refer at

30
BAB I PENDAHULUAN TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis bacillus. Ini biasanya mempengaruhi paru-paru (TB paru), tetapi dapat mempengaruhi situs lain juga (TB luar paru). Penyakit ini menyebar melalui udara, misalnya dengan cara batuk. Secara keseluruhan, proporsi yang relatif kecil terjadi pada orang yang terinfeksi M. tuberculosis yang kemudian akan berkembang menjadi penyakit TB. Namun, kemungkinan perkembangan TB jauh lebih tinggi di antara orang yang terinfeksi HIV. TB juga lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dan mempengaruhi terutama orang dewasa di kelompok usia ekonomi yang paling produktif. (WHO, 2014) Metode yang paling umum untuk mendiagnosis TB di seluruh dunia adalah mikroskop BTA (dikembangkan lebih dari 100 tahun yang lalu), di mana bakteri yang diamati pada sampel dahak diperiksa dibawah mikroskop. Di negara-negara dengan kapasitas laboratorium yang lebih maju, kasus TB juga didiagnosis melalui metode kultur (standar acuan saat ini). (WHO, 2014) Tanpa pengobatan, tingkat kematian TB tinggi. Dalam studi alamiah penyakit antara sputum BTA positif / kasus HIV-TB paru negatif, sekitar 70% meninggal dalam waktu 10 tahun; antara kultur positif 1

Upload: muh-fajrianto

Post on 06-Nov-2015

215 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

referat TB mdr

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis bacillus. Ini biasanya mempengaruhi paru-paru (TB paru), tetapi dapat mempengaruhi situs lain juga (TB luar paru). Penyakit ini menyebar melalui udara, misalnya dengan cara batuk. Secara keseluruhan, proporsi yang relatif kecil terjadi pada orang yang terinfeksi M. tuberculosis yang kemudian akan berkembang menjadi penyakit TB. Namun, kemungkinan perkembangan TB jauh lebih tinggi di antara orang yang terinfeksi HIV. TB juga lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dan mempengaruhi terutama orang dewasa di kelompok usia ekonomi yang paling produktif. (WHO, 2014)Metode yang paling umum untuk mendiagnosis TB di seluruh dunia adalah mikroskop BTA (dikembangkan lebih dari 100 tahun yang lalu), di mana bakteri yang diamati pada sampel dahak diperiksa dibawah mikroskop. Di negara-negara dengan kapasitas laboratorium yang lebih maju, kasus TB juga didiagnosis melalui metode kultur (standar acuan saat ini). (WHO, 2014)Tanpa pengobatan, tingkat kematian TB tinggi. Dalam studi alamiah penyakit antara sputum BTA positif / kasus HIV-TB paru negatif, sekitar 70% meninggal dalam waktu 10 tahun; antara kultur positif (tapi BTA-negatif), 20% meninggal dalam waktu 10 tahun. (WHO, 2014)Pada dasarnya, penyebab pengobatan anti tuberkulosis yang tidak memadai dapat dikelompokkan dalam tigal hal, diantaranya : 1. Penyedia layanan kesehatan yang tidak memiliki regimen yang memadai, 2. Obat : pasokan atau kualitas yang tidak memadai, 3. Pasien : asupan obat yang tidak adekuat. (WHO, 2008)Sebuah terapi obat yang efektif pertama kali dikembangkan pada tahun 1940-an. Obat lini pertama anti-TB yang paling efektif, rifampisin, menjadi tersedia pada tahun 1960-an. Pengobatan saat ini direkomendasikan untuk kasus baru TB adalah rejimen enam bulan dari empat obat lini pertama: isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid. Tingkat keberhasilan pengobatan 85% atau lebih untuk kasus-kasus baru secara teratur dilaporkan ke WHO oleh negara-negara anggotanya. Pengobatan untuk multidrug-resistant TB (MDR-TB), didefinisikan sebagai resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin (dua obat anti-TB yang paling kuat) lebih panjang, dan membutuhkan obat yang lebih mahal dan lebih beracun. Untuk sebagian besar pasien dengan MDR-TB, rejimen saat ini direkomendasikan oleh WHO tarif 20 bulan terakhir, dan keberhasilan pengobatan jauh lebih rendah. (WHO, 2014)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiBerdasarkan Guidelines for the programmatic management of drug resistant tuberculosis: emergency update oleh WHO resisten terhadap OAT dinyatakan bila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih OAT. (WHO, 2008)Tabel 1. Kategori resistensi terhadap OATMono resistance:Resisten terhadap satu obat lini pertama

Poly resistance:Resisten terhadap lebih dari satu OAT lini pertama selain kombinasi isoniazid dan rifampisin.

