resusitasi-cairan 2

62
BAB I PENDAHULUAN Sebagian besar tubuh manusia terdiri atas cairan yang jumlahnya berbeda-beda tergantung usia dan jenis kelamin serta banyaknya lemak di dalam tubuh. Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan air, elektrolit serta nutrien-nutrien yang lain. Dalam waktu 24 jam jumlah air dan elektrolit yang masuk setara dengan jumlah yang keluar. Pengeluaran cairan dan elektrolit dari tubuh dapat berupa urin, tinja, keringat dan uap air pada saat bernapas. 1,2 Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukkan air, elektrolit serta zat-zat makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat pasien harus berpuasa lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah dan lain-lain. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit akan terpenuhi. Selain itu, terapi cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa. 1,2 Manajemen resusitasi cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan 1

Upload: winna-eka-p

Post on 04-Jan-2016

10 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

resusitasi-cairan 2

TRANSCRIPT

Page 1: resusitasi-cairan 2

BAB I

PENDAHULUAN

Sebagian besar tubuh manusia terdiri atas cairan yang jumlahnya berbeda-

beda tergantung usia dan jenis kelamin serta banyaknya lemak di dalam tubuh.

Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan air, elektrolit serta nutrien-nutrien

yang lain. Dalam waktu 24 jam jumlah air dan elektrolit yang masuk setara

dengan jumlah yang keluar. Pengeluaran cairan dan elektrolit dari tubuh dapat

berupa urin, tinja, keringat dan uap air pada saat bernapas.1,2

Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukkan air, elektrolit

serta zat-zat makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat pasien harus

berpuasa lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok

hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah dan lain-lain. Dengan terapi cairan

kebutuhan akan air dan elektrolit akan terpenuhi. Selain itu, terapi cairan juga

dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau juga

digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa.1,2

Manajemen resusitasi cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen

dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input

cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air

dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan

cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.

1

Page 2: resusitasi-cairan 2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Fisiologi Cairan Tubuh

2.1.1. Karakteristik Air

Air adalah senyawa esensial untuk semua makhluk hidup dan mempunyai

beberapa karakteristik fisiologik, diantaranya : media utama pada reaksi

intrasel dan diperlukan oleh sel untuk mempertahankan kehidupan. Hampir

semua reaksi biokimia tubuh terjadi dalam media air, sehingga dapat

dikatakan air merupakan pelarut dalam kehidupan. Air juga merupakan pelarut

terbaik untuk solut polar dan ionik, media transport untuk sistem sirkulasi,

ruang di sekitar sel (ruang intravaskuler, interstisium) dan intrasel. Selain itu,

air mempunyai panas jenis, panas penguapan dan daya hantar panas yang

tinggi, sehingga berperan penting dalam pengaturan suhu tubuh.5

2.1.2. Jumlah Air Tubuh

Total Body Water (TBW) dapat ditentukan melalui beberapa perhitungan

yang menerapkan teknik dilusi dengan menggunakan berbagai zat seperti

deuterium, tritium dan antipirin. Cara tersebut yaitu dengan pengukuran

cairan kompartemen tubuh berdasarkan perhitungan konsentrasi suatu zat

tertentu yang terdistribusi dengan sendirinya di dalam kompartemen.

Sementara pengukuran volume tubuh yang tidak mengandung zat tertentu,

dilakukan dengan melakukan pengurangan, misalnya pada pengukuran ICF

(intraseluler fluid) dan ISFV (interstitial fluid volume).3,4,5,6

Jumlah cairan tubuh total kurang lebih 55-60% dari berat badan (BB) dan

persentase ini berhubungan dengan jumlah lemak tubuh, jenis kelamin dan

umur. Pengaruh terbesar berhubungan dengan jumlah lemak tubuh.

Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dibandingkan kandungan air

di dalam sel otot, sehingga persentase cairan total tubuh pada orang gemuk

(obes) lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk. Pada bayi dan anak,

persentase cairan tubuh total lebih besar dibanding dengan orang dewasa dan

akan menurun sesuai dengan pertambahan usia. Pada bayi prematur jumlah

2

Page 3: resusitasi-cairan 2

cairan tubuh total sebesar 80% dari BB, sedangkan pada bayi normal 70%-

75% dari BB, pra-pubertas 65-70% dari BB, dan pada orang dewasa sebesar

55-60% dari BB.3,5,6

Kadar lemak pada wanita umumnya lebih banyak dibanding pria, sehingga

kadar air pada pria lebih besar daripada wanita. Makin tua seseorang, biasanya

jumlah lemaknya meningkat sedangkan jumlah airnya makin berkurang.

Kadar air tubuh total berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel berikut :

Usia Pria Wanita

10-18 59% 57%

18-40 61% 51%

40-60 55% 47%

>60 52% 46%

Tabel 1. Persentase Cairan Tubuh Berdasarkan Usia7

Bila diperkirakan rata-rata orang dengan berat 70 kg, memiliki total cairan

tubuh 60% BB, atau 42 liter merupakan air, yang tetap bergantung pada umur,

jenis kelamin dan derajat obesitas, maka perhitungan cairan tubuh total

menggunakan rumus :3,5

Jumlah total air tubuh (L) = BB (kg) x 60%

Perhitungan ini hanya berlaku untuk individu dalam keadaan

keseimbangan cairan tubuh normal. Untuk dewasa obes hasil perhitungan

rumus dikurangi 10%, sedangkan untuk orang kurus ditambahkan 10%.

Pada keadaan dehidrasi berat, cairan tubuh total berkurang sekitar 10%,

maka pada keadaan dehidrasi berat cairan tubuh total dihitung dengan rumus : 3,5

Jumlah total air tubuh (L) = 0,9 x BB (Kg) x 60%

Perhitungan tersebut di atas tidak dapat digunakan pada keadaan

dijumpainya edema karena kemungkinan kesalahan sangat besar.

3

Page 4: resusitasi-cairan 2

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada

perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare dan puasa preoperatif

maupun perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika

gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi

dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.

