spondilitys tuberkulosa

48
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spondilitis Tuberkulosa adalah infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Sejak obat anti tuberkulosis dikembangkan dan peningkatan kesehatan masyarakat, tuberkulosis tulang belakang menjadi menurun di daerah negara industri, meskipun tetap menjadi penyebab yang bermakna di negara berkembang. Gejala yang ditimbulkan antara lain demam, keringat terutama malam hari, penurunan berat badan dan nafsu makan, terdapat massa di tulang belakang, kiposis, kadang-kadang berhubungan dengan kelemahan dari tungkai dan paraplegia. Spondilitis tuberkulosis dapat menjadi sangat destruktif. Berkembangya tuberkulosis di tulang belakang berpotensi meningkatkan morbiditas, termasuk defisit neurologis yang permanen dan deformitas yang berat. Pengobatan medikamentosa atau kombinasi antara medis dan bedah dapat 1

Upload: rachmad-susilo

Post on 02-Feb-2016

252 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ada

TRANSCRIPT

Page 1: Spondilitys tuberkulosa

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spondilitis Tuberkulosa adalah infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium Tuberculosis. Sejak obat anti tuberkulosis dikembangkan dan peningkatan

kesehatan masyarakat, tuberkulosis tulang belakang menjadi menurun di daerah negara

industri, meskipun tetap menjadi penyebab yang bermakna di negara berkembang. Gejala

yang ditimbulkan antara lain demam, keringat terutama malam hari, penurunan berat badan

dan nafsu makan, terdapat massa di tulang belakang, kiposis, kadang-kadang berhubungan

dengan kelemahan dari tungkai dan paraplegia. Spondilitis tuberkulosis dapat menjadi sangat

destruktif. Berkembangya tuberkulosis di tulang belakang berpotensi meningkatkan

morbiditas, termasuk defisit neurologis yang permanen dan deformitas yang berat.

Pengobatan medikamentosa atau kombinasi antara medis dan bedah dapat mengendalikan

penyakit spondilitis tuberkulosis pada beberapa pasien.1

Tuberkulosa tulang punggung sering ditemukan didaerah endemik terutama di negara

berkembang. Percival Pott pada tahun 1779 pertama kali menguraikan infeksi tuberkulosa

tulang punggung sehingga disebut Pott’s Disease, penyebabnya adalah infeksi

mikobakterium tuberkulosa.1

Patofisiologi penyakit penting untuk dipahami agar penanganan dapat dilakukan

dengan baik. Diagnosa dibuat melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan radiologi konvensional. Pada keadaan tertentu diperlukan

pemeriksaan radiologik konvensional. Pada keadaan tertentu diperlukan pemeriksaan

1

Page 2: Spondilitys tuberkulosa

tambahan, untuk membuat diagnosa yang akurat, perencanaan tindakan operatif dan menilai

kemajuan pengobatan.2

Menurut WHO, Indonesia adalah negara yang menduduki peringkat ketiga dalam

jumlah penderita TB setelah India dan Cina. Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat

TB setiap tahun atau setiap 4 menit ada satu penderita yang meninggal di negara-negara

tersebut, dan setiap 2 detik terjadi penularan. Tuberkulosis tulang punggung merupakan salah

satu tuberkulosis ekstra paru yang dapat menimbulkan cacat fisik yang berat. Telah dipelajari

berbagai sumber bacaan, penting sekali untuk memahami patofisiologi penyakit agar

penanggulangan dapat dilakukan dengan sempurna dan menghindarkan sesedikit mungkin

cacat fisik yang diakibatkannya, serta mengurangi mortalitas dan morbiditas.4

2

Page 3: Spondilitys tuberkulosa

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Spondilitis Tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan

granulomatosa yang bersifat kronis destruuktif oleh Mycobacterium Tuberculosis. Dikenal

pula dengan nama Pott’s Disease of the spine atau Tuberculous Vertebral Osteomyelitis.

Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 dan paling jarang pada vertebra

C1 dan 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang

menyerang arkus vertebra.1

2.2 Epidemiologi

Tuberkulosa (TB) adalah suatu penyakit menular yang dapat berakibat fatal dan dapat

mengenai hampir semua bagian tubuh. Biasanya dan lebih banyak mengenai paru. Penyakit

ini disebabkan oleh bakteri mikobakterium tuberculosa atau tubercle bacillus. Menurut WHO,

Indonesia adalah negara yang menduduki pe3ringkat ketiga dalam jumlah penderita TB

setelah India dan Cina. Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat Tb setiap tahun atau

setiap 4 menit ada satu penderita yang meninggal di negara-negara tersebut, dan setiap 2

detik terjadi penularan.4

Hampir 10% dari seluruh penderita TB memiliki keterlibatan dengan muskulo-skletal.

Setengahnya mempunyai lesi di tulang belakang dengan disertai defisit neurologik 10% -

45% dari penderita. Pada masa lalu spondilitis tuberkulosa sering terjadi pada kelompok

umur 3 – 5 tahun. Dengan meningkatnya pelayanan kesehatan dan gizi pada anak, pola

penyakit ini berubah menjadi lebih banyak menyerang orang dewasa dengan perbandingan

wanita dan pria hampir sama banyaknya.2

3

Page 4: Spondilitys tuberkulosa

Spondilitis Tuberkulosa dapat terjadi pada level manapun dari tulang belakang.

Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu pada daerah vertebara torakal bawah dan daerah

lumbal (T8 – L3), kemudian daerah torakal atas, servikal dan derah sakral. Spondilitis

tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis ditempat lain dari tubuh.7

Mikobakterium tuberkulosis adalah basil tidak berspora, mudah dibasmi dengan

pemanasan sinar matahari, ultra violet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi setelah diwarnai oleh

fuchsin/ methylen blue, basil ini tidak dapat lagi dibersihkan dengan asam, oleh karena itu

disebut basil tahan asam (BTA). Ada 2 jenis mikobakterium yang dapat menginfeksi

manusia, yaitu tipe bovin dan tipe human. Tipe bovin ditularkan melalui sapi yang menderita

mastitis tuberkulosa, biasanya masuk melalui saluran cerna. Tipe human ditularkan melalui

tetes dahak penderita yang terhirup melalui saluran pernafasan (droplet infection).3

2.3 Etiologi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium Tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili

Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit

untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam,

sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman

bakteium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam

lemak mikolat). Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora

serta memiliki panjang sekitar 2 – 4 mikro meter.3

2.4 Patofisiologi

Mikobakterium tuberkulosa masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran

pernafasan dan saluran cerna, dengan perjalanan infeksi berlangsung dalam 4 fase.

4

Page 5: Spondilitys tuberkulosa

2.4.1 Fase primer

Basil masuk melalui saluran pernafasan sampai ke alveoli. Didalam jaringan paru

timbul reaksi radang yang melibatkan sistem pertahanan tubuh, dan membentuk afek primer.

Bila basil terbawa ke kelenjar limfoid hilus, maka akan timbul limfadenitis primer, suatu

granuloma sel epiteloid dan nekrosi perkijuan. Afek primer dan limfadenitis primer disebut

kompleks primer. Sebagian kecil dapat mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan

bekas atau sembuh melalui fibrosis dan klasifikasi.3

2.4.2 Fase Miliar

`Kompleks primer mengalami penyebaran miliar, suatu penyebaran hematogen yang

menimbulkan infeksi diseluruh paru dan organ lain. Penyebaran bronkogen menyebarkan

secara langsung kebagian paru lain melalui bronkus dan menimbulkan bronkopneumonia

tuberkulosa. Fase ini dapat berlangsung terus sampai menimbulkan kematian, mungkin juga

dapat sembuh sempurna atau menjadi laten atau dorman.3

2.4.3 Fase laten

Kompleks primer ataupun reaksi radang ditempat lain dapat mengalami resolusi

dengan pembentukan jaringan parut sehingga basil menjadi dorman. Fase ini berlangsung

pada semua organ yang terinfeksi selama bertahun-tahun. Bila terjadi perubahan daya tahan

tubuh maka kuman dorman dapat mengalami reaktivasi memasuki fase ke 4, fase reaktivasi.3

2.4.4 Fase Reaktivasi

Fase reaktivasi dapat terjadi di paru atau diluar paru. Pada paru, rektifasi penyakit ini

dapat sembuh tanpa bekas, sembuh dengan fibrosis dan klasifikasi atau membentuk kaverne

dan terjadi bronkiektasis. Reaktivasi sarang infeksi dapat menyerang berbagai organ selain

paru. Ginjal merupakan organ kedua yang paling sering terinfeksi, selanjutnya kelenjar limfe,

5

Page 6: Spondilitys tuberkulosa

tuba, tulang, sendi, otak, kelenjar adrenal, saluran cerna dan kelenjar mamma. Meskipun

jarang, tuberkulosa kongenital dapat ditemukan pada bayi, ditularkan melalui vena umbilikal

atau cairan amnion ibu yang terinfeksi.3

Perjalanan infeksi pada vertebra dimulai setelah terjadi fase hematogen atau reaktivasi

kuman dorman. Vertebra yang paling sering terinfeksi adalah vertebra torako-lumbal (T8 –

L3). Bagian anterior vertebra lebih sering terinfeksi dibandingkan dengan bagian posterior.6

Basil masuk ke korpus vertebra melalui 2 jalur utama, jalur arteri dan jalur vena serta

jalur tambahan.

