referat meningitis tuberkulosa

23
BAGIAN NEUROLOGI REF E RAT FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2013 UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MENINGITIS TUBERKULOSIS Oleh: Muh. Ilham Hidayat 110 207 102 Abrar Pratama S. 110 208 069 Eviyarni 110 209 013 Pembimbing : dr. Handedi Supervisor:

Upload: muhammad-ilham-hidayat-as

Post on 03-Oct-2015

178 views

Category:

Documents


30 download

DESCRIPTION

meningitis tuberkulosa

TRANSCRIPT

BAGIAN NEUROLOGI REFERATFAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2013UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MENINGITIS TUBERKULOSIS

Oleh:Muh. Ilham Hidayat110 207 102

Abrar Pratama S.110 208 069

Eviyarni110 209 013

Pembimbing :dr. Handedi

Supervisor:dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN NEUROLOGIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUSLIM INDONESIAMAKASSAR2013

HALAMAN PENGESAHAN

Nama :Muh. Ilham HidayatNIM:110 207 102

Nama :Abrar Pratama.SNIM:110 208 069

Nama :EviyarniNIM:110 209 013

Telah menyelesaikan tugas refrat dengan judul Meningitis Tuberkulosis dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Juni 2013

Mengetahui,

SupervisorPembimbing

dr. Ashari Bahar, M.kes, Sp.S, FINS dr.Handedi

I. i

II. PENDAHULUAN

Meningitis tuberkulosis merupakan manifestasi tuberkulosis yang paling ditakuti, dan merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang umum terjadi khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia di mana tuberkulosis masih cukup endemis. Insidensi sesuai dengan tuberkulosis paru yang mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Pasco PM,2012).Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer. Secara histologi meningitis tuberkulosis merupakan meningoensefalitis (tuberkulosis) dengan invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf pusat (Frida M, 2011).Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Pada jaringan tubuh kuman ini berbentuk batang halus berukuran 3 x 0,5 m, dapat juga terlihat seperti berbiji-biji (Utji R & Harun H, 2010).

III. EPIDEMIOLOGI

Menurut WHO (2003), diperkirakan 8 juta orang terjangkit TBC setiap tahun dan 2 juta meninggal. Pada tahun 1997 diperkirakan TBC menyebabkan kematian lebih dari 1 juta penduduk di negara-negara Asia. Riggs (1956) menyatakan bahwa antara 5-10% penderita TBC akan meninggal, dan 25% akan berlanjut menjadi infeksi. Meningitis tuberkulosis lebih sering pada anak terutama anak usia 0-4 tahun di daerah dengan prevalensi TBC tinggi. Sebaliknya di daerah dengan prevalensi TBC rendah, meningitis tuberkulosis lebih sering dijumpai pada orang dewasa (Frida M, 2011).Di Amerika Serikat meningitis tuberkulosis ditemukan pada 32% kasus meningitis dan menurun drastis kurang dari 8% dalam 25 tahun kemudian, sedangkan di India pada tahun yang sama, 60% kasus terjadi pada anak usia 9 bulan - 5 tahun (Frida M, 2011).Berdasarkan data di Departemen Neurologi RS Cipto Mangunkusumo, pasien yang dirawat pada tahun 1996 terdapat penderita dengan kasus meningitis dengan kematian 40%. Tahun 1997, 13 kasus dengan kematian 50,85% dan tahun 1998 dengan kematian 46,15%. Dari 13 pasien dibagian Ilmu Penyakit Saraf DR. M. Djamil Padang, selama tahun 2007 didapatkan kasus meningitis tuberkulosis sebanyak 9 penderita dan tahun 2008 dengan 7 orang penderita. (Frida M, 2011)Meningitis tuberkulosis merupakan meningitis yang paling banyak menyebabkan kematian atau kecacatan, dibanding dengan meningitis bakterialis akut, perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis lebih lama dan perubahan atau kelainan dalam cairan serebrospinal (CSS) tidak begitu hebat. (Frida M, 2011)

