resusitasi cairan pada pasien sepsis

21
RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN SEPSIS Patrick J. Neligan, Niall Fanning Respons kardiovaskular metabolik dan neurohormonal terhadap sepsis ditandai oleh proses temporal bifasik. Fase pertama, yang terjadi lebih duluan, ditandai dengan fase hiperfungsional yaitu peningkatan transpor, ekstraksi, dan penggunaan oksigen. Hal ini menyebabkan peningkatan cardiac output dan peningkatan aliran darah ke jaringan yang berhubungan dengan pengisian transkapiler dan defisit cairan ekstravaskuler. Hal lain yang mempengaruhi adalah umur pasien, status kesehatan, dan tingkat keparahan trauma dan hasilnya berupa ketidakseimbangan supply dan demand oksigen. Hal ini dapat dilihat dari S VO2 yang menurun dan peningkatan konsentrasi laktat arteri dan vena. Ada hubungan yang jelas antara penurunan S VO2 , besarnya asidosis laktat, dan tingkat keparahan trauma. Setelah fase hiperfungsional, yang menyerupai respons stress akut terhadap pembedahan atau trauma, dimulailah fase kedua yaitu fase hipofungsional, yang ditandai dengan depresi miokard, vasoplegia, dan disfungsi neuroendokrin. Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas mitokondria yang tidak sesuai. Waktu pemberian resusitasi cairan memiliki efek yang berbeda, tergantung pada fase hiperfungsional atau fase hipofungsional. Data menyebutkan bahwa resusitasi yang tepat pada fase hiperfungsional dapat 1

Upload: saniaty-tuankotta

Post on 31-Dec-2015

161 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN SEPSIS

Patrick J. Neligan, Niall Fanning

Respons kardiovaskular metabolik dan neurohormonal terhadap sepsis ditandai oleh

proses temporal bifasik. Fase pertama, yang terjadi lebih duluan, ditandai dengan fase

hiperfungsional yaitu peningkatan transpor, ekstraksi, dan penggunaan oksigen. Hal ini

menyebabkan peningkatan cardiac output dan peningkatan aliran darah ke jaringan yang

berhubungan dengan pengisian transkapiler dan defisit cairan ekstravaskuler. Hal lain yang

mempengaruhi adalah umur pasien, status kesehatan, dan tingkat keparahan trauma dan hasilnya

berupa ketidakseimbangan supply dan demand oksigen. Hal ini dapat dilihat dari SVO2 yang

menurun dan peningkatan konsentrasi laktat arteri dan vena. Ada hubungan yang jelas antara

penurunan SVO2, besarnya asidosis laktat, dan tingkat keparahan trauma.

Setelah fase hiperfungsional, yang menyerupai respons stress akut terhadap pembedahan

atau trauma, dimulailah fase kedua yaitu fase hipofungsional, yang ditandai dengan depresi

miokard, vasoplegia, dan disfungsi neuroendokrin. Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas

mitokondria yang tidak sesuai. Waktu pemberian resusitasi cairan memiliki efek yang berbeda,

tergantung pada fase hiperfungsional atau fase hipofungsional. Data menyebutkan bahwa

resusitasi yang tepat pada fase hiperfungsional dapat mencegah perkembangan menjadi sepsis

hipofungsional dan kerusakan multiorgan,

Pada bab ini, kita bertujuan untuk menjawab pertanyaan “ Cara resusitasi apa yang paling

tepat dilakukan pada pasien dengan sepsis?”. Ada 3 komponen penting yang harus dibahas yaitu

waktu pemberian resusitasi, volume yang dimasukkan, jenis cairan resusitasi yang digunakan.

Waktu Pemberian Resusitasi

Kemampuan pasien untuk menghasilkan respons neurohormonal dan hemodinamik untuk

menjaga homeostasis disebut dengan respons fisiologik. Shoemaker dkk pada tahun 1973

menggambarkan hubungan antara demand, supply, dan outcome. Syok dapat menyebabkan

perfusi oksigen ke jaringan menjadi terganggu. Shoemaker dkk melakukan suatu eksperimen

yaitu memberikan cairan dan obat inotropik untuk menjaga perfusi oksigen ke jaringan tetap

1

Page 2: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

bagus pada pasien yang menderita sakit berat. Dengan kata lain, jika pasien tidak dapat

mempertahankan hemodinamik yang stabil, maka intervensi terapeutik perlu dilakukan untuk

menyelamatkan nyawa. Dalam hal ini pasien yang tergolong menderita sakit berat adalah pasien

yang menjalani operasi mayor. Shoemaker dkk meneliti 422 pasien dalam 2 kriteria yaitu pasien

yang menggunakan Pulmonary Artery Catheter (PAC) untuk mencapai target resusitasi dan

pasien yang menggunakan Central Venous Pressure (CVP) untuk mencapai target. Dari hasil

penelitian didapatkan risiko kematian berkurang pada kedua kriteria tersebut yaitu sekitar 13%.

