referat resusitasi cairan

28
Referat RESUSITASI CAIRAN Oleh : Emy Rachmawati Wulandari NIM. I1A004023 Pembimbing : dr. Iwan Nuryawan, Sp.An, MSi, Med.

Upload: wulandari-emy

Post on 03-Jul-2015

555 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat resusitasi cairan

Referat

RESUSITASI CAIRAN

Oleh :

Emy Rachmawati Wulandari

NIM. I1A004023

Pembimbing :

dr. Iwan Nuryawan, Sp.An, MSi, Med.

BAGIAN / SMF ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM / RSUD ULIN

BANJARMASIN,

APRIL 2011

Page 2: Referat resusitasi cairan

RESUSITASI CAIRAN

Komposisi cairan ekstraselluler pada tubuh seperti lautan yang didalamnya

terdapat kehidupan beribu tahun yang lalu. Mekanisme homeostatik terjadi untuk

mempertahankan lingkungan ekstraselluler dalam waktu singkat. Respon ginjal

terhadap sistem renin-angiotensin-aldosteron, otak, dan hormon serta aksis

pituitary posterior-vasopresin-renal untuk mempertahankan tonisitas dan natrium

cairan ekstraselluler dan membantu mempertahankan tekanan darah. Setelah

adanya gangguan seperti perdarahan, trauma tumpul, luka baker, infeksi, puasa,

dan dehidrasi; melalui proses yang sama timbul respon secara langsung untuk

mempertahankan lingkungan ekstraselluler.

Pada pasien cedera atau dengan penyakit akut, terapi cairan bertujuan

untuk mempertahankan distribusi oksigen ke jaringan bersamaan dengan respon

homeostasis.

I. Homeostasis cairan dan natrium setelah cedera

Respons stress setelah gangguan seperti pembedahan, trauma, perdarahan,

luka bakar, dan cardiopulmonary arrest menyebabkan terjadinya penyimpanan

natrium dan cairan serta vasokonstriksi selektif untuk mempertahankan suplai

darah ke otak, jantung, dan paru.

Intake natrium orang dewasa bervariasi tergantung diet, tetapi biasanya

berkisar 100 sampai 220 mmol/24 jam, yang disertai 1,5 -2,5 liter air. Walaupun

kisaran intake air dan garam lebar, tetapi ginjal mempertahankan konsentrasi

natrium cairan ekstraselluler dalam kisaran yang sempit melalui vasopresin, renin-

angiotensin-aldosteron system, otak, serta atrial natriuretik peptide.

Sementara itu, pasien setelah trauma major biasanya diberikan cairan dan natrium

dalam jumlah lebih. Kehilangan darah dan inflamasi menginduksi kebocoran

kapiler sistemik, yang cenderung membuat pasien hipovolemik. Ditambah lagi

penggunaan anastesi untuk pembedahan dapat mengurangi resistensi vascular

sistemik yang juga akan cenderung membuat pasien hipovolemik. Efek ini

Page 3: Referat resusitasi cairan

membuat kita memberikan darah dan cairan intravena, air dan garam dalam cairan

dalam jumlah yang lebih banyak dari intake normal sehari-hari.

Pasien tersebut akan mengalami respons stress berupa peningkatan sekresi

vasopresin, renin, angiotensin II, aldosteron, dan penurunan pelepasan natriuretik

peptide. Jadi, penambahan cairan dan natrium yang telah diberikan untuk mengisi

kompartemen vaskular yang hilang dan mengganti kehilangan darah akibat trauma

dan kehilangan selama operasi, tubuh pasien akan menahan air dan natrium secara

intensif. Pada 24 jam pertama output urine berkisar 1000 ml dan ekskresi natrium

sekitar 50 mmol. Jika kehilangan darah 5000 ml dan insensible losses 800 ml,

pada akhir 24 jam pertama pasien berada dalam balans cairan positif sekitar 8800

ml dan balans natrium positif sekitar 1500 mmol.

Biasa juga terjadi hiponatremia pada pasien akut yang telah mendapatkan

cairan intravena. Keadadaan ini kadang-kadang diinterpretasikan sebagai indikasi

untuk memberikan natrium lebih, walaupun penyebab hiponatremi karena

defesiensi natrium. Biasanya pasien seperti itu mempunyai kandungan natrium

total tubuh tinggi, khususnya jika pasien memiliki balans cairan positif.

Konsentrasi natrium dan kalium merupakan indikator sangat jelek pada status

tubuhnya.

Ada beberapa penjelasan yang mungkin untuk hiponatremia dengan natrium

tubuh total berlebihan, dimana terjadi akumulasi cairan pada ruang interstisiel

disebabkan oleh translokasi albu]min dan cairan melalui kapiler yang bocor, dan

retensi cairan disebabkan oleh stress berhubungan dengan pelepasan vasopressin.