1. Jalur Utama

Jalur utama berlangsung secara sistemik, mengalir sepanjang arteri ke perifer

masuk kedalam korpus vertebra, berasal dari arteri segmental interkostal atau arteri

segmental lumbal yang memberikan darah ke separuh dari korpus yang berdekatan,

dimana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri nutrisia. Didalam korpus arteri

ini berakhir sebagai end artery, sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering

dimulai didaerah paradiskal.7

2. Jalur Kedua

Jalur kedua adalah melalui pleksu Batson, suatu anyaman vena epidural dan

peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah

perivertebral. Pleksus ini beranastomase dengan pleksu-pleksus pada dasar otak,

dinding dada, interkostal, lumbal dan pelvis, sehingga darah dalam pleksus Batson

berasal dari daerah-daerah tersebut di atas. Jika terjadi aliran retrograd akibat

perubahan tekanan pada dinding dada dan abdomen maka basil dapat ikut menyebar

dari infeksi tuberkulosa yang berasal dari organ didaerah aliran vena-vena tersebut.7

3. Jalur ketiga

6

Page 7: Spondilitys tuberkulosa

Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinutatum dari abses paravertebral yang

telah terbentuk dan menyebar sepanjang ligamentuk longitudinal anterior dan

posterior ke korpus vertebra yang berdekatan.7

Penyakit ini umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari

bagian sentral, bagian depan atau dari daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian

terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus.

Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebral dan ke

korpus yang berada didekatnya.7

Diskus intervertebralis relatif resisten terhadap infeksi tuberkulosis karena

avaskular. Bila diskus terkena infeksi maka diskus akan rusak karena jaringan

granulasi dan kehilangan cairan, celah sendi akan menyempit.6

Kerusakan pada bagian depan korpus vertebra menyebabkan korpus menjadi

kolaps sehingga dapat terjadi kifosis, kemudian eksudat menyebar ke anterior

dibawah ligamentum longitudinale anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum

longitudianle anterior dan berekspansi ke berbagai arah disepanjang garis ligamentum

yang lemah.5

2.5 Klasifikasi

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal 3 bentuk spondilitis :8

2.5.1 Bentuk Paradiskus

Bentuk paradiskus, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada

orang dewasa, lebih dari separuh jumlah kasus.

2.5.2 Bentuk Sentral

7

Page 8: Spondilitys tuberkulosa

Bentuk sentral, infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra. Dapat

menyebabkan kolap vertebra dan sering dijumpai pada anak.

2.5.3 Bentuk Anterior

Bentuk anterior, adalah merupakan perambatan perkontinuitatum dari vertebra

diatasnya atau dibawahnya.

2.6 Manifestasi Klinik

2.6.1 Gejala Umum

Penderita memperlihatkan gejala-gejala sakit kronik dan mudah lelah, demam

subfebris terutama pada malam hari, anoreksia, berat badan menurun, berkeringat

pada malam hari, takikardi dan anemia.5

2.6.2 Gejala Lokal

Nyeri dan kaku punggung merupakan keluhan yang pertama kali muncul.

Nyeri dapat dirasakan terlokalisir disekitar lesi atau berupa nyeri menjalar sesuai saraf

yang terangsang. Spasme otot-otot punggung terjadi sebagai suatu mekanisme

pertahanan menghindari pergerakan pada vertebra. Saat penderita tidur, spasme otot

hilang dan memungkinkan terjadinya pergerakan tetapi kemudian timbul nyeri lagi.

Gejala ini dikenal sebagai night cry, umumnya terdapat pada anak.5

Gejala lokal sesuai dengan lokasi vertebra yang terkena penyakit. Pada

vertebra servikal, dapat ditemukan gejala kaku leher, nyeri vertebra yang menjalar ke

oksipital atau lengan, yang dirasakan lebih hebat bila kepala ditekan kearah kaudal.

Kemudian dapat terjadi deformitas, lordosis-normal akan berkurang dan anak

menopang kepalanya denganlengan, abses retrofaringeal atau servikal, paralisa lengan

diikuti oleh paralisa tungkai. Gejala neurologik dapat terjadi karena, subluksasi antar

vertebra, penekanan medula spinalis atau radiks saraf serta diskus oleh tulang,

terbentuknya abses, reaksi terhadap infeksi lokal, terjadinya vaskulitits tuberkulosa.5

8

Page 9: Spondilitys tuberkulosa

Pada vertebra servikal bawah dan toraka atas, ditemukan gejala lokal,

misalnya kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus brakialis.

Abses retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal jarang menyebabkan gangguan

saraf spinal. Bila terjadi penekan saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan

kaku leher.5

Pada daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai

gibbus, nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah, khususnya

daerah lateral paha. Juga dapat ditemukan abses iliaka atau abses psoas.8

Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal misalnya deformitas,

nyeri yang menyebar ke ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak pada

sendi panggul.8

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Laboratorium

1. Darah

Secara umum, sama dengan penderita penyakit kronik lainnya, sering

ditemukan anemia hipokrom. Hitung jumlah leukosit dapat normal atau meningkat

sedikit, pada hitung jenis ditemukan monositosis. Laju endap darah meningkat tetapi

tidak dapat menjadi indikator aktivitas penyakit.5

2. Tes Tuberkulin

Dengan cara Mantoux, disuntikkan PPD % TU (0,1 mL) intrakutan. Reaksi

pada tubuh dibaca setelah 48 – 72 jam. Jika indurasi <5 mm dikatakan tes Mantoux

negatif. Indurasi >10 mm, tes Mantoux positif. Sedangkan indurasi 5 – 9 mm

meragukan dan perlu diulang.5

3. Bakteriologi

9

Page 10: Spondilitys tuberkulosa

Untuk pemeriksaan bakteriologik dan histopatologik diperlukan pengambilan

bahan melaluji biopsi atau operasi. Biopsi dapat dilakukan dengan cara fine needle

aspiration dengan tuntunan CT atau video assisted thoracoscopy.5

Pemeriksaan terhadap bahan pemeriksaan yang diambil dengan biopsi dapat

dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen atau biakan.

