertura kecil, yaitu

foramen cecum, untuk tempat lewatnya vena kecil dari mucosa hidung menuju ke

sinus sagittalis superior. Sepanjang crista galli terdapat celah sempit pada lamina

cribriformis untuk tempat lewatnya n.ethmoidalis anterior menuju ke cavum nasi.

Permukaan atas lamina cribriformis menyokong bulbus olfactorius, dan lubang-

lubang halus pada lamina cribrosa dilalui oleh n.olfactorius.

2) Fossa Cranii Media

Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang sempit dan bagian lateral

yang lebar. Bagian medial yang agak tinggi dibentuk oleh corpus ossis

sphenoidalis, dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan di kanan dan kiri,

yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor

ossis sphenoidalis dan di posterior oleh batas atas pars petrosa ossis temporalis. Di

lateral terletak pars squamosa ossis temporalis, ala major ossis sphenoidalis dan os

parietale. Dasar dari masing-masing bagian lateral fossa cranii media dibentuk leh

ala major ossis sphenoidalis dan pars squamosa dan petrosa ossis temporalis.

Os sphenoidale mirip kelelawar dengan corpus terletak di bagian tengah

dan ala major dan minor terbentang kanan dan kiri. Corpus ossis sphenoidalis

berisi sinus sphenoidalis yang berisi udara, yang dibatasi oleh membrana mucosa

dan berhubungan dengan rongga hidung. Sinus ini berfungsi sebagai resonator

suara. Di anterior, canalis opticus dilalui oleh n.opticus dan a.ophthalmica, sebuah

cabang dari a.carotis interna, menuju orbita. Fissura orbitalis superior, yang

merupakan celah di antara ala major dan minor ossis sphenoidalis, dilalui oleh

n.lacrimalis, n.frontalis, n.trochlearis, n.oculomotorius, n.nasociliaris, dan

n.abducens, bersama dengan v.ophthalmica superior. Sinus venosus

sphenoparietalis berjalan ke medial sepanjang pinggir posterior ala minor ossis

sphenoidalis dan bermuara ke dalam sinus cavernosus.

Foramen rotundum, terletak di belakang ujung medial fissura orbitalis

superior, menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh n.maxillaris dari

ganglion trigeminus menuju fossa pterygopalatina. Foramen ovale terletak

20

Page 24: Skenario B Blok 27

posterolateral terhadap foramen rotundum dan menembus ala major ossis

sphenoidalis dan dilalui oleh radix sensorik besar dan radix motorik kecil dari

n.mandibularis menuju ke fossa infratemporalis n.petrosus minus juga berjalan

melalui foramen ini.

Foramen spinosum yang kecil terletak posterolateral terhadap foramen

ovale dan juga menembus ala major ossis sphenoidalis. Foramen ini dilalui oleh

a.meningea media dari fossa infratemporalis menuju ke cavum cranii. Kemudian

arteri berjalan ke depan dan lateral di dalam alur pada permukaan atas pars

squamosa ossis temporalis dan ala major ossis sphenoidalis. Pembuluh ini berjalan

dalam jarak yang pendek, kemudian terbagi dalam ramus anterior dan posterior.

Ramus anterior berjalan ke depan dan atas, ke angulus anteroinferior ossis

temporalis. Di sini, arteri membuat saluran yang pendek dan dalam, kemudian

berjalan ke belakang dan atas pada os parietale. Pada tempat ini, arteri paling

mudah cedera akibat pukulan pada kepala. Ramus posterior berjalan ke belakang

dan atas, melintasi pars squamosa ossis temporalis untuk sampai os parietale.

Foramen laserum besar dan iregular terletak antara apeks pars petrosa osis

temporalis dan os sphenoidale. Muara inferior foramen laserum terisi kartilago dan

jaringan fibrosa, dan hanya sedikit pembuluh darah melalui jaringan tersebut dari

rongga tengkorak ke leher. Canalis caroticus bermuara pada sisi foramen lacerum

di atas muara inferior yang tertutup. A.carotis interna masuk ke foramen dari

canalis ini dan segera melengkung ke atas untuk sampai pada sisi corpus ossis

sphenoidalis. Di sini, arteri ini membelok ke depan dalam sinus cavernosus untuk

mencapai daerah processus clinoideus anterior. Pada tempat ini, a.carotis interna

membelok vertikal ke atas, medial terhadap processus clinoideus anterior, dan

muncul dari sinus cavernosus.

Lateral terhadap foramen lacerum terdapat lekukan pada apeks pars petrosa

ossis temporalis untuk ganglion temporalis. Pada permukaan anterior os petrosus

terdapat dua alur saraf, alur medial yang lebih besar untuk n.petrosus major, sebuah

cabang n.facialis, dan alur lateral yang lebih kecil untuk n.petrosus minor, sebuah

cabang dari plexus tymphanicus. N. petrosus major ke dalam foramen lacerum

dibawah ganglion trigeminus dan bergabung dengan n.petrosus profundus (serabut

symphatis dari sekitar a.carotis interna), untuk membentuk n.canalis pterygoidei.

N. petrosus minor berjalan ke depan ke foramen ovale.

21

Page 25: Skenario B Blok 27

N.abducens melengkung tajam ke depan, melintasi apeks os petrosus,

medial terhadap ganglion trigeminus. Di sini, saraf ini meninggalkan fossa cranii

posterior dan masuk ke dalam sinus cavernosus. Eminentia arcuata adalah

penonjolan bulat yang terdapat pada permukaan anterior os petrosus dan

ditimbulkan oleh canalis semicircularis superior yang terletak di bawahnya.

Tegmen tympani adalah lempeng tipis tulang, yang merupakan penonjolan ke

depan pars petrosa ossis temporalis dan terletak berdampingan dengan pars

squamosa tulang ini. Dari belakang ke depan, lempeng ini membentuk atap antrum

mastoideum, cavum tympani dan tuba auditiva. Lempeng tipis tulang ini

merupakan satu-satunya penyekat utama penyebaran infeksi dari dalam cavum

tympani ke lobus temporalis cerebri.

Bagian medial fossa cranii media dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis.

Di depan terdapat sulcus chiasmatis, yang berhubungan dengan chiasma opticum

dan berhubungan ke lateral dengan canalis opticus. Posterior terhadap sulcus

terdapat peninggian, disebut tuberculum sellae. Di belakang peninggian ini terdapat

cekungan dalam, yaitu sella turcica, yang merupakan tempat glandula hypophisis.

Sella turcica dibatasi di posterior oleh lempeng tulang bersegi empat yang disebut

dorsum sellae. Angulus superior dorsum sellae mempunyai dua tuberculum disebut

processus clinoideus posterior, yang menjadi tempat perlekatan dari pinggir tetap

tentorium cerebelli.

3) Fossa Cranii Posterior

Fossa cranii posterior dalam dan menampung bagian otak belakang, yaitu

cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa dibatasi oleh pinggir

superior pars petrosa ossis temporalis dan di posterior dibatasi oleh permukaan

dalam pars squamosa ossis occipitalis. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh

pars basillaris, condylaris, dan squamosa ossis occipitalis dan pars mastoideus ossis

temporalis. Atap fossa dibentuk oleh lipatan dura, tentorium cerebelli, yang terletak

di antara cerebellum di sebelah bawah dan lobus occipitalis cerebri di sebelah atas.

Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh

medulla oblongata dengan meningen yang meliputinya, pars spinalis ascendens

n.accessories, dan kedua a.vertebralis. Canalis hypoglossi terletak di atas pinggir

anterolateral foramen magnum dan dilalui oleh n.hypoglossus. Foramen jugularis

terletak di antara pinggir bawah pars petrosa ossis temporalis dan pars condylaris

ossis occipitalis. Foramen ini dilalui oleh struktur berikut ini dari depan ke

22

Page 26: Skenario B Blok 27

belakang : sinus petrosus inferior, n.IX, n.X dan n.XI, dan sinus sigmoideus yang

besar. Sinus petrosus inferior berjalan turun di dalam alur pada pinggir bawah pars

petrosa ossis temporalis untuk mencapai foramen. Sinus sigmoideus berbelok ke

bawah melalui foramen dan berlanjut sebagai v.jugularis interna.

Meatus acusticus internus menembus permukaan superior pars petrosa ossis

temporalis. Lubang ini dilalui oleh n.verstibulocochlearis dan radix motorik dan

senorik n.facialis. Crista occipitalis interna berjalan ke atas di garis tengah,

posterior terhadap foramen magnum, menuju ke protuberantia occipitalis interna.

Pada crista ini melekat falx cerebelli yang kecil, yang menutupi sinus occipitalis.

Kanan dan kiri dari protuberantia occipitalis interna terdapat alur lebar

untuk sinus transversus. Alur ini terbentang di kedua sisi, pada permukaan dalam

os occipitale, sampai ke angulus inferior atau sudut os parietale. Kemudian alur

berlanjut ke pars mastoideus ossis temporalis, dan di sini sinus transversus

berlanjut sebagai sinus sigmoideus. Sinus petrosus superior berjalan ke belakang

sepanjang pinggir atas os petrosus di dalam sebuah alur sempit dan bermuara ke

dalam sinus sigmoideus. Sewaktu berjalan turun ke foramen jugulare, sinus

sigmoideus membuat alur yang dalam pada bagian belakang os petrosus dan pars

mastoideus ossis temporalis. Di sini, sinus sigmoideus terletak tepat posterior

terhadap antrum amstoideum.

C. Meningen

Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :

1. Duramater

Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan

tabula interna atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput

arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang

subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala

pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior digaris tengah disebut bridging veins, dapat mengalami robekan serta

menyebabkan perdarahan subdural. Durameter membelah membentuk 2 sinus

yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu: sinus sagitalis superior

mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus.

Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3

posterior berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan

23

Page 27: Skenario B Blok 27

tekanan intracranial. Arteri-arteri meningea terletak pada ruang epidural,

dimana yang sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang

terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan perdarahan epidural.

3. Arachnoid

Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut

kolagen. Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan

yang berhubungan dengan dura mater dan suatu sistem trabekula yang

menghubungkan lapisan tersebut dengan pia mater. Ruangan di antara

trabekula membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan

sama sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada beberapa daerah, arachnoid

melubangi dura mater, dengan membentuk penonjolan yang membentuk

trabekula di dalam sinus venous dura mater. Bagian ini dikenal dengan vilus

arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke darah

sinus venous. Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan.

Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara arachnoid dan piameter

terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk melindungi otak bila

terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter kadang-kadang disebut sebagai

leptomeninges.

4. Piamater

Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal

bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid.

Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial.