Fleming dkk melakukan intervensi dan mengembalikan beberapa hal ke nilai normal

seperti indeks jantung (>4,52 L/min/m2), transpor oksigen (>670 mL/min/m2), dan konsumsi

oksigen (>166 mL/min/m2) pada pasien trauma yang sudah mengalami perdarahan sekitar 2000

cc atau lebih. Mereka meneliti 77 pasien dalam waktu 6 bulan. 33 orang termasuk protokol

supranormalisasi dan 34 orang pasien yang menjadi kontrol. 8 pasien protokol meninggal dan 15

pasien kontrol meninggal. Pasien protokol memiliki sedikit kerusakan organ, waktu rawat inap di

ICU yang lebih pendek, dan beberapa hari lebih sedikit memerlukan ventilator dibandingakan

pasien kontrol. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Bishop dkk.

Gattinoni dkk meneliti 762 pasien yang menderita sakit berat yang dibagi ke dalam 3

kategori yaitu membuat nilai indeks jantung menjadi normal, menaikkan indeks jantung lebih

besar dari 4,5 L/m2, dan menaikkan nilai SVO2 di atas 70%. Target resusitasi dicapai

menggunakan cairan, darah, inotropik, dan vasopresor. Pasien yang berada di kelompok

supranormalisasi secara signifikan memiliki transpor oksigen yang lebih bagus dan konsumsi

oksigen yang lebih banyak dibandingkan kelompok lain. Bagaimanapun, hanya sebagian dari

pasien di grup tersebut dan sekitar dua pertiga pasien di grup SVO2 yang mencapai target. Hal ini

lebih rendah jika dibandingkan dengan 93,4 % pasien yang berada pada kelompok normal. Tidak

ada perbedaan hasil antara ketiga kelompok tersebut. Inti dari penelitian tersebut adalah waktu

pemberian resusitasi yang tepat. Pasien tersebut memang sudah berada di ICU selama 72 jam

sebelum penelitian.

Hayes dkk meneliti 109 pasien yang dirawat di ICU yang diberikan dopamin dosis

rendah dan resusitasi cairan. 9 dari pasien tersebut mencapai target resusitasi dan tidak memasuki

protokol. 100 pasien lainnya secara acak dimasukkan ke protokol supranormalisasi atau protokol

kontrol. Dobutamin, yang merupakan intervensi terapeutik pada penelitian ini, hanya diberikan

2

Page 3: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

jika indeks jantung kurang dari 2,8 L/m2. Pasien yang berada di kelompok supranormalisasi

memiliki transpor oksigen dan indeks jantung yang lebih baik dibandingkan kontrol. Namun, 35

pasien dari 50 pasien pada kelompok penyembuhan, 3 target tidak dicapai secara bersamaan

tanpa bantuan obat inotropik. Tetapi, pasien kontrol memiliki hasil yang lebih baik. Angka

kematian di rumah sakit lebih rendah pada kelompok kontrol yaitu sekitar 34% dibandingkan

kelompok penyembuhan sebesar 54%. Penelitian ini dikritik oleh sebab penggunaan dobutamin

dengan dosis yang berlebihan (dosis dobutamin maksimal 25ug/kgBB/min) yang diberikan ke

kelompok supranormalisasi dan resusitasi cairan yang tidak adekuat pada kedua kelompok.

Sebagai tambahan, ketidakmampuan mencapai target pada kelompok intervensi mungkin

disebabkan pasien tersebut lagi berada pada fase lanjut dari penyakit yang dideritanya ketika

dijadikan subjek penelitian. Shoemaker dkk menayarankan bahawa permulaan dari protokol

supranormalisasi sangat penting. Hal ini mengingat bahwa 31 pasien dari 33 pasien yang

mencapai target berhasil bertahan hidup.