IV. PATOFISISOLOGI

Perkembangan meningitis tuberkulosis terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, basil Mycobacterium tuberculosis masuk ke tubuh pejamu melalui inhalasi droplet, dimulai dengan infeksi di sel makrofag alveolus paru-paru. Infeksi meluas ke dalam paru-paru bersama dengan penyebaran ke limfonodus regional membentuk kompleks primer. Pada tahap ini terjadi bakteremia singkat tapi signifikan dapat menyebarkan basil tuberkel ke organ lain di dalam tubuh. Pada penderita yang mengalami meningitis tuberkulosis basil menyebar ke meninges atau parenkim otak, membentuk fokus subpial atau sub-ependimal kecil. Yang disebut fokus Rich. Pada sekitar 10% kasus, terutama pada anak-anak, kompleks primer tidak sembuh tetapi menjadi progresif. Pneumonia tuberkulosis berkembang lebih berat dan terjadi bakteremia tuberkulosis yang lebih lama. Penyebaran ke sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada tuberkulosis milier (Thwaites G, 2000).Tahap kedua perkembangan meningitis tuberkulosis yaitu pecahnya fokus Rich ke ruang subarakhnoid. Hal ini menyebabkan meningitis yang jika tidak diobati, akan terjadi kerusakan otak yang parah dan irreversible. Pada 75% anak-anak, onset meningitis tuberkulosis terjadi kurang dari 12 bulan setelah infeksi primer (Thwaites G,2000).Keadaan patologi terjadi melalui tiga proses : pembentukan adhesi, vaskulitis, dan encefalitis. Adhesi terjadi karena eksudat meningeal di basal otak yang kental yang terjadi karena inokulasi basil ke dalam ruang subarakhnoid. Eksudat berisi limfosit, sel plasma, dan makrofag, serta fibrin yang banyak. Adhesi yang terjadi pada sisterna basalis menyebabkan obstruksi saluran CSS dan hidrosefalus. Adhesi di sekitar fossa interpendicular dan struktur di sekitarnya dapat menyebabkan kelainan nervus kranial, terutama nervus kranial II, IV, dan VI, dan arteri karotis interna. Vaskulitis pada pembuluh darah yang besar dan kecil sehingga menyebabkan infark dan sindrom stroke. Biasanya terjadi di daerah karotis interna, arteri serebri media proksimal dan permbuluh darah yang menuju ke ganglia basalis. Peningkatan proses inflamasi di basal dapat meluas ke parenkim otak menyebabkan ensefalitis. Edema terjadi sebagai konsekuensi dari ensefalitis yang dapat terjadi pada kedua hemisfer. Ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan defisit neurologi global (Thwaites G et al, 2000).

V. GEJALA KLINIS

Gambaran klinis meningitis tuberkulosis bervariasi dan tidak spesifik. Selama dua sampai delapan minggu dapat ditemukan malaise, anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan nervus kranial (II, III, IV, VI, VII, VIII) dan hemiparese. Pemeriksaan funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada koroid, dan edema papil menandakan adanya peninggian tekanan intrakranial (Frida M, 2011).Perjalanan klinis meningitis tuberkulosa dapat dibagi dalam tiga tahapan, sebagaimana didefinisikan oleh British Medical Research Council. Tahap pertama, merefleksikan inflamasi meningeal, terdiri dari perubahan kepribadian, iritabilitas, anoreksi, lesu, dan demam. Gejala non-spesifik ini dapat dianggap disebabkan oleh meningitis tuberkulosis hanya pada penelitian retrospektif. Setelah 1-2 minggu, penyakit memasuki tahap kedua. Di sini, tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan serebral muncul, termasuk mengantuk, kaku kuduk, kelumpuhan nervus kranial (terutama nervus kranial III, VI, dan VII), anisokor, muntah, dan kejang fokal atau umum. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa, sakit kepala dan muntah merupakan gejala utama tahap kedua, dan sakit kepala pada pasien dengan tuberkulosis milier sangat berhubungan dengan keterlibatan meningeal. Kadang-kadang makrosefali dapat diamati pada bayi. Sebanyak 10% pasien tidak mengalami demam (Starke RJ, 2010).Tahap ketiga dari meningitis tuberkulosis ditandai dengan defisit neurologi yang berat, termasuk koma, instabilitas otonom, dan demam yang meningkat. Hemiplegia dapat terjadi selama onset penyakit atau pada tahap selanjutnya, tapi biasanya berhubungan dengan infark di daerah arteri serebri media. Monoplegia, bukan gejala yang umum terjadi, terjadi akibat lesi vaskuler pada tahap awal dari penyakit. Quadriplegia disebabkan oleh infark bilateral atau edema yang hebat, terjadi hanya pada kasus yang lebih lanjut (Starke RJ, 2010).Terjadinya meningitis tuberkulosa pada anak seringkali bertahap, terjadi selama 1-3 minggu, dan tampaknya di beberapa kasus dipicu oleh infeksi virus, jatuh, atau benturan di kepala. Kadang timbulnya gejala tiba-tiba dan ditandai dengan kejang atau perkembangan defisit neurologi yang cepat (Starke RJ, 2010).Berikut adalah tabel ciri-ciri klinis meningitis tuberkulosis pada anak-anak dan orang dewasa.

Tabel 1 Ciri-Ciri Klinis Meningitis Tuberkulosis pada Anak-Anak dan Orang Dewasa (Thwaites G et al, 2009)Frekuensi

GejalaSakit KepalaDemamMuntahFotofobiaAnoreksia / Penurunan Berat Badan

Tanda KlinisKaku KudukKebingunganKomaKelumpuhan Nervus Kranial VI III VIIHemiparesisParaparesisKejang Anak-Anak Dewasa

Cairan Serebrospinal Kejernihan Tekanan > 25 cm H2O Hitung Leukosit (x 103/ml) Netrofil Limfosit Protein (g/l) Laktat (mmol/l) Glukosa CSS ; Glukosa darah < 0,550 80 %60 95 %30 60%5 10 %60 80%

40 80%10 30%30 60%30 50%30 40 %5 15%10 20%10 20%5 10%

50%5%

80 90%50%5 100010 70%30 90%0,45 3,0*5,0 10,095%

* Protein Serebrospinal dapat > 10 g/l dengan sumbatan medulla spinal

VI. DIAGNOSA

Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan penunjang (Frida M,2011).

Pemeriksaan LaboratoriumLaju endap darah yang meningkat lebih dari 80% pada kasus meningitis tuberkulosis, tapi ini bukan nilai diagnostik. Sebagian besar anak dengan meningitis tuberkulosis memiliki nilai hitung darah lengkap yang normal, sementara anemia lebih umum, leukopenia dan trombositopenia jarang dengan tidak adanya penyebaran menigitis tuberkulosis (Starke RJ, 2010).Tes Tuberkulin Penempelan tes kulit intradermal Mantoux, meskipun cukup sederhana dan rutin pada orang dewasa yang kooperatif, dapat lebih sulit dilakukan pada anak-anak. Tes ini dinilai setelah 48-72 jam penempelan dengan pengukuran dan pencatatan jumlah indurasi (bukan eritma). Jumlah indurasi dianggap sebagai tes kulit positif tergantung pada risiko infeksi tuberkulosis dan risiko infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Secara umum, indurasi yang lebih dari 5 mm dianggap positif untuk orang dengan tanda klinis atau radiografi dengan tanda-tanda penyakit tuberkulosis (Starke RJ, 2010).Pemeriksaan Cairan SerebrospinalisPungsi lumbal pada meningitis tuberkulosis biasanya menunjukkan peningkatan opening pressure dan jernih, serta tidak berwarna. Kebanyakan pasien memiliki tingkat pleositosis moderat, biasanya kurang dari 500 sel/mm3. Leukosit CSS lebih besar dari 1000 sel/mm3 jarang pada meningitis tuberkulosis. Walaupun sel PMN lebih banyak pada awal perjalanan penyakit. Namun pada saat dilakukan pungsi lumbal tampak limfositosis (Starke RJ, 2010).Rentang tingkat protein CSS biasanya berada pada 100 sampai 500 mg/dl, protein meningkat selama perjalanan penyakit dan sangat meningkat bila terjadi obstruksi CSS, kadar glukosa jarang turun di bawah 20 mg/dl sehingga kadar glukosa yang rendah ini dapat membedakan meningitis tuberkulosis dengan penyebab lain, kecuali penyebab bakteri.Pemeriksaan RadiologiPada penelitian oleh Etlik et al (2004). Pada 16 pasien meningitis tuberkulosis menemukan bahwa hanya ditemukan 2 pasien (12,5%) yang memiliki kelainan pada rontgen toraks seperti TBC milier, limfadenopati, konsolidasi pada paru-paru sebelah kanan.CT scan dan MRI tidak dapat menegakkan diagnosis mikobakterium tuberkulosis tetapi dapat membantu menyingkirkan gangguan SSP dan dapat memberi petunjuk mengenai tuberkulosis SSP (Starke RJ, 2010).Sebagian besar pasien yang diperiksa dengan MRI ditemukan hasil radiologi abnormal yang sesuai dengan meningitis tuberkulosis termasuk hidrosefalus (25%), enhancement sisterna basalis (18%), dan infark bilateral pada ganglia basalis (43%). Sebaliknya, sebagian besar pasien yang diperiksa dengan CT scan tidak ditemukan hasil radiologi yang abnormal kecuali hidrosefalus (Etlik et al, 2004). Pada pemeriksaan CT scan sering ditemukan ventrikel melebar, eksudat, dan meninges yang menebal terutama di daerah basilar otak (Starke RJ, 2010).