D. Otak

1. Serebrum

Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan

durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri

terdapat pusat bicara.

2. Serebelum

Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa

posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua

hemisfer serebri.

3. Batang otak

24

Page 28: Skenario B Blok 27

Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan

kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla

spinalis. Hemisfer sendiri menurut pembagian fungsinya masih dibagi

kedalam lobus-lobus yang dibatasi oleh gyrus dan sulkus.

E. Cairan Serebrospinalis

Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau

sekitar 500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus

yang terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel

lateralis dan ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan

serebrospinal pada orang dewasa sekitar 120 mL Cairan serebrospinal setelah

diproduksi oleh pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian

melalui foramen interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke

dalam ventrikel IV melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka

di sebelah lateral dan 1 foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan

subaraknoid, melalui granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater

kemudian masuk ke aliran vena.

Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal

melebihi jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan

serebrospinal yang berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan

dari venous sinus. Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular

absorption, dural absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired

meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan

temporal horns, seringkali asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus

callosum, penegangan atau perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari cerebral

mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga fossa pituitary

(menyebabkan pituitary disfunction)

F. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :

Supratentorial : terdiri fosa kranii anterior dan media

Infratentorial : berisi fosa kranii posterior

Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak

(pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut

25

Page 29: Skenario B Blok 27

insisura tentorial. Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila

tertekan oleh masa atau edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut-serabut

parasimpatik untuk kontraksi pupil mata berada pada permukaan n. okulomotorius.

Paralisis serabut ini disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila

penekanan berlanjut menimbulkan deviasi bola mata kelateral dan bawah.

Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom

klasik herniasi tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang

sama dengan sisi pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu.

G. Sistem Sirkulasi Otak

Kebutuhan energy oksigen jaringan otak adalah sangat tinggi oleh karena itu

aliran darah ke otak absolute harus selalu berjalan mulus . suplai darah ke otak seperti

organ lain pada umumnya disusun oleh arteri–arteri dan vena-vena.

26

Page 30: Skenario B Blok 27

TRAUMA KEPALA

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang

menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan

atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain

Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada

kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh

serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah

kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi

fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :

1. Tekanan Intra Kranial

Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan

serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang

menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200

mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra

kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat

sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.

Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai

kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g),

cairan serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan

volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan

ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra

kranial (Lombardo,2003 ).

2. Hipotesa Monro-Kellie

Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga

bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya

harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih

konstan ). Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi

terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.

Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam

kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa

meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi

mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan

pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua

27

Page 31: Skenario B Blok 27

mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila

peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif

dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal

(Lombardo, 2003).

Patofisiologi Trauma Kapitis

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala

sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan

langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-

deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009).

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada

permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada

duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan

disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya

kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut

dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami

akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat

trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada

akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya

ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,

countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah

lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan

Sidharta, 2008).

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara

mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang

tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan

tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi

dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada

tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr

dkk,2009). Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus

pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade,

yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga

beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera,

28

Page 32: Skenario B Blok 27

jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan

berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah

dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi

laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam

terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada

suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat

rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan

hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi

yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak

( Lombardo, 2003 ).

Klasifikasi Trauma Kapitis

Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.

Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,

beratnya cedera, dan morfologi.

1. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul

biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan

benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya

penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara

spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar

15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan

tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau

sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma

atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak

dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita

dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari

Traumatic Brain Injury yaitu :

29

Page 33: Skenario B Blok 27

Perdarahan Epidural

Epidural hematom (EDH) adalah suatu akumulasi atau penumpukan darah

akibat trauma yang berada di antara tulang tengkorak bagian dalam dan lapisan

membran duramater, keadaan tersebut biasanya sering mendorong atau

menyebabkan peningkatan tekanan intracranial. Pada 85 – 95% pasien, trauma

terjadi akibat adanya fraktur yang hebat. Pembuluh – pembuluh darah otak yang

berada didaerah fraktur atau dekat dengan daerah fraktur akan mengalami

perdarahan.

Epidural hematom biasanya terjadi akibat tekanan yang keras terhadap

pembuluh darah yang terletak diluar duramater. Pada tulang tengkorak, tekanan

yang berlebihan pada arteri meningeal akan menyebabkan epidural hematom.

Hematoma yang terbentuk secara luas akan menyebabkan otak bagian atas dan

batang otak akan mengalami herniasi.

Gejala epidural hematom dapat berupa sakit kepala hebat yang biasanya

segera timbul, akan tetapi dapat juga baru muncul beberapa jam kemudian.

Kemudian sakit kepala tersebut akan menghilang dan akan muncul lagi setelah

beberapa jam kemudian dengan nyeri yang lebih hebat dari sebelumnya.

Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan,

pingsan, sampai koma.

Definisi 

Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara

meningen (membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma.

30

Page 34: Skenario B Blok 27

Duramater merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak

dan medulla spinalis. Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar

duramater dan hematoma dimaksudkan sebagai masa dari darah.

Etiologi 

Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya disertai dengan

fraktur pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural hematom

juga bisa disebabkan akibat pemakaian obat – obatan antikoagulan,  hemophilia,

penyakit liver, penggunaan aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi

lumbal. Spinal epidural hematom disebabkan akibat adanya kompresi pada

medulla spinalis. Gejala klinisnya tergantung pada dimana letak terjadinya

penekanan.

