spondilitys tuberkulosa
DESCRIPTION
adaTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Spondilitis Tuberkulosa adalah infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Tuberculosis. Sejak obat anti tuberkulosis dikembangkan dan peningkatan
kesehatan masyarakat, tuberkulosis tulang belakang menjadi menurun di daerah negara
industri, meskipun tetap menjadi penyebab yang bermakna di negara berkembang. Gejala
yang ditimbulkan antara lain demam, keringat terutama malam hari, penurunan berat badan
dan nafsu makan, terdapat massa di tulang belakang, kiposis, kadang-kadang berhubungan
dengan kelemahan dari tungkai dan paraplegia. Spondilitis tuberkulosis dapat menjadi sangat
destruktif. Berkembangya tuberkulosis di tulang belakang berpotensi meningkatkan
morbiditas, termasuk defisit neurologis yang permanen dan deformitas yang berat.
Pengobatan medikamentosa atau kombinasi antara medis dan bedah dapat mengendalikan
penyakit spondilitis tuberkulosis pada beberapa pasien.1
Tuberkulosa tulang punggung sering ditemukan didaerah endemik terutama di negara
berkembang. Percival Pott pada tahun 1779 pertama kali menguraikan infeksi tuberkulosa
tulang punggung sehingga disebut Pott’s Disease, penyebabnya adalah infeksi
mikobakterium tuberkulosa.1
Patofisiologi penyakit penting untuk dipahami agar penanganan dapat dilakukan
dengan baik. Diagnosa dibuat melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi konvensional. Pada keadaan tertentu diperlukan
pemeriksaan radiologik konvensional. Pada keadaan tertentu diperlukan pemeriksaan
1
tambahan, untuk membuat diagnosa yang akurat, perencanaan tindakan operatif dan menilai
kemajuan pengobatan.2
Menurut WHO, Indonesia adalah negara yang menduduki peringkat ketiga dalam
jumlah penderita TB setelah India dan Cina. Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat
TB setiap tahun atau setiap 4 menit ada satu penderita yang meninggal di negara-negara
tersebut, dan setiap 2 detik terjadi penularan. Tuberkulosis tulang punggung merupakan salah
satu tuberkulosis ekstra paru yang dapat menimbulkan cacat fisik yang berat. Telah dipelajari
berbagai sumber bacaan, penting sekali untuk memahami patofisiologi penyakit agar
penanggulangan dapat dilakukan dengan sempurna dan menghindarkan sesedikit mungkin
cacat fisik yang diakibatkannya, serta mengurangi mortalitas dan morbiditas.4
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Spondilitis Tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis destruuktif oleh Mycobacterium Tuberculosis. Dikenal
pula dengan nama Pott’s Disease of the spine atau Tuberculous Vertebral Osteomyelitis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 dan paling jarang pada vertebra
C1 dan 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang
menyerang arkus vertebra.1
2.2 Epidemiologi
Tuberkulosa (TB) adalah suatu penyakit menular yang dapat berakibat fatal dan dapat
mengenai hampir semua bagian tubuh. Biasanya dan lebih banyak mengenai paru. Penyakit
ini disebabkan oleh bakteri mikobakterium tuberculosa atau tubercle bacillus. Menurut WHO,
Indonesia adalah negara yang menduduki pe3ringkat ketiga dalam jumlah penderita TB
setelah India dan Cina. Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat Tb setiap tahun atau
setiap 4 menit ada satu penderita yang meninggal di negara-negara tersebut, dan setiap 2
detik terjadi penularan.4
Hampir 10% dari seluruh penderita TB memiliki keterlibatan dengan muskulo-skletal.
Setengahnya mempunyai lesi di tulang belakang dengan disertai defisit neurologik 10% -
45% dari penderita. Pada masa lalu spondilitis tuberkulosa sering terjadi pada kelompok
umur 3 – 5 tahun. Dengan meningkatnya pelayanan kesehatan dan gizi pada anak, pola
penyakit ini berubah menjadi lebih banyak menyerang orang dewasa dengan perbandingan
wanita dan pria hampir sama banyaknya.2
3
Spondilitis Tuberkulosa dapat terjadi pada level manapun dari tulang belakang.
Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu pada daerah vertebara torakal bawah dan daerah
lumbal (T8 – L3), kemudian daerah torakal atas, servikal dan derah sakral. Spondilitis
tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis ditempat lain dari tubuh.7
Mikobakterium tuberkulosis adalah basil tidak berspora, mudah dibasmi dengan
pemanasan sinar matahari, ultra violet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi setelah diwarnai oleh
fuchsin/ methylen blue, basil ini tidak dapat lagi dibersihkan dengan asam, oleh karena itu
disebut basil tahan asam (BTA). Ada 2 jenis mikobakterium yang dapat menginfeksi
manusia, yaitu tipe bovin dan tipe human. Tipe bovin ditularkan melalui sapi yang menderita
mastitis tuberkulosa, biasanya masuk melalui saluran cerna. Tipe human ditularkan melalui
tetes dahak penderita yang terhirup melalui saluran pernafasan (droplet infection).3
2.3 Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili
Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit
untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam,
sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman
bakteium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam
lemak mikolat). Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora
serta memiliki panjang sekitar 2 – 4 mikro meter.3
2.4 Patofisiologi
Mikobakterium tuberkulosa masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran
pernafasan dan saluran cerna, dengan perjalanan infeksi berlangsung dalam 4 fase.
4
2.4.1 Fase primer
Basil masuk melalui saluran pernafasan sampai ke alveoli. Didalam jaringan paru
timbul reaksi radang yang melibatkan sistem pertahanan tubuh, dan membentuk afek primer.
Bila basil terbawa ke kelenjar limfoid hilus, maka akan timbul limfadenitis primer, suatu
granuloma sel epiteloid dan nekrosi perkijuan. Afek primer dan limfadenitis primer disebut
kompleks primer. Sebagian kecil dapat mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan
bekas atau sembuh melalui fibrosis dan klasifikasi.3
2.4.2 Fase Miliar
`Kompleks primer mengalami penyebaran miliar, suatu penyebaran hematogen yang
menimbulkan infeksi diseluruh paru dan organ lain. Penyebaran bronkogen menyebarkan
secara langsung kebagian paru lain melalui bronkus dan menimbulkan bronkopneumonia
tuberkulosa. Fase ini dapat berlangsung terus sampai menimbulkan kematian, mungkin juga
dapat sembuh sempurna atau menjadi laten atau dorman.3
2.4.3 Fase laten
Kompleks primer ataupun reaksi radang ditempat lain dapat mengalami resolusi
dengan pembentukan jaringan parut sehingga basil menjadi dorman. Fase ini berlangsung
pada semua organ yang terinfeksi selama bertahun-tahun. Bila terjadi perubahan daya tahan
tubuh maka kuman dorman dapat mengalami reaktivasi memasuki fase ke 4, fase reaktivasi.3
2.4.4 Fase Reaktivasi
Fase reaktivasi dapat terjadi di paru atau diluar paru. Pada paru, rektifasi penyakit ini
dapat sembuh tanpa bekas, sembuh dengan fibrosis dan klasifikasi atau membentuk kaverne
dan terjadi bronkiektasis. Reaktivasi sarang infeksi dapat menyerang berbagai organ selain
paru. Ginjal merupakan organ kedua yang paling sering terinfeksi, selanjutnya kelenjar limfe,
5
tuba, tulang, sendi, otak, kelenjar adrenal, saluran cerna dan kelenjar mamma. Meskipun
jarang, tuberkulosa kongenital dapat ditemukan pada bayi, ditularkan melalui vena umbilikal
atau cairan amnion ibu yang terinfeksi.3
Perjalanan infeksi pada vertebra dimulai setelah terjadi fase hematogen atau reaktivasi
kuman dorman. Vertebra yang paling sering terinfeksi adalah vertebra torako-lumbal (T8 –
L3). Bagian anterior vertebra lebih sering terinfeksi dibandingkan dengan bagian posterior.6
Basil masuk ke korpus vertebra melalui 2 jalur utama, jalur arteri dan jalur vena serta
jalur tambahan.
1. Jalur Utama
Jalur utama berlangsung secara sistemik, mengalir sepanjang arteri ke perifer
masuk kedalam korpus vertebra, berasal dari arteri segmental interkostal atau arteri
segmental lumbal yang memberikan darah ke separuh dari korpus yang berdekatan,
dimana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri nutrisia. Didalam korpus arteri
ini berakhir sebagai end artery, sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering
dimulai didaerah paradiskal.7
2. Jalur Kedua
Jalur kedua adalah melalui pleksu Batson, suatu anyaman vena epidural dan
peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah
perivertebral. Pleksus ini beranastomase dengan pleksu-pleksus pada dasar otak,
dinding dada, interkostal, lumbal dan pelvis, sehingga darah dalam pleksus Batson
berasal dari daerah-daerah tersebut di atas. Jika terjadi aliran retrograd akibat
perubahan tekanan pada dinding dada dan abdomen maka basil dapat ikut menyebar
dari infeksi tuberkulosa yang berasal dari organ didaerah aliran vena-vena tersebut.7
3. Jalur ketiga
6
Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinutatum dari abses paravertebral yang
telah terbentuk dan menyebar sepanjang ligamentuk longitudinal anterior dan
posterior ke korpus vertebra yang berdekatan.7
Penyakit ini umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari
bagian sentral, bagian depan atau dari daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian
terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus.
Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebral dan ke
korpus yang berada didekatnya.7
Diskus intervertebralis relatif resisten terhadap infeksi tuberkulosis karena
avaskular. Bila diskus terkena infeksi maka diskus akan rusak karena jaringan
granulasi dan kehilangan cairan, celah sendi akan menyempit.6
Kerusakan pada bagian depan korpus vertebra menyebabkan korpus menjadi
kolaps sehingga dapat terjadi kifosis, kemudian eksudat menyebar ke anterior
dibawah ligamentum longitudinale anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum
longitudianle anterior dan berekspansi ke berbagai arah disepanjang garis ligamentum
yang lemah.5
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal 3 bentuk spondilitis :8
2.5.1 Bentuk Paradiskus
Bentuk paradiskus, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada
orang dewasa, lebih dari separuh jumlah kasus.
2.5.2 Bentuk Sentral
7
Bentuk sentral, infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra. Dapat
menyebabkan kolap vertebra dan sering dijumpai pada anak.
2.5.3 Bentuk Anterior
Bentuk anterior, adalah merupakan perambatan perkontinuitatum dari vertebra
diatasnya atau dibawahnya.
2.6 Manifestasi Klinik
2.6.1 Gejala Umum
Penderita memperlihatkan gejala-gejala sakit kronik dan mudah lelah, demam
subfebris terutama pada malam hari, anoreksia, berat badan menurun, berkeringat
pada malam hari, takikardi dan anemia.5
2.6.2 Gejala Lokal
Nyeri dan kaku punggung merupakan keluhan yang pertama kali muncul.
Nyeri dapat dirasakan terlokalisir disekitar lesi atau berupa nyeri menjalar sesuai saraf
yang terangsang. Spasme otot-otot punggung terjadi sebagai suatu mekanisme
pertahanan menghindari pergerakan pada vertebra. Saat penderita tidur, spasme otot
hilang dan memungkinkan terjadinya pergerakan tetapi kemudian timbul nyeri lagi.
Gejala ini dikenal sebagai night cry, umumnya terdapat pada anak.5
Gejala lokal sesuai dengan lokasi vertebra yang terkena penyakit. Pada
vertebra servikal, dapat ditemukan gejala kaku leher, nyeri vertebra yang menjalar ke
oksipital atau lengan, yang dirasakan lebih hebat bila kepala ditekan kearah kaudal.
Kemudian dapat terjadi deformitas, lordosis-normal akan berkurang dan anak
menopang kepalanya denganlengan, abses retrofaringeal atau servikal, paralisa lengan
diikuti oleh paralisa tungkai. Gejala neurologik dapat terjadi karena, subluksasi antar
vertebra, penekanan medula spinalis atau radiks saraf serta diskus oleh tulang,
terbentuknya abses, reaksi terhadap infeksi lokal, terjadinya vaskulitits tuberkulosa.5
8
Pada vertebra servikal bawah dan toraka atas, ditemukan gejala lokal,
misalnya kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus brakialis.
Abses retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal jarang menyebabkan gangguan
saraf spinal. Bila terjadi penekan saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan
kaku leher.5
Pada daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai
gibbus, nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah, khususnya
daerah lateral paha. Juga dapat ditemukan abses iliaka atau abses psoas.8
Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal misalnya deformitas,
nyeri yang menyebar ke ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak pada
sendi panggul.8
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Laboratorium
1. Darah
Secara umum, sama dengan penderita penyakit kronik lainnya, sering
ditemukan anemia hipokrom. Hitung jumlah leukosit dapat normal atau meningkat
sedikit, pada hitung jenis ditemukan monositosis. Laju endap darah meningkat tetapi
tidak dapat menjadi indikator aktivitas penyakit.5
2. Tes Tuberkulin
Dengan cara Mantoux, disuntikkan PPD % TU (0,1 mL) intrakutan. Reaksi
pada tubuh dibaca setelah 48 – 72 jam. Jika indurasi <5 mm dikatakan tes Mantoux
negatif. Indurasi >10 mm, tes Mantoux positif. Sedangkan indurasi 5 – 9 mm
meragukan dan perlu diulang.5
3. Bakteriologi
9
Untuk pemeriksaan bakteriologik dan histopatologik diperlukan pengambilan
bahan melaluji biopsi atau operasi. Biopsi dapat dilakukan dengan cara fine needle
aspiration dengan tuntunan CT atau video assisted thoracoscopy.5
Pemeriksaan terhadap bahan pemeriksaan yang diambil dengan biopsi dapat
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen atau biakan.
Pada pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan perwarnaan Ziehl Nielsen, Tan
Thiam Hok, Kinyoun- Gtabbet atau dengan metoda flurokrom yang memakai
perwarnaan auramine dan rhodamine. Pemeriksaan ini membutuhkan dsedikitnya 5 x
10 3 kuman per mL sputum. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh jenis spesimen,
ketebalan sediaan apus yang dihasilkan, ketebalan perwarnaan, kemampuan dan
keahlian pemeriksa. Beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas
hasil periksaan sediaan apus secara mikroskopik, yaitu cytocentrifugation dari bahan
pemeriksaan sputum, mencairkan sputum dengan sodium hypochloride diikuti dengan
sedimentasi selama satu malam.5
Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis tuberkulosa lebih
rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Juga pada pewarnaan biasa hanya
sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya.5
4. Kultur
Semua spesimen yang mengandung mikobakteria harus di inokulasi melalui
media kultur, karena kultiur lebih sensitif dari pada pemeriksaan mikroskopis, dapat
mendeteksi hingga 10 bakteri per mL, kultur dapat melihat perkembangan organisme
yang diperlukan untuk identifikasi yang akurat dan dengan pembiakan kuman dapat
dilakukan resistensi tes terhadap obat-obat anti tuberkulosa.5
5. Histopatologi
10
Secara histopatologik, hasil biopsi memberi gambaran granuloma epiteloid
yang khas dan sel datia langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas.3
6. PCR
Prinsip kerja PCR adalah 3 tahapan reaksi yang dilakukan pada suhu yang
berbeda. Yaitu denaturasi, aneling primer, dan polimerase. Ini adalah suatu proses
amplifikasi DNA yang dilakukan berulang kali. Produk yang dihasilkan bertindak
sebagai template untuk sikluas berikutnya sehingga setiap siklus menghasilkan
produk secara eksponensial. Dengan kemampuan ini PCR dapat mendeteksi basil
tuberkulosa yang jumlahnya tidak cukup untuk bisa diperiksa secara mikroskopik atau
bakteriologis. Jumlah kuman 10 -1000 sudah dideteksi dengan pemeriksaan ini.3
2.7.2 Radiologik
1. Sinar Rontgen
Diperlukan pengambilan gambar dua arah, anteroposterior (AP) dan lateral
(L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus vertebra
dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus invertebralis, menunjukkan
terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak disekitar vertebra
menimbulkan bayangan fusiform.8
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi
kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut gibbus.
Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal, merupakan
gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang berbentuk
fusiform.8
2. Mielografi
11
Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang subdural.
Secara konvensional dibuat foto AP/L atau dilakukan pemeriksaan dengan CT-Scan,
disebut CT-Mielografi. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya
penyempitan pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medula spinalis.9
3. CT-Scan
Dapat memperlihatkan bagian-bagian vertebra secara rinci dan melihat
klasifikasi jaringan lunak. Membantu mencari fokus yang lebih kecil, menentukan
lokasi biopsi dan menentukan luas kerusakan.9
4. MRI
Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman
digunakan. MRI juga memiliki kelebihan dalam mendiagnosa penyakit pada masa
dini atau lesi multipel dibandingkan CT dan pemeriksaan radiologik konvensional.
Gambaran lesi pada T1 weighted image adalah hiperintens. Lesi juga dapat menjadi
lebih jelas dengan injeksi gadolinium DTPA intravena.9
Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran
inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens. Tetapi gambaran ini
mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak spesifik untuk spondilitis
tuberkulosa.9
Diagnosa untuk tuberkulosis diluar paru (extra pulmonal tuberculosis)
termasuk spondilitis tuberkulosa dapat dikatakan pasti bila secara klinis, dan hasil
pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil positif. Jika hasil pemeriksaan
bakteriologis dan histopatologis negatif maka disebut sebagai kasus tuberkulosis
ekstra paru tersangka.9
2.8 Diagnosis Banding
12
Spondilitis tuberkulosa harus dibedakan dari penyebab destruksi vertebra dan
kifosis angular lainnya, yaitu infeksi piogenik non spesifik dan keganasan. Pada
infeksi piogenik akut, manifestasi klinis umumnya lebih berat dibandingkan dengan
spondilitis tuberkulosa. Pada infeksi, diskus biasanya kolaps sedangkan pada
keganasan biasanya masih baik.5
2.9 Penatalaksanaan
Kuman tuberkulosa pada umuimnya dapat dibunuh atau dihambat dengan
pemberian obat-obat anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, ethambutol,
Pyrazinamid dan Rifampicin. Namun karena vertebra yang terinfeksi mengalami
destruksi dengan pembentukan sekuester dan perkijuan, maka tindakan bedah menjadi
penting untuk dapat mengevakuasi sumber infeksi dan jaringan nekrotik, terutama
sekuester.10
Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan kompresi terhadap medula
spinalis dan menyebabkan defisit neurologik, sehingga memerlukan tindakan bedah.
Dasar penatalaksanaaan spondilitis tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra
yang sakit, obat-obat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses.10
2.9.1 Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup baik.
1. Istirahat di tempat tidur
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama pada keadaan akut
atau fase aktif. Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu, sampai
dicapai keadaan yang tenang secara klinis, radiologis dan laboratoris. Nyeri akan
berkurang, spasme otot-otot paravertebral menghilang, nafsu makan pulih dan berat
badan meningkat, suhu tubuh normal. Secara laboratoris, laju endap darah menurun,
13
tes mantoux diameter <10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai
penambahan destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.10
The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan
untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi
ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifampicin selama 6 – 9 bulan.
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau
terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6 –
12 bulan atau hbingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah
yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien.
Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang
kontroversial. Terapi yang lama, 12 – 18 bulan, dapata menimbulkan ketidakpatuhan
dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan
timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.
Dibawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer :
a. Isoniazid (INH)
Bersifat bakterisisdial baik di intra ataupun ekstra seluler
Tersedia dalam sediaan oral, intramuskular dan intravena.
Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien berusia
lanjut, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat
reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).
Relatif aman untuk kehamilan
Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
b. Rifampicin (R)
14
Bersifat bakterisisdial, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari basil,
baik di intra atauapun ekstraseluler.
Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metaboliik yang paling rendah (seperti
pada nekrosis perkijuan)
Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk
sediaan oral dan intravena.
Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
Efek samping : perdarahan pada traktus gastrointestinal, cholestatic jaundice,
trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas
meningkat bila dikombinasi dengan INH.
Relatif aman untuk kehamilan
Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.
c. Pyrazinamide (P)
Bekerja secara aktifmelawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam
dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan.
Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinal.
Efek samping : Hepatotoksisitas maupun asara urat
Dosis : 15 – 30 mg/kg/hari
d. Ethambutol (E)
Bersifat bakteriostatik intraseler dan ekstraseluler
Tidak berpenetrasi ke dalam mengien yang normal
Efek samping : toksisitas okular (optik neuritis) dengan timbulnya kondisis buta
warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.
Relatif aman untuk kehamilan
Dipakai secara berhari-hari untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
Dosis : 15 mg/kg/hari
15
e. Streptomycin (S)
Bersifat bakterisidial.
Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan
untuk melengakapi pemberian Pyrazinamide.
Tidak berpenetrasi kedalam meningean yang normal
Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo (terutama
pada pasien dengan usia lanjut).
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
Dosis : 15 mg/kg/hari – 1g/kg/hari.
2. Kemoterapi Anti Tuberkulosa
Tujuan pemberian obat anti tuberkulosa (OAT) secara umum adalah :10
- Menyembuhkan penderita dalam waktu singkat dengan gangguan minimal.
- Mencegah kematian akibat penyakit atau oleh efek lanjutannya.
- Mencegah kekambuhan.
- Mencegah timbulnya kuman yang resisten.
- Melindungi masyarakat dari penularan.
Pemberian OAT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :10
- Terapi sedini mungkin.
- Obat-obat dalam bentuk kombinasi
- Diberikan secara teratur.
- Dosis harus cukup/
- Diberikan sesuai jangka waktu pemberiannya.
WHO memberikan panduan penggunaan OAT berdasarkan berat ringannya penyakit:4
16
- Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru yang luas,
tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai diabetes
mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk spondilitis tuberkulosa.
- Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam pengobatan
- Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif
3. Immobilisasi
Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus
dilakukan. Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi. Menurut
Boswots Compos (dikutip dari 10 orang) pengobatan yang paling penting adalah
imobilisasi dan artrodesis posterior awal. Dikatakan bahwa 80% pasien yang
terdeteksi lwhbih awal akan terdeteksi lebih awal, akan pulih setelah arthrodesis.
Menurut pendapatnya, dekompresi anterior diindikasikan hanya pada beberapa pasien
yang tidak pulih setelah menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini tidak memberikan
perbaikan dan pemulihan, akan terjada dekompresi batang otak. Pada umumnya
arthrodeis dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi pemulihan lengkap.10
2.9.2 Terapi operatif4
Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi
neurologik dan kerusakan lebih lanjut. Salah satu tindakan beedah yang penting
adalah debridement yang bertujuan menghilangkan sumber infeksi dengan cara
membuang semua debri dan jaringan nekrotik, benda asing dan mikro-organisme.9
Indikasi operesi :9
- Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis dan
radiologis memburuk.
- Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.
17
- Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit
neurologik, terdapat abses paravertebral.
- Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak. Lesi
pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat
ditanggulangi hanya dengan OAT.
- Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam
jumlah banyak.
2.10 Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena
kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi sangat
besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas inferior yang
dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia.1
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi.
Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis T, dapat terjadi sekuele
antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak dan lain-lain. Prognosis
bertambah baik bila pengobatan lebih cepat dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada
anak dengan usia kurang dari 5 tahun sampai 30%.1
18
BAB 3
KESIMPULAN
1. Spondilitis Tb adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi
klinis yang bervariasi.
2. Pemeriksaan radiografi mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta follow up
penyakit.
3. Jika dalam pemeriksaan didapatkan normal, salah satu pemeriksaan jaringan harus
dikerjakan untuk menyingkirkan spondilitis TB.
4. Tata laksana ditentukan oleh ada tidaknya paralisis atau paraplegi pada ekstremitas
inferior sehingga pembedahan harus segera dilakukan.
5. Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit, tata laksana dan komplikasi yang
menyertai.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Hidalgo A. Pott disease (tuberculuous spondylitis). Didapat dari
http://www.emedicine.com/med/topic1902.htm. diakses tanggal 27 September 2015.
2. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS. Pedoman nasional TB anak. Edisi ke 1. Jakarta :
UKK Pulmonologi PP IDAI; 2005.
3. Utji R, Harun H. Kuman tahan asam. Dalam : Syarurahman A, Chatim A, Soebandrio
AWK. Penyunting Buku ajar mikrobiologi Kedokteran. Edisi revisi, Jakarta :
Binarupa Aksara; 1994.
4. WHO Communicable Diseases Cluster. Fixed dose combination tablets for treatmant
of tuberculosis. Report of an informal meeting held in Geneve; April 27, 1999.
5. Ramachandran R, Paramasivan CN, What is new in the diagnosis of tuberculosis.
Indian Journal of Tuberculosis 2003.
6. Tuli SM. Tuberculosis of the spine. New Delhi : Amerind, 1975.
7. Tuberculous Spondilytis. Avalaible at http://www.orthoguide.co.id.Agustus 2002.
8. Apley, Apley’s system of orthopaedics and fractures. 8th Ed. Oxford : BH Co 2001.
20
9. Crenshaw AH. Spinal anatomy and surgical approach. In : Campbell’s operative
orthopaedics. 8th Ed. Missouri : Mosby Year Book 1992.
10. Sapardan S. Total treatment of tuberculosis of the spine. A rational problem soling
approach. Perpustakaan Universitas Indonesia 2004.
11. Annisa S, Mioma Uteri, anisasaja01.blogspot.com diakses tanggal 02-05-2015.
12. Baziad A, Endokrinologi Ginekologi, Media Aesculapius, Jakarta, 2003.
13. Cunningham FG, dkk, Obstetri Williams Edisi 21, EGC, Jakarta, 2005.
14. Derek L, Jones, Dasar-dasar Obstetri & Ginekologi, Hipokrates, Jakarta, 2002.
15. Kurniasari T, Skripsi Karakteristik Mioma Uteri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Periode Januari 2009 – Januari 2010, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret, 2010.
16. Nathan L, dkk, Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology Tenth
Edition, McGraw-Hill Companies, Florida, 2007.
17. Norwitz, dkk, At a Glance : Obstetri & Ginekologi Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta,
2007.
18. Prawirohardjo S, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta, 2007.
19. Rianthy A, Mioma Uteri, makalahmahasiswakedokteran.blogspot.com diakses tanggal
10-05-2015.
21
BAB IV
STATUS ORANG SAKIT
STATUS GINEKOLOGI
4.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.S
Umur : 43 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Jermal XI Medan Denai
Nama suami : Tn.F
Umur : 50 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Wiraswasta
22
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Jermal XI Medan Denai
No RM : 232137
Tanggal masuk : 11-05-2015
Pukul : 11.55 WIB
4.2 ANAMNESA
Ny. S, 43 tahun, P3A0, istri dari Tn F, 50 tahun datang ke RS Haji Medan pada tanggal 11-05-
2015 pukul11.55 wib dengan:
KU :Benjolan di kemaluan
Telaah :Os merasakan adanya benjolan di kemaluan (vulva) sinistra. Benjolan
tersebut berbentuk bulat seperti seukuran bola pimpong. Benjolan tampak
merah dan terasa sakit. Hal ini telah dialami os sejak hari Jum’at tanggal 7
Mei 2015. Pada awalnya benjolan tampak sangat kecil, namun lama-kelamaan
benjolan tersebut semakin membesar dalam 3 hari ini.
1.2.1 Haid :
Menarche : 14 tahun Dysminorrhoea : (-)
HPHT : 28 April 2015 Menopause : (-)
Siklus : 30 hari (teratur) Lama haid : 5-7 hari
1.2.2 Riwayat Persalinan:
1. Anak laki-laki, aterm, BB 2800 gram, cara Persalinan Spontan Pervaginam, ditolong
oleh bidan, ,umur sekarang 16 tahun, hidup.
2. Anak laki-laki, aterm, BB 3.000 gram, cara Persalinan Spontan Pervaginam, ditolong
oleh bidan, umur sekarang 15 tahun, hidup.
23
3. Anak laki-laki, aterm, BB 2800 gram, cara Persalinan Spontan Pervaginam, ditolong
oleh bidan, umur sekarang 10 tahun, hidup.
1.2.3 Keputihan
Jumlah : (-) Konsistensi : (-)
Warna : (-) Gatal : (-)
Bau : (-)
1.2.4 Seksual/ Perkawinan
Umur Menikah : 25 tahun Suami : Tn F
Lama Kawin : 29 tahun Berobat mandul : Tidak
Kemandulan : Tidak
Riwayat KB : IUD
1.2.5 Gizi dan Kebiasaan
Nafsu makan : Berlebih Perubahan berat badan : Gemuk
Merokok : (-) Alkohol : (-)
Kebiasaan makan obat : Tidak ada
1.2.6 Penyakit yang pernah diderita
Tuberculosis : (-) Penyakit hati : (-)
Penyakit jantung : (-) Penyakit ginjal : (-)
Penyakit endokrin: Diabetes Penyakit kelamin: (-)
1.2.7 Riwayat operasi
Tidak ada
4.3 PEMERIKSAAN FISIK
A. Status present
Sens : CM Anemis : (-/-)
TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-/-)
24
HR : 84 x/i Dyspnoe : (-)
RR : 22 x/i Sianosis : (-)
T : 36,4 0C Oedem : (-)
TB : 156 cm
BB : 65 kg
B. Pemeriksaan Lokal
Kepala : Tidak ada kelainan
Leher : KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat
Thorax : Cor : Bunyi jantung normal, reguler,bunyi tambahan (-)
Pulmo : Suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)
Mammae : membesar (-), Hiperpigmentasi (-), Colostrum (-)
Abdomen : Distensi (-), Bising Usus (+) Normal, hepar tidak teraba, lien tidak
teraba
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-/-)
Genitalia ekserna : Tampak massa yang bulat seperti bola pimpong disertai gatal dan
merah pada vulva.
C. PEMERIKSAAN DALAM
- Uterus anteflexi dalam batas normal
- Parametrium kanan dan kiri lemas
- Adnexa kanan dan kiri tidak teraba massa
- Cavum Douglas tidak menonjol
4.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG normal
25
4.5 DIAGNOSA
Kista Bartholini Sinistra
4.6 LAPORAN TINDAKAN OPERASI
Ibu dibaringkan di meja ginekologi dengan kateter dan infus terpasang baik.
Dilakukan spinal anasthesi, dilakukan tindakan antiseptik dan aseptik di vagina eksterna.
Kemudian ditutup dengan duk steril kecuali lapangan operasi. Dilakukan biopsi aspirasi
jaringan kista. Dilakukan tindakan ekstervasi pada kista bartholini sinistra. Kemudian
dilakukan penjahitan pada bekas luka operasi. Lalu ditutup dengan perban dan difiksasi.
Keadaan ibu post ekstervasi dalam kondisi baik.
4.7 PENATALAKSANAAN
Terapi :IVFD RL 20 gtt/ i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Metronidazole tab 3 x 1
Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam
Norflamin 3 x 1
Pondex 3 x 1
Vit C 2 x 1
4.8 FOLLOW UP
Follow Up tanggal 12 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
S : tidak ada keluhan
O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)
TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)
PR : 64 x/menit Dyspnoe : (-)
26
RR : 20 x/menit Sianosis : (-)
T : 36,2ºC Oedem : (-)
BAK : (+) 2x/hari
BAB: (+)
Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra
Terapi: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Metronidazole tab 3 x 1
Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam
Norflamin 3 x 1
Pondex 3 x 1
Vit C 2 x 1
Follow Up tanggal 13 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
S : tidak ada keluhan
O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)
TD : 120/70 mmHg Ikterik : (-)
PR : 70 x/menit Dyspnoe : (-)
RR : 20 x/menit Sianosis : (-)
T : 36,5ºC Oedem : (-)
BAK : (+) Normal
BAB : (+) Normal
Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra
Terapi: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Metronidazole tab 3 x 1
27
Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam
Norflamin 3 x 1
Pondex 3 x 1
Vit C 2 x 1
Follow Up tanggal 14 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
S : tidak ada keluhan
O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)
TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)
PR : 64 x/menit Dyspnoe : (-)
RR : 20 x/menit Sianosis : (-)
T : 36,5ºC Oedem : (-)
BAK : (+) Normal
BAB : (+) Normal
Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra
Terapi: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Metronidazole tab 3 x 1
Inj. Ketorolac 30mg/8 jam
Pondex 3 x 1
Vit C 3 x 1
Follow Up tanggal 15 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
S : tidak ada keluhan
O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)
TD : 120/80 mmHg Ikterik : (-)
PR : 64 x/menit Dyspnoe : (-)
28
RR : 20 x/menit Sianosis : (-)
T : 36,5ºC Oedem : (-)
BAK : (+) Normal
BAB : (+) Normal
Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra
Terapi: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Metronidazole tab 3 x 1
Inj. Ketorolac 30mg/8 jam
Pondex 3 x 1
Vit C 3 x 1
Follow Up tanggal 16 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
S : tidak ada keluhan
O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)
TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)
PR : 64 x/menit Dyspnoe : (-)
RR : 20 x/menit Sianosis : (-)
T : 36,2ºC Oedem : (-)
BAK : (+) Normal
BAB : (+) Normal
Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra
Terapi: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Metronidazole tab 3 x 1
Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam
29
Pondex 3 x 1
Vit C 2 x 1
Follow Up tanggal 17 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
S : tidak ada keluhan
O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)
TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)
PR : 64 x/menit Dyspnoe : (-)
RR : 20 x/menit Sianosis : (-)
T : 36,2ºC Oedem : (-)
BAK : (+) Normal
BAB : (+) Normal
Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra
Terapi: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Metronidazole tab 3 x 1
Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam
Pondex 3 x 1
Vit C 2 x 1
Follow Up tanggal 18 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
S : tidak ada keluhan
O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)
TD : 120/70 mmHg Ikterik : (-)
PR : 70 x/menit Dyspnoe : (-)
RR : 20 x/menit Sianosis : (-)
T : 36,2ºC Oedem : (-)
30
BAK : (+) Normal
BAB : (+) Normal
Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra
Terapi: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Metronidazole tab 3 x 1
Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam
Pondex 3 x 1
Vit C 2 x 1
Follow Up tanggal 19 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
S : tidak ada keluhan
O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)
TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)
PR : 68 x/menit Dyspnoe : (-)
RR : 20 x/menit Sianosis : (-)
T : 36,2ºC Oedem : (-)
BAK : (+) Normal
BAB : (+) Normal
Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra
Terapi: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Metronidazole tab 3 x 1
Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam
Pondex 3 x 1
Vit C 2 x 1
31
Rencana : - Pasang kateter
- Tindakan ekstervasi pada hari Rabu, 20 Mei 2015
Follow Up tanggal 20 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
S : tidak ada keluhan
O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)
TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)
PR : 70 x/menit Dyspnoe : (-)
RR : 20 x/menit Sianosis : (-)
T : 36,2ºC Oedem : (-)
BAK : (+) Normal
BAB : (+) Normal
Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra
Terapi: IVFD RL 30 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
Inj Ditranex 2 x 1
Inj Gentamicin 1amp/ 12 jam
Paralgesub 1tab/8 jam
Follow Up tanggal 21 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
S : tidak ada keluhan
O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)
TD : 120/80 mmHg Ikterik : (-)
PR : 70 x/menit Dyspnoe : (-)
RR : 20 x/menit Sianosis : (-)
T : 36,2ºC Oedem : (-)
BAK : (+) Normal
32
BAB : (+) Normal
Diagnosa : Post Ekstervasi Kista Bartholini Sinistra
Terapi: IVFD RL 30 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/8jam
Inj Ditranex 2 x 1
Inj Gentamicin 1amp/ 12 jam
Antasida Syr 3 x 1
Metronidazole tab 3 x 500mg
Pondex 3 x 500mg
Vit C 3 x 1
Rencana : Aff infus
33