Kern dan Shoemaker membuat meta-analisis dari 21 penelitian mengenai

supranormalisasi yang dipublikasikan pada tahun 2002. Penelitian dibagi menjadi grup-grup

berdasarkan onset waktu yaitu onset cepat (8-12 jam setelah operasi atau sebelum kerusakan

organ) dan onset lambat (kerusakan organ telah tejadi). Dan pembagian berdasarkan tingkat

keparahan penyakit yaitu mortalitas di atas 20% dan mortalitas di bawah 15%. Dari 6 penelitian,

terdapat 23% perbedaan angka kematian antara kelompok kontrol dan kelompok protokol

dengan onset waktu cepat. Tetapi 7 penelitian memiliki onset waktu lambat dan tidak ada

perbedaan angka kematian yang signifikan dengan pasien yang menderita sakit yang lebih

ringan. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa resusitasi untuk mencapai target

membahayakan pasien.

Gambar ini dikemukakan oleh Rivers dkk. Grup ini meneliti Early Goal Directed

Therapy (EGDT) pada 263 pasien sepsis yang secara acak diberikan terapi standar dan terapi

agresif goal directed yang menggunakan oximetric CVP line. Alat ini berfungsi untuk mengukur

SVO2 pada distribusi vena cava superior. Penelitian ini mengambil subjek pasien di IRD dengan

dua atau lebih kriteria yang terpenuhi unutk SIRS. Dokter, perawat, dan resusitasi cairan serta

obat-obat inotropik beserta transfusi darah tersedia. Pasien di grup kontrol ditangani secara

konservatif hingga mereka dipindahkan ke ICU dan diberikan resusitasi. Pasien yang akan

3

Page 4: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

diteliti mendapatkan cairan yang lebih banyak dibandingkan pasien kontrol dalam 6 jam

pertama, lebih banyak transfusi PRC, dan lebih banyak volume cairan intravena pada 72 jam

pertama. Ada penurunan angka kematian sebesar 16% dalam 28 hari pada grup EGDT.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah resusitasi agresif pada awal dapat meningkatkan perfusi ke

jaringan-jaringan. Setelah target tercapai, resusitasi lebih lanjut tidak dapat menolong dan

bahkan membahayakan.

Bagan 1. Protokol Goal-Directed Resuscitation

4

Page 5: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

\

Terdapat kontroversi mengenai kegunaan alat monitoring hemodinamik untuk

penatalaksanaan pasien-pasien sepsis. Penggunaan PAC pernah diteliti pada 2 kota besar. Yang

pertama, Connor dkk, menggunakan data dari penelitian sebelumnya, menyatakan bahwa

monitoring menggunakan PAC sebenarnya memberikan hasil yang buruk. Kelemahan dari

penelitian ini adalah tidak adanya protokol tetap mengenai pemberian cairan dan titrasi dari obat

vasopressor. Akibat dari itu, penelitian ini menggambarkan bahwa tidak adanya PAC tidak

memperburuk keadaan pasien tetapi juga tidak memberikan keuntungan. Hal ini tidak

mengejutkan karena PAC merupakan alat monitoring bukan alat intervensi terapeutik.

Pendekatan terbaru mengenai monitoring dan pengukuran volume dan cairan

menggunakan berbagai macam alat. Tujuan pengukuran stroke volume adalah untuk mengukur

volume didasarkan pada hokum Frank Starling. Volume preload mencakup CVP, tekanan arteri

pulmonalis. Perubahan stroke volume lebih sensitive utuk perubahan volume sirkulasi

dibandingkan cardiac output dan cardiac index. Beberapa alat yang dapat mengukur stroke

volume atau cardiac output antara lain Esophageal Doppler Monitor(EDM), Peripherally Inserted

Continuous Cardiac Output Monitor (PICCO), lithium dilution cardiac output, Fick principle

CO2 rebreathing cardiac output (noninvasive cardiac output) (NICO), bioimpedance cardiac

output, dan echocardiography. Protokol resusitasi dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Pendekatan alternative digunakan untuk mengukur perfusi ke jaringan dan mengukur aliran

darah. Pendekatan ini menggunakan tonometri lambung dan pemeriksaan oksigen jaringan.

Beberapa penelitian menggunakan Esophageal Doppler Monitor sebagai acuan pemberian cairan

perioperatif. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, stress pada masa perioperatif dapat memicu

timbulnya sepsis. Kebanyakan pasien pada penelitian ini secara acak diberikan cairan koloid dan

cairan konvensional dengan hasil pasien yang diberikan cairan koloid memiliki hasil yang lebih

bagus yaitu perfusi lebih bagus ke splanchnicus, mengurangi ileus, komplikasi major lebih

sedikit, prestasi akibat pemberhentian pada masa awal, dan masa tinggal di rumah sakit dan ICU

yang lebih singkat.

