pbl 3

17
1 A. Skenario Nyeri Punggung Setelah Jatuh Seorang perempuan berusia 67 tahun diantar oleh keluarganya ke UGD RS dengan keluahn nyeri di punggung setelah jatuh. Pasien mengala ketika mau bangun dari tempat duduknya, pasien bertumpu pada pegangan kursi tetapi kemudian terlepas dan pasien jatuh. Setelah jatuh pasien oleh keluarganya tetapi pasien merasakan nyeri pada punggungnya dan pa mengalami kesulitan untuk bangun. Hasil dari pemeriksaan rontgen tulan ertebra pasien didapatkan kesan !raktur kopresi ".#h $% & ' %. B. Klarifikasi Istilah $. (raktur ) * patahanya jaringan tulang karena tekanan atau tindihan yang meleb batas kemampuan tulang tersebut * Patahnya jaringan tulang yang merobohkan ruas tulang akiba tahanan tulang diatasnya. * Patahnya atau robohnya tulang akibat dari tekanan yang melebihi b C. Rumusan Daftar Masalah $. +pa penyebab terjadinya jatuh pada lansia %. (aktor resiko apa saja yang menyebabkan lansia terjatuh -. agaimana pola berjalan manusia se/ara klinis 0. agaiamana perubahan tulang pada lansia 1. +pa saja yang dapat menyebabkan !raktur 6. agaimana hubungan terjatuh dengan timbulnya nyri punggung pa kasus tersebut 7. agaimana pendekatan klinis pada kasus tersebut 2. agaimana pelatalaksanaan pada kasus tersebut D. Analisis Masalah $. Penyebab terjatuh (aktor intrinsik * Gangguan keseimbangan postural * 3aku sendi * Di44ines

Upload: aiiu-lonelyy

Post on 01-Nov-2015

227 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pbl

TRANSCRIPT

A. Skenario Nyeri Punggung Setelah JatuhSeorang perempuan berusia 67 tahun diantar oleh keluarganya ke UGD RS dengan keluahn nyeri di punggung setelah jatuh. Pasien mengalami jatuh ketika mau bangun dari tempat duduknya, pasien bertumpu pada pegangan kursi tetapi kemudian terlepas dan pasien jatuh. Setelah jatuh pasien dibantu oleh keluarganya tetapi pasien merasakan nyeri pada punggungnya dan pasien mengalami kesulitan untuk bangun. Hasil dari pemeriksaan rontgen tulang vertebra pasien didapatkan kesan fraktur kopresi V.Th 12 L 2.

B. Klarifikasi Istilah1. Fraktur : patahanya jaringan tulang karena tekanan atau tindihan yang melebihi batas kemampuan tulang tersebut Patahnya jaringan tulang yang merobohkan ruas tulang akibat dari tahanan tulang diatasnya. Patahnya atau robohnya tulang akibat dari tekanan yang melebihi batas

C. Rumusan Daftar Masalah1. Apa penyebab terjadinya jatuh pada lansia ?2. Faktor resiko apa saja yang menyebabkan lansia terjatuh ?3. Bagaimana pola berjalan manusia secara klinis ?4. Bagaiamana perubahan tulang pada lansia ?5. Apa saja yang dapat menyebabkan fraktur ?6. Bagaimana hubungan terjatuh dengan timbulnya nyri punggung pada kasus tersebut ?7. Bagaimana pendekatan klinis pada kasus tersebut ?8. Bagaimana pelatalaksanaan pada kasus tersebut ?

1

D. Analisis Masalah1. Penyebab terjatuhFaktor intrinsik Gangguan keseimbangan postural Kaku sendi Dizzines Densitas tulang menurun (osteoporosis) Kelemahan otot Penurunan neurotransmitter Idiopatik

Faktor ekstrinsik Obat obatan Trauma 2. Faktor resiko jatuhAdanya gangguan keseimbangan, kelemahan otot, gangguan pada sistem saraf pusat, kecelakaan (kurang lampu penerangan dalam rumah, lantai yang licin.

3. Terdapat 2 fase dalam berjalan :a. Fase pijakan Heel stroke : saat tumit salah satu kaki menyentuh pijakan Mid stance : saat kaki menyentuh pijakan. Push off : sat kaki mengecilkan pijakanb. Fase kaki berada di udara (swing fase) Acceleration ; saat kaki ada didepan tubuh Swing trough : saat kaki berayun ke depan Descelaritation : saat kaki bersentuhan dengan pijakan4. Penurunan massa tulang dengan rasio mineral yang berpengaruh pada penurunan matriks tulang sehingga mengakibatkan osteoporosis.5. Yang dapa menyebabkan fraktur; kecelakaan, berat badan yang berlebih, osteoporosis, sarkoma pada tulang. pada dasarnya fraktur terjadi akibat beban yang diberikan terhadap tulang melebihi dari batas kemampuan tulang dalam menahan beban. 6. Pengaruh usia lanjut ; pada perempuan semakin bertambahnya usia maka siklus haid terganggu yang melibatkan hormon estrogen pada wanita terganggu (terjadi penurunan), hormon estrogen ini berperan terhadap densitas tulang dan menggangu regenerasi tulang yang mengakibatkan pengeroposan tulang, akibatnya jika ada beban yang berlebih yang di berikan pada tulang maka akan terjadi fraktur sesuai dengan tulang yang mendapat tekanan, akibat tekanan terjadi kerusakan tulang yang bahkan menjepit saraf disekitar yang menyebabkan nyeri.7. Pendekatan klinis pada kasus yaitu dengan cara anamnesis dari yang didapat pasien perempuan usia 67 tahun, dari keadaan umum pasien tampak sakit , nyeri punggung setelah jatuh, nyeri tersebut dipengaruhi juga oleh posisi jatuh, kemudian lamanya ketika jatuh, dan adnya gangguan pada aktifitas sehari-hari. Secara pemeriksaan fisik didapatkan secara inspeksi terdapat kemerahan, dan secara palpasi terdapat nyeri tekan pada daerah sekitar,adanya krepitasi,deformitas serta gerakan yang sangat terbatas.8. Penatalaksaan pada kasus tersebut;Terapi simptomati dengan pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri, tirah baring untuk membuat nyaman pasien, pemberian kalsium untuk pemenuhan kebutuhan seari-hari.

