Download - ISI MAKALAH.docx(monparese)
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini upaya kesehatan mengalami perubahan yang semula hanya upaya
kuratif (penyembuhan) penderita, secara berangsur-angsur berubah kearah kesatuan
upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat, yang menyangkut empat aspek, yaitu:
promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan
rehabilitatif (pemulihan) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Upaya yang dilakukan dalam peningkatan (promotif) pelayanan kesehatan
bayi ibu anak, antara lain dengan mengurangi angka kematian bayi dan ibu yang
sedang melahirkan. Menurut survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (1994)
angka kematian ibu adalah 390 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian
perinatal adalah 40 per 1.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan Negara-
negara lain, maka di Indonesia adalah 15 kali lebih tinggi dari Malaysia, 10 lebih
tinggi dari pada Thailand, atau 5 kali lebih tinggi dari pada Philiphina (Saifudin,2001).
Perhatian akan kesehatan ibu merupakan hal yang sangat penting. Ibu yang
sehat, diharapkan mampu memberikan keturunan yang sehat pula. Para calon ibu,
katakanlah para wanita yang sedang hamil, memerlukan persiapan baik mental
maupun fisik untuk menghadapi proses kelahiran.
A. Latar Belakang
Sejak jaman neurologi klasik telah dikenal 3 sindrom, kelumpuhan akibat lesi
di plexus brachialis. Yang pertama ialah kelumpuhan akibat lesi di bagian atas plexus
brachialis, yang menghasilkan sindrom kelumpuhan Erb-Ducenne dan yang kedua
ialah kelumpuhan yang disebabkan oleh lesi di bagian tengah dan yang terakhir lesi di
bagian bawah plexus brachialis ,yang didalam klinik dikenal sebagai sindrom
kelumpuhan klumpkey.
1
Paralisis plexus brachialis pada neonates pertama kali di deskripsikan pada
tahun 1779 saat Smellie melaporkan kasus kelemahan pada kedua lengan bayi yang
terjadi secara spontan setelah beberapa hari kelahiran. Pada tahun 1870, penemuan
terbaru traksi pada trunkus atas erb’s paralysis atau Erb’s_duchenne paralysis.
Paralisis Erb-Duchenne adalah paralisis pada lengan yang disebabkan oleh
kerusakan plexus brachialis pada C5-C6 yang mempersarafi lengan dan tangan.
Kebanyakan penderita dengan paralisis Erb-Duchenne adalah bayi. Dalam hal ini
lesinya disebabkan karena penarikan kepala bayi saat dilahirkan, dimana salah satu
lengannya tidak dapat dikeluarkan. Pada kasus dewasa dan anak-anak, biasanya
ditemukan dengan riwayat trauma atau kecelakaan dengan jatuh pada bahu dengan
kepala yang terlalu menekuk ke samping, sehingga menyebabkan penarikan yang
hebat pada plexus brachialis terutama bagian atas. Kelumpuhan melanda beberapa
otot lengan dan tangan. Oleh karena itu, lengan bergantung lemas dengan posisis
endorotasi pada sendi bahu dengan siku lurus dan lengan bawah sikap pronasi. Pada
umumnya gerakan tangan pada persedian pergelangan tangan masih dapat digerakan
dan gerakan jari-jari tidak ada yang terganggu.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis?
C. Tujuan
Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan
memahami penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis.
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui manfaat terapi latihan dalam meningkatkan ROM sendi
elbow dan menghindari kontraktur.
2
2. Untuk mengetahui manfaat terapi Infra merah dalam melancarkan sirkulasi
darah dan menurunkan spasme otot ekstensor lengan pada kasus Erb’s
Paralysis.
3. Untuk mengetahui manfaat stimulasi tapping dalam merangsang sensoris
dan meningkatkan kepekaan sensoris pada kasus Erb’s Paralysis.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Ilmu pengetahuan
Ikut serta dalam menambah wacana ilmu pengetahuan khususnya mengenai
tentang peran fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis.
2. Bagi institusi pendidikan
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada di institusi pendidikan
khususnya mengenai fisioterapi neuromuskuler tentang peran fisioterapi
pada kasus Erb’s Paralysis.
3. Terhadap penulis
Untuk menambah pemahaman dan memperdalam tentang penatalaksanaan
terapi latihan pada kasus Erb’s Paralysis.
4. Bagi Masyarakat
Membantu masyarakat dalam menghadapi permasalahan yang
berhubungan dengan erb’s paralysis dan memberikan informasi bahwa
fisioterapi berperan pada kasus erb’s paralysis.
3
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Pleksus Brachialis
Ramus anterior saraf spinal C5 sampai T1 bergabung membentuk pleksus
brakialis. C5 dan C6 berbgabung membentuk trunk superior, C7 membentuk trunk
medial, dan C8 dan T1 bergabung membentuk trunk inferior. Cord medialmerupakan
divisi anterior dari trunk inferior. Divisi anterior yang berasal dari upper dan
middle trunk membentuk cordlateral.Divisi posterior berasal 3 trunk membentuk
posterior cord. Dari ketiga cord tersebut keluar cabang saraf yangmenginervasi
anggota gerak atas antara lain n muskulokutaneus berasal dari cord lateral, n
medianus berasal dari cordlateral dan medial, n radialis dari cord posterior, n aksilaris
4
dari cord posterior dan n ulnaris dari cord medial.Long thorasic dan dorsal scapular
berasal langsung dari root saraf spinal. Hanya n suprascapular (C5 C6) yang
berasaldari trunk.Saraf spinal keluar dari foramina vertebralis dan melewati scalenus
anterior dan medial, kemudian antara klavikula danrusuk pertama didekat coracoid
dan caput humerus. Pleksus pada bagian praosimal bergabung di prevertebral dan
olehaxillary sheath di mid arm.
B. Definisi Erb-Parlysis
Erb-paralysisl adalah paralisis pada ekstremitas atas yang disebabkan oleh
kerusakan plexus brachialis pada C5-C6 yang mempersarafi lengan dan tangan.
Kelainan ini paling sering ditemukan pada bayi atau anak-anak karena distorsia bahu
pada kelahiran, ataupun dapat pula ditemukan pada dewasa dengan riwayat trauma
bahu.
Pada kelainan ini ditemukan lesi pleksus atas (radik C5, C6/trunkus superior)
pada pleksopati supraklavikular. Sering timbul secara sendirian, tetapi dapat juga
berkaitan dengan pleksus tengah atau kombinasi dengan lesi pleksus tengah dan
bawah (lesi pan-pleksus supraklavikular). Umumnya terjadi akibat trauma, terutama
traksi tertutup yang menyebabkan pelebaran secara paksa sudut bahu-leher,
kecelakaan sepeda motor, jatuh yang mengenai bahu, dan pukulan pada bahu (mis.
oleh benda yang jatuh). Sedangkan penyebab lainnya adalah iatrogenik (paralisis
akibat tindakan persalinan).
Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter kandungan dari Inggris, William
Smellie pada tahun 1768 saat mekaporkan kasus transient paralisis ekstremitas atas
bilateral setelah kelhiran yang sulit. Pada tahun 1861, Guillaume Benjamin Amand
Duchenne melaporkan kelumpuhan plexus brachialis setelah menganalisa 4 infant
dengan paralisis yang identik pada otot-otot lengan dan bahu. Pada tahun 1874,
William Heinrich Erb menyimpulkan tesisnya mengenai kerusakan plexus brachialis
yang berhubungan dengan kelumpuhan deltoid, bicep, dan subscapularis yang berasal
karena lesi di radik C5-C6 pada orang dewasa.
5
C. Insiden & Epidemologi
Erb’s-paralisi memiliki angka insiden 0,5-4,4 kasus/ 1000 kelahiran bayi
cukup bulan di Amerika. Di Perancis dan Arab Saudi dilaporkan 1,09-1,19 kasus/
1000 kelhiran bayi hidup. Insiden terjadinya kelumpuhan permanen 3-25% dari kasus
yang ditemukan. Belum ditemukannya hubungan antara ras dengan penyakit ini.
Ratio pria dan wanita yang terkena adalah 49%: 51% dari 191 infant. Faktor usia
tidak mempengaruhi namun biasa ditemukan kelainan sejak lahir.
D. Etiologi
Penyebab erb-paralisis paling sering adalah distonia, dimana letak janin
abnormal sehingga menimbulkan kesulitan saat persalinan. Sebagai cotoh, dapat
terjadi, pada persalinan dengan kepala bayi dan leher yang ditarik ke samping, diman
pada saat yang bersamaan bahu melewati jalan lahir. Kondisi ini juga dapat
disebabkan oleh penarikan yang berlebihan pada pundak pada saat presentasi verteks,
atau dengan tekanan pada lengan karena letak sungsang atau dengan bayi besar(>
4kg) sehingga menyulitkan persalinan sehingga memerlukan vacum atau forceps.
Erb-palsi juga dapat disebabkan oleh fraktur klavikula yang tidak terkait
dengan distosia. Pada infant yang lahir dengan paralisi plexus brachialis akan muncul
gejala sejak lahir. Cedera yang sama dapat juga ditemukan pada setiap usia termasuk
orang dewasa, akibat trauma atau jatuh yang mengenai sisi kepala dan bahu terlebih
dahulu, dimana saraf pleksus akan meregang karena plexus ekstremitas atas
mengalami cedera yang hebat dan selanjutnya meyebabkan kelumpuhan yang terbatas
pada otot-otot yang dipersarafi oleh saraf C5-C6 yaitu m.deltoid, m.bisep brachii,
m.infraspinatus, m.supraspinatus dan m.brachioradialis. Pleksus brakialis juga dapat
terluka oleh kekerasan langsung atau luka tembak,dengan traksi padalengan. Jumlah
kelumpuhan tergantung pada jumlah cedera pada saraf yang terkena.
6
E. Patofisiologi
Sama dengan semua cedera saraf perifer lainnya, pleksus dapat cedera dengan
berbagai proses. Akibat cedera, pada serabut bermielin akan terjadi demielinisasi dan
cedera akson (kehilangan akson).
a. Demielinisasi
Cedera saraf yang dapat menyebabkan abnormalitas motorik dan sensorik
dimana terjadi kerusakan dari mielin tetapi akson tetap intak.
Gambar. Demielinisasi. A: saraf normal. B: kerusakan mielin pada bagian yang
cedera.
Hal ini akibat dari tekanan yang menyebabkan suatu episode iskemik sementara atau
edema dan neuropati perifer. Perbaikan dapat terjadi :
self limited; iskemik sementara dapat menghilang dengan segera tetapi edema
memerlukan waktu beberapa minggu.
Remielinisasi: Ini adalah suatu proses perbaikan dimana bagian yang mengalami
demielinisasi membentuk mielin baru oleh sel-sel Schwann. Mielin baru ini lebih
tipis dengan jarak internodal yang lebih pendek menyebabkan kecepatan konduksi
lebih lambat dari normal.
7
A
B
Gambar. Remielinisasi. A: pemendekan mielin dan proliferasi sel Schwann. B:
mielin menghilang. C: komplet remielinisasi.
b. Cedera Akson
Cedera pada akson dapat terjadi satu dari dua bentuk tipe yaitu degenerasi
aksonal atau degenerasi Wallerian. Keduanya dapat mengenai badan sel dan
menyebabkan khromatolisis sentral.
Degenerasi aksonal merupakan cedera saraf yang memperlihatkan suatu
bentuk kematian saraf yang mulai dari distal dan naik ke proksimal.
Degenerasi Wallerian merupakan cedera saraf yang memperlihatkan
kerusakan saraf fokal atau multifokal setelah 4 – 5 hari. Ini terjadi secara lengkap
untuk saraf motorik dalam 7 hari atau 11 hari untuk saraf sensorik. Degenerasi
aksonal bagian distal dari lokasi cedera dan bagian proksimal intak.
8
A
B
C
Gambar. Anatomi saraf motorik perifer normal dan respon terhadap cedera.11
Penyebabnya dapat terjadi dari kerusakan fokal, regangan, transeksi atau
neuropati perifer. Perbaikan secara collateral sprouting (proses perbaikan dimana
suatu neurit akson mulai tumbuh dari unit motorik intak dan mempersarafi serabut
otot denervasi pada unit motorik yang cedera) dan pertumbuhan kembali aksonal
(suatu proses perbaikan dimana akson akan tumbuh kembali sesuai alurnya menuju
serabut saraf, memerlukan kira-kira 1 mm/hari atau 1 inci/bulan jika jaringan ikat
penyokong tetap intak dan bila tidak intak akan terbentuk neuroma.
Gambar.Degenerasi Wallerian. a) Saraf normal, b) degenerasi wallerian, c)
regenerasi (Seckel,1984)
c. Derajat Cedera Serabut Saraf
Klasifikasi cedera fokal saraf perifer yang dikemukakan oleh Seddon (1943)
dan Sunderland (1951) juga diaplikasikan untuk pleksopati.
Klasifikasi menurut Seddon terdapat 3 derajat dari cedera saraf (Gambar 6)
yaitu :
9
1. Neuropraksia : suatu hambatan konduksi lokal yang berhubungan dengan
demielinisasi sementara (terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak).
Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga
proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling
ringan. Biasanya akibat dari penekanan dan sembuh karena perbaikan oleh sel
Schwann, dimana memerlukan waktu beberapa minggu sampai bulan.
2. Aksonotmesis : suatu cedera yang lebih berat dari neuropraksia dan
menyebabkan degenerasi Wallerian. Terjadi kerusakan akson tetapi selubung
endoneural tetap intak. Biasanya akibat dari traksi atau kompresi saraf yang
berat. Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang
denervasi (perbaikan lebih baik pada jarak lesi yang pendek dan letaknya
lebih ke distal. Pemulihan fungsi sensorik lebih baik daripada motorik, karena
reseptor sensorik lebih lama bertahan dari denervasi dibandingkan motor end
plate (kira-kira 18 bulan).
3. Neurotmesis : kerusakan saraf yang komplet dan paling berat, dimana proses
pemulihan sangat sulit kecuali dilakukan neurorrhaphy. Penyembuhan yang
terjadi sering menyebabkan reinervasi yang tidak lengkap atau salah sambung
dari serabut saraf.
Klasifikasi Sunderland berdasarkan pada derajat perineural yang terkena yaitu:
1. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)
2. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak
(aksonotmesis)
3. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural
dan epineural masih intak
4. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi
epineural masih intak
5. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan
epineural (neurotmesis).
10
Tabel 1. Klasifikasi cedera saraf perifer.11
Paralisis Erb-Paralysis, paralisis otot-otot:
N Musculocutaneus: m. Bicep brachii, m. Coracobrachialis, m. Brachialis
N Axillaris : m. Deltoideus, m. Teres minor
N. Radialis sebagian kecil: m. Brachioradialis, m. Supraspinatus
N. Subscapularis : m. Subscapularis
N. Pectoralis Lateralis : m. Pectoralis major
F. Gejala Erb-Paralysis
Gejala yang timbul pada Erb-Paralysis sesuai dengan kelemahan otot-otot
yang disarafi oleh C5-C6. Kelumpuhan dapat sebagian atau lengkap, kerusakan pada
masing-masing saraf dapat berupa memar atau robeknya saraf tersebut. Paralisis Erb-
paralysis merupakan sindrommotor neuron yang terkait dengan gangguan sensibilitas
dan motorik.
Sehingga menimbulkan gejala seperti gangguan sensorik pada lateral deltoid, sisi
lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan. Gangguan pada
11
perkembangan otot apabila berkurangnya aktivitas kontrasi otot sehingga
menimbulkan atrofi otot dan kontraktur siku. Reflek bisep dan brachioradialis
menurun atau hilang. Gangguan pada sistem sirkulasi menyebabkan gangguan
pengaturan suhu, dan ketidakmampuan kulit untuk menyembuhkan diri sehingga
mudah terinfeksi, selain itu karena tidak ada/berkurangnya rangsang sensoris pada
daerah antara bahu dan lengan bawah yang dihantarkan ke otak, sehingga mudah
terjadi trauma dan melukai diri sendiri. Tidak jarang ditemukannya bekas luka di
daerah lengan. Pemeriksaan sensoris sesuai dengan dermatomnya.
Pada gangguan motorik, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi badan,
adduksi dan endorotasi, sehingga telapak tangan bawah pronasi. Kerusakan pada otot
deltoid menimbulkan posisi adduksi bahu dan medial rotasi, sehingga dapat
ditemukannya Putti sign, dimana apabila dilakukan abduksi bahu maka ujung medial
skapula akan terlihat menonjol diatas garis bahu. Paralisis m. Serratus anterior akan
memberi gambaran “winged skapula”. Pasien tidak bisa melakukan posisi fleksi
lengan atas, fleksi lengan bawah, supinasi lengan bawah, abduksi dan ekso rotasi
l;engan atas. Pasien kurang bia memegang bahu sisi lain karena lesi N. Pectoralis
lateralis.
Pada gangguan motorik, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi badan,
aduksi dan endorotasi, sehingga telapak tangan bawah pronasi (waiter’s, bellhop’s,
atau policeman’s tip position). Kerusakan pada otot deltoid menimbulkan posisi
adduksi bahu dan medial rotasi, sehingga dapat ditemukannya Putti sign dimana
apabila dilakukan abduksi bahu maka ujung medial skapula akan terlihat menonjol
diatas garis bahu. Paralisis m. serratus anterior akan member gambaran “Winged
scapula”. Pasien tidak bisa melakukan posisi flexi lengan atas, flexi lengan
bawah,supinasi lengan bawah, abduksi dan exorotasi lengan atas. Pasien kurang bisa
memegang bahu sisi lain karena lesi N. pectoralis lateralis.
12
G. Diagnosa
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan khusus serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat
ditemukan trauma saat persalinan, trauma karena terjatuh dengan posisi bahu terlebih
dahulu ataupun luka tembak di bahu dan lengan. Dari pemeriksaan fisik
ditemukannya gangguan motorik dan sensorik pada tungkai atas.
H. Komplikasi
Anak-anak dengan paralisis Erb-Ducenne’s memiliki resiko gangguan
perkembangan, seperti kontraktur yang progresif, deformitas tulang, skoliosis,
dislokasi bahu posterior, infeksi cutaneus dan agnosia dari anggota badan yang
terkena.
I. Penatalaksanaan
Pada beberapa bayi terjadi perbaikan sendiri, beberpa perlu penangan dari
spesialis. Bedah saraf neonatal/pediatric kadang melakukan perbaikan fraktur avulsi,
sehingga terjadi penyembuhan lesi dan fungsi kembali normal. Fisioterapi diperlukan
untuk mendapatkan kembali fungsi seperti normal. Range of motion dapat kembali
normal pada anak kurang dari satu tahun, apabila setelah satu tahun tidak ada
perbaikan fungsi sepenuhnya, harus diwaspadai timbulnya atritis.
Pada beberapa kasus yang berat, terutama yang berkaitan dengan trauma
dimana terjadi avulsi saraf, intervensi tindakan operatif dilakukan dalam beberapa
hari setelah cedera untuk perbaikan primer, atau setelah beberapa minggu sampai
bulan untuk perbaikan sekunder, dapat meningkatkan fungsi (Spinner dan Kline,
2000). Perbaikan primer yang segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf
bersih dari benda tajam. Perbaikan operatif sekunder setelah 2 – 4 minggu secara
umum direkomendasikan untuk cedera tumpul atau cedera dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas dimana cedera saraf terjadi komplit atau sangat berat.
13
J. Program Fisioterapi
Sebuah program terapi yang komprehensif harus terdiri dari latihan ROM,
fasilitasi gerakan aktif, penguatan, promosi kesadaran sensorik, dan penyediaan
instruksi untuk kegiatan rumah. Secara keseluruhan tujuan harus fokus pada
meminimalkan deformitas tulang dan kontraktur sendi, sekaligus mengoptimalkan
hasil fungsional.
Kontraktur berat harus dihindari dengan latihan terapi yang konsisten,
termasuk peregangan pasif dan aktif, fleksibilitas kegiatan, teknik rilis myofascial,
dan mobilisasi sendi. Awal dan konsisten peregangan Rotator internal harus
meminimalkan risiko masalah ini. Rotasi eksternal, dilakukan dengan adduksi bahu
samping dada dan dengan siku tertekuk sampai 90 °, memberikan peregangan
maksimum Rotator internal (khususnya, subskapularis) dan kapsul bahu anterior.
Skapula harus stabil saat peregangan otot bahu korset untuk mempertahankan
mobilitas dan melestarikan beberapa ritme scapulohumeral.
Awal perkembangan kontraktur fleksi di siku adalah umum dan dapat
diperburuk oleh dislokasi kaput disebabkan oleh supinasi paksa. Supinasi lengan
agresif, karena itu, harus dihindari.
Mobilitas dan penguatan aktif awalnya difasilitasi melalui kegiatan yang
sesuai dengan usia perkembangan. Sebagai anak bertambah usia, latihan penguatan
standar yang digunakan dan keterampilan fungsional spesifik diperkenalkan.
Kelompok otot tertentu dapat ditargetkan untuk memperkuat melalui gerakan
fungsional. Kompensasi dan gerakan pengganti harus dihindari, karena dapat
melestarikan otot lemah dan deformitas. Belat statis dan dinamis dari lengan berguna
untuk mengurangi kontraktur, mencegah deformitas lebih lanjut, dan dalam beberapa
kasus, membantu gerakan. Splints sering diresepkan termasuk pergelangan tangan
istirahat dan bidai, splints siku ekstensi, fleksi siku dinamis dan splints supinator.
Pemilihan yang cermat dan waktu penggunaan belat adalah penting untuk
14
optimalisasi efek yang diinginkan. Teknik rekaman dapat digunakan oleh terapis
untuk mengendalikan ketidakstabilan skapulae dan karenanya untuk mempromosikan
mobilitas bahu ditingkatkan. Kegiatan kesadaran sensorik yang berguna untuk
meningkatkan kinerja motor aktif, serta untuk meminimalkan kelalaian dari anggota
badan yang terkena.
Penggunaan pijat bayi dan menarik perhatian visual untuk lengan yang
terkena dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kegiatan bermain dan sehari-hari.
Kegiatan menahan beban dengan lengan terpengaruh di semua posisi tidak hanya
memberikan masukan proprioseptif yang diperlukan tetapi juga dapat berkontribusi
untuk pertumbuhan tulang. Sebuah program yang komprehensif yang mencakup
latihan peregangan, penanganan yang aman dan teknik posisi awal, kegiatan
pembangunan dan penguatan, dan kesadaran sensorik harus dikembangkan dan
diperbarui jika diperlukan. Pada anak yang lebih tua dengan kecacatan persisten,
fokus pada instruksi rumah bergeser ke kemerdekaan, dengan pasien belajar mandiri
peregangan dan latihan penguatan, serta strategi untuk mencapai keterampilan hidup
tertentu.
K. PROGNOSIS
Untuk cedera avulsi dan pecah, tidak ada potensi untuk pemulihan kecuali
rekoneksi bedah dibuat pada waktu yang tepat. Potensi untuk pemulihan bervariasi
untuk cedera neuroma dan neuropraxia. Kebanyakan individu dengan cedera
neuropraxia pulih secara spontan dengan 90-100 persen pengembalian fungsi. Untuk
pemulihan yang baik dari fungsi lengan dengan fisioterapi 50-80%.
15
BAB III
LAPORAN STATUS KLINIK
TEMPAT PRAKTIK : RSUP Dr. Sardjito
PEMBIMBING : Purbo Sasana SST, Ft
Tanggal Pembuatan Laporan : 15 Agustus 2013
Kondisi / kasus : FT A / FT B / FT C / FT D / FT E *)
I. KETERANGAN UMUM PENDERITA
N a m a : D
U m u r : 18 tahun
No Reg : 1646803
Jenis Kelamin : Laki-laki
A g a m a : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Pendukuhan 10, Cerme, Panjatan, Kulonprogo
Yogyakarta
II. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT
(Diagnosa Medis, Catatan Klinis, Medika mentosa, Hasil Lab, Foto
Rontgen, dll)
a. Diagnosa medis : Monoparese lengan kanan
b. Medika Mentosa : Neurodex, obat untuk merangsang kematangan sel dan
saraf
c. Catatan klinis : Kelemahan lengan kanan sejak lahir, dulu pernah di
16
terapi di RSUP Sardjito saat usia 0-4 tahun.
III. SEGI FISIOTERAPI
A. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
1. KELUHAN UTAMA :
Pasien mengeluh lengan kanannya tidak mampu digerakkan
2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Pasien mengalami kelemahan pada lengan kanannya sejak kecil di
sebabkan oleh proses kelahiran yang saat persalinan bahu bayi
tersangkut di tulang panggul ibu, sehingga bidan menarik lengan kanan
bayi untuk mengeluarkannya saat persalinan.
17
3. RIWAYAT PERSALINAN DAHULU :
Pasien lahir dengan berat badan 4,3 kg, sehingga persalinan sulit,
dikarenakan kondisi bayi yang besar. Usia 1 bulan tampak lengan kanan
bayi tidak aktif.
4. RIWAYAT PENYAKIT PENYERTA :
Tidak ada riwayat keluarga yang mendukung diagnosa pasien
4. RIWAYAT KELUARGA :
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit seperti pasien ini
5. STATUS SOSIAL
(Lingkungan kerja, tempat tinggal, aktivitas rekreasi dan diwaktu
senggang, aktivitas social)
Pasien yang berprofesi sebagai mahasiswa di salah satu universitas
negeri di yogyakarta, yang dalam kesehariannya mengikuti kuliah dan
kursus-kursus, merasa terganggu dengan kondisi yang dialaminya.
B. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
1. PEMERIKSAAN TANDA VITAL
a. Tekanan darah : 120/70 mmHg
b. Denyut Nadi : 90x/menit
c. Pernapasan : 22x/menit
d. Temperatur : 36 oC
e. Tinggi Badan : 167 cm
f. Berat Badan : 52 kg
18
2. INSPEKSI
(Statis dan dinamis)
a. Statis
Lengan kanan tampak deformitas kearah posisi bahu
endorotasi, siku cenderung fleksi 20°, pronasi dan fleksi
wrist
Tampak atrofi otot deltoid sisi kanan
Tampak lengan kanan lebih pendek dan kecil dibanding
lengan kiri
b. Dinamis
Pasien belum bisa mengangkat lengan kanannya ke atas
secara maksimal (fleksi bahu)
Tangan pasien saat menggenggam benda, gerakannya
belum terkoordinasi
3. PALPASI
a. Tidak terdapat nyeri tekan pada lengan kanan
b. Adanya hypotonus otot-otot deltoid dan tricep
c. Tidak ada perubahan suhu pada lengan kanan
4. PERKUSI
(Tidak dilakukan pemeriksaan)
5. AUSKULTASI
(Tidak dilakukan pemeriksaan)
6. PEMERIKSAAN GERAK DASAR :
Saat dilakukan pemeriksaan secara aktif, pasien belum mampu full
ROM
A. Gerak Aktif :
Sendi shoulder
Fleksi-Ekstensi-Abduksi-Eksorotasi-Ebdorotasi
19
(belum mampu Full ROM, ada keterbatasan LGS)
Sendi elbow
Fleksi-Ekstensi
(Pasien mampu menggerakkan secara aktif tetapi tidak full ROM)
Sendi Wrist
Fleksi-Ekstensi
(Pasien mampu menggerakkan secara aktif tetapi tidak full ROM)
B. Gerak Pasif :
SHOULDER Hasil
Fleksi- Ekstensi
Abduksi-Adduksi
Endorotasi-Eksorotasi
Full ROM, nyeri (-)
Full ROM, nyeri (-)
Full ROM, nyeri (+)
ELBOW Hasil
Fleksi-Ekstensi Full ROM, nyeri (-)
WRIST Hasil
Fleksi-Ekstensi
Ulna Deviasi-Radial Deviasi
Full ROM, nyeri (+)
Full ROM, nyeri (-)
C. Gerak Isometrik Melawan Tahanan :
SHOULDER Hasil
Fleksi- Ekstensi
Abduksi-Adduksi
Endorotasi-Eksorotasi
Mampu, nyeri (-)
Mampu, nyeri (-)
Mampu, nyeri (+)
ELBOW Hasil
20
Fleksi-Ekstensi Mampu, nyeri (+)
WRIST Hasil
Fleksi-Ekstensi
Ulna Deviasi-Radial Deviasi
Mampu, nyeri (+)
Mampu, nyeri (+)
7. MUSCLE TEST
SHOULDER Hasil
Fleksi
Ekstensi
Abduksi
Adduksi
Endorotasi
Eksorotasi
4-
3
3
3
3
1
ELBOW Hasil
Fleksi
Ekstensi
4
1
WRIST Hasil
Fleksi-Ekstensi
UlnaDeviasi-Radial
Deviasi
3
3
8. ANTROPOMETRI TES
Pengukuran ROM test menggunakan midline pada lengan Dextra
diperoleh hasil:
a. Panjang lengan kanan (lesi) = 66 cm
b. Panjang lengan kiri = 72 cm
Selisih lingkar tangan (lengan) dextr dan sinistra, adalah:
21
Wrist = 3 cm (menggunakan tekhnik figure of 8)
Elbow = 3 cm (patokan di olecranon)
Shoulder= 5 cm (patokan di tuberculum mayor humeri
Kesimpulan = lengan yang lesi mengalami atrofi
9. ROM TEST
Pemeriksaan ROM Tes menggunakan goniometer di peroleh hasil
sebagai berikut:
SHOULDER Hasil
S
F
R
(20°-0°-160°)
(90°-0°-40°)
(20°-0°-30°)
ELBOW Hasil
S (20°-110°)
WRIST Hasil
S
F
(0°-0°-65°)
(0°-0°-0°)
10. PEMERIKSAAN NYERI
Dengan Metode VAS
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Diperoleh Hasil:
Nyeri Diam = 0
22
Nyeri Gerak = 1(saat gerakan ekstensi elbow)
Nyeri Tekan = 1 (pada m. Deltoideus dan m. Tricep)
11.PEMERIKSAAN KOGNITIF, INTRAPERSONAL DAN
INTERPERSONAL
a. Pemeriksaan Kognitif
Pasien mampu menceritakan kejadian yang dialami dengan baik
b. Pemeriksaan Intrapersonal
Pasien mampu semangat untuk sembuh dan mau mengikuti
terapi dengan baik
c. Pemeriksaan Interpersonal
Pasien mampu komunikatif dan kooperatif dengan terapis dan
orang lain
12. PEMERIKSAAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL
Pemeriksaan kemampuan fungsional dengan Spadi (Shoulder pain
and disability Index):
Mencuci rambut 3
Menggosok punggung saat mandi 3
Memakai dan melepas T-shirt 2
Memakai kemeja berkenjang 3
Memakai celana 2
mengambil benda diatas 2
Mengangkat beban berat (5 kg/lebih) 2
Mengambil benda sakit di 2
Kriteria Penilaian per-Item 1-10
Jumlah dari semua Item : 80 x 100% = 19 : (80 x 100%)
= 41 %
23
(Sumber = Reach et. Al.(1991)) 25-50%= cukup mandiri
13. PEMERIKSAAN SPESIFIK
(Pemeriksaan yang mendukung diagnose, missal : Straight leg
raising test, Nerry Test, Gait analisis, JPM test, quick test,
Dermatome test, Myotome Test, STNR, ATNR, dll)
(Tidak Dilakukan)
14. MEKANISME TERJADINYA PERMASALAHAN
(UNDERLYING PROCESS)
24
(Jika perlu mencantumkan referensi)
A. DIAGNOSIS FISIOTERAPI
1. IMPAIRMENT
- Atrofi lengan kanan
25
Distropi tulang panggul
Bayi Besar
Gangguan sensoris pada permukaan
deltoid radialis & lengan bawah
Gerak Abd, Ekso fleksi bahu, fleksi elbow, supinasi, ekstensi elbow
terganggu
Paralisis & atrofi m.
Deltoideus, m. Bisep brachii, m. Brachialis,
m. brachioradialis
Trauma Kelahiran
IRFARADIK
Proses persalinan yang kasar
Tarikan pada lengan kearah distal
Saraf dari tulang C5-C6 tertarik
STIMULASI TAPPING
Memasang sensoris Meningkatkan kepekaan
sensoris/rangsangan
EXCERCISE
Meningkatkan ROM sendi Menghindari kontraktur
Pelvic Ibu terlalu sempit
Cidera Fleksus Brachialis
Meningkatkan kekuatan otot
Melancarkan sirkulasi darah
Menurunkan spasme otot
- Nyeri (-)
- Spasme otot (-)
- Kontraktur otot-otot kanan
2. FUNGTIONAL LIMITATION
Pasien mengalami gangguan fungsi akivitas-aktivitas menggenggam.
Menulis, bejabat tangan, dll
Tidak ada gangguan fungsi jalan
3. DISABILITY/PARTICIPATION RESTRICTION
Pasien masih mampu untuk berpartisipasi dengan baik karena kondisi
pasien ini cukup baik. Mungkin untuk aktivitas yang menggunakan tangan
pasien belum mampu
D. PROGRAM FISIOTERAPI
1. TUJUAN FISIOTERAPI
a. Tujuan jangka pendek
- Meningkatkan kekuatan otot
- Meningkatkan ROM sendi
- Meningkatkankontraktur otot
b. Tujuan jangka panjang
- Untukmeningkatkan aktifitas fungsional
- Untukmeningkatkan ADL
- Untukmelatih pasien agar tetap mandiri
2.TEKNOLOGI INTERFERENSI
- IR - FARADIK
- EXERCISE - MASSAGE
3. EDUKASI
26
- Pasien diedukasikan untuk selalulatihan seperti yang diberikan
terapis yaitu pendulumexercise
- Pasien dianjurkan laihan yang selalu melibatkan tangan pasien /
aktifitas ADL seperti : menulis, memegang sendok, mengambil
banda.
- untuk latihan mengangkat tangan keatas dankesamping dengan
bantuan bandul.
- Latihan menjalarkan tangan yang lesikedinding untuk mengangkat
tangankeatas.
- Latihan PNF yang sudah diajarkan terapis sebelumnya , seperti :
mengangkat tangan keatasdan kesamping dengan bantuan tangan
yang sehat .
E.RENCANA EFALUASI
(sesuai dengan problematika fisioterapi )
- Efaluasi ROM sendi = menggunakan goniometer
- Efaluasi muscle test = meggunakan MMT
- Efaluasi ADL = menggunakan skala SPADI
F.PROGNOSIS
- Quo ad fitam = baik
- Quo ad sanam = baik
- Quo ad fungsional = baik
- Quo ad cosmeticam =buruk
27
G. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI
T1 (TGL : 15 AGUSTUS 2013)
PEMBERIAN IR
PERSIAPAN ALAT
- Cek alat, cek lampu, cek kabel
PERSIAPAN PASIEN
- Test Sensibilita
- Tentukan posisi (px) senyaman mungkin.
DOSIS TERAPI
Tentukan dosis terapi sesuai kondisi pasien dan sesuai tujuan terapi :
- Waktu terapi : 15 menit
- Jarak IR-(px) : 60 cm
- Intensitas : Hangat (toleransi pasien)
TEKHNIK PENATALAKSANAAN TERAPI
- Pastikan persiapan Alat dan pasien telah dilakukan dengan baik.
- Setelah itu atur posisi pasien dan terapis.
- Posisi (px) : supine lying (rileks)
- Posisi (tx) : disamping (px)
- Kemudian hidupkan mesin (IR)
- Atur dosis terapi
- Setelah itu, pastikan pasien sudah merasakan hangat (bukan panas)
tunggu Hingga 15 menit.
- Setelah selesai terapi, matikan dan bereskan alat
28
PEMBERIAN FARADIK
PERSIAPAN ALAT
- cek alat, cek kabel
PERSIAPAN PASIEN
- Test Sensibilitas
- Tentukan posisi (px) senyaman mungkin
DOSIS TERAPI
Tentukan dosis terapi sesuai kondisi pasien dan sesuai tujuan terapi :
- Waktu terapi : 15 menit
- Frekuensi terapi : 2500 hz
- AMF : 80 ms
- Interfal : 10 ms
- Intensitas : toleransi pasien
TEKHNIK PENATALAKSANAAN TERAPI
- Pastikan persiapan Alat dan pasien telah dilakukan dengan baik.
- Setelah itu atur posisi pasien dan terapis.
- Posisi (px) : supine lying (rileks)
- Posisi (tx) : disamping (px)
- Kemudian hidupkan mesin (ES)
- Atur modalitas Faradik sesuai dosis terapi
- tunggu Hingga 15 menit.
- Setelah selesai terapi, matikan dan bereskan alat.
EXERCISE
TEKHNIK PENATALAKSANAAN TERAPI
- Pastikan persiapan pasien telah dilakukan dengan baik.
- Setelah itu atur posisi pasien dan terapis.
29
- Posisi (px) : duduk (rileks)
- Posisi (tx) : disamping (px)
- (px) diminta untuk melakukan latihan aktif dan pasif, meliputi :
Px diminta secara aktif melakukan gerakan sendi SHOULDER
flexi – extensi, abd-add, ekso-endo.
Px diminta secara aktif melakukan gerakan sendi ELBOW flexi
– extensi
Px diminta secara aktif melakukan gerakan sendi WRIST
flexi – extensi, ulnar defiasi-radial defiasi
(Px) diminta latihan ADL tangan seperti :
Menggenggam
Mengambil benda
Memegang pensil
mengambil Sendok
Lakukan pendulum exercise
H. EVALUASI
Setelah dilakukan 2 kali terapi dengan menggunakan intervensi fisioterapi
seperti :
- IRR - Massage
- Faradik - Excercise
ROM
Shoulder T1 T2 T3
Flexi 160° 160° 170°
Extensi 20° 20° 35°
Abduksi 90° 90° 100°
Adduksi 40° 45° 50°
30
Eksorotasi 20° 20° 20°
Endorotasi 30° 40° 40°
Elbow Fleksi 110° 110° 110°
Ekstensi - - -
Wrist Fleksi 65° 65° 70°
Ekstensi 0° 0° 0°
MMT
T1 T2 T3
M. fleksor shoulder 3 4 4
M. ekstensor shoulder 3 3 4
M.fleksor elbow 0 0 1
M.ekstensor elbow 3 3 4
M. fleksor wrist 1 1 2
M. ekstensor wrist
I. HASIL TERAPI TERAKHIR
Hasil terapi terakhir diperoleh hasil:
ROM
31
Shoulder T4
Flexi 170°
Extensi 40°
Abduksi 25°
Adduksi 40°
Eksorotasi 50°
Endorotasi 100°
Elbow Fleksi 120°
Ekstensi 5°
Wrist Fleksi 80°
Ekstensi 5°
MMT
T4
M. fleksor shoulder 4
M. ekstensor shoulder 4
M.fleksor elbow 4
M.ekstensor elbow 1
M. fleksor wrist 4
M. ekstensor wrist 3
32
BAB IV
KESIMPULAN
Erb-Paralysis merupakan penyakit kelumpuhan ekstremitas atas dikarenakan
lesi pada plexus brachialis bagian atas, yang mengenai radiks C5-C6. Biasanya
penderita adalah bayi yang lahir dengan distonia bahu atau dapat pula terjadi pada
anak-anak dan dewasa dengan trauma di bahu.
Secara klinis pasien Erb-Paralysis memiliki gambaran kelumpuhan otot yang
dipersarafunya kha, yaitu posisi lengan tas adduksi dan endorotasi dan lengan bawah
posisi pronasi yang dikenal dengan Waiter’s tip potition.
Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan anamnesis,pemeriksaan fisik,
pemeriksaan CT-Scan atau MRI dan EMG. Penanganan pasien dengan Erb-Paralysis
harus dilakukan secara multidisiplin, diagnosis yang sesegera ungkin dan fisioterapi
yang tepat dapat memulihkan 50-80% fungsi yang ada, tergantung keparahan lesi
tersebut. Lesi yang berat sehingga menyebabkan putusnya semua akson hanya dapat
dilakukan terapi pembedahan memberikan hasil yang belum memuaskan dan masih
dalam penelitian.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono. Mahar., Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian
Rakyat,Jakarta.
2. Twee Do, 2009, Muscular Dystrophy, www.e-medicine.com
3. Wedantho Sigit, 2007,Kelumpuhan Plexus Brachialis: Divisi Orthopaedi &
Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
4. http://www.erbsparalysisnetwork.com/aboutinjury.htm , accesed on october
31, 2011.
5. http://en.wikipedia.org/wiki/Erb%27s_paralysis , accesed on october 31, 2011.
6. http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00384 accesed on october 31,
2011.
7. http://emedicine.medscape.com/article/317057-overview , accesed on October
31,2011
8. Sistem Saraf Perifer. Hand Out Perkuliahan Anatomi. Laboratorium Anatomi
Fakultas Kedokteran universitas Trisakti.Jakarta 2005
9. Tortora, G.J., & Anagnostakos, N.P. (1990). Principles of Anatomy and
Physiology (6th ed.). New York: Harper & Row. pp.370-374
10. Warwick, R., & Williams, P.L. (1973) Erb-Duchenne and Dejerine-Klumpke
Palsies Information Page: National Institute of Neurological Disorders and
Stroke (NINDS). pp.1046
11. Peleg D, Hasnin J, Shalev E (1997). "Fractured clavicle and Erb's paralysis
unrelated to birth trauma". American Journal of Obstet. Gynecol. 177 (5):
1038–40
34
12. Ober WB (1992). "Obstetrical events that shaped Western European history".
The Yale journal of biology and medicine 65 (3): 201–10
35