Patofisiologi 

Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan

saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi

kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan,

pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang

ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak

tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau

menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka

tekanan cenderung mendorong otak ke bawah, otak sebelah atas bisa terdorong

ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini

disebut dengan herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan

batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) kedalam

medulla spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak

mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan).

Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak

yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan, sangat

peka terhadap terjadinya perdarahan di sekeliling otak.

Perdarahan epidural timbul akibat cedera terhadap arteri atau vena meningeal.

Arteri yang paling sering mengalami kerusakan adalah cabang anterior arteri

meningea media. Suatu pukulan yang menimbulkan fraktur kranium pada daerah

31

Page 35: Skenario B Blok 27

anterior inferior os parietal, dapat merusak arteri. Cidera arteri dan venosa

terutama mudah terjadi jika pembuluh memasuki saluran tulang pada daerah ini.

Perdarahan yang terjadi melepaskan lapisan meningeal duramater dari

permukaan dalam kranium. Tekanan ntracranial meningkat, dan bekuan darah

yang membesar menimbulkan tekanan intra pada daerah motorik gyrus

presentralis dibawahnya. Darah juga melintas ke lateral melalui garis fraktur,

membentuk suatu pembengkakan di bawah m.temporalis.

Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga, akibat daya

kompresinya. Perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala – gejala,

sesuai dengan sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka

perdarahan epidural tanpa fraktur, menyebabkan tekanan intrakranial yang akan

cepat meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan membentuk

hematom subperiostal (sefalhematom), juga tergantung pada arteri atau vena

yang pecah maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau

perlahan – lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau

tanpa fraktur linear ataupun stelata, manifestasi neurologik akan terjadi beberapa

jam setelah trauma kapitis.

Manifestasi Klinis 

Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa –

apa

Tapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan

bangun-bangun dalam kondisi kebingungan

Beberapa penderita epidural hematom mengeluh sakit kepala

Muntah – muntah

Kejang – kejang

Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan

menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis.

Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa

saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.

Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya

peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :

o Hipertensi

32

Page 36: Skenario B Blok 27

o Bradikardi

o bradipneu

Kontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma

Dilatasi pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah

lesi, adanya gejala – gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau

herniasi.

Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang

menetap, yaitu:

o Coma

o Fixasi dan dilatasi pupil

o Deserebrasi

Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus

dicurigai adanya epidural hematom

Diagnosa

Adanya gejala neurologist merupakan langkah pertama untuk mengetahui

tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara,

membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya

disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan kemampuan pasien untuk

membuka mata yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam

keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting dilakukan.

Pada epidural hematom dan jenis lainnya dapat mengakibatkan peningkatan

tekanan intra kranial yang akan segera mempengarungi nervus kranialis ketiga

yang mengandung beberapa serabut saraf yang mengendalikan konstriksi pupil.

Tekanan yang menghambat nervus ini menyebabkan dilatasi dari pupil yang

permanen pada satu atau kedua mata. Hal tersebut merupakan indikasi yang kuat

untuk mengetahui apakah pasien telah mengalami hematoma intrakranial atau

tidak.

Untuk membedakan antara epidural, subdural dan intracranial hematom dapat

dilakukan dengan CT – Scan atau MRI. Dari hasil tersebut, maka seorang dokter

ahli bedah dapat menentukan apakah pembengkakannya terjadi pada satu sisi

33

Page 37: Skenario B Blok 27

otak yang akan mengakibatkan terjadinya pergeseran garis tengah atau mid line

shif dari otak. Apabila pergeserannya lebih dari 5 mm, maka tindakan kraniotomi

darurat mesti dilakukan.

Pada pasien dengan epidural spinal hematom, onset gejalanya dapat timbul

dengan segera, yaitu berupa nyeri punggung atau leher sesuai dengan lokasi

perdarahan yang terjadi. Batuk atau gerakan -gerakan lainnya yang dapat

meningkatkan tekanan pada batang tubuh atau vertebra dapat memperberat rasa

nyeri. Pada anak, perdarahan lebih sering terjadi pada daerah servikal (leher) dari

pada daerah toraks.

Pada saat membuat diagnosa pada spinal epidural hematom, seorang dokter

harus memutuskan apakah gejala kompresi spinal tersebut disebabkan oleh

hematom atau tumor. CT- Scan atau MRI sangat baik untuk membedakan antara

kompresi  pada medulla spinalis yang disebabkan oleh tumor atau suatu

hematom.

Diagnosa Banding

Perdarahan subarachnoid

Subdural hematom

Penatalaksanaan

Perawatan sebelum ke Rumah Sakit

Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi

suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.

Berikan O2 dan monitor

Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak

kurang dari 90 mmHg.

Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler

Perawatan di bagian Emergensi

1. Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk

mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.

34

Page 38: Skenario B Blok 27

2. Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat – obatan

sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan

sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila

diperlukan.

3. Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan

posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk

menambah drainase vena.

4. Berikan manitol 0,25 – 1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai

90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan

tekanan intra kranial.

5. Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila

sudah ada herniasi atau adanya tanda – tanda peningkatan tekanan

intrakranial (ICP).

6. Berikan phenitoin untuk kejang – kejang pada awal post trauma, karena

phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan

onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang

sebelumnya.

