preskar terapi cairan sepsis

50
LAPORAN KASUS Management Cairan pada Severe Sepsis Disusun Oleh : Gilang Pradipta Permana 030.10.115 Tri Handayani 030.10.269 Pembimbing : dr. Nurgani Aribinuko, Sp.AnKIC. KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI PSPD FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TRISAKTI – RSUP FATMAWATI Periode 7 Juli – 15 Agustus 2014

Upload: milky1792

Post on 17-Sep-2015

240 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Anestesi

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUSManagement Cairan pada Severe Sepsis

Disusun Oleh :Gilang Pradipta Permana 030.10.115Tri Handayani 030.10.269

Pembimbing :dr. Nurgani Aribinuko, Sp.AnKIC.

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGIPSPD FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TRISAKTI RSUP FATMAWATIPeriode 7 Juli 15 Agustus 2014BAB IPENDAHULUAN

Sepsis merupakan masalah kesehatan utama yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia setiap tahun, menyebabkan kematian satu dari empat orang (seringkali lebih) dan kejadiannya cenderung meningkat. Di Amerika Serikat, sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kematian dan merupakan penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif. Angka kejadian sepsis dilaporkan meningkat dari 82,7 menjadi 240,4 pasien per 100,000 populasi antara tahun 1979 2000 di Amerika Serikat dimana kejadian severe sepsis berkisar antara 51 dan 95 pasien per 100,000 populasi.(1)Sepsis cenderung terjadi dari sumber yang spesifik dan konsisten. Infeksi pernapasan merupakan penyebab paling umum dari sepsis, sepsis berat dan syok septik. Secara keseluruhan, penyebab sekitar setengah dari kasus sepsis adalah infeksi pernapasan. Penyebab tersering selanjutnya adalah infeksi yang bersumber dari genitourinaria dan abdomen dengan bakteremia primer dan penyebab tersering selanjutnya berasal dari sumber yang tidak diketahui. Kejadian disfungsi organ akut berhubungan dengan sumber dari infeksi, seperti pada pasien dengan infeksi pernapasan memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi disfungsi organ pernapasan.(2,3)Faktor risiko sepsis berat terkait dengan kecenderungan pasien untuk terinfeksi dan kemungkinan terjadinya disfungsi organ akut jika infeksi berkembang. Terdapat banyak faktor risiko terjadinya infeksi yang diketahui memicu sepsis berat dan syok septik, termasuk penyakit kronis (misalnya, AIDS, penyakit paru obstruktif kronik dan kanker) dan penggunaan obat imunosupresif.(4)Sepsis sampai saat ini menjadi masalah baik di negara berkembang maupun di negara maju, baik dari segi morbiditas, mortalitas maupun ekonomi. Pemanfaatan kemajuan ilmu kedokteran untuk pengelolaan sepsis dan syok septik berupa digunakannya peralatan monitoring invasif, sarana diagnostik yang lebih canggih, obat vasopressor dan inotropis yang lebih baik serta antibiotik yang lebih kuat memang dapat menekan angka kematian, namun diikuti peningkatan biaya yang sangat besar untuk setiap nyawa yang diselamatkan. Tingginya angka kematian dan konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan mengharuskan perubahan paradigm pengelolaan sepsis, dari tindakan yang baru dikerjakan setelah terjadi sepsis dan komplikasinya, menjadi tindakan penanganan infeksi sebelum terjadi sepsis dan komplikasinya.(5)BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. Sepsis1.1 Definisi dan Kriteria DiagnostikSepsis adalah adanya fokus infeksi (suspek atau sudah terbukti) dengan manifestasi tanda-tanda infeksi secara sistemik.Tabel 1. Diagnostic Criteria for Sepsis2. Infection, documented or suspected, and some of the following:General variablesFever (> 38.3C)Hypothermia (core temperature < 36C)Heart rate > 90/min1 or more than two sd above the normal value for ageTachypneaAltered mental statusSignificant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hr)Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of diabetes

Inflammatory variablesLeukocytosis (WBC count > 12,000 L1)Leukopenia (WBC count < 4000 L1)Normal WBC count with greater than 10% immature formsPlasma C-reactive protein more than two sd above the normal valuePlasma procalcitonin more than two sd above the normal value

Hemodynamic variablesArterial hypotension (SBP < 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, or an SBP decrease > 40 mm Hg in adults or less than two sdbelow normal for age)

Organ dysfunction variablesArterial hypoxemia (Pao2/Fio2 < 300)Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate fluid resuscitation)Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 mol/LCoagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)Ileus (absent bowel sounds)Thrombocytopenia (platelet count < 100,000 L1)Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 mol/L)

Tissue perfusion variablesHyperlactatemia (> 1 mmol/L)Decreased capillary refill or mottling

Bila telah terdapat beberapa tanda dan gejala seperti di atas, harus ditemukan fokus infeksi yang berhubungan dirasa berhubungan dengan tanda dan gejala tersebut agar dapat dikatakan sepsis. Belum disepakati berapa kriteria yang harus dipenuhi untuk mendiagnosis sepsis, sehingga diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan pertimbangan klinis pasien.(6)

2.1 Etiologi Sepsis dapat disebabkan oleh proses infeksi berbeda yang dimulai di tempat-tempat yang berbeda, hal ini dapat diidentifikasi berdasarkan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang detail. Akan tetapi, tanda dan gejala sepsis adalah presentasi pertama dari penyakit pasien. Identifikasi sumber infeksi sangat membantu untuk mengetahui etiologi yang mungkin, yang dapat dipergunakan untuk menentukan antimikroba yang sensitif (contoh : membedakan antara infeksi yang didapatkan di komunitas dengan infeksi nosokomial).

