refer atyrwr

24
REFERAT TULI SENSORINEURAL PADA OTITIS MEDIA KRONIK DISUSUN OLEH: Heny Handayani 03011128 PEMBIMBING: dr. Donald Marpaung, Sp. THT KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 25 MEI – 27 JUNI 2015

Upload: nuristy-fauzia-ulhaq-pribadi

Post on 12-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

yrwrtwaear

TRANSCRIPT

Page 1: Refer Atyrwr

REFERAT

TULI SENSORINEURAL PADA OTITIS MEDIA

KRONIK

DISUSUN OLEH:

Heny Handayani

03011128

PEMBIMBING:

dr. Donald Marpaung, Sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 25 MEI – 27 JUNI 2015

JAKARTA

Page 2: Refer Atyrwr

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Heny Handayani

NIM : 03011128

Universitas : Trisakti

Fakultas : Kedokteran

Program studi : Program Studi Profesi Dokter

Bidang pendidikan : Ilmu Penyakit THT

Periode : 25 Mei – 27 Juni 2015

Judul : Tuli sensorineural pada Otitis media kronik

Pembimbing : dr. Donald Marpaung, Sp. THT

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk

menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT di RSAL Mintohardjo

periode 25 Mei – 27 Juni 2015.

Jakarta, 25 Juni 2015

dr. Donald Marpaung, Sp.THT

i

Page 3: Refer Atyrwr

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Tuli

sensorineural pada otitis media kronik”. Penulisan referat ini dilakukan dalam

rangka memenuhi salah satu tugas dalam pelaksanaan kepaniteraan klinik Ilmu

Penyakit THT di RSAL Mintohardjo.

Dalam proses penyusunan referat ini, penulis menyadari penuh bahwa tanpa

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit untuk

menyelesaikannya. Oleh karena itu, izinkan penulis untuk mengucapkan rasa

hormat dan terima kasih kepada:

1. dr. Donald Marpaung, Sp.THT-KL, selaku ketua SMF serta Pembimbing

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT RSAL Mintohardjo

2. dr. Much. Agus S, Sp.THT, M.Kes, selaku Pembimbing Kepaniteraan

Klinik Ilmu Penyakit THT RSAL Mintohardjo

3. Kedua Orang Tua Penulis

4. Rekan–rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT RSAL Mintohardjo

Diharapkan referat ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca,

semoga dapat menambah pengetahuan dalam bidang kedokteran. Penulis

menyadari masih banyak kekurangan dalam referat yang ditulis. Oleh karena itu

penulis meminta maaf sebesarnya dan sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari para pembaca. Atas perhatian yang diberikan, penulis

mengucapkan terima kasih.

ii

Page 4: Refer Atyrwr

DAFTAR ISI

Lembar pengesahan..........................................................................................i

Kata pengantar.................................................................................................ii

Daftar isi..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi telinga...................................................................2

II.2 Fisiologi pendengaran.........................................................4

II.3 Otitis media kronik..............................................................5

II.4 Tuli sensorineural................................................................8

II.5 Patofisiologi.........................................................................9

BAB III KESIMPULAN............................................................................10

Daftar pustaka.................................................................................................11

iii

Page 5: Refer Atyrwr

BAB I

PENDAHULUAN

Diagnosis otitis media kronik mengacu pada abnormalitas permanen dari

pars tensa dan pars flaksida, kebanyakan disebabkan oleh otitis media akut

sebelumnya, tekanan telinga tengah yang negatif atau otitis media efusi.

Prevalensi otitis media kronik adalah sebanyak 72 kasus per 1000 orang.(1) Salah

satu konsekuensi dari otitis media kronik adalah ketulian. Sebanyak 80% pasien

dengan otitis media kronik mengalami ketulian dan terhitung sebanyak 13,8-

36,2% orang mengalami gangguan pendengaran dikarenakan otitis media kronik.(2) Dimana tuli yang biasanya terjadi merupakan tuli konduktif. Namun, beberapa

penelitian melaporkan tuli sensorineural dapat terjadi seiring atau sebagai lanjutan

dari otitis media kronik.(1,8)

Ketulian yang berkaitan dengan otitis media kronik merupakan masalah

serius, terutama jika terjadi pada anak-anak karena akibat jangka panjangnya pada

perkembangan berbicara, berbahasa dan juga interaksi dalam kehidupan sosial

anak-anak tersebut.(3)

1

Page 6: Refer Atyrwr

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI TELINGA

Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

Telinga luar

Telinga luar adalah bagian telinga yang terletak sebelah luar membran

timpani. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan saluran yang menuju membran

timpani, yaitu liang telinga luar. Daun telinga merupakan suatu lempengan tulang

rawan yang berlekuk-lekuk ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya

oleh otot dan ligamentum. Liang telinga berbentuk huruf S, panjangnya kira-kira

2,5 - 3 cm, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua

pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang.(4,5)

Gambar 1. Anatomi telinga luar, tengah, dan dalam pada potongan koronal

2

Page 7: Refer Atyrwr

Pintu masuk ke liang telinga dijaga oleh rambut-rambut halus. Kulit yang

melapisi saluran telinga mengandung kelenjar-kelenjar keringat termodifikasi

yang menghasilkan serumen, suatu sekresi lengket yang menangkap partikel-

partikel asing yang halus. Rambut halus dan serumen tersebut membantu

mencegah partikel partikel dan udara masuk ke bagian dalam saluran telinga,

tempat mereka dapat menumpuk atau mencederai membran timpani dan

mengganggu pendengaran.(6)

Telinga tengah

Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak di antara membran

timpani dan kapsul telinga dalam, telinga tengah berbentuk kubus dengan batas

luar membran timpani, batas depan tuba eustachius, batas bawah vena jugularis

(bulbus jugularis), batas belakang aditus ad antrum, kanalis fasialis pars

vertikalis, batas atas tegmen timpani (meningen/otak) dan batas dalam berturut-

turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, jendela

oval (oval window), jendela bundar (round window) dan promontorium.(4)

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang

telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars

flaksida (membran sharpnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran

propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel

kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel

mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu

lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan

secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.(4,5)

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani

disebut sebagai umbo. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler

dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang

berupa kerucut itu. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai, misalnya bila letak

reflek cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.(4)

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus

longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan

3

Page 8: Refer Atyrwr

inkus melekat pada stapes. Stapes teletak pada jendela oval yang berhubungan

dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan

persendian.(4)

Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik, di tempat ini terdapat

aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan

antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang

menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.(4)

Telinga dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan

vestibuler yang terdiri dari tiga buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak

koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala

vestibuli.(4,5)

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak

skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media

(duktus koklearis) berada diantara keduanya. Skala vestibuli dan skala timpani

berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang

terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk

pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s

membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran

ini terletak organ Corti.(4)

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut

membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari

sel rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis Corti, yang membentuk organ

Corti.(4)

II. 2 FISIOLOGI PENDENGARAN

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke

koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga

4

Page 9: Refer Atyrwr

tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasikan

getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas

membran timpani dan jendela oval. (4)

Gambar 2. Fisiologi pendengaran

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang

menggerakan jendela oval sehingga perilimfa dalam skala vestibuli bergerak.

Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe

sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran

tektoria. Selanjutnya, terjadi defleksi dari stereosilia sel-sel rambut sehingga

terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan

depolarisasi sel rambut, terjadi pelepasan neurotransmitter ke dalam sinaps yang

akan menimbulkan potensial aksi pada n. VIII, dilanjutkan ke nukleus auditorius

samapai ke korteks pendengaran di lobus temporal. (4)

II.3 OTITIS MEDIA KRONIK

Penyakit telinga tengah kronik dibagi menjadi bentuk jinak dan bentuk

berbahaya. Bahaya pada otitis media kronik yang merusak tulang ini disebabkan

5

Page 10: Refer Atyrwr

oleh adanya epitel skuamosa di dalam rongga telinga tengah yang lebih tepat

disebut kolesteatoma.(7)

Penyakit telinga kronis bentuk jinak pada dasarnya dibagi dua, yaitu otitis

media supuratif kronis dan penyakit telinga atelektasis. Bentuk jinak ini kadang-

kadang dapat mengalami perubahan perangai dengan terbentuknya kolesteatoma

sekunder, sehingga merupakan alasan perlunya pembedahan segera pada semua

penderita seperti ini.(7)

Morbiditas penyakit telinga kronis dapat berganda. Gangguan pertama

berhubungan dengan infeksi telinga tengah yang terus-menerus atau hilang

timbul. Gangguan kedua adalah kehilangan fungsi pendengaran yang disebabkan

kerusakan mekanisme hantaran suara dan kerusakan koklea karena toksisitas atau

proses perluasan infeksi langsung. Pada pasien dengan penyakit telinga telinga

kedua hal tersebut harus dievaluasi dan ditanggulangi untuk mendapatkan

penyembuhan sempurna.(7)

Otitis media supuratif kronis

Otitis media supuratif kronis adalah infeksi kronis di telinga tengah

dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah

terus menerus atau hilang timbul lebih dari dua bulan. Sebagian besar otitis media

supuratif kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut.(4)

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif

menjadi kronis, antara lain: 1.) gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis

akibat infeksi hidung tenggorok yang kronis serta obstruksi anatomi tuba

eustachius parsial atau total, 2.) perforasi membran timpani yang menetap, 3.)

terjadinya metaplasia sel skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya

pada telinga tengah, 4.) obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau

rongga mastoid yang dpat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa,

polip, jaringan granulasi atau timpanosklerosis, 5.) terdapat daerah-daerah dengan

sekuester atau osteomyelitis persisten di mastoid, 6.) faktor-faktor seperti alergi,

kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.(7)

6

Page 11: Refer Atyrwr

Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan dan pemeriksaan

THT terutama dengan menggunakan otoskop. Pemeriksaan penala merupakan

pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan

pendengaran. Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti foto

Rontgen mastoid serta kultur dan uji resistensi kuman dari sekret telinga.(4)

Otitis media atelektasis

Otitis media atelektasis adalah retraksi sebagian atau seluruh membran

timpani akibat gangguan fungsi tuba yang kronis. Penderita mula-mula menderita

otitis sekretoria kronis pada masa kanak-kanak dan berlanjut sampai dewasa.

Lama kelamaan akan terjadi atrofi membran timpani. Bersama dengan atrofi ini

terjadi kolaps membran yang atrofi ke dalam telinga tengah. Derajat kolaps yang

terjadi tergantung pada luasnya atrofi membran timpani. Hilangnya elastisitas

membran timpani mengganggu ventilasi normal telinga tengah sehingga keadaan

patologisnya menjadi lebih kronis.(7)

Bila proses retraksi berlanjut membran timpani yang atrofi dapat berlanjut

mengenai inkus dan stapes sehingga sering kali mengakibatkan nekrosis. Jalan

udara ke atik tertutup, yang akan mengakibatkan retraksi membran ke daerah ini

dan menyebabkan kolesteatom didapat sekunder yang dapat membesar karena

retensi keratin, mendestruksi tulang, dan menimbulkan infeksi.(7)

Keluhan pasien mungkin tidak ada atau hanya berupa gangguan

pendengaran ringan. Pada pemeriksaan otoskopi dapat terlihat gambaran membran

timpani menipis atau atrofi bila retraksi sudah berlangsung lama.(4)

Kolesteatoma

Kolesteatoma dapat digambarkan secara umum dengan adanya kantong

epitel skuamosa yang terisi debris keratin dalam telinga tengah. Terdapat tiga tipe

yang dikenal, antara lain: 1.) kolesteatoma kongenital, yang terbentuk pada masa

embrionik adalah kista epitel yang timbul di dalam salah satu tulang kepala tanpa

kontak dengan telinga luar. Dapat tumbuh di tulang temporal bagian dalam atau

skuama dan jumlahnya meningkat dalam ruang mastoid atau atik. 2.)