Terapi obat – obatan 

Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk

mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan

intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak

dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol

dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dan

memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat

propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post trauma. Pada beberapa

pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada keadaan

tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH2O, dapat digunakan norephinephrin

untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg.

Berikut adalah obat – obatan yang digunakan untuk terapi pada epidural

hematom:

o Diuretik Osmotik

Misalnya Manitol : Dosis 0,25 – 1 gr/ kg BB iv.

35

Page 39: Skenario B Blok 27

Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti

paru, dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal

jantung yang progresiv.

Fungsi: Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan  tekanan

intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi

darah otak dan kebutuhan oksigen. 

o Antiepilepsi

Misalnya Phenitoin :  Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh

lebihn dari 50    (Dilantin) mg/menit.

Kontraindikasi; pada penderita hipersensitiv, pada penyakit dengan

blok sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes.

o Fungsi: Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.

Komplikasi 

Kelainan neurologik (deficit neurologis), berupa sindrom gegar otak

dapat terjadi dalam beberapa jam sampai bebrapa bulan.

Kondisi yang kacau, baik fisik maupun mental

Kematian

Prognosa 

Prognosa biasanya baik, kematian tidak akan terjadi untuk pasien–pasien

yang belum koma sebelum operasi.

Kematian terjadi sekitar 9% pada pasien epidural hematom dengan

kesadaran yang menurun.

20% terjadi kematian terhadap pasien – pasien yang mengalami koma

yang dalam sebelum dilakukan pembedahan.

TATALAKSANA KEGAWATDARURATAN TRAUMA KEPALA

Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalam kategori ini bisa mengalami

gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:

a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi

b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ

lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas

36

Page 40: Skenario B Blok 27

c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain

d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial

e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral.

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:

a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)

Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan

hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan

pertama adalah:

o Jalan nafas (Air way)

Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi

kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa

endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi

lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan

aspirasi muntahan

o Pernafasan (Breathing)

Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.

Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,

pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik

hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema

paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat

terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen

kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai

ventilator.

o Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan

sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,

kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat

perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade

jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah

menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung

danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch

atau darah

37

Page 41: Skenario B Blok 27

b. Pemeriksaan fisik

Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,

pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan

fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap

perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya

kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi

penyebabnya.

c. Pemeriksaan radiolog

Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada

danabdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur

tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial

d. Tekanan tinggi intrakranial (TIK)

Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom

intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK

sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15

mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai

berikut:

1. Hiperventilasi

Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi

yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg

dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah

serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg

dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas

dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi

diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan

hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk

menyingkirkan hematom

2. Drainase

Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk

jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk

jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila

terjadi hidrosefalus

3. Terapi diuretik

38

Page 42: Skenario B Blok 27

o Diuretik osmotik (manitol 20%)

Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan

otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam

ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya

harus dihentikan.

Cara pemberiannya :

Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5

gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor

osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm

o Loop diuretik (Furosemid)

Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat

pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan

interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan

manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek

osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv

4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)

Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap

semua jenis terapi yang tersebut diatas.

Cara pemberiannya:

Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam

selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan

dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg

selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.

5. Streroid

Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan

tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu

sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala

6. Posisi Tidur

Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya

ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada

pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya

pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena

otak menjadi lancar.

e. Keseimbangan cairan elektrolit

39

Page 43: Skenario B Blok 27

Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya

edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan

perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch,

pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer

laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena

terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan

cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia

kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat

dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu

dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan

harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes

insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam

keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan

osmolalitas darah.

f. Nutrisi

Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali

normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi

antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin

dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan

cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik

bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari

g. Epilepsi/kejang

Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early

epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy.

Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa,

kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post

traumatik yang panjang.

Pengobatan:

o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari

o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila

cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40

mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila

setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.

40

Page 44: Skenario B Blok 27

Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat

50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral

Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko

kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan

penderita dengan amnesia post traumatik panjang

h. Komplikasi sistematik

o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi

seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii

o Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan

menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh

karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan

penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres

o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi

gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini

dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2

reseptor bloker.

o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia,

hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut

walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar

tidak memperparah kondisi pasien.

i. Neuroproteksi

Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya

kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan

neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita

cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutamat dan

asetilkolin

Tujuan utama dari pengobatan pada cedera kepala adalah menghilangkan

atau meninimalkan kelainan sekunder, karena itu pengendalian klinis dan

penanggulannya sangat penting. Adanya jarak walaupun singkat antara

proses primer dansekunder harus digunakan sebaik mungkin, waktu

tersebut dinamakan jendela terapi.

41

Page 45: Skenario B Blok 27

Kriteria Rawat Inap Dan Rujuk

Kriteria Rujuk

Kriteria Untuk Observasi Dan Perawatan :

Post trauma amnesia

Kesadaran yang menurun

Riwayat kehilangan kesadaran

Nyeri kepala sedang atau berat

Foto tampak fractur linier atau kompresi, benda asing di otak, air fluid

level

Ada tanda fractur basis

Cedera berat ditempat lain

42

Page 46: Skenario B Blok 27

Tidak ada yang menemani di rumah

Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantuan) dan

perawatan. Observasi dimaksudkan untuk menentukan sedini mungkin penyulit

atau kelainan lain yang tidak segera memberikan tanda dan gejala. Pada

penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari tata

laksana. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernafasan merupakan prioritas

utama. Pasien harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman.

Kriteria untuk di rawat inap dan di rujuk adalah dilihat dari berat ringannya

cedera kepala yang dialami penderita.

Pada penderita cedera kepala ringan dengan GCS 13-15, observasi atau

dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan abnormal,

semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedang–berat,

pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur tengkorak, rinorea-

otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah,

tidak mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia.

Bila tidak memenuhi kriteria rawat maka pasien dipulangkan dengan

diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah sakit bila dijumpai

tanda-tanda perburukan.

Pada penderita cedera kepala sedang dengan GCS 9-12, dirawat di rumah

sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik. Bila kondisi

membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi memburuk

dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera

kepala berat.

Pada kasus didapatkan skor GCS 15 sehingga disimpulkan pasien

menderita cedera kepala ringan, akan tetapi didapatkan lucid interval yang

dapat dicurigai bahwa telah terjadi perdarahan intracranial sehingga pada

pasien ini digolongkan ke cidera kepala berat.

Hematoma:

Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom

subdural (SDH), lakukan rujukan ke bagian bedah.

Indikasi bedah adalah:

43

Page 47: Skenario B Blok 27

- Pada hematom epidural: EDH simptomatik, EDH asimptomatik akut

berukuran paling tebal >1 cm (EDH yang lebih besar daripada ini akan sulit

diresorpsi), EDH pada pasien pediatrik

- Pada hematom subdural (SDH): SDH simtomatik, SDH dengan ketebalan >

1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada pediatrik

lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal di bawah ini:

a. Status neurologis

b. Status radiologis

Penanganan darurat

− Dekompresi dengan trepanasi sederhana

− Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi Operatif 

Operasi di lakukan bila terdapat:

− Volume hamatom > 30 ml atau > 44 ml

− Keadaan pasien memburuk

− Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk

fungsional saving. Jika untuk kedua tujuan tersebut maka operasinya menjadi

operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini di sebabkan oleh lesi desak

ruang.

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume:

− 25 cc = desak ruang supra tentorial

− 10 cc = desak ruang infratentorial

− 5 cc = desak ruang thalamus

Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan

− Penurunan klinis

− Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif

− Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif

44

Page 48: Skenario B Blok 27

VISUM ET REPERTUM

Definisi Visum et Repertum

Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh ahli

kedokteran forensik atau dokter bukan ahli kedokteran forensik. Keterangan ini

dibuat dalam bentuk tulisan yang dahulu dikenal sebagai Visum et Repertum

yang berisi tentang seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang

diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana.

Dasar Hukum Dari Visum et Repertum

Visum et Repertum merupakan pengganti sepenuhnya barang bukti yang

diperiksa, maka oleh karenanya pula Visum et Repertum pada hakekatnya adalah

menjadi alat bukti yang sah. Baik di dalam kitab hukum acara pidana yang lama,

yaitu RIB maupun kitab hukum acara pidana (KUHAP) tidak ada satu pasalpun

yang memuat perkataan Visum et Repetum. Hanya di dalam lembaran negara

tahun 1973 no 350 pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan bahwa visum et

repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah

atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang

mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.

Didalam KUHAP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban

dokter untuk membantu peradilan, yaitu dalam bentuk keterangan ahli, pendapat

orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter, dan surat keterangan dari seorang

ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau

suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP: pasal 187 butir

c).

Bila kita lihat perihal apa yang dimaksudkan dengan alat bukti yang sah

menurut KUHAP pasal 184 ayat 1 yaitu:

1. Keterangan saksi

2. Keterangan Ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa

Tujuan Visum et Repertum

45

Page 49: Skenario B Blok 27

Tugas seorang dokter dalam bidang Ilmu Kedoteran Forensik adalah

membantu para petugas kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam mengungkap

suatu perkara pidana yang behubungan dengan pengrusakan tubuh, kesehatan dan

nyawa manusia, sehingga bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan

kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk

kemudian mengambil kesimpulan, maka oleh karenanya pada waktu memberi

laporan dalam pemberitaan dari Visum et Repertum itu harus sesungguh-

sungguhnya dan seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan

diketemukan pada waktu pemeriksaan, dan demikian Visum et Repertum

merupakan kesaksian tertulis.

Visum et Repertum merupakan rencana (verslag) yang diberikan oleh

seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu

dilakukan pemeriksaan secara obyektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi

dan harus mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan

memuat semua kenyataan sehingga daripadanya dapat ditarik suatu kesimpulan

yang tepat.

Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana

yang tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam

proses pembuktian suatu proses perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa

manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil

pemeriksaan medik yang tertuang dalam bagian pemberitaan sehingga dapat

dianggap sebagai pengganti benda bukti. Visum et repertum juga memuat

keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksan medik tersebut

yang tertuang dalam bagian kesimpulan.

Macam-macam Visum et Repertum

1. Visum et repertum korban hidup

a. Visum et Repertum

Diberikan bila korban setelah diperiksa atau diobati, tidak terhalang

menjalankn jabatan/ mata pencaharian.

b. Visum et Repertum sementara

Diberikan apabila setelah diperiksa, ternyata:

- Korban perlu dirawat/ diobservasi

46

Page 50: Skenario B Blok 27

- Korban terhalang menjalankan pekerjaan jabatan/mata

pencaharian

Visum et repertum sementara ini dipergunakan sebagai bukti

untuk menahan terdakwa. Dan karena belum sembuh, maka

visum et repertumnya tidak memuat kualifikasi luka.

c. Visum et Repertum lanjutan

Diberikan apabila setelah dirawat/ diobservasi, ternyata:

- Korban sembuh

- Korban belum sembuh, pindah rumah sakit atau dokter lain

- Korban belum sembuh, kemudian pulang paksa atau melarikan

diri

- Korban meninggal dunia

Kualifikasi luka dalam visum et repertum lanjutan dibuat setelah

korban selesai dirawat.

