meningitis tuberkulosa

41
Diagnosis dan Pentalaksanaan pada Meningitis Tuberkulosa EUNIKE 102010203 Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Pendahuluan Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak yang mengenai lapisan piamater dan ruang subarakhnoid maupun arakhnoid, dan termasuk cairan serebrospinal (CSS). Peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu membran atau selaput yang melapisi otak dan medulla spinalis, dapat disebabkan organisme seperti virus, bakteri, ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak. 1 Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput otak arakhnoid dan piamater yang disertai cairan otak yang jernih, penyebab tersering adalah Mycobacterium tuberculosa, penyebab lainnya seperti virus, Toxoplasma gondhii , dan Ricketsia. 1 Sedangkan meningitis purulenta adalah radang bernanah pada selaput otak, penyebabnya antara lain, Diplococcus pneumonia (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus 1

Upload: eunike-harnadi

Post on 24-Oct-2015

102 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Diagnosis dan Pentalaksanaan pada Meningitis

Tuberkulosa

EUNIKE

102010203

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA

Pendahuluan

Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak yang mengenai lapisan piamater

dan ruang subarakhnoid maupun arakhnoid, dan termasuk cairan serebrospinal (CSS).

Peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu membran atau selaput yang melapisi otak dan

medulla spinalis, dapat disebabkan organisme seperti virus, bakteri, ataupun jamur yang

menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak.1

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada

cairan otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah

radang selaput otak arakhnoid dan piamater yang disertai cairan otak yang jernih, penyebab

tersering adalah Mycobacterium tuberculosa, penyebab lainnya seperti virus, Toxoplasma

gondhii, dan Ricketsia.1

Sedangkan meningitis purulenta adalah radang bernanah pada selaput otak,

penyebabnya antara lain, Diplococcus pneumonia (pneumokok), Neisseria meningitidis

(meningokok), Streptococcus haemolyticus group A, Staphylococcus aureus, Haemophillus

influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa.1

Meningitis tuberkulosa merupakan salah satu manifestasi klinis TB diluar paru, yaitu

di sususan saraf pusat (SSP). Dibandingan dengan jenis-jenis tuberkulosis yang lain,

meningitis tuberkulosa paling banyak menyebabkan kematian. Jumlah penderita meningitis

tuberkulosa kurang lebih sebanding dengan prevalensi infeksi oleh Mycobacterium

tuberculosa pada umumnya.

Alamat Korespondensi : Universitas Kristen Krida Wacana Fakultas Kedokteran (Kampus II) Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat ;

Website : www.ukrida.ac.id ; NIM : 102010203; Email : [email protected]

1

Dibandingkan dengan meningitis bakterial akut, maka perjalanan penyakit lebih lama dan

perubahan atau kelainan dalam CSS tidak begitu hebat.1,2

Tujuan penulisan makalah ini adalah agar dapat membantu dan menambah

pengetahuan pembaca mengenai penyakit meningitis tuberkulosa dan cara mengatasinya.

Anatomi Lapisan Meningen

Otak dan medulla spinalis dilapisi oleh meningen. Selain melapisi otak dan medulla

spinalis , meningen juga berfungsi yang melindungi struktur saraf yang halus, membawa

pembuluh darah dan mensekresi cairan serebrospinal (CSS). Selaput meningen terdiri dari 3

lapisan, yaitu:2

1. Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan

meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa

yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput

arakhnoid dibawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural), dimana

sering dijumpai terjadinya pendarahan.

2. Arakhnoid

Merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang, terletak antara piamater sebelah dalam

dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh

ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid

yang terisi oleh CSS. Pendarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cidera

kepala.

3. Piamater

Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membran vaskuler

yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling

dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-

arteri yang masuk ke dalam otak juga diliputi oleh piamater. Perhatikan gambar 1.

2

Gambar 1. Susunan Lapisan Meningen (sumber: http://www.adamimages.com/Meninges-of-

the-brain-Illustration/PI10111/F4)

Anamnesis

Dalam setiap pemeriksaan anamnesis harus selalu dilakukan dengan benar, karena hal

ini sangat membantu dalam membuat suatu diagnosis dan juga langkah terapi yang akan

dilakukan. Beberapa hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis adalah:3,4

1. Identitas pasien

2. Keluhan utama

Pada kelainan sistem saraf bisa menimbulkan berbagai macam gejala, diantaranya:

Nyeri kepala,

Kejang, pingsan, atau gerakan aneh

Pening atau vertigo

Masalah penglihatan

Kelainan penciuman/pengecapan

Kesulitan berbicara

Masalah menelan

Kesulitan berjalan

Ekstremitas lemah

Gangguan sensoris

Nyeri

Gerakan involunter atau tremor

Masalah pengendalian sfingter (buang air keci/besar)

Gangguan fungsi mental luhur, seperti bingung atau perubahan kepribadian

3

3. Riwayat penyakit dahulu

Adakah riwayat gangguan neurologis sebelumnya?

Adakah riwayat penyakit sistemik, khususnya kelainan kardiovaskular? (stroke adalah

penyebab defisit neurologis yang paling umum)

Adakah riwayat penyakit TBC?

4. Obat-obatan

Pertimbangan terapi gangguan neurologis dan pengobatan yang mungkin merupakan

penyebab timbulnya gejala.

5. Riwayat keluarga

Adakah riwayat gangguan neurologis dalam keluarga? (tedapat banyak kelainan

neurologis penting yang diturunkan, misalnya korea Huntington)

Adakah riwayat penyakit TBC pada keluarga? Ada kontak?

6. Riwayat sosial

Ketidakmampuan apa saja yang dimiliki pasien?