Natrium juga hilang dari ruang ekstraselluler masuk ke dalam sel.Teori “sick cell

syndrome” yang menjelaskan hiponatremia kronik, menjelaskan bahwa

pergerakan natrium kedalam sel terjadi karena hilangnya solute intraselluler dan

tidak ada edema selluler. Namun, peneliatian pada hewan membuktikan bahwa

cedera akut dan inflamasi menyebabkan sekuestrasi natrium, klorida,dan air serta

mungkin menyebabkan edema selluler. Cunningham dan Shire menunjukkan

adanya peningkatan dua kali pada natrium sel darah merah dan penurunan kalium

sel darah merah setelah shock yang lama pada 25 pasien. Pada kasus khusus,

konsentrasi natrium sel darah merah meningkat 12 mmol/l dalam 5 jam dari awal

Page 4: Referat resusitasi cairan

shock, dan kembali normal dengan cepat setelah pembedahan repair laserasi arteri

mesenterika. Peneliti mengemukakan bahwa defesiensi energi intraselluler dapat

menyebabkan penurunan aktivitas pompa natrium- kalium sel yang menyebabkan

natrium masik ke dalam sel. Ditambah lagi dengan adanya deficit energi sel

sehingga terjadi hipoksia, pelepasan nitric oxida yang lama pada inflamasi hebat

yang menghambat fungsi kompleks VI mitokondrial dan mengurani persediaa

ATP. Terdapat banyak penelitian pada hewan menunjukkan perubahan aktivitas

pompa natrium kalium sel sebagai respon dari bermacam intervensi. Hannon dan

Boston memperhatikan pergerakan natrium, klorida, dan air kedalam sel otot

skeletal dalam 12 jam pada ligasi dan tusukan pada sekum tikus. Attempting to

assess accurately sodium balance is very difficult, but assuming there are no major

errors in assessing sodium balance, a plausible explanation is intracellular

sequestration of sodium

Pasien B mungkin mengalami akumulasi natrium intrasel. Pada hari ke 8 pasien

dengan balans cairan positif sebanyak 15 liter (gambar 4) dengan balans natrium

positif 2900 mmol (gambar 5). Konsentrasi natrium ekstrasel adalah 138 mmol/l

(gambar 7). Kandungan natrium dalam 15 liter dapat dihitung (138×15) dan

menjadi 2070mmol, sehingga balans sodium positif sekitar 830 mmol natrium.

Usaha untuk menghitung dengan tepat balans sodium sangat sulit, tetapi tidak ada

kesalahan yang sangat besar dalam menghitung balans natrium ini , yang jelas

pemahaman tentang sekustrasi intraselluler dapat diterima.

SYSTEMIC CAPILLARY LEAK AND SYSTEMIC INFLAMMATORY

RESPONSE SYNDROM

Mikrosirkulasi setelah cedera disertai dengan edema interstisial oleh karena

peningkatan permeabilitas sistemik dan dalam keadaan hebat edema sel dapat

menghambat aliran darah kapiler. Kebocoran kapiler sistemik merupakan ciri

respon inflamasi sebagai tanda cedera, infeksi, atau iskemik, dan gangguan

perfusi. Hal ini terjadi dalam beberapa menit dari cedera sesuai dengan kehebatan

gangguan dan pada kasus tanpa komplikasi berlangsung dalam beberapa jam.

Klinis sindrom kebocoran kapiler ditandai oleh pergerakan air dan protein lebiiiiih

Page 5: Referat resusitasi cairan

banyak dari ruang vaskuler ke interstisiel karena hipoalbuminemia, meningkatnya

kepekatan darah, hipovolemia dan akumulasi edema cairan interstisial. Walaupun

demikian, mekanisme inflamasi menginduksi kebocoran kapiler belum jelas. Saat

ini sudah jelas respon sel endothelial terhadap pelepasan mediator inflamasi.

Setelah stimulasi inflamasi neurogenik oleh substansi P, sel endothelial trakea

tikus diteliti lagi dengan scan elektromikroskopi. Melalui gap sel endothelial ini

protein berpindah, yang paling banyak adalah albumin. Setiap gram albumin

berikatan dengan 18 gram cairan isotonik yang berperan dalam mekanisme

terjadinya retensi air dan garam dan terjasinya edema interstisial. Oleh karena 60

% albumin tubuh normalnya berada di ruang interstisiel dan jumlah ini meningkat

setelah cedera atau sepsis disebabkan karena kebocoran kapiler, larutan albumin

bukan pilihan ideal yang efektif untuk peningkatan cairan kompartemen vaskuler.

Edema interstisiel mempengaruhi fungsi organ dengan membatasi aliran darah

kapiler, pertukaran gas, dan oksigenasi jaringa. Hal ini berperan penting dalam

paru menyebabkan ARDS dan pada ginjal dimana edema interstisial

menyebabkan peningkatan tekanan intrarenal yang melawan tekanan filtrasi yang

dialirkan oleh jantung. Sindroma kebocoran kapiler yang tidak terkendali dan

menyebabkan respon inflamasi sistemik yang hebat yang dikenal sebagai systemic

inflammatory response syndrome (SIRS). SIRS berhubungan dengan overload

cairan, edema, kegagalan organ multiple, dan kematian jika gagal

mempertahankan homeostasis.