2.2 PatofisiologiInflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan eradikasi organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi berbagai jenis mediator inflames termasuk berbagai sitokin. Mediator inflamasi sangat kompleks karena melibatkan banyak sel dan mediator yang dapat mempengaruhi satu sama lain.Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu pathogen melibatkan bermacam-macam komponen system imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon gama yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah IL-1ra, IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara pro-inflamasi dan anti-inflamasi mediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka dapat memberikan kerugian bagi tubuh. Perkembangan sepsis bergantung pada interaksi antara mikroorganisme dengan host. Akan tetapi, banyak aspek yang berpengaruh dalam perkembangan sepsis, seperti karena kurangnya pemahaman yang tepat tentang interaksi antara kekebalan, peradangan dan koagulasi.

Interaksi Mikroorganisme/host: innate immune responseInteraksi antara mikroorganisme dan host dimulai dengan penempelan substansi mikroorganisme. Pathogen-associated molecular patterns (PAMP), molekul non variable yang mengekspresikan kelompok pathogen yang diidentifikasi oleh standard recognition receptors (SRR) yang mengekspresikan sel dari system imun. Endotoxins dihasilkan dari dinding sel bakteri gram negative dan merupakan suatu lipopolisakarida (LPS). Molekul ini ditransfer ke reseptor CD14 and TLR4 (Toll-like receptor family representative) pada permukaan monosit, makrofag, sel dendritic dan netrofil dengan penempelan plasma LPS yang diketahui sebagai LBP (LPS-binding protein). TLR4 juga tampaknya terlibat dalam pengakuan beberapa protein virus dan asam lipoteichoic (Staphylococcus aureus), meskipun antigen ini juga diakui oleh molekul lain Toll-like receptor family molecule (TLR2). Demikian pula, Toll-like receptor family molecule yang lain seperti terlibat dalam respon kekebalan awal bawaan, termasuk TLR3 (diduga berhubungan dengan identifikasi doublestranded RNA), TLR5 (mampu mengidentifikasi flagellin) dan TLR9 (bertanggung jawab untuk mengidentifikasi DNA bakteri non-alkohol urutan CpG). Dalam infeksi gram positif, Toll-like receptor family molecule, seperti TLR2, bertanggung jawab sebagai sinyal untuk proteoglikan bakteri tersebut. Perlu dicatat bahwa polimorfisme dalam reseptor ternyata memiliki implikasi yang menentukan pada apakah host terinfeksi berkembang menjadi sepsis berat dan renjatan septik atau tidak. Inflamasi dan mediasi system imunSegera setelah pengakuan host dari Pamp dan Toll-like receptors, jalur sinyal dari sel yang berbeda segera dipicu, termasuk NOD (nucleotidebinding oligomerization domain) and MyD88 (myeloid differentiation protein 88) protein intrasel. Interaksi MyD88 dengan enzim IRAK (interleukin-1 receptor associated kinase, a serine-threonine-kinase) menyebabkan pengaktifan IKa dan IKB kinase, membentuk IKK dimer. IKK "Memutus" protein IKB (inhibitor NF-kB) yang terikat pada faktor transkripsi NF-kB nucleus (kB faktor nukleus) Protein IKB bertanggung jawab untuk mengaktifkan gen untuk transkripsi beberapa sitokin yang memiliki peran dalam SIRS (apakah mereka berhubungan dengan infeksi atau tidak). Ini urutan, yang berakhir dengan pelepasan NF kB, menentukan produksi dan sekresi beberapa proinflamasi sitokin, seperti