Differential DiagnosisAda beberapa yang dapat menjadi differential diagnosis dari meningitis tuberkulosis antara lain (Starke RJ, 2010) : Infeksi bakteri disebabkan oleh meningitis yang tidak diobati atau diobati secara setengah-setengah, abses otak (brain abscess), leptospirosis, brucellosis. Infeksi virus disebabkan oleh herpes simplex, mumps. Infeksi jamur disebabkan oleh cryptococcosis, histoplasmosis. Infeksi protozoa disebabkan oleh toxoplasmosis. Vascular disebabkan oleh emboli, infeksi endokarditis, sinus thrombosis, stroke, systemic vasculitis syndromes.

VII. TERAPI

Saat ini telah tersedia berbagai macam tuberkulostatika, pada umumnya tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi, dikenal sebagai triple drugs, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis tuberkulostatika lainnya. Kita harus kritis untuk menilai efektivitas masing-masing obat terutama dalam hal timbulnya resistensi (Frida M, 2011).Berikut ini adalah beberapa contoh tuberkulostatika yang dapat diperoleh di Indonesia (Frida M, 2011):1. Isoniazid (INH), diberikan dengan dosis 10 20 mg/kgBB/hari pada anak) dan pada orang dewasa dengan dosis 400 mg/hari. Efek samping berupa neuropati, gejala-gejala psikis.2. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10 20 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Efek samping sering ditemukan pada anak di bawah 5 tahun dapat menyebabkan neuritis optika, muntah, kelainan darah perifer, gangguan hepar, dan flu-like-symptom.3. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari 150 mg/hari. Efek samping dapat menimbulkan neuritis optika.4. PAS diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis dapat diberikan sampai 12 g/hari. Efek samping dapat menyebabkan gangguan nafsu makan.5. Streptomisin, diberikan intramuskuler selama lebih kurang 3 bulan. Dosisnya adalah 30 50 mg/kgBB/hari. Oleh karena bersifat ototoksik maka harus diberikan dengan hati-hati. Bila perlu pemberian streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2 3 bulan sampai CSS menjadi normal.6. Kotikosteroid, biasanya dipergunakan prednisone dengan dosis 2 5 mg/kgBB/hari (dosis normal) 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2 4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 2 minggu. Pemberian kortikosteroid seluruhnya adalah lebih kurang 3 bulan, apabila diberi deksametason maka obat ini diberikan secara intravena dengan dosis 10 mg setiap 4 6 jam. Pemberian deksametason ini terutama bila ada edema otak. Apabila keadaan membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap sampai 4 mg setiap 6 jam secara intravena. Pemberian kortikosteroid efektif untuk mengurangi inflamasi, terutama di ruang subarakhnoid, mengurangi edema otak dan tekanan intrakranial, dan mengurangi inflamasi pembuluh darah kecil dengan demikian mengurangi kerusakan aliran darah sampai jaringan otak. Namun, kortikosteroid dapat juga menyebabkan penekanan sistem imun. Yaitu menekan gejala infeksi tuberkulosis juga meningkatkan pertumbuhan bakteri, mengurangi inflamasi meninges yang akan mengurangi kemampuan obat sampai ke ruang subarakhnoid, dan menyebabkan hemoragi gastrointestinal, ketidakseimbangan elektrolit, hiperglikemia, dan infeksi jamur (Prasad K, Singh MB, 2009).

Tabel 2 Beberapa Regimen yang dianjurkan untuk pengobatan meningitis tuberkulosis (Frida M, 2011)ObatDosisFrekuensiLamanya

Kemungkinan resistensi obat yang rendah

A INH RIF PRZ

B INH RIF Etambutol atau streptomisin

C INH

RIF300 mg600 mg15 30 mg/kg

300 mg600 mg25 mg/kgBB1 g

300 mg900 mg600 mg600 mgSetiap hariSetiap hariSetiap hari

Setiap hariSetiap hariSetiap hariSetiap hari

Setiap hari2 x semingguSetiap hari2 x seminggu6 bulan6 bulan2 bulan

9 bulan9 bulan2 bulan2 bulan

1 bulan8 bulan1 bulan8 bulan

Kemungkinan resistensi obat yang tinggi

A INH RIF300 mg600 mgSetiap hariSetiap hari1 tahun1 tahun

Kasus dengan resistensi obat, diberikan setelah tes resistensi

VIII. PROGNOSIS

Prognosis meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin lanjut stadiumnya prognosanya makin jelek (Frida M, 2011).Beberapa indikator prognosis yang buruk seperti usia yang terlalu tua, stadium lanjut penyakit, TB ekstrameningeal yang terjadi bersamaan, dan peningkatan tekanan intrakranial. Penelitian menunjukkan bahwa variabel yang signifikan untuk memprediksi hasil meningitis tuberkulosis adalah usia, stadium penyakit, kelemahan fokal, kelumpuhan nervus kranial, dan hidrosefalus (Thawaites G, 2000).Prognosis meningitis tuberkulosis secara langsung berhubungan dengan derajat penyakit yang muncul dan awal pengobatan. Sebagian besar pasien yang diterapi pada derajat I memiliki hasil luaran (outcome) yang baik. Sebaliknya, sebagian besar pasien yang didiagnosis pada derajat III akan meninggal atau cacat. Beberapa pasien yang didiagnosis pada derajat II memiliki hasil yang baik, sedangkan yang lain memiliki defisit neurologi yang persisten. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis dengan terapi yang adekuat adalah 10 20% di negara maju, tapi dapat lebih tinggi sebesar 30 40% di negara berkembang. Secara umum prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan pasien dengan penyakit yang menular atau dengan peningkatan tekanan intrakranial (Starke RJ, 2010).Kerusakan penglihatan dan pendengaran merupakan perjalanan yang secara umum lambat. Kerusakan penglihatan biasanya karena tekanan edema pada nervus optik atau kiasma, tapi kadang secara sekunder akibat peningkatan tekanan intrakranial. Kehilangan pendengaran dihasilkan dari kerusakan nervus yang disebabkan oleh eksudat basalis (Starke RJ, 2010).Defisit motorik setelah meningitis tuberkulosis lebih umum terjadi pada anak-anak dari pada orang dewasa, telah dilaporkan pada 10 25% orang yang selamat hidup. Endokrinopati dapat menjadi jelas setelah beberapa bulan atau tahun membaik dari meningitis tuberkulosis (Starke RJ, 2010).

IX. KOMPLIKASIBeberapa komplikasi yang akan terjadi pada meningitis tuberkulosis dijelaskan pada tabel di bawah ini.Tabel 3 Frekuensi komplikasi pada 104 pasien meningitis tuberkulosis (Anderson NE et al, 2010)N(%)

HyponatraemiaHydrocephalusStrokeCranial nerve palsiesEpileptic seizuresDiabetes insipidusTuberculomaMyeloradiculopathyHypothalamic syndromeAddisons diseaseSyringomyeliaCavernous sinus syndromeAcute tubular necrosisSevere metabolic acidosis514434302963331111494233292863331111

X. KESIMPULAN

Meningitis tuberkululosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Selain itu memiliki insidensi yang tinggi terutama di negara-negara berkembang.Meningitis tuberkulosis juga merupakan penyakit sekunder dari tuberkulosis paru, sehingga diagnosis tuberkulosis paru perlu didiagnosis lebih dini terutama pada anak. Dengan demikian terapi dapat diberikan segera dan meningitis tuberkulosis dapat dicegah. Jika kemudian terjadi meningitis tuberkulosis perlu didiagnosis sedini mungkin dan diberikan terapi yang tepat. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi dan prognosis yang lebih buruk.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson NE, 2010. Neurological and systemic complications of tuberculous meningitis and its treatment at Auckland City Hospital, New Zealand. in : Journal of Clinical Neuroscience. Elsevier. Pp. 1018 1022.Etlik et al, 2004. Radiologic and Clinical Findings in Tuberculous Meningitis. Eur. in : J. Gen. Med. Pp. 19 24. Frida M, 2011. Meningitis Tuberkulosis. dalam : Infeksi pada Sistem Saraf Kelompok Studi Neuro Infeksi. hal. 13 19. Airlangga University Press, Surabaya.Pasco PW, 2012. Diagnostic Features of Tuberculous Meningitis : a Cross-Sectional Study. Pasco BMC Research Notes, 5:49.Prasad K, Singh MB, 2009. Corticosteroid for Managing Tuberculosis Meningitis.Starke RJ, 2010. Mycobacterial Infections. in : Handbook of Clinical Neurology, Vol 96 (3rd series) Bacterial infections. Elsevier B.V., Pp. 159 177.Thwaites G et al, 2000. Tuberculous Meningitis. in : J. Neural Neurosurg Psychiatry. Pp. 289 299.Thwaites G et al, 2009. British Infection Society guidelines for the diagnosis and treatment of tuberculosis of the central nervous system in adults and children. in : Journal of Infection,vol. 59,. Elsevier B.V., Pp. 167 187.Utji R, Harun H, 2010. Kuman Tahan Asam. dalam : Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran, edisi revisi, hal. 227 236. Binarupa Aksara Publisher, Jakarta

12