Sifat khusus dalam mekanisme pemekatan ginjal mampu mengekskresikan

albumin dalam jumlah kecil (mikroalbuminuria) dapat digunakan untuk

mengetahui perubahan permeabilitas kapiler sistemik setelah trauma, luka baker,

operasi, iskemik dan reperfusi dan keadaan innflamasi lain seperti pankreatitis.

Penelitian ini menunjukkan adanya mikroalbuminuria terjadi dalam beberapa

menit terjadinya inflamasi, tergantung beratnya keadaan awal dan diperkirakan

akan terjadi ARDS setelah trauma,disfungsi pulmoner setelah operasi elektif,

infark miokard akut, kegagalan organ multiple, dan kematian selama di ICU.

Gambar 9 menunjukkan pola khusus respon tubuh terhadap gangguan

permeabilitas kapioler sistemik (mikroalbuminuria) dan mediator inflamasi

Page 6: Referat resusitasi cairan

(plasma interleukin 6) dan marker plasma (serum C reactive protein).

Kegagalan ekskresi kelebihan air, natrium, dan klorida setelah resusitasi

disebabkan karena iatrogenic atau karena efek respon inflamasi yang hebat.

Apapun penyebab overload cairan dan edema, sekali proses berlangsung, akan

terjadi siklus berikutnya.

Tabel bagaimana overload cairan dapat menyebabkan edema

Kardiovaskuler

Peningkatan preload mengurangi cardiac output edema

Edema pulmoner hipoksia jaringan kegagalan mikrovaskular edema

jaringan

Mikrovaskular/sellular

Edema Interstitial mengurangi aliran darah kapiler hipoksia jaringan

memperberat edema

Edema Interstitial mengurangi drainase lymphatic memperberat edema

Edema Interstitial menyebabkan tingginya tekanan intrakapsular: rendah

GFR, oliguria, selanjutnya retensi natrium dan air memperberat edema

Metabolik

Kelebihan natrium bersaing dengan urea untuk ekskresi dalam ginjal :

uremia, hypernatremia, hiperosmolaritas, retensi cairan memperberat

edema

Kelebihan klorida menyebabkan asidosis hiperkloremik : memperburuk

asidosis post trauma, vasokonstriksi renal memperberat edema

Efek Loading natrium dan klorida

Penambahan volume cairan intravena harus isotonic dengan plasma. Hal ini

dicapai dengan pemberian natrium dalam cairan dengan jumlah 130-150 mmol/l,

dengan klorida sebagai anion utama. Oleh karena resusitasi cairan sangat penting,

maka penambahan natrium, klorida, dan air pada akhirnya harus diekskresikan

jika pasien telah pulih. Pemberian cairan intravena berlebih pada pasien yang aktif

menahan air dan natrium dapat menyebabkan overload, Lebih 50 tahun yang lalu,

Wilkinson menggambarkan ketidakmampuan pasien pembedahan untuk

Page 7: Referat resusitasi cairan

mengekskresikan kelebihan garam dan air sampai pulih. Moore menggambarkan “

Fase retensi urine” dan fase diuresis natrium “ pada cedera dan mengamati

kemampuan ekskresi natrium klorida dan air pada pemulihan. Setelah bedah

major atau trauma, terdapat resiko edema pada paru, ginjal, dan saluran cerna dan

bahaya ini ditambah dengan pemberian cairan, natrium, dan klorida berlebih

dengan gegabah. Membatasi input natrium dan penggunaan diuretik merupakan

penanganan utama baik pada penyakit jantung kongestif dan penyakit liver untuk

megurangi edema dan asites.

Retensi air dan natrium yang hebat menyebabkan edema interstisial, fungsi paru

jelek, ARDS, dan kegagalan organ multiple. Sebagai dasar pandangan sekarang

ini bahwa pasien dengan balans positif lebih dari 67 ml/kg dala waktu 36 jam

pertama post operatif, sangat beresiko edema pulmoner. Hal ini menimbulkan

pertanyaan “ Untuk apa pemberian cairan dan natrium berlebih pada penanganan

pasien akut yang tak dapat dihindari yang akhirnya dapat menyebabkan edema

interstisiel, disfungsi organ, dan keadaan yang jelek.

Penelitian baru-baru ini, baik pada orang normal maupun pada pasien akut

menyarankan bahwa loading dengan natrium, klorida, dan air mempunyai efek

merusak dan membatasi input natrium dan klorida menguntungkan. Dengan

metode double blind cross over study, 10 relawan yang sehat diacak menerima 2

liter natrium klorida 0,9 % dan 2 liter dextrose 5 % secara intravena dalam waktu

60 menit Setelah 6 jam infuse salin, hanya ¼ loading cairan yang diekskresikan,

tetapi setelah 6 jam infuse dextrose, ¾ loading cairan diekskresikan dengan

diuresis cepat. Hanya loading salin yang disertai hipernatremia, hiperkloremia,

dan konsentrasi albumin serum yang tetap turun. Perbandingan infus intravena

dengan 50 ml/kg 0,9 % salin ( natrium dan klorida 154 mmol/l) atau larutan ringer

laktat (sodium 130 mmol/l dan klorida 113 mmol/l) pada subjek normal

menunjukkan bahwa dengan subjek dengan salin berkembang menjadi asidosis

metabolic hiperkloremik. Hasil ini dipertahankan berdasarkan respon fisiologik

secara teori terhadap loading natrium dan klorida. Kesalahan pemberian nama

“normal salin” , kandungan natrium dan klorida diatas normal, dimana osmolalitas

Page 8: Referat resusitasi cairan

304 mosm/kg ddapat menstimulasi pelepasan vasopresi dan menyebabkan

penahanan cairan.Hyperchloraemia causes renal vasoconstriction.

Hiperkloremia menyebabkan vasokonstriksi ginjal, yang merupakan mekanisme

lain yang meyebabkan retensi cairan setelah loading saline. Garam mengandung

larutan koloid yang mempengaruhi keadaan asam basa. Waters dan kawan-kawan

membandingkan pemberian intravena 15 ml/kg hydroxyethyl starch 6 %

(mengandung 150 mmol/l klorida) dan albumin (mengandung klorida 98 mmol/l).

Hanya kelompok yang menerima starch menunjukkan asidosis metabolic, yang

mengandung klorida lebih tinggi dari kandungan pada albumin manusia.

Kandungan natrium dan air pada intravenous feeding pre operatif pada pasien

malnutrisi menunjukkan adanya perubahan. Lobo dan kawan-kawan melakukan

penelitian retrospektiv pada 44 pasien dengan pemberian nutrisi dimana 21pasien

sedang mengalami edema. Bantuan nutrisi pada kelompok edema diberikan

makanan dengan natrium dan volume yang rendah. Kelompok pasien edema berat

badan turun kira-kira 10 kg karena mobilisasi natrium dan air disertai dengan

peningkatan konsentrasi albumin serum yang menyebabkan perubahan berat

badan. Gil dan kawan-kawan mengacak 41 pasien dengan kanker gastrointestinal

dan malnutrisi hebat dengan pemberian resimen parenteral isokalori dan

isonitronenik preoperative. Resimen standard mengandung 140 mmol/hari

natrium dan resimen modiifikasi tanpa natrium dan kuran air. Penambahan berat

badan, balans cairan positif, dan balans natrium positif ditemukan pada keompok

dengan resimen modifikasi, dan balans cairan dan balans natrium negatif pada

kelompok dengan resimen modifikasi. Terjadi penurunan komplikasi post operatif

dan lama tinggal dirumah sakit pada pasien yang diberikan resimen modifikasi.

Starker dan kawan-kawan memonitor efek rata-rata satu minggu pemberian nutrisi

parenteral total sebelum operasi abdominal pada pasien yang kehilangan nutrisi.

Pasien ini difollow up untuk melihat komplikasi post operatif. 16 % pasien

berespon terhadap TPN dengan mobilisasi edema dan peningkatan serum albumin

dan hanya 1 yang mengalami komplikasi postoperatif. 16 pasien yang lain

bertambah berat badan dan albumin serum turun.Delapan pasien dari 15

Page 9: Referat resusitasi cairan

berkembang menjadi komplikasi postoperatif. Kegagalan mobilisasi edema pada

nutrisi parenteral menghasilkan prognosis jelek.

Laporan ini menunjukkan pembatasan input natrium, klorida, dan air dapat

mempengaruhi akibatnya. Hal apa yang menyebabkan kurangnya pemahaman

tentang dasar-dasar pemberian cairan intravena termasuk UK dan kegagalan terapi

yang sering walaupun menggunakan pengukuran elektrolit dan nitrogen untuk

mengoptimalkan terapi cairan.

Larutan hipertonik

Walaupun efek merusak loading natrium dan klorida, peningkatan tonisitas

plasma pada periode awal post trauma telah diakui berpengaruh terhadap fungsi

organ dan menjadi subjek penelitian 20 tahun belakangan ini. Penelitian secara

klinis stelah trauma kepal menyarankan pada awalnya diterapi denga larutan

hipertonik dapat mengurangi tekanan intrakranial, meningkatkan tekaan perfusi

otak, dan memperbaiki hasil terapi, dibandingkan dengan resusitasi isotonis.

Namun, pasien dengan trauma kepala yang juga terjadi hipovolemik, larutan

hipertonik hanya berguna pada awal terapi dan tidak boleh sebagai terapi tunggal.

Studi klinis dengan menggunakan larutan hipertonik untuk penanganan shock

hipovolemik tidak menunjukkan keuntungan yang terus-menerus menurunkan

mortalitas data morbiditas, walaupun hal ini mungkin diakibatkan oleh rumitnya

model studi klinis “yang digunakan dan bervariasinya efek dari larutan hipertonik.

Untuk menilai akibat yang berbeda dari resimen resusitasi cairan yang berbeda

terhadap mortalitas dan morbiditas, jjumlah pasien yang banyak dibutuhkan untuk

studi klinis untuk mempunyai data yang cukup kuat. Kesulitan lain adalah

banyaknya jenis cairan yang digunakan sebagai perawatan standar, yang membuat

pemilihan resimen kontrol sama penting pada saat entervensi penelitian.

Akibatnya inklusi subjek penelitian dari beberapa penelitian seperti saline

hipertonik dengan atau tanpa koloid seperti dextran, yang dilakukan resusitasi

pada trauma, shock hemoragik, luka bakar dengan mengurangi volume cairan

yang dibutuhkan, dan beberapa yang diperbaiki fungsi parunya. Mekanisme dasar

Page 10: Referat resusitasi cairan

keuntungan yang didapatkan pada studi klinis ini belum jelas, tetapi terlihat

bahwa hal ini menyebabkan efek osmotik/biofisik membatasi edema interstisial

sebab volume cairan hipertonik yang diberikan sedikit. Dan infus larutan

hipertonik menarik cairan dari ruang interstisial untuk menambah ruang vaskuler

yang hilang adalah efek dalam waktu singkat, dan defisit yang masih ada perlu

dikoreksi.

Bukti baru-baru ini dari pwnwlitian klinis, hewan, dan secara in vitro

menunjukkan bahwa manipulasi osmolalitas plasma (tonisitas) segera setelah

trauma mempunyai efek immunomodulas, yang mempengaruhi mikrosirkulasi

dan berpotensial memberikan efek. Pemberian salin hipertonik segera dengan atau

tanpa dextran, pada hewan yang shock hemoragik mengurangi ikatan endothelial

neutrofil. Namun, pemberian salin hipertonik setelah stimulasi neutrofil,

meningkatkan degranulasi neutrofil, pelepasan elastase, dan produksi radikal

bebas, yang menjadi proses patogenesis cedera paru dan kegagalan organ. Jadi,

penggunaan larutan hipertonik mempengaruhi respon immun proinflamasi

tergantung waktu pemberian setelah cedera dan pemberian yang terlambat dapat

meningkatkan resiko kegagalan organ kemudian. Waktu kritis menjadi tambahan

penjelasan hasil yang diperdebatkan dari pemberian segera resimen resusitasi

hipertonik.

Penelitian secara in vitro juga menunjukkan salin hipertonik mempengaruhi

supresi immune post-traumatik. Post-trauma menekan sel T manusia, dan sel

dapat disupresi dengan sitokin anti-inflamasi (interleukin 4 dan 10 dan TGF) dan

dapat dinaikkan dengan salin hipertonik dengan menghasilkan 80 % dari normal

interleukin yang dikeluarkan. Hanya dengan terdapatnya agen anti-inflamasi salin

hipertonik memperkuat ekspresi interleukin 2 dan proliferasi dari sel T. Studi

lanjut menunjukkan salin hipertonik dapat mengembalikan supresi sel T pada

pasien trauma dengan cara menghambat atau subtitusi yang memblok signal

pathway.

Hasil ini menunjukkan bahwa larutan hipetonik dapat bernilai pada akut

hipovolemia, tetapi diberikan sebelum resuritasi cairan : keterlambatan pemberian

dapat memperkuat aktivasi respon inflamasi neutrofil-sel endothelial. Larutan

Page 11: Referat resusitasi cairan

salin hipertonik tidak dianjurkan untuk resusitasi cairan, tetapi dapat sebagai obat

yang berperan meningkatkan sistem immune jika diberikan sesegera mungkin

setelah cedera sebelum terapi volume dimulai. Informasi ini seharusnya

mempengaruhi penelitian dengan design klinikal trial pengguanaan larutan

hipertonik pada penanganan trauma prehospital dan hospital.

Efek berbagai koloid

Sejak pertengahan abad lalu, larutan albuumin manusia merupakan utama untuk

menambah volume, dan telah dicari alternatif buatan karena albumin manusia

sangat mahal daripada koloid sintetik atau larutan kristaloid. Apalagi resiko

infeksi saat ini ddari produk darah menambah permintaan koloid sintetik. Larutan

yang ideal volume ekspander yaitu yang tetap tinggal di ruang vaskuler, tidak

mempengaruhi homeostatik, inert (tidak terurai), dan diekskresikan total. Hal ini

dikembangkan berbagai macam koloid termasuk gelatin dengan berat molekul

rendah dengan berat rata-rata 30 kDa, dextran dengan berat molekul rata-rata

antara 40 sampai 150 kDa, dan jenis Hydroxyethiyl starch (HES) yang disediakan

dengan berat molekul rata-rata 70 kDa sampai 450 kDa. Larutan HES dengan

berat molekul tinggi yang dikenal hetastarhes, tetap tertahan di sirkulasi selama

beberapa jam dan cenderung mempengaruhi koagulasi, tetapi tetapi sediaan HES

sekarang sedikit menimbulkan masalah dengan berat molekul rata-rata sekitar 100

kDa sampai 200 kDa dan dengan berat rendah mempercepat degradasi dan

ekskresinya. Secara umum tanpa memandang perbedaan harga dan anekdot

penggunaan koloid lebih berdasarkan keadaan klinis daripada efesiensi. Namun,

penelitian tentang efek penggunaan koloid yang berbeda terhadap respon

inflamasi dan fungsi organ tetap diamati dan memerlukan penelitian dengan studi

klinis komparatif prospektif.

Bukti klinis dan studi in vitro yang membandingkan HES dengan albumin,

gelatin, dan ekspansi volume hanya dengan koloid, menunjukkan bahwa HES

mengurangi inflamasi yang menginduksi kebocoran kapiler terhadap air dan

albumin yang kemungkinan memodulasi pelepasan sitokin dan interaksi leukosit

dengan endothel vaskular.

Page 12: Referat resusitasi cairan

HES mempunyai keuntungan klinis yang berbeda dibanding dengan cairan lain,

dimana keadaan biofisik HES yang tidak sederhana tertahan lebih baik pada

kebocoran vaskuler. Bolt dan kawan-kawan mengacak 30 pasien trama dan 30

pasien sepsis yang menerima 10 % HES (berat molekul rata-rata 200 kDa) atau 29

% albumin manusia yang diinfus selama 5 hari untuk mempertahankan tekanan

kapiler pulmoner antara 12 mmHg dan 18 mmHg. Tekanan vena sentral dan

tekanan kapiler pulmoner dibandingkan dalam kedua kelompok (trauma/sepsis)

selama penelitian. Baik pada pasien trauma maupun paien sepsis, kardiak indeks,

konsumsi oksigen, dan distribusi aksigen, meningkat dengan pengguanaan HES.

Fraksi ejeksi ventrikel kanan berkurang (<40%) pada pasien dengan pemakaian

albumin dan meningkat pada kelompok yang memakai HES. pHi intramukosa

gastrik, sebagai marker keadaan perfusi splanikus, tetap normal (>7,35) baik pada

penanganan dengan albumin dan HES pada kelompok trauma dan penggunaan

HES pada pasien sepsis. Pemberian albumin pada pasien sepsis, pHi turun

dibawah 7,20 selama penelitian yang menunjukkan menurunnya perfusi splanikus.

Peneliti menyimpulkan terapi cairan albumin dalam waktu yang lama pada pasien

trauma dan pasien sepsis tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan

HES. Penggantian volume dengan HES memperbaiki hemodinamik sistemik pada

kedua kelompok, dan memperbaiki perfusi splanikus pada pasien sepsis.

Pada percobaan denga metode acak prospektif penggunaan HES dibandingkan

dengan kristaloid pada 30 pasien yang mengalami operasi aorta, Marik dan

kawan-kawan juga meneliti perfusi splanikus dengan pengukuran pHi. Penurunan

pHi sedikit terjadi pada kelompok dengan pemberian HES dan balans cairan

positif intraoperatif menurun pada kelompok ini. Peneliti menyimpulkan bahwa

selama bedah mayor resusitasi volume dengan HES dapat memperbaiki aliran

darah mikrovaskuler dan oksigenasi dibandingkan dengan hanya dengan

pemakaian resimen kristaloid.

Dengan pengukuran pHi dan hemodinamik parameter, Bold dan kawan-kawan

meneliti fungsi hati dan regulasi sirkulasi pada pasien trauma (n=28) dan sepsis

(n=28) yang diacak menerima resusitasi albumin dan HES. Konsentrasi plasma

terhadap vasopresin, endothelin-1, adrenalin (epinefrin), noradrenalin

Page 13: Referat resusitasi cairan

(norepinefrin), atrial natriuretik peptida, dan 6-keto-prostaglandin F1α diukur

pada hari perawatan intensif (trauma pasien) atau pada pasien sepsis dan

pengukuran tiap hari selama 5 hari. Fungsi hati dinilai tiap hari dengan

menggunakan monoethyl glycinexylidide test (MEGX). Mean arterial pressure,

heart rate, dan tekanan kapiler pulmoner tidak berbeda pada kedua koresponden

(trauma/sepsis). Kardiak indeks meningkat secara bermakna pada HES daripada

albumin. pHi dan konsentrasi MEGX plasma tidak berbeda pada kedua kelompok

pasien trauma, tetapi kedua nilai lebih rendah pada pasien sepsis dan meningkat

pada dengan jelas pada penggunaan HES daripada albumin. Pada pasien trauma,

konsentrasi semua regulator vasoaktif sama pada pemakaian albumin dan HES.

Pada kedua kelompok sepsis, vasopressor (vasopresin, endothelin-1, noradrenalin,

dan adrenalin) meningkat diatas garis normal dan menurun secara bermakna pada

pemakaian HES daripada albumin. Konsentrasi atrial natriuretik peptida

meningkat hanya pada pasien dengan terapi albumin, sementara konsentrasi 6-

keto-prostaglandin F1 menurun bermakna hanya pada pasien sepsis dengan

pemberian HES. Hasil ini menunjukkan bahwa HES lebih efektif sebagai volume

ekspander daripada albumin, khususnya pada pasien sepsis.

Younes dan kawan-kawan menelit secara acak pasien trauma dengan hipovolemik

hemoragik dengan HES(n=12) atau salin isotonik (n=11). Cairan diberikan 250 ml

bolus ampai tekanan sistolik >100 mmHg. Karena rata-rata kematian sama pada

kedua kelompok , pemberian cairan yang kurang dibutuhkan pada pasien yang

diberikan HES, dimana retensi vaskular lebih baik pada HES dibandingkan

dengan salin.

Dengan studi prospektif acak, peneliti membandingkan resusitasi dengan HES (10

% Pentaspan)(n=20) atau gelatin (n=21) pada 24 jam pertama pada pasien trauma

tumpul. Permeabilitas kapiler dinilai dengan menilai kecepatan rata-rata ekskresi

albumin urin setiap 6 jam , dimana pada kelompok HES terjadi penurunan ½

selama 8-12 jam . Setelah 48 jam rasio rata-rata pO2/FiO2 lebih tinggi pada

kelompok HES dan serum C reactive protein lebih rendah.Tidak ada perbedaan

bermakna pada faktor koagulasi selama 5 hari. Penelitian yang lain terhadap

pasien yang menjalani repair aneurisma aorta abdominal, secara acak menerima

Page 14: Referat resusitasi cairan

HAES atau gelatin selama 24 jam , menunjukkan penurunan yang sama

permeabilitas kapiler sistemik perioperatif, komplians paru meningkat, dan rasio

pO2/FiO2 dan tingginya pHi yang menunjukkan kurangnya iskemik splanikus.

Kelompok HES juga menunjukkan rendahnya dalam sirkulasi postoperatif

konsentrasi interleukin 6, C reaktif protein dan von Willebrand endothelial dalam

sirkulasi, menunjukkan adanya efek proteksi endothelial vaskular dan anti

inflamasi pada pasien diterapi HES. Konsentrasi kreatinin serum juga rendah pada

pasien diterapi ES. Pada studi acak dengan terapi HES pada pasien trauma (n=15)

atau 20 % pasien dengan terapi albumin (n=15) untuk terapi volume, konsentrasi

sELAM plasma ( Endothelial Leucosyte adhesion molecul), sICAM ( intercellular

adhesion molecule-1), vascular cell adhesion molecule-1 (sVCAM-1), and granule

membrane protein 140 (sGMP-140) lebih renda pada kelompok HES selama 5

hari. Studi ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan albumin, gelatin, atau

resimen kristaloid, resusitasi dengan HES dengan berat molekul sedang

mengurangi kebocoran kapiler postrauma, memperbaiki pertukaran gas pulmoner,

dan mengurangi iskemik splanikus dan mempunyai efek antiinflamasi.

Ekspansi volume dengan hetastarches dengan berat molekul tinggi menyebabkan

koagulopathy. Dua studi yang membandingkan HES dengan berat molekul sedang

dengan gelatin untuk resusitasi trauma atau selama opeasi orthopedi menunjukkan

tidak ada perbedaan hasil pemeriksaan laboratorium marker koagulasi. Dengan

memperhatikan kekurangan yang dimiliki sediaan koloid, sangat berbahaya

menggunakan HES tanpa input cairan yang cukup, dimana penggunaan HES

sebagai komponen utama infus cairan mempunyai resiko dehidrasi sellular, dan

dilaporkan kerusakan fungsi ginjal oleh karena nephrosis osmotik. Larutan HES

merupakan larutan efektif sebagai volume ekspander tetapi tidak menyebabkan

pembentukan urine. Kegagalan memberikan input air bebas dapat merusak ginjal.

Menurut penelitian menunjukkan Larutan HES lebih mwnguntungkan daripada

koloid lain, HES hanya diberikan 1/3 dari total volume cairan yang diberikan per

infus. Studi tambahan dibutuhkan untuk mencari mekanisme HES yang mana

yang mempunyai efek antiinflamasi, proteksi mikrovaskularisasi selama keadaan

inflamasi akut seperti trauma dan sepsis. Namun, sudah ada bukti yang cukup dari

Page 15: Referat resusitasi cairan

studi klinis untuk menggambarkan anjuran praktis mengoptimalkan resimen

resusitasi dan resimen post-resusitasi cairan.

RESUSITASI

Pembatasan input natrium, klorida, dan cairan dengan pemberian dalam

jumlah sedikit HES berat molekul sedang sebagai resimen resusitasi. Ekspansi

volume dengan HES mengurangi loading cairan dan natrium dibandingkan

dengan gelatin, 4,5% albumin, atau hanya dengan kristaloid. Rekomendasi ini

sesuai dengan guidelines ATLS dimana 2 liter larutan Hartmann yang

dihangatkan diberikan pada resusitasi cairan segera, tetapi dari semua cairan yang

diberikan 1/3nya dari cairan infus dengan HES berat molekul sedang. Penggunaan

larutan hipertonik pada trauma kepala mungkin memberi keuntungan, tetapi tidak

digunakan sebagai terapi tunggal. Penggunaan larutan hipertonik sejak dini

penanganan hipovolemik tetap menguntungkan, dan efek modulasi immun

tergantung waktu pemberian setelah cedera.