Pada pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan perwarnaan Ziehl Nielsen, Tan

Thiam Hok, Kinyoun- Gtabbet atau dengan metoda flurokrom yang memakai

perwarnaan auramine dan rhodamine. Pemeriksaan ini membutuhkan dsedikitnya 5 x

10 3 kuman per mL sputum. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh jenis spesimen,

ketebalan sediaan apus yang dihasilkan, ketebalan perwarnaan, kemampuan dan

keahlian pemeriksa. Beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas

hasil periksaan sediaan apus secara mikroskopik, yaitu cytocentrifugation dari bahan

pemeriksaan sputum, mencairkan sputum dengan sodium hypochloride diikuti dengan

sedimentasi selama satu malam.5

Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis tuberkulosa lebih

rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Juga pada pewarnaan biasa hanya

sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya.5

4. Kultur

Semua spesimen yang mengandung mikobakteria harus di inokulasi melalui

media kultur, karena kultiur lebih sensitif dari pada pemeriksaan mikroskopis, dapat

mendeteksi hingga 10 bakteri per mL, kultur dapat melihat perkembangan organisme

yang diperlukan untuk identifikasi yang akurat dan dengan pembiakan kuman dapat

dilakukan resistensi tes terhadap obat-obat anti tuberkulosa.5

5. Histopatologi

10

Page 11: Spondilitys tuberkulosa

Secara histopatologik, hasil biopsi memberi gambaran granuloma epiteloid

yang khas dan sel datia langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas.3

6. PCR

Prinsip kerja PCR adalah 3 tahapan reaksi yang dilakukan pada suhu yang

berbeda. Yaitu denaturasi, aneling primer, dan polimerase. Ini adalah suatu proses

amplifikasi DNA yang dilakukan berulang kali. Produk yang dihasilkan bertindak

sebagai template untuk sikluas berikutnya sehingga setiap siklus menghasilkan

produk secara eksponensial. Dengan kemampuan ini PCR dapat mendeteksi basil

tuberkulosa yang jumlahnya tidak cukup untuk bisa diperiksa secara mikroskopik atau

bakteriologis. Jumlah kuman 10 -1000 sudah dideteksi dengan pemeriksaan ini.3

2.7.2 Radiologik

1. Sinar Rontgen

Diperlukan pengambilan gambar dua arah, anteroposterior (AP) dan lateral

(L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus vertebra

dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus invertebralis, menunjukkan

terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak disekitar vertebra

menimbulkan bayangan fusiform.8

Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi

kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut gibbus.

Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal, merupakan

gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang berbentuk

fusiform.8

2. Mielografi

11

Page 12: Spondilitys tuberkulosa

Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang subdural.

Secara konvensional dibuat foto AP/L atau dilakukan pemeriksaan dengan CT-Scan,

disebut CT-Mielografi. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya

penyempitan pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medula spinalis.9

3. CT-Scan

Dapat memperlihatkan bagian-bagian vertebra secara rinci dan melihat

klasifikasi jaringan lunak. Membantu mencari fokus yang lebih kecil, menentukan

lokasi biopsi dan menentukan luas kerusakan.9

4. MRI

Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman

digunakan. MRI juga memiliki kelebihan dalam mendiagnosa penyakit pada masa

dini atau lesi multipel dibandingkan CT dan pemeriksaan radiologik konvensional.

Gambaran lesi pada T1 weighted image adalah hiperintens. Lesi juga dapat menjadi

lebih jelas dengan injeksi gadolinium DTPA intravena.9

Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran

inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens. Tetapi gambaran ini

mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak spesifik untuk spondilitis

tuberkulosa.9

Diagnosa untuk tuberkulosis diluar paru (extra pulmonal tuberculosis)

termasuk spondilitis tuberkulosa dapat dikatakan pasti bila secara klinis, dan hasil

pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil positif. Jika hasil pemeriksaan

bakteriologis dan histopatologis negatif maka disebut sebagai kasus tuberkulosis

ekstra paru tersangka.9

2.8 Diagnosis Banding

12

Page 13: Spondilitys tuberkulosa

Spondilitis tuberkulosa harus dibedakan dari penyebab destruksi vertebra dan

kifosis angular lainnya, yaitu infeksi piogenik non spesifik dan keganasan. Pada

infeksi piogenik akut, manifestasi klinis umumnya lebih berat dibandingkan dengan

spondilitis tuberkulosa. Pada infeksi, diskus biasanya kolaps sedangkan pada

keganasan biasanya masih baik.5

2.9 Penatalaksanaan

Kuman tuberkulosa pada umuimnya dapat dibunuh atau dihambat dengan

pemberian obat-obat anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, ethambutol,

Pyrazinamid dan Rifampicin. Namun karena vertebra yang terinfeksi mengalami

destruksi dengan pembentukan sekuester dan perkijuan, maka tindakan bedah menjadi

penting untuk dapat mengevakuasi sumber infeksi dan jaringan nekrotik, terutama

sekuester.10

Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan kompresi terhadap medula

spinalis dan menyebabkan defisit neurologik, sehingga memerlukan tindakan bedah.