5

Page 6: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

Sebagai ringkasan, ada bukti yang mendukung bahwa penggunaan alat-alat monitoring

pada pasien sepsis, sebagai contoh kateter oxymeter (SVO2) atau monitor stroke volume (EDM,

PICCO) sebagai acuan untuk resusitasi cairan yang bersifat agresif. Untuk mencapai target

resusitasi, usaha resusitasi harus dilakukan pada awal karena sudah jelas bahwa waktu pemberian

resusitasi dan jumlah cairan yang dimasukkan penting.

Jenis Cairan

Pada keadaan sepsis, terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler. Hal ini menyebabkan

ekstravasasi cairan intravaskuler menuju ruang interstitial. Cairan yang pindah ini tidak dapat

pindah kembali sampai respon peradangan hilang. Pada keadaan ini, Sekitar 80% cairan

kristaloid yang digunakan untuk mengganti volume yang hilang, tertumpuk di ruang

ekstravaskuler. Hal ini menyebabkan penambahan berat badan dan edema jaringan, terutama

jaringan longgar dan pada perut. Hal ini menyebabkan transpor oksigen berkurang. Sebagai

akibat dari peningkatan permeabilitas vaskuler, terjadi penurunan tekanan onkotik yang

disebabkan berkurangnya konsentrasi albumin akibat dari proses dilusi, ekstravasasi, dan

penurunan metabolisme hati (respons akut negatif). Edema yang terjadi berbanding lurus dengan

volume cairan kristaloid yang dimasukkan.

Cairan koloid digunakan sebagai pengganti plasma. Cairan koloid adalah substansi

nonkristalin yang bersifat homogen, yang terdiri dari molekul-molekul besar atau partikel

ultramikroskopik dari satu substansi ke substansi kedua. Larutan koloid bertahan di ruang

intravaskuler karena ukuran molekulnya yang besar, yang menyebabkan membran bersifat

inpermeabel relatif. Cairan koloid juga dapat mengisi kebocoran kapiler dan meningkatkan

tekanan onkotik, jadi meningkatkan volume intravaskuler.

Walaupun koloid memiliki peranan penting untuk mempertahankan volume

intravaskuler, efek onkotik kurang penting untuk volume ekstraseluler dibandingkan efek

osmotik dari elektrolit seperti Natrium dan Klorida. Hal ini berhubungan dengan jumlah partikel

osmotik aktif yang terlibat.

Di balik pendapat tersebut, ada pernyataan sebaliknya yang menyatakan bahwa cairan

koloid mahal, mungkin dapat bocor ke ruang ekstraseluler, dan mempengaruhi koagulasi darah.

6

Page 7: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

Tiga penelitian yang bersifat meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 1990 menyatakan

bahwa cairan koloid sebenarnya memperburuk keadaan pasien. Ada alasan yang kurang

meyakinkan mengenai hasil dari penelitian tersebut. Penelitian tersebut mengumpulkan data

selama periode 30 tahun dimana banyak terjadi perubahan mendasar mengenai praktek anestesi,

trauma, dan perawatan intensif. Kebanyakan penelitian tersebut tidak menggunakan kontrol

lingkungan, tidak menggunakan target spesifik untuk resusitasi, dan cenderung untuk

membandingkan larutan koloid dan larutan kristaloid, bukan kombinasi. Kebanyakan penelitian

membandingkan jenis cairan koloid dengan jenis cairan koloid lainnya, bukan membandingkan

dengan larutan kristaloid.

1. ALBUMIN

Albumin yang beredar di pasaran tersedia dalam konsentrasi 5% (250 ml dan 500 ml vial)

dan 25% (50 ml dan 100 ml vial). Sediaan 5% mengandung 50 mg albumin per millimeter NaCl

dan sediaan 25% mengandung konsentrasi albumin 250 mg/mL. Seluruh produk albumin

mengandung 130 – 160 mEq Na per liter. Albumin 5% bersifat iso-onkotik yang menyerupai

plasma manusia. Albumin 25% memiliki partikel osmotik 4-5 kali lebih banyak dibandingkan

plasma normal. Albumin memiliki insidens yang sangat rendah untuk kemungkinan terjadinya

reaksi alergik (0,5-1%) dan jika terjadi biasanya reaksinya ringan (rash, demam, menggigil,

mual). Albumin tidak menganggu koagulasi darah.