SETELAH RESUSITASI

1. Mencapai balans cairan dan natrium negatif, ketika stabilitas hemodinamik

telah baik dan respon inflamasi telah hilang, terjadi mobilisasi cairan dan

natrium dari loading cairan resusitasi. Hal ini khas terjadi pada 2 sampai 5

hari post trauma atau kasus operasi tanpa komplikasi.

2. Mengawasi balans cairan dan natrium setiap 24 jam. Dengan

memperhitungkan 800 ml insensible losses perhari dan peningkatan 200

ml setiap 1 o C diatas 37°C ( terutama pasien luka bakar)

3. Memberikan maintenans air untuk urine untuk mengganti insensible

losses, seluruhnya atau kombinasi dengan dextrose 5 % intravena.

4. Monitor volume urine, natrium, kalium, dan ekskresi urea tiap hari sampai

terapi intravena tidak dibutuhkan. Jika osmolalitas urine meningkat diatas

500 mosm/l, natrium urine turun dibawah 50 mmol/24 jam disertai

peningkatan konsentrasi natrium dan urea serum menunjukkan

peningkatan input cairan bebas.

Page 16: Referat resusitasi cairan

5. Jika balans negatif natrium dan air sulit dicapai, dipertimbangkan

menggunakan diuretik. Mengingat konsentrasi natrium dan kalium serum

tidak menggambarkan keadaan total tubuh, sangat penting

membandingkan input cairan dengan ekskresi elektrolit dan urea.

TANDA OVERLOAD CAIRAN PADA KORBAN TRAUMA

1. Balans cairan positif yang memanjang

Volume darah normal pada laki-laki dewasa sekitar 5 liter, dimana volume plasma

sekitar 2,8 liter. Setelah koreksi perkiraan kehilanghan darah dan insensible losse,

24 jam pasien post resusitasi memperlihatkan adanya balans positif cairan sekitar

4 sampai 6 liter cairan . Hal ini disebabkan oleh trauma yag menginduksi

permeabilitas kapiler sistemik yang mengakibatkan pergerakan cairan dari

vaskular ke ruang interstisial. Cairan yang berlebih ini harus dikeluarkan pada hari

ke 2 sampai 5 setelah respon inflamasi telah hilang dan fungsi mikrovaskular

kembali normal. Balans cairan positif yang meningkat dan memanjang

menunjukkan overload cairan memburuk: ini karena mungkin iatrogenik dan

dapat dihindari atau disebabkan oleh kebocoran kapiler yang terus-menerus pada

SIRS disertai dengan menurunnya resistensi vaskuler sistemik.

2. Pulmonary wedge pressure/Tekanan pulmoner

Keadaan seperti timbulnya tamponade jantung, kegagalan ventrikel kiri, stenosis

katup mitral atau perikarditis, tekanan pulmonal tinggi menunjukkan overload

cairan(NB koreksi sebaiknya dilakukan dengan PEEP (Positive End Expiratory

Pressure).

3. Stroke volume jantung

Efek pemberian 200 ml hydroxethyl starch bolus pada stroke volume jantung

yang diukur dengan Doppler esofageal dapat digunakan untuk meningkatkan pre-

loaddan pada operasi jantng dan orthopedi menunjukkan perbaikan. Kegagalan

ekspansi cairan vaskuler meningkatkan stroke volume menunjukkan ekspansi

yang berlebihan dan harus dibatasi penambahan kompartemen vaskuler.

4. Peningkatan berat badan

Page 17: Referat resusitasi cairan

Adanya bed pengukuran berat badan dengan alat monitor yang dapat dibaca, berat

badan dapat digunakan untuk menaksir balans cairan. Hal ini terutama pada

pasien luka bakar dengan insensible losses yang tidak dapat diukur.

Kesimpulan

Cedera menyebabkan respon langsung patofisiologis untuk mempertahankan

suplai darah ke organ penting, namun hal ini disertai dengan retensi natrium dan

air. Respon terhadap cedera dan infeksi juga menyebabkan peningkatan

permeabilitas kapiler sistemik terhadap protein dan cairan, dimana hal ini diluar

kendali awal timbulnya SIRS dan menyebabkan overload air dan garam saerta

edema interstisial. Walaupun loading natrium, klorida, dan air merupakan

penanganan yang tidak dapat dihindari pada keadaan akut, namun efek yang

merusak dari garam dan air yang berlebih setelah pemberian dapat dibatasi.

Strateginya termasuk memberikan HES dengan berat molekul sedang yang

dikombinasikan dengan larutan Hartmann untuk resusitasi, penilaian penggantian

volume yang adequat dengan memonitor hemodinamik dan klinis pasien dan

menghindari infus cairan yang mengandung garam. Target post resusitasi adalah

tidak terdapatnya kelebihan garam dan air dalam ruang interstisial segera setelah

respon inflamasi hilang dan kebocoran kapiler kembali normal dan hemodinamik

stabil. Selama recovery, perlu diperhatikan persediaan cairan bebas dalam

mempertahankan output urine yang cukup untuk ekskresi natrium yang berlebih

saat resusitasi dan juga peningkatan ekskresi nitrogen karena trauma, bedah

mayor, atau sepsis.