refer anestesi
DESCRIPTION
presentasiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sampai sekarang sangat sulit membuat definisi atau batasan tentang kematian
anesthesia. Kematian anesthesia primer memang lebih mudah dapat diketahui, tetapi
yang sekunder sangat sulit diketahui, karena banyak sekali factor yang
mempengaruhinya seperti keadaan penyakit pasien yang diidap sebelum anesthesia
pembedahan, kesalahan pengelolaan pembedahan atau anesthesia. Statistic
menunjukkan, bahwa makin kurang baik keadaan pasien, maka resiko yang akan
diterima pasien makin tinggi, baik berupa morbiditas atau mortalitas. Beberapa
peneliti yakin dengan kemajuan ilmu kedokteran terutama dalam bidang
anestesiologi, maka risiko kecelakaan atau kematian akibat anesthesia makin lama
makin diperkecil. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir kematian anesthesia di
amerika serikat dapat diperkecil dari 12/3000 menjadi 1/20.000. Hal ini sulit
dijelaskan seberapa banyak pasien pra bedah, jenis bedah, lama pembedahan, sifat
dokter bedah, dan anestesi sendiri sangat besar pengaruhnya.
Jika kematian anesthesia dianalisis factor penyebabnya, maka factor manusia
menduduki peringkat paling atas. Anestetis kadang-kadang kurang pandai
berkomunikasi, kurang pengalaman, jam terbang rendah, pengetahuannya terbatas,
salah pilih jenis dan tehnik anesthesia, salah pilih obat, kelebiha dosis obat, persiapan
kurang sempurna baik alat atau obat. ‘there are no bad anesthetics, only bad
anesthetists’ (tidak ada obat anetesia yang jelek, yang ada ialah oknum anetetis yang
jelek).
I.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan refarat ini adalah untuk memenuhi tugas Kepanitraan
Klinik Senior pada Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Unsyiah – RSUD Dr.
Zainoel Abidin. Refarat ini akan membahas Komplikasi Anestesia dengan penekanan
pada jenis dan tatalaksananya untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan
dokter muda dalam bidang Anestesiologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Komplikasi Terhadap Pasien
II.1.1 Komplikasi Respirasi
1. Obstruksi jalan nafas
Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalah
dengan menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan
mekanik dan bronkospasme harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik
lebih sering terjadi, dan mungkin dapat menjadi total, dimana wheezing akibat
bronkospasme biasanya dapat terdengar tanpa atau dengan stetoskop. Penyebab
sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan ini dapat diatasi dengan meluruskan
pipa yang terpuntir di dalam rongga mulut. Jika pipa ditempatkan terlalu jauh ke
dalam trakea, maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama jika kadar
tinggi oksigen yang dipakai, sampai terjadi tanda-tanda hipoksia, hiperkardi atau
sumbatan pernafasan menjadi nyata. Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli
anestesi memeriksa kedudukan pipa setelah di pasang dengan mendengarkan
melalui stetoskop di atas setiap sisi dada sementara secara manual paru-paru
dikembangkan, jika suara pernafasan tidak terdengar atau pengembangan
terdiagnosis pada satu sisi dada, maka harus secara lambat laun ditarik sampai
udara terdengar memasuki kedua sisi toraks secara seimbang. Penggunaan pipa
yang telah dipotong sampai sepanjang bronkus kanan dapat mengurangi bahaya.
Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa jika dihadapkan pada sumbatan
mekanik yang tidak dapat dijelaskan, pipa segera ditarik keluar segera setelah
intubasi. Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi apakah dapat
bernafas dengan spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan oleh lidah
yang jatuh ke belakang. Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan
mengekstensikan kepala, mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara
anestetik peroral atau nasal.
Sumbatan mekanik pada penderita yang diintubasi mungkin bersifat samar-
samar. Paling penting disadari bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin saluran
pernafasan yang lancar. Pipa dapat menjadi terpuntir, bagian yang melengkung
dapat tertumbuk pada dinding trakea , atau dapat terlalu menjorok jauh dan
memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat keluar menutupi bagian ujung.
2. Bronkospasme
Bronkospasme dapat diatasi dengan terapi medik, tetapi yang paling penting
adalah memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara anatomis,
akibat lidah yang terjatuh ke belakang pada penderita yang tidak diintubasi, atau
akibat defek peralatan.
Efedrin intravena setiap kali dapat di tambah 5 mg, atau 30 mg
intramuscular sehingga dapat menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi dan
meningkatkan tekanan darah. Secara bergantian, suntikkan lambat 5 mg/kg
aminovilin intravena.
3. Hipoventilasi
Pada hipoventilasi, rangsang hypoxia dan hipercarbia mempertahankan
penderita tetap bernafas. Pada hipoventilasi berat, pC02 naik > 90 mmHg
sehingga menimbulkan coma dengan pemberian O2 , hipoksia berkurang (p02
naik) tetapi pCO2 tetap atau naik. Pada hipoventilasi ringan, pemberian O2
bermanfaat. Sedangkan pada hipoventilasi berat justru mengakibatkan
paradoxical apnea. Terapi yang benar pada hipoventilasi adalah:
a) membebaskan jalan nafas
b) memberikan oksigen
c) menyiapkan nafas buatan
d) terapi causal penyebabnya
4. Hiperventilasi
Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium ekstraseluler
mengalir ke intraseluler hingga terjadi hipokalemia. Aritmia berupa brakikardia
relatif dapat terjadi pada hipokalemia.
II.2.2 Komplikasi kardiovaskular
1. Hipotensi
Hipotensi di definisikan sebagai tekanan darah sistol kurang dari 90 mmHg
atau lebih dari 25% dari sebelumnya. Etiologi hipotensi selama anestesi:
a. Hipovolemia : hipovolemia praanestesi, perdarahan bedah.
b. Obat induksi : overdosis relatif pada bayi atau orang tua atau penderita dengan keadaan umum yang kurang baik.
c. Anestetik : halotan, enfluran, isofluran.
d. Obat pelumpuh otot : d-tubukurin
e. Penyakit kardivaskular : infark miokard, aritmia, hipertensi.
f. Penyakit pernafasan : pneumotorak
g. Reaksi hipersensitivitas : obat induksi, obat pelumpuh otot, reaksi
tansfusi.
Hipovolemia dapat ditemukan pada pasien yang kekurangan cairan seperti
pada ileus obstruksi, perdarahan banyak, faktor multipel tulang besar dan lain-
lian. Pemeberian anestesi dapat menghasilkan vasodilatasi pembuluh darah dan
menghilangkan rekasi kompensasi vasokonstriksi tubuh yang berakibat hipotensi.
Jumlah perdarahan selama pembedahan harus dihitung baik volume darah dari
botol penghisap dan atau menimbang kasa operasi. Selama perdaran masih kurang
dari 15% gejala syok hipovolemik belum tampak. Tranfusi darah atau
komponennya dipertimbangkan jika perdarahan melebihi 20% volume darah
pasien dewasa.
Semua obat induksi intravena, dapat mendepresi miokard dan curah jantung
tergantung dosis yang diberikan. Terjadi terutama pada pasien usia lanjut, bila ada
penyakit miokard atau hipertensi yang tidak diobati sebelumnya.
Anestesi halotan, enfluran, dan isofluran mempunyai efek intropik negatif
dan menurunkan resistensi pembuluh darah yang proporsional dengan konsentrasi
yang diberikan. Hipotensi dan brakikardia yang terjadi dapat diperbaiki dengan
menurunkan konsentrasi pemberian atropin atau cairan infus untuk meningkatkan
curah jantung. Analgesia spinal atau peridural menyebabkan hipotensi karena
blokade susunan saraf simpatis. Penyulit ini dapat diatasi dengan mempercepat
infus, pemberian obat anti kolinergik (seperti atropin) atau vasopresor (seperti
efedrin).
Manipulasi (tarikan/ tekanan) pada operasi yang berlebihan seperti
pemasangan refraktor yang terlalu besar atau tampon intraabdomen pada waktu
laparotomi dapat menghambat aliran darah vena kava inferior curah jantung
menurun dan hipotensi. Penyulit mekanis ini diatasi dengan menghilangkan
semua penyebabnya.
2. Hipertensi
Umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khusus pada psien
dengan penyakit jantung karen ajantung harus bekerja lebih berat, dengan
kebutuhan O2 miokard yang meningkat. Kalau tidak dapat dicukupi dapat timbul
iskemia atau infark miokard.
Fisiologi hipertensi selama anestesi:
a. Anestesi ringan : analgesi dan hipnosis tidak adekuat, batuk, tahan
nafas.
b. Penyakit hipertensi : tidak diterima, tetapi tidak adekuat atau tidak
terdiagnosis
c. Hiperkapnia : ventilasi tidak adekuat, pengikat CO2 tidak bekerja.
d. Obat : adrenalin, ergometrin, ketamin.
Hipertensi karena anestesi yang tidak adekuat dapat dihilangkan dengan
menambah dosis anestetika. Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta
adrenergik seperti propanolol atau obat vasodilator seperti nitrogliserin yang juga
bermanfaat untuk memperbaiki perfusi miokard. Reaksi hipertensi pada waktu
laringoskopi dapat dicegah antara lain dengan terlebih dahulu memberi semprotan
lidokain topikal ke dalam faring dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.
Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobati
dengan analgetika narkotik seperti pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V
dengan memperhatikan pernafasan (depresi).
Penyebab Hipotensi Hipertensi
Anestesi Obat (petidin, thiopenton,
halotan, eter, muscle relaxan)
Inhalasi paru bertambah
tekanan meningkat
Hipoksia dan hiperkarbia pada
stadium lanjut
Transfusi darah tidak cocok
Anestesi spinal atau epidural
Anestesi dangkal
Ventilasi tidak adekuat
retensiCO2 hipoksia
hiperkarbia TD meningkat
Obat ketamin, pavulon
Transfusi darah berlebihan
Malignant hiperpireksi
Terapi Cari kausa
Infus cepat cairan IV RL 10
cc/kgBB
Naikkan konsentrasi O2
Turunkan dosis obat anestesi
jika TD sistol < 80 mmHg (O2
100%)
Vasopressor efedrin HCl
Tinggikan kaki pasien untuk
kembalikan venous return
Cari kausa
Naikkan kepala
Sedasi (petidin, largactil)
Monitoring tanda vital
3. Aritmia jantung
Pada anestesia, aritmia terjadi kira-kira 15-30%. Tidak semua aritmia harus
mendapat pengobatan. Terapi harus dilaksanakan jika arimia tersebut diikuti atau
menjadi:
a. Perubahan curah jantung dan perfusi jaringan yang nyata, misalnya
hipotensi.
b. Brakikardia hebat atau fibrilasi ventrikel predisposisi henti jantung.
c. Gejala iskemia miokard yang nyata.
Terapi tergantung pada berat dan macam aritmia. Jenis pengobatan
bervariasi antara lidokain, propanolol, sedilanid, quinidin, DC syok dan resusitasi
jantung paru (RJP) tergantung gejala dan penyebabnya.
Etiologi aritmia selama anestesia:
a. Tindakan bedah : bedah mata, hidung, gigi, traksimesentarium,
dilatasi anus.
b. Pengaruh metabolism : hipertiroid, hiperkapnia, hipokalmia,
hiperkalmia.
c. Penyakit tertentu : penyakit jantung bawaan, penyakit jantung
koroner
d. Pengaruh obat tertentu : atropine, halotan, adrenalin, dll.
Hipoksia atau hiperkapnia merangsang pengeluaran katekolamin
endogen yang dapat menyebabkan artmia ventrikel terutama pada pasien anestesia
halotan. Interaksi halotan juga terjadi dengan katekolamin (adrenalin) eksogen
yang sering disuntikkan oleh dokter bedah untuk mengurangi perdarahan
lapangan operasi. Sebaliknya selama anestesi halotan suntikan infiltrasi adrenalin
hanya diberikan maksimum 100 ug (10 ml larutan 1:100.000) dalam sepuluh
menit. Terhadap anestetika enfluran dan isofluran permasalahan ini tidak terlihat.
Anestesia ringan yang disertai manipulasi operasi dapat merangsang saraf
simpatikus dapat meyebabkan aritmia. Brakikardia yang terjadi dapat diobati
dengan atropin.
Penyebab Aritmia Brakikardi Aritmia Takikardi
Anestesi Obat (suksametonium,
prostigmin, halotan,
lignocain)
Refleks bradikardi selama
intubasi
Stadium awal hipoksia
Spinal
obat (atropine, galamin,
trilene, siklopropan)
hiperkarbia
hipoksia
hipotensi
anestesi GA dangkal
Terapi Cari kausa, atropine
II.2.3 Komplikasi Mata
Selama anestesi umumnya mata penderita tidak tertutup rapat terutama jika
mempergunakan obat pelumpuh otot. Karena itu mata harus dilindungi dari
trauma langsung, kekeringan kornea atau iritasi dari obat-obatan atau alat yang
dipergunakan selama anestesia.
Laserasi kornea akan menyebabkan penderita mengeluh nyeri pada mata
pasca bedah, lakrimasi bertambah dan blefarospasme. Untuk mencegah
komplikasi ini selama operasi mata ditutup dengan plester atau dibasahi dengan
air garam fisiologis atau diberi salap mata.
Penekanan bola mata yang terlalu kuat misalnya karena pemasangan
sungkup mata yang terlampau besar akan menekan aliran darah mata. Hal ini
dapat menyebabkan kebutaan, yang kadang-kadang terjdai pada tindakan
anestesia dengan hipotensi kendali. Penekanan bola mata dapat pula
menimbulkan refleks okulokardiak pada anestesia yang ringan
berupaperangsangan vagal brakikardi, syok dan henti jantung.
II.2.4 Komplikasi Neurologi
1. Konvulsi
Beberapa jenis kontraksi abnormal otot dapat terjadi selama anestesi, antara
lain:
a. konvulsi pada anestesia dengan eter yang dalam
b. klonus pada anestesi ringan, terutama pada anak-anak
c. konvulsi karena hipoksia
d. konvulsi karena obat analgetika lokal misalnya lidokain
e. beberapa obat anestetika tertentu kadang-kadang memberikan gejala
epilepsi, misalnya enfluran dan altesin
Terapi:
a. hentikan pemberian eter atau enfluran dan O2 ditinggikan
b. berikan obat antikonvulsi seperti valium dan tiopental
c. jika suhu tubuh naik, kompres dengan es atau alkohol
2. Terlambat sadar
Penyulit ini dapat disebabkan oleh:
a. kelebihan dosis premedikasi atau obat-obat lain selama anestesia
misalnya fenotiazin, narkotika dan anestetika.
b. Gangguan fisiologis selama anestesia, misalnya hipoksia
c. Gangguan akibat pembedahan, misalnya syok dan emboli lemak
d. Akibat manifestasi penyakit tertentu misalnya hipoglikemia
e. Obat tertentu yang berinteraksi dengan obat yang dipergunakan selama
anestesia, misalnya monoamin oksidase inhibitor.
II.2.5 Komplikasi lain-lain
1. Menggigil
Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan dan enfluran kadang-kadang
menimbulkan menggigil seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini
mungkin terjadi karena rekasi tubuh terhadap suhu kamar operasi yang rendah.
Faktor lain yang menjadi pertimbangan adalah kemungkinan waktu anestesi aliran
gas diberikan terlalu tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi
meningkat.
Terapi :
a. Pasang selimut tebal
b. Petidin 15-25 mg I.V
c. Klorpromazin 5-10 mg I.V
2. Gelisah setelah anestesi
Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hiksia, asidosis, hipotensi,
kesakitan. Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif
tanpa analgetika, hingga pada akhir operasi penderita masih belum sadar tetapi
nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini sering didapatkan pada anak dan
penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut di atas, pasien
dapat diberikan midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB atau terapi dengan analgetika
narkotika (petidin 15-25 mg I.V).
3. Mimpi buruk
Obat-obat yang memberi komplikasi seperti mimpi buruk, dapat dicegah
dengan premedikasi diazepam, dehidrobenzo peridol.
4. Kenaikan suhu tubuh
Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau
hipertermia (hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 38 derajat
celcius dan masih dapat diturunkan dengan pemberian salisilat. Sedangkan
hipertermia adalah kenaikan suhu tubuh di atas 40 derajat celcius dan tidak dapat
diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh adalah:
a. Puasa terlalu lama
b. Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat celcius)
c. Penutup kain operasi yang terlalu tebal
d. Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar
e. Infeksi
f. Kelainan herediter. Kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasi
hipertermia maligna
Hipertermia maligna
Merupakan krisis hipermetabolik dimana suhu tubuh naik lebih dari 2
derajat celcius dalam waktu satu jam. Walaupun angka kejadian komplikasi ini
jarang, yaitu 1:50.000 pada penderita dewasa dan 1:25.000 pada anak-anak, tetapi
jika terjadi angka kematiannya cukup tinggi yaitu 60%.
Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan, tetapi telah banyak
dikemukakan bahwa kelainan herediter ini karena adanya cacat pada ikatan
kalsium dalam retikulum sarkoplasma otot atau jantung. Adanya pacuan tertentu
dapat menyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan masuk ke dalam sitoplasma
sehingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat, penumpukan asam laktat dan
karbondioksida, meningkatkan kebutuhan oksigen, asidosis metabolik, dan
pembentukan panas.
Kebanyakan obat anestetika dapat menjadi triger pada penderita yang
berbakat hipertermia maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-
obat yang sering dilaporkan sebagai pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak
berarti obat-obat lain aman terhadap komplikasi ini.
Gejala klinis selain kenaikan suhu mendadak adalah tonus otot bertambah,
takikardi, tetani, mioglobinuria, gagal ginjal dan gagal jantung. Penanggulangan
komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah:
a. hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100%
b. seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas
dengan larutan NaCl fisiologis dingin
c. pemeriksaan gas darah segera dilakukan
d. koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat
e. koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin
f. oradekson dosis tinggi diberikan i.v
g. dantrolene i.v. 1-2 mg/kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan
maksimum 10 mg/kgBB. Obat ini merupakan satu-satunya obat spesifik
untuk hipertermia maligna.
5. Hipersensitif
Reaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karena
terbentuknya mediator kimia endogen seperti histamin dan serotonin. Reaksi
dapat saja terjadi pada tiap pemberian obat termasuk obat yang digunakan dalam
anestesi. Komplikasi sering terjadi pada pemberian induksi intravena dan obat
pelumpuh otot.
Gejala klinis hipersensitif:
a. kulit kemerahan dan urtikaria
b. muka menjadi sembab
c. vasodilatasi, tetapi nadi kecil dan sering tak teraba, sampai henti jantung
d. bronkospasme
e. sakit perut, mual dan muntah kadang diare
Pengobatan:
a. hentikan pemberian obat anestetika
b. dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi henti
jantung
c. adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v atau intratrakea
d. steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan
tertentu.
e. Percepat cairan infus kristaloid
f. Operasi dihentikan dulu sampai gejala-gejala hilang
II.2 Komplikasi Terhadap Anestesiolog
Anestetis beresiko menghadapi masalah medikolegal (hukum) dan masalah
non medikolegal seperti tertular penyakit pasien, terkena polusi gas bius dan
sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Jika kematian anesthesia dianalisis factor penyebabnya, maka factor manusia
menduduki peringkat paling atas. Anestetis kadang-kadang kurang pandai
berkomunikasi, kurang pengalaman, jam terbang rendah, pengetahuannya terbatas,
salah pilih jenis dan tehnik anesthesia, salah pilih obat, kelebiha dosis obat, persiapan
kurang sempurna baik alat atau obat. ‘there are no bad anesthetics, only bad
anesthetists’ (tidak ada obat anetesia yang jelek, yang ada ialah oknum anetetis yang
jelek).
Pengalaman dalam dunia anestesiologi dapat dibandingkan dengan
pengalaman dalam dunia penerbangan. Induksi anesthesia dapat diibaratkan saat
pesawat terbang (take off) dan pulih anestesi dapat diidentikkan pesawat terbang
landing. Factor manusia sangat berperan dalam situasi peristiwa di atas untuk
keselamatan pasien atau penumpang.
Anestetis senior harus mengajarkan strategi cara-cara anesthesia yang baik
kepada yang lebih muda supaya diketahui apa saja yang mungkin terjadi dan
bagaimana pencegahannya atau penanggulangannya. Selain itu anestetis harus
mengetahui sifat dokter-dokter bedah dan penyakit apa saja yang sedang diidap
pasien pra anesthesia. Selain itu tentunya kita harus menilai diri kita sendiri apakah
sudah cukup professional dalam penanganan pasien perianesthesia.