meningitis tuberkulosa
TRANSCRIPT
Diagnosis dan Pentalaksanaan pada Meningitis
Tuberkulosa
EUNIKE
102010203
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Pendahuluan
Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak yang mengenai lapisan piamater
dan ruang subarakhnoid maupun arakhnoid, dan termasuk cairan serebrospinal (CSS).
Peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu membran atau selaput yang melapisi otak dan
medulla spinalis, dapat disebabkan organisme seperti virus, bakteri, ataupun jamur yang
menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak.1
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah
radang selaput otak arakhnoid dan piamater yang disertai cairan otak yang jernih, penyebab
tersering adalah Mycobacterium tuberculosa, penyebab lainnya seperti virus, Toxoplasma
gondhii, dan Ricketsia.1
Sedangkan meningitis purulenta adalah radang bernanah pada selaput otak,
penyebabnya antara lain, Diplococcus pneumonia (pneumokok), Neisseria meningitidis
(meningokok), Streptococcus haemolyticus group A, Staphylococcus aureus, Haemophillus
influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa.1
Meningitis tuberkulosa merupakan salah satu manifestasi klinis TB diluar paru, yaitu
di sususan saraf pusat (SSP). Dibandingan dengan jenis-jenis tuberkulosis yang lain,
meningitis tuberkulosa paling banyak menyebabkan kematian. Jumlah penderita meningitis
tuberkulosa kurang lebih sebanding dengan prevalensi infeksi oleh Mycobacterium
tuberculosa pada umumnya.
Alamat Korespondensi : Universitas Kristen Krida Wacana Fakultas Kedokteran (Kampus II) Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat ;
Website : www.ukrida.ac.id ; NIM : 102010203; Email : [email protected]
1
Dibandingkan dengan meningitis bakterial akut, maka perjalanan penyakit lebih lama dan
perubahan atau kelainan dalam CSS tidak begitu hebat.1,2
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar dapat membantu dan menambah
pengetahuan pembaca mengenai penyakit meningitis tuberkulosa dan cara mengatasinya.
Anatomi Lapisan Meningen
Otak dan medulla spinalis dilapisi oleh meningen. Selain melapisi otak dan medulla
spinalis , meningen juga berfungsi yang melindungi struktur saraf yang halus, membawa
pembuluh darah dan mensekresi cairan serebrospinal (CSS). Selaput meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu:2
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arakhnoid dibawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural), dimana
sering dijumpai terjadinya pendarahan.
2. Arakhnoid
Merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang, terletak antara piamater sebelah dalam
dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh CSS. Pendarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cidera
kepala.
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membran vaskuler
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling
dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk ke dalam otak juga diliputi oleh piamater. Perhatikan gambar 1.
2
Gambar 1. Susunan Lapisan Meningen (sumber: http://www.adamimages.com/Meninges-of-
the-brain-Illustration/PI10111/F4)
Anamnesis
Dalam setiap pemeriksaan anamnesis harus selalu dilakukan dengan benar, karena hal
ini sangat membantu dalam membuat suatu diagnosis dan juga langkah terapi yang akan
dilakukan. Beberapa hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis adalah:3,4
1. Identitas pasien
2. Keluhan utama
Pada kelainan sistem saraf bisa menimbulkan berbagai macam gejala, diantaranya:
Nyeri kepala,
Kejang, pingsan, atau gerakan aneh
Pening atau vertigo
Masalah penglihatan
Kelainan penciuman/pengecapan
Kesulitan berbicara
Masalah menelan
Kesulitan berjalan
Ekstremitas lemah
Gangguan sensoris
Nyeri
Gerakan involunter atau tremor
Masalah pengendalian sfingter (buang air keci/besar)
Gangguan fungsi mental luhur, seperti bingung atau perubahan kepribadian
3
3. Riwayat penyakit dahulu
Adakah riwayat gangguan neurologis sebelumnya?
Adakah riwayat penyakit sistemik, khususnya kelainan kardiovaskular? (stroke adalah
penyebab defisit neurologis yang paling umum)
Adakah riwayat penyakit TBC?
4. Obat-obatan
Pertimbangan terapi gangguan neurologis dan pengobatan yang mungkin merupakan
penyebab timbulnya gejala.
5. Riwayat keluarga
Adakah riwayat gangguan neurologis dalam keluarga? (tedapat banyak kelainan
neurologis penting yang diturunkan, misalnya korea Huntington)
Adakah riwayat penyakit TBC pada keluarga? Ada kontak?
6. Riwayat sosial
Ketidakmampuan apa saja yang dimiliki pasien?
Mengapa pasien tidak dapat melakukan apa yang ingin ia lakukan?
Apakah pasien menggunakan alat bantu untuk bergerak?
Bantuan apa saja yang didapat oleh pasien?
7. Penyelidikan fungsional
Pertimbangkan gejala peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala yang diperberat saat
mengejan, batuk, bangun di pagi hari, dan gangguan penglihatan). Adakah gejala
neurologis sebelumnya seperti gangguan penglihatan, kelemahan, atau mati rasa?
Pemeriksaan Fisik3-5
Tujuan utama pemeriksaan fisik saraf adalah mengungkapkan dan menjelaskan defisit
fungsi, dan untuk menjelaskan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah
disebabkan oleh lesi pada otak, sumsum tulang belakang, saraf perifer, atau otot. Berikut
beberapa hal yang perlu di periksa, yaitu:
1. Keadaan umum
Pemeriksaan keadaan umum meliputi:
a. Kesan umum dari inspeksi seluruh tubuh, misal menurunnya kesadaran, bentuk kepala
yang terlalu besar atau terlalu kecil, edema generalisata, nampak sakit dan gelisah, dan
sebagainya.
4
b. Pemeriksaan umum terutama pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut
nadi, frekuensi pernapasan, suhu), sistem kardiopulmoner, sistem gastrointestinal,
urogenital, anggota gerak, leher, kepala, dan muka.
2. Tingkat kesadaran
Pemeriksaan tingkat kesadaran yang sekarang dipakai adalah skala dari Glasgow
(Glasgow coma scale) yang lebih praktis karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan
sistematik, dibandingkan dengan cara lama seperti apatis, somnolen, stupor, sopor, dan
koma.
Pada setiap pasien dengan gangguan kesadaran, maka ada 4 hal yang perlu diperiksa selain
tingkat kesadaran, yaitu:
a. Tingkat kesadaran
b. Mata, yang meliputi pupil (refleks cahaya, anisokoria), gerakan bola mata (gerakan
konjugasi bola mata), berguna untuk menentukan kelainan neurologis atau metabolik.
c. Respirasi yang dikaitkan dengan lokalisasi lesi di otak dan berhubungan dengan
beratnya gangguan tingkat kesadaran.
d. Respons motorik terhadap ransangan nyeri. Adanya gerakan motorik terhadap
ransangan nyeri (menjauhi ransang tersebut) menunjukkan fungsi spino-thalamo-
cortical (sensory ascending pathway) dan tractus cortico-spinalis (tractus piramidalis)
yang masih baik, sedangkan tidak adanya gerakan motorik pada salah satu anggota
gerak tetapi menunjukkan “grimacing” (meringis) sewaktu diberikan rangsangan nyeri
menunjukkan adanya disfungsi tractus cortico-spinalis tanpa disfungsi daripada
sensory ascending pathway.
Cara pemeriksaan skala dari Glasgow (Glasgow coma scale, GCS), didasarkan pada
respon dari mata, pembicaraan, dan motorik. Dimana masing-masing mempunyai
nilai/score tertentu, mulai dari yang paling baik (normal) sampai dengan yang paling jelek.
Jumlah/total scoring paling jelek adalah 3, sedangkan yang paling baik (normal) adalah
15. Perhatikan tabel 1.
Tabel 1. Glasgow Coma Scale
Score
1. Eye open
spontan membuka mata
terhadap suara membuka mata
4
3
5
terhadap nyeri membuka mata
menutup mata terhadap segala jenis rangsang
2
1
2. Verbal response
Berorientasi baik
Bingung (bisa membentuk kalimat tapi arti keseluruhan kacau)
Bisa membentuk kata tapi tidak mampu mengucapkan suatu
kalimat
Bisa mengeluarkan suara yang tidak punya arti (groaning)
Suara tidak ada
5
4
3
2
1
3. Motoric response
Menurut perintah
Dapat melokalisir ransangan sensorik di kulit (raba)
Menolak ransangan nyeri pada anggota gerak (withdrawal)
Menjauhi ransangan nyeri (fleksi)
Ekstensi spontan
Tidak ada gerakan
6
5
4
3
2
1
3. Pemeriksaan tanda rangsangan meningeal
a. Kaku kuduk
Cara : Pasien tidur telentang tanpa bantal.
Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,
kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama
penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan
tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau
berat.
Hasil pemeriksaan:
Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat menyentuh sternum, atau fleksi
leher normal/kaku kuduk negatif.
Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher kaku kuduk positif.
b. Brudzinski
Cara : Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian
kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada.
6
Hasil Pemeriksaan :
Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi
lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. Perhatikan gambar 2.
Gambar 2. Pemeriksaan Brudzinski’s Sign (sumber:
http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/brudzinski's%20sign)
c. Kernig
Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada
persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 derajat
terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut
135 derajat, maka dikatakan kernig sign positif. Perhatikan gambar 3.
Gambar 3. Pemeriksaan Kernig’s Sign (sumber:
http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/kernig's%20sign)
d. Laseque
7
Cara : Pasien berbaring terlentang. Angkat satu tungkai pasien dengan fleksi di sendi
panggul sampai membentuk sudut 70 derajat, sedangkan tungkai lain dalam keadaan
lurus.
Hasil Pemeriksaan :
Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 70 derajat, maka
dikatakan laseque sign positif.
4. Pemeriksaan nervi kranialis
a. Pemeriksaan nervus III, IV, dan VI
Fungsi N III (okulomotorius), IV (troklearis), VI (abdusen) saling berkaitan dan
diperiksa bersama-sama. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan
mengangkat kelopak mata. Serabut otonom N III mengatur otot pupil.
Pemeriksaan nervi III,IV,VI:
Inspeksi saat istirahat
Kedudukan bola mata
Pemeriksaan :
Kedudukan mata kiri dan kanan semetris/tidak
Strabismus, deviasio conjugee, krisis akulogirik
Eksoptalmus / endoftalmus
Interpretasi normal : Kedudukan bola mata simetris
Observasi celah kelopak mata
Pemeriksaan :
Penderita memandang lurus kedepan
Perhatikan kedudukan kelopak mata terhadap pupil dan iris
Interpretasi normal : simetris kanan-kiri
Pemeriksaan gerakan bola mata
Penilaian gerakan monokular
Penilaian gerakan kedua bola mata atas perintah
Penilaian gerakan bola mata mengikuti
obyek bergerak
Pemeriksaan gerakan konjungat
reflektorik (doll’s eye movement).
Perhatikan gambar 4.
8
Gambar 4. Doll’s Eye Movement (sumber: http://www.google.co.id)
Interpretasi gerakan bola mata:
Normal:
Gerakan konjungate
Gerakan diskonjungat / gerakan konversion
Dolls eye movement (+)
b. Pemeriksaan nervus VII
Pemeriksaan fungsi motorik N.Fasialis
Pemeriksaan dan Interpretasi fungsi motorik
Observasi otot wajah dalam keadaan istirahat
Pemeriksaan:
Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan kanan
apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis, lebarnya celah
mata, lipatan kulit nasolabialis dan sudut mulut.
Observasi otot wajah saat digerakkan
Mengerutkan dahi, dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam.
Mengangkat alis.
Menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa.
Moncongkan bibir atau menyengir.
Suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan
apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi
yang lumpuh.
c. Pemeriksaan nervus XII
9
Cara pemeriksaan N. hipoglosus:
Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan perkataan tidak dapat
diucapkan dengan baik (cadel/pelo) hal demikian disebut disarthri.
Dalam keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser ke daerah lumpuh
karena tonus disini menurun.
Bila lidah dijulurkan maka lidah akan membelok kesisi yang sakit.
Melihat apakah ada atrofi atau fasikulasi pada otot lidah.
Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah ke samping pada pipi dan
dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi.
5. Pemeriksaan refleks fisiologis
a. Pemeriksaan Refleks pada Lengan
Pemeriksaan Reflex Biseps
Pasien duduk dengan santai,lengan dalam keadaan lemas,siku dalan posisi
sedikit fleksi dan pronasi.
Letakan ibu jari pemeriksa di atas tendo biseps,lalu pukul ibu jari tadi dengan
menggunakan refleks hammer.
Reaksinya adalak fleksi lengan bawah. Bila refleks meninggi maka zona
refleksogen akan meluas.
Pemeriksaan Refleks Triseps
Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep.
Apabila lengan pasien sudah benar-benar relaksasi (dengan meraba trisep tidak
teraba tegang), pukullah tendon yang lewat di fossa olekrani.
Maka trisep akan berkontraksi dengan sedikit menyentak.
b. Pemeriksaan Refleks pada Tungkai
Refleks Patella
Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai.
Daerah kanan-kiri tendo patella terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan
daerah
yang tepat.
Tangan pemeriksa yang satu memegang paha bagian distal, dan tangan yang
lain
memukul tendo patella tadi dengan reflex hammer secara tepat.
Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps,
dan
10
pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak
untuk
kemudian berayun sejenak.
Apabila pasien tidak mampu duduk, maka pemeriksaan reflex patella dapat
dilakukan dalam posisi berbaring.
Refleks Achiles
Pasien dapat duduk dengan posisi menjuntai, atau berbaring tau dapat pula
penderita berlutut dimana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur di
luar kursi pemeriksaan.
Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon achiles dengan cara
menahan ujung kaki kearah dorsofleksi.
Tendon Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat.
Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak.
6. Pemeriksaan refleks patologis
Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu normal.
Refleks patologis pada ekstemitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih
reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas.
a. Refleks Klonus kaki
Cara pemeriksaan: sanggah lutut pada posisi fleksi ringan. Lalu dengan tangan yang
lain lakukan dorsofleksi tiba-tiba dan pertahankan beberapa saat.
b. Babinsky sign
Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks.
Reaksi: Dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari
lainnya. Intepretasi: normal (-)
Pemeriksaan Penunjang1,2,6,7
1. Pengambilan cairan serebrospinal
Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Punksi, Sisternal
Punksi, atau Lateral Cervical Punksi. Lumbal Punksi merupakan prosedur neuro
diagnostik yang paling sering dilakukan, sedangkan sisternal punksi dan lateral cervical
punksi hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli.
Indikasi Lumbal Punksi:
a. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksaan sel, kimia, dan
bakteriologi.
11
b. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotik, anti tumor, dan
spinal anastesi.
c. Untuk membantu diagnosis dengan penyuntikan udara pada pneumoencephalografi,
dan zat kontras pada myelografi.
Kontra indikasi Lumbal Pungsi:
a. Ada peninggian tekanan intrakranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan papil
edema.
b. Penyakit kardiopulmonal yang berat.
c. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi.
Persiapan Lumbal Punksi:
a. Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan LP.
b. Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasien/keluarga terutama
pada LP dengan resiko tinggi.
Teknik Lumbal Punksi:
a. Pasien diletakkan pada pinggir tempat tidur, dalam posisi lateral decubitus dengan
leher, punggung, pinggul dan tumit lemas. Boleh diberikan bantal tipis dibawah kepala
atau lutut.
b. Tempat melakukan pungsi adalah pada kolumna vetebralis setinggi L3-4, yaitu setinggi
crista iliaca. Bila tidak berhasil dapat dicoba lagi intervertebrale ke atas atau ke bawah.
Pada bayi dan anak setinggi intervertebrale L4-5.
c. Bersihkan dengan yodium dan alkohol daerah yang akan dipungsi.
d. Dapat diberikan anasthesi lokal lidocain HCL.
e. Gunakan sarung tangan steril dan lakukan punksi, masukkan jarum tegak lurus dengan
ujung jarum yang mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan menembus jaringan
meningen penusukan dihentikan, kemudian jarum diputar dengan bagian pinggir yang
miring menghadap ke
kepala.
f. Dilakukan pemeriksaan
tekanan dengan manometer dan test
Queckenstedt bila diperlukan.
Kemudian ambil sampel untuk
12
pemeriksaan jumlah dan jenis sel, kadar gula, protein, kultur bakteri dan sebagainya.
Perhatikan gambar 5.
Gambar 5. Posisi Lumbal Punksi (sumber:
http://ilmu-keperawatann.blogspot.com/2012/04/prosedur-lumbal-pungsi.html)
Komplikasi Lumbal Punksi:
a. Sakit kepala, biasanya dirasakan segera sesudah lumbal punksi, ini timbul karena
pengurangan cairan serebrospinal.
b. Backache, biasanya di lokasi bekas punksi disebabkan spasme otot.
c. Infeksi
d. Herniasi
e. Untrakranial subdural hematom.
f. Hematom dengan penekanan pada radiks.
g. Tumor epidermoid intraspinal.
Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui dengan
memperhatikan:
a. Warna
Normal cairan serebrospinal warnanya jernih dan patologis bila berwarna kuning,
santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul dari protein.
Peningkatan protein yang penting dan bermakna dalam perubahan warna adalah bila
lebih dari 1 g/L.
13
Cairan serebrospinal berwarna pink berasal dari darah dengan jumlah sel darah merah
lebih dari 500 sdm/cm3. Sel darah merah yang utuh akan memberikan warna merah
segar. Eritrosit akan lisis dalam satu jam dan akan memberikan warna cucian daging di
dalam cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak purulenta bila jumlah leukosit
lebih dari 1000 sel/ml.
b. Tekanan
Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan tahanan
terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya naik, maka
tekanan naik, bila salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya turun. Tekanan
CSS tergantung pada posisi, bila posisi berbaring maka tekanan normal cairan
serebrospinal antara 8-20 cmH2O pada daerah lumbal, siterna magna dan ventrikel,
sedangkan jika penderita duduk tekanan cairan serebrospinal akan meningkat 10-30
cmH2O. Kalau tidak ada sumbatan pada ruang subarakhnoid, maka perubahan tekanan
hidrostastik akan ditransmisikan melalui ruang serebrospinalis. Pada pengukuran
dengan manometer, normal tekanan akan sedikit naik pada perubahan nadi dan
respirasi, juga akan berubah pada penekanan abdomen dan waktu batuk.
Kegagalan sirkulasi normal CSS dapat menyebabkan pelebaran vena dan
hidrocephalus. Keadaan ini sering dibagi menjadi hidrosefalus komunikans dan
hidrosefalus obstruktif. Pada hidrosefalus komunikans terjadi gangguan reabsorpsi
CSS, dimana sirkulasi CSS dari ventrikel ke ruang subarachnoid tidak terganggu,
kelainan ini bisa disebabkan oleh adanya infeksi, perdarahan subarakhnoid, trombosis
sinus sagitalis superior, keadaan-keadaan dimana
viskositas CSS meningkat dan produksi CSS yang meningkat.
Hidrosefalus obstruktif terjadi akibat adanya ganguan aliran CSS dalam sistim ventrikel
atau pada jalan keluar ke ruang subarakhnoid. Kelainan ini dapat disebabkan stenosis
aquaduktus serebri, atau penekanan suatu masa terhadap foramen Luschka for Magendi
ventrikel IV, aquaduktus Sylvi dan foramen Monroe. Kelainan tersebut bisa berupa
kelainan bawaan atau didapat.
c. Jumlah sel
Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel
polimorfonuklear saja. Sel leukosit jumlahnya akan meningkat pada proses inflamasi.
Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan lebih dari 30 menit
setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis,
pengendapan dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara
14
bermakna. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak
spesifik. Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan
sel yang lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik.
Pada meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada
meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara
berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri
atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk
ke arah penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L.
monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi
cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis
tuberkulosis, neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda
asing.
d. Glukosa
Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal sangat
bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai tempat
pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbal. Rasio normal
kadar glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah
>0,6. Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi
transportasi membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan
hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap
terpelihara. Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan
serebrospinal, glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derajat yang bervariasi, dan
paling umum pada proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis
oleh carcinoma. Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada
meningitis sarcoidosis, infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau
meningitis zat khemikal.
Inflamasi pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rhematoid mungkin
juga ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral,
mumps, limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar
glukosa ringan sampai sedang.
e. Protein
15
Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. Pada
sisterna 10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 mg%. Kadar gamma
globulin normal 5-15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg% akan
menyebabkan cairan serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar
protein yang ekstrim lebih dari 1,5 gr% akan menyebabkan pada permukaan tampak
sarang laba-laba (pellicle) atau bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen.
Kadar protein cairan serebrospinal akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah
otak (blood brain barrier), reabsorbsi yang lambat atau peningkatan sintesis
immunoglobulin lokal.
Perubahan kadar protein di cairan serebrospinal bersifat umum tapi bermakna sedikit,
bila dinilai sendirian akan memberikan sedikit nilai diagnostik pada infeksi susunan
saraf pusat.
f. Elektrolit
Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130
mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak
menunjukkan perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdapat penurunan kadar Cl
pada meningitis tapi tidak spesifik.
g. Osmolaritas
Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L). Bila terdapat
perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS.
h. pH
Keseimbangan asam basa harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis dan
metabolik alkalosis. pH cairan serebrospinal lebih rendah dari pH darah, sedangkan
PCO2 lebih tinggi pada cairan serebrospinal. Kadar HCO3 adalah sama (23 mEg/L). pH
CSS relatif tidak berubah bila metabolik asidosis terjadi secara subakut atau kronik,
dan akan berubah bila metabolik asidosis atau alkalosis terjadi secara cepat.
Pemeriksaan lumbal punksi pada meningitis TB memperlihatkan CSS yang jernih,
kadang-kadang sedikit keruh atau ground glass appearance. Bila CSS didiamkan maka
akan terjadi pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10-
500/ml dan kebanyakan limfosit. Kadang-kadang oleh reaksi tuberculin yang hebat
terdapat peningkatan jumlah sel, lebih dari 1000/ml. Kadar glukosa rendah, antara 20-40
mg%, kadar Cl dibawah 600 mg%. CSS dan endapan sarang laba-laba dapat diperiksa
untuk pembiakan atau kultur menurut pewarnaan Ziehl-Nielsen. Perhatikan tabel 2.
16
Tabel 2. Perbedaan Pemeriksaan Lumbal Punksi
Makroskopik White Blood Cell Protein Glukosa
Meningitis
bakterial
Purulen, kuning
muda, bekuan
lunak
25-10000,
terutama PMN
50-1500 0-45
Meningitis
virus
Jernih 10-1000,
terutama MN
Meningkat Normal
Meningitis TB Kuning muda,
bekuan lunak
10-1000,
terutama MN
45-500 10-45
2. Pemeriksaan radiologi
a. Foto toraks: dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru ialah:
Komplek primer dengan atau tanpa perkapuran.
Pembesaran kelenjar paratrakeal.
Penyebaran milier.
Penyebaran bronkogen.
Atelektasis.
Pleuritis dengan efusi.
b. CT-scan kepala, dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta
adanya dan luasnya hidrosefalus. Hasil pemeriksaan CT-scan dan MRI pada pasien
meningitis TB adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit,
gambaran sering ditemukan adanya enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus
komunikans yang disertai tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini.
Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks
serebri atau thalamus.
3. Pemeriksaan darah, dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan hitung jenis
leukosit, laju endap darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, kultur.
a. Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada
meningitis TB didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada meningitis purulenta/bakterialis didapatkan peningkatan leukosit dengan
pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
17
Diagnosis
Diagnosis kerja dari kasus ini adalah meningitis tuberkulosis, untuk mengekkan
diagnosis ini maka anamnesis harus lebih diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita
tuberkulosis, keadaan sosial-ekonomi, imunisasi. Sementara itu gejala-gejala yang khas untuk
meningitis tuberkulosis ditandai dengan tekanan intrkranial yang meningkat, muntah
proyektil, nyeri kepala yang hebat dan progresif, penurunan kesadaran, dan pada bayi tampak
fontanel yang menonjol.1,2
Namun perlu dipertimbangkan adanya kemungkinan lain/diagnosis banding,
seperti:1,2,8,10
1. Meningitis virus
Meningitis virus biasanya disebut meningitis aseptik. Sering terjadi akibat lanjutan
dari bermacam-macam penyakit akibat virus, meliputi measles, mumps, herpes simplek,
dan herpes zooster.
Meningitis virus ini termasuk penyakit ringan, gejalanya mirip dengan sakit flu biasa,
dan umumnya dapat sembuh sendiri dan kembali seperti semula. Selain itu gejala yang
sering timbul adalah demam, nyeri kepala, lelah, mual, kaku kuduk, fotofobia juga dapat
ditemukan. Pada bayi gejala yang sering adalah demam, anoreksia, kesulitan untuk
bangun.
Sering terjadi pada anak-anak, namun pada orang dewasa juga bisa terutama dengan
sistem imun yang rendah.
Virus penyebab meningitis dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu virus RNA dan virus
DNA. Contoh virus RNA adalah enterovirus (polio), arbovirus (rubella), mixovirus
(influenza, parotitis, dan morbili). Sedangkan contoh virus DNA antara lain virus herpes,
dan retrovirus (AIDS).
Penatalaksanaan bersifat simtomatik dengan rehidrasi dan analgesia.
2. Meningitis bakterial
Sering dihubungkan dengan sindrom sepsis (demam, takikardia, hipotensi, atau syok).
Meningitis biasanya terjadi karena bateremia yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis,
walaupun Streptococcus pneumoniae dapat muncul pada orang-orang dengan pneumonia
pneumokokus (lebih sering pada manula dan penyalahguna alkohol) atau kerusakan dura
(fraktur tengkorak, sepsis telinga, atau penyakit sinus).
18
Kuman-kuman tersebut masuk ke dalam susunan saraf pusat secara hematogen atau
langsung menyebar dari kelainan di nasofaring, paru-paru (pneumonia,
bronkopneumonia), dan jantung (endokarditis). Mula-mula pembuluh darah meningeal
yang kecil dan sedang mengalami hiperemi, dalam waktu yang sangat singkat terjadi
penyebaran sel-sel leukosit polomorfonuklear ke dalam ruang subarachnoid, kemudian
terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan
dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan,
bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam
terdapat makrofag.
Selain pada arteri, proses radang juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat
menyebabkan thrombosis, infark otak, edema otak, dan degenerasi neuron-neuron.
Thrombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan
kelainan nervi kraniales (N. III, IV, VI, VII, dan VIII). Organisasi di ruang subarakhnoid
superficial dapat menghambat aliran dan absorbsi CSS, sehingga mengakibatkan
hidrosefalus komunikans.
Bila dicurigai meningitis bakterial, maka antibiotik spektrum luas (misalnya
sefotaksim dosis tinggi) harus segera diberikan. Diagnosis dipastikan dengan
mengindentifikasi organisme (kultur darah, pemeriksaan mikroskopik CSS), kultur dan
polymerase chain reaction (PCR, atau serologi darah).
Pada neonatus gejala meningitis bakterial umumnya terjadi secara akut dengan panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum
sangat berkurang, konstipasi, diare. Biasanya disertai septikemia dan pneumonitis. Kejang
terjadi pada kurang lebih 44% anak dengan penyebab Haemophillus influenzae, 25% oleh
Streptococcus pneumoniae, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok.
Gangguan kesadaran berupa apati, letargi, renjatan, koma.
Pada anak yang lebih besar atau orang dewasa, permulaan penyakit juga terjadi akut
dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot
dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas.
Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi, dan
takikardi karena septikemia. Gangguan kesadaran berupa letargi sampai koma yang dalam
dapat dijumpai pada penderita. Nyeri kepala bisa hebat sekali, rasanya seperti mau pecah
dan bertambah hebat bila kepala digerakkan. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh proses
radang pembuluh darah meningeal, tetapi juga dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan
19
intrakranial yang disertai fotofobia dan hiperestesi. Suhu badan makin meningkat, tetapi
jarang disertai gemetar.
Etiologi
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, umumnya
adalah jenis hominis, jarang oleh jenis bovinum atau aves. Mycobacterium tuberculosis
merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3 µm,
mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering,
serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis
bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia.1,2,11,12
Meningitis TB merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada
penyakit TB paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen
dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang,
sendi, dan selaput otak.1,2
Epidemiologi
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi M.tuberculosis, sekitar
95% kasus TB dengan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi di negara berkembang.
Jumlah penderita TB di Indonesia merupakan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan
Cina dengan jumlah sekitar 10% dari jumlah keseluruhan penderita TB di dunia.2
Angka kejadian penderita meningitis TB di Inggris adalah 1,5% dari jumlah
keseluruhan penderita TB di luar paru. Kematian biasanya dikarenakan oleh keterlambatan
diagnosis dan penanganannya. Penyakit ini merupakan TB ekstrapulmoner kelima yang
sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus TB ekstrapulmoner serta
0,7% dari semua kasus TB.1,2
Meningitis TB dapat terjadi pada setiap usia terutama pada anak antara 6 bulan
sampai 5 tahun, jarang terdapat di bawah usia 6 bulan, kecuali apabila angka kejadian TB
sangat tinggi. Paling sering terjadi di bawah usia 2 tahun, yaitu antara 9-15 bulan.1
Klasifikasi
20
Meningitis TB dibagi dalam empat jenis menurut klasifikasi patologik. Umumnya
terdapat lebih dari satu jenis dalam setiap penderita meningitis TB, berikut penjelasannya:1,2
1. Tuberkulosis miliaris yang menyebar
Jenis ini merupakan komplikasi TB miliaris, biasanya dari paru-paru yang menyebar
langsung ke selaput otak secara hematogen. Keadaan ini terutama terjadi pada anak, jarang
pada dewasa. Pada selaput otak terdapat tuberkel-tuberkel yang kemudian pecah sehingga
terjadi peradangan difus dalam ruang subarakhnoid. Tuberkel-tuberkel juga terdapat pada
dinding pembuluh darah kecil di hemisfer otak bagian cekung dan dasar otak.
2. Bercak-bercak pengijuan fokal
Disini terdapat bercak-bercak pada sulkus-sulkus dan terdiri dari pengijuan yang
dikelilingi oleh sel-sel raksasa dan epitel. Dari sini terjadi penyebaran ke dalam selaput
otak. Kadang-kadang terdapat juga bercak-bercak pengijuan yang besar pada selaput otak
sehingga dapat menyebabkan peradangan yang luas.
3. Peradangan akut meningitis pengijuan
Jenis ini merupakan jenis yang paling sering dijumpai kurang lebih 78%. Pada jenis ini
terjadi invasi langsung pada selaput otak dari fokus-fokus tuberkulosis primer bagian lain
dari tubuh, sehingga terbentuk tuberkel-tuberkel beru pada selaput otak dan jaringan otak.
Meningitis timbul karena tuberkel-tuberkel tersebut pecah, sehingga terjadi penyebaran
kuman-kuman ke dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus
4. Meningitis proliferatif
Perubahan-perubahan proliferatif dapat terjadi pada pembuluh-pembuluh darah selaput
otak yang mengalami peradangan berupa endarteritis dan panarteritis. Akibat penyempitan
lumen arteri-arteri tersebut dapat terjadi infark otak. Perubahan-perubahan ini khas pada
meningitis proliferatif yang sebelum penemuan kemoterapi jarang dilihat.
Patofisiologi1,2,13
Meningitis TB selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar otak.
Fokus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang, sinus
nasals, traktus gastro-intestinalis, ginjal, dan sebagainya. Dengan demikian meningitis
tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi penyebaran tuberculosis paru-paru.
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak oleh
penyebaran hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa
millimeter sampai 1 sentimeter), berwarna putih. Terdapat pada permukaan otak, selaput
21
otak, sumsum tulang belakang, tulang. Tuberkel tadi kemudian melunak, pecah dan masuk ke
dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara
mikroskopik tuberkel-tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel di bagian
lain dari kulit di mana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit,
sel-sel plasma, dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul.
Penyebaran juga dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan organ
atau jaringan di dekat selaput otak seperti proses di nasofaring, pneumonia,
bronkopneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis, sinus kavernosus, atau
spondilitis. Penyebaran kuman dalam ruang subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada
pia dan arakhnoid, CSS, ruang subarakhnoid, dan ventrikulus.
Akibat reaksi radang ini adalah terbentuknya eksudat kental, serofibrinosa dan
gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuclear, limfosit, sel
plasma, makrofag, sel raksasa, dan fibroblas. Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang
subarakhnoid saja, tetapi terutama terkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar
melalui pembuluh-pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawahnya, sehingga
proses sebenarnya adalah meningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus
Sylvii, foramen magendi, foramen Luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema
papil dan peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga terjadi pada pembuluh-pembuluh
darah yang berjalan dalam ruang subarachnoid berupa kongesti, peradangan dan penymbatan,
sehingga selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak terutama pada bagian
korteks, medula oblongata, dan ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan
otak dengan segala akibatnya.
Gejala Klinis1,2,13,14
1. Stadium I
Stadium prodromal berlangsung kurang lebih 2 minggu sampai 3 bulan. Permulaan
penyakit bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanyak kenaikan suhu yang ringan atau
hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, anoreksia, murung, berat badan
turun, tidak ada gairah, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan gangguan
kesadaran berupa apatis. Gejala-gajala ini lebih sering terlihat pada anak kecil. Untuk anak
yang lebih besar mengeluh nyeri kepala, anoreksia, obstipasi, muntah-muntah, pola tidur
terganggu. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,
anoreksia, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi, sangat gelisah.
22
2. Stadium II
Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal terutama pada anak
kecil dan bayi. Tanda-tanda ransangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapa menjadi
kaku dan timbul opistotonus, terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, ubun-
ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif
menyebabkan anak berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry.
Kesadaran semakin menurun. Terdapat gangguan nervi kraniales, antara lain N. II, III, IV,
VI, VII, dan VIII. Dalam stadium ini dapat terjadi defisit neurologik fokal seperti
hemiparesis, hemiplegia karena infark otak dan rigiditas deserebrasi. Pada fundoskopi
dapat ditemukan atrofi N. II dan khoroid tuberkel yaitu kelainan pada retina yang tampak
seperti busa berwarna kuning dan ukurannya sekitar setengah diameter papil.
3. Stadium III
Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh
terganggunya regulasi pada disensefalon. Pernapasan dan nadi juga tidak teratur dan
terdapat gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes atau Kussmaul. Gangguan
miksi berupa retensi atau inkontinensia urin. Didapatkan pula adanya gangguan kesadaran
makin menurun sampai koma yang dalam. Pada stadium ini penderita dapat meninggal
dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak memperoleh pengobatan yang tepat.
Penatalaksanan1,2
1. Perawatan umum
Pasien harus dirawat di rumah sakit, di bagian perawatan intensif. Dengan menentukan
diagnosis secepat dan setepat mungkin, pengobatan dapat segera dimulai.
Perawatan meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh,
antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi pada umumnya, posisi pasien,
perawatan kandung kemih dan defekasi, serta perawatan umum lainnya sesuai dengan
kondisi pasien.
Kebutuhan cairan, elektrolit, serta gizi dapat diberikan melalui infus maupun saluran pipa
hidung. Sementara itu perhatikan adanya hiperpireksia, gelisah atau kejang, nyeri, dan
lainnya.
2. Pengobatan
a. Isoniazid atau INH, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari (pada anak), dan pada
dewasa dengan dosis 400 mg/hari.
23
b. Streptomisin, diberikan intra muscular selama kurang lebih 3 bulan, tidak boleh terlalu
lama. Dosisnya 30-50 mg/kgBB/hari. Hati-hati karena bersifat autotoksik. Bila perlu
pemberian streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan sampai CSS
menjadi normal. Sementara itu obat jenis lain dapat diteruskan sampai kurang lebih 2
tahun.
c. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari. Pada orang dewasa dapat
diberikan dengan dosis 600 mg/hari, dengan dosis tunggal. Pada anak-anak dibawah 5
tahun harus hati-hati karena dapat menyebabkan neuritis optika.
d. PAS atau para-amino-salicylic-acid, diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Dapat diberikan sampai 12 gram/hari. PAS sering menyebabkan
gangguan nafsu makan.
e. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari sampai 1500 mg/hari, selama
kurang lebih 2 bulan. Obat ini dapat menyebabkan neuritis optika, sementara itu INH
dapat menyebabkan polineuritis.
f. Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari
(dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu kemudian
diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid
seluruhnya adalah kurang lebih 3 bulan. Namun kortikosteroid dapat membahayakan
pasien melalui munculnya superinfeksi, kemampuan menutupi penyakitnya (masking
effect).
g. Pemberian tuberculin intratekal, ditujukan untuk mengaktivasi enzim lisosomal yang
menghancurkan eksudat di bagian dasar otak.
h. Pemberian enzim proteolitik seperti streptokinase secara intratekal mempunyai tujuan
untuk menghalangi adesi. Bila pengobatan diberikan cepat dan tepat, biasanya berhasil
setelah 7-10 hari. Secara klinis biasanya ditandai dengan hilangnya nyeri kepala dan
gangguan mental.
Pada umumnya tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi dikenal dengan triple
drug, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis tuberkulostatika lainnya.
Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan
diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Bila meningitis TB
24
tidak diobati, prognosisnya buruk sekali. Pasien dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu.
Selain itu usia pasien juga mempengaruhi prognosis, anak di bawah 3 tahun dan dewasa di
atas 40 tahun mempunyai prognosis yang buruk.2
Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan
gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus,
ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.2,13,14
Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan
pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya
sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini
biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap
seperti kejang dan mental subnormal.2,13,14
Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima
pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi
prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan,
kortikotropin dan gonadotropin.3,14,15
Pencegahan12,15
1. Perlindungan terhadap sumber penularan. Prioritas pengobatan sekarang ditujukan
terhadap orang dewasa. Akan tetapi TB anak yang tidak mendapat pengobatan akhirnya
menjadi TB dewasa dan akan menjadi sumber penularan.
2. Vaksinasi BCG
Pemberian BCG meninggikan daya ahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis
yang virulen. Imunitas timbul 6-8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi
tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak
progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat. Pemberian vaksin BCG dapat
mengurangi morbiditas sampai 74%. BCG biasanya diberikan pada anak dengan uji
tuberkulin negatif dan biasanya uji tuberkulin diulangi 6 minggu setelah BCG dan kalau
masih negatif dianjurkan untuk mengulangi BCG. Tetapi sekarang dianjurkan pemberian
BCG secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin karena cara ini lebih menghemat
ongkos dan mencakup lebih banyak anak.
25
Vaksin BCG diberikan intradermal 0,1 ml untuk anak-anak dan orang dewasa, dan 0,05 ml
untuk bayi.
3. Kemoprofilaksis
Sebagai kemoprofilaksis biasanya dipakai INH dengan dosis 10mg/kgBB/hari selama 1
tahun. Anak-anak di bawah usia 4 tahun dari keluarga penderita TBC dan orang-orang
dengan risiko besar mendapat infeksi dapat diberikan secara kontinu. Bila terdapat
intoleransi dapat diganti dengan rifampisin, maksimal 6 bulan. Disamping itu, dilakukan
pula imunisasi BCG.
4. Tutup mulut menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup mulut kapan saja
ketika di diagnosis TB, merupakan langkah pencegahan TBC secara efektif. Jangan lupa
untuk membuangnya secara tepat.
5. Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat tidur.
6. Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari.
7. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya dan tidak
boleh digunakan oleh orang lain.
8. Pengobatan terhadap infeksi dan penemuan sumber penularan. Apabila sudah terdiagnosis
TB maka harus menjalani pengobatan secara intensif agar tidak terjadi komplikasi seperti
meningitis TB.
9. Pencegahan terhadap menghebatnya penyakit dengan diagnosis dini.
Kesimpulan
Meningitis adalah suatu peradangan pada selaput otak. Meningitis tuberkulosa
merupakan peradangan selaput otak oleh Mycobacterium tuberculosis. Meningitis TB dapat
terjadi melalui 2 tahapan, tahap pertama adalah ketika basil M.tuberculosis masuk melalui
inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi
regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk
tuberkel. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran tuberkel sampai kemudian ruptur ke
dalam ruang subarakhnoid dan mengakibatkan meningitis.
Meningitis TB merupakan bentuk TB paling fatal dan menimbulkan gejala sisa
permanen, oleh karena itu dibutuhkan diagnosis dan terapi yang segera. Penyakit ini
merupakan TB ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2%
dari semua kasus TB ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus TB.2
26
Daftar Pustaka
1. Rachmayati S, Parwati I, Rizal A, Oktavia D. Meningitis tuberculosis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 17, No.3, Juli 2011: 159-162.
2. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.h.161-3, 183-8.
3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga, 2007.h.37-9.4. Juwono T. Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek. Jakata: EGC, 2000.h.1-9, 17-
20.5. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Neuropsikiatri. Edisi 2011. Diunduh dari
http://repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf, 30 Desember 2012.6. Japardi I. Cairan serebrospinal. Edisi 2002. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1989/1/bedah-iskandar%20japardi5.pdf, 30 Desember 2012.
7. Seriawati L, Makmuri MS, Asih RS. Tuberkulosis. Edisi 2006. Diunduh dari http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-xgdt286.htm, 30 Desember 2012.
8. Mandal A. Meningitis. Edisi 2007. Diunduh dari http://www.news-medical.net/health/Meningitis-Symptoms-(Indonesian).aspx, 30 Desember 2012.
9. Centers for Disease Control and Prevention. Viral meningitis. Edition July 2007. Downloaded from http://www.state.nj.us/health/cd/documents/faq/viralmeningitis_faq.pdf, 30 December 2012.
10. Dhamija RM, Bansal J. Bacterial meningitis (meningoencephalitis): a review. JIACM 2006; 7(3): 255-35.
11. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga, 2006.h. 362-3.12. Rahajoe NN, Setiawati L. Tatalaksana TB. Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto
DB. Buku ajar respirologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008.h.214-26.13. Thwaites G, Chau TTH, Mai NTH, Drobniewski F, McAdam K, Farrar J. Tuberculous
meningitis. Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;68:289-99.14. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga, 2008.h.125-6.15. Harijanto PN. Malaria. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.2813-19.
27