2. Visum et repertum mayat

3. Visum et repertum pemeriksaan TKP

4. Visum et repertum penggalian mayat

5. Visum et repertum mengenai umur

6. Visum et repertum psikiatrik

7. Visum et repertum mengenai bukti lain

Yang Berhak Meminta Visum et Repertum adalah:

1. Penyidik

Landasan hukum:

Pasal 6 KUHAP

(1) Penyidik adalah:

a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;

b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang.

Pasal 7 KUHAP

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a

karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi;

47

Page 51: Skenario B Blok 27

b. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

Pasal 120 KUHAP

(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang

ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

Pasal 133 KUHAP

(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang

korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena

peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau

dokter dan atau ahli lainnya.

Penyidik adalah polri dengan pangkat serendah-rendahnya AIPDA

(ajudan inspektur dua), namun di daerah terpencil mungkin saja

seorang polisi berpangkat BRIPDA dapat diberi wewenang sebagai

penyidik, oleh karena di daerah tersebut tidak ada yang pangkatnya

lebih tinggi.

2. Penyidik pembantu

Landasan hukum:

Pasal 1 KUHAP

(3) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik

Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan

tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 10 KUHAP

(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik

Indonesia yang diangkat oleh Kepala kepolisian negara Republik

Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.

Pasal 11 KUHAP

Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam

Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan

dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.

Pangkat terendah untuk penyidik pembantu adalah BRIPDA (Brigadir

Dua).

48

Page 52: Skenario B Blok 27

3. Hakim Pidana

Landasan hukum:

Pasal 180

(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan

yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta

keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh

yang berkepentingan.

Hakim pidana biasanya tidak langsung meminta visum et repertum

pada dokter, akan tetapi hakim dapat memerintahkan kepada jaksa

untuk melengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) dengan vsum et

repertum, kemudian jaksa melipahkan pemberitaan hakim kepada

penyidik.

4. Hakim Perdata

Hakim perdata berwenang meminta visum et repertum. Hal ini diatur

dalam HIR (Herziene Inlands Reglement). Hal ini dikarenakan

disidang pengadilan perdata tidak ada jaksa, maka hakim perdata

dapat langsung meminta visum et repertum kepada dokter.

5. Hakim Agama

Bahwa hakim agama boleh meminta visum et repertum telah diatur

dalam undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-

ketentuan pokok kekuasaan kehakiman Pasal 10. Hakim agama hanya

mengadili perkara yang menyangkut agama Islam.

Yang Berhak Menbuat Visum et Repertum adalah:

Pasal 120 KUHAP

(1)Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat

orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

Pasal 133 KUHAP

(1)Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani

seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga

karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang

49

Page 53: Skenario B Blok 27

mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran

kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Pasal 1 KUHAP

(28)Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang

yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Seperti yang tercantum dalam pasal-pasal di atas, telah ditentukan

bahwa yang berhak membuat visum et repertum adalah:

1. Ahli kedokteran kehakiman

2. Dokter atau ahli lainnya

Tata Cara Permintaan Visum Et Repertum

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada waktu mengajukan

permintaan visum et repertum untuk korban hidup adalah:

1. Permintaan harus diajukan secara tertulis (KUHAP Pasal 133(3)).

Tidak dibenarkan meminta secara lisan, melalui telepon atau

melalui pos.

a. Di sudut kiri atas dicantumkan alamat pemohon visum et

repertum.

b. Di sudut kanan atas dijelaskan kepada siapa permintaan

visum et repertum tersebut ditujukan. Surat permintaan

visum et repertum tersebut dapat dialamatkan kepada

pimpinan Rumah Sakit atau dokter yang dikehendaki

pemohon.

c. Keterangan tentang identitas korban dengan menyebutkan

nama, jenis kelamin, umur, kebangsaan, agama, alamat, dan

pekerjaan.

d. Keterangan tentang peristiwa yang dialami korban seperti

kejahatan kesusilaan, kecelakaan lalu lintas, penganiayaan,

dan sebagainya.

e. Permintaan pengobatan dan perawatan korban.

f. Harap dilaporkan kepada pihak pemohon visum et repertum

bila korban sembuh, pindah rumah sakit lain, pulang paksa,

melarikan diri atau meninggal.

50

Page 54: Skenario B Blok 27

g. Kolom untuk keterangan lain.

h. Keterangan tentang identitas pemohon visum et repertum

dilengkapi dengan tanda tangan dan cap dinas di sudut kanan

bawah.

i. Keterangan tentang identitas penerima visum et repertum

disertai tanda tangan, tanggal dan jam di sudut kiri bawah.

2. Korban adalah barang bukti, maka surat permintaan visum et

repertum harus diserahkan sendiri oleh polisi bersama-sama

korban kepada dokter.

3. Tidak dibenarkan mengajukan surat permintaan visum et

repertum tentang peristiwa yang telah lampau mengingat rahasia

kedokteran (Instruksi Kapolri No.Inst/E/20/IX/75).

Pasal 170 KUHAP

(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya

diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari

kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal

yang dipercayakan kepada mereka.

(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk

permintaan tersebut.

Visum et Repertum Korban Hidup

Bentuk dan susunan visum et repertum korban hidup

Bentuk visum et repertum yang sekarang dipakai adalah

warisan para tokoh kedokteran kehakiman FK Unair/RSU dr.

Soetomo Surabaya, yaitu: Prof. H. Muller, Prof. Mas Soetejo, dan

Prof. Soetomo Tjokronegoro, ketiganya telah almarhum.

Bentuk visum et repertum yang telah diatur oleh pemerintah

adalah visum et repertum psikiatrik, yang tidak banyak berbeda

dengan bentuk visum et repertum diatas (Hoediyanto, 2005).

Bagian-Bagian Visum Et Repertum

1. PRO JUSTISIA

Kata ini dicantumkan di sudut kiri atas, dan dengan demikian visum et

repertum tidak perlu bermaterai.

51

Page 55: Skenario B Blok 27

2. PENDAHULUAN

Bagian ini memuat antara lain:

a. Identitas pemohon visum et repertum

b. Identitas dokter yang memeriksa/membuat visum et repertum

c. Tempat dilakukannya pemeriksaan (misalnya rumah sakit X Surabaya)

d. Tanggal dan jam dilakukannya pemeriksaan

e. Identitas korban

f. Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, dimana

korban dirawat, dan waktu korban meninggal dunia.

g. Keterangan mengenai orang yang menyerahkan atau mengantar korban

pada dokter dan waktu saat korban diterima di rumah sakit

3. PEMBERITAAN

Yang dimaksud dalam bagian ini ialah:

a. Identitas korban menurut pemeriksaan dokter, berupa umur, jenis

kelamin, tinggi dan berat badan, serta keadaan umumnya

b. Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban

c. Tindakan-tindakan atau operasi yang telah dilakukan

d. Hasil pemeriksaan tambahan atau hasil konsultasi dengan dokter lain.

Di dalam bagian ini memakai bahasa Indonesia sedemikian rupa

sehingga orang awam (bukan dokter) dapat mengerti, hanya kalau perlu

disertai istilah kedokteran/asing di belakangnya dalam kurung. Angka harus

ditulis dalam huruf, misalnya 4 cm ditulis “empat sentimeter”. Tidak

dibenarkan menulis diagnosa luka, misalnya luka bacok, luka tembak, luka

harus dilukiskan dengan kata (to describe, beschrijven).

Pemberitaan memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai apa

yang diamati, terutama apa yang dilihat dan ditemukan pada korban/benda

oleh dokter.

4. KESIMPULAN

Bagian ini berupa pendapat pribadi dari dokter yang memeriksa,

mengenai hasil pemeriksaan sesuai dengan pengetahuannya yang sebaik-

baiknya. Seseorang melakukan pengmatan dengan kelima panca indera

(penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan perabaan).

5. PENUTUP

52

Page 56: Skenario B Blok 27

Memuat kata “Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan

mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan”. Diakhiri dengan tanda

tangan, nama lengkap/NIP dokter.

Yang dimaksud dengan sumpah adalah:

- Untuk dokter pemerintah: sumpah pegawai negeri

- Untuk dokter swasta: sumpah lafal dokter yang diucapkan pada waktu

dilantik jadi dokter

- Untuk ahli lain: sumpah pegawai negeri atau disumpah khusus

Di samping hal-hal tersebut di atas perlulah diketahui pula:

- Dalam pemberitaan tidak boleh ditulis apa yang diketahui dokter dari

orang lain.

- Kesimpulan bersifat subjektif, dan jika dalam keraguan harus

berpegang pada asas “in dubio pro rea”.

Visum et repertum dibuat sejujur-jujurnya, bila sengaja menyimpang dapat

dituntut karena memberi keterangan palsu berdasarkan pasal 242 KUHP.

VIII. KESIMPULAN

Bujang 20 th, mengalami cedera kepala sedang dengan perdarahan epidural, fraktur

Basis cranii anterior, lucid interval dan tanda-tanda herniasi akibat trauma tumpul

pada kepala

53

Page 57: Skenario B Blok 27

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Committee on Trauma. 2008. Advanced Trauma Life Support.

Edisi 8. Chicago, Amerika.

Daniel D Price, MD. Chief Editor Trevor John Mills, MD, MPH. 2014. Epidural Hematoma.

http://emedicine.medscape.com/article/824029-overview Department of Emergency

Medicine, Alameda County Medical Center, Highland Hospital and Trauma Center.

Mardjono M., Sidarta P. Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan. Dian Rakyat, Jakarta,

2000. hal 255-256.

Ropper, AH & Brown, RH. 2005. Adams & Victors Prinsiples of Neurology, Eight Edition.

USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Snell R.S. Neurologi Klinik. Editor, Sjamsir, edisi ke dua, cetakan pertama. EGC, Jakarta

1996. hal 521-532Soertidewi L. 2002. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio

Serebral, Updates In Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI,

Jakarta, hal. 80.

Toyama, Y, Kobayashi, T, Nishiyama, Y, Satoh, K, Ohkawa, M, & Seki, K. 2005. CT for

Acute Stage of Closed Head Injury. Radiation Medicine, review, Vol. 23 No. 5, pp.

309-316.

.

54