meningitis bakterialis

33
Bab I Tinjauan Pustaka 1.1 Definisi Meningingitis bacterial adalahsuatu peradangan pada selaput otak, ditandai dengan peningkatan sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya ba penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal. 1.2 Epidemiologi Di Amerika Serikat tahun 1994 angka kejadian untuk anak-anak dibawah 5 tahun berk 8,7 per 100.000 sedangkan anak diatas 5 tahun berkisar 2,2 per 100.000. Soetomo Surabaya dari tahun 1988-1993 didapatkan angka kematian berkisar dengan kecacatan 30-40%. Tri Ruspandji di Jakarta 1981 mendapatkan angka sebesar 41,8 dan setiyono di Yogyakarta sebesar 50%. Laki-laki lebih banyak diband perempuan dengan perbandingan laki-laki : perempuan, 1.7-3: 1. Sekitar 80% meningi terjadi pada anak dan 70% dari jumlah tersebut terjadi pada anak berusi bulan. 1.3 Etiologi Etiologi meningitis neonatal Bakteri seringdidapatkandari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pa preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur pembe sering didapatkan Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi s menyebabkan mortalitas. Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat persalin Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat b

Upload: crispiester

Post on 22-Jul-2015

181 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Bab I Tinjauan Pustaka1.1 Definisi Meningingitis bacterial adalah suatu peradangan pada selaput otak, ditandai dengan peningkatan sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal. 1.2 Epidemiologi Di Amerika Serikat tahun 1994 angka kejadian untuk anak-anak dibawah 5 tahun berkisar 8,7 per 100.000 sedangkan anak diatas 5 tahun berkisar 2,2 per 100.000. di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dari tahun 1988-1993 didapatkan angka kematian berkisar 13-18% dengan kecacatan 30-40%. Tri Ruspandji di Jakarta 1981 mendapatkan angka kematian sebesar 41,8 dan setiyono di Yogyakarta sebesar 50%. Laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan perbandingan laki-laki : perempuan, 1.7-3: 1. Sekitar 80% meningitis terjadi pada anak dan 70% dari jumlah tersebut terjadi pada anak berusia 1 sampai 5 bulan. 1.3 Etiologi Etiologi meningitis neonatal Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur pembedahan sering didapatkan Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan mortalitas. Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat persalinan. Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir

rendah (BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah 7 hari pertama kehidupan yang disebabkan oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal. Streptococcus grup B serotipe 3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut. Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia marcescens, Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh Citrobacter diversus dan Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita yang juga menderita abses otak. Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin. Streptococcus pneumoniae meningitis Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya. Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan

dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP. Neisseria meningitidis meningitis Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif. Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS pada meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi. Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi pada anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anak-

anak usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari. Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan morbiditas dan sekuelae. Listeria monocytogenes meningitis Bakteri ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak immunocompromised. Patogen ini sering dihubungkan dengan konsumsi makanan yang terkontaminasi (susu dan keju). Kebanyakan kasus disebabkan oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan Listerial meningitis cenderung tersamar dan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Pada pemeriksaan laboratorium, patogen ini sering disalahartikan sebagai Streptococcus hemolyticus atau diphteroid. Etiologi lain-lain Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada penderita dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang immunocompromised sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia, Proteus dan diphteroid. 1.4 Patogenesis Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui: 1. Aliran darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsillitis,endokarditis, pneumonia dan infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan kuman yang positif pada darah yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak.

2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis , mastoid, abses otak, sinus kavernosus. 3. Implantasi langsung: trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal, dam mielokel. 4. Meningitis pada neonates dapat terjadi karena: Aspirasi cairan amnion yang terjadi saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman normal pada jalan lahir Infeksi transplacental melalui listeria

Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen. Sluran nafas merupakan por of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bacterial melalui jalur hematogen mempunyai tahap tahap sebagai berikut: 1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi) 2. Bakteri menembus rintangan mukosa 3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari leukosit dan aktivitas bakteriolotik) dan menimbulkan bakteriemia 4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal 5. Bakteri memperbanyak diri di dalam cairan serebrospinal 6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak 1.5 Patofisiologi Proses ini dimulai setelah terjadi bakteiemia atau embolus septic yang diikuti dengan masuknya masuknya bakteri ke dalam susunan saraf pusat dengancara menembus sawar darah otak melalui tempat-tempat yamg lemah yaitu mikrovaskular otak dan pleksus koroid yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena mengandung glukosa yang tinggi. Segera setelah bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka bakteri memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoral dan proses fagositosis dalam cairan serebrospinal kemudian tersebar secara pasif mengikuti aliran serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang sub arachnoid.

Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan dinding sel dan komponen-komponen membrane sel (endotoksin, teichoic acid) yang menyebabkan kerusakan otak dan menimbulkan peradangan di selaput otak (meningen) melalui beberapa mekanisme sehingga timbul meningitis. Bakteri gram negative pada waktu lisis akan menlepaskan lipopolisakarida/ emdotoksin dan bakteri gram positif akan melepaskan asam teikoat. Produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan makrofag untuk menghasilkan mediator inflamasi seperti IL-1 dan TNF-. Mediator inflamsi ini berperan dalam menyebabkan peningkatan tekanan intracranial dan menurunnya aliran darah serebral. Pada meningitis bacterial juga bisa terjadi syndrome inappropriate anti diuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan pelepasan vasopressin endogen sistem supraotikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini menyebabkan hipervolemia, oligouria dan peningkatan osmolaritas urin meskipun osmolaritas serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication seperti mengantuk, iritabel dan kejang. Akibat peningkatan tekanan intracranial adalah penurunan aliran darah otak yang juga disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh thrombus dan adanya penurunan autoregulasi, terutama pda pasien yang mengalami kejang. Akibat yang lain adalah penurunan tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh karena tekanan darah sistemik 60 mmHg systole. Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan autoregulasi serebral dan dan vaskulopati. Kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel saraf dan menimbulkan gejala sisa. Peradangan pada meningen menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris akibatnya rejadi reflex kontraksi otot retentu untuk menurangi rasa nyeri sehingga timbul tanda kernig, brudzinski, dan kaku kuduk. Pada meningitis dapat terjadi perlengketan-perlengketan pada meningens akibat terbentuknya jaringan fibrosis pada proses inflamasi. Perlengketan ini dapat menyebabkan hidrosefalus komunikans atau obstruktif. Infiltrasi leukosit dapat menyebakan nekrosis arteri yang berakhir dengan infark cerebri.

Infark arteri dan vena yang luas dapat menyebabkan hemiplegia, dekortikasi, deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak meningkat yang akan menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan karena edema sitotoksik, aliran cairan serebrospinal terganggu akan menyebabkan edema interstisial. Kelainan saraf cranial disebabkan oleh peradangan loka pada perinerium dan menurunnya persdiaan vascular ke saraf cranial terutama saraf VI, III, dan IV, sedang ataksia yang ringan, paralisis sraf cranial VI dan VII merupakan akibat infiltrasi kuman ke selaput otak di basalotak, sehingga menimbulkan kelainan otak. Gangguan pendengaran terjadi karena peradangan yang berlajut ke mastoid sehingga menyebabkan mastoiditis dan terjadi tuli konduktif. Kelainan saraf II berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan, tetapi juga bisa disebabkan oleh kerusakan korteks penglihatan. Manifestasi kelainan neurologis fokal merupakan petanda prognosis yang buruk karena meninggalkan gejala sisa dan retardasi mental. 1.6 manifestasi klinis Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: 1 Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, delirium sampai koma, biasanya disertai febris dan fotofobia. 2 Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita meningitis bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan

petunjuk yang sangat membantu dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi 3 Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang syaraf. 4 Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka panjang. 5 Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor yang memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat. 6 Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif diagnosis yang mungkin seperti abses otak. 7 6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) 8 Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan sistemik (seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya. 9 Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi meningitis: Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai meningitis. Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii. Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap pertumbuhan bakteri di meningen.

1.7 Diagnosis Diagnosis meningitis dibuat berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan cairan serebrospinal, disokong oleh pemeriksaan : a. Darah : LED, leokosit, hitung jenis, biakan. b. Air kemih : biakan. c. X-foto dada. d. Uji hiperkulin. e. Biakan cairan lambung. Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi pada meningen ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil pemeriksaan LCS. Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan pemberian terapi tanpa melakukan lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat tekanan intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT scan atau MRI sangat membantu penanganan penderita yang memerlukan pemantauan terhadap tekanan intrakranial dan herniasi. Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah total leukosit dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test rapid bacterial antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini. Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan dan memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.

Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan lumbal punksi. Pewarnaan gram dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung dikultur pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan patogen penyebab dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy coat juga dapat memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraselulerAgent Opening Pressure WBC per mL count Glucose (mg/dL) Protein (mg/dL) Microbiology

Bacterial meningitis

200-300

100-5000; >80% PMNs*

Specific pathogen demonstrated in 100 60% of Gram stains and 80% of cultures Normal, Normal but in may and slightly elevated Elevated, >100 be Viral isolation, PCR assays

Viral meningitis

90-200

10-300; lymphocytes

reduced LCM mumps

Tuberculous meningitis Cryptococcal meningitis

180-300

100-500; lymphocytes 10-200; lymphocytes

Reduced, 7 days

Body Weight >2000 g Age 0-7 days

Body Weight >2000 g Age > 7 Days

Penicillins Ampicillin IV,IM 100 div q12h Penicillin-G IV 100,000 U div q12h Oxacillin IV,IM 100 div q12h Ticarcillin IV,IM 150 div q12h Cephalosporins Cefotaxime IV,IM 100 div q12h Ceftriaxone IV,IM 50 once daily Ceftazidime IV,IM 100 div q12h 150 div q8h 75 once daily 150 div q8h 100 div q12h 50 once daily 100 div q8h 150 div q8h 75 once Daily 150 div q8h 150 div q8h 150,000 U div q8h 150 div q8h 225 div q8h 150 div q8h 150,000 U div q8h 150 div q8h 225 div q8h 300 div q6h 250,000 U div q6h 200 div q6h 300 div q6h

Tabel 2. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat badan dan usia

Anti biotics

Route of Admini Stration

Desired Serum Levels (mcg/ml)

New born Age 26 weeks (mg/kg/ dose)

New born Age 27-34 weeks (mg/kg/ dose)

New born Age 35-42 weeks (mg/kg/ dose)

New born Age 43 weeks (mg/kg/ dose)

Aminoglycosides Amikacin IV,IM 20-30 (peak)