Dasar penatalaksanaaan spondilitis tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra

yang sakit, obat-obat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses.10

2.9.1 Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup baik.

1. Istirahat di tempat tidur

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama pada keadaan akut

atau fase aktif. Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu, sampai

dicapai keadaan yang tenang secara klinis, radiologis dan laboratoris. Nyeri akan

berkurang, spasme otot-otot paravertebral menghilang, nafsu makan pulih dan berat

badan meningkat, suhu tubuh normal. Secara laboratoris, laju endap darah menurun,

13

Page 14: Spondilitys tuberkulosa

tes mantoux diameter <10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai

penambahan destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.10

The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan

untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi

ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifampicin selama 6 – 9 bulan.

Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau

terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6 –

12 bulan atau hbingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah

yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien.

Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang

kontroversial. Terapi yang lama, 12 – 18 bulan, dapata menimbulkan ketidakpatuhan

dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan

timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.

Dibawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer :

a. Isoniazid (INH)

Bersifat bakterisisdial baik di intra ataupun ekstra seluler

Tersedia dalam sediaan oral, intramuskular dan intravena.

Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.

Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.

Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien berusia

lanjut, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat

reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).

Relatif aman untuk kehamilan

Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari

b. Rifampicin (R)

14

Page 15: Spondilitys tuberkulosa

Bersifat bakterisisdial, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari basil,

baik di intra atauapun ekstraseluler.

Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metaboliik yang paling rendah (seperti

pada nekrosis perkijuan)

Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk

sediaan oral dan intravena.

Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.

Efek samping : perdarahan pada traktus gastrointestinal, cholestatic jaundice,

trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas

meningkat bila dikombinasi dengan INH.

Relatif aman untuk kehamilan

Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.

c. Pyrazinamide (P)

Bekerja secara aktifmelawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam

dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan.

Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinal.

Efek samping : Hepatotoksisitas maupun asara urat

Dosis : 15 – 30 mg/kg/hari

d. Ethambutol (E)

Bersifat bakteriostatik intraseler dan ekstraseluler

Tidak berpenetrasi ke dalam mengien yang normal

Efek samping : toksisitas okular (optik neuritis) dengan timbulnya kondisis buta

warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.

Relatif aman untuk kehamilan

Dipakai secara berhari-hari untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.

Dosis : 15 mg/kg/hari

15

Page 16: Spondilitys tuberkulosa

e. Streptomycin (S)

Bersifat bakterisidial.

Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan

untuk melengakapi pemberian Pyrazinamide.

Tidak berpenetrasi kedalam meningean yang normal

Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo (terutama

pada pasien dengan usia lanjut).

Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.

Dosis : 15 mg/kg/hari – 1g/kg/hari.

2. Kemoterapi Anti Tuberkulosa

Tujuan pemberian obat anti tuberkulosa (OAT) secara umum adalah :10

- Menyembuhkan penderita dalam waktu singkat dengan gangguan minimal.

- Mencegah kematian akibat penyakit atau oleh efek lanjutannya.

- Mencegah kekambuhan.

- Mencegah timbulnya kuman yang resisten.

- Melindungi masyarakat dari penularan.

Pemberian OAT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :10

- Terapi sedini mungkin.

- Obat-obat dalam bentuk kombinasi

- Diberikan secara teratur.

- Dosis harus cukup/

- Diberikan sesuai jangka waktu pemberiannya.

WHO memberikan panduan penggunaan OAT berdasarkan berat ringannya penyakit:4

16

Page 17: Spondilitys tuberkulosa

- Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru yang luas,

tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai diabetes

mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk spondilitis tuberkulosa.

- Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam pengobatan

- Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif

3. Immobilisasi

Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus

dilakukan. Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi. Menurut

Boswots Compos (dikutip dari 10 orang) pengobatan yang paling penting adalah

imobilisasi dan artrodesis posterior awal. Dikatakan bahwa 80% pasien yang

terdeteksi lwhbih awal akan terdeteksi lebih awal, akan pulih setelah arthrodesis.

Menurut pendapatnya, dekompresi anterior diindikasikan hanya pada beberapa pasien

yang tidak pulih setelah menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini tidak memberikan

perbaikan dan pemulihan, akan terjada dekompresi batang otak. Pada umumnya

arthrodeis dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi pemulihan lengkap.10

2.9.2 Terapi operatif4

Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi

neurologik dan kerusakan lebih lanjut. Salah satu tindakan beedah yang penting

adalah debridement yang bertujuan menghilangkan sumber infeksi dengan cara

membuang semua debri dan jaringan nekrotik, benda asing dan mikro-organisme.9

Indikasi operesi :9

- Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis dan

radiologis memburuk.

- Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.

17

Page 18: Spondilitys tuberkulosa

- Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit

neurologik, terdapat abses paravertebral.

- Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak. Lesi

pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat

ditanggulangi hanya dengan OAT.

- Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam

jumlah banyak.

2.10 Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena

kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi sangat

besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas inferior yang

dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia.1

Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi.

Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis T, dapat terjadi sekuele

antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak dan lain-lain. Prognosis

bertambah baik bila pengobatan lebih cepat dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada

anak dengan usia kurang dari 5 tahun sampai 30%.1

18

Page 19: Spondilitys tuberkulosa

BAB 3

KESIMPULAN

1. Spondilitis Tb adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi

klinis yang bervariasi.

2. Pemeriksaan radiografi mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta follow up

penyakit.

3. Jika dalam pemeriksaan didapatkan normal, salah satu pemeriksaan jaringan harus

dikerjakan untuk menyingkirkan spondilitis TB.

4. Tata laksana ditentukan oleh ada tidaknya paralisis atau paraplegi pada ekstremitas

inferior sehingga pembedahan harus segera dilakukan.

5. Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit, tata laksana dan komplikasi yang

menyertai.

19

Page 20: Spondilitys tuberkulosa

DAFTAR PUSTAKA

1. Hidalgo A. Pott disease (tuberculuous spondylitis). Didapat dari

http://www.emedicine.com/med/topic1902.htm. diakses tanggal 27 September 2015.

2. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS. Pedoman nasional TB anak. Edisi ke 1. Jakarta :

UKK Pulmonologi PP IDAI; 2005.

3. Utji R, Harun H. Kuman tahan asam. Dalam : Syarurahman A, Chatim A, Soebandrio

AWK. Penyunting Buku ajar mikrobiologi Kedokteran. Edisi revisi, Jakarta :

Binarupa Aksara; 1994.

4. WHO Communicable Diseases Cluster. Fixed dose combination tablets for treatmant

of tuberculosis. Report of an informal meeting held in Geneve; April 27, 1999.

5. Ramachandran R, Paramasivan CN, What is new in the diagnosis of tuberculosis.

Indian Journal of Tuberculosis 2003.

6. Tuli SM. Tuberculosis of the spine. New Delhi : Amerind, 1975.

7. Tuberculous Spondilytis. Avalaible at http://www.orthoguide.co.id.Agustus 2002.

8. Apley, Apley’s system of orthopaedics and fractures. 8th Ed. Oxford : BH Co 2001.

20

Page 21: Spondilitys tuberkulosa

9. Crenshaw AH. Spinal anatomy and surgical approach. In : Campbell’s operative

orthopaedics. 8th Ed. Missouri : Mosby Year Book 1992.

10. Sapardan S. Total treatment of tuberculosis of the spine. A rational problem soling

approach. Perpustakaan Universitas Indonesia 2004.

11. Annisa S, Mioma Uteri, anisasaja01.blogspot.com diakses tanggal 02-05-2015.

12. Baziad A, Endokrinologi Ginekologi, Media Aesculapius, Jakarta, 2003.

13. Cunningham FG, dkk, Obstetri Williams Edisi 21, EGC, Jakarta, 2005.

14. Derek L, Jones, Dasar-dasar Obstetri & Ginekologi, Hipokrates, Jakarta, 2002.

15. Kurniasari T, Skripsi Karakteristik Mioma Uteri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Periode Januari 2009 – Januari 2010, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret, 2010.

16. Nathan L, dkk, Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology Tenth

Edition, McGraw-Hill Companies, Florida, 2007.

17. Norwitz, dkk, At a Glance : Obstetri & Ginekologi Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta,

2007.

18. Prawirohardjo S, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,

Jakarta, 2007.

19. Rianthy A, Mioma Uteri, makalahmahasiswakedokteran.blogspot.com diakses tanggal

10-05-2015.

21

Page 22: Spondilitys tuberkulosa

BAB IV

STATUS ORANG SAKIT

STATUS GINEKOLOGI

4.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.S

Umur : 43 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : SMA

Alamat : Jl. Jermal XI Medan Denai

Nama suami : Tn.F

Umur : 50 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pekerjaan : Wiraswasta

22

Page 23: Spondilitys tuberkulosa

Pendidikan : SMA

Alamat : Jl. Jermal XI Medan Denai

No RM : 232137

Tanggal masuk : 11-05-2015

Pukul : 11.55 WIB

4.2 ANAMNESA

Ny. S, 43 tahun, P3A0, istri dari Tn F, 50 tahun datang ke RS Haji Medan pada tanggal 11-05-

2015 pukul11.55 wib dengan:

KU :Benjolan di kemaluan

Telaah :Os merasakan adanya benjolan di kemaluan (vulva) sinistra. Benjolan

tersebut berbentuk bulat seperti seukuran bola pimpong. Benjolan tampak

merah dan terasa sakit. Hal ini telah dialami os sejak hari Jum’at tanggal 7

Mei 2015. Pada awalnya benjolan tampak sangat kecil, namun lama-kelamaan

benjolan tersebut semakin membesar dalam 3 hari ini.