Pemberian albumin berhubungan dengan ekspansi volume plasma yang cepat dan tidak

diprediksi. Albumin secara luas digunakan untuk menurunkan berat badan, mencegah edema

pulmo, menghilangkan asites, dan mengurangi edema jaringan. Ada beberapa bukti yang

menyatakan bahwa albumin memiliki efek untuk meningkatkan fungsi organ dan memfasilitasi

nutrisi enteral. Tetapi di balik itu, tidak ada bukti yang menyatakan albumin dapat mengurangi

angka kematian. Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE) melakukan penelitian

menggunakan 7000 pasien sebagai sampel dan hasilnya tidak ada perbedaan hasil antara pasien

yang diberikan albumin 4% sebagai cairan resusitasi dengan yang menerima larutan saline.

Sebagai ringkasan, albumin aman untuk digunakan. Efektivitas biaya belum ditetapkan.

Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa pemberian albumin dapat memperbaiki keadaan pasien

sepsis.

7

Page 8: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

2. HYDROXYETHYL STARCH

Hydroxyethyl starch (HES atau hetastarch) adalah modifikasi polisakarida alami, berasal

dari amilopektin, yang secara struktrual menyerupai glikogen. Larutan starch bersifat tidak stabil

karena larutan ini akan dihidrolisis segera oleh amilase. Larutan ini distabilkan oleh proses etilasi

dari hidroksil. Hasilnya adalah substitusi pada karbon 2 (c2), c3, dan c6 pada rantai glukosa.

Farmakokinetik dari starch ditentukan oleh derajat dan tipe hidroksilasi. Rasio substitusi c2/6

yang lebih tinggi mengakibatkan degradasi enzimatik lebih lambat. Berat molekul

mempengaruhi efek samping. Eliminasi terutama melalui urin. Sebuah fraksi diambil oleh sistem

retikuloendotelial dan kemudian secara lambat dieliminasi. Hetastarch mengandung molekul

yang memiliki berat molekul yang bervariasi, dan nilai tengah berat molekul biasanya tertulis

pada kemasan. Setelah resusitasi menggunakan HES, dispersi dari berat molekul mengalami

perubahan; awalnya molekul kecil secara cepat dieliminasi, dan kemudian molekul besar

dihidrolisis menjadi molekul sedang.

Produk HES terbagi menjadi tiga berdasarkan berat molekul; berat molekul tinggi (450 –

480 kD), berat molekul sedang (sekitar 200 kD), dan berat molekul rendah (70-130 kD).

Contoh : 6% Hetastarch berat molekul tinggi dalam larutan saline (Hespan), 6% Hetastarch berat

molekul tinggi dalam elektrolit yang seimbang (Hextend), Pentastarch berat molekul sedang

dalam larutan saline (Pentaspam, EloHAES, HAES-steril), dan Tetrastarch berat molekul rendah

dalam larutan saline (Voluven).

Hydroxyethyl starch yang paling umum digunakan di Amerika Serikat adalah Hespan,

cairan HES yang memiliki berat molekul tinggi dengan nilai rata-rata 450.000 D, 80% polimer

memiliki 3.000 – 2.400.000 D. Cairan HES ini biasanya digabungkan dalam NaCl 0,9%.

Tekanan onkotik larutan ini adalah 30 mmHg, dan setiap gram hetastarch memiliki water

binding capacity 20 mL. Sekitar 46-64% diekskresikan melalui urine dalam waktu 2-8 hari.

Waktu paruh sekitar 17 hari. Ekspansi volume plasma bertahan selama kurang lebih 48 jam,

dengan 40% peak effect bertahan setelah 24 jam.

8

Page 9: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

HES dapat menganggu fungsi platelet, menyebabkan kelainan pada faktor von

Willebrand dan faktor VIIIc. Efek pada hemostasis tergantung dari dosis. Volume hetastarch

yang banyak secara in vivo dan in vitro dapat menyebabkan kelainan yang bersifat progresif

pada pemeriksaan thromboelastography (TEG). Tetapi, belum ada pernyataan yang menyatakan

bahwa HES meningkatkan risiko perdarahan. Para klinisi menyarankan dosis hetastarch 20

ml/kgBB/hari. HES berat molekul rendah dan larutan pentastarch berhubungan dengan risiko

koagulopati.

VISEP melakukan penelitian dengan mengambil pasien sepsis berat dengan kontrol gula

ketat dan diberikan resusitasi cairan secara acak dengan pentastarch 10%, HES berat molekul

sedang, dan RL. Peneliti mengambil waktu 28 hari dan mengevaluasi angka kematian dan

kerusakan organ. Pasien yang menjadi subjek penelitian adalah 537 pasien. Kontrol gula darah

tidak memberikan perbedaan pada hasil akhir yang diperoleh dalam 28 hari. Pasien pada

kelompok yang diberikan HES memiliki nilai rata-rata trombosit 179.600 / mm3 dibandingkan

yang diberikan RL (224.000 / mm3) dan menerima PRC lebih banyak dibandingkan pasien yang

diberikan RL. Sebagai tambahan, HES dapat meningkatkan angka kematian dalam 90 hari

sebesar 57,6% dengan peningkatan angka penderita gagal ginjal dan 9,1% peningkatan waktu

dialysis.

Hal ini tentu merupakan berita buruk bagi pabrik industry HES. Bagaimanapun, beberapa

kritik tentang penelitian harus disoroti. Pasien diberikan HES melebihi dosis yang

direkomendasikan dalam waktu yang lama (21 hari). HES adalah salah satu koloid yang bersifat

hiperonkotik yang menyerupai plasma. Tidak ada perbedaan angka kematian pada masa 28 hari

dan 90 hari. Angka kematian dalam 90 hari mungkin disebabkan efek toksik akibat akumulasi

HES bukan karena kegagalan terapi. Keunikan dari penelitian ini bahwa penelitian ini

menyimpulkan bahwa HES lebih membahayakan pasien ketimbang memberikan keuntungan.

Sebagai rangkuman, larutan HES digunakan secara luas sebagai resusitasi cairan pada

pasien sepsis yang memiliki keuntungan secara teori. Komponen-komponen yang memiliki berat

molekul tinggi seharusnya dihindari karena dapat menimbulkan kelainan pada koagulasi dan

akumulasi cairan, terutama pada pasien gagal ginjal.

3. LARUTAN KRISTALOID

9

Page 10: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

Kristaloid, larutan yang mengandung elektrolit yang dapat bersifat isotonis, hipotonis,

atau hipertonis, secara universal digunakan sebagai resusitasi primer pada pasien sakit berat.

Tetapi, penggunaan kristaloid sedang dan akan tetap menjadi kontroversial. Pemberian cairan

kristaloid sebagai penunjang cenderung mengabaikan efek cairan ini pada jaringan (peningkatan

volume interstitial), disosiasi air (keseimbangan asam basa), komposisi elektrolit, keseimbagan

koloid, dan koagulasi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penunjang untuk sistem

alternative mengenai keseimbangan cairan perioperatif, pencapaian target resusitasi. Fisiologi

cairan dan tubuh lebih menekankan pada waktu pemberian ketimbang total cairan yang

diberikan. Hal ini biasanya mencakup pemberian kristaloid dan koloid/darah.

Resusitasi dengan cairan kristaloid dapat mengurangi penghantaran oksigen dan perfusi

jaringan. Funk dkk melakukan eksperimen laboratorium mengenai hemodilusi isovolemi

terhadap hamster Syrian Golden. Hamster tersebut diberikan larutan Ringer Laktat atau Dextran

60 untuk menggantikan darah yang hilang. Sebanyak 4 kali dari volume darah yang hilang

digantikan dengan ringer laktat untuk mempertahankan MAP, CVP, dan laju jantung. Perfusi

jaringan dan PaO2 tidak berubah dalam kelompok koloid, tapi pada kelompok kristaloid

berkurang berturut-turut sebesar 62% dan 58%.

Lang dkk meneliti efek dari terapi penggantian cairan koloid dengan kristaloid terhadap

tekanan oksigen jaringan pada pasien yang menjalani operasi abdomen mayor. Kepada 42 orang

pasien secara acak diberikan kombinasi cairan HES 6% dan Ringer Laktat maupun hanya cairan

Ringer laktat dalam 24 jam, dengan target CVP 8 hingga 12 mmHg. Peneliti mengukur tekanan

oksigen jaringan dalam otot deltoid; digunakan alat monitor LICOX CMP yang dipasang setelah

induksi anastesi. Pasien dengan kelompok kristaloid mendapatkan lebih banyak cairan setelah

akhir operasi ( 5490 ± 1910 berbanding 3920 ± 1350 mL; P <.05) dan pada akhir 24 jam

( 11,740 ± 2630 berbanding 5950 ± 800 mL, P <0.5). Pada kelompok pasien yang mendapatkan

gabungan antara cairan kristaloid-koloid secara signifikan memiliki perfusi jaringan yang lebih

besar (tekanan oksigen meningkat dari garis batas) dibandingkan dengan kelompok yang hanya

mendapat cairan kristaloid (tekanan oksigen menurun dari garis batas).

Cairan resusitasi yang ideal dapat mempertahankan volume intravaskular tanpa menyebar

hingga ke ruang interstisial. Ernest dkk meneliti distribusi antara volume NaCl 0.9 % dengan

albumin 5% pada pasien dengan operasi jantung. Volume plasma dan cairan ekstraselular diukur

10

Page 11: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

dengan dilusi dari radiolabeled albumin dan sodium. Penggunaan cairan saline isotonis

meningkatkan volume plasma sebesar 9% ± 23% dari volume yang dberikan. Penggunaan

albumin 5% meningkatkan volume plasma sebesar 52% ± 84% dari volume yang diberikan.

Albumin meningkatkan indeks jantung secara lebih signifikan dibandingkan larutan saline dan

memberikan efek yang setara pada dilusi hemoglobin. Pada kelompok yang diterapi dengan

larutan saline, nilai keseimbangan cairan rata-rata (infus cairan + cairan yang hilang) sekitar dua

kali dari peningkatan rata-rata volume cairan ekstraselular, yang terbagi rata antara volume

plasma dan volume cairan interstisial. Sedangkan, pada kelompok yang diterapi dengan cairan

albumin, rata-rata keseimbangan cairan mendekati peningkatan rata-rata volume cairan

ekstraselular, yang mendekati peningkatan rata-rata dari volume plasma.

Kecenderungan dari cairan kristaloid untuk ekstravasasi dapat menyebabkan hipoperfusi

relatif. Wilkes dkk mempelajari efek antara Saline – based intravenous fluid (kristaloid dan

HES) dengan Balance Salt Solution (BSS) – based fluids (kristaloid dan HES) terhadap status

asam-basa dan perfusi usus yang dapat diperkirakan dengan menggunakan tonometri lambung.

47 pasien yang menerima larutan saline secara signifikan lebih asidosis dan memiliki pH mukosa

lambung yang lebih rendah dibanding pasien yang menerima BSS. Hal ini secara kuat

berhubungan dengan peningkatan klorida dalam serum.

Terdapat bukti bahwa cairan intravena dapat memiliki komponen proinflamasi dan anti

inflamasi. Pada sebuah percobaan pada babi yang mengalami syok hemoragik dengan volume

yang dikontrol, Rhee dkk menunjukkan peningkatan signifikan terhadap aktivasi neutrofil dan

aktivitas oksidasi, yang berhubungan dengan pemberian larutan ringer laktat. Larutan ini

mengaktifkan inflamasi tanpa memperhatikan apakah darah telah diberikan. Hal ini tidak terjadi

ketika volume digantikan dengan whole blood atau larutan hipertonik saline 7.5%. Penemuan

yang sama juga didapatkan dengan penggunaan isotonik saline, dextran dan HES, tetapi tidak

dengan albumin (5% atau 25%), darah. Pemberian cairan ringer laktat berhubungan dengan

proses adhesi molekul yang dapat meningkat di paru-paru dan limpa baik yang merupakan

ataupun bukan merupakan tempat pendarahan. Hal ini tidak terlihat ketika hewan tidak

diresusitasi atau diresusitasi dengan darah segar. Meskipun begitu, ketika diikuti dengan syok,

resusitasi dengan cairan ringer laktat berhubungan dengan penemuan histologis dari edem paru

dan inflamasi.

11

Page 12: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

Cairan intravena dengan buffer keton seperti etil piruvat mungkin memiliki efek anti

inflamasi yang berlawanan. Pada tikus, penggunaan antara etil piruvat dengan larutan ringer

laktat menunjukkan sedikit apoptosis sel paru-paru.

Dapat disimpulkan, cairan kristaloid secara luas digunakan untuk resusitasi volume awal

pada sepsis dan syok septik, yang berprinsip untuk “membayar kembali “ hutang cairan

interstisial. Ketika sepsis berlangsung terutama pada fase hipofungsional, terjadi akumulasi

cairan resusitasi pada jaringan, dan hal ini dapat menyebabkan efek yang sebaliknya. Larutan

saline isotonik, ketika diberikan dalam jumlah besar berhubungan dengan asidosis

hiperkloremia; hal ini dapat mempengaruhi aliran darah splanikus dan tentu saja bersifat

nefrotoksik. Cairan ringer laktat dan larutan kristaloid isotonik lainya dapat mengaktifkan

inflamasi dan menyebabkan apoptosis sel, yang kemungkinan memperburuk kerusakan paru-

paru.

4. HIPERTONIK SALINE

Osmolaritas plasma normal adalah 280 hingga 295 mOsm/L. Cairan apapun yang

memiliki osmolaritas melampaui 310 mOsm/L merupakan cairan hipertonis. Pada prakteknya,

hal ini menunjuk kepada larutan hipertonik saline (HS) dan larutan sodium bikarbonat. Tersedia

beragam cairan hipertonik saline yang berbeda; yang tersering digunakan adalah 1.8% HS, 3%

HS, 7,5% HS, dan 23% HS.

Terdapat dua cara penggunaan cairan hipertonik yang telah ditetapkan. Yang pertama

adalah pada ekspansi volume intravaskuler pada pasien dengan syok hipovolemik, yang berarti

volume rendah, dan resusitasi memiliki peranan yang besar. Yang kedua adalah deplesi volume

intraselular. Pendekatan ini secara luas digunakan pada bedah saraf dan perawatan neurocritical

untuk mengurangi volume serebral dan tekanan intrakranial.

HS secara dramatis meningkatkan tekanan osmotik dalam ruangan tempat cairan ini

disuntikkan. Aliran air mengikuti gradient osmotik ke dalam ruangan dan volumenya meluas

selama beberapa jam. Pada ruang intravaskular HS menyebabkan penyusutan sel endotelial,

dilatasi arteriol, dan mengurangi viskositas sehingga menyebabkan peningkatan aliran. Hal ini

juga dapat meningkatkan kontraktilitas otot miokard (meskipun terdapat data yang berbeda dari

pernyataan ini). Akibat metabolik dari HS adalah hipernatremia, hiperosmolaritas, dan asidosis

12

Page 13: Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis

hiperkloremia. Derajat hipernatremia dan hiperosmolaritas lebih rendah daripada yang

diharapkan berhubung pemberian volume yang relatif rendah.

Logika dibalik penggunaan HS pada keadaan syok berdasar dari dua pengamatan: (1)

larutan kristaloid merupakan larutan ekspansi volume plasma yang tidak efisien dan dapat

menyebabkan edema jaringan, dan (2) larutan hipertonik memperluas volume plasma lebih

banyak dibandingkan volume yang diberikan. Akibatnya, terdapat peningkatan keuntungan

hemodinamik dari pemberian jumlah cairan yang relatif rendah. Hal ini dapat digunakan pada

“combat situation”, dimana berat dan ukuran dan peralatan dan bahan merupakan hal yang cukup

penting.

Beberapa penelitian kecil dan laporan kasus menunjukkan bahwa pasien memiliki profil

hemodinamik yang lebih baik ketika diberikan HS dibanding kristaloid isotonis. Tidak ada studi

dari pemberian HS prehospital yang menunnjukkan keuntungan secara statistik. Sebagai contoh,

Mattox dkk memperlajari 422 pasien secara acak dan meneliti antara penggunaan HS prehospital

ditambah dengan dextran (HSD) dengan pemberian cairan kristaloid isotonik dengan volume

setara. Pasien yang telah mendapatkan HSD dan memerlukan operasi memiliki angka

kelangsungan hidup yang meningkat. Wade dkk melaporkan peningkatan angka kelangsungan

hidup pada pasien dengan trauma penetrasi yang diberikan HS. Sebuah meta analisis oleh

kelompok yang sama gagal mendemonstrasikan keuntungan menggunakan HS pada pasien

trauma. Terdapat satu lagi percobaan terbaru yang gagal mendemonstrasikan peningkatan hasil

klinis dalam 6 bulan. Sekarang ini, HS tidak digunakan pada keadaan ini. Kontroversi mayor

pada trauma bukan pada penggunaan HS melainkan pada waktu penggunaannya. Tidak terdapat

studi prospektif yang dari besar terhadap penggunaan HS pada pasien sepsis. Akan tetapi,

penggunaan dari cairan ini meningkat sebagai hasil dari perhatian atas waktu, efek, dan volume

absolut yang diberikan pada awal sepsis. Secara hipotesis, HS dapat meningkatkan seluruh

perfusi sistemik dan diperkirakan juga meningkatkan penghantaran oksigen, dan dapat mengatur

respon inflamasi.

Kesimpulannya, meskipun antusiasme yang besar terhadap hal ini, tidak ada data yang

tersedia untuk mendukung penggunaan HS untuk resusitasi pada pasien septik.

13