7

Page 12: Refer Atyrwr

kolesteatoma didapat primer, berkembang sebagai lanjutan dari perforasi

membran timpani pars flaksida yang pada awalnya mengisi ruang Prussak,

kemudian dapat membesar memenuhi atik, antrum mastoid dan sebagian telinga

tengah. 3.) kolesteatoma didapat sekunder, seperti yang terjadi pada otitis media

atelektasis.(7)

Massa kolesteatoma dapat menekan dan mendesak organ di sekitarnya

serta menimbulkan destruksi tulang karena adanya enzim osteolitik atau

kolagenase yang disekresi oleh jaringan ikat subepitel. Terjadinya proses destruksi

tulang diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri.

Hal ini dapat menyebabkan perluasan penyakit ke kanalis semisirkularis, kanalis

fasial, atik, dan tegmen mastoid serta lempeng sinus lateralis, dan menghancurkan

tulang-tulang pendengaran.(7)

Diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan otoskopi

untuk menilai luasnya kerusakan membran timpani, tulang-tulang pendengaran,

dan dinding tulang telinga tegah. Selain itu, evaluasi audiometri penting untuk

menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea. Pemeriksaan radiografi daerah

mastoid dengan berbagai proyeksi dapat dilakukan untuk menilai keadaan sistem

tulang-tulang pendengaran.(4)

II.4 TULI SENSORINEURAL

Gangguan pendengaran sensorineural disebabkan oleh kelainan pada

koklea, nervus VIII atau di pusat pendengaran. Gangguan pendengaran

sensorineural koklea dapat disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirintitis,

intoksikasi obat. Selain itu juga dapat disebabkan oleh gangguan pendengaran

mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan bising.

Sedangkan gangguan pendengaran sensorineural retrokoklea disebabkan oleh

neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, mieloma multipel, cedera otak,

perdarahan otak dan kelainan otak lainnya.(4)

8

Page 13: Refer Atyrwr

II.5 PATOFISIOLOGI

Otitis media kronik dapat menyebabkan ketulian dimana ketulian yang

terjadi pada dasarnya adalah tuli konduktif. Namun, menurut beberapa penelitian

yang telah dilakukan, tuli sensorineural pun dapat terjadi akibat otitis media

kronik.(1,8)

Otitis media kronik dapat menyebabkan tuli sensorineural melalui

beberapa mekanisme, diantaranya adalah: a.) Adanya peningkatan tekanan di

telinga tengah karena produk infeksi sehingga terjadi perluasan infeksi dan

inflamasi dari dalam telinga tengah ke telinga dalam melewati round window

yang hanya ditutupi oleh membran saja sehingga menjadi sebuah lokus minoris

bagi penyebaran infeksi telinga tengah ke dalam koklea sehingga terjadi

kerusakan permanen dari sel-sel rambut pada membran basal koklea, perubahan

yang terjadi pada round window berupa dilatasi dari pembuluh darah di lapisan

fibrosa, penebalan membran, infiltrasi dari sel-sel inflamasi, serta metaplasia dan

hiperplasia pada lapisan luar dari round window(8); b.) Proses destruksi langsung

oleh kolesteatoma ke dalam labirin(4); dan c.) Karena penggunaan jangka lama dari

tetes telinga yang mengandung antibiotik golongan aminoglikosida yang memiliki

efek samping terhadap telinga dalam, yakni tuli sensorineural yang disebabkan

oleh destruksi dari sel-sel rambut luar organ Corti, degenerasi stria vaskularis, dan

degenerasi dari sel ganglion pada koklea.(4)

Oleh karena mekanisme-mekanisme seperti yang telah disebutkan di atas,

tuli sensorineural dapat terjadi akibat dari otitis media kronik. Sesuai dengan

penelitian dari Azevedo et al. dan Sadasivan et al. yang dalam penelitiannya

menemukan bahwa pada telinga dengan otitis media kronik, frekuensi tuli

sensorineural adalah 13% dan sangat mungkin jika tuli sensorineural dan

hubungannya dengan otitis media kronik berkaitan dengan status sosioekonomi

dari pasien.(8,9) Status sosioekonomi yang rendah dapat menyebabkan kesulitan

pasien dalam mengakses pengobatan, ketidakrutinan untuk datang kontrol, higiene

yang buruk, serta tingkat pendidikan yang kurang.w consisted of dilatation of the vessels

withinrous layer, thickening of the membrane, infiltrati

9

Page 14: Refer Atyrwr

BAB III

KESIMPULAN

Tuli sensorineural dapat terjadi oleh karena berbagai kausa. Berdasarkan

penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, tuli sensorineural dapat saja terjadi

karena diakibatkan oleh otitis media kronik.

Penyakit telinga tengah kronik sendiri dibagi menjadi bentuk jinak dan

bentuk berbahaya. Morbiditas karena penyakit telinga kronis dapat timbul

berganda. Gangguan yang pertama berhubungan dengan infeksi telinga tengah

yang terjadi terus-menerus ataupun hilang timbul. Sedangkan gangguan yang

kedua adalah hilangnya fungsi pendengaran yang disebabkan oleh kerusakan

mekanisme hantaran suara dan kerusakan koklea karena toksisitas atau proses

perluasan infeksi langsung.

Ketulian yang berkaitan dengan otitis media kronik merupakan masalah

serius, terutama jika terjadi pada anak-anak karena akibat jangka panjangnya pada

perkembangan berbicara, berbahasa dan juga interaksi dalam kehidupan sosial

anak-anak tersebut.

10

Page 15: Refer Atyrwr

DAFTAR PUSTAKA

1. Azevedo AF de, Pinto DCG, Souza NJA de, Greco DB, Gonçalves DU.

Sensorineural hearing loss in chronic otitis media with and without

cholesteatoma. Rev Bras Otorrinolaringol. 2007; 73(5):671–4.

2. Lasisi AO, Olaniyan FA, Muibi SA, Azeez IA, Abdulwasiu KG, Lasisi TJ,

et al. Clinical and demographic risk factors associated with chronic otitis

media. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2007; 71(10):1549–54.

3. Raquib A, Taous A, Haque R. Sensorineural component in chronic otitis

media. Bangladesh J Otorhinolaryngol; 2010; 15(2).

4. Soepardi EA. Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu

kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ketujuh.

Jakarta: Badan penerbit FKUI. 2014.

5. Alberti PW. The anatomy and physiology of the ear and hearing. Canada:

University of Toronto: 2003. Available at:

http://www.who.int/occupational_health/publications/noise2.pdf.accessed

June 20, 2015

6. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi keenam. Jakarta:

Penerbit buku kedokteran EGC. 2011; p.230-42.

7. Ballenger JJ. Penyakit telinga kronis. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,

Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jilid 2, Edisi 13, Alih Bahasa : Staf Ahli

Bagian THT RSCM-FKUI. Jakarta: Binapura Aksara; 1997 ,p.392-403.

8. Sadasivan SS, Viswanatha B, Satish HS, Ravikumar R, Vijayashree MS,

Datta RK, et al. A comparative Study of Sensorineural Hearing Loss in

Mucosal and Squamous Type of Chronic Otitis Media. Research in

Otolaryngology, Vol. 4 No. 1; 2015, p. 13-7.

9. Paparella MM, et al. Sensorioneural hearing loss in otitis media. Ann Otol

Rhinol Laryngol 1984;93:623-9.

11