1.2.1 Haid :

Menarche : 14 tahun Dysminorrhoea : (-)

HPHT : 28 April 2015 Menopause : (-)

Siklus : 30 hari (teratur) Lama haid : 5-7 hari

1.2.2 Riwayat Persalinan:

1. Anak laki-laki, aterm, BB 2800 gram, cara Persalinan Spontan Pervaginam, ditolong

oleh bidan, ,umur sekarang 16 tahun, hidup.

2. Anak laki-laki, aterm, BB 3.000 gram, cara Persalinan Spontan Pervaginam, ditolong

oleh bidan, umur sekarang 15 tahun, hidup.

23

Page 24: Spondilitys tuberkulosa

3. Anak laki-laki, aterm, BB 2800 gram, cara Persalinan Spontan Pervaginam, ditolong

oleh bidan, umur sekarang 10 tahun, hidup.

1.2.3 Keputihan

Jumlah : (-) Konsistensi : (-)

Warna : (-) Gatal : (-)

Bau : (-)

1.2.4 Seksual/ Perkawinan

Umur Menikah : 25 tahun Suami : Tn F

Lama Kawin : 29 tahun Berobat mandul : Tidak

Kemandulan : Tidak

Riwayat KB : IUD

1.2.5 Gizi dan Kebiasaan

Nafsu makan : Berlebih Perubahan berat badan : Gemuk

Merokok : (-) Alkohol : (-)

Kebiasaan makan obat : Tidak ada

1.2.6 Penyakit yang pernah diderita

Tuberculosis : (-) Penyakit hati : (-)

Penyakit jantung : (-) Penyakit ginjal : (-)

Penyakit endokrin: Diabetes Penyakit kelamin: (-)

1.2.7 Riwayat operasi

Tidak ada

4.3 PEMERIKSAAN FISIK

A. Status present

Sens : CM Anemis : (-/-)

TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-/-)

24

Page 25: Spondilitys tuberkulosa

HR : 84 x/i Dyspnoe : (-)

RR : 22 x/i Sianosis : (-)

T : 36,4 0C Oedem : (-)

TB : 156 cm

BB : 65 kg

B. Pemeriksaan Lokal

Kepala : Tidak ada kelainan

Leher : KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat

Thorax : Cor : Bunyi jantung normal, reguler,bunyi tambahan (-)

Pulmo : Suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)

Mammae : membesar (-), Hiperpigmentasi (-), Colostrum (-)

Abdomen : Distensi (-), Bising Usus (+) Normal, hepar tidak teraba, lien tidak

teraba

Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-/-)

Genitalia ekserna : Tampak massa yang bulat seperti bola pimpong disertai gatal dan

merah pada vulva.

C. PEMERIKSAAN DALAM

- Uterus anteflexi dalam batas normal

- Parametrium kanan dan kiri lemas

- Adnexa kanan dan kiri tidak teraba massa

- Cavum Douglas tidak menonjol

4.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

EKG normal

25

Page 26: Spondilitys tuberkulosa

4.5 DIAGNOSA

Kista Bartholini Sinistra

4.6 LAPORAN TINDAKAN OPERASI

Ibu dibaringkan di meja ginekologi dengan kateter dan infus terpasang baik.

Dilakukan spinal anasthesi, dilakukan tindakan antiseptik dan aseptik di vagina eksterna.

Kemudian ditutup dengan duk steril kecuali lapangan operasi. Dilakukan biopsi aspirasi

jaringan kista. Dilakukan tindakan ekstervasi pada kista bartholini sinistra. Kemudian

dilakukan penjahitan pada bekas luka operasi. Lalu ditutup dengan perban dan difiksasi.

Keadaan ibu post ekstervasi dalam kondisi baik.

4.7 PENATALAKSANAAN

Terapi :IVFD RL 20 gtt/ i

Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

Metronidazole tab 3 x 1

Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam

Norflamin 3 x 1

Pondex 3 x 1

Vit C 2 x 1

4.8 FOLLOW UP

Follow Up tanggal 12 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

S : tidak ada keluhan

O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)

TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)

PR : 64 x/menit Dyspnoe : (-)

26

Page 27: Spondilitys tuberkulosa

RR : 20 x/menit Sianosis : (-)

T : 36,2ºC Oedem : (-)

BAK : (+) 2x/hari

BAB: (+)

Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra

Terapi: IVFD RL 20 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

Metronidazole tab 3 x 1

Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam

Norflamin 3 x 1

Pondex 3 x 1

Vit C 2 x 1

Follow Up tanggal 13 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

S : tidak ada keluhan

O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)