E. Sistematika Masalah

F. Sasaran Belajar1. Proses perubahan tulang pada lansia ?2. Pengaruh estrogen terhadap tulang ?3. Perbedaan cara berjalan dewasa dan lansia ?4. Penatalaksanaan pada kasus tersebut ?

G. Penjelasan1. Perubahan Tulang pada Lansia1.1 Perubahan Anatomik Sistem Muskuloskeletal pada LansiaMassa tulang kontinu sampai mencapai puncak pada usia 30-35 tahun setelah itu akan menurun karena disebabkan berkurangnya aktivitas osteoblas sedangkan aktivitas osteoklas tetap normal. Secara teratur tulang mengalami turn over yang dilaksanakan melalui 2 proses yaitu; modeling dan remodeling, pada keadaan normal jumlah tulang yang dibentuk remodeling sebanding dengan tulang yang dirusak. Ini disebut positively coupled jadi masa tulang yang hilang nol. Bila tulang yang dirusak lebih banyak terjadi kehilangan masa tulang ini disebut negatively coupled yang terjadi pada usia lanjut. Dengan bertambahnya usia terdapat penurunan masa tulang secara linier yang disebabkan kenaikan turn over pada tulang sehingga tulang lebih pourus. Pengurangan ini lebih nyata pada wanita, tulang yang hilang kurang lebih 0,5 sampai 1% per tahun dari berat tulang pada wanita pasca menopouse dan pada pria diatas 80 tahun, pengurangan tulang lebih mengenai bagian trabekula dibanding dengan kortek. Pada pemeriksaan histologi wanita pasca menopouse dengan osteoporosis spinal hanya mempunyai trabekula kurang dari 14%. Selama kehidupan laki-laki kehilangan 20-30% dan wanita 30-40% dari puncak massa tulang. Pada sinofial sendi terjadi perubahan berupa tidak ratanya permukaan sendi terjadi celah dan lekukan dipermukaan tulang rawan. Erosi tulang rawan hialin menyebabkan pembentukan kista di rongga sub kondral. Ligamen dan jaringan peri artikuler mengalami degenerasi Semuanya ini menyebabkan penurunan fungsi sendi, elastisitas dan mobilitas hilang sehingga sendi kaku, kesulitan dalam gerak yang rumit Perubahan yang jelas pada sistem otot adalah berkurangnya masa otot terutama mengenai serabut otot tipe II. Penurunan ini disebabkan karena otropi dan kehilangan serabut otot. Perubahan ini menyebabkan laju metabolik basal dan laju komsumsi oksigen maksimal berkurang. Otot menjadi mudah lelah dan kecepatan laju kontraksi melambat. Selain penurunan masa otot juga dijumpai berkurangnya rasio otot dan jaringan lemak. (Spackman SS, 2006)1.2 Keadaan Rongga Mulut LansiaKehilangan gigi atau edentulisme memiliki prevalensi yang tinggi pada lansia di seluruh dunia dan berkaitan erat dengan status sosial ekonomi. Studi epidemologis menunjukkan bahwa individu dengan status sosial ekonomi bawah dan individu dengan sedikit menerima pendidikan lebih sering mengalami edentulisme daripada individu status ekonomi lebih tinggi. Di Indonesia, prevalensi edentulisme pada lansia usia 65 tahun ke atas mencapai 24%, lebih rendah presentase Malaysia dan Srilangka, tetapi lebih tinggi dari persentase Singapura, Kamboja dan Thailand. (Spackman SS, 2006)a. Keadaan GigiUmumnya para lansia akan mengalami pengurangan jumlah gigi. Berkurangnya gigi, terutama gigi posterior telah diindikasikan sebagai penyebab TMD karena kondil mandibula akan mencari posisi yang nyaman pada saat menutup mulut. Hal inil memicu perubahan letak condilus pada fossa glenoid dan menyebabkan TMD, serta kelainan oklusal akibat hilangnya gigi menghasilkan stres melalui sendi dan menyebabkan ganguan fungsi sendi. Griffin (1979)2 sebagaimana yang dikutip oleh Soikkonen menulis bahwa degenerasi TMJ berhubungan dengan hilangnya gigi, terutama gigi-gigi molar. (Spackman SS, 2006)Perubahan gigi geligi pada proses penuaan menjadi faktor yang memicu terjadinya TMD dan berkaitan dengan proses fisiologis normal, dan proses patologis akibat tekanