skenario b blok 27
DESCRIPTION
Fraktur Basis CraniiTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIALSKENARIO B BLOK 27 2015
HALAMAN JUDUL
Disusun Oleh :Kelompok L4
Trie Vany Putri 04121001008Eddy Yuristo 04121001009Suci Larasati 04121001058M. Salman Alfarisi 04121001060Fitri Amaliah 04121001073Divorian Adwiditanra 04121001088Khairunnisa 04121001091Galih Cahya W. 04121001094Renita Agustina 04121001095Asnhy Anggun D 04121001102Ari Julian Saputra 04121001105Bena Nadhira 04121001114Ahmad Syaukat 04121001115Deni Saputra 04121001141Ayu Syartika 04121001143
Tutor : dr. Hendarmin Aulia, SU
PENDIDIKAN DOKTER UMUMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun Laporan Tutorial Skenario B Blok 27
ini dengan baik dan tepat waktu.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian
dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Diharapkan pada kegiatan tutorial ini menjadi sarana bagi kami untuk belajar lebih
aplikatif dalam menjalani profesi dokter nantinya.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Hendarmin Aulia, SU
atas bimbingannya selaku tutor kami serta semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan tutorial ini.
Kami menyadari laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna perbaikan di
kesempatan mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Palembang, 25 September 201
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii
SKENARIO B BLOK 27 TAHUN 2015..................................................................................1
I. KLARIFIKASI ISTILAH..................................................................................................1
II. IDENTIFIKASI MASALAH............................................................................................2
III. ANALISIS MASALAH.....................................................................................................3
IV. HIPOTESIS.......................................................................................................................14
V. LEARNING ISSUE..........................................................................................................15
VI. KERANGKA KONSEP...................................................................................................15
VII. SINTESIS MASALAH....................................................................................................16
ANATOMI KEPALA.................................................................................................16
TRAUMA KEPALA..................................................................................................27
TATALAKSANA KEGAWATDARURATAN TRAUMA KEPALA......................36
VISUM ET REPERTUM...........................................................................................45
VIII. KESIMPULAN.................................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................54
iii
SKENARIO B BLOK 27 TAHUN 2015
1 jam sebelum masuk RS, Bujang 20 th, dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan
sepotong kayu. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali dan
melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat. Polisi mengantar Bujang ke RSUD untuk
dibuatkan visum et repertum, di RSUD Bujang mengeluh luka dan memar di kepala sebelah
kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
RR: 28 x/mnt, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50 x/mnt, GCS: E4 M6 V5, pupil isokor,
reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival bleeding (-)
Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan
dasar fraktur tulang.
Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.
Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.
Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:
Pasien ngorok, RR 24 x/mnt, Nadi 50 x/mnt, tekanan darah 140/90 mmHg,
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang dalam
bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, refleks cahaya pupil kanan negative, refleks cahaya
pupil kiri reaktif/normal.
Pada saat itu Anda merupakan Dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang
perawat.
I. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Visum et repertum : keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas
permintaan penyidik yang berwenang mengenai
hasil pemeriksaan medik terhadap manusia baik
hidup atau mati ataupun yang diduga bagian tubuh
manusia
2. Memar : perubahan warna kulit karena adanya ekstravasasi
darah ke jaringan yang mendasarinya
1
3. Pingsan : hilangnya kesadaran pada seseorang untuk
sementara waktu
4. Hematom : kumpulan darah di luar pembuluh darah biasanya
pada tempat dimana dinding pembuluh darah
tertusuk atau mengalami trauma
5. Pupil anisokor : keadaan dimana kedua pupil tidak sama besar
ukuran dan bentuknya
6. Sub-conjuctival bleeding : perdarahan akibat rupturnya pembuluh darah di
bawah lapisan konjungtiva yaitu pembuluh darah
konjungtivalis atau episklera
7. Ngorok : suara berderak kasar yang dihasilkan oleh inspirasi
di saat tidur oleh getaran langit-langit lunak dan
uvula
8. Mengerang : mengeluarkan suara yang tidak punya arti, tidak
mengucapkan kata yang lengkap
9. GCS : Glasgow Coma Scale adalah pengukuran yang
digunakan untuk melihat kesadaran pasien dilihat
dari mata (Eye), gerakan (Movement), dan Verbal.
II. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bujang 20 th, dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong kayu 1
jam sebelum masuk RS. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar
kembali. (main problem)
2. Bujang diantar oleh polisi untuk dibuatkan visum et repertum dan mengeluh luka
dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah. (chief
complaint)
3. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
RR: 28 x/mnt, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50 x/mnt, GCS: E4 M6 V5,
pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival bleeding (-)
Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut
tumpul dengan dasar fraktur tulang.
2
Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.
4. Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan
diri. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:
Pasien ngorok, RR 24 x/mnt, Nadi 50 x/mnt, tekanan darah 140/90 mmHg,
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang
dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, refleks cahaya pupil kanan
negative, refleks cahaya pupil kiri reaktif/normal.
III. ANALISIS MASALAH
1. Bujang 20 th, dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong kayu 1
jam sebelum masuk RS. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar
kembali.
1) Apa saja cedera yang dapat ditimbulkan oleh trauma tumpul di kepala?
a) Kulit
L. Lecet
L. Memar
L. Robek
b) Tengkorak
Fraktur Basis Cranii
Fraktur Calvaria
c) Otak
Contusio Cerebri
Laceratio Cerebri
Oedema Cerebri
Commotio Cerebri
d) Selaput Otak
Epidural Haemorrhage
Sub dural Haemorrhage
Sub arachnoid Haemorrhage
2) Bagaimana mekanisme pingsan pada kasus ini?
Mekanisme pingsan ± 5 menit lalu sadar :
3
1. Benturan kepala proses akselerasi goncangan pada batang otak
pons turun, a. basilaris meregang perfusi ke ascending reticulo
activation system (ARAS) terganggu penurunan kesadaran
pingsan selama 5 menit stabil (ARAS kembali berfungsi) sadar
kembali
2. Akselerasi kepala hiperekstensi kepala otak membentang batang
otak terlalu kuat blokade reversible terhadap lintasan asendens
retikularis difus otak tidak mendapat input aferen kesadaran
hilang selama blokade reversibel berlangsung.
Mekanisme pingsan kembali :
Trauma kepala frakturpecahnya arteri meningea media di antara
duramater dan tengkorak pembentukan hematoma di epidural TIK
↑kompresi lobus temporalis ke arah bawah dan dalam herniasi uncus
melalui incisura tentorii menekan batang otak (ARAS) penurunan
kesadaran (pingsan) kembali
3) Bagaimana biomekanika trauma pada kasus?
Pukulan kayu kepala dibebani gaya berintensitas tinggi energi pukulan
melampaui batas elastisitas tulang tengkorak deformitas pada tulang
tengkorak
2. Bujang diantar oleh polisi untuk dibuatkan visum et repertum dan mengeluh luka
dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.
1) Bagaimana mekanisme
a. Luka di kepala sebelah kanan
Benda tumpul apabila mengenai bagian tubuh dapat menyebabkan
luka lecet, memar dan luka robek atau luka terbuka. Apabila
kekerasan benda tumpul tersebut sedemikian hebatnya maka dapat
menyebabkan patah tulang. luka terbuka atau luka robek dapat terjadi
karena kekerasan benda tumpul yang sedemikian kuat hingga
melampaui elastisitas kulit atau otot. Kekerasan benda tumpul dapat
membentuk sudut dengan permukaan kulit yang terkena. Misalnya
luka terbuka kearah kanan, maka benda tumpul berasal dari arah kiri.
4
Luka robek akibat benda tumpul dapat dibedakan dengan luka robek
akibat benda tajam. Luka robek akibat benda tumpul memiliki tepi
yang tidak teratur, terdapat jembatan jaringan yang menghubungkan
kedua tepi luka, akar rambut tampak hancur apabila mengenai bagian
berambut, disekitar luka robek sering tampak luka memar.
Benda tumpul bergerak pada korban yang diam gesekan antara
bagian benda tumpul yang runcing dengan kulit+kekuatan pukulan
luka robek
b. Memar di kepala sebelah kanan
Trauma tumpul → pecahnya kapiler dan vena → perdarahan dalam
jaringan bawah kulit/kutis
c. Nyeri kepala hebat
Fraktur di os temporal dextra ruptur a. meningea media
hematomepidural darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih
tinggi sehingga lebih cepat memancar setelah hematom bertambah
besar terlihat tanda pendesakan dan peningkatan TIK penderita
akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh
penurunan kesadaran.
Mekanisme kompensasi.
5
d. Muntah.
Peningkatan tekanan intrakranial → penurunan perfusi ke otak →
memperberat iskemik → mengeluarkan substansi-substansi seperti
bradikinin, serotonin, fosfolipid yang menstimulasi chemoreceptor
trigger zone di medulla oblongata → muntah
2) Bagaimana syarat permohonan visum et repertum oleh penyidik?
a. Dilakukan oleh 2 orang yakni penyidik dan penyidik pembantu oleh
pihak yang berwenang. Dalam kasus ini pihak yang berwenang sebagai
penyidik ialah pejabat polisi negara dengan pangkat serendah-rendahnya
pembantu letnan dua. Dan penyidik pembantu berpangkat serendah-
rendahnya pembantu sersan dua. Bila penyidik tersebut adalah pegawai
negeri sipil, maka pangkat PNS tersebut serendah-rendahnya golongan
II/b untuk penyidik, dan II/a untuk penyidik pembantu.
b. Membawa surat permintaan keterangan ahli yang disebutkan dengan
tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan benda mayat.
KUHAP Pasal 1 ayat (1)
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
KUHAP Pasal 6 ayat 1 jo PP 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1)
mengenai penyidik yang berhak meminta visum et repertum:
“Pejabat Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu
Letnan Dua. Penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya
Sersan Dua. Bila penyidik tersebut adalah pegawai negeri sipil,
maka kepangkatannya adalah serendah-rendahnya golongan II/b
untuk penyidik, dan II/a untuk penyidik pembantu.”
KUHAP Pasal 133 ayat (1)
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
6
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
KUHAP Pasal 133 ayat (2)
”Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan
tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.”
KUHAP Pasal 179 ayat (1)
“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakirnan atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.”
3) Apa saja yang harus diperiksa dan ditulis pada visum et repertum?
Dalam penulisan Visum et Repertum (VeR), dianjurkan untuk dibuat
menggunakan mesin ketik. Penulisan dilakukan pada sebuah kertas putih
kosong yang harus disertakan dengan adanya kop surat yang berasal dari
institusi yang mengeluarkan VeR tersebut. Menggunakan singkatan, bahasa
asing termasuk bahasa medis tidak dianjurkan dalam pembuatan visum. Jika
terpaksa menggunakan bahasa asing, maka keterangan jelas menggunakan
bahasa Indonesia harus disertakan.
Jika dalam penulisan visum tidak berakhir pada tepi kiri format, maka
penggunaan garis pada akhir kalimat hingga ke batas ujung kanan format
harus dilakukan. Foto dapat diberikan dalam bentuk lampiran jika ternyata
dibutuhkan untuk memperjelas suatu VeR. Dalam penulisan VeR, ada 5
bagian yang harus selalu disertakan, yaitu :
Kata Pro Justisia: diletakkan di bagian kiri atas yang menjelaskan bahwa
visum yang dibuat adalah untuk tujan peradilan. Visum et repertum tidak
memerlukam materai untuk menjadikannya alat bukti yang sah.
Pendahuluan : dalam pendahuluan terdapat keterangan seperti nama
pembuat VER, institusi kesehatan, instansi penyidik lengkap dengan
permintaan dan tanggal surat permintaan. Selain itu, tempat, waktu
7
dilakukannya pemeriksaan juga harus ditulis. Jangan lupa pula sertakan
identitas korban.
Pemberitaan: menjelaskan mengenai hasil pemeriksaan yang dilakukan,
baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam.
Kesimpulan: berisi tentang pendapat dokter berdasarkan tentang
keilmuannya yang meliputi tentang jenis perlukaan, jenis kekerasan, zat
penyebab, derajat luka dan penyebab kematian
Penutup: pada bagian ini berisi kalimat baku yang selalu digunakan untuk
menutup suatu visum, yaitu “ Demikianlah visum et repertum ini saya buat
dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat
sumpah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pada pasien ini belum bisa ditentukan derajat luka pada visum et
repertum
3. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
RR: 28 x/mnt, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50 x/mnt, GCS: E4 M6 V5,
pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival bleeding (-)
Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut
tumpul dengan dasar fraktur tulang.
Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.
1) Bagaimana interpretasi dan mekanisme hasil pemeriksaan tersebut?
RR: 28 x/mnt, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50 x/mnt, GCS: E4
M6 V5, pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Pemeriksaan Normal Interpretasi Mekanisme
RR : 28 x/mnt 16-24
x/menit
Takipneu Cedera kepala perdarahan
epidural hematom
mendesak TIK meningkat
PCO2 meningkat di sistem
saraf pusat merangsang
medulla oblongata untuk
meningkatkan pernapasan
8
TD 130/90
mmHg
120/80
mmHg
Hipertensi Cedera kepala perdarahan
epidural hematom
mendesak TIK meningkat
peningkatan MAP untuk
mempertahankan perfusi otak
peningkatan tekanan darah
(hipertensi)
kompensasi iskemik otak.
* CPP = MAP – ICP
Nadi 50 x/mnt 60-100
mmHg
Bradikardi Cedera kepala perdarahan
epidural hematom
mendesak TIK meningkat
menurunkan aliran darah ke
otak (cerebral blood flow)
iskemia merangsang pusat
vasomotor rangsangan pada
pusat inhibisi jantung
mengakibatkan bradikardia
GCS E4M6V5 E4M6V5 Normal
pupil isokor Isokor Normal, N. III
normal
reflex cahaya :
pupil kanan
reaktif, pupil
kiri reaktif
Reaktif Normal, N. III
normal
Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival
bleeding (-)
Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata,
sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang.
Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.
9
Pemeriksaan Interpretasi Mekanisme
Regio Orbita
Dextra et sinistra:
Hematom
Abnormal:
Raccoon’s eye
tanda fraktur basis
kranii
Fraktur os temporal
merobek lapisan duramater
ekstravasasi darah pada
jaringan lunak sekitar basis
kranii perdarahan regio
periorbital raccoon’s eye
Sub-conjunctival
bleeding (-)
Normal
Regio Temporal
Dextra:
Luka ukuran 6x1 cm,
tepi tidak rata, sudut
tumpul dengan dasar
fraktur tulang.
Vulnus laceratum
(laserasi) dengan
fraktur terbuka
Trauma tumpul fraktur
terbuka luka laserasi
Regio Nasal
Tampak darah segar
mengalir dari kedua
lubang hidung.
Epistaksis Trauma fraktur basis cranii
pecahnya Aa. Ethmoidales
anterior dan/atau posterior
perdarahan mengalir dari
kedua hidung (epistaksis)
2) Apa makna klinis tidak ditemukannya sub-conjunctival bleeding?
Untuk menyingkirkan kemungkinan trauma pada bola mata, sehingga
pemeriksaan lanjutan pada mata tidak perlu dilakukan.
4. Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan
diri. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:
Pasien ngorok, RR 24 x/mnt, Nadi 50 x/mnt, tekanan darah 140/90 mmHg,
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang
dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, refleks cahaya pupil kanan
negative, refleks cahaya pupil kiri reaktif/normal. GCS 9 (E2, M5, V2).
10
1) Bagaimana interpretasi dan mekanisme hasil pemeriksaan tersebut?
Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, Tekanan darah 140/90
mmHg
Interpretasi : terjadi obstruksi saluran napas bagian atas.
Mekanisme : pada waktu pasien tidak sadar, kemungkinan lidah jatuh
kebelakang karena tonus otot yang menurun sehingga menyumbat saluran
pernafasan dan pasien mendengkur/ngorok.
Herniasi penekanan pada medula oblongata sistem ARAS terganggu
penurunan kesadaran (GCS 9) udara yang masuk melalui mulut
mengalami turbulensi pasien ngorok
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan
mengerang dalam bentuk kata-kata.
Interpretasi:
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri: 2 (Eye)
Melokalisir nyeri: 5 (Motoric response)
11
Mengerang dalam bentuk kata-kata: 2 (Verbal response)
GCS = E+V+M = 2++5 = 9.
Skor GCS 9 menandakan pasien mengalami cedera kepala sedang.
Pupil anisokor dekstra, refleks cahaya pupil kanan (-), refleks cahaya
pupil kiri reaktif/normal.
Trauma tumpul temporal a. meningea media robek perdarahan epidural
(perlu pemeriksaan CT scan untuk memastikan) volume intracranial ↑
compliance pertama oleh otak mengeluarkan CSF ke ruang spinal
perdarahan masih berlangsung compliance pertama tidak adekuat
Tekanan intracranial terus ↑ pergeseran jaringan dari lobus temporal ke
pinggiran tentorium herniasi unkus menekan saraf parasimpatis n. III
tidak terjadi vasokonstriksi pupil tidak ada hambatan terhadap saraf
simpatis midriasis ipsilateral (mata kanan) pupil anisokor dextra dan
reflex cahaya pupil kanan negatif
2) Bagaimana mekanisme lucid interval?
Interval lucid merupakan gangguan kesadaran sebentar dan dengan
bekas gejala beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran
progresif disertai dengan kelainan neurologis fokal. Kemudian gejala
neurologi timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparesis, papil
edema, dan gejala herniasi transtentorial (Toyama et al, 2005).
Interval lucid bukan merupakan tanda patognomonik pada cedera
kepala dengan epidural hematom (EDH). Hal ini dikarenakan hanya 40%
pasien dengan EDH yang mengalami interval lucid. Selain itu, sepertiga dari
pasien subdural hematom (SDH) akut juga menpresentasikan adanya interval
lucid (Toyama et al, 2005).
Interval lucid terjadi karena adanya gangguan tekanan darah intra
kranial yang berubah secara mendadak di mana tubuh masih dapat
mengkompensasi dengan peningkatan tekanan darah. Pecahnya pembuluh
darah menyebabkan daerah distal tidak mendapat pasokan nutrisi sehingga
mengalami iskemik. Oleh karena itu, baroreseptor yang berada pada sinus
karotikus akan memicu sistem saraf simpatis sehingga terjadi peningkatan
tekanan darah untuk mengkompensasi iskemik (Ropper & Browen, 2005)
12
Sebelum terjadinya proses kompensasi, akan terjadi vasodepressor
sinkop (vasovagal sinkop) sebagai salah satu mekanisme pertahanan
penurunan tekanan intracranial yang mendadak. Sinkop ini dapat berdurasi
menit hingga jam tergantung dari seberapa cepat tubuh dapat
mengkompensasi (Ropper & Browen, 2005).
Ketika tubuh dapat mengkompensasi dengan suplai nutrisi yang
optimal, maka kesadaran pasien akan dapat segera kembali. Namun, apabila
perdarahan masih berlanjut, akan terjadi desakan pada parenkim otak yang
mengakibatkan penurunan kesadaran progresif, hemiparesis/ plegi sesuai
dengan focus desakan, dan herniasi yang mempengaruhi fungsi saraf
kranialis (Ropper & Browen, 2005).
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada
epidural hematom. Kalau pada epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri
dan tidak pernah mengalami fase sadar.
3) Bagaimana manajemen tatalaksana yang harus dilakukan dokter jaga di
RSUD terhadap pasien?
Tatalaksana Awal: ABCDE
Airway
Posisikan kepala pasien dalam posisi datar, cegah head down (kepala
lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di
kepala dan meningkatkan tekanan intrakranial yang memperparah cedera
kepala.
Bersihkan muntahan dan perdarahan hidung.
Pasang oropharyngeal airway (OPA), jika setelah pemasangan OPA
pasien batuk-batuk, maka cabut OPA (batuk meningkatkan tekanan
intracranial).
Pasien dibaringkan miring, isi lambung dikosongkan melalui OGT untuk
menghindari aspirasi dari muntahan.
Pasang C-spine untuk melindungi medulla oblongata.
Breathing
Berikan oksigen 10-15 L/menit
13
Jika keadaan makin memburuk dan kesadaran pasien semakin menurun
(GCS <8), lakukan intubasi dengan pemasangan ETT.
Circulation
Cegah hipotensi, maka berikan cairang pengganti yaitu resusitasi cairan
kristaloid (Ringer Laktat) 2 iv line yang telah dihangatkan (39oC). Jika
mungkin dilakukan pemasangan kateter untuk monitor urine output.
Balut tekan pada pelipis kanan.
Nilai sumber perdarahan pada hidung dan lakukan tamponade hidung.
Disability
Periksa ulang GCS pasien
Periksa status neurologi pasien
Exposure
Lepas semua pakaian pasien dan tutup dengan selimut untuk mencegah
hipotermi.
Setelah stabil:
- Untuk membantu menurunkan tekanan intrakranial, berikan Mannitol
20% (untuk menyerap) dengan dosis awal 0,25 - 1 gr/kgBB, berikan
dalam waktu ½ - 1 jam, drip cepat, dilanjutkan pemberian dengan dosis
0,5 gr/kgBB cepat, ½ - 1 jam setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian
pertama. Furosemid (untuk mengeluarkan) 0,3 - 0,5 gr/kgBB melalui
intravena.
- Rujuk untuk intervensi bedah saraf (cedera kepala sedang kompetensi
dokter umum 3B)
IV. HIPOTESIS
Bujang 20 th, mengalami perdarahan epidural dengan fraktur temporal dekstra.
V. LEARNING ISSUE
1. Anatomi kepala
2. Trauma kepala
14
3. Tatalaksana kegawatdaruratan pada trauma kepala
4. Visum et repertum
VI. KERANGKA KONSEP
VII. SINTESIS MASALAH
ANATOMI KEPALA
A. Kulit Kepala (SCALP)
Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:
15
Pupil anisokor
Lucid intervalHerniasi Nyeri kepala hebat
Penurunan GCS Muntah
Raccoon’s eye Peningkatan TIK
Perdarahan epidural
Epistaksis anterior
Laserasi A. meningea media
Fraktur Basis cranii Memar
Laserasi SCALPFraktur Temporal Dextra
Cedera Kepala Sedang
Trauma Tumpul Kepala
Kulit kepala terdiri atas lima lapis, tiga lapisan yang pertama saling melekat dan
bergerak sebagai sebuah unit. Untuk membantu mengingat nama kelima lapisan
kulit kepala tersebut, gunakan setiap huruf dari SCALP (=kulit kepala) untuk
menunjukkan lapisan kulit kepala
Skin atau kulit, tebal dan berambut, dan mengandung banyak kelenjar sebacea
Connective Tissue atau jaringan penyambung, jaringan ikat di bawah kulit,
yang merupakan jaringan lemak fibrosa. Septa fibrosa menghubungkan kulit
dengan aponeurosis m.occipitofrontalis. Pada lapisan ini terdapat banyak
pembuluh arteri dan vena. Arteri merupakan cabang-cabang dari a. carotis
externa dan interna, dan terdapat anastomosis yang luas di antara cabang-
cabang ini.
Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat berhubungan langsung
dengan tengkorak, merupakan lembaran tendo yang tipis, yang
menghubungkan venter occipitale dan venter frontale m.occipitofrontalis.
Pinggir lateral aponeurosis melekat pada fascia temporalis. Spatium
subapomeuroticum adalah ruang potensial di bawah aponeurosis epicranial.
Dibatasi di depan dan belakang oleh origo m.occipitofrontalis dan melah ke
lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, jaringan ikat, yang
mengisi spatium subaponeuroticum dan secara longgar menghubungkan
cranium (pericranium). Jaringan areolar ini mengandung beberapa arteri kecil,
dan juga beberapa vv.emissaria yang penting. Vv.emissaria tidak berkatup dan
menghubungkan vena-vena superificial kulit kepala dengan vv.diploicae
tulang tengkorak dan dengan sinus venosus intracranialis.. Merupakan tempat
terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
Perikranium, merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak. Perlu diingat bahwa sutura di antara tulang tulang tengkorak dan
periosteum pada permukaan luar tulang berlanjut dengan periosteum pada
permukaan dalam tulang-tulang tengkorak.
16
Otot-otot Kulit Kepala
M.Occipitofrontalis
Origo : otot ini mempunyai empat venter, dua occipitalis dan dua frontalis, yang
dihubungkan oleh aponeurosis. Setiap venter occipitalis berasal dari linea nuchalis
suprema ossis occipitale dan berjalan ke depan untuk melekat pada aponeurosis.
Setiap venter frontalis berasal dari kulit dan fascia superficialis alis mata, berjalan
ke belakang untuk melekat pada aponeurosis.
Persarafan : venter occipitalis dipersarafi oleh ramus auricularis n.facialis, venter
frontalis dipersarafi oleh ramus temporalis n.facialis
Fungsi : ketiga lapisan pertama kulit kepala dapat bergerak ke depan dan belakang,
jaringan ikat longgar dari lapisan keempat kulit kepala memungkinkan aponeurosis
bergerak di atas pericranium. Venter frontalis dapat menaikkan alis mata seperti
pada ekspresi keheranan dan ketakutan.
17
Persarafan Sensorik Kulit Kepala
Truncus utama saraf sensorik terletak pada fascia superficialis. Dari
anterior di garis tengah menuju ke lateral ditemukan saraf-saraf berikut ini :
N.supratrochlearis, cabang dari divisi ophtalmica n.trigeminus, membelok
di sekitar margo superior orbitalis dan berjalan ke depan di atas dahi. Mempersarafi
kulit kepala ke arah belakang sampai ke vertex. N.zygomaticotemporalis, cabang
dari divisi maxillaris n.trigeminus, mempersarafi kulit kepala di atas
pipi.N.auriculotemporales, cabang dari divisi mandibula n.trigeminus, berjalan ke
atas di samping kepala dari depan aurikula. Cabang terakhirnya mempersarafi kulit
daerah temporal. N.occipitalis minor, cabang dari plexus cervicalis (C2),
mempersarafi kulit kepala di bagian lateral regio occipitale dan kulit di atas
permukaan medial auricula. N.occipitalis major, cabang dari ramus posterior
n.cervicalis kedua, berjalan ke atas di belakang kepala dan mempersarafi kulit
sampai ke depan sejauh vertex cranii.
Pendarahan Kulit Kepala
Kulit kepala mempunyai banyak suplai darah untuk memberi makanan ke
folikel rambut, dan oleh karena itu, luka kecil akan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Arteri terletak di dalam fascia superficialis. Dari arah anterior ke lateral,
ditemukan arteri-arteri berikut ini :
A. supratrochlearis dari a.supraorbitalis, cabang-cabang a.ophthalmica, berjalan ke
atas melalui dahi bersama dengan n.supratrochlearis dan n.supraorbitalis.
A.temporalis superficialis, cabang terminal kecil a.carotis externa, berjalan di
depan auricula bersama dengan n.auriculotemporalis. arteri ini bercabang dua,
ramus anterior dan posterior yang mendarahi kulit di daerah frontal dan temporal.
A.auricularis posterior cabang a.caroti externa, naik di belakang telinga dan
mendarahi kulit kepala di atas dan belakang telinga.
A.occipitalis, sebuah cabang a.carotis externa, berjalan ke atas dari puncak
trigonum posterior bersama dengan n.occipitalis major. Pembuluh ini mendarahi
kulit di belakang kepala sampai ke vertex cranii.
Aliran Vena Kulit Kepala
18
V.supratrochlearis dan v.supraorbitalis bersatu di pinggir medial orbita
untuk membentuk v.facialis. V.temporalis superficialis bersatu dengan v.maxillaris
di dalam substansi glandula parotidea untuk membentuk v.retromandibularis.
V.auricularis posterior bersatu denga divisi posterior v.retromandibularis, tepat di
bawah glandula parotidea, untuk membentuk v.jugularis externa. V.occipitalis
bermuara ke plexus venosus suboccipitalis, yang terletak di dasar bagian atas
trigonum posterior, kemudian plexus bermuara ke dalam v.vertebralis atau
v.jugularis interna. Vena-vena di kulit kepala beranastomosis luas satu dengan
yang lain, dihubungkan ke vv.diploicae tulang tengkorak dan sinus venosus
intracranial oleh Vv.emissariae yang tidak berkatup.
B. Tulang Tengkorak
Cavum cranii berisi otak dan meningen yang membungkusnya, bagian saraf
otak, arteri, vena dan sinus venosus.
a. Calvaria
Permukaan dalam calvaria memperlihatkan sutura coronalis, sagitalis,
lambdoidea. Pada garis tengah terdapat sulcus sagittalis yang dangkal untuk tempat
sinus sagittalis superior. Di kanan dan kiri sulcus terdapat beberapa lubang kecil,
disebut foveae granulares yang menjadi tempat lacunae laterales dan granulationes
arachnoidales. Didapatkan sejumlah alur dangkal untuk divisi anterior dan
poesterior a. et v.meningea media sewaktu keduanya berjalan di sisi tengkorak
menuju calvaria.
b. Basis Cranii
Bagian dalam basis cranii dibagi dalam tiga fossa yaitu fossa cranii
anterior, media, dan posterior. Fossa cranii anterior dipisahkan dari fossa cranii
media oleh ala minor ossis sphenoidalis, dan fossa cranii media dipisahkan dari
fossa cranii posterior oleh pars petrosa ossis temporalis.
1) Fossa Cranii Anterior
Fossa cranii anterior menampung lobus frontalis cerebri. Dibatasi di
anterior oleh permukaan dalam os.frontale, dan di garis tengah terdapat crista untuk
tempat melekatnya falx cerebri. Batas posteriornya adalah ala minor ossis
sphenoidalis yang tajam dan bersendi di lateral dengan os frontale dan bertemu
dengan angulus anteroinferior os parietale atau pterion.Ujung medial ala minor
ossis sphenoidalis membentuk processus clinoideus anterior pada masing-masing
19
sisi, yang menjadi tempat melekatnya tentorium cerebelli. Bagian tengah fossa
cranii media dibatasi di posterior oleh alur chiasma opticum.
Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh
lamina cribriformis ossis ethmoidalis di medial. Crista galli adalah tonjolan tajam
ke atas dari os ethmoidale di garis tengah dan merupakan tempat melekatnya falx
cerebri. Di antara crista galli dan crista ossis frontalis terdapat apertura kecil, yaitu
foramen cecum, untuk tempat lewatnya vena kecil dari mucosa hidung menuju ke
sinus sagittalis superior. Sepanjang crista galli terdapat celah sempit pada lamina
cribriformis untuk tempat lewatnya n.ethmoidalis anterior menuju ke cavum nasi.
Permukaan atas lamina cribriformis menyokong bulbus olfactorius, dan lubang-
lubang halus pada lamina cribrosa dilalui oleh n.olfactorius.
2) Fossa Cranii Media
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang sempit dan bagian lateral
yang lebar. Bagian medial yang agak tinggi dibentuk oleh corpus ossis
sphenoidalis, dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan di kanan dan kiri,
yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor
ossis sphenoidalis dan di posterior oleh batas atas pars petrosa ossis temporalis. Di
lateral terletak pars squamosa ossis temporalis, ala major ossis sphenoidalis dan os
parietale. Dasar dari masing-masing bagian lateral fossa cranii media dibentuk leh
ala major ossis sphenoidalis dan pars squamosa dan petrosa ossis temporalis.
Os sphenoidale mirip kelelawar dengan corpus terletak di bagian tengah
dan ala major dan minor terbentang kanan dan kiri. Corpus ossis sphenoidalis
berisi sinus sphenoidalis yang berisi udara, yang dibatasi oleh membrana mucosa
dan berhubungan dengan rongga hidung. Sinus ini berfungsi sebagai resonator
suara. Di anterior, canalis opticus dilalui oleh n.opticus dan a.ophthalmica, sebuah
cabang dari a.carotis interna, menuju orbita. Fissura orbitalis superior, yang
merupakan celah di antara ala major dan minor ossis sphenoidalis, dilalui oleh
n.lacrimalis, n.frontalis, n.trochlearis, n.oculomotorius, n.nasociliaris, dan
n.abducens, bersama dengan v.ophthalmica superior. Sinus venosus
sphenoparietalis berjalan ke medial sepanjang pinggir posterior ala minor ossis
sphenoidalis dan bermuara ke dalam sinus cavernosus.
Foramen rotundum, terletak di belakang ujung medial fissura orbitalis
superior, menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh n.maxillaris dari
ganglion trigeminus menuju fossa pterygopalatina. Foramen ovale terletak
20
posterolateral terhadap foramen rotundum dan menembus ala major ossis
sphenoidalis dan dilalui oleh radix sensorik besar dan radix motorik kecil dari
n.mandibularis menuju ke fossa infratemporalis n.petrosus minus juga berjalan
melalui foramen ini.
Foramen spinosum yang kecil terletak posterolateral terhadap foramen
ovale dan juga menembus ala major ossis sphenoidalis. Foramen ini dilalui oleh
a.meningea media dari fossa infratemporalis menuju ke cavum cranii. Kemudian
arteri berjalan ke depan dan lateral di dalam alur pada permukaan atas pars
squamosa ossis temporalis dan ala major ossis sphenoidalis. Pembuluh ini berjalan
dalam jarak yang pendek, kemudian terbagi dalam ramus anterior dan posterior.
Ramus anterior berjalan ke depan dan atas, ke angulus anteroinferior ossis
temporalis. Di sini, arteri membuat saluran yang pendek dan dalam, kemudian
berjalan ke belakang dan atas pada os parietale. Pada tempat ini, arteri paling
mudah cedera akibat pukulan pada kepala. Ramus posterior berjalan ke belakang
dan atas, melintasi pars squamosa ossis temporalis untuk sampai os parietale.
Foramen laserum besar dan iregular terletak antara apeks pars petrosa osis
temporalis dan os sphenoidale. Muara inferior foramen laserum terisi kartilago dan
jaringan fibrosa, dan hanya sedikit pembuluh darah melalui jaringan tersebut dari
rongga tengkorak ke leher. Canalis caroticus bermuara pada sisi foramen lacerum
di atas muara inferior yang tertutup. A.carotis interna masuk ke foramen dari
canalis ini dan segera melengkung ke atas untuk sampai pada sisi corpus ossis
sphenoidalis. Di sini, arteri ini membelok ke depan dalam sinus cavernosus untuk
mencapai daerah processus clinoideus anterior. Pada tempat ini, a.carotis interna
membelok vertikal ke atas, medial terhadap processus clinoideus anterior, dan
muncul dari sinus cavernosus.
Lateral terhadap foramen lacerum terdapat lekukan pada apeks pars petrosa
ossis temporalis untuk ganglion temporalis. Pada permukaan anterior os petrosus
terdapat dua alur saraf, alur medial yang lebih besar untuk n.petrosus major, sebuah
cabang n.facialis, dan alur lateral yang lebih kecil untuk n.petrosus minor, sebuah
cabang dari plexus tymphanicus. N. petrosus major ke dalam foramen lacerum
dibawah ganglion trigeminus dan bergabung dengan n.petrosus profundus (serabut
symphatis dari sekitar a.carotis interna), untuk membentuk n.canalis pterygoidei.
N. petrosus minor berjalan ke depan ke foramen ovale.
21
N.abducens melengkung tajam ke depan, melintasi apeks os petrosus,
medial terhadap ganglion trigeminus. Di sini, saraf ini meninggalkan fossa cranii
posterior dan masuk ke dalam sinus cavernosus. Eminentia arcuata adalah
penonjolan bulat yang terdapat pada permukaan anterior os petrosus dan
ditimbulkan oleh canalis semicircularis superior yang terletak di bawahnya.
Tegmen tympani adalah lempeng tipis tulang, yang merupakan penonjolan ke
depan pars petrosa ossis temporalis dan terletak berdampingan dengan pars
squamosa tulang ini. Dari belakang ke depan, lempeng ini membentuk atap antrum
mastoideum, cavum tympani dan tuba auditiva. Lempeng tipis tulang ini
merupakan satu-satunya penyekat utama penyebaran infeksi dari dalam cavum
tympani ke lobus temporalis cerebri.
Bagian medial fossa cranii media dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis.
Di depan terdapat sulcus chiasmatis, yang berhubungan dengan chiasma opticum
dan berhubungan ke lateral dengan canalis opticus. Posterior terhadap sulcus
terdapat peninggian, disebut tuberculum sellae. Di belakang peninggian ini terdapat
cekungan dalam, yaitu sella turcica, yang merupakan tempat glandula hypophisis.
Sella turcica dibatasi di posterior oleh lempeng tulang bersegi empat yang disebut
dorsum sellae. Angulus superior dorsum sellae mempunyai dua tuberculum disebut
processus clinoideus posterior, yang menjadi tempat perlekatan dari pinggir tetap
tentorium cerebelli.
3) Fossa Cranii Posterior
Fossa cranii posterior dalam dan menampung bagian otak belakang, yaitu
cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa dibatasi oleh pinggir
superior pars petrosa ossis temporalis dan di posterior dibatasi oleh permukaan
dalam pars squamosa ossis occipitalis. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh
pars basillaris, condylaris, dan squamosa ossis occipitalis dan pars mastoideus ossis
temporalis. Atap fossa dibentuk oleh lipatan dura, tentorium cerebelli, yang terletak
di antara cerebellum di sebelah bawah dan lobus occipitalis cerebri di sebelah atas.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh
medulla oblongata dengan meningen yang meliputinya, pars spinalis ascendens
n.accessories, dan kedua a.vertebralis. Canalis hypoglossi terletak di atas pinggir
anterolateral foramen magnum dan dilalui oleh n.hypoglossus. Foramen jugularis
terletak di antara pinggir bawah pars petrosa ossis temporalis dan pars condylaris
ossis occipitalis. Foramen ini dilalui oleh struktur berikut ini dari depan ke
22
belakang : sinus petrosus inferior, n.IX, n.X dan n.XI, dan sinus sigmoideus yang
besar. Sinus petrosus inferior berjalan turun di dalam alur pada pinggir bawah pars
petrosa ossis temporalis untuk mencapai foramen. Sinus sigmoideus berbelok ke
bawah melalui foramen dan berlanjut sebagai v.jugularis interna.
Meatus acusticus internus menembus permukaan superior pars petrosa ossis
temporalis. Lubang ini dilalui oleh n.verstibulocochlearis dan radix motorik dan
senorik n.facialis. Crista occipitalis interna berjalan ke atas di garis tengah,
posterior terhadap foramen magnum, menuju ke protuberantia occipitalis interna.
Pada crista ini melekat falx cerebelli yang kecil, yang menutupi sinus occipitalis.
Kanan dan kiri dari protuberantia occipitalis interna terdapat alur lebar
untuk sinus transversus. Alur ini terbentang di kedua sisi, pada permukaan dalam
os occipitale, sampai ke angulus inferior atau sudut os parietale. Kemudian alur
berlanjut ke pars mastoideus ossis temporalis, dan di sini sinus transversus
berlanjut sebagai sinus sigmoideus. Sinus petrosus superior berjalan ke belakang
sepanjang pinggir atas os petrosus di dalam sebuah alur sempit dan bermuara ke
dalam sinus sigmoideus. Sewaktu berjalan turun ke foramen jugulare, sinus
sigmoideus membuat alur yang dalam pada bagian belakang os petrosus dan pars
mastoideus ossis temporalis. Di sini, sinus sigmoideus terletak tepat posterior
terhadap antrum amstoideum.
C. Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :
1. Duramater
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan
tabula interna atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput
arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang
subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior digaris tengah disebut bridging veins, dapat mengalami robekan serta
menyebabkan perdarahan subdural. Durameter membelah membentuk 2 sinus
yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu: sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus.
Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3
posterior berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan
23
tekanan intracranial. Arteri-arteri meningea terletak pada ruang epidural,
dimana yang sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang
terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan perdarahan epidural.
3. Arachnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut
kolagen. Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan
yang berhubungan dengan dura mater dan suatu sistem trabekula yang
menghubungkan lapisan tersebut dengan pia mater. Ruangan di antara
trabekula membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan
sama sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada beberapa daerah, arachnoid
melubangi dura mater, dengan membentuk penonjolan yang membentuk
trabekula di dalam sinus venous dura mater. Bagian ini dikenal dengan vilus
arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke darah
sinus venous. Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan.
Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara arachnoid dan piameter
terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk melindungi otak bila
terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter kadang-kadang disebut sebagai
leptomeninges.
4. Piamater
Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal
bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid.
Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial.
D. Otak
1. Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan
durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri
terdapat pusat bicara.
2. Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa
posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua
hemisfer serebri.
3. Batang otak
24
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla
spinalis. Hemisfer sendiri menurut pembagian fungsinya masih dibagi
kedalam lobus-lobus yang dibatasi oleh gyrus dan sulkus.
E. Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau
sekitar 500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus
yang terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel
lateralis dan ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan
serebrospinal pada orang dewasa sekitar 120 mL Cairan serebrospinal setelah
diproduksi oleh pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian
melalui foramen interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke
dalam ventrikel IV melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka
di sebelah lateral dan 1 foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan
subaraknoid, melalui granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater
kemudian masuk ke aliran vena.
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal
melebihi jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan
serebrospinal yang berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan
dari venous sinus. Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular
absorption, dural absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired
meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan
temporal horns, seringkali asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus
callosum, penegangan atau perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari cerebral
mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga fossa pituitary
(menyebabkan pituitary disfunction)
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
Supratentorial : terdiri fosa kranii anterior dan media
Infratentorial : berisi fosa kranii posterior
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak
(pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut
25
insisura tentorial. Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila
tertekan oleh masa atau edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut-serabut
parasimpatik untuk kontraksi pupil mata berada pada permukaan n. okulomotorius.
Paralisis serabut ini disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila
penekanan berlanjut menimbulkan deviasi bola mata kelateral dan bawah.
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom
klasik herniasi tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang
sama dengan sisi pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu.
G. Sistem Sirkulasi Otak
Kebutuhan energy oksigen jaringan otak adalah sangat tinggi oleh karena itu
aliran darah ke otak absolute harus selalu berjalan mulus . suplai darah ke otak seperti
organ lain pada umumnya disusun oleh arteri–arteri dan vena-vena.
26
TRAUMA KEPALA
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200
mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra
kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat
sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g),
cairan serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan
volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan
ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra
kranial (Lombardo,2003 ).
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga
bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya
harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih
konstan ). Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi
terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam
kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa
meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi
mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan
pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua
27
mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila
peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif
dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal
(Lombardo, 2003).
Patofisiologi Trauma Kapitis
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan
disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami
akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat
trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada
akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya
ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah
lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan
Sidharta, 2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009). Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus
pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade,
yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga
beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera,
28
jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah
dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi
laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat
rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan
hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi
yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak
( Lombardo, 2003 ).
Klasifikasi Trauma Kapitis
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar
15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan
tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau
sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma
atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak
dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari
Traumatic Brain Injury yaitu :
29
Perdarahan Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah suatu akumulasi atau penumpukan darah
akibat trauma yang berada di antara tulang tengkorak bagian dalam dan lapisan
membran duramater, keadaan tersebut biasanya sering mendorong atau
menyebabkan peningkatan tekanan intracranial. Pada 85 – 95% pasien, trauma
terjadi akibat adanya fraktur yang hebat. Pembuluh – pembuluh darah otak yang
berada didaerah fraktur atau dekat dengan daerah fraktur akan mengalami
perdarahan.
Epidural hematom biasanya terjadi akibat tekanan yang keras terhadap
pembuluh darah yang terletak diluar duramater. Pada tulang tengkorak, tekanan
yang berlebihan pada arteri meningeal akan menyebabkan epidural hematom.
Hematoma yang terbentuk secara luas akan menyebabkan otak bagian atas dan
batang otak akan mengalami herniasi.
Gejala epidural hematom dapat berupa sakit kepala hebat yang biasanya
segera timbul, akan tetapi dapat juga baru muncul beberapa jam kemudian.
Kemudian sakit kepala tersebut akan menghilang dan akan muncul lagi setelah
beberapa jam kemudian dengan nyeri yang lebih hebat dari sebelumnya.
Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan,
pingsan, sampai koma.
Definisi
Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara
meningen (membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma.
30
Duramater merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak
dan medulla spinalis. Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar
duramater dan hematoma dimaksudkan sebagai masa dari darah.
Etiologi
Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya disertai dengan
fraktur pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural hematom
juga bisa disebabkan akibat pemakaian obat – obatan antikoagulan, hemophilia,
penyakit liver, penggunaan aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi
lumbal. Spinal epidural hematom disebabkan akibat adanya kompresi pada
medulla spinalis. Gejala klinisnya tergantung pada dimana letak terjadinya
penekanan.
Patofisiologi
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan
saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi
kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan,
pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang
ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak
tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau
menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka
tekanan cenderung mendorong otak ke bawah, otak sebelah atas bisa terdorong
ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini
disebut dengan herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan
batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) kedalam
medulla spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak
mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan).
Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak
yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan, sangat
peka terhadap terjadinya perdarahan di sekeliling otak.
Perdarahan epidural timbul akibat cedera terhadap arteri atau vena meningeal.
Arteri yang paling sering mengalami kerusakan adalah cabang anterior arteri
meningea media. Suatu pukulan yang menimbulkan fraktur kranium pada daerah
31
anterior inferior os parietal, dapat merusak arteri. Cidera arteri dan venosa
terutama mudah terjadi jika pembuluh memasuki saluran tulang pada daerah ini.
Perdarahan yang terjadi melepaskan lapisan meningeal duramater dari
permukaan dalam kranium. Tekanan ntracranial meningkat, dan bekuan darah
yang membesar menimbulkan tekanan intra pada daerah motorik gyrus
presentralis dibawahnya. Darah juga melintas ke lateral melalui garis fraktur,
membentuk suatu pembengkakan di bawah m.temporalis.
Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga, akibat daya
kompresinya. Perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala – gejala,
sesuai dengan sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka
perdarahan epidural tanpa fraktur, menyebabkan tekanan intrakranial yang akan
cepat meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan membentuk
hematom subperiostal (sefalhematom), juga tergantung pada arteri atau vena
yang pecah maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau
perlahan – lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau
tanpa fraktur linear ataupun stelata, manifestasi neurologik akan terjadi beberapa
jam setelah trauma kapitis.
Manifestasi Klinis
Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa –
apa
Tapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan
bangun-bangun dalam kondisi kebingungan
Beberapa penderita epidural hematom mengeluh sakit kepala
Muntah – muntah
Kejang – kejang
Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan
menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis.
Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa
saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.
Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya
peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :
o Hipertensi
32
o Bradikardi
o bradipneu
Kontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma
Dilatasi pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah
lesi, adanya gejala – gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau
herniasi.
Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang
menetap, yaitu:
o Coma
o Fixasi dan dilatasi pupil
o Deserebrasi
Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus
dicurigai adanya epidural hematom
Diagnosa
Adanya gejala neurologist merupakan langkah pertama untuk mengetahui
tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara,
membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya
disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan kemampuan pasien untuk
membuka mata yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam
keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting dilakukan.
Pada epidural hematom dan jenis lainnya dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan intra kranial yang akan segera mempengarungi nervus kranialis ketiga
yang mengandung beberapa serabut saraf yang mengendalikan konstriksi pupil.
Tekanan yang menghambat nervus ini menyebabkan dilatasi dari pupil yang
permanen pada satu atau kedua mata. Hal tersebut merupakan indikasi yang kuat
untuk mengetahui apakah pasien telah mengalami hematoma intrakranial atau
tidak.
Untuk membedakan antara epidural, subdural dan intracranial hematom dapat
dilakukan dengan CT – Scan atau MRI. Dari hasil tersebut, maka seorang dokter
ahli bedah dapat menentukan apakah pembengkakannya terjadi pada satu sisi
33
otak yang akan mengakibatkan terjadinya pergeseran garis tengah atau mid line
shif dari otak. Apabila pergeserannya lebih dari 5 mm, maka tindakan kraniotomi
darurat mesti dilakukan.
Pada pasien dengan epidural spinal hematom, onset gejalanya dapat timbul
dengan segera, yaitu berupa nyeri punggung atau leher sesuai dengan lokasi
perdarahan yang terjadi. Batuk atau gerakan -gerakan lainnya yang dapat
meningkatkan tekanan pada batang tubuh atau vertebra dapat memperberat rasa
nyeri. Pada anak, perdarahan lebih sering terjadi pada daerah servikal (leher) dari
pada daerah toraks.
Pada saat membuat diagnosa pada spinal epidural hematom, seorang dokter
harus memutuskan apakah gejala kompresi spinal tersebut disebabkan oleh
hematom atau tumor. CT- Scan atau MRI sangat baik untuk membedakan antara
kompresi pada medulla spinalis yang disebabkan oleh tumor atau suatu
hematom.
Diagnosa Banding
Perdarahan subarachnoid
Subdural hematom
Penatalaksanaan
Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
Berikan O2 dan monitor
Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak
kurang dari 90 mmHg.
Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
Perawatan di bagian Emergensi
1. Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
34
2. Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat – obatan
sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan
sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila
diperlukan.
3. Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan
posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk
menambah drainase vena.
4. Berikan manitol 0,25 – 1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai
90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan
tekanan intra kranial.
5. Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila
sudah ada herniasi atau adanya tanda – tanda peningkatan tekanan
intrakranial (ICP).
6. Berikan phenitoin untuk kejang – kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan
onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang
sebelumnya.
Terapi obat – obatan
Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak
dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol
dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dan
memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat
propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post trauma. Pada beberapa
pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada keadaan
tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH2O, dapat digunakan norephinephrin
untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg.
Berikut adalah obat – obatan yang digunakan untuk terapi pada epidural
hematom:
o Diuretik Osmotik
Misalnya Manitol : Dosis 0,25 – 1 gr/ kg BB iv.
35
Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti
paru, dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal
jantung yang progresiv.
Fungsi: Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan
intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi
darah otak dan kebutuhan oksigen.
o Antiepilepsi
Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh
lebihn dari 50 (Dilantin) mg/menit.
Kontraindikasi; pada penderita hipersensitiv, pada penyakit dengan
blok sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes.
o Fungsi: Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.
Komplikasi
Kelainan neurologik (deficit neurologis), berupa sindrom gegar otak
dapat terjadi dalam beberapa jam sampai bebrapa bulan.
Kondisi yang kacau, baik fisik maupun mental
Kematian
Prognosa
Prognosa biasanya baik, kematian tidak akan terjadi untuk pasien–pasien
yang belum koma sebelum operasi.
Kematian terjadi sekitar 9% pada pasien epidural hematom dengan
kesadaran yang menurun.
20% terjadi kematian terhadap pasien – pasien yang mengalami koma
yang dalam sebelum dilakukan pembedahan.
TATALAKSANA KEGAWATDARURATAN TRAUMA KEPALA
Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalam kategori ini bisa mengalami
gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ
lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
36
c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah:
o Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan
aspirasi muntahan
o Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik
hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema
paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat
terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen
kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai
ventilator.
o Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah
menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung
danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch
atau darah
37
b. Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,
pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan
fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap
perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya
kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi
penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiolog
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada
danabdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur
tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK
sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15
mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai
berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi
yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg
dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah
serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg
dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas
dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi
diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk
menyingkirkan hematom
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk
jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk
jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila
terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretik
38
o Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan
otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam
ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya
harus dihentikan.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor
osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
o Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan
interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan
manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek
osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap
semua jenis terapi yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam
selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan
dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg
selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan
tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu
sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada
pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya
pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena
otak menjadi lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
39
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya
edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan
perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch,
pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer
laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena
terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan
cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia
kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat
dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu
dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan
harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes
insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam
keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan
osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin
dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan
cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik
bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy.
Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa,
kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post
traumatik yang panjang.
Pengobatan:
o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila
cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40
mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila
setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.
40
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat
50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko
kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan
penderita dengan amnesia post traumatik panjang
h. Komplikasi sistematik
o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi
seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
o Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan
menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh
karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan
penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres
o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini
dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2
reseptor bloker.
o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia,
hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut
walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar
tidak memperparah kondisi pasien.
i. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya
kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan
neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita
cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutamat dan
asetilkolin
Tujuan utama dari pengobatan pada cedera kepala adalah menghilangkan
atau meninimalkan kelainan sekunder, karena itu pengendalian klinis dan
penanggulannya sangat penting. Adanya jarak walaupun singkat antara
proses primer dansekunder harus digunakan sebaik mungkin, waktu
tersebut dinamakan jendela terapi.
41
Kriteria Rawat Inap Dan Rujuk
Kriteria Rujuk
Kriteria Untuk Observasi Dan Perawatan :
Post trauma amnesia
Kesadaran yang menurun
Riwayat kehilangan kesadaran
Nyeri kepala sedang atau berat
Foto tampak fractur linier atau kompresi, benda asing di otak, air fluid
level
Ada tanda fractur basis
Cedera berat ditempat lain
42
Tidak ada yang menemani di rumah
Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantuan) dan
perawatan. Observasi dimaksudkan untuk menentukan sedini mungkin penyulit
atau kelainan lain yang tidak segera memberikan tanda dan gejala. Pada
penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari tata
laksana. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernafasan merupakan prioritas
utama. Pasien harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman.
Kriteria untuk di rawat inap dan di rujuk adalah dilihat dari berat ringannya
cedera kepala yang dialami penderita.
Pada penderita cedera kepala ringan dengan GCS 13-15, observasi atau
dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan abnormal,
semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedang–berat,
pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur tengkorak, rinorea-
otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah,
tidak mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia.
Bila tidak memenuhi kriteria rawat maka pasien dipulangkan dengan
diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah sakit bila dijumpai
tanda-tanda perburukan.
Pada penderita cedera kepala sedang dengan GCS 9-12, dirawat di rumah
sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik. Bila kondisi
membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi memburuk
dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera
kepala berat.
Pada kasus didapatkan skor GCS 15 sehingga disimpulkan pasien
menderita cedera kepala ringan, akan tetapi didapatkan lucid interval yang
dapat dicurigai bahwa telah terjadi perdarahan intracranial sehingga pada
pasien ini digolongkan ke cidera kepala berat.
Hematoma:
Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom
subdural (SDH), lakukan rujukan ke bagian bedah.
Indikasi bedah adalah:
43
- Pada hematom epidural: EDH simptomatik, EDH asimptomatik akut
berukuran paling tebal >1 cm (EDH yang lebih besar daripada ini akan sulit
diresorpsi), EDH pada pasien pediatrik
- Pada hematom subdural (SDH): SDH simtomatik, SDH dengan ketebalan >
1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada pediatrik
lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal di bawah ini:
a. Status neurologis
b. Status radiologis
Penanganan darurat
− Dekompresi dengan trepanasi sederhana
− Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat:
− Volume hamatom > 30 ml atau > 44 ml
− Keadaan pasien memburuk
− Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk kedua tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini di sebabkan oleh lesi desak
ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume:
− 25 cc = desak ruang supra tentorial
− 10 cc = desak ruang infratentorial
− 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan
− Penurunan klinis
− Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif
− Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif
44
VISUM ET REPERTUM
Definisi Visum et Repertum
Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh ahli
kedokteran forensik atau dokter bukan ahli kedokteran forensik. Keterangan ini
dibuat dalam bentuk tulisan yang dahulu dikenal sebagai Visum et Repertum
yang berisi tentang seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana.
Dasar Hukum Dari Visum et Repertum
Visum et Repertum merupakan pengganti sepenuhnya barang bukti yang
diperiksa, maka oleh karenanya pula Visum et Repertum pada hakekatnya adalah
menjadi alat bukti yang sah. Baik di dalam kitab hukum acara pidana yang lama,
yaitu RIB maupun kitab hukum acara pidana (KUHAP) tidak ada satu pasalpun
yang memuat perkataan Visum et Repetum. Hanya di dalam lembaran negara
tahun 1973 no 350 pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan bahwa visum et
repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah
atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang
mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.
Didalam KUHAP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban
dokter untuk membantu peradilan, yaitu dalam bentuk keterangan ahli, pendapat
orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter, dan surat keterangan dari seorang
ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP: pasal 187 butir
c).
Bila kita lihat perihal apa yang dimaksudkan dengan alat bukti yang sah
menurut KUHAP pasal 184 ayat 1 yaitu:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
Tujuan Visum et Repertum
45
Tugas seorang dokter dalam bidang Ilmu Kedoteran Forensik adalah
membantu para petugas kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam mengungkap
suatu perkara pidana yang behubungan dengan pengrusakan tubuh, kesehatan dan
nyawa manusia, sehingga bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan
kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk
kemudian mengambil kesimpulan, maka oleh karenanya pada waktu memberi
laporan dalam pemberitaan dari Visum et Repertum itu harus sesungguh-
sungguhnya dan seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan
diketemukan pada waktu pemeriksaan, dan demikian Visum et Repertum
merupakan kesaksian tertulis.
Visum et Repertum merupakan rencana (verslag) yang diberikan oleh
seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan secara obyektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi
dan harus mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan
memuat semua kenyataan sehingga daripadanya dapat ditarik suatu kesimpulan
yang tepat.
Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana
yang tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam
proses pembuktian suatu proses perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa
manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil
pemeriksaan medik yang tertuang dalam bagian pemberitaan sehingga dapat
dianggap sebagai pengganti benda bukti. Visum et repertum juga memuat
keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksan medik tersebut
yang tertuang dalam bagian kesimpulan.
Macam-macam Visum et Repertum
1. Visum et repertum korban hidup
a. Visum et Repertum
Diberikan bila korban setelah diperiksa atau diobati, tidak terhalang
menjalankn jabatan/ mata pencaharian.
b. Visum et Repertum sementara
Diberikan apabila setelah diperiksa, ternyata:
- Korban perlu dirawat/ diobservasi
46
- Korban terhalang menjalankan pekerjaan jabatan/mata
pencaharian
Visum et repertum sementara ini dipergunakan sebagai bukti
untuk menahan terdakwa. Dan karena belum sembuh, maka
visum et repertumnya tidak memuat kualifikasi luka.
c. Visum et Repertum lanjutan
Diberikan apabila setelah dirawat/ diobservasi, ternyata:
- Korban sembuh
- Korban belum sembuh, pindah rumah sakit atau dokter lain
- Korban belum sembuh, kemudian pulang paksa atau melarikan
diri
- Korban meninggal dunia
Kualifikasi luka dalam visum et repertum lanjutan dibuat setelah
korban selesai dirawat.
2. Visum et repertum mayat
3. Visum et repertum pemeriksaan TKP
4. Visum et repertum penggalian mayat
5. Visum et repertum mengenai umur
6. Visum et repertum psikiatrik
7. Visum et repertum mengenai bukti lain
Yang Berhak Meminta Visum et Repertum adalah:
1. Penyidik
Landasan hukum:
Pasal 6 KUHAP
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
Pasal 7 KUHAP
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
47
b. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
Pasal 120 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang
ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Pasal 133 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
Penyidik adalah polri dengan pangkat serendah-rendahnya AIPDA
(ajudan inspektur dua), namun di daerah terpencil mungkin saja
seorang polisi berpangkat BRIPDA dapat diberi wewenang sebagai
penyidik, oleh karena di daerah tersebut tidak ada yang pangkatnya
lebih tinggi.
2. Penyidik pembantu
Landasan hukum:
Pasal 1 KUHAP
(3) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik
Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan
tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 10 KUHAP
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh Kepala kepolisian negara Republik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
Pasal 11 KUHAP
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam
Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan
dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Pangkat terendah untuk penyidik pembantu adalah BRIPDA (Brigadir
Dua).
48
3. Hakim Pidana
Landasan hukum:
Pasal 180
(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan
yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta
keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh
yang berkepentingan.
Hakim pidana biasanya tidak langsung meminta visum et repertum
pada dokter, akan tetapi hakim dapat memerintahkan kepada jaksa
untuk melengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) dengan vsum et
repertum, kemudian jaksa melipahkan pemberitaan hakim kepada
penyidik.
4. Hakim Perdata
Hakim perdata berwenang meminta visum et repertum. Hal ini diatur
dalam HIR (Herziene Inlands Reglement). Hal ini dikarenakan
disidang pengadilan perdata tidak ada jaksa, maka hakim perdata
dapat langsung meminta visum et repertum kepada dokter.
5. Hakim Agama
Bahwa hakim agama boleh meminta visum et repertum telah diatur
dalam undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman Pasal 10. Hakim agama hanya
mengadili perkara yang menyangkut agama Islam.
Yang Berhak Menbuat Visum et Repertum adalah:
Pasal 120 KUHAP
(1)Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat
orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Pasal 133 KUHAP
(1)Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
49
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Pasal 1 KUHAP
(28)Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Seperti yang tercantum dalam pasal-pasal di atas, telah ditentukan
bahwa yang berhak membuat visum et repertum adalah:
1. Ahli kedokteran kehakiman
2. Dokter atau ahli lainnya
Tata Cara Permintaan Visum Et Repertum
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada waktu mengajukan
permintaan visum et repertum untuk korban hidup adalah:
1. Permintaan harus diajukan secara tertulis (KUHAP Pasal 133(3)).
Tidak dibenarkan meminta secara lisan, melalui telepon atau
melalui pos.
a. Di sudut kiri atas dicantumkan alamat pemohon visum et
repertum.
b. Di sudut kanan atas dijelaskan kepada siapa permintaan
visum et repertum tersebut ditujukan. Surat permintaan
visum et repertum tersebut dapat dialamatkan kepada
pimpinan Rumah Sakit atau dokter yang dikehendaki
pemohon.
c. Keterangan tentang identitas korban dengan menyebutkan
nama, jenis kelamin, umur, kebangsaan, agama, alamat, dan
pekerjaan.
d. Keterangan tentang peristiwa yang dialami korban seperti
kejahatan kesusilaan, kecelakaan lalu lintas, penganiayaan,
dan sebagainya.
e. Permintaan pengobatan dan perawatan korban.
f. Harap dilaporkan kepada pihak pemohon visum et repertum
bila korban sembuh, pindah rumah sakit lain, pulang paksa,
melarikan diri atau meninggal.
50
g. Kolom untuk keterangan lain.
h. Keterangan tentang identitas pemohon visum et repertum
dilengkapi dengan tanda tangan dan cap dinas di sudut kanan
bawah.
i. Keterangan tentang identitas penerima visum et repertum
disertai tanda tangan, tanggal dan jam di sudut kiri bawah.
2. Korban adalah barang bukti, maka surat permintaan visum et
repertum harus diserahkan sendiri oleh polisi bersama-sama
korban kepada dokter.
3. Tidak dibenarkan mengajukan surat permintaan visum et
repertum tentang peristiwa yang telah lampau mengingat rahasia
kedokteran (Instruksi Kapolri No.Inst/E/20/IX/75).
Pasal 170 KUHAP
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari
kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal
yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut.
Visum et Repertum Korban Hidup
Bentuk dan susunan visum et repertum korban hidup
Bentuk visum et repertum yang sekarang dipakai adalah
warisan para tokoh kedokteran kehakiman FK Unair/RSU dr.
Soetomo Surabaya, yaitu: Prof. H. Muller, Prof. Mas Soetejo, dan
Prof. Soetomo Tjokronegoro, ketiganya telah almarhum.
Bentuk visum et repertum yang telah diatur oleh pemerintah
adalah visum et repertum psikiatrik, yang tidak banyak berbeda
dengan bentuk visum et repertum diatas (Hoediyanto, 2005).
Bagian-Bagian Visum Et Repertum
1. PRO JUSTISIA
Kata ini dicantumkan di sudut kiri atas, dan dengan demikian visum et
repertum tidak perlu bermaterai.
51
2. PENDAHULUAN
Bagian ini memuat antara lain:
a. Identitas pemohon visum et repertum
b. Identitas dokter yang memeriksa/membuat visum et repertum
c. Tempat dilakukannya pemeriksaan (misalnya rumah sakit X Surabaya)
d. Tanggal dan jam dilakukannya pemeriksaan
e. Identitas korban
f. Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, dimana
korban dirawat, dan waktu korban meninggal dunia.
g. Keterangan mengenai orang yang menyerahkan atau mengantar korban
pada dokter dan waktu saat korban diterima di rumah sakit
3. PEMBERITAAN
Yang dimaksud dalam bagian ini ialah:
a. Identitas korban menurut pemeriksaan dokter, berupa umur, jenis
kelamin, tinggi dan berat badan, serta keadaan umumnya
b. Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban
c. Tindakan-tindakan atau operasi yang telah dilakukan
d. Hasil pemeriksaan tambahan atau hasil konsultasi dengan dokter lain.
Di dalam bagian ini memakai bahasa Indonesia sedemikian rupa
sehingga orang awam (bukan dokter) dapat mengerti, hanya kalau perlu
disertai istilah kedokteran/asing di belakangnya dalam kurung. Angka harus
ditulis dalam huruf, misalnya 4 cm ditulis “empat sentimeter”. Tidak
dibenarkan menulis diagnosa luka, misalnya luka bacok, luka tembak, luka
harus dilukiskan dengan kata (to describe, beschrijven).
Pemberitaan memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai apa
yang diamati, terutama apa yang dilihat dan ditemukan pada korban/benda
oleh dokter.
4. KESIMPULAN
Bagian ini berupa pendapat pribadi dari dokter yang memeriksa,
mengenai hasil pemeriksaan sesuai dengan pengetahuannya yang sebaik-
baiknya. Seseorang melakukan pengmatan dengan kelima panca indera
(penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan perabaan).
5. PENUTUP
52
Memuat kata “Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan
mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan”. Diakhiri dengan tanda
tangan, nama lengkap/NIP dokter.
Yang dimaksud dengan sumpah adalah:
- Untuk dokter pemerintah: sumpah pegawai negeri
- Untuk dokter swasta: sumpah lafal dokter yang diucapkan pada waktu
dilantik jadi dokter
- Untuk ahli lain: sumpah pegawai negeri atau disumpah khusus
Di samping hal-hal tersebut di atas perlulah diketahui pula:
- Dalam pemberitaan tidak boleh ditulis apa yang diketahui dokter dari
orang lain.
- Kesimpulan bersifat subjektif, dan jika dalam keraguan harus
berpegang pada asas “in dubio pro rea”.
Visum et repertum dibuat sejujur-jujurnya, bila sengaja menyimpang dapat
dituntut karena memberi keterangan palsu berdasarkan pasal 242 KUHP.
VIII. KESIMPULAN
Bujang 20 th, mengalami cedera kepala sedang dengan perdarahan epidural, fraktur
Basis cranii anterior, lucid interval dan tanda-tanda herniasi akibat trauma tumpul
pada kepala
53
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons Committee on Trauma. 2008. Advanced Trauma Life Support.
Edisi 8. Chicago, Amerika.
Daniel D Price, MD. Chief Editor Trevor John Mills, MD, MPH. 2014. Epidural Hematoma.
http://emedicine.medscape.com/article/824029-overview Department of Emergency
Medicine, Alameda County Medical Center, Highland Hospital and Trauma Center.
Mardjono M., Sidarta P. Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan. Dian Rakyat, Jakarta,
2000. hal 255-256.
Ropper, AH & Brown, RH. 2005. Adams & Victors Prinsiples of Neurology, Eight Edition.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Snell R.S. Neurologi Klinik. Editor, Sjamsir, edisi ke dua, cetakan pertama. EGC, Jakarta
1996. hal 521-532Soertidewi L. 2002. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio
Serebral, Updates In Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, hal. 80.
Toyama, Y, Kobayashi, T, Nishiyama, Y, Satoh, K, Ohkawa, M, & Seki, K. 2005. CT for
Acute Stage of Closed Head Injury. Radiation Medicine, review, Vol. 23 No. 5, pp.
309-316.
.
54