TD : 120/70 mmHg Ikterik : (-)

PR : 70 x/menit Dyspnoe : (-)

RR : 20 x/menit Sianosis : (-)

T : 36,5ºC Oedem : (-)

BAK : (+) Normal

BAB : (+) Normal

Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra

Terapi: IVFD RL 20 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

Metronidazole tab 3 x 1

27

Page 28: Spondilitys tuberkulosa

Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam

Norflamin 3 x 1

Pondex 3 x 1

Vit C 2 x 1

Follow Up tanggal 14 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

S : tidak ada keluhan

O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)

TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)

PR : 64 x/menit Dyspnoe : (-)

RR : 20 x/menit Sianosis : (-)

T : 36,5ºC Oedem : (-)

BAK : (+) Normal

BAB : (+) Normal

Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra

Terapi: IVFD RL 20 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

Metronidazole tab 3 x 1

Inj. Ketorolac 30mg/8 jam

Pondex 3 x 1

Vit C 3 x 1

Follow Up tanggal 15 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

S : tidak ada keluhan

O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)

TD : 120/80 mmHg Ikterik : (-)

PR : 64 x/menit Dyspnoe : (-)

28

Page 29: Spondilitys tuberkulosa

RR : 20 x/menit Sianosis : (-)

T : 36,5ºC Oedem : (-)

BAK : (+) Normal

BAB : (+) Normal

Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra

Terapi: IVFD RL 20 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

Metronidazole tab 3 x 1

Inj. Ketorolac 30mg/8 jam

Pondex 3 x 1

Vit C 3 x 1

Follow Up tanggal 16 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

S : tidak ada keluhan

O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)

TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)

PR : 64 x/menit Dyspnoe : (-)

RR : 20 x/menit Sianosis : (-)

T : 36,2ºC Oedem : (-)

BAK : (+) Normal

BAB : (+) Normal

Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra

Terapi: IVFD RL 20 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

Metronidazole tab 3 x 1

Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam

29

Page 30: Spondilitys tuberkulosa

Pondex 3 x 1

Vit C 2 x 1

Follow Up tanggal 17 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

S : tidak ada keluhan

O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)

TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)

PR : 64 x/menit Dyspnoe : (-)

RR : 20 x/menit Sianosis : (-)

T : 36,2ºC Oedem : (-)

BAK : (+) Normal

BAB : (+) Normal

Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra

Terapi: IVFD RL 20 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

Metronidazole tab 3 x 1

Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam

Pondex 3 x 1

Vit C 2 x 1

Follow Up tanggal 18 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

S : tidak ada keluhan

O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)

TD : 120/70 mmHg Ikterik : (-)

PR : 70 x/menit Dyspnoe : (-)

RR : 20 x/menit Sianosis : (-)

T : 36,2ºC Oedem : (-)

30

Page 31: Spondilitys tuberkulosa

BAK : (+) Normal

BAB : (+) Normal

Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra

Terapi: IVFD RL 20 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

Metronidazole tab 3 x 1

Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam

Pondex 3 x 1

Vit C 2 x 1

Follow Up tanggal 19 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

S : tidak ada keluhan

O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)

TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)

PR : 68 x/menit Dyspnoe : (-)

RR : 20 x/menit Sianosis : (-)

T : 36,2ºC Oedem : (-)

BAK : (+) Normal

BAB : (+) Normal

Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra

Terapi: IVFD RL 20 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

Metronidazole tab 3 x 1

Inj. Ketorolac 1amp 1gr/12 jam

Pondex 3 x 1

Vit C 2 x 1

31

Page 32: Spondilitys tuberkulosa

Rencana : - Pasang kateter

- Tindakan ekstervasi pada hari Rabu, 20 Mei 2015

Follow Up tanggal 20 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

S : tidak ada keluhan

O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)

TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)

PR : 70 x/menit Dyspnoe : (-)

RR : 20 x/menit Sianosis : (-)

T : 36,2ºC Oedem : (-)

BAK : (+) Normal

BAB : (+) Normal

Diagnosa : Kista Bartholini Sinistra

Terapi: IVFD RL 30 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

Inj Ditranex 2 x 1

Inj Gentamicin 1amp/ 12 jam

Paralgesub 1tab/8 jam

Follow Up tanggal 21 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

S : tidak ada keluhan

O : Sensorium : Compos Mentis Anemis : (-)

TD : 120/80 mmHg Ikterik : (-)

PR : 70 x/menit Dyspnoe : (-)

RR : 20 x/menit Sianosis : (-)

T : 36,2ºC Oedem : (-)

BAK : (+) Normal

32

Page 33: Spondilitys tuberkulosa

BAB : (+) Normal

Diagnosa : Post Ekstervasi Kista Bartholini Sinistra

Terapi: IVFD RL 30 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1gr/8jam

Inj Ditranex 2 x 1

Inj Gentamicin 1amp/ 12 jam

Antasida Syr 3 x 1

Metronidazole tab 3 x 500mg

Pondex 3 x 500mg

Vit C 3 x 1

Rencana : Aff infus

33