Multi drug resistance (MDR):Resisten terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin

Extensively drug resistance (XDR):TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu obat golongan flourokuinolon dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)

Total drug resistance:Resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai

Sumber : WHO, 2008

B. EpidemiologiMDR-TB di Amerika Serikat pada 1990-an yang menarik perhatian. Tingkat masalah global TB yang resistan terhadap obat ini terbukti dari tiga putaran survei dikoordinasikan oleh World Organisasi Kesehatan (WHO) dan International Union Against Tuberculosis dan Penyakit Paru antara 1996 dan 2002. Putaran ketiga survei termasuk data baru dari 77 pengaturan atau negara-negara yang dikumpulkan antara 1999 dan 2002. Di antara kasus baru, prevalensi MDR-TB (median, 1,1%) berkisar antara 0% di delapan negara menjadi 14,2% di Kazakhstan (51 dari 359 pasien) dan Israel (36 dari 253 pasien). Di antara kasus diobati sebelumnya, prevalensi median MDR-TB adalah 7,0%. Dalam survei terbaru, seperti pada dua survei sebelumnya, MDR-TB ditemukan di seluruh wilayah di dunia. Prevalensi MDR-TB adalah sangat tinggi di hampir semua negara dari Uni Soviet yang disurvei, termasuk Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithuania, Federasi Rusia, dan Uzbekistan. prevalensi tinggi MDR-TB juga ditemukan di antara kasus baru di Cina (Henan dan provinsi Liaoning), Ekuador, dan Israel. Eropa Tengah dan Afrika, sebaliknya, melaporkan tingkat rata-rata terendah resistensi obat. Estimates baru dari 184 negara menunjukkan bahwa diperkirakan 458.000 kasus baru TB-MDR terjadi di seluruh dunia pada tahun 2003, dengan 276.000 kasus-kasus (60%) dilaporkan dari negara-beban tinggi Cina dan India merupakan 3,2% dari semua kasus TB baru. Namun, harus diingat bahwa kenaikan prevalensi resistensi dapat disebabkan oleh pengendalian TB yang buruk atau memburuk, imigrasi pasien dari daerah resistensi tinggi, wabah penyakit yang resistan terhadap obat, dan variasi dalam metodologi pengawasan. (Sharma, 2006)Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai beban tinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR/XDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini menyumbang 85% dari beban TB-MDR global. Di negara-negara yang termasuk dalam daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus TB-MDR atau sekurangkurangnya 10% dari seluruh kasus baru TB-MDR. Laporan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2008 kasus TB-MDR di Indonesia sebesar 6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka TB-MDR sebesar 2% dari kasus TB baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang. (Kemenkes, 2011)

Gambar 1. Perkiraan tingkat insiden TB tahun 2013. (WHO, 2014)

C. Suspek TB-MDRPasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah (PDPI, 2011) :1. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2.2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 23. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS termasuk yang mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin.4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1.6. TB paru kasus kambuh.7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2.8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR.9. TB HIV

D. Faktor-Faktor Terjadinya ResistensiTB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, Sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain (PDPI, 2011) :1. FAKTOR MIKROBIOLOGIKA. Resisten yang naturalB. Resisten yang didapatC. Amplifier effectD. Virulensi kumanE. Tertular galur kuman MDR2. FAKTOR KLINIKA. Penyelenggara kesehatan Keterlambatan diagnosis Pengobatan tidak mengikuti pedoman/guideline Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH Tidak ada guideline/pedoman Tidak ada /kurangnya pelatihan TB Tidak ada pemantauan pengobatan Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten. Organisasi program nasional TB yang kurang baikB. Obat Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan gagal sampai selesai atau komplit Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang Regimen/dosis obat yang tidak tepat Harga obat yang tidak terjangkau Pengadaan obat terputusC. Pasien PMO tidak ada/kurang baik Kurangnya informasi atau penyuluhan Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang, dll Efek samping obat Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada Masalah sosial Gangguan penyerapan obat3. FAKTOR PROGRAM Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan Amplifier effect Tidak ada program DOTS-PLUS Program DOTS belum berjalan dengan baik Memerlukan biaya yang besar4. FAKTOR AIDSHIV Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar Gangguan penyerapan Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar5. FAKTOR KUMANKuman M. tuberculosis super strains Sangat virulen Daya tahan hidup lebih tinggi Berhubungan dengan TB-MDR

E. Mekanisme Terjadinya Resistensia. Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase. (Alfin, 2012)Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase. (Alfin, 2012)b. Mekanisme Resistensi Terhadap RifampisinRifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler. Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manusia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut. (Alfin, 2012)c. Mekanisme Resistensi Terhadap PyrazinamidePyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek. Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat. (Alfin, 2012)Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase. (Alfin, 2012)d. Mekanisme Resistensi Terhadap EthambutolEthambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel. Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus. (Alfin, 2012)

e. Mekanisme Resistensi Terhadap StreptomysinStreptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi ribosomal. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin. (Alfin, 2012)

F. Diagnosis TB-MDR Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. (PDPI, 2011) Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat M. Tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH, maka dapat ditegakkan diagnosis TB MDR. (PDPI, 2011)Diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk TB MDR didukung oleh (PDPI, 2011) : Pengenalan faktor resiko untuk TB MDR Pengenalan kegagalan obat secara dini Uji kepekaan obat di laboratorium yang sudah tersertifikasiUji kepekaan OAT lini 2 dilakukan bila terdapat riwayat pemakaian OAT lini kedua atau pada pasien MDR yang dalam masa pengobatan tidak terjadi konversi atau perburukan secara klinis. (PDPI, 2011)Untuk uji kepekaan terhadap Pengendalian tuberkulosis itu sendiri saat ini terkendala oleh metode diagnostik konvensional yang lambat terutama untuk mendeteksi multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB). Deteksi dini MDR-TB sangat penting untuk mencegah penyebaran MDR-TB dan mengurangi angka kematian. Penelitian yang dilakukan oleh Nurlina dkk, menggunakan pemeriksaan GeneXpert MTB/RIF menunjukkan hasil pemeriksaan kultur didapatkan 54 sampel tumbuh, 34 sampel tidak tumbuh, dan 3 sampel merupakan Mycobacteria lain dari tuberkulosis. Sebesar 97,5% sampel yang resisten rifampisin juga resisten terhadap isoniazid. Pemeriksaan GeneXpert MTB/RIF menunjukkan sensitivitas 92,3% dan spesifisitas 75% dengan akurasi 88,2%. Sehingga dapat disimpulkan, pemeriksaan GeneXpert MTB/RIF memiliki validitas tinggi untuk mendiagnosis MDR-TB terhadap baku emas uji kepekaan M. tuberculosis dengan metode proporsi pada media Lowenstein Jensen. Dan pemeriksaan ini sangat disarankan sebagai alat skrining MDR-TB. (Sirait, 2013)

G. PenatalaksanaanTabel 2. Kelompok OAT yang digunakan dalam pengobatan TB resisten obatGolongan dan JenisObat

Golongan-1 Obat Lini Pertama Isoniazid (H) Ethambutol (E) Pyrazinamide (Z) Rifampicin (R) Rifabutin (RfB)

Golongan-2 / Obat suntik/ Suntikan lini kedua Kanamycin (Km) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm) Streptomycin (S)

Golongan-3 / Golongan Floroquinolone Ofloxacin (Ofx) Levofloxacin (Lfx) Moxifloxacin (Mfx)

Golongan-4 / Obat bakteriostatik lini kedua Ethionamide (Eto) Prothionamide (Pto) Cycloserine (Cs) Para amino salisilat (PAS) Terizidone (Trd)

Golongan-5 / Obat yang belum terbukti efikasinya dan tidak direkomendasikan oleh WHO Clofazimine (Cfz) Linezolid (Lzd) Amoxilin-Clavulanate (Amx-Clv) Klaritromisin Thioacetazone (Thz) Clarithromycin (Clr) Imipenem (Ipm) INH dosis tinggi

Sumber : (WHO, 2008) Strategi pengobatan TB-MDR Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut. Dibawah ini beberapa strategi pengobatan TB MDR (PDPI, 2011) :1. Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan2. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.3. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.

Regimen standar TB MDR di indonesia adalah :6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs / 18Z-(E)-Lfx-Eto-CsEthambutol tidak diberikan bila terbukti resisten

Prinsip Pengobatan (Nawas, 2010)1. Setiap rejimen TB MDR terdiri dari paling kurang 4 macam obat dengan efektifitas yang pasti atau hampir pasti.2. PAS ditambahkan ketika ada resistensi diperkirakan atau hampir dipastikan ada pada fluorokuinolon. Kapreomisin diberikan bila terbukti resisten kanamisin.3. Dosis obat berdasarkan berat badan.4. Obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) digunakan sekurangkurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.Periode ini dikenal sebagai fase intensif.5. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan6. Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `7. Suntikan diberikan 5x/minggu selama rawat inap dan rawat jalan. Obat per oral diminum setiap hari. Pada fase intesif obat oral diminum didepas petugas kesehatan kecuali pada hari libur diminum didepan PMO. Sedangkan pada fase lanjutan obat oral diberikan maksimum 1 minggu dan diminum didepan PMO. Setiap pemberian suntikan maupun obat oral dibawah pengawasan selama masa pengobatan.8. Pada pasien yang mendapat sikloserin harus ditambahkan Piridoxin (vit. B6), dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin9. Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal

OAT dan Dosisnya (Nawas, 2010) Penentuan dosis OAT oleh dokter yang menangani dan berdasarkan berat badan pasien. Penentuan dosis dapat dilihat tabel dibawah ini. Obat akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan oleh petugas farmasi UPK pusat rujukan TB MDR) untuk 1 bulan mulai dari awal sampai akhir pengobatan sesuai dosis yang telah dihitung oleh dokter yang menangani. Paket obat yang sudah disiapkan untuk 1 bulan tersebut akan di simpan di Poliklinik DOTS Plus UPK pusat rujukan TB MDR Penyerahan obat setiap minggu kepada pasien pada fase lanjutan dibawah pengawasan dokter yang menangani. Bila pasien meneruskan pengobatan di UPK satelit maka paket obat ini akan diambil oleh petugas farmasi UPK satelit setiap bulannya di unit farmasi UPK pusat rujukan TB MDR. Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3. Perhitungan Dosis OATSumber : (WHO, 2008) Pengobatan Ajuvan Pada TB MDR (Nawas, 2010) Pemberian tambahan zat gizi :Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang akan lebih berhasil bila diberi tambahan zat gizi protein, vit dan mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll). Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon karena akan mengganggu absorbsi obat, berikan masing-masing dengan jarak minimal 4 jam. Kortikosteroid.Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis. Prednison digunakan 1 mg/kg dan diturunkan (tappering off) apabila digunakan dalam jangka waktu lama. Kortikosteroid juga digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik eksaserbasi.

Fase-Fase pengobatan TB MDR (Nawas, 2010)1. Fase Pengobatan intensifFase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakana. Fase rawat inap di RS 2-4 mingguPada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk: Menilai keadaan pasien secara cermat Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan: Tidak ditemukan efek samping Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman pengobatan TB MDRPenentuan tempat pengobatanSebelum pasien memulai rawat jalan, Tim ahli klinis rujukan MDR membuat surat pengantar ke UPK satelit TB MDR yang terdekat dengan tempat tinggal pasien untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya. Pasien juga dapat memilih RS rujukan TB MDR sebagai tempat melanjutkan pengobatan rawat jalan hingga selesai pengobatanb. Fase rawat jalanSelama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien hanya pada libur.Pada fase rawat jalan:1) Pasien mendapat suntikan setiap hari (Senin s/d Jumat) sedangkan obat oral 7 hari per minggu. Penyuntikan obat dan menelan minum obat dilakukan didepan petugas kesehatan2) Pasien berkonsultasi dan diperiksa oleh dokter UPK satelit-2 setiap 1 minggu3) Pasien yang memilih pengobatan di UPK satelit akan mengunjungi dokter di RS rujukan MDR setiap 2 minggu (jadwal kedatangan disesuaikan dengan jadwal pemeriksaan sputum atau laboratorium lain) sampai dokter memutuskan kunjungan dikurangi menjadi sebulan sekali4) Dokter UPK satelit memastikan: bahwa pasien membawa spesimen sputum yang layak untuk pemeriksaan mikroskopik dan kultur setiap bulannya dan dilakukan pemeriksaan darah atau lainnya jika dibutuhkan. Anggota Tim Ahli Klinis dan wasor memperoleh informasi klinis yang diperlukan untuk dibicarakan pada pertemuan Tim Ahli Klinis (hasil pemeriksaan sputum dan kultur, efek samping dst) Mencatat perjalanan penyakit pasien dan bila ada kejadian khususmaka akan melaporkan kepada Tim Ahli Klinis di pusat rujukan

2. Fase pengobatan lanjutan Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan Pasien yang berobat di UPK satelit akan mengunjungi RS rujukan TB MDR setiap 1 bulan untuk berkonsultasi dengan dokter (sesuai dengan jadwal pemeriksaan dahak dan biakan) Obat diberikan setiap minggu oleh petugas UPK satelit atau RS Rujukan TB MDR kepada pasien. Pasien minum obat setiap hari dibawah pengawasan PMO Perpanjangan lama pengobatan hingga 24 bulan diindikasikan pada kasus-kasus kronik dengan kerusakan paru yang luas

H. Pemantauan Pengobatan

Sumber : (PDPI, 2011)

Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan MDR TB dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien MDR TB adalah; (1) penilaian klinis termasuk berat badan dan pengawasan oleh PMO yang dilakukan setiap bulan, (2) pemeriksaan dahak dan biakan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan, (3) uji kepekaan obat diulang bila perlu dan sesuai indikasi, seperti pada gagal konversi atau memburuknya klinis. (4) foto toraks dilakukan setiap 6 bulan setelah pengobatan, (5) Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin), (7) pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid, (8) pemeriksaan enzim hepar (SGOT, SGPT), apabila fungsi hati meningkat 3 kali lipat tapi tidak disertai dengan adanya tanda klinis seperti ikterus, mual, dan muntah maka pengobatan dapat diteruskan namun tetap harus dalam pengawasan, kecuali peningkatan fungsi hati minimal 3 kali lipat dan disertai tanda klinis maka pengobatan OAT distop dan dievaluasi secara periodik. (PDPI, 2011)

I. Pembedahan TB MDRProsedur pengobatan yang paling sering dilakukan pada pasien TB -DR adalah reseksi. Dari hasil beberapa penelitian pembedahan efektif dan relatif aman. Pembedahan tidak diindikasikan pada penderita dengan gangguan paru luas bilateral. Pembedahan dilakukan pada kasus kasus awal sseperti kelainan 1 lobus atau paru dan setelah pemberian pengobatan selama 2 bulan untuk menurunkan infeksi bakteri dalam paru. Setelah pembedahan, pengobatan tetap diberikan selama 12-24 bulan. (PDPI, 2011)

J. PencegahanKunci pencegahan TB MDR adalah dengan mendiagnosis secara dini setiap terduga TB resistan obat dan dilanjutkan dengan pengobatan dengan OAT lini kedua sesuai standar. Pengobatannya harus dipantau kepatuhan dan ketuntasannya, serta harus dilaporkan kedalam sistem surveilans. (TB indonesia, 2014)Pengobatan TB dengan tatalaksana yang tidak standar baik dalam hal paduan, lama dan cara pemberian pengobatan dapat menjadi factor pencetus untuk meningkatnya jumlah kasus TB resistan obat dan TB MDR. Penggunaan obat anti TB lini kedua (missal siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin, kanamisin dll) secara sembarangan dapat dapat memicu munculnya TB XDR. (TB indonesia, 2014)Untuk mencegah penularan kuman TB MDR, pencegahan dan pengendalian infeksi yang tepat harus dilakukan disetiap fasyankes yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien TB Resistan obat TB MDR/ XDR, termasuk juga menjaga lingkungan tempat tinggal pasien TB Resistan obat TB MDR/ XDR. (TB indonesia, 2014)

K. PrognosisAda beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT dengan jumlah cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (