isi makalah.docx(monparese)

49
BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini upaya kesehatan mengalami perubahan yang semula hanya upaya kuratif (penyembuhan) penderita, secara berangsur-angsur berubah kearah kesatuan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat, yang menyangkut empat aspek, yaitu: promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan rehabilitatif (pemulihan) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Upaya yang dilakukan dalam peningkatan (promotif) pelayanan kesehatan bayi ibu anak, antara lain dengan mengurangi angka kematian bayi dan ibu yang sedang melahirkan. Menurut survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (1994) angka kematian ibu adalah 390 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian perinatal adalah 40 per 1.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan Negara-negara lain, maka di Indonesia adalah 15 kali lebih tinggi dari Malaysia, 10 lebih tinggi dari pada Thailand, atau 5 kali lebih tinggi dari pada Philiphina (Saifudin,2001). Perhatian akan kesehatan ibu merupakan hal yang sangat penting. Ibu yang sehat, diharapkan mampu 1

Upload: risarizkynurlia

Post on 26-Oct-2015

436 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

Created By:Risa Rizky Nurlia

TRANSCRIPT

Page 1: ISI MAKALAH.docx(monparese)

BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini upaya kesehatan mengalami perubahan yang semula hanya upaya

kuratif  (penyembuhan) penderita, secara berangsur-angsur berubah kearah kesatuan

upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat, yang menyangkut empat aspek, yaitu:

promotif (peningkatan), preventif  (pencegahan), kuratif  (penyembuhan), dan

rehabilitatif  (pemulihan) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

Upaya yang dilakukan dalam peningkatan (promotif) pelayanan kesehatan

bayi ibu anak, antara lain dengan mengurangi angka kematian bayi dan ibu yang

sedang melahirkan. Menurut survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (1994)

angka kematian ibu adalah 390 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian

perinatal adalah 40 per 1.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan Negara-

negara lain, maka di Indonesia adalah 15 kali lebih tinggi dari Malaysia, 10 lebih

tinggi dari pada Thailand, atau 5 kali lebih tinggi dari pada Philiphina (Saifudin,2001).

Perhatian akan kesehatan ibu merupakan hal yang sangat penting. Ibu yang

sehat, diharapkan mampu memberikan keturunan yang sehat pula. Para calon ibu,

katakanlah para wanita yang sedang hamil, memerlukan persiapan baik mental

maupun fisik untuk menghadapi proses kelahiran.

A. Latar Belakang

Sejak jaman neurologi klasik telah dikenal 3 sindrom, kelumpuhan akibat lesi

di plexus brachialis. Yang pertama ialah kelumpuhan akibat lesi di bagian atas plexus

brachialis, yang menghasilkan sindrom kelumpuhan Erb-Ducenne dan yang kedua

ialah kelumpuhan yang disebabkan oleh lesi di bagian tengah dan yang terakhir lesi di

bagian bawah plexus brachialis ,yang didalam klinik dikenal sebagai sindrom

kelumpuhan klumpkey.

1

Page 2: ISI MAKALAH.docx(monparese)

Paralisis plexus brachialis pada neonates pertama kali di deskripsikan pada

tahun 1779 saat Smellie melaporkan kasus kelemahan pada kedua lengan bayi yang

terjadi secara spontan setelah beberapa hari kelahiran. Pada tahun 1870, penemuan

terbaru traksi pada trunkus atas erb’s paralysis atau Erb’s_duchenne paralysis.

Paralisis Erb-Duchenne adalah paralisis pada lengan yang disebabkan oleh

kerusakan plexus brachialis pada C5-C6 yang mempersarafi lengan dan tangan.

Kebanyakan penderita dengan paralisis Erb-Duchenne adalah bayi. Dalam hal ini

lesinya disebabkan karena penarikan kepala bayi saat dilahirkan, dimana salah satu

lengannya tidak dapat dikeluarkan. Pada kasus dewasa dan anak-anak, biasanya

ditemukan dengan riwayat trauma atau kecelakaan dengan jatuh pada bahu dengan

kepala yang terlalu menekuk ke samping, sehingga menyebabkan penarikan yang

hebat pada plexus brachialis terutama bagian atas. Kelumpuhan melanda beberapa

otot lengan dan tangan. Oleh karena itu, lengan bergantung lemas dengan posisis

endorotasi pada sendi bahu dengan siku lurus dan lengan bawah sikap pronasi. Pada

umumnya gerakan tangan pada persedian pergelangan tangan masih dapat digerakan

dan gerakan jari-jari tidak ada yang terganggu.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis?

C. Tujuan

Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan

memahami penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis.

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui manfaat terapi latihan dalam meningkatkan ROM sendi

elbow dan menghindari kontraktur.

2

Page 3: ISI MAKALAH.docx(monparese)

2. Untuk mengetahui manfaat terapi Infra merah dalam melancarkan sirkulasi

darah dan menurunkan spasme otot ekstensor lengan pada kasus Erb’s

Paralysis.

3. Untuk mengetahui manfaat stimulasi tapping dalam merangsang sensoris

dan meningkatkan kepekaan sensoris pada kasus Erb’s Paralysis.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Ilmu pengetahuan

Ikut serta dalam menambah wacana ilmu pengetahuan khususnya mengenai

tentang peran fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis.

2. Bagi institusi pendidikan

Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada di institusi pendidikan

khususnya mengenai fisioterapi neuromuskuler tentang peran fisioterapi

pada kasus Erb’s Paralysis.

3. Terhadap penulis

Untuk menambah pemahaman dan memperdalam tentang penatalaksanaan

terapi latihan pada kasus Erb’s Paralysis.

4. Bagi Masyarakat

Membantu masyarakat dalam menghadapi permasalahan yang

berhubungan dengan erb’s paralysis dan memberikan informasi bahwa

fisioterapi berperan pada kasus erb’s paralysis.

3

Page 4: ISI MAKALAH.docx(monparese)

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Pleksus Brachialis

Ramus anterior saraf spinal C5 sampai T1 bergabung membentuk pleksus

brakialis. C5 dan C6 berbgabung membentuk trunk superior, C7 membentuk trunk

medial, dan C8 dan T1 bergabung membentuk trunk inferior. Cord medialmerupakan

divisi anterior dari trunk inferior. Divisi anterior yang berasal dari upper dan

middle trunk membentuk cordlateral.Divisi posterior berasal 3 trunk membentuk

posterior cord. Dari ketiga cord tersebut keluar cabang saraf yangmenginervasi

anggota gerak atas antara lain n muskulokutaneus berasal dari cord lateral, n

medianus berasal dari cordlateral dan medial, n radialis dari cord posterior, n aksilaris

4

Page 5: ISI MAKALAH.docx(monparese)

dari cord posterior dan n ulnaris dari cord medial.Long thorasic dan dorsal scapular

berasal langsung dari root saraf spinal. Hanya n suprascapular (C5 C6) yang

berasaldari trunk.Saraf spinal keluar dari foramina vertebralis dan melewati scalenus

anterior dan medial, kemudian antara klavikula danrusuk pertama didekat coracoid

dan caput humerus. Pleksus pada bagian praosimal bergabung di prevertebral dan

olehaxillary sheath di mid arm.

B. Definisi Erb-Parlysis

Erb-paralysisl adalah paralisis pada ekstremitas atas yang disebabkan oleh

kerusakan plexus brachialis pada C5-C6 yang mempersarafi lengan dan tangan.

Kelainan ini paling sering ditemukan pada bayi atau anak-anak karena distorsia bahu

pada kelahiran, ataupun dapat pula ditemukan pada dewasa dengan riwayat trauma

bahu.

Pada kelainan ini ditemukan lesi pleksus atas (radik C5, C6/trunkus superior)

pada pleksopati supraklavikular. Sering timbul secara sendirian, tetapi dapat juga

berkaitan dengan pleksus tengah atau kombinasi dengan lesi pleksus tengah dan

bawah (lesi pan-pleksus supraklavikular). Umumnya terjadi akibat trauma, terutama

traksi tertutup yang menyebabkan pelebaran secara paksa sudut bahu-leher,

kecelakaan sepeda motor, jatuh yang mengenai bahu, dan pukulan pada bahu (mis.

oleh benda yang jatuh). Sedangkan penyebab lainnya adalah iatrogenik (paralisis

akibat tindakan persalinan).

Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter kandungan dari Inggris, William

Smellie pada tahun 1768 saat mekaporkan kasus transient paralisis ekstremitas atas

bilateral setelah kelhiran yang sulit. Pada tahun 1861, Guillaume Benjamin Amand

Duchenne melaporkan kelumpuhan plexus brachialis setelah menganalisa 4 infant

dengan paralisis yang identik pada otot-otot lengan dan bahu. Pada tahun 1874,

William Heinrich Erb menyimpulkan tesisnya mengenai kerusakan plexus brachialis

yang berhubungan dengan kelumpuhan deltoid, bicep, dan subscapularis yang berasal

karena lesi di radik C5-C6 pada orang dewasa.

5

Page 6: ISI MAKALAH.docx(monparese)

C. Insiden & Epidemologi

Erb’s-paralisi memiliki angka insiden 0,5-4,4 kasus/ 1000 kelahiran bayi

cukup bulan di Amerika. Di Perancis dan Arab Saudi dilaporkan 1,09-1,19 kasus/

1000 kelhiran bayi hidup. Insiden terjadinya kelumpuhan permanen 3-25% dari kasus

yang ditemukan. Belum ditemukannya hubungan antara ras dengan penyakit ini.

Ratio pria dan wanita yang terkena adalah 49%: 51% dari 191 infant. Faktor usia

tidak mempengaruhi namun biasa ditemukan kelainan sejak lahir.

D. Etiologi

Penyebab erb-paralisis paling sering adalah distonia, dimana letak janin

abnormal sehingga menimbulkan kesulitan saat persalinan. Sebagai cotoh, dapat

terjadi, pada persalinan dengan kepala bayi dan leher yang ditarik ke samping, diman

pada saat yang bersamaan bahu melewati jalan lahir. Kondisi ini juga dapat

disebabkan oleh penarikan yang berlebihan pada pundak pada saat presentasi verteks,

atau dengan tekanan pada lengan karena letak sungsang atau dengan bayi besar(>

4kg) sehingga menyulitkan persalinan sehingga memerlukan vacum atau forceps.

Erb-palsi juga dapat disebabkan oleh fraktur klavikula yang tidak terkait

dengan distosia. Pada infant yang lahir dengan paralisi plexus brachialis akan muncul

gejala sejak lahir. Cedera yang sama dapat juga ditemukan pada setiap usia termasuk

orang dewasa, akibat trauma atau jatuh yang mengenai sisi kepala dan bahu terlebih

dahulu, dimana saraf pleksus akan meregang karena plexus ekstremitas atas

mengalami cedera yang hebat dan selanjutnya meyebabkan kelumpuhan yang terbatas

pada otot-otot yang dipersarafi oleh saraf C5-C6 yaitu m.deltoid, m.bisep brachii,

m.infraspinatus, m.supraspinatus dan m.brachioradialis. Pleksus brakialis juga dapat

terluka oleh kekerasan langsung atau luka tembak,dengan traksi padalengan. Jumlah

kelumpuhan tergantung pada jumlah cedera pada saraf yang terkena.

6

Page 7: ISI MAKALAH.docx(monparese)

E. Patofisiologi

Sama dengan semua cedera saraf perifer lainnya, pleksus dapat cedera dengan

berbagai proses. Akibat cedera, pada serabut bermielin akan terjadi demielinisasi dan

cedera akson (kehilangan akson).

a. Demielinisasi

Cedera saraf yang dapat menyebabkan abnormalitas motorik dan sensorik

dimana terjadi kerusakan dari mielin tetapi akson tetap intak.

Gambar. Demielinisasi. A: saraf normal. B: kerusakan mielin pada bagian yang

cedera.

Hal ini akibat dari tekanan yang menyebabkan suatu episode iskemik sementara atau

edema dan neuropati perifer. Perbaikan dapat terjadi :

self limited; iskemik sementara dapat menghilang dengan segera tetapi edema

memerlukan waktu beberapa minggu.

Remielinisasi: Ini adalah suatu proses perbaikan dimana bagian yang mengalami

demielinisasi membentuk mielin baru oleh sel-sel Schwann. Mielin baru ini lebih

tipis dengan jarak internodal yang lebih pendek menyebabkan kecepatan konduksi

lebih lambat dari normal.

7

A

B

Page 8: ISI MAKALAH.docx(monparese)

Gambar. Remielinisasi. A: pemendekan mielin dan proliferasi sel Schwann. B:

mielin menghilang. C: komplet remielinisasi.

b. Cedera Akson

Cedera pada akson dapat terjadi satu dari dua bentuk tipe yaitu degenerasi

aksonal atau degenerasi Wallerian. Keduanya dapat mengenai badan sel dan

menyebabkan khromatolisis sentral.

Degenerasi aksonal merupakan cedera saraf yang memperlihatkan suatu

bentuk kematian saraf yang mulai dari distal dan naik ke proksimal.

Degenerasi Wallerian merupakan cedera saraf yang memperlihatkan

kerusakan saraf fokal atau multifokal setelah 4 – 5 hari. Ini terjadi secara lengkap

untuk saraf motorik dalam 7 hari atau 11 hari untuk saraf sensorik. Degenerasi

aksonal bagian distal dari lokasi cedera dan bagian proksimal intak.

8

A

B

C

Page 9: ISI MAKALAH.docx(monparese)

Gambar. Anatomi saraf motorik perifer normal dan respon terhadap cedera.11

Penyebabnya dapat terjadi dari kerusakan fokal, regangan, transeksi atau

neuropati perifer. Perbaikan secara collateral sprouting (proses perbaikan dimana

suatu neurit akson mulai tumbuh dari unit motorik intak dan mempersarafi serabut

otot denervasi pada unit motorik yang cedera) dan pertumbuhan kembali aksonal

(suatu proses perbaikan dimana akson akan tumbuh kembali sesuai alurnya menuju

serabut saraf, memerlukan kira-kira 1 mm/hari atau 1 inci/bulan jika jaringan ikat

penyokong tetap intak dan bila tidak intak akan terbentuk neuroma.

Gambar.Degenerasi Wallerian. a) Saraf normal, b) degenerasi wallerian, c)

regenerasi (Seckel,1984)

c. Derajat Cedera Serabut Saraf

Klasifikasi cedera fokal saraf perifer yang dikemukakan oleh Seddon (1943)

dan Sunderland (1951) juga diaplikasikan untuk pleksopati.

Klasifikasi menurut Seddon terdapat 3 derajat dari cedera saraf (Gambar 6)

yaitu :

9

Page 10: ISI MAKALAH.docx(monparese)

1. Neuropraksia : suatu hambatan konduksi lokal yang berhubungan dengan

demielinisasi sementara (terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak).

Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga

proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling

ringan. Biasanya akibat dari penekanan dan sembuh karena perbaikan oleh sel

Schwann, dimana memerlukan waktu beberapa minggu sampai bulan.

2. Aksonotmesis : suatu cedera yang lebih berat dari neuropraksia dan

menyebabkan degenerasi Wallerian. Terjadi kerusakan akson tetapi selubung

endoneural tetap intak. Biasanya akibat dari traksi atau kompresi saraf yang

berat. Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang

denervasi (perbaikan lebih baik pada jarak lesi yang pendek dan letaknya

lebih ke distal. Pemulihan fungsi sensorik lebih baik daripada motorik, karena

reseptor sensorik lebih lama bertahan dari denervasi dibandingkan motor end

plate (kira-kira 18 bulan).

3. Neurotmesis : kerusakan saraf yang komplet dan paling berat, dimana proses

pemulihan sangat sulit kecuali dilakukan neurorrhaphy. Penyembuhan yang

terjadi sering menyebabkan reinervasi yang tidak lengkap atau salah sambung

dari serabut saraf.

Klasifikasi Sunderland berdasarkan pada derajat perineural yang terkena yaitu:

1. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)

2. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak

(aksonotmesis)

3. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural

dan epineural masih intak

4. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi

epineural masih intak

5. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan

epineural (neurotmesis).

10

Page 11: ISI MAKALAH.docx(monparese)

Tabel 1. Klasifikasi cedera saraf perifer.11

Paralisis Erb-Paralysis, paralisis otot-otot:

N Musculocutaneus: m. Bicep brachii, m. Coracobrachialis, m. Brachialis

N Axillaris : m. Deltoideus, m. Teres minor

N. Radialis sebagian kecil: m. Brachioradialis, m. Supraspinatus

N. Subscapularis : m. Subscapularis

N. Pectoralis Lateralis : m. Pectoralis major

F. Gejala Erb-Paralysis

Gejala yang timbul pada Erb-Paralysis sesuai dengan kelemahan otot-otot

yang disarafi oleh C5-C6. Kelumpuhan dapat sebagian atau lengkap, kerusakan pada

masing-masing saraf dapat berupa memar atau robeknya saraf tersebut. Paralisis Erb-

paralysis merupakan sindrommotor neuron yang terkait dengan gangguan sensibilitas

dan motorik.

Sehingga menimbulkan gejala seperti gangguan sensorik pada lateral deltoid, sisi

lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan. Gangguan pada

11

Page 12: ISI MAKALAH.docx(monparese)

perkembangan otot apabila berkurangnya aktivitas kontrasi otot sehingga

menimbulkan atrofi otot dan kontraktur siku. Reflek bisep dan brachioradialis

menurun atau hilang. Gangguan pada sistem sirkulasi menyebabkan gangguan

pengaturan suhu, dan ketidakmampuan kulit untuk menyembuhkan diri sehingga

mudah terinfeksi, selain itu karena tidak ada/berkurangnya rangsang sensoris pada

daerah antara bahu dan lengan bawah yang dihantarkan ke otak, sehingga mudah

terjadi trauma dan melukai diri sendiri. Tidak jarang ditemukannya bekas luka di

daerah lengan. Pemeriksaan sensoris sesuai dengan dermatomnya.

Pada gangguan motorik, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi badan,

adduksi dan endorotasi, sehingga telapak tangan bawah pronasi. Kerusakan pada otot

deltoid menimbulkan posisi adduksi bahu dan medial rotasi, sehingga dapat

ditemukannya Putti sign, dimana apabila dilakukan abduksi bahu maka ujung medial

skapula akan terlihat menonjol diatas garis bahu. Paralisis m. Serratus anterior akan

memberi gambaran “winged skapula”. Pasien tidak bisa melakukan posisi fleksi

lengan atas, fleksi lengan bawah, supinasi lengan bawah, abduksi dan ekso rotasi

l;engan atas. Pasien kurang bia memegang bahu sisi lain karena lesi N. Pectoralis

lateralis.

Pada gangguan motorik, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi badan,

aduksi dan endorotasi, sehingga telapak tangan bawah pronasi (waiter’s, bellhop’s,

atau policeman’s tip position). Kerusakan pada otot deltoid menimbulkan posisi

adduksi bahu dan medial rotasi, sehingga dapat ditemukannya Putti sign dimana

apabila dilakukan abduksi bahu maka ujung medial skapula akan terlihat menonjol

diatas garis bahu. Paralisis m. serratus anterior akan member gambaran “Winged

scapula”. Pasien tidak bisa melakukan posisi flexi lengan atas, flexi lengan

bawah,supinasi lengan bawah, abduksi dan exorotasi lengan atas. Pasien kurang bisa

memegang bahu sisi lain karena lesi N. pectoralis lateralis.

12

Page 13: ISI MAKALAH.docx(monparese)

G. Diagnosa

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan khusus serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat

ditemukan trauma saat persalinan, trauma karena terjatuh dengan posisi bahu terlebih

dahulu ataupun luka tembak di bahu dan lengan. Dari pemeriksaan fisik

ditemukannya gangguan motorik dan sensorik pada tungkai atas.

H. Komplikasi

Anak-anak dengan paralisis Erb-Ducenne’s memiliki resiko gangguan

perkembangan, seperti kontraktur yang progresif, deformitas tulang, skoliosis,

dislokasi bahu posterior, infeksi cutaneus dan agnosia dari anggota badan yang

terkena.

I. Penatalaksanaan

Pada beberapa bayi terjadi perbaikan sendiri, beberpa perlu penangan dari

spesialis. Bedah saraf neonatal/pediatric kadang melakukan perbaikan fraktur avulsi,

sehingga terjadi penyembuhan lesi dan fungsi kembali normal. Fisioterapi diperlukan

untuk mendapatkan kembali fungsi seperti normal. Range of motion dapat kembali

normal pada anak kurang dari satu tahun, apabila setelah satu tahun tidak ada

perbaikan fungsi sepenuhnya, harus diwaspadai timbulnya atritis.

Pada beberapa kasus yang berat, terutama yang berkaitan dengan trauma

dimana terjadi avulsi saraf, intervensi tindakan operatif dilakukan dalam beberapa

hari setelah cedera untuk perbaikan primer, atau setelah beberapa minggu sampai

bulan untuk perbaikan sekunder, dapat meningkatkan fungsi (Spinner dan Kline,

2000). Perbaikan primer yang segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf

bersih dari benda tajam. Perbaikan operatif sekunder setelah 2 – 4 minggu secara

umum direkomendasikan untuk cedera tumpul atau cedera dengan kerusakan jaringan

lunak yang luas dimana cedera saraf terjadi komplit atau sangat berat.

13

Page 14: ISI MAKALAH.docx(monparese)

J. Program Fisioterapi

Sebuah program terapi yang komprehensif harus terdiri dari latihan ROM,

fasilitasi gerakan aktif, penguatan, promosi kesadaran sensorik, dan penyediaan

instruksi untuk kegiatan rumah. Secara keseluruhan tujuan harus fokus pada

meminimalkan deformitas tulang dan kontraktur sendi, sekaligus mengoptimalkan

hasil fungsional.

Kontraktur berat harus dihindari dengan latihan terapi yang konsisten,

termasuk peregangan pasif dan aktif, fleksibilitas kegiatan, teknik rilis myofascial,

dan mobilisasi sendi. Awal dan konsisten peregangan Rotator internal harus

meminimalkan risiko masalah ini. Rotasi eksternal, dilakukan dengan adduksi bahu

samping dada dan dengan siku tertekuk sampai 90 °, memberikan peregangan

maksimum Rotator internal (khususnya, subskapularis) dan kapsul bahu anterior.

Skapula harus stabil saat peregangan otot bahu korset untuk mempertahankan

mobilitas dan melestarikan beberapa ritme scapulohumeral.

Awal perkembangan kontraktur fleksi di siku adalah umum dan dapat

diperburuk oleh dislokasi kaput disebabkan oleh supinasi paksa. Supinasi lengan

agresif, karena itu, harus dihindari.

Mobilitas dan penguatan aktif awalnya difasilitasi melalui kegiatan yang

sesuai dengan usia perkembangan. Sebagai anak bertambah usia, latihan penguatan

standar yang digunakan dan keterampilan fungsional spesifik diperkenalkan.

Kelompok otot tertentu dapat ditargetkan untuk memperkuat melalui gerakan

fungsional. Kompensasi dan gerakan pengganti harus dihindari, karena dapat

melestarikan otot lemah dan deformitas. Belat statis dan dinamis dari lengan berguna

untuk mengurangi kontraktur, mencegah deformitas lebih lanjut, dan dalam beberapa

kasus, membantu gerakan. Splints sering diresepkan termasuk pergelangan tangan

istirahat dan bidai, splints siku ekstensi, fleksi siku dinamis dan splints supinator.

Pemilihan yang cermat dan waktu penggunaan belat adalah penting untuk

14

Page 15: ISI MAKALAH.docx(monparese)

optimalisasi efek yang diinginkan. Teknik rekaman dapat digunakan oleh terapis

untuk mengendalikan ketidakstabilan skapulae dan karenanya untuk mempromosikan

mobilitas bahu ditingkatkan. Kegiatan kesadaran sensorik yang berguna untuk

meningkatkan kinerja motor aktif, serta untuk meminimalkan kelalaian dari anggota

badan yang terkena.

Penggunaan pijat bayi dan menarik perhatian visual untuk lengan yang

terkena dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kegiatan bermain dan sehari-hari.

Kegiatan menahan beban dengan lengan terpengaruh di semua posisi tidak hanya

memberikan masukan proprioseptif yang diperlukan tetapi juga dapat berkontribusi

untuk pertumbuhan tulang. Sebuah program yang komprehensif yang mencakup

latihan peregangan, penanganan yang aman dan teknik posisi awal, kegiatan

pembangunan dan penguatan, dan kesadaran sensorik harus dikembangkan dan

diperbarui jika diperlukan. Pada anak yang lebih tua dengan kecacatan persisten,

fokus pada instruksi rumah bergeser ke kemerdekaan, dengan pasien belajar mandiri

peregangan dan latihan penguatan, serta strategi untuk mencapai keterampilan hidup

tertentu.

K. PROGNOSIS

Untuk cedera avulsi dan pecah, tidak ada potensi untuk pemulihan kecuali

rekoneksi bedah dibuat pada waktu yang tepat. Potensi untuk pemulihan bervariasi

untuk cedera neuroma dan neuropraxia. Kebanyakan individu dengan cedera

neuropraxia pulih secara spontan dengan 90-100 persen pengembalian fungsi. Untuk

pemulihan yang baik dari fungsi lengan dengan fisioterapi 50-80%.

15

Page 16: ISI MAKALAH.docx(monparese)

BAB III

LAPORAN STATUS KLINIK

TEMPAT PRAKTIK : RSUP Dr. Sardjito

PEMBIMBING : Purbo Sasana SST, Ft

Tanggal Pembuatan Laporan : 15 Agustus 2013

Kondisi / kasus : FT A / FT B / FT C / FT D / FT E *)

I. KETERANGAN UMUM PENDERITA

N a m a : D                      

U m u r : 18 tahun

No Reg : 1646803                            

Jenis Kelamin : Laki-laki

A g a m a : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa                              

Alamat : Pendukuhan 10, Cerme, Panjatan, Kulonprogo

Yogyakarta

II. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT

(Diagnosa Medis, Catatan Klinis, Medika mentosa, Hasil Lab, Foto

Rontgen, dll)

a. Diagnosa medis : Monoparese lengan kanan

b. Medika Mentosa : Neurodex, obat untuk merangsang kematangan sel dan

saraf

c. Catatan klinis : Kelemahan lengan kanan sejak lahir, dulu pernah di

16

Page 17: ISI MAKALAH.docx(monparese)

terapi di RSUP Sardjito saat usia 0-4 tahun.

III. SEGI FISIOTERAPI

A. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF

1. KELUHAN UTAMA :

Pasien mengeluh lengan kanannya tidak mampu digerakkan

2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :

Pasien mengalami kelemahan pada lengan kanannya sejak kecil di

sebabkan oleh proses kelahiran yang saat persalinan bahu bayi

tersangkut di tulang panggul ibu, sehingga bidan menarik lengan kanan

bayi untuk mengeluarkannya saat persalinan.

17

Page 18: ISI MAKALAH.docx(monparese)

3. RIWAYAT PERSALINAN DAHULU :

Pasien lahir dengan berat badan 4,3 kg, sehingga persalinan sulit,

dikarenakan kondisi bayi yang besar. Usia 1 bulan tampak lengan kanan

bayi tidak aktif.

4. RIWAYAT PENYAKIT PENYERTA :

Tidak ada riwayat keluarga yang mendukung diagnosa pasien

4. RIWAYAT KELUARGA :

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit seperti pasien ini

5. STATUS SOSIAL

(Lingkungan kerja, tempat tinggal, aktivitas rekreasi dan diwaktu

senggang, aktivitas social)

Pasien yang berprofesi sebagai mahasiswa di salah satu universitas

negeri di yogyakarta, yang dalam kesehariannya mengikuti kuliah dan

kursus-kursus, merasa terganggu dengan kondisi yang dialaminya.

B. PEMERIKSAAN OBYEKTIF

1. PEMERIKSAAN TANDA VITAL

a. Tekanan darah : 120/70 mmHg

b. Denyut Nadi : 90x/menit

c. Pernapasan : 22x/menit

d. Temperatur : 36 oC

e. Tinggi Badan : 167 cm

f. Berat Badan : 52 kg

18

Page 19: ISI MAKALAH.docx(monparese)

2. INSPEKSI

(Statis dan dinamis)

a. Statis

Lengan kanan tampak deformitas kearah posisi bahu

endorotasi, siku cenderung fleksi 20°, pronasi dan fleksi

wrist

Tampak atrofi otot deltoid sisi kanan

Tampak lengan kanan lebih pendek dan kecil dibanding

lengan kiri

b. Dinamis

Pasien belum bisa mengangkat lengan kanannya ke atas

secara maksimal (fleksi bahu)

Tangan pasien saat menggenggam benda, gerakannya

belum terkoordinasi

3. PALPASI

a. Tidak terdapat nyeri tekan pada lengan kanan

b. Adanya hypotonus otot-otot deltoid dan tricep

c. Tidak ada perubahan suhu pada lengan kanan

4. PERKUSI

(Tidak dilakukan pemeriksaan)

5. AUSKULTASI

(Tidak dilakukan pemeriksaan)

6. PEMERIKSAAN GERAK DASAR :

Saat dilakukan pemeriksaan secara aktif, pasien belum mampu full

ROM

A. Gerak Aktif :

Sendi shoulder

Fleksi-Ekstensi-Abduksi-Eksorotasi-Ebdorotasi

19

Page 20: ISI MAKALAH.docx(monparese)

(belum mampu Full ROM, ada keterbatasan LGS)

Sendi elbow

Fleksi-Ekstensi

(Pasien mampu menggerakkan secara aktif tetapi tidak full ROM)

Sendi Wrist

Fleksi-Ekstensi

(Pasien mampu menggerakkan secara aktif tetapi tidak full ROM)

B. Gerak Pasif :

SHOULDER Hasil

Fleksi- Ekstensi

Abduksi-Adduksi

Endorotasi-Eksorotasi

Full ROM, nyeri (-)

Full ROM, nyeri (-)

Full ROM, nyeri (+)

ELBOW Hasil

Fleksi-Ekstensi Full ROM, nyeri (-)

WRIST Hasil

Fleksi-Ekstensi

Ulna Deviasi-Radial Deviasi

Full ROM, nyeri (+)

Full ROM, nyeri (-)

C. Gerak Isometrik Melawan Tahanan :

SHOULDER Hasil

Fleksi- Ekstensi

Abduksi-Adduksi

Endorotasi-Eksorotasi

Mampu, nyeri (-)

Mampu, nyeri (-)

Mampu, nyeri (+)

ELBOW Hasil

20

Page 21: ISI MAKALAH.docx(monparese)

Fleksi-Ekstensi Mampu, nyeri (+)

WRIST Hasil

Fleksi-Ekstensi

Ulna Deviasi-Radial Deviasi

Mampu, nyeri (+)

Mampu, nyeri (+)

7. MUSCLE TEST

SHOULDER Hasil

Fleksi

Ekstensi

Abduksi

Adduksi

Endorotasi

Eksorotasi

4-

3

3

3

3

1

ELBOW Hasil

Fleksi

Ekstensi

4

1

WRIST Hasil

Fleksi-Ekstensi

UlnaDeviasi-Radial

Deviasi

3

3

8. ANTROPOMETRI TES

Pengukuran ROM test menggunakan midline pada lengan Dextra

diperoleh hasil:

a. Panjang lengan kanan (lesi) = 66 cm

b. Panjang lengan kiri = 72 cm

Selisih lingkar tangan (lengan) dextr dan sinistra, adalah:

21

Page 22: ISI MAKALAH.docx(monparese)

Wrist = 3 cm (menggunakan tekhnik figure of 8)

Elbow = 3 cm (patokan di olecranon)

Shoulder= 5 cm (patokan di tuberculum mayor humeri

Kesimpulan = lengan yang lesi mengalami atrofi

9. ROM TEST

Pemeriksaan ROM Tes menggunakan goniometer di peroleh hasil

sebagai berikut:

SHOULDER Hasil

S

F

R

(20°-0°-160°)

(90°-0°-40°)

(20°-0°-30°)

ELBOW Hasil

S (20°-110°)

WRIST Hasil

S

F

(0°-0°-65°)

(0°-0°-0°)

10. PEMERIKSAAN NYERI

Dengan Metode VAS

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Diperoleh Hasil:

Nyeri Diam = 0

22

Page 23: ISI MAKALAH.docx(monparese)

Nyeri Gerak = 1(saat gerakan ekstensi elbow)

Nyeri Tekan = 1 (pada m. Deltoideus dan m. Tricep)

11.PEMERIKSAAN KOGNITIF, INTRAPERSONAL DAN

INTERPERSONAL

a. Pemeriksaan Kognitif

Pasien mampu menceritakan kejadian yang dialami dengan baik

b. Pemeriksaan Intrapersonal

Pasien mampu semangat untuk sembuh dan mau mengikuti

terapi dengan baik

c. Pemeriksaan Interpersonal

Pasien mampu komunikatif dan kooperatif dengan terapis dan

orang lain

12. PEMERIKSAAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL

Pemeriksaan kemampuan fungsional dengan Spadi (Shoulder pain

and disability Index):

Mencuci rambut 3

Menggosok punggung saat mandi 3

Memakai dan melepas T-shirt 2

Memakai kemeja berkenjang 3

Memakai celana 2

mengambil benda diatas 2

Mengangkat beban berat (5 kg/lebih) 2

Mengambil benda sakit di 2

Kriteria Penilaian per-Item 1-10

Jumlah dari semua Item : 80 x 100% = 19 : (80 x 100%)

= 41 %

23

Page 24: ISI MAKALAH.docx(monparese)

(Sumber = Reach et. Al.(1991)) 25-50%= cukup mandiri

13. PEMERIKSAAN SPESIFIK

(Pemeriksaan yang mendukung diagnose, missal : Straight leg

raising test, Nerry Test, Gait analisis, JPM test, quick test,

Dermatome test, Myotome Test, STNR, ATNR, dll)

(Tidak Dilakukan)

14. MEKANISME TERJADINYA PERMASALAHAN

(UNDERLYING PROCESS)

24

Page 25: ISI MAKALAH.docx(monparese)

(Jika perlu mencantumkan referensi)

A. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

1. IMPAIRMENT

- Atrofi lengan kanan

25

Distropi tulang panggul

Bayi Besar

Gangguan sensoris pada permukaan

deltoid radialis & lengan bawah

Gerak Abd, Ekso fleksi bahu, fleksi elbow, supinasi, ekstensi elbow

terganggu

Paralisis & atrofi m.

Deltoideus, m. Bisep brachii, m. Brachialis,

m. brachioradialis

Trauma Kelahiran

IRFARADIK

Proses persalinan yang kasar

Tarikan pada lengan kearah distal

Saraf dari tulang C5-C6 tertarik

STIMULASI TAPPING

Memasang sensoris Meningkatkan kepekaan

sensoris/rangsangan

EXCERCISE

Meningkatkan ROM sendi Menghindari kontraktur

Pelvic Ibu terlalu sempit

Cidera Fleksus Brachialis

Meningkatkan kekuatan otot

Melancarkan sirkulasi darah

Menurunkan spasme otot

Page 26: ISI MAKALAH.docx(monparese)

- Nyeri (-)

- Spasme otot (-)

- Kontraktur otot-otot kanan

2. FUNGTIONAL LIMITATION

Pasien mengalami gangguan fungsi akivitas-aktivitas menggenggam.

Menulis, bejabat tangan, dll

Tidak ada gangguan fungsi jalan

3. DISABILITY/PARTICIPATION RESTRICTION

Pasien masih mampu untuk berpartisipasi dengan baik karena kondisi

pasien ini cukup baik. Mungkin untuk aktivitas yang menggunakan tangan

pasien belum mampu

D. PROGRAM FISIOTERAPI

1. TUJUAN FISIOTERAPI

a. Tujuan jangka pendek

- Meningkatkan kekuatan otot

- Meningkatkan ROM sendi

- Meningkatkankontraktur otot

b. Tujuan jangka panjang

- Untukmeningkatkan aktifitas fungsional

- Untukmeningkatkan ADL

- Untukmelatih pasien agar tetap mandiri

2.TEKNOLOGI INTERFERENSI

- IR - FARADIK

- EXERCISE - MASSAGE

3. EDUKASI

26

Page 27: ISI MAKALAH.docx(monparese)

- Pasien diedukasikan untuk selalulatihan seperti yang diberikan

terapis yaitu pendulumexercise

- Pasien dianjurkan laihan yang selalu melibatkan tangan pasien /

aktifitas ADL seperti : menulis, memegang sendok, mengambil

banda.

- untuk latihan mengangkat tangan keatas dankesamping dengan

bantuan bandul.

- Latihan menjalarkan tangan yang lesikedinding untuk mengangkat

tangankeatas.

- Latihan PNF yang sudah diajarkan terapis sebelumnya , seperti :

mengangkat tangan keatasdan kesamping dengan bantuan tangan

yang sehat .

E.RENCANA EFALUASI

(sesuai dengan problematika fisioterapi )

- Efaluasi ROM sendi = menggunakan goniometer

- Efaluasi muscle test = meggunakan MMT

- Efaluasi ADL = menggunakan skala SPADI

F.PROGNOSIS

- Quo ad fitam = baik

- Quo ad sanam = baik

- Quo ad fungsional = baik

- Quo ad cosmeticam =buruk

27

Page 28: ISI MAKALAH.docx(monparese)

G. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

T1 (TGL : 15 AGUSTUS 2013)

PEMBERIAN IR

PERSIAPAN ALAT

- Cek alat, cek lampu, cek kabel

PERSIAPAN PASIEN

- Test Sensibilita

- Tentukan posisi (px) senyaman mungkin.

DOSIS TERAPI

Tentukan dosis terapi sesuai kondisi pasien dan sesuai tujuan terapi :

- Waktu terapi : 15 menit

- Jarak IR-(px) : 60 cm

- Intensitas : Hangat (toleransi pasien)

TEKHNIK PENATALAKSANAAN TERAPI

- Pastikan persiapan Alat dan pasien telah dilakukan dengan baik.

- Setelah itu atur posisi pasien dan terapis.

- Posisi (px) : supine lying (rileks)

- Posisi (tx) : disamping (px)

- Kemudian hidupkan mesin (IR)

- Atur dosis terapi

- Setelah itu, pastikan pasien sudah merasakan hangat (bukan panas)

tunggu Hingga 15 menit.

- Setelah selesai terapi, matikan dan bereskan alat

28

Page 29: ISI MAKALAH.docx(monparese)

PEMBERIAN FARADIK

PERSIAPAN ALAT

- cek alat, cek kabel

PERSIAPAN PASIEN

- Test Sensibilitas

- Tentukan posisi (px) senyaman mungkin

DOSIS TERAPI

Tentukan dosis terapi sesuai kondisi pasien dan sesuai tujuan terapi :

- Waktu terapi : 15 menit

- Frekuensi terapi : 2500 hz

- AMF : 80 ms

- Interfal : 10 ms

- Intensitas : toleransi pasien

TEKHNIK PENATALAKSANAAN TERAPI

- Pastikan persiapan Alat dan pasien telah dilakukan dengan baik.

- Setelah itu atur posisi pasien dan terapis.

- Posisi (px) : supine lying (rileks)

- Posisi (tx) : disamping (px)

- Kemudian hidupkan mesin (ES)

- Atur modalitas Faradik sesuai dosis terapi

- tunggu Hingga 15 menit.

- Setelah selesai terapi, matikan dan bereskan alat.

EXERCISE

TEKHNIK PENATALAKSANAAN TERAPI

- Pastikan persiapan pasien telah dilakukan dengan baik.

- Setelah itu atur posisi pasien dan terapis.

29

Page 30: ISI MAKALAH.docx(monparese)

- Posisi (px) : duduk (rileks)

- Posisi (tx) : disamping (px)

- (px) diminta untuk melakukan latihan aktif dan pasif, meliputi :

Px diminta secara aktif melakukan gerakan sendi SHOULDER

flexi – extensi, abd-add, ekso-endo.

Px diminta secara aktif melakukan gerakan sendi ELBOW flexi

– extensi

Px diminta secara aktif melakukan gerakan sendi WRIST

flexi – extensi, ulnar defiasi-radial defiasi

(Px) diminta latihan ADL tangan seperti :

Menggenggam

Mengambil benda

Memegang pensil

mengambil Sendok

Lakukan pendulum exercise

H. EVALUASI

Setelah dilakukan 2 kali terapi dengan menggunakan intervensi fisioterapi

seperti :

- IRR - Massage

- Faradik - Excercise

ROM

Shoulder T1 T2 T3

Flexi 160° 160° 170°

Extensi 20° 20° 35°

Abduksi 90° 90° 100°

Adduksi 40° 45° 50°

30

Page 31: ISI MAKALAH.docx(monparese)

Eksorotasi 20° 20° 20°

Endorotasi 30° 40° 40°

Elbow Fleksi 110° 110° 110°

Ekstensi - - -

Wrist Fleksi 65° 65° 70°

Ekstensi 0° 0° 0°

MMT

T1 T2 T3

M. fleksor shoulder 3 4 4

M. ekstensor shoulder 3 3 4

M.fleksor elbow 0 0 1

M.ekstensor elbow 3 3 4

M. fleksor wrist 1 1 2

M. ekstensor wrist

I. HASIL TERAPI TERAKHIR

Hasil terapi terakhir diperoleh hasil:

ROM

31

Page 32: ISI MAKALAH.docx(monparese)

Shoulder T4

Flexi 170°

Extensi 40°

Abduksi 25°

Adduksi 40°

Eksorotasi 50°

Endorotasi 100°

Elbow Fleksi 120°

Ekstensi 5°

Wrist Fleksi 80°

Ekstensi 5°

MMT

T4

M. fleksor shoulder 4

M. ekstensor shoulder 4

M.fleksor elbow 4

M.ekstensor elbow 1

M. fleksor wrist 4

M. ekstensor wrist 3

32

Page 33: ISI MAKALAH.docx(monparese)

BAB IV

KESIMPULAN

Erb-Paralysis merupakan penyakit kelumpuhan ekstremitas atas dikarenakan

lesi pada plexus brachialis bagian atas, yang mengenai radiks C5-C6. Biasanya

penderita adalah bayi yang lahir dengan distonia bahu atau dapat pula terjadi pada

anak-anak dan dewasa dengan trauma di bahu.

Secara klinis pasien Erb-Paralysis memiliki gambaran kelumpuhan otot yang

dipersarafunya kha, yaitu posisi lengan tas adduksi dan endorotasi dan lengan bawah

posisi pronasi yang dikenal dengan Waiter’s tip potition.

Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan anamnesis,pemeriksaan fisik,

pemeriksaan CT-Scan atau MRI dan EMG. Penanganan pasien dengan Erb-Paralysis

harus dilakukan secara multidisiplin, diagnosis yang sesegera ungkin dan fisioterapi

yang tepat dapat memulihkan 50-80% fungsi yang ada, tergantung keparahan lesi

tersebut. Lesi yang berat sehingga menyebabkan putusnya semua akson hanya dapat

dilakukan terapi pembedahan memberikan hasil yang belum memuaskan dan masih

dalam penelitian.

33

Page 34: ISI MAKALAH.docx(monparese)

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono. Mahar., Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian

Rakyat,Jakarta.

2. Twee Do, 2009, Muscular Dystrophy, www.e-medicine.com

3. Wedantho Sigit, 2007,Kelumpuhan Plexus Brachialis: Divisi Orthopaedi &

Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

4. http://www.erbsparalysisnetwork.com/aboutinjury.htm , accesed on october

31, 2011.

5. http://en.wikipedia.org/wiki/Erb%27s_paralysis , accesed on october 31, 2011.

6. http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00384 accesed on october 31,

2011.

7. http://emedicine.medscape.com/article/317057-overview , accesed on October

31,2011

8. Sistem Saraf Perifer. Hand Out Perkuliahan Anatomi. Laboratorium Anatomi

Fakultas Kedokteran universitas Trisakti.Jakarta 2005

9. Tortora, G.J., & Anagnostakos, N.P. (1990). Principles of Anatomy and

Physiology (6th ed.). New York: Harper & Row. pp.370-374

10. Warwick, R., & Williams, P.L. (1973) Erb-Duchenne and Dejerine-Klumpke

Palsies Information Page: National Institute of Neurological Disorders and

Stroke (NINDS). pp.1046

11. Peleg D, Hasnin J, Shalev E (1997). "Fractured clavicle and Erb's paralysis

unrelated to birth trauma". American Journal of Obstet. Gynecol. 177 (5):

1038–40

34

Page 35: ISI MAKALAH.docx(monparese)

12. Ober WB (1992). "Obstetrical events that shaped Western European history".

The Yale journal of biology and medicine 65 (3): 201–10

35