refer at laringofaringeal reflux
DESCRIPTION
Refer At laringofaringeal refluxTRANSCRIPT
REFERAT
LARINGOFARINGEAL REFLUKS
STASE TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN
Oleh :
RIYANG PRADEWA ADMAWAN
I11109035
RUMAH SAKIT UMUM DR SOEDARSO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2014
Lembar Persetujuan
Telah disetujui referat dengan judul :
Laringofaringeal Refluks
disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Modul Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan
Telah disetujui,
Pontianak, 26 September 2014
Pembimbing,
Dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT-KL
NIP. 196709101998032001
Disusun oleh :
Riyang Pradewa Admawan
NIM. I11109035
BAB I
PENDAHULUAN
Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam
lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian yang
berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas. Beberapa penulis
mempertimbangkan bahwa pada dasarnya LPR merupakan manifestasi
ekstraesofageal dari gastroesofageal refluks (GERD). Meskipun gejala ini
sebelumnya dianggap merupakan spektrum dari GERD, LPR sekarang sebagai
sebuah entitas yang berbeda dari GERD. Patofisiologi dan gejalanya berbeda
sehingga perlu pengelolaan secara berbeda. Pada GERD kejadian refluks terjadi
pada malam hari, adanya nyeri pada epigastrium, periode terpapar cairan asam
lambung lebih lama, serta adanya gangguan dismotilitas esophagus, juga terdapat
defek terdapat di LES (lower esophageal spinchter). Pada pasien LPR kejadian
refluks terjadi siang hari, tidak terdapat nyeri epigastrium, periode terpapar cairan
asam lambung lebih singkat serta tidak adanya gangguan dismotilitas esophagus,
defek terdapat di LES (lower esophageal spinchter).1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
1. Laringofaring
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6.
Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding faring terpanjang. Dinding
faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas
nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).2
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus, serta batas posterior
adalah vertebra servikal.2 Dinding anterior dibentuk oleh aditus laringis dan
membran mukosa yang meliputi permukaan posterior faring. Dinding posterior
disokong oleh korpus vertebra servikalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam.
Dinding lateral disokong oleh kartilago tiroid dan membran tiroidea. Sebuah
alur kecil, tetapi penting pada membrana, disebut fosa piriformis, terletak di
kanan dan kiri aditus laringis. Fossa ini berjalan miring ke bawah dan belakang
dari dorsum lingua menuju ke esofagus. Fosa piriformis dibatasi di medial oleh
plika aryepiglotika dan di lateral oleh lamina kartilago tiroidea dan membran
tiroidea.3
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring
tidak langsung, atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung,
maka struktur pertama yang tampak di dasar lidah adalah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut
juga kantong pil, sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil
akan tersangkut di situ.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-
kadang bentuk infantil ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,
epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada
pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis
berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.2
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap
sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia
lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.
Fungsi faring yang terutama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan artikulasi.
Gambar 2.1 Faring
2. Laring
Laring merupkan suatu pipa fibrokartilaginea, membentang dari trakea
hingga radix linguae. Laring terletak di bagian anterior leher setinggi korpus
vertebra servikalis III-VI, menghubungkan antara bagian inferior faring dengan
trakea. Laring berfungsi sebagai katup untuk melindungi jalan napas dan
menjaga supaya jalan napas selalu terbuka, terutama sewaktu menelan. Laring
juga berfungsi sebagai mekanisme fonasi yang dirancang untuk pembentukan
suara. Laring terdiri atas beberapa kartilago yang dihubungkan oleh beberapa
ligamentum, digerakan oleh otot dan dilingkupi oleh membran mukosa dari
faring sampai trachea.3,4
Kerangka laring terdiri dari sembilan kartilago. Sembilan kartilago ini
terdiri atas tiga tulang rawan tunggal yaitu: cartilago thyroidea, cartilago
cricoidea, dan cartilago epiglottica dan tiga tulang rawan berpasangan yaitu:
cartilago arytenoidea, cartilago corniculata, dan cartilago cuneiformis. Pada
laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid.3,4
Gambar 2.2 Laring
B. Laringofaringeal Refluks
1. Definisi
Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam
lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian yang
berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas.1
Beberapa sinonim untuk LPR dari beberapa literature kedokteran: Reflux
Laryngitis, Laryngeal Reflux, Gastropharyngeal Reflux, Pharyngoesophageal
Reflux, Supraesophageal Reflux, Extraesophageal Reflux, Atypical Reflux. Dan
yang paling diterima dari beberapa sinonim tersebut adalah Extraesophageal
Reflux.5
2. Etiologi
Etiologi LPR dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu adanya gangguan
fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia, abnormalitas kontraksi
esophagus, lambatnya pengosongan dari lambung, sedangkan dapat juga
disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi, merokok, iritasi dari polusi
udara, alkohol dan gaya hidup, misalnya, diet makanan berlemak, kopi, coklat,
NSAID, makanan pedas, merokok, minuman beralkohol.6
3. Patofisiologi
Patofisiologi LPR masih menjadi kajian banyak ilmuan. Sampai saat ini ada
dua hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk proses terjadinya LPR.
Hipotesis yang pertama yaitu asam lambung secara langsung mencederai laring
dan jaringan sekitarnya. Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa asam
lambung dalam esofagus distal merangsang refleks vagal yang mengakibatkan
bronkokontriksi dan gerakan mendehem dan batuk kronis, yang pada akhirnya
menimbulkan lesi pada mukosa saluran napas atas.
Terdapat 4 jenis pertahanan fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif
dari cedera refluks yaitu, LES (Lower Esophageal Spinchter), fungsi motorik
esofageal dengan pembersihan asam lambung, resistensi jaringan mukosa
esofageal, dan spingter esofageal atas.7-9
a.) LES (Lower Esophageal Spinchter)
Mekanisme pertama pada pertahanan anti refluks adalah
gastroesophageal junction. Pertahanan ini terdiri dari sphincter dengan
elemen otot dari lower esophageal sphincter (LES) dan otot lurik dari
diafragma bagian bawah, yang berkombinasi untuk menjaga tekanan GEJ,
hal ini penting untuk menahan tekanan intraabdominal, dan mencegah isi
lambung melewati esofagus. Secara fisiologis LES merupakan sphincter
dengan panjang 3-4 cm dengan otot yang dapat berkontraksi di distal
esofagus. Sphincter akan relaksasi setelah terjadi proses menelan makanan
dan memasukkan ke dalam lambung, secara anatomi daerah ini mempunyai
ketebalan 2-3 kali lebih tebal dibanding bagian dinding proksimal esofagus.
b.)Fungsi motorik esofageal dengan pembersihan asam lambung
Pertahanan anti refluks kedua adalah fungsi motorik normal dari
esofagus. bolus makanan dan minuman akan didorong oleh kekuatan dari
gerak peristaltik dari pharyngoesophageal junction turun kebawah sampai
ke gastroesophageal junction dan ke dalam lambung. Gerak peristaltik
secara primer dirangsang oleh proses menelan di faring atau secara sekunder
dengan stimulasi langsung pada mukosa esofagus. Gerakan peristaltik ini
penting untuk membersihkan refluks ke dalam lambung. Adanya gangguan
gerakan esofagus akan meningkatkan refluk dengan melewati esofagus
sampai ke laringofaring. Dengan pengukuran manometric, pada pasien LPR
didapatkan 75% mengalami kelainan motilitas.
c.) Resistensi jaringan mukosa esofageal
Pada saat refluks yang melewati UES dan mencapai daerah laringofaring
akan menyebar di sepanjang mukosa yang berbatasan di daerah kepala
leher. Pada keadaan ini hanya ada satu pertahanan untuk mencegah
inflamasi dan kerusakan dari komponen korosif refluks yaitu resistensi dari
mukosa faring dan laring.
d.)Spingter esofageal atas
Pertahanan antirefluks yang ketiga adalah Upper Esophageal sphincter
(UES). Terjadinya kelemahan pada mekanisme ini yang membedakan antara
GERD dan LPR. UES didefinisikan sebagai daerah yang dapat berkonstriksi
secara tonik di pharyngoesofageal junction. Seperti pada LES, UES akan
berelaksasi pada saat makanan atau minuman akan masuk pada proses
menelan. Secara anatomi UES merupakan serabut distal dari otot
cricopharyngeus dan bagian proksimal dari esofagus. Dimana otot
cricopharyngeus memegang peranan penting pada tekanan di UES. Fungsi
utama dari UES adalah menjaga masuknya udara masuk kedalam esofagus
selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk ke faring sewaktu
refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi yang kedua tersebut diyakini
sebagai penyebab kerusakan primer pada LPR, yang bermanifestasi
terjadinya refluks yang mencapai laryngopharyng.
4. Gejala Klinik
Pasien LPR biasanya memiliki gejala seperti halitosis, suara serak, batuk,
disfagia, post nasal drip, sakit tenggorokan. Gejala lain yang menyertai
adalah: eksaserbasi asma, sakit leher, odinofagia, otalgia, lendir tenggorok
berlebih.1,10
5. Diagnosis
Refluks laringofaringeal dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
Riwayat penyakit penting untuk menilai potensi dari suara serak dan adanya
laringitis non spesifik. Laringitis secara non spesifik ditandai oleh adanya
inflamasi dari laring, seringkali keluhan ini ringan dan dapat sembuh secara
spontan. Apabila keluhan ini menetap, laringitis harus dicari penyebabnya
yang bisa disebabkan infeksi virus atau bakteri, alergi, trauma vokal,
postnasal discharge atau LPR.
Pada suara serak yang persisten atau progresif lebih dari 2-3 minggu,
perlu pemeriksaan laryngopharyng untuk menyingkirkan adanya kanker dan
kondisi serius lainnya. Adanya dugaan LPR ketika didapatkan kecurigaan
riwayat klinis dan penemuan yang mengarah ke LPR.
Survey internasional oleh American Bronchoesophagological
Association memaparkan gejala yang tersering dari LPR, yaitu mendehem
(98%), batuk lama (97%), globus faringeus (95%) dan suara serak (95%).
Belafsky dkk, telah mengenalkan Indeks Gejala Refluks yang dapat
membantu klinisi untuk menilai derajat gejala LPR pada awal evaluasi dan
setelah pengobatan. Pasien dianamnesis menggunakan skala 0-5 untuk
derajat gejala-gejala dalam tabel di bawah. Skor indeks gejala refluks lebih
dari 13, adalah abnormal.11
Tabel 2.1 Skor Indeks Gejala Refluks
Pemeriksaan laringoskopi adalah prosedur utama dalam mendiagnosis
LPR. Pada pemeriksaan laringoskopi tidak ada tanda yang spesifik dari
iritasi laring dan inflamasi yang dapat dilihat, tetapi beberapa penemuan
dapat meningkatkan dugaan ke LPR. Meskipun tidak khas, adanya
penebalan, kemerahan dan edema terutama di posterior laring (laringitis
posterior) paling sering ditemukan.
Gambar 2.3 Penampakan laringoskopi pada pasien LPR
Endoskopi esofagus berguna untuk visualisasi langsung dari saluran
cerna atas, bersama dengan biopsi dan menjadi standar untuk pasien dengan
esofagitis dan gastritis. Pemantauan pH faringofaring pernah dianggap
sebagai standar kriteria untuk mendiagnosis refluks. Penelitian
menunjukkan bahwa pemantauan pH distal proksimal dan hipofaringeal
hanya sensiti 70% dan 50% dalam mendeteksi refluks.12,13
6. Diagnosis Banding
Larinigtis akut dan laryngitis kronik yang dapat disebabkan infeksi
bakteri,virus dan jamur
Alergi
Tumor dapat berupa tumor jinak yaitu laring papiloma, hemangioma,
tumor ganas berupa squamous cel carcinoma, tiroid carcinoma,
Trauma dapat berupa vokal abuse, tercekik, inhalasi, intubasi,
radioterapi
Immunocompromised
Granulomatous diseases
Autoimmune diseases
7. Penatalaksanaan
a.)Nonmedikamentosa
Pasien dengan LPR diberikan edukasi dan disarankan untuk merubah
kebiasaan-kebiasaan, meliputi berhenti merokok, penurunan berat badan dan
menghindari alkohol. Perubahan ideal dari makanan meliputi, pembatasan
coklat, makanan berlemak, buah-buahan yang asam, minuman berkarbonasi,
anggur merah, kafein, dan tidak makan 2-3 jam sebelum tidur malam. Hal ini
untuk menugurangi jumlah lemak yang ada dalam perut ketika berbaring.
Dimana untuk mencegah aliran balik asam ke esofagus dan tenggorok akibat
kelemahan sfingter.
Menaikan posisi kepala lebih tinggi dari badan dengan dengan benda
keras seperti batu, kayu yang disusun. Dengan meninggikan posisi kepala
membantu menurunkan terpaparnya asam pada daerah tenggorok. Untuk
edukasi pasien termasuk tentang jadwal pemberian obat PPI (omeperazole,
esomeprazole, rabeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole) yang bekerja
optimal bila diberikan 30-60 menit sebelum makan.
b.)Medikamentosa
Obat-obatan yang digunakan untuk LPR terdiri dari 4 kategori yaitu :
PPI, antagonis reseptor H2, agent prokinetik, dan mucosal cytoprotectans.
Proton pump inhibitor (PPI) merupakan obat utama dari pengobatan LPR,
diberikan dua kali sehari selama 3 bulan. Antogonis reseptor H2 yaitu
ranitidin telah terbukti lebih poten untuk menghambat sekresi gaster
dibanding simetidin, meskipun ini masih mempunyai keterbatasan dalam
terapi LPR. Agen prokinetik mempunyai efek mempercepat klirens esofagus
dan meningkatkan tekanan LES, akan tetapi mempunyai efek samping yang
aritmia ventrikuler dan diare, penggunaan cisapride sudah tidak
direkomendasikan, karena efek sampingnya. Tegaserod merupakan agen
prokinetik yang saat ini dapat digunakan untuk menurunkan refluks.Obat
tambahan lain yang dapat melindungi mukosa dari iritasi pepsin dan asam
adalah sukralfat, sedangkan penggunaan antasida (sodium bicarbonat-
aluminum dan magnesium) mungkin dapat mengurangi gejala pada GERD
tetapi untuk LPR kurang bermanfaat.
c.)Pembedahan
Apabila manajemen dengan obat-obatan gagal, maka pasien dengan
refluks cairan dengan volume yang tinggi dan adanya inkompetensi dari LES
perlu dilakukan intervensi pembedahan. Dan hasil yang diharapkan dari
pembedahan adalah mengembalikan kompetensi dari LES yang pada akhirnya
berkurangnya episode refluks ke faring.
BAB III
KESIMPULAN
1. Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam
lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian
yang berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas.
2. Laringofaringeal refluks (LPR) dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu
adanya gangguan fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia,
abnormalitas kontraksi esophagus, lambatnya pengosongan dari lambung,
sedangkan dapat juga disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi,
merokok, iritasi dari polusi udara, alkohol dan gaya hidup, misalnya, diet
makanan berlemak, kopi, coklat, NSAID, makanan pedas, merokok,
minuman beralkohol.
3. Refluks laringofaringeal dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada
suara serak yang persisten atau progresif lebih dari 2-3 minggu, perlu
pemeriksaan laryngopharyng untuk menyingkirkan adanya kanker dan
kondisi serius lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mitrovic SM. Terminology, Diagnostic and Therapy of Laringopharingeal
Reflux: 71(6): 608-10.
2. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, dan Restutu RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009. H. 212-6.
3. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-
6. Richard S. Snell; alih bahasa, Liliana Sugiharto; editor edisi bahasa
Indonesia, Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC , 2006
4. Snell, Richard S. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi
ke-5. Richard S. Snell ; alih bahasa, Liliana Sugiharto ; editor edisi bahasa
Indonesia, Alifa Dimanti. Jakarta : EGC, 2006
5. Rees LE, Pazmany L, Gutowska-Owsiak D, Inman CF, Phillips A, Stokes
CR. The Mucosal Immune Response to Laryngopharingeal Reflux.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine: Vol 177(1):
1187-93. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
6. Zulka E. Laryngopharyngeal Reflux. Simposium & Demo Sulit Telan
(Dysphagia). Semarang. 2008.
7. Lipan MJ. Anatomy of Reflux: A Growing Health Problem Affecting
Structures of the Head and Neck. The Anatomical Record (part B: New
Anat, 2006 vol 289B: 261-70
8. Ahuja V, MD. Head and Neck Manifestations of Gastroesophageal Reflux
disease. American Family Physician. 1999 vol 60.
9. Clouse RE, Diamant NE. Eshopageal Motor and Sensory Function and
Motor Disorders of the Esophagus, In:Feldman:Sleisenger & Fordtran’s
Gastrointestinal and Liver Disease, 7th ed. Elsevier.2002
10. Pham V. Laryngopharyngeal Reflux with an Emphasis on Diagnostic and
Therapeutic Considerations http://www.utmb.edu/otoref/grnds/laryng-
reflux-090825/laryng-reflux-090825.doc
11. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability if the
Reflux Finding Score (RFS). Laryngoscope. 2001;111:1313-1317
12. Amirlak B. Reflux Laryngitis. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/864864-overview#showall.
13. Cummings CW, Flint PW, Haughe BH, Robbins KT, Thomas JR.
Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery, 4th ed. 2007.
Philadelphia: Elsevier.