Mengapa pasien tidak dapat melakukan apa yang ingin ia lakukan?

Apakah pasien menggunakan alat bantu untuk bergerak?

Bantuan apa saja yang didapat oleh pasien?

7. Penyelidikan fungsional

Pertimbangkan gejala peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala yang diperberat saat

mengejan, batuk, bangun di pagi hari, dan gangguan penglihatan). Adakah gejala

neurologis sebelumnya seperti gangguan penglihatan, kelemahan, atau mati rasa?

Pemeriksaan Fisik3-5

Tujuan utama pemeriksaan fisik saraf adalah mengungkapkan dan menjelaskan defisit

fungsi, dan untuk menjelaskan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah

disebabkan oleh lesi pada otak, sumsum tulang belakang, saraf perifer, atau otot. Berikut

beberapa hal yang perlu di periksa, yaitu:

1. Keadaan umum

Pemeriksaan keadaan umum meliputi:

a. Kesan umum dari inspeksi seluruh tubuh, misal menurunnya kesadaran, bentuk kepala

yang terlalu besar atau terlalu kecil, edema generalisata, nampak sakit dan gelisah, dan

sebagainya.

4

b. Pemeriksaan umum terutama pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut

nadi, frekuensi pernapasan, suhu), sistem kardiopulmoner, sistem gastrointestinal,

urogenital, anggota gerak, leher, kepala, dan muka.

2. Tingkat kesadaran

Pemeriksaan tingkat kesadaran yang sekarang dipakai adalah skala dari Glasgow

(Glasgow coma scale) yang lebih praktis karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan

sistematik, dibandingkan dengan cara lama seperti apatis, somnolen, stupor, sopor, dan

koma.

Pada setiap pasien dengan gangguan kesadaran, maka ada 4 hal yang perlu diperiksa selain

tingkat kesadaran, yaitu:

a. Tingkat kesadaran

b. Mata, yang meliputi pupil (refleks cahaya, anisokoria), gerakan bola mata (gerakan

konjugasi bola mata), berguna untuk menentukan kelainan neurologis atau metabolik.

c. Respirasi yang dikaitkan dengan lokalisasi lesi di otak dan berhubungan dengan

beratnya gangguan tingkat kesadaran.

d. Respons motorik terhadap ransangan nyeri. Adanya gerakan motorik terhadap

ransangan nyeri (menjauhi ransang tersebut) menunjukkan fungsi spino-thalamo-

cortical (sensory ascending pathway) dan tractus cortico-spinalis (tractus piramidalis)

yang masih baik, sedangkan tidak adanya gerakan motorik pada salah satu anggota

gerak tetapi menunjukkan “grimacing” (meringis) sewaktu diberikan rangsangan nyeri

menunjukkan adanya disfungsi tractus cortico-spinalis tanpa disfungsi daripada

sensory ascending pathway.

Cara pemeriksaan skala dari Glasgow (Glasgow coma scale, GCS), didasarkan pada

respon dari mata, pembicaraan, dan motorik. Dimana masing-masing mempunyai

nilai/score tertentu, mulai dari yang paling baik (normal) sampai dengan yang paling jelek.

Jumlah/total scoring paling jelek adalah 3, sedangkan yang paling baik (normal) adalah

15. Perhatikan tabel 1.

Tabel 1. Glasgow Coma Scale

Score

1. Eye open

spontan membuka mata

terhadap suara membuka mata

4

3

5

terhadap nyeri membuka mata

menutup mata terhadap segala jenis rangsang

2

1

2. Verbal response

Berorientasi baik

Bingung (bisa membentuk kalimat tapi arti keseluruhan kacau)

Bisa membentuk kata tapi tidak mampu mengucapkan suatu

kalimat

Bisa mengeluarkan suara yang tidak punya arti (groaning)

Suara tidak ada

5

4

3

2

1

3. Motoric response

Menurut perintah

Dapat melokalisir ransangan sensorik di kulit (raba)

Menolak ransangan nyeri pada anggota gerak (withdrawal)

Menjauhi ransangan nyeri (fleksi)

Ekstensi spontan

Tidak ada gerakan

6

5

4

3

2

1

3. Pemeriksaan tanda rangsangan meningeal

a. Kaku kuduk

Cara : Pasien tidur telentang tanpa bantal.

Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,

kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama

penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan

tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau

berat.

Hasil pemeriksaan:

Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat menyentuh sternum, atau fleksi

leher normal/kaku kuduk negatif.

Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher kaku kuduk positif.

b. Brudzinski

Cara : Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan

dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi

sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian

kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada.

6

Hasil Pemeriksaan :

Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi

lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. Perhatikan gambar 2.

Gambar 2. Pemeriksaan Brudzinski’s Sign (sumber:

http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/brudzinski's%20sign)

c. Kernig

Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada

persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah

diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 derajat

terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut

135 derajat, maka dikatakan kernig sign positif. Perhatikan gambar 3.

Gambar 3. Pemeriksaan Kernig’s Sign (sumber:

http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/kernig's%20sign)

d. Laseque

7

Cara : Pasien berbaring terlentang. Angkat satu tungkai pasien dengan fleksi di sendi

panggul sampai membentuk sudut 70 derajat, sedangkan tungkai lain dalam keadaan

lurus.

Hasil Pemeriksaan :

Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 70 derajat, maka

dikatakan laseque sign positif.

4. Pemeriksaan nervi kranialis

a. Pemeriksaan nervus III, IV, dan VI

Fungsi N III (okulomotorius), IV (troklearis), VI (abdusen) saling berkaitan dan

diperiksa bersama-sama. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan

mengangkat kelopak mata. Serabut otonom N III mengatur otot pupil.

Pemeriksaan nervi III,IV,VI:

Inspeksi saat istirahat

Kedudukan bola mata

Pemeriksaan :

Kedudukan mata kiri dan kanan semetris/tidak

Strabismus, deviasio conjugee, krisis akulogirik

Eksoptalmus / endoftalmus

Interpretasi normal : Kedudukan bola mata simetris

Observasi celah kelopak mata

Pemeriksaan :

Penderita memandang lurus kedepan

Perhatikan kedudukan kelopak mata terhadap pupil dan iris

Interpretasi normal : simetris kanan-kiri

Pemeriksaan gerakan bola mata

Penilaian gerakan monokular

Penilaian gerakan kedua bola mata atas perintah

Penilaian gerakan bola mata mengikuti

obyek bergerak

Pemeriksaan gerakan konjungat

reflektorik (doll’s eye movement).

Perhatikan gambar 4.

8

Gambar 4. Doll’s Eye Movement (sumber: http://www.google.co.id)

Interpretasi gerakan bola mata:

Normal:

Gerakan konjungate

Gerakan diskonjungat / gerakan konversion

Dolls eye movement (+)

b. Pemeriksaan nervus VII

Pemeriksaan fungsi motorik N.Fasialis

Pemeriksaan dan Interpretasi fungsi motorik

Observasi otot wajah dalam keadaan istirahat

Pemeriksaan:

Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan kanan

apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis, lebarnya celah

mata, lipatan kulit nasolabialis dan sudut mulut.

Observasi otot wajah saat digerakkan

Mengerutkan dahi, dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam.

Mengangkat alis.

Menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa.

Moncongkan bibir atau menyengir.

Suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan

apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi

yang lumpuh.

c. Pemeriksaan nervus XII

9

Cara pemeriksaan N. hipoglosus:

Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan perkataan tidak dapat

diucapkan dengan baik (cadel/pelo) hal demikian disebut disarthri.

Dalam keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser ke daerah lumpuh

karena tonus disini menurun.

Bila lidah dijulurkan maka lidah akan membelok kesisi yang sakit.

Melihat apakah ada atrofi atau fasikulasi pada otot lidah.

Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah ke samping pada pipi dan

dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi.

5. Pemeriksaan refleks fisiologis

a. Pemeriksaan Refleks pada Lengan

Pemeriksaan Reflex Biseps

Pasien duduk dengan santai,lengan dalam keadaan lemas,siku dalan posisi

sedikit fleksi dan pronasi.

Letakan ibu jari pemeriksa di atas tendo biseps,lalu pukul ibu jari tadi dengan

menggunakan refleks hammer.

Reaksinya adalak fleksi lengan bawah. Bila refleks meninggi maka zona

refleksogen akan meluas.

Pemeriksaan Refleks Triseps

Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep.

Apabila lengan pasien sudah benar-benar relaksasi (dengan meraba trisep tidak

teraba tegang), pukullah tendon yang lewat di fossa olekrani.

Maka trisep akan berkontraksi dengan sedikit menyentak.

b. Pemeriksaan Refleks pada Tungkai

Refleks Patella

Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai.

Daerah kanan-kiri tendo patella terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan

daerah

yang tepat.

Tangan pemeriksa yang satu memegang paha bagian distal, dan tangan yang

lain

memukul tendo patella tadi dengan reflex hammer secara tepat.

Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps,

dan

10

pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak

untuk

kemudian berayun sejenak.

Apabila pasien tidak mampu duduk, maka pemeriksaan reflex patella dapat

dilakukan dalam posisi berbaring.

Refleks Achiles

Pasien dapat duduk dengan posisi menjuntai, atau berbaring tau dapat pula

penderita berlutut dimana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur di

luar kursi pemeriksaan.

Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon achiles dengan cara

menahan ujung kaki kearah dorsofleksi.

Tendon Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat.

Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak.

6. Pemeriksaan refleks patologis

Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu normal.

Refleks patologis pada ekstemitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih

reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas.

a. Refleks Klonus kaki

Cara pemeriksaan: sanggah lutut pada posisi fleksi ringan. Lalu dengan tangan yang

lain lakukan dorsofleksi tiba-tiba dan pertahankan beberapa saat.

b. Babinsky sign

Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks.

Reaksi: Dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari

lainnya. Intepretasi: normal (-)

Pemeriksaan Penunjang1,2,6,7

1. Pengambilan cairan serebrospinal

Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Punksi, Sisternal

Punksi, atau Lateral Cervical Punksi. Lumbal Punksi merupakan prosedur neuro

diagnostik yang paling sering dilakukan, sedangkan sisternal punksi dan lateral cervical

punksi hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli.

Indikasi Lumbal Punksi:

a. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksaan sel, kimia, dan

bakteriologi.

11

b. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotik, anti tumor, dan

spinal anastesi.

c. Untuk membantu diagnosis dengan penyuntikan udara pada pneumoencephalografi,

dan zat kontras pada myelografi.

Kontra indikasi Lumbal Pungsi:

a. Ada peninggian tekanan intrakranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan papil

edema.

b. Penyakit kardiopulmonal yang berat.

c. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi.

Persiapan Lumbal Punksi:

a. Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan LP.

b. Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasien/keluarga terutama

pada LP dengan resiko tinggi.

Teknik Lumbal Punksi:

a. Pasien diletakkan pada pinggir tempat tidur, dalam posisi lateral decubitus dengan

leher, punggung, pinggul dan tumit lemas. Boleh diberikan bantal tipis dibawah kepala

atau lutut.

b. Tempat melakukan pungsi adalah pada kolumna vetebralis setinggi L3-4, yaitu setinggi

crista iliaca. Bila tidak berhasil dapat dicoba lagi intervertebrale ke atas atau ke bawah.

Pada bayi dan anak setinggi intervertebrale L4-5.

c. Bersihkan dengan yodium dan alkohol daerah yang akan dipungsi.

d. Dapat diberikan anasthesi lokal lidocain HCL.

e. Gunakan sarung tangan steril dan lakukan punksi, masukkan jarum tegak lurus dengan

ujung jarum yang mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan menembus jaringan

meningen penusukan dihentikan, kemudian jarum diputar dengan bagian pinggir yang

miring menghadap ke

kepala.

f. Dilakukan pemeriksaan

tekanan dengan manometer dan test

Queckenstedt bila diperlukan.

Kemudian ambil sampel untuk

12

pemeriksaan jumlah dan jenis sel, kadar gula, protein, kultur bakteri dan sebagainya.

Perhatikan gambar 5.

Gambar 5. Posisi Lumbal Punksi (sumber:

http://ilmu-keperawatann.blogspot.com/2012/04/prosedur-lumbal-pungsi.html)

Komplikasi Lumbal Punksi:

a. Sakit kepala, biasanya dirasakan segera sesudah lumbal punksi, ini timbul karena

pengurangan cairan serebrospinal.

b. Backache, biasanya di lokasi bekas punksi disebabkan spasme otot.

c. Infeksi

d. Herniasi

e. Untrakranial subdural hematom.

f. Hematom dengan penekanan pada radiks.

g. Tumor epidermoid intraspinal.

Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui dengan

memperhatikan:

a. Warna

Normal cairan serebrospinal warnanya jernih dan patologis bila berwarna kuning,

santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul dari protein.

Peningkatan protein yang penting dan bermakna dalam perubahan warna adalah bila

lebih dari 1 g/L.

13

Cairan serebrospinal berwarna pink berasal dari darah dengan jumlah sel darah merah

lebih dari 500 sdm/cm3. Sel darah merah yang utuh akan memberikan warna merah

segar. Eritrosit akan lisis dalam satu jam dan akan memberikan warna cucian daging di

dalam cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak purulenta bila jumlah leukosit

lebih dari 1000 sel/ml.

b. Tekanan

Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan tahanan

terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya naik, maka

tekanan naik, bila salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya turun. Tekanan

CSS tergantung pada posisi, bila posisi berbaring maka tekanan normal cairan

serebrospinal antara 8-20 cmH2O pada daerah lumbal, siterna magna dan ventrikel,

sedangkan jika penderita duduk tekanan cairan serebrospinal akan meningkat 10-30

cmH2O. Kalau tidak ada sumbatan pada ruang subarakhnoid, maka perubahan tekanan

hidrostastik akan ditransmisikan melalui ruang serebrospinalis. Pada pengukuran

dengan manometer, normal tekanan akan sedikit naik pada perubahan nadi dan

respirasi, juga akan berubah pada penekanan abdomen dan waktu batuk.

Kegagalan sirkulasi normal CSS dapat menyebabkan pelebaran vena dan

hidrocephalus. Keadaan ini sering dibagi menjadi hidrosefalus komunikans dan

hidrosefalus obstruktif. Pada hidrosefalus komunikans terjadi gangguan reabsorpsi

CSS, dimana sirkulasi CSS dari ventrikel ke ruang subarachnoid tidak terganggu,

kelainan ini bisa disebabkan oleh adanya infeksi, perdarahan subarakhnoid, trombosis

sinus sagitalis superior, keadaan-keadaan dimana

viskositas CSS meningkat dan produksi CSS yang meningkat.

Hidrosefalus obstruktif terjadi akibat adanya ganguan aliran CSS dalam sistim ventrikel

atau pada jalan keluar ke ruang subarakhnoid. Kelainan ini dapat disebabkan stenosis

aquaduktus serebri, atau penekanan suatu masa terhadap foramen Luschka for Magendi

ventrikel IV, aquaduktus Sylvi dan foramen Monroe. Kelainan tersebut bisa berupa

kelainan bawaan atau didapat.

c. Jumlah sel

Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel

polimorfonuklear saja. Sel leukosit jumlahnya akan meningkat pada proses inflamasi.

Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan lebih dari 30 menit

setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis,

pengendapan dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara

14

bermakna. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak

spesifik. Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan

sel yang lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik.

Pada meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada

meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara

berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri

atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk

ke arah penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L.

monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi

cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis

tuberkulosis, neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda

asing.

d. Glukosa

Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal sangat

bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai tempat

pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbal. Rasio normal

kadar glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah

>0,6. Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi

transportasi membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan

hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap

terpelihara. Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan

serebrospinal, glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derajat yang bervariasi, dan

paling umum pada proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis

oleh carcinoma. Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada

meningitis sarcoidosis, infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau

meningitis zat khemikal.

Inflamasi pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rhematoid mungkin

juga ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral,

mumps, limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar

glukosa ringan sampai sedang.

e. Protein

15

Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. Pada

sisterna 10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 mg%. Kadar gamma

globulin normal 5-15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg% akan

menyebabkan cairan serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar

protein yang ekstrim lebih dari 1,5 gr% akan menyebabkan pada permukaan tampak

sarang laba-laba (pellicle) atau bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen.

Kadar protein cairan serebrospinal akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah

otak (blood brain barrier), reabsorbsi yang lambat atau peningkatan sintesis

immunoglobulin lokal.

Perubahan kadar protein di cairan serebrospinal bersifat umum tapi bermakna sedikit,

bila dinilai sendirian akan memberikan sedikit nilai diagnostik pada infeksi susunan

saraf pusat.

f. Elektrolit

Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130

mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak

menunjukkan perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdapat penurunan kadar Cl

pada meningitis tapi tidak spesifik.

g. Osmolaritas

Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L). Bila terdapat

perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS.

h. pH

Keseimbangan asam basa harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis dan

metabolik alkalosis. pH cairan serebrospinal lebih rendah dari pH darah, sedangkan

PCO2 lebih tinggi pada cairan serebrospinal. Kadar HCO3 adalah sama (23 mEg/L). pH

CSS relatif tidak berubah bila metabolik asidosis terjadi secara subakut atau kronik,

dan akan berubah bila metabolik asidosis atau alkalosis terjadi secara cepat.

Pemeriksaan lumbal punksi pada meningitis TB memperlihatkan CSS yang jernih,

kadang-kadang sedikit keruh atau ground glass appearance. Bila CSS didiamkan maka

akan terjadi pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10-

500/ml dan kebanyakan limfosit. Kadang-kadang oleh reaksi tuberculin yang hebat

terdapat peningkatan jumlah sel, lebih dari 1000/ml. Kadar glukosa rendah, antara 20-40

mg%, kadar Cl dibawah 600 mg%. CSS dan endapan sarang laba-laba dapat diperiksa

untuk pembiakan atau kultur menurut pewarnaan Ziehl-Nielsen. Perhatikan tabel 2.

16

Tabel 2. Perbedaan Pemeriksaan Lumbal Punksi

Makroskopik White Blood Cell Protein Glukosa

Meningitis

bakterial

Purulen, kuning

muda, bekuan

lunak

25-10000,

terutama PMN

50-1500 0-45

Meningitis

virus

Jernih 10-1000,

terutama MN

Meningkat Normal

Meningitis TB Kuning muda,

bekuan lunak

10-1000,

terutama MN

45-500 10-45

2. Pemeriksaan radiologi

a. Foto toraks: dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.

Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru ialah:

Komplek primer dengan atau tanpa perkapuran.

Pembesaran kelenjar paratrakeal.

Penyebaran milier.

Penyebaran bronkogen.

Atelektasis.

Pleuritis dengan efusi.

b. CT-scan kepala, dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta

adanya dan luasnya hidrosefalus. Hasil pemeriksaan CT-scan dan MRI pada pasien

meningitis TB adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit,

gambaran sering ditemukan adanya enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus

komunikans yang disertai tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini.

Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks

serebri atau thalamus.

3. Pemeriksaan darah, dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan hitung jenis

leukosit, laju endap darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, kultur.

a. Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada

meningitis TB didapatkan juga peningkatan LED.

b. Pada meningitis purulenta/bakterialis didapatkan peningkatan leukosit dengan

pergeseran ke kiri pada hitung jenis.

17

Diagnosis

Diagnosis kerja dari kasus ini adalah meningitis tuberkulosis, untuk mengekkan

diagnosis ini maka anamnesis harus lebih diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita

tuberkulosis, keadaan sosial-ekonomi, imunisasi. Sementara itu gejala-gejala yang khas untuk

meningitis tuberkulosis ditandai dengan tekanan intrkranial yang meningkat, muntah

proyektil, nyeri kepala yang hebat dan progresif, penurunan kesadaran, dan pada bayi tampak

fontanel yang menonjol.1,2

Namun perlu dipertimbangkan adanya kemungkinan lain/diagnosis banding,

seperti:1,2,8,10

1. Meningitis virus

Meningitis virus biasanya disebut meningitis aseptik. Sering terjadi akibat lanjutan

dari bermacam-macam penyakit akibat virus, meliputi measles, mumps, herpes simplek,

dan herpes zooster.

Meningitis virus ini termasuk penyakit ringan, gejalanya mirip dengan sakit flu biasa,

dan umumnya dapat sembuh sendiri dan kembali seperti semula. Selain itu gejala yang

sering timbul adalah demam, nyeri kepala, lelah, mual, kaku kuduk, fotofobia juga dapat

ditemukan. Pada bayi gejala yang sering adalah demam, anoreksia, kesulitan untuk

bangun.

Sering terjadi pada anak-anak, namun pada orang dewasa juga bisa terutama dengan

sistem imun yang rendah.

Virus penyebab meningitis dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu virus RNA dan virus

DNA. Contoh virus RNA adalah enterovirus (polio), arbovirus (rubella), mixovirus

(influenza, parotitis, dan morbili). Sedangkan contoh virus DNA antara lain virus herpes,

dan retrovirus (AIDS).

Penatalaksanaan bersifat simtomatik dengan rehidrasi dan analgesia.

2. Meningitis bakterial

Sering dihubungkan dengan sindrom sepsis (demam, takikardia, hipotensi, atau syok).

Meningitis biasanya terjadi karena bateremia yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis,

walaupun Streptococcus pneumoniae dapat muncul pada orang-orang dengan pneumonia

pneumokokus (lebih sering pada manula dan penyalahguna alkohol) atau kerusakan dura

(fraktur tengkorak, sepsis telinga, atau penyakit sinus).

18

Kuman-kuman tersebut masuk ke dalam susunan saraf pusat secara hematogen atau

langsung menyebar dari kelainan di nasofaring, paru-paru (pneumonia,

bronkopneumonia), dan jantung (endokarditis). Mula-mula pembuluh darah meningeal

yang kecil dan sedang mengalami hiperemi, dalam waktu yang sangat singkat terjadi

penyebaran sel-sel leukosit polomorfonuklear ke dalam ruang subarachnoid, kemudian

terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan

dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan,

bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam

terdapat makrofag.

Selain pada arteri, proses radang juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat

menyebabkan thrombosis, infark otak, edema otak, dan degenerasi neuron-neuron.

Thrombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan

kelainan nervi kraniales (N. III, IV, VI, VII, dan VIII). Organisasi di ruang subarakhnoid

superficial dapat menghambat aliran dan absorbsi CSS, sehingga mengakibatkan

hidrosefalus komunikans.

Bila dicurigai meningitis bakterial, maka antibiotik spektrum luas (misalnya

sefotaksim dosis tinggi) harus segera diberikan. Diagnosis dipastikan dengan

mengindentifikasi organisme (kultur darah, pemeriksaan mikroskopik CSS), kultur dan

polymerase chain reaction (PCR, atau serologi darah).

Pada neonatus gejala meningitis bakterial umumnya terjadi secara akut dengan panas

tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum

sangat berkurang, konstipasi, diare. Biasanya disertai septikemia dan pneumonitis. Kejang

terjadi pada kurang lebih 44% anak dengan penyebab Haemophillus influenzae, 25% oleh

Streptococcus pneumoniae, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok.

Gangguan kesadaran berupa apati, letargi, renjatan, koma.

Pada anak yang lebih besar atau orang dewasa, permulaan penyakit juga terjadi akut

dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot

dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas.

Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi, dan

takikardi karena septikemia. Gangguan kesadaran berupa letargi sampai koma yang dalam

dapat dijumpai pada penderita. Nyeri kepala bisa hebat sekali, rasanya seperti mau pecah

dan bertambah hebat bila kepala digerakkan. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh proses

radang pembuluh darah meningeal, tetapi juga dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan

19

intrakranial yang disertai fotofobia dan hiperestesi. Suhu badan makin meningkat, tetapi

jarang disertai gemetar.

Etiologi

Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, umumnya

adalah jenis hominis, jarang oleh jenis bovinum atau aves. Mycobacterium tuberculosis

merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3 µm,

mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering,

serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis

bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia.1,2,11,12

Meningitis TB merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada

penyakit TB paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen

dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang,

sendi, dan selaput otak.1,2

Epidemiologi

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi M.tuberculosis, sekitar

95% kasus TB dengan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi di negara berkembang.

Jumlah penderita TB di Indonesia merupakan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan

Cina dengan jumlah sekitar 10% dari jumlah keseluruhan penderita TB di dunia.2

Angka kejadian penderita meningitis TB di Inggris adalah 1,5% dari jumlah

keseluruhan penderita TB di luar paru. Kematian biasanya dikarenakan oleh keterlambatan

diagnosis dan penanganannya. Penyakit ini merupakan TB ekstrapulmoner kelima yang

sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus TB ekstrapulmoner serta

0,7% dari semua kasus TB.1,2

Meningitis TB dapat terjadi pada setiap usia terutama pada anak antara 6 bulan

sampai 5 tahun, jarang terdapat di bawah usia 6 bulan, kecuali apabila angka kejadian TB

sangat tinggi. Paling sering terjadi di bawah usia 2 tahun, yaitu antara 9-15 bulan.1

Klasifikasi

20

Meningitis TB dibagi dalam empat jenis menurut klasifikasi patologik. Umumnya

terdapat lebih dari satu jenis dalam setiap penderita meningitis TB, berikut penjelasannya:1,2

1. Tuberkulosis miliaris yang menyebar

Jenis ini merupakan komplikasi TB miliaris, biasanya dari paru-paru yang menyebar

langsung ke selaput otak secara hematogen. Keadaan ini terutama terjadi pada anak, jarang

pada dewasa. Pada selaput otak terdapat tuberkel-tuberkel yang kemudian pecah sehingga

terjadi peradangan difus dalam ruang subarakhnoid. Tuberkel-tuberkel juga terdapat pada

dinding pembuluh darah kecil di hemisfer otak bagian cekung dan dasar otak.

2. Bercak-bercak pengijuan fokal

Disini terdapat bercak-bercak pada sulkus-sulkus dan terdiri dari pengijuan yang

dikelilingi oleh sel-sel raksasa dan epitel. Dari sini terjadi penyebaran ke dalam selaput

otak. Kadang-kadang terdapat juga bercak-bercak pengijuan yang besar pada selaput otak

sehingga dapat menyebabkan peradangan yang luas.

3. Peradangan akut meningitis pengijuan

Jenis ini merupakan jenis yang paling sering dijumpai kurang lebih 78%. Pada jenis ini

terjadi invasi langsung pada selaput otak dari fokus-fokus tuberkulosis primer bagian lain

dari tubuh, sehingga terbentuk tuberkel-tuberkel beru pada selaput otak dan jaringan otak.

Meningitis timbul karena tuberkel-tuberkel tersebut pecah, sehingga terjadi penyebaran

kuman-kuman ke dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus

4. Meningitis proliferatif

Perubahan-perubahan proliferatif dapat terjadi pada pembuluh-pembuluh darah selaput

otak yang mengalami peradangan berupa endarteritis dan panarteritis. Akibat penyempitan

lumen arteri-arteri tersebut dapat terjadi infark otak. Perubahan-perubahan ini khas pada

meningitis proliferatif yang sebelum penemuan kemoterapi jarang dilihat.

Patofisiologi1,2,13

Meningitis TB selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar otak.

Fokus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang, sinus

nasals, traktus gastro-intestinalis, ginjal, dan sebagainya. Dengan demikian meningitis

tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi penyebaran tuberculosis paru-paru.

Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak oleh

penyebaran hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa

millimeter sampai 1 sentimeter), berwarna putih. Terdapat pada permukaan otak, selaput

21

otak, sumsum tulang belakang, tulang. Tuberkel tadi kemudian melunak, pecah dan masuk ke

dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara

mikroskopik tuberkel-tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel di bagian

lain dari kulit di mana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit,

sel-sel plasma, dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul.

Penyebaran juga dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan organ

atau jaringan di dekat selaput otak seperti proses di nasofaring, pneumonia,

bronkopneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis, sinus kavernosus, atau

spondilitis. Penyebaran kuman dalam ruang subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada

pia dan arakhnoid, CSS, ruang subarakhnoid, dan ventrikulus.

Akibat reaksi radang ini adalah terbentuknya eksudat kental, serofibrinosa dan

gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuclear, limfosit, sel

plasma, makrofag, sel raksasa, dan fibroblas. Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang

subarakhnoid saja, tetapi terutama terkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar

melalui pembuluh-pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawahnya, sehingga

proses sebenarnya adalah meningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus

Sylvii, foramen magendi, foramen Luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema

papil dan peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga terjadi pada pembuluh-pembuluh

darah yang berjalan dalam ruang subarachnoid berupa kongesti, peradangan dan penymbatan,

sehingga selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak terutama pada bagian

korteks, medula oblongata, dan ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan

otak dengan segala akibatnya.

Gejala Klinis1,2,13,14

1. Stadium I

Stadium prodromal berlangsung kurang lebih 2 minggu sampai 3 bulan. Permulaan

penyakit bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanyak kenaikan suhu yang ringan atau

hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, anoreksia, murung, berat badan

turun, tidak ada gairah, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan gangguan

kesadaran berupa apatis. Gejala-gajala ini lebih sering terlihat pada anak kecil. Untuk anak

yang lebih besar mengeluh nyeri kepala, anoreksia, obstipasi, muntah-muntah, pola tidur

terganggu. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,

anoreksia, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi, sangat gelisah.

22

2. Stadium II

Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal terutama pada anak

kecil dan bayi. Tanda-tanda ransangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapa menjadi

kaku dan timbul opistotonus, terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, ubun-

ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif

menyebabkan anak berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry.

Kesadaran semakin menurun. Terdapat gangguan nervi kraniales, antara lain N. II, III, IV,

VI, VII, dan VIII. Dalam stadium ini dapat terjadi defisit neurologik fokal seperti

hemiparesis, hemiplegia karena infark otak dan rigiditas deserebrasi. Pada fundoskopi

dapat ditemukan atrofi N. II dan khoroid tuberkel yaitu kelainan pada retina yang tampak

seperti busa berwarna kuning dan ukurannya sekitar setengah diameter papil.

3. Stadium III

Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh

terganggunya regulasi pada disensefalon. Pernapasan dan nadi juga tidak teratur dan

terdapat gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes atau Kussmaul. Gangguan

miksi berupa retensi atau inkontinensia urin. Didapatkan pula adanya gangguan kesadaran

makin menurun sampai koma yang dalam. Pada stadium ini penderita dapat meninggal

dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak memperoleh pengobatan yang tepat.

Penatalaksanan1,2

1. Perawatan umum

Pasien harus dirawat di rumah sakit, di bagian perawatan intensif. Dengan menentukan

diagnosis secepat dan setepat mungkin, pengobatan dapat segera dimulai.

Perawatan meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh,

antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi pada umumnya, posisi pasien,

perawatan kandung kemih dan defekasi, serta perawatan umum lainnya sesuai dengan

kondisi pasien.

Kebutuhan cairan, elektrolit, serta gizi dapat diberikan melalui infus maupun saluran pipa

hidung. Sementara itu perhatikan adanya hiperpireksia, gelisah atau kejang, nyeri, dan

lainnya.

2. Pengobatan

a. Isoniazid atau INH, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari (pada anak), dan pada

dewasa dengan dosis 400 mg/hari.

23

b. Streptomisin, diberikan intra muscular selama kurang lebih 3 bulan, tidak boleh terlalu

lama. Dosisnya 30-50 mg/kgBB/hari. Hati-hati karena bersifat autotoksik. Bila perlu

pemberian streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan sampai CSS

menjadi normal. Sementara itu obat jenis lain dapat diteruskan sampai kurang lebih 2

tahun.

c. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari. Pada orang dewasa dapat

diberikan dengan dosis 600 mg/hari, dengan dosis tunggal. Pada anak-anak dibawah 5

tahun harus hati-hati karena dapat menyebabkan neuritis optika.

d. PAS atau para-amino-salicylic-acid, diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, dibagi

dalam 3 dosis. Dapat diberikan sampai 12 gram/hari. PAS sering menyebabkan

gangguan nafsu makan.

e. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari sampai 1500 mg/hari, selama

kurang lebih 2 bulan. Obat ini dapat menyebabkan neuritis optika, sementara itu INH

dapat menyebabkan polineuritis.

f. Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari

(dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu kemudian

diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid

seluruhnya adalah kurang lebih 3 bulan. Namun kortikosteroid dapat membahayakan

pasien melalui munculnya superinfeksi, kemampuan menutupi penyakitnya (masking

effect).

g. Pemberian tuberculin intratekal, ditujukan untuk mengaktivasi enzim lisosomal yang

menghancurkan eksudat di bagian dasar otak.

h. Pemberian enzim proteolitik seperti streptokinase secara intratekal mempunyai tujuan

untuk menghalangi adesi. Bila pengobatan diberikan cepat dan tepat, biasanya berhasil

setelah 7-10 hari. Secara klinis biasanya ditandai dengan hilangnya nyeri kepala dan

gangguan mental.

Pada umumnya tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi dikenal dengan triple

drug, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis tuberkulostatika lainnya.

Prognosis

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan

diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Bila meningitis TB

24

tidak diobati, prognosisnya buruk sekali. Pasien dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu.

Selain itu usia pasien juga mempengaruhi prognosis, anak di bawah 3 tahun dan dewasa di

atas 40 tahun mempunyai prognosis yang buruk.2

Komplikasi

Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa

neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan

gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus,

ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.2,13,14

Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan

pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya

sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini

biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap

seperti kejang dan mental subnormal.2,13,14

Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima

pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi

prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan,

kortikotropin dan gonadotropin.3,14,15

Pencegahan12,15

1. Perlindungan terhadap sumber penularan. Prioritas pengobatan sekarang ditujukan

terhadap orang dewasa. Akan tetapi TB anak yang tidak mendapat pengobatan akhirnya

menjadi TB dewasa dan akan menjadi sumber penularan.

2. Vaksinasi BCG

Pemberian BCG meninggikan daya ahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis

yang virulen. Imunitas timbul 6-8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi

tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak

progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat. Pemberian vaksin BCG dapat

mengurangi morbiditas sampai 74%. BCG biasanya diberikan pada anak dengan uji

tuberkulin negatif dan biasanya uji tuberkulin diulangi 6 minggu setelah BCG dan kalau

masih negatif dianjurkan untuk mengulangi BCG. Tetapi sekarang dianjurkan pemberian

BCG secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin karena cara ini lebih menghemat

ongkos dan mencakup lebih banyak anak.

25

Vaksin BCG diberikan intradermal 0,1 ml untuk anak-anak dan orang dewasa, dan 0,05 ml

untuk bayi.

3. Kemoprofilaksis

Sebagai kemoprofilaksis biasanya dipakai INH dengan dosis 10mg/kgBB/hari selama 1

tahun. Anak-anak di bawah usia 4 tahun dari keluarga penderita TBC dan orang-orang

dengan risiko besar mendapat infeksi dapat diberikan secara kontinu. Bila terdapat

intoleransi dapat diganti dengan rifampisin, maksimal 6 bulan. Disamping itu, dilakukan

pula imunisasi BCG.

4. Tutup mulut menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup mulut kapan saja

ketika di diagnosis TB, merupakan langkah pencegahan TBC secara efektif. Jangan lupa

untuk membuangnya secara tepat.

5. Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat tidur.

6. Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari.

7. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya dan tidak

boleh digunakan oleh orang lain.

8. Pengobatan terhadap infeksi dan penemuan sumber penularan. Apabila sudah terdiagnosis

TB maka harus menjalani pengobatan secara intensif agar tidak terjadi komplikasi seperti

meningitis TB.

9. Pencegahan terhadap menghebatnya penyakit dengan diagnosis dini.

Kesimpulan

Meningitis adalah suatu peradangan pada selaput otak. Meningitis tuberkulosa

merupakan peradangan selaput otak oleh Mycobacterium tuberculosis. Meningitis TB dapat

terjadi melalui 2 tahapan, tahap pertama adalah ketika basil M.tuberculosis masuk melalui

inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi

regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk

tuberkel. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran tuberkel sampai kemudian ruptur ke

dalam ruang subarakhnoid dan mengakibatkan meningitis.

Meningitis TB merupakan bentuk TB paling fatal dan menimbulkan gejala sisa

permanen, oleh karena itu dibutuhkan diagnosis dan terapi yang segera. Penyakit ini

merupakan TB ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2%

dari semua kasus TB ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus TB.2

26

Daftar Pustaka

1. Rachmayati S, Parwati I, Rizal A, Oktavia D. Meningitis tuberculosis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 17, No.3, Juli 2011: 159-162.

2. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.h.161-3, 183-8.

3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga, 2007.h.37-9.4. Juwono T. Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek. Jakata: EGC, 2000.h.1-9, 17-

20.5. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Neuropsikiatri. Edisi 2011. Diunduh dari

http://repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf, 30 Desember 2012.6. Japardi I. Cairan serebrospinal. Edisi 2002. Diunduh dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1989/1/bedah-iskandar%20japardi5.pdf, 30 Desember 2012.

7. Seriawati L, Makmuri MS, Asih RS. Tuberkulosis. Edisi 2006. Diunduh dari http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-xgdt286.htm, 30 Desember 2012.

8. Mandal A. Meningitis. Edisi 2007. Diunduh dari http://www.news-medical.net/health/Meningitis-Symptoms-(Indonesian).aspx, 30 Desember 2012.

9. Centers for Disease Control and Prevention. Viral meningitis. Edition July 2007. Downloaded from http://www.state.nj.us/health/cd/documents/faq/viralmeningitis_faq.pdf, 30 December 2012.

10. Dhamija RM, Bansal J. Bacterial meningitis (meningoencephalitis): a review. JIACM 2006; 7(3): 255-35.

11. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga, 2006.h. 362-3.12. Rahajoe NN, Setiawati L. Tatalaksana TB. Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto

DB. Buku ajar respirologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008.h.214-26.13. Thwaites G, Chau TTH, Mai NTH, Drobniewski F, McAdam K, Farrar J. Tuberculous

meningitis. Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;68:289-99.14. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga, 2008.h.125-6.15. Harijanto PN. Malaria. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,

Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.2813-19.

27