interleukin (IL- 1, IL-2, IL-6, IL-8 dan IL-12), TNF- (tumor necrosis factor alpha) and TNF- (tumor necrosis factor beta), yang dianggap penting untuk pengembangan sepsis. Perlu ditekankan bahwa beberapa pasien meninggal awal karena reaksi inflamasi sistemik yang intens. Namun, anti-inflamasi interleukin IL-4, IL-5, IL-10, IL-11 dan IL-13 yang diproduksi juga, terutama dalam kondisi di mana pasien bertahan untuk mengembangkan gangguan yang berhubungan dengan inflamasi sistemik. Produksi interleukin anti-inflamasi ini memungkinkan pengembangan anergi dan memperlambat respon host terhadap agen penyebab. Jenis imunosupresi, memiliki deskriptor yang berbeda dalam konteks sepsis, termasuk immunoparalysis, jendela immunodeficiency atau kompensasi antiinflamasi dan IL-2 respon syndrome (CARS). regulasi keseimbangan kompleks pro / anti-inflamasi, dengan penekanan pada monosit / makrofag dan adaptif aktivator respon imun. Ketiga memfagosit jaringan nekrosis atau sel bakteri makrofag menginduksi limfosit untuk menganggap fenotipe Th1 mereka, menyebabkan pelepasan zat pro-inflamasi seperti interferon alfa (INF-), interferon delta (INF-). Ketika sel-sel apoptosis difagositosis, dan fenotip limfosit TH2 diaktifkan, hal ini mengarah ke produksi anti-inflamasi interleukin IL-4 dan IL-10. Selain itu., disfungsi neutrofil, terutama terkait dengan kekacauan migrasi neutrofil, sebagai konsekuensi dari penurunan molekul adhesi dan reseptor CXCR2 ekspresi kemokin sekunder untuk rilis intensif mediator proinflamasi,hal ini terbukti menjadi salah satu faktor yang bertanggung jawab untuk meningkatkan keparahan sepsis. Berdasarkan pertimbangan ini, ketidakseimbangan antara mediator pro / anti-inflamasi, yang mungkin termasuk sangat parah immunological dissonance kondisi yang disebut MARS (ketika SIRS and CARS terlihat pada satu pasien menjadi kunci untuk menjelaskan prognosis sepsis. Dalam patofisiologi yang kompleks ini, TNF- memiliki peran yang relevan, merangsang leukosit dan endotel sel untuk melepaskan sitokin lainnya, mengekspresikan adhesi molekul sel permukaan dan meningkatkan omset asam arakidonat. Selain itu, timbal balik antara stimulasi TNF- dan IL-1 mengarahkan untuk perkembangan prokoagulan karena penghambatan thrombomodulin dan mempromosikan serangkaian perubahan hemodinamik sepsis, seperti peningkatan permeabilitas pembuluh darah , mengurangi resistensi pembuluh darah perifer dan inotropisme negatif. Gangguan pada pembuluh darah juga dapat menyebabkan secara langsung melalui endotoksin. Aktivasi jalur alternative dari kaskade komplemen sehingga pelepasan C3A dan C5a, yang menginduksi vasodilatasi, menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan agregasi trombosit dan aktivasi dan agregasi neutrofil. Semua perubahan ini mengarah pada perubahan mikrovaskuler yang terjadi pada renjatan septik. Endotoksin juga menyebabkan pelepasan kallikrein, kininogen dan bradikinin (oleh aktivasi faktor faktor XII, atau Hageman. Secara khusus, bradikinin dianggap sebagai vasodilator kuat yang menyebabkan hipotensi. Aktivasi faktor XII mungkin mengaktivasi jalur koagulasi intrinsic yang menghasilkan Koagulasi intravaskular (DIC). Selain itu, peran oksida nitrat dalam vasodilatasi harus diperhatikan. Sintesis yang meningkat pada pasien dengan sepsis dengan konsekuensi vasodilatasi, yang dapat diatasi dengan menggunakan nitric oxide synthase inhibitors.

Sistem koagulasiAktivasi dari sistem koagulasi melalui ekspresi faktor jaringan, dimediasi oleh mikroorganisme, protein dan sitokin proinflamasi, dan penghambatan antikoagulan endogen (antithrombin III, protein C, protein S dan faktor jaringan inhibitor jalur (TFPI) yang memodulasi koagulasi dan mempercepat fibrinolisis) memiliki peran penting dalam pengembangan keparahan sepsis dan shock sepsis. Skenario ini mungkin termasuk DIC, ditandai dengan (1) aktivasi koagulasi intravaskular, (2) pembentukan dan deposisi fibrin mikrovaskuler, (3) konsumsi platelet dan (4) perubahan khas fibrinolitik. Semua perubahan ini signifikan sebagai prediktor kematian. Obstruksi akibat dari aliran darah ke organ dan jaringan memberikan kontribusi untuk kekurangan perfusi jaringan (meskipun diharapkan karena kritis hipotensi) dan kegagalan sistem organ. Selain itu, konsumsi fibrin dan platelet (karena aktivasi koagulasi intravaskular) dapat menyebabkan pendarahan hebat dengan komplikasi tambahan.

Hasil PhysiopathogenicPerkembangan pada sepsis dapat menyebabkan disfungsi organ multiple. Sistem Mekanisme ini kemungkinan hasil dari cedera endotel yang luas, dengan kebocoran cairan dan konsekuen edema interstisial dan hipovolemia, di samping gangguan koagulasi yang telah dijelaskan sebelumnya (misalnya, pembentukan mikro-trombi mengurangi oksigenasi dan pasokan gizi jaringan). Selain itu, pada sepsis, anti-insulin hormon semakin dirilis (glukagon, kortikosteroid, katekolamin dan hormon pertumbuhan). Hal ini menyebabkan hypermetabolism, termasuk meningkatkan glikogenolisis dan glikogenesis hati; meningkatkan lipolisis, dan katabolisme protein otot, usus dan jaringan ikat. Semua mekanisme ini mengakibatkan hipoksia jaringan, asidosis laktat (laktat di darah meningkat dikaitkan dengan peningkatan keparahan penyakit), dan kematian sel.(7)

3. Severe Sepsis dan Syok SepsisSevere sepsis adalah sepsis dengan disfungsi organ atau tanda-tanda hipoperfusi jaringan (oliguria, kenaikan kadar laktat, atau hipotensi karena infeksi). Tabel 2. Severe SepsisSepsis-induced hypotensionLactate above upper limits laboratory normalUrine output < 0.5 mL/kg/hr for more than 2 hrs despite adequate fluid resuscitationAcute lung injury with Pao2/Fio2 < 250 in the absence of pneumonia as infection sourceAcute lung injury with Pao2/Fio2 < 200 in the presence of pneumonia as infection sourceCreatinine > 2.0 mg/dL (176.8 mol/L)Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 mol/L)Platelet count < 100,000 LCoagulopathy (international normalized ratio > 1.5)

Syok sepsis merupakan hipotensi yang dicetuskan oleh sepsis walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat. Hipotensi yang dimaksud adalah:- tekanan sistolik 0,5 mL/kgBB/jam, dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) 70 mmHg. Target-target tersebut dapat dicapai dengan pemberian kristaloid dan/atau koloid bolus 500 mL tiap 30 menit untuk mencapai CVP 8 12 mmHg. Bila MAP < 65 mmHg diberikan vasopressor dan bila MAP > 90 mmHg diberikan vasodilator. Dilakukan evaluasi ScvO2, bila < 70 mmHg dilakukan koreksi hematokrit hingga 30%. Setelah CVP, MAP, dan hematokrit optimal namun ScvO2 masih < 70 mmHg, dimulai pemberian dobutamin mulai 2,5 g/kgBB/menit dinaikkan tiap 30 menit hingga dosis maksimal 20 g/kgBB/menit. Dosis dobutamin diturunkan bila MAP < 65 mmHg atau frekuensi jantung > 120 kali/menit.3 (lihat gambar 2)Hasil penelitian terhadap 130 pasien dengan 133 kontrol didapatkan penurunan mortalitas pada kelompok early goal directed therapy 30,5% dibandingkan kontrol 46,5% dengan perbaikan pada parameter kadar ScvO2 lebih tinggi, kadar laktat darah lebih rendah, defisit basa lebih rendah, dan pH darah lebih tinggi.(8)

Gambar 2. Protokol early goal directed therapy.

2. Terapi Hemodinamic dan adjuvanPada sepsis berat dan renjatan septik telah terjadi gangguan atau kegagalan pada beberapa atau bahkan pada banyak organ. Gangguan dapat terjadi pada sistem respirasi, kardiovaskular, ginjal, hati, gastrointestinal, hematologi, dan susunan saraf pusat. Terapi suportif merupakan bagian yang sangat penting dalam terapi sepsis karena dapat mencegah dan mengatasi komplikasi akibat sepsis sehingga kondisi pasien dapat dipertahankan atau diperbaiki sebelum antimikroba bekerja. Terapi hemodinamik (selain terapi cairan yang telah dibahas) meliputi :

Oksigenasi dan ventilasiHipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor (delivery) oksigen ke jaringan dapat pula terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard sehingga menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oksigen oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskular, mikrotrombus, dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.Dalam tatalaksana hipoksemia dan hipoksemia semua faktor yang mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, delivery, dan utilisasi oksigen oleh jaringan perlu mendapat perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera dilakukan. Pada pasien sepsis dengan adanya acute lung injury (ALI) atau ARDS direkomendasikan ventilasi dengan low tidal volume positive end expiratory pressure (PEEP). Pada pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik sedasi tidak boleh diberikan berlebihan karena adanya risiko ventilasi yang lama dan pneumonia nosokomial. Titrasi sedasi dan interupsi sedasi harian sampai pasien terbangun menurunkan resiko terkait sedasi. Agen-agen penghambat neuromuskular sebaiknya dihindari untuk mengurangi resiko terjadinya disfungsi neuromuskular berkepanjangan.

Vasopresor dan inotropikVasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan secara titrasi untuk mencapai MAP 65 mmHg atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Pemantauan terhadap tingkat kesadaran dan produksi urin dapat menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan fungsi organ. Agen vasopresor yang dapat digunakan antara lain : dopamin, norepinefrin, fenilefrin, atau epinefrin. Beberapa penelitian menemukan manfaat vasopresin dalam memperbaiki renjatan septik dan mengurangi penggunaan vasopresor. Tetapi masih diperlukan penelitian yang kuat, berskala besar, dan teracak untuk mengetahui efek vasopresin pada fungsi organ serta tingkat ketahanan hidup (survival). Sebagai inotropik dapat digunakan dobutamin, dopamin dosis rendah, epinefrin, atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).Berdasarkan guideline Surviving Sepsis Campaign 2012 merokemendasikan penggunaaan norepienphrine (dosis hingga 0.03 U/min) sebagai vasopresor pilihan utama. Sedangkan untuk penggunaan dopamine sebagai alternatif vasopresor pada pasien tertentu seperti pada pasien dengan risiko rendah takiaritmia dan bradicardia). Sedangkan penggunaan fenilefrin tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan renjatan sepsis kecuali pada keadaan terntentu seperti pasien dengan aritmia akibat norepineprin, cardiac output diketahui meningkat dan tekanan darah persisten turun dan MAP tidak mencapai target pada penggunaan kombinasi vasopresin dosis rendah dan inotropik/obat vasopresor.Penggunaan dobutamin (20 g/kg/min) sebagai inotropik adalah pilihan utama pada pasien dengan cardiac output yang rendah, dapat dikombinasikan dengan vasopressor pada keadaan tertentu seperti pada pasien disfungsi myocardial.

Terapi Kortikosteroid Berdasarkan Guideline Surviving Sepsis Campaign 2012 tidak merekomendasikan penggunaan hydrocortisone iv untuk manajemen renjatan sepsis pada pasien dewasa jika resusitasi cairan diberikan secara adekuat dan vasopressor dapat mengembalikan stabilitas hemodinamic (tercapainya target pada resusitasi awal). Kecuali tidak tercapainya target tersebut makan dapat diberikan hydrocortisone iv 200 mg/day.

Eliminasi Sumber InfeksiDokter harus mencari dengan seksama kemungkinan tempat-tempat sumber infeksi tersembunyi yang dapat menyebabkan terjadinya sepsis. Bila kecurigaan berasal dari kateterisasi intravena, maka harus dilepas dan ujungnya dioleskan pada piringan agar darah untuk keperluan kultur dan pemasangan kateter yang baru dilakukan di tempat lain. Foley catheter juga harus diganti. Kemungkinan adanya sinusitis paranasal harus dicurigai bila pasien mendapatkan intubasi nasal. Pada pasien dengan abnormalitas gambaran radiologis toraks, dianjurkan untuk dilakukan CT scan dada untuk mengidentifikasi adanya penyakit parenkim, mediastinal, atau pleura yang tak diduga sebelumnya. Pada pasien dengan neutropenia, lesi kulit yang nyeri dan kemerahan terutama di daerah perianal harus dicari dengan seksama. Pada pasien dengan ulkus dekubitus sakral atau ischial, sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan adanya koleksi pus di pelvis atau jaringan lunak lainnya (jika perlu dilakukan CT-scan atau MRI). Jika kecurigaan sepsis berasal dari traktus urinarius, USG atau CT-scan dapat dilakukan untuk menyingkirkan adanya obstruksi ureter, abses perinefrik, atau abses renal.Eliminasi sumber infeksi dilakukan dengan tujuan menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak dapat mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi, atau implan prostesis yang terinfeksi. Bilamana sumber infeksi penyebab sepsis telah diidentifikasi, misalnya berasal dari organ intra abdomen atau pelvis, tindakan berupa drainase, melepaskan obstruksi, reseksi organ, atau lavase diperlukan untuk mengontrol sumber infeksi tersebut.

Terapi AntimikrobaTerapi antimikroba merupakan modalitas yang sangat penting dalam tatalaksana sepsis. Terapi antimikroba harus segera diberikan pada pasien sepsis setelah sampel darah dan tempat lain yang diduga menjadi sumber infeksi diambil untuk keperluan kultur, diusahakan diberikan dalam 1 jam setelah diagnosis sepsis berat atau renjatan sepsis ditegakkan. Dalam pemberian dan pemilihan terapi antibiotik empirik harus mempertimbangkan kemungkinan patogen penyebab berdasarkan kemungkinan tempat sumber infeksi; pola resistensi kuman di masyarakat dan rumah sakit, profil farmakokinetik, dosis, cara pemberian, dan keamanan antibiotik; serta biaya. Regimen terapi antibiotik empiris sebaiknya menggunakan antibiotik yang efektif terhadap bakteri Gram negatif dan Gram positif, dapat monoterapi maupun kombinasi. Diberikan secara intravena dengan dosis maksimal yang direkomendasikan. Jika hasil kultur sudah tersedia, pemberian antibiotik dapat disesuaikan dengan patogen yang menjadi penyebab dan tingkat resistensinya. Berikut ini adalah beberapa pilihan antibiotik empiris disesuaikan dengan tempat sumber infeksi :

Gambar 3. Regimen Antibiotik untuk pasien dengan renjatan sepsis

Sebagian besar pasien memerlukan terapi antimikroba paling sedikit 7 hari (1 minggu). Guideline Surviving Sepsis Campaign 2012 merekomendasikan pemberian antibiotik selama 7 10 hari tergantung respon klinis. Lamanya pemberian antibiotik biasanya tergantung beberapa faktor seperti sumber infeksi, kelayakan drainase bedah, penyakit pasien sebelumnya, dan resistensi kuman yang didapat dari kultur. Sedangkan Empiric kombinasi tidak boleh diberikan lebih dari 3-5 hari.

3. Terapi suportif pada severe sepsisTransfusi eritrosit (packed red cell) diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bilamana kadar hemoglobin (Hb) yang rendah pada kondisi tertentu seperti renjatan septik.2 Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi tetapi guideline Surviving Sepsis Campaign 2012 merekomendasikan kadar 7 9 g/dL atau sesuai protokol early goal directed therapy sampai dicapai kadar hematokrit 30%. guideline Surviving Sepsis Campaign 2012 tidak merekomendasikan penggunaan eritropoietin sebagai terapi spesific anemia yang berkaitan dengan severe sepsis dan fresh frozen plasma juga tidak direkomendasikan untuk mengkoreksi kelainan pembekuan namun merekomendasikan antitrombin untuk terapi pada severe dan renjatan sepsis.Gangguan fungsi ginjal pada sepsis dan renjatan terjadi secara akut disebabkan karena gangguan perfusi ke organ tersebut. Bilamana pasien dalam keadaan hipovolemik atau hipotensi, keadaan ini harus segera diperbaiki dengan pemberian cairan secara adekuat, terapi dengan vasopresor dan inotropik diperlukan. Pada keadaan oliguria, pemberian cairan perlu dipantau secara ketat oleh karena pemberian cairan secara agresif dapat menyebabkan edema paru. Dopamin dosis renal (1 3 mcg/kgBB/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, akan tetapi secara evidence based terapi ini tidak terbukti menurunkan mortalitas dan menurunkan kebutuhan akan dialisis. Sebagai terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu pada pasien sepsis dengan gagal ginjal akut. Baik hemodialisis maupun hemofiltrasi merupakan terapi pengganti yang saling melengkapi. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan sedangkan apabila kondisi pasien telah stabil dapat dilakukan hemodialisis. Tetapi sampai saat ini belum terdapat cukup bukti kuat yang memperlihatkan manfaat terapi tersebut dalam memperbaiki outcome.Pada penderita sepsis baik yang sebelumnya menderita diabetes melitus ataupun tidak, sering terjadi peningkatan kadar gula darah. Guideline Surviving Sepsis Campaign merekomendasikan dilakukannya kontrol kadar gula darah dengan target < 180 mg/dL.Nutrisi merupakan terapi suportif yang penting dan harus diperhatikan dalam perawatan pasien sepsis. Pada sepsis terjadi stress yang menyebabkan gangguan metabolisme berbagai zat nutrisi. Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak, cairan, vitamin, dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara parenteral dan bila tidak menungkinkan baru diberikan secara parenteral. Pada pasien sepsis berat dan renjatan sepsis juga direkomendasikan dilakukan terapi profilaksis terhadap terjadinya trombosis vena dalam serta profilaksis stress ulcer untuk mencegah timbulnya perdarahan saluran cerna bagian atas dengan pemberian obat golongan antagonis H2 atau proton pump inhibitor (PPI).Seperti disebutkan di atas, banyak agen antiinflamatorik, imunomodulator, antibakterial, dan antikoagulan yang diteliti kegunaannya dalam penatalaksanaan sepsis tetapi sebagian besar tidak menunjukkan adanya manfaat yang berarti terutama dalam menurunkan tingkat mortalitas atau memperbaiki outcome. Agen yang terbukti bermanfaat adalah suatu antikoagulan, recombinant human activated protein C (rhAPC) yang dikenal dengan nama drotrecogin alfa. Sebuah penelitian pada tahun 2001 memperlihatkan bahwa pemberian drotrecogin alfa secara intravena dengan dosis 24 g/kgBB/jam selama 96 jam menurunkan tingkat mortalitas dibandingkan dengan plasebo. tahun 2008 Pemberian rhAPC direkomendasikan pada pasien-pasien sepsis berat dengan skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II 25 atau terdapat kegagalan dua atau lebih organ. Keberhasilan terapi sepsis dengan rhAPC diduga karena agen ini selain mempunyai efek antikoagulan juga bersifat antiinflamatorik. Namum berdasarkan PROWESS SHOCK trial yang direleased di akhir 2011, menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan dari rhAPC pada pasien dengan renjatan sepsis.(7)

BAB IIILAPORAN KASUS

Identitas PasienNama:Ny. NopiJenis Kelamin :PerempuanUmur:35 tahun 9 bulanPendidikan :Tamat SLTAPekerjaan : Ibu rumah tanggaAgama :IslamWarga negara :Indonesia Alamat :Gandaria Utara, Jakarta SelatanWaktu Masuk RSF:24 Juli 2014 20.00 WIBNo.RM:01301701

Keluhan UtamaSesak sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.Keluhan TambahanNyeri pada ulu hati hilang timbul berbarengan dengan sesak dan tidak sadarkan diri dengan suara mengorok.Riwayat Penyakit SekarangPasien mengeluh sesak yang memberat sejak 3 hari yang lalu dibarengi nyeri ulu hati yang hilang timbul. Sehari sebelum ke rumah sakit sesak dirasakan memberat. Pasien kemudian masuk ke ICU dan tidak sadarkan diri dengan suara seperti mendengkur.

Riwayat Penyakit DahuluPasien mengaku menderita darah tingg dan menyangkal riwayat asma, kencing manis, dan alergi. Saat ini mengkonsumsi obat captopril 25 mg, amlodipine 10 mg dan obat lambung. Terdapat riwayat operasi appendektomi 1 bulan yang lalu.Riwayat Penyakit KeluargaPasien mengaku terdapat anggota keluarga yang menderita darah tinggi. Penyakit jantung, kencing manis, dan alergi dalam keluarga disangkal. Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama.Riwayat KebiasaanPasien mengaku terkadang merokok, tidak menggunakan narkoba, minum jamu, alkohol dan jarang berolahraga.Pemeriksaan Fisik0. Status generalis0. Keadaan umum: Sakit berat0. Kesadaran: Somnoloen0. Tinggi badan: 155 cm0. Berat badan: 80 kg0. BMI: 33 kg/m20. Status gizi: Obesitas 10. Tanda vital0. Tekanan darah: 220/120 mmHg0. Nadi: 140 x/menit0. Napas: 28 x /menit, tidak teratur0. Suhu: 360 c0. Kulit1. Warna: Sawo matang0. Kepala: Normochepali, rambut hitam tersebar merata, tidak mudah dicabut0. Mata: Inspeksi : alis mata cukup, warna hitam, enoftalmus (-/-), eksoftalmus (-/-), nistagmus (-/-), ptosis (-/-), lagoftalmus (-/-), edema palpebra (-/-), bulu mata lentik, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), tampak berair, pterigium (-/-), ulkus kornea (-/-), pupil bulat isokor 3 mm/3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+), kekeruhan lensa (-/-) Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal0. Hidung, telinga, tenggorokan:Hidung : Inspeksi : Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-/-), deviasi septum (-/-), konka nasal hiperemis (-/-), edema (-/-) Palpasi : nyeri tekan pada sinus maksilaris (-/-), etmoidalis(-/-), frontalis(-/-)Telinga : Inspeksi : Preaurikuler : hiperemis (-/-), abses (-/-), massa (-/-), skar (-/-), Aurikuler : normotia, hiperemis (-/-), pseudokista (-/-), Postaurikuler : hiperemis (-/-), abses (-/-), massa (-/-), skar (-/-), Liang telinga : lapang, serumen (-/-), otorhea (-/-), membran timpani intakTenggorokan dan Rongga mulut : Inspeksi :Bucal : warna normal, ulkus (-), Lidah : pergerakan simetris, massa (-), ulkus (-), plak (-)Palatum : mole dan uvula simetris pada keadaan diam dan bergerak, arkus faring simetris, penonjolan (-)Tonsil : T1/T1, kripta (-/-), detritus(-/-), membran (-/-)Dinding anterior faring licin, hiperemis (-), Dinding posterior faring licin, hiperemis (-), post nasal drip (-)Pursed lips breathing (-), karies gigi (+), kandidisasis oral (-)0. Leher: Inspeksi : bentuk simetris, warna normal, penonjolan vena jugularis (-), tumor (-), retraksi suprasternal (-), tidak tampak perbesaran KGB Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran tiroid (-), posisi trakea ditengah, KGB tidak teraba membesar Auskultasi : bruit (-) Pemeriksaan JVP 5+7 mmHg0. ParuToraks depan Inspeksi : penggunaan otot bantuan nafas (-), retraksi sela iga (-), bentuk dada normal, barrel chest (-), pectus carinatum (-), pectus ekskavatum (-), pelebaran sela iga (-), tumor (-), skar (-), emfisema subkutis (-), spider naevi (-), pergerakan kedua paru simetris statis dan dinamis, pola pernapasan normal Palpasi : massa (-), emfisema subkutis (-), ekspansi dada simetris, vokal fremitus simetris, pelebaran sela iga (-) Perkusi : sonor pada kedua lapang paru, batas paru hati pada garis midklavikula kanan sela iga 6, peranjakan hati sebesar 2 jari, batas paru lambung pada garis aksilaris anterior kiri sela iga 8 Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (+/+), amforik (-/-)0. Jantung Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 3 jari lateral dari linea midklavikula sinistra ICS VI, thrill (-) Perkusi : Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra, batas jantung kiri ICS V linea midklavikula sinistra, pinggang jantung ICS II linea midklavicula sinistra Auskultasi : BJ I-II regulernormal, murmur (-), gallop (-)0. Abdomen Inspeksi : simetris, datar, striae (-), skar (-), penonjolan (-), bekas operasi (-), kaput medusa (-) Auskultasi : BU (+) normal, metalic sound (-), borborigmi (-), bruit (-) Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba, ginjal : ballotement (-/-) Perkusi : timpani, shifting dullnes (-), undulasi (-), fenomena papan catur (-), nyeri ketok CVA (-/-)

0. EkstremitasPemeriksaanKananKiri

AtasAkral dinginClubbing finger (-)Edema (-)Sianosis (-)CRT < 3 detikDeformitas (-)Akral dinginClubbing finger (-)Edema (-)Sianosis (-)CRT < 3 detikDeformitas (-)

BawahAkral dinginEdema (+) pittingSianosis (-)CRT 10 mg/L

25 Juli 2014 17.00PemeriksaanNilai NormalHasil Pemeriksaan

Elektrolit Darah Magnesium Calsium ion1.30-2.70 mg/dl1-1.15 mmol/L1.97 mg/dl0.90 mmol/L

Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiografi 24 Juli 2014 pukul 20.32

Sinus takhikardi, hipertrofi ventrikel kiri, segmen ST dan gelombang T abnormal

25 Juli 2014 pukul 05.50

Sinus takhikardi

25 Juli 2014 pukul 12.23

Sinus takhikardi, segmen ST dan gelombang T abnormal

Foto thoraks25 Juli 2014 15.00

BAB IVPEMBAHASAN

A. Diagnosis Severe SepsisBerdasarkan laporan kasus, pasien dapat ditegakkan diagnosa severe sepsis berdasarkan: Table 4. Diagnostic Criteria for SepsisInfection, documented or suspected, and some of the following:General variablesFever (> 38.3C) Hypothermia (core temperature < 36C)Heart rate > 90/min1 or more than two sd above the normal value for age (#)Tachypnea (#)Altered mental status (#)Significant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hr) (#)Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of diabetes(#)

Inflammatory variablesLeukocytosis (WBC count > 12,000 L1) (#)Leukopenia (WBC count < 4000 L1)Normal WBC count with greater than 10% immature formsPlasma C-reactive protein more than two sd above the normal valuePlasma procalcitonin more than two sd above the normal value

Hemodynamic variablesArterial hypotension (SBP < 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, or an SBP decrease > 40 mm Hg in adults or less than two sd below normal for age)

Organ dysfunction variablesArterial hypoxemia (Pao2/Fio2 < 300)Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate fluid resuscitation)Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 mol/L (#)Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)Ileus (absent bowel sounds)Thrombocytopenia (platelet count < 100,000 L1)Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 mol/L)

Tissue perfusion variablesHyperlactatemia (> 1 mmol/L)Decreased capillary refill or mottling

(#) =Terdapat pada pasien

Pada saat pemeriksaan fisik dan laboratorium di IGD, pasien dapat didiagnosis suspek sepsis karena terdapat kenaikan frekuensi nadi, takipnea, edema, penurunan kesadaran, hiperglikemik, kadar kreatinin meningkat dan kemungkinan fokus infeksi pada paru (pneumonia) berdasarkan gejala sesak dan bercak di paru.

Table 5. Severe SepsisSevere sepsis definition = sepsis-induced tissue hypoperfusion or organ dysfunction (any of the following thought to be due to the infection)Sepsis-induced hypotensionLactate above upper limits laboratory normalUrine output < 0.5 mL/kg/hr for more than 2 hrs despite adequate fluid resuscitationAcute lung injury with Pao2/Fio2 < 250 in the absence of pneumonia as infection sourceAcute lung injury with Pao2/Fio2 < 200 in the presence of pneumonia as infection source(#)Creatinine > 2.0 mg/dL (176.8 mol/L) (#)Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 mol/L)Platelet count < 100,000 LCoagulopathy (international normalized ratio > 1.5)

(#) = terdapat pada pasienKemudian setelah pemeriksaan di IGD lebih lanjut, didapatkan tanda-tanda disfungsi organ seperti, PaO2/FiO2 < 200 (pada pasien 93,3/60% = 155,5), dan kadar kreatinin meningkat sehingga dapat dikatakan pasien mengalami sepsis berat. Pemeriksaan PCT-Q >10 di ICU semakin menguatkan diagnosis sepsis berat.Pada pasien ini tidak terdiagnosis sepsis berat ketika berada di IGD sehingga tidak dilakukan terapi untuk sepsis.

B. Managemen Cairan pada Severe Sepsis

Penanganan Awal

Pada 3 jam awal terdiagnosis sepsis berat, pasien seharusnya diukur kadar laktat, kultur darah, pemberian antibiotik spektrum luas dan pemberian kristaloid 30 ml/kg (bila kadar laktat 4 mmol/L) seperti pada Surviving Sepsis Campaign di atas. Penanganan awal seperti pemberian kristaloid tidak dilakukan pada pasien ini mungkin atas dasar pertimbangan pasien mengalami Acute Coronary Syndrome dan Acute Lung Oedem sehingga diberikan diuretik. Pemeriksaan echocardiogram perlu dilakukan untuk memastikan ada masalah pada kontraktilitas jantung sehingga dapat diberikan inotropik bila dibutuhkan.

Terapi Cairan Severe Sepsis

Pasien seharusnya diberikan penanganan algoritma Early goal directed therapy. Pasien perlu dilakukan intubasi dan pemasangan kateterisasi vena sentral. Setelah itu diukur CVP, bila