2.1.3. Kompartemen Cairan Tubuh

Cairan tubuh terdapat dalam dua kompartemen besar, yaitu cairan intrasel

(Intraceluler Fluid, ICF) dan cairan ekstrasel (Ekstraceluler Fluid, ECF).3,4,5,6

a. Kompartemen Cairan Intrasel (ICF)

Cairan intrasel adalah cairan yang terdapat dalam sekitar 75 triliun sel

tubuh. Volumenya lebih kurang 40% BB (60% TBW).1,2 Kandungan air

intrasel lebih banyak dibanding ekstrasel. Persentase volume cairan intrasel

pada anak lebih kecil dibandingkan orang dewasa karena jumlah sel lebih

sedikit dan ukuran sel lebih kecil. Cairan intrasel berperan pada proses

menghasilkan, menyimpan, dan penggunaan energi serta proses perbaikan sel.

Selain itu, cairan intrasel juga berperan dalam proses replikasi dan berbagai

fungsi khusus antara lain sebagai cadangan air untuk mempertahankan volume

dan osmolalitas cairan ekstrasel.3,5

Kandungan elektrolit dalam cairan intrasel bervariasi. Kation utama adalah

Kalium, sedangkan anion utama adalah fosfat dan protein. Ion K+, Mg2+, dan

PO+42+ merupakan solute yang dominan untuk menimbulkan efek osmosis

pada cairan intrasel. Ion K+ juga penting dalam biolistrik. Konsentrasi Ca2+

intrasel sangat rendah.3,6

4

Page 5: resusitasi-cairan 2

Gambar 1. Kompartemen Cairan Tubuh8

b. Kompartemen Cairan Ekstrasel (ECF)

Cairan ekstrasel adalah cairan yang terdapat di luar sel tubuh. Cairan

ekstrasel terdiri dari : Cairan Interstitium atau cairan antar-sel yang berada

diantara sel-sel, cairan intravaskuler yang berada dalam pembuluh darah yang

merupakan bagian air dari plasma darah dan cairan trans-sel yang berada

dalam rongga-rongga khusus, yaitu : cairan otak (liquor serebrospinal), bola

mata, sendi, peritoneum dan perikardium yang jumlahnya relatif sedikit.

Cairan trans-seluler seluruhnya berjumlah 1-2 liter.3,5

Jumlah seluruh cairan ekstrasel 20% BB (40% TBW) atau sekitar 14 liter

pada orang dewasa normal dengan BB 70 kg. Dua kompartemen terbesar dari

cairan ekstrasel adalah cairan interstitial, yang berjumlah lebih dari tiga

perempat bagian cairan ekstrasel dan plasma, yang berjumlah hampir

seperempat cairan ekstrasel, atau sekitar 3 liter. Plasma adalah bagian darah

yang tak mengandung sel, plasma terus-menerus menukar zat dengan cairan

interstisial melalui pori-pori membran kapiler. Pori-pori ini bersifat sangat

permeabel untuk hampir semua zat terlarut dalam cairan ekstrasel, kecuali

protein. Oleh karena itu, cairan ekstrasel secara konstan terus tercampur,

5

Page 6: resusitasi-cairan 2

sehingga plasma dan cairan interstisial mempunyai komposisi yang hampir

sama kecuali protein, yang konsentrasinya lebih tinggi di dalam plasma.3,5

Cairan ekstrasel berperan sebagai pengantar semua keperluan sel (nutrien,

oksigen, berbagai ion, trace minerals dan regulator hormon/molekul) dan

sebagai pengangkut CO2, sisa metabolisme, bahan toksik atau bahan yang

telah mengalami detoksifikasi dari sekitar lingkungan sel.3,5

Kompisisi bahan yang terlarut dalam subkompartemen cairan ekstrasel

(plasma dan cairan interstisium) ternyata berbeda. Hal tersebut disebabkan

oleh pengaruh keseimbangan Gibbs-Donnan, kadarnya tinggi pada cairan

interstisium, kecuali untuk ion Ca2+ dan Mg2+ karena ion ini banyak yang

terikat pada protein plasma. Perbedaan yang nyata antara cairan ekstrasel dan

intrasel adalah pada kationnya. Kation utama pada cairan ekstrasel adalah

natrium (Na+) dan dalam cairan intrasel kalium (K+). Kation ekstrasel lainnya

adalah kalium (K+), kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+). Untuk menjaga

netralitas listrik, di dalam cairan ekstrasel terdapat anion klorida, bikarbonat,

dan albumin. Natrium, kalium, klorida dan bikarbonat merupakan elektrolit

penting karena kontribusinya sebagai daya osmotik untuk mempertahankan air

dalam cairan ekstrasel. Natrium dan kalium mempengaruhi tekanan osmotik

kristaloid cairan ekstrasel dan intrasel serta secara langsung berhubungan

dengan fungsi sel dalam proses biolistrik.3,5

Konsentrasi natrium merupakan kontribusi utama dalam osmolalitas serum

dan penentu utama tonisitas plasma. Jumlah natrium di dalam cairan ekstrasel

merupakan hasil keseimbangan dua faktor, yaitu uptake natrium di saluran

cerna dan ekskresi natrium di ginjal dan tempat lain. Natrium adalah

komponen utama cairan ekstrasel karena selalu dipompa keluar sel oleh

natrium-kalium ATPase.3,5

6

Page 7: resusitasi-cairan 2

  

   Extracellular

Gram-Molecular Weight

Intracellular (mEq/L)

Intravascular (mEq/L)

Interstitial (mEq/L)

Sodium 23.0 10 145 142

Potassium 39.1 140 4 4

Calcium 40.1 < 1 3 3

Magnesium 24.3 50 2 2

Chloride 35.5 4 105 110

Bicarbonate 61.0 10 24 28

Phosphorus 31.01 75 2 2

Protein (g/dL)

16 7 2

Tabel 2. Elektrolit Cairan Tubuh8

Komposisi bahan lain adalah non elektrolit yang merupakan zat seperti

glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat lainnya termasuk

penting adalah kreatinin dan bilirubin.

7

Gambar 2.8

.

Page 8: resusitasi-cairan 2

2.1.4. Volume Darah3

Darah mengandung cairan ekstrasel (cairan dalam plasma) dan cairan

intrasel (cairan dalam sel darah merah). Akan tetapi, darah dianggap sebagai

kompartemen cairan terpisah karena darah terkandung dalam ruangannya

sendiri, yaitu sistem sirkulasi. Volume darah khususnya penting dalam

dinamika sistem kardiovaskuler.

Rata-rata darah orang dewasa adalah sekitar 7% BB atau sekitar 5 liter.

Sekitar 60% darah berupa plasma dan 40% berupa sel darah merah, namun

persentase ini dapat bervariasi pada masing-masing orang, bergantung pada

jenis kelamin, berat badan dan faktor lainnya.

Hematokrit (Packed Red Cell Volume) adalah fraksi darah yang terdiri

atas sel darah merah, yang ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam

“tabung hematokrit” sampai sel-sel ini menjadi benar-benar mampat di bagian

bawah tabung. Pada pria, nilai hematokrit yang terukur normalnya 0,40, dan

pada wanita kira-kira 0,36. Penurunan nilai hematokrit terdapat pada anemia,

sedangkan peningkatannya terjadi pada kasus polisitemia.

2.1.5. Keseimbangan Gibbs-Donnan

Keseimbangan Gibbs-Donnan adalah keseimbangan antara cairan intra dan

ekstrasel yang timbul akibat peran membran sel. Protein yang merupakan

suatu molekul besar bermuatan negatif, bukan hanya ukuran molekulnya yang

besar namun merupakan suatu partikel aktif yang berperan mempertahankan

tekanan osmotik. Protein ini tidak dapat berpindah, ia mempengaruhi ion

mempertahankan netralitas elektrolit (keseimbangan muatan positif dan

negatif) sebanding dengan keseimbangan tekanan osmotik di kedua sisi

membran. Pergerakan muatan ion akan menyebabkan perbedaan konsentrasi

ion yang secara langsung mempengaruhi pergerakan cairan melalui membran

ke dalam dan keluar sel.5

2.1.6. Solut

8

Page 9: resusitasi-cairan 2

Terdapat dua jenis solut (zat terlarut) yaitu solut permeable dan

impermeabel. Solut permeabel adalah solute di dalam tubuh yang bersifat

inefektif dalam mempertahankan tekanan osmotik. Solut permeabel bebas

melintasi seluruh membran sel, tidak efektif dalam mempertahankan tekanan

osmotik dan tidak menyebabkan perpindahan air. Solut permeabel terdiri dari

urea (blood urea nitrogen, BUN), etanol, methanol (zat toksik) dan etilen

glikol. Urea yang solut permeabel, mudah melintasi membran sel, menyebar

pada seluruh cairan tubuh. Solut impermeabel adalah zat terlarut atau solut di

dalam tubuh yang bersifat efektif, tidak bebas melintasi membran sel (dari

ekstraseluler ke intraseluler atau sebaliknya), namun efektif mempengaruhi

tekanan osmotik dan dapat menyebabkan perpindahan air. Solut impermeabel

intrasel adalah kalium, magnesium, fosfat, sulfat dan protein. Solut

impermeabel ekstrasel adalah natrium dan anionnya (Cl, HCO3-), glukosa,

manitol, gliserol, sorbitol.5

Urea dan glukosa merupakan komponen non-ionik osmolalitas plasma.

Konsentrasi glukosa dan urea pada keadaan nonpatologik relatif stabil dan

merupakan petunjuk (indeks) osmolalitas plasma. Dalam keadaan normal

glukosa berdifusi ke dalam sel, sehingga tidak besar pengaruhnya pada

tonisitas serum. Glukosa adalah osmol efektif, bila konsentrasi glukosa

ekstrasel sangat tinggi dapat menimbulkan keadaaan hipertonisitas sehingga

air intrasel bergerak keluar, masuk ke dalam kompartemen ekstrasel. Solut

idiogenik adalah solut impermeabel instrasel yang merupakan molekul

osmoprotektif intrasel yang dibentuk pada keadaan hipertonik. Pada keadaan

hipernatremia, solut idiogeniknya adalah natrium, asam amino, taurin,

glutamate dan sorbitol.3,5

2.1.7. Osmolalitas dan Osmolaritas3,5,6

Osmolalitas dan osmolaritas adalah jumlah solut permeabel ditambah solut

impermeabel. Dalam keadaan normal, osmolalitas cairan intrasel sama dengan

osmolalitas cairan ekstrasel. Osmolalitas seluruh kompartemen pada steady

state sama yaitu 290 mOsm/KgH2O, walaupun konsentrasi partikel berbeda

pada berbagai kompartemen.

9

Page 10: resusitasi-cairan 2

Tonisitas atau osmolalitas plasma efektif adalah jumlah konsentrasi solut

impermeabel. Tonisitas adalah kemampuan solut menghasilkan tekanan

osmotik yang menyebabkan pergerakan air dari satu kompartemen ke

kompartemen lain. Pengaturan tonisitas menentukan status hidrasi dan ukuran

sel.

Cairan (solution) dikatakan isotonik bila volume sel yang terdapat di

dalam cairan itu dapat dipertahankan dalam keadaan normal. Cairan isotonik

adalah cairan yang osmolalitasnya sama dengan plasma atau bersifat iso-

osmoler. Terjadinya peningkatan tonisitas (hipertonisitas) cairan ekstrasel

biasanya disebabkan oleh hipernatremia. Hipertonisitas merupakan stimulus

utama rasa haus dan pelepasan ADH, rasa haus meningkatkan asupan air,

ADH menyebabkan retensi air oleh ginjal. Sebaliknya pada hipotonisitas,

ADH ditekan sehingga ekskresi air di ginjal meningkat. Seringkali disebabkan

asupan air berlebihan.

2.1.8. Pergerakan Cairan Tubuh

Pergerakan cairan tubuh (hidrodinamika) mencakup penyerapan air di

dalam usus, masuk ke pembuluh darah, dan beredar ke seluruh tubuh. Pada

pembuluh kapiler, air mengalami filtrasi ke ruang interstitium dan selanjutnya

masuk ke dalam sel melalui proses difusi, sebaliknya air dari dalam sel keluar

kembali ke ruang interstitium dan masuk ke pembuluh darah. Pergerakan air

juga meliputi filtrasi air oleh ginjal (sebagian kecil dibuang melalui urin),

ekskresi air ke saluran cerna sebagai liur pencernaan (umumnya diserap

kembali), serta pergerakan air ke kulit dan saluran napas yang keluar sebagai

keringat dan uap air. Pergerakan tersebut bergantung kepada tekanan

hidrostatik dan tekanan osmotik.5

Tekanan hidrostatik adalah tekanan di pembuluh darah yang sangat

ditentukan oleh tekanan darah. Tekanan ini semakin menurun ke arah perifer.

Tekanan osmotik ada dua macam, yaitu tekanan osmotik kristaloid dan

tekanan osmotik koloid (tekanan onkotik). Tekanan osmotik kristaloid adalah

tekanan osmotik yang ditimbulkan oleh mineral dan ion mineral. Tekanan

10

Page 11: resusitasi-cairan 2

osmotik koloid (tekanan onkotik) adalah tekanan osmotik yang dihasilkan

oleh molekul koloid yang tidak dapat berdifusi, misalnya protein yang bersifat

menarik air ke kapiler dan melawan tekanan filtrasi.5 Tekanan osmotik plasma

darah adalah 285 ± 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira

sama disebut isotonik (NaCl 0,96%, Dekstrosa 5%, Ringer-Laktat) lebih

rendah disebut hipotonik (akuades) dan lebih tinggi disebut hipertonik.4

2.2. Patofisiologi 2,12

Trauma, pembedahan dan anestesi akan menimbulkan perubahan-perubahan

pada keseimbangan air dan metabolisme yang dapat berlangsung sampai beberapa

hari pasca trauma atau bedah. Perubahan-perubahan tersebut terutama sebagai

akibat dari :

- kerusakan sel di lokasi pembedahan

- kehilangan dan perpindahan cairan baik lokal maupun umum

- pengaruh puasa pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah

- terjadi peningkatan metabolisme, kerusakan jaringan dan fase penyembuhan

Perubahan yang terjadi meliputi perubahan-perubahan hormonal seperti:

a. Kadar adrenalin dan non adrenalin meningkat sampai hari ketiga pasca

bedah atau trauma. Sekresi hormon monoamin ini kebih meningkat lagi

bila pada penderita tampak tanda-tanda sepsis, syok, hipoksia dan

ketakutan.

b. Kadar glukagon dalam plasma juga meningkat.

c. Sekresi hormon dari kelenjar pituitaria anterior juga mengalami

peningkatan yaitu growth hormone dan adrenocorticotropic hormone

(ACTH). Trauma atau stres akan merangsang hipotalamus sehingga

dikeluarkan corticotropin releasing factor yang merangsang kelenjar

pituitaria anterior untuk mensekresi ACTH. Peningkatan kadar ACTH

dalam sirkulasi menyebabkan glukokortikoid plasma meningkat sehingga

timbul hiperglikemia, glikolisis dan peninggian kadar asam lemak.

11

Page 12: resusitasi-cairan 2

d. Kadar hormon antidiuretik (ADH) mengalami peningkatan yang

berlangsung sampai hari ke 2-4 pasca bedah/trauma. Respon dari trauma

ini akan mengganggu pengaturan ADH yang dalam keadaan normal

banyak dipengaruhi oleh osmolalitas cairan ekstraseluler.

e. Akibat peningkatan ACTH, sekresi aldosteron juga meningkat. Setiap

penurunan volume darah atau cairan ektraseluler selalu menimbulkan

rangsangan untuk pelepasan aldosteron.

f. Kadar prolaktin juga meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan

laki-laki.

Derajat perubahan-perubahan tersebut di atas sangat bervariasi bagi setiap

individu tergantung dari beberapa faktor :

- rasa sakit dan kualitas analgesi

- rasa takut dan sedasi yang diberikan

- komplikasi penyulit pada pasca bedah/trauma (syok, perdarahan, hipoksia

atau sepsis)

- keadaan umum penderita

- berat dan luasnya trauma

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Cairan

Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang

umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,

perioperatif dan postoperatif.10

Faktor-faktor preoperatif :10

1. Kondisi yang telah ada

Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk

oleh stres akibat operasi.

2. Prosedur diagnostik

12

Page 13: resusitasi-cairan 2

Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena

dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal

karena efek diuresis osmotik.

3. Pemberian obat

Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air

dan elektrolit.

4. Preparasi bedah

Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan

elekrolit dari traktus gastrointestinal.

5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada

6. Restriksi cairan preoperatif

Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan

cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien

menderita demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.

7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya

Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.

Faktor Perioperatif :10

1. Induksi anestesi

Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia

preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan

vasokonstriksi.

2. Kehilangan darah yang abnormal.

3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya

kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)

4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka

operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan.

Faktor postoperatif :10

1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi

2. Peningkatan katabolisme jaringan

3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif

4. Risiko atau adanya ileus postoperatif

13

Page 14: resusitasi-cairan 2

Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang potensial terjadi perioperatif

adalah :10

1. Hiperkalemia

2. Asidosis metabolik

3. Alkalosis metabolik

4. Asidosis respiratorik

5. Alkalosis repiratorik

2.3. Gangguan Kebutuhan Cairan dan Elektrolit

2.3.1.Gangguan keseimbangan air dan elektrolit

Gangguan keseimbangan elektrolit umumnya berhubungan dengan

ketidakseimbangan natrium dan kalium. Prinsip utama ketidakseimbangan

tersebut adalah:

- Pemasukan dan pengeluaran natrium yang tidak seimbang. Kelebihan

natrium dalam darah akan meningkatkan tekanan osmotik dan

menahan air lebih banyak sehingga tekanan darah meningkat

- Ketidakseimbangan kalium jarang terjadi, namun jauh lebih berbahaya

disbanding dengan ketidakseimbangan natrium. Kelebihan ion kalium

darah akan menyebabkan gangguan berupa penurunan potensial trans-

membran sel. Pada pacemaker jantung menyebabkan peningkatan

frekuensi dan pada otot jantung menurunkan kontraktilitas bahkan

ketidakberdayaan otot (flaccid) dan dilatasi. Kekurangan ion kalium

ini menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat.5

a. Gangguan keseimbangan air dan natrium

Perubahan yang terjadi pada volume dan komposisi cairan tubuh serta

osmolalitas akan menimbulkan empat gangguan dasar di dalam tubuh

sebagai hipovolemia, edema, hiponatremia, dan hipernatremia. Jumlah

natrium yang lebih tinggi dari normal (hipernatremia) menimbulkan

14

Page 15: resusitasi-cairan 2

hiperosmolalitas cairan ekstrasel dan sebaliknya hiponatremia akan

menimbulkan hipoosmolalitas.5

Gangguan volume

a. Hipovolemia

Hipovolemia adalah suatu keadaan dengan volume cairan

tubuh berkurang, hal ini akan menyebabkan hipoperfusi

jaringan. Hipovolemia dapat terjadi pada dua keadaan, yaitu

deplesi volume dan dehidrasi.1

Deplesi volume

Deplesi volume adalah keadaan dimana cairan ekstrasel

berkurang; kekuragan air dan natrium melalui saluran cerna seperti

muntah dan diare, perdarahan atau melalui pipa nasogastrik.

Hilangnya air dan natrium juga dapat melalui ginjal, misalnya

penggunaan diuretik, diuresis osmotik, salt wasting nephropathy,

hipoaldosteronisme), melalui kulit dan saluran nafas (misalnya

insensible water losses, keringat, luka bakar), atau melalui

sekuestrasi cairan (misalnya pada obstruksi usus, trauma, fraktur

dan pankreatitis akut).5

Dehidrasi

Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar

konsentrasi serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150

mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150

mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering

terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau

hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus. Dehidrasi Isotonis

(isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan

konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium

besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun

kompartemen ekstravaskular.1,9

15

Page 16: resusitasi-cairan 2

Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika

kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih banyak dari

darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar terjadi

kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang

hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen

intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga

menyebabkan penurunan volume intravaskular.

Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika

kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari

darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi

kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang

hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen

ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga

meminimalkan penurunan volume intravaskular.10,11

16

Page 17: resusitasi-cairan 2

Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat

puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat

pembedahan, mengganti perdarahan yang sedang berlangsung, dan

mengganti third space loss (ke rongga peritoneum, ke luar tubuh).

b. Euvolemia (normovolemia)

Meski dikatakan euvolemia, kondisi ini menjelaskan kadar

natrium yang normal disertai peningkatan jumlah air tubuh.

Kondisi seperti ini dijumpai pada keadaan:5

o sekresi ADH berkurang

o sekresi ADH meningkat

c. Hipervolemia

Hipervolemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan

volume cairan ekstrasel khususnya intravascular melebihi

kemampuan tubuh mengeluarkan air melaui ginjal, saluran

cerna dan kulit.5

a. Edema

Edema adalah suatu keadaan akumulasi cairan di jaringan

interstisium secara berlebihan akibat penambahan volume yang

melebihi kapasitas penyerapan pembuluh limfe. Edema juga

merupakan refleksi dari kelebihan natrium dan hipervolemia.

Menurut lokasi edema dapat dibagi:

17

Tabel 3.

Page 18: resusitasi-cairan 2

o Edema generalisata disebabkan oleh penurunan tekanan

osmotic koloid pada hipoproteinemia

o Edema lokal disebabkan oleh kerusakan kapiler, konstriksi

sirkulasi (vena regional) atau sumbatan drainase limfatik.5

Gangguan Status Natrium

a. Hiponatremia

Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi,

gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan,

sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang,

koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH,

polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare,

muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis,

nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ ≥

125 mg/L) atau NaCl 3% sebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk

pediatrik 1,5-2,5 mg/kg. Koreksi hiponatremia yang sudah

berlangsung lama dilakukan secara perlahan-lahan, sedangkan

untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum

yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus : 11

Keterangan :

Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)

Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan

Na0 = Na serum yang aktual

TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)

b. Hipernatremia

Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala

berupa perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah.

Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare,

muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan

18

Na= Na1 – Na0 x TBW

Page 19: resusitasi-cairan 2

air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah

penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-

140) x BB x 0,6}: 140. 11

b. Gangguan Keseimbangan Kalium

1. Hipokalemia

Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi

akut kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari

pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala

hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS

segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan

otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat

berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-

obatan), infus potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild

hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40

mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia

berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).

Rumus untuk menghitung defisit kalium:

K = K1 – K0 x 0,25 x BB

K = kalium yang dibutuhkan

K1 = serum kalium yang diinginkan

K0 = serum kalium yang terukur

BB = berat badan (kg)

2. Hiperkalemia

Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena

insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs,

ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama

melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan

sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk

19

Page 20: resusitasi-cairan 2

hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10

menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau

diuretik, hemodialisis.11

2.3.2. Gangguan Keseimbangan Asam Basa

a. Gangguan keseimbangan asam basa respiratorik

o Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)

Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder

untuk menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian

akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk

obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri

dari insisi abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan

narkose yang berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang

adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi

mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene

trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting.

o Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)

Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera

SSP, dan ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi

bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari

penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi

masalah yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia,

penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit

potasium yang terjadi.

b. Gangguan keseimbangan asam basa metabolik

o Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)

Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam

atau kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk

gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan

20

Page 21: resusitasi-cairan 2

asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan

ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok,

diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan

keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi

kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan

bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah kompensasi

alkalosis respirasi digunakan.

o Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)

Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau

penambahan bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah

yang umum terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik,

hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang

digunakan adalah sodium klorida isotonik dan penggantian

kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual selama

perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit

yang sering.11

2.4. Terapi Cairan

Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan

pasien. Pemilihan cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien,

konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana tujuan

terapi cairan dibagi atas resusitasi atau pengganti yaitu untuk mengganti

kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kehilangan harian.

Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh

dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau  koloid

(plasma ekspander) secara intravena.

Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum

dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan,

21

Page 22: resusitasi-cairan 2

mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga

ketiga.

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,

konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan

parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi

medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting

yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.

Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2

liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan

cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat

menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18–24 jam sesudah

cedera luka bakar.

Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan

kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok

hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah,

mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping.

Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh

tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok

hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik.

Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler.

RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan

kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma

syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan

sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.

Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat

metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan

asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai

tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut

diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan

22

Page 23: resusitasi-cairan 2

asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien

sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.

Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk

mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian

a) Terapi cairan resusitasi

Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut

cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki

perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan

resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer

Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada

syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit. 

b) Terapi rumatan 

Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan

nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan

elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari.

Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan

urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru

atau dikenal dengan insensible water losses. 

Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu :

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan

karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan

elektrolit yang juga mengandung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran +

saline, DGAA, Ringer's dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang

23

Page 24: resusitasi-cairan 2

mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit

cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak

berperan dalam hipovolemik.

Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan

karena seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat

menimbulkan efek samping yang berbahaya. Umumnya infus konvensional RL

atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN

dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian.

Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke

ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya

pembedahan, yaitu :

• 6-8 ml/kg untuk bedah besar

• 4-6 ml/kg untuk bedah sedang

• 2-4 ml/kg untuk bedah kecil

1. Dasar-dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif 2,11,12

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam

pemberian cairan perioperatif, yaitu :

a. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian

Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 30-35 ml/kgBB/hari dan

elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/hari dan K+= 1mmol/kgBB/hari.

Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat

pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan

pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan

yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak

dibandingkan elektrolit).

b. Defisit cairan dan elektrolit pra-bedah

Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita

bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali

menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan,

24

Page 25: resusitasi-cairan 2

translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya

insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak.

Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum

dilakukan pembedahan.

c. Kehilangan cairan saat pembedahan

1. Perdarahan

Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari :

Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah

(suction pump)

Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah

pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung ±

10 ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat

menyerap darah ± 100-10 ml. Dalam prakteknya jumlah perdarahan

selama pembedahan hanya bisa ditentukan berdasarkan kepada

taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang

kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan

hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan

hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada

jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada

luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah

yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.

d. Kehilangan cairan lainnya

Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol

dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi

cairan internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih

banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama.

Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang

ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan

intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat

25

Page 26: resusitasi-cairan 2

mengakibatkan sekuestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan

ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion

fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang

terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan

secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat

merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.

e. Gangguan fungsi ginjal

Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:

Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.

Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh

meningkatnya kadar aldosteron.

Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya

retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules)

meningkat.

Ginjal tidak mampu mengekskresikan “free water” atau untuk

menghasilkan urin hipotonis.

a. Penggantian Defisit Prabedah2,11,12

Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,

lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa

pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan

pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua

berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran

hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita

yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya

diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang

dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan

penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena

perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali

26

Page 27: resusitasi-cairan 2

menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi

cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.

b. Terapi cairan selama pembedahan2,11,12

Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan

kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan

(perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang

diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang

hilang.

1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya

bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja

selama pembedahan.

2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat

diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar

ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan.

Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam

seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.

3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2

ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk

pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.

27

Page 28: resusitasi-cairan 2

4. Penggantian darah yang hilang

Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV = Estimated Blood

Volume = taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi,

takikardi dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan

menurun pada seseorang yang akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga

gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi komponen

vasoaktif.

28

Tabel 5.

Tabel 6.

Page 29: resusitasi-cairan 2

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan

kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan

berdasarkan:

a. Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum pembedahan

b. Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi

c. Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.

d. Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)

e. Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan

f. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan

hematokrit.

g. Usia penderita

Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah:

- 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar

hemoglobin sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.

- Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar

hemoglobin 3gr%. Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan

cairan secukupnya sehingga diuresis ± 1 ml/kgBB/jam.

c. Terapi cairan dan elektrolit pascabedah2,11,12

Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:

1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.

Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal

sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak

dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari

sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat

stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung

menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca

bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum

baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150

mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat

menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus

29

Page 30: resusitasi-cairan 2

dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup

dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis. Terapi

cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.

2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:

- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan

1°C suhu tubuh

- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau

muntah.

- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan

humidifikasi.

3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama

pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr

%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut

oksigen.

4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan

tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama

meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran,

diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

2. Pemilihan jenis cairan2,11,12

Terapi cairan intravena meliputi infus kristaloid, koloid, atau kombinasi

keduanya. Larutan kristaloid adalah larutan aquos dengan berat molekul rendah,

dengan atau tanpa glukosa, sementara larutan koloid terdiri dari substansi dengan

berat molekul besar seperti protein atau polimer glukosa besar. Larutan koloid

mempertahankan tekanan onkotik koloid plasma dan sebagian besar berada dalam

intravaskular, sementara larutan kristaloid dengan cepat diseimbangkan dan

didistribusikan di seluruh kompartemen cairan ekstraselular.

Penggunaan cairan kristaloid dan koloid pada pasien bedah masih

kontroversi. Para ahli yang setuju terhadap penggunaan koloid berpendapat bahwa

dengan mempertahankan tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif

menyeimbangkan volume intravaskular yang normal dan cardiac output. Pendapat

30

Page 31: resusitasi-cairan 2

lain mengatakan bahwa larutan kristaloid dapat sama efektifnya dengan

pemberian pada jumlah yang cukup. Dan berpendapat bahwa koloid dapat

menyebabkan edema paru karena meningkatnya permeabilitas kapiler paru yang

diakibatkan oleh tekanan onkotik interstitial paru paralel dengan tekanan onkotik

pada plasma. Namun dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Kristaloid sama efektifnya dengan koloid untuk mengembalikan volume

intravaskular bila diberikan dengan jumlah yang cukup.

2. Penggantian kehilangan cairan intravaskular dengan menggunakan

sejumlah cairan koloid setara dengan tiga sampai empat kali jumlah cairan

kristaloid.

3. Pasien yang menjalani operasi biasanya mengalami jumlah kehilangan

cairan extraselular yang melebihi kehilangan cairan di intravaskular.

4. Kehilangan cairan intravaskular yang berat dapat diatasi dengan cepat

dengan menggunakan cairan koloid.

5. Pemberian kristaloid yang cepat dalam jumlah yang banyak (>4-5L) dapat

menyebabkan edema jaringan.

Beberapa kejadian, namun belum terbukti, bahwa edema jaringan dapat

mengganggu transport oksigen, penyembuhan luka, dan mengganggu

pengembalian fungsi saluran cerna pada bedah mayor.

Berdasarkan fungsinya, cairan dapat dikelompokkan menjadi :

1. Cairan pemeliharaan, ditujukan untuk mengganti air yang hilang lewat

urin, tinja, paru, dan kulit (mengganti puasa). Cairan yang diberikan

adalah cairan hipotonik, seperti D5, NaCl 0,45%, atau D5 W.

2. Cairan pengganti, ditujukan untuk mengganti kehilangan air tubuh akibat

sequestrasi atau proses patologi lain, seperti fistula, efusi pleura, ascites,

drainase lambung. Cairan yang diberikan bersifat isotonik, seperti RL,

NaCL 0,9%, D5RL, D5NaCl.

3. Cairan khusus, ditujukan untuk keadaan khusus, misalnya asidosis. Cairan

yang digunakan seperti natrium bikarbonat, NaCl 3%.

Berdasarkan berat molekul, cairan dapat dikelompokkan menjadi :

31

Page 32: resusitasi-cairan 2

a. Cairan kristaloid

Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dekstrosa, tidak

mengandung molekul besar (BM < 8000 Dalton). Kristaloid dalam waktu singkat

sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan

harus lebih banyak 2,5-4 kali dari volume darah yang hilang. Kristaloid

mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang

intravaskuler ke interstital berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan

akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid digunakan

untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume

intrasel.

Kristaloid harus dipertimbangkan sebagai resusitasi cairan yang diberikan

pertama kali pada pasien dengan shock hemorrhagic dan septic, pasien dengan

luka bakar, pasien dengan cedera kepala untuk mempertahankan tekanan perfusi

cerebral, dan pada pasien yang sedang menjalani plasmapheresis dan reseksi

hepar. Bila 3-4 L kristaloid telah diberikan namun respon hemodinamiknya masih

belum cukup maka koloid dapat diberikan. Terdapat berbagai macam jenis cairan

kristaloid yang tersedia (lihat tabel). Pemberian cairan disesuaikan dengan jenis

cairan tubuh yang hilang. Bila kehilangan cairan secara primer adalah air, makan

cairan penggantinya adalah cairan hipotonis, disebut juga sebagai cairan

pemeliharaan. Bila kehilangan cairan meliputi air dan elektrolit, maka pemberian

cairan pengganti berupa cairan elektrolit yang isotonis, disebut juga sebagai cairan

pengganti. Glukosa terdapat pada beberapa jenis cairan yang ditujukan untuk

mempertahankan tonisitas atau untuk mencegah terjadinya ketosis dan

hipoglikemia karena pasien diminta untuk berpuasa sebelum operasi.

Hipoglikemia terjadi secara cepat pada anak-anak yang berpuasa 4 sampai 8 jam

dan hipoglikemia lebih cepat terjadi pada wanita dibanding pria dengan berpuasa

lebih dari 24 jam. Cairan pengganti lebih banyak digunakan karena cairan yang

hilang pada intraoperatif lebih banyak bersifat isotonis. Cairan yang biasa

digunakan adalah Ringer lactat. Meski RL sedikit hipotonis, mengandung 100mL

air bebas per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium sampai 130 mEq/L,

namun RL menimbulkan efek yang sedikit pada komposisi cairan ekstraselular

32

Page 33: resusitasi-cairan 2

dan merupakan cairan yang paling fisiologis bila dibutuhkan dalam volume yang

banyak. Laktat yang terdapat pada RL akan diubah oleh hati menjadi bikarbonat.

Bila diberikan dengan volume yang banyak, NS akan menyebabkan asidosis

hiperkloremik karena NS mengandung natrium dan khlor yang tinggi (154

mEq/L): konsentrasi plasma bikarbonat menurun seiring dengan peningkatan

konsentrasi khlor. NS lebih dipilih pada keadaan alkalosis metabolik

hipokloremik dan untuk mencairkan packed-red blood cells sebelum transfusi.

Dekstrosa 5% dalam air (D5W) digunakan sebagai pengganti pada kekurangan air

dan sebagai cairan pemeliharaan pada pasien dengan pembatasan natrium. Cairan

hipertonik 3% Saline diberikan sebagai terapi simptomatik hiponatremia yang

berat. Cairan saline 3-7.5% diberikan sebagai resusitasi pada pasien dengan shock

hipovolemik.

b. Koloid

Aktivitas osmotik pada zat dengan berat molekul yang tinggi pada cairan

koloid cenderung untuk mempertahankan cairan ini pada komponen intravaskular.

Meski waktu paruh cairan kristaloid di intravaskular adalah 20-30 menit, tetapi

waktu paruh cairan koloid di intravaskular dapat mencapai 3 sampai 6 jam. Harga

dan komplikasi yang sering terjadi pada pemakai koloid membuatnya jarang

digunakan. Indikasi umum yang diterima untuk pemakaian cairan koloid yaitu: (1)

resusitasi cairan pada pasien dengan kekurangan cairan intravaskular yang berat

33

Tabel 7.

Page 34: resusitasi-cairan 2

(contoh: shock hemorrhagic) sebelum adanya transfusi darah yang tersedia, dan

(2) resusitasi cairan pada keadaan hipoalbuminemia yang berat atau pada kondisi

yang menyebabkan hilangnya protein dalam jumlah yang besar seperti pada kasus

luka bakar. Pada pasien luka bakar, pemberian cairan koloid dapat juga

dipertimbangkan bila luas luka bakar melebihi 30% dari permukaan tubuh atau

bila telah diberikan 3-4L cairan kristaloid lebih dari 18-24 jam setelah terjadinya

luka bakar.

Banyak klinisi juga memberikan cairan koloid berbarengan dengan cairan

kristaloid ketika dibutuhkan cairan pengganti sebanyak 3-4L sebelum dilakukan

transfusi. Perlu diperhatikan bahwa cairan ini tersedia dalam normal saline (Cl-

145-154 mEq/L) dan dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik.

Beberapa cairan koloid yang ada merupakan berasal baik dari protein plasma

maupun polimer sintetik glukosa dan dimasukkan dalam cairan elektrolit isotonis.

Cairan koloid yang berasal dari darah berupa albumin (cairan 5% dan 25%) dan

fraksi plasma protein (5%). Keduanya dipanaskan pada suhu 600C minimal

selama 10 jam untuk mengurangi resiko penyebaran hepatitis dan penyakit virus

menular lainnya. Fraksi plasma protein mengandung α- dan β-globulin sebagai

tambahan dari albumin dan sering menimbulkan reaksi hipotensif. Reaksi ini

berupa reaksi alergi biasa dan kemungkinan berkaitan dengan pengaktifan

prekallikrein. Cairan koloid sintetik berupa dextrose starches dan gelatin. Gelatin

berkaitan dengan reaksi alergi yang dimediasi oleh histamin. Cairan Dextran yang

ada berupa dextran 70 (Macrodex) dan dextran 40 (Rheomacrodex), yang

memiliki berat molekul 70.000 dan 40.000. Meski dextran 70 merupakan cairan

yang lebih baik dibanding dextran 40, namun dextran 40 juga memperbaiki arus

darah dalam mikrosirkulasi dengan cara mengurangi viskositas darah. Efek

antiplatelet juga dapat terjadi pada pemberian dextran. Pemberian cairan melebihi

20 mL/kg per hari dapat mempengaruhi darah, dapat memperpanjang waktu

perdarahan (dextran 40), dan berhubungan dengan gagal ginjal. Dextran juga

dapat dianggap sebagai antigen yang menyebabkan reaksi anafilaktik atau

anafilaktoid yang berat. Dextran 1 (promit) dapat diberikan sebelum pemberian

dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaktik; dextran 1 berperan

34

Page 35: resusitasi-cairan 2

sebagai hapten dan mengikat segala antibodi dextran yang terdapat pada sirkulasi.

Hetastarch (hydroxyethyl starch) terdapat pada cairan 6% dengan berat molekul

450.000. molekul kecil dibuang melalui ginjal, dimana molekul yang lebih besar

dihancurkan terlebih dahulu oleh amilase. Hetastarch sangat efektif sebagai

plasma expander dan tidak begitu mahal dibanding albumin. Terlebih hetastarch

tidak bersifat antigen dan reaksi anafilaktoid sangat jarang terjadi. Koagulasi dan

waktu pembekuan tidak begitu terpengaruh dengan pemberian cairan di atas 0.5-

1.0 L. Pemberian hetastarch pada pasien dengan transplantasi ginjal masih

kontoversi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien yang menjalani bypass cardio-

pulmonal. Pentastarch, cairan dengan berat molekul yang lebih rendah, memiliki

efek samping yang jarang dan kemungkinan menggantikan penggunaan

hetastarch.

Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi

anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada “cross match”.

35

Tabel 8. Jenis Cairan Koloid

Page 36: resusitasi-cairan 2

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:

a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan

2,5%).

Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam

untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma

selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta

globulin. Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali

terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab

itu pemberian infus dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan

hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.

b. Koloid sintesis yaitu:

1. Dextran:

Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70

(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri

Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun

Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan

Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat

sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain

itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet

adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan

melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat

mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan

gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat

dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)

Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-

rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L, dan tekanan onkotik 30 mmHg.

Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat

urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid

ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar

36

Page 37: resusitasi-cairan 2

serum amilase (walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch

(Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma

hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam.

Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan

toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch

dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.

3. Gelatin

Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul

rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.

Ada 3 macam gelatin, yaitu:

- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)

- Urea linked gelatin

- Oxypoly gelatin

Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.

Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari

golongan urea linked gelatin.

Tabel 9. Crystalloid versus Colloid

37

Page 38: resusitasi-cairan 2

BAB III

KESIMPULAN

Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular

dan kompartemen ekstraselular. Kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan

intravaskular dan intersisial. Selain air, cairan tubuh mengandung elektrolit (Na+,

K+, Cl-, HCO3-, PO43-) dan non elektrolit (kreatinin, bilirubin). Proses pergerakan

cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara osmosis, difusi, pompa

natrium-kalium. Perubahan dalam cairan tubuh dapat terjadi karena perubahan

volume (defisit volume seperti dehidrasi dan kelebihan volume), perubahan

konsentrasi (elektrolit), perubahan komposisi (asidosis dan alkalosis).

Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang

umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,

perioperatif dan postoperatif. Oleh karena itu dasar terapi cairan dan elektrolit

perioperatif berdasarkan kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian, defisit pra,

saat, dan pascapembedahan. Kebutuhan normal cairan orang dewasa rata-rata 30-

35 ml/kgBB dan elektrolit Na+= 1-2mmol/kgBB/hari dan K+=1 mmol/kgBB/hari.

Saat pembedahan harus dilihat banyaknya perdarahan untuk digantikan. Selain

mengganti cairan tubuh, perlu diperhatikan pula jenis cairan yang digunakan

untuk menggantinya. Cairan tersebut dapat berupa kristaloid atau koloid yang

38

Page 39: resusitasi-cairan 2

masing-masing mempunyai keuntungan tersendiri yang diberikan sesuai dengan

kondisi pasien.

Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh

dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau  koloid

(plasma ekspander) secara intravena. Terapi cairan dibutuhkan, kalau tubuh tidak

dapat memasukkan air, elektrolit dan zat-zat makanan secara oral misalnya pada

keadaan pasien harus puasa lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan

banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah tak berkesudahan dan

lain-lainnya. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit dapat

terpenuhi. Selain itu dalam keadaan tertentu adanya terapi cairan dapat digunakan

sebagai tambahan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau

dapat juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam-basa.

39

Page 40: resusitasi-cairan 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J.Anaesh.

2003;47(5):380-387.

2. Kaswiyan U. Terapi cairan perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi.

Fakultas Kedokteran Unpad/ RS. Hasan Sadikin. 2000.

3. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi kesembilan.

Jakarta: EGC. 1997: 375-393.

4. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada

pembedahan. Ed. Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.

2002.

5. Utama, Hendra. 2008. Gangguan Keseimbangan Air –Elektrolit dan Asam

Basa. Jakarta : FK UI.

6. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta :

EGC.

7. Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. Smf/bagian anestesi dan terapi

intensif FK Undip: Semarang; 2004: 1-60.

8. Hartanto, Widya. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif.

9. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University -

Center for Veterinary Health. 2006.

40

Page 41: resusitasi-cairan 2

10. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed.

Missouri: Elsevier-mosby; 2005. p3-227.

11. Sunatrio S. Resusitasi cairan. Jakarta: Media aesculapius;2000:1-58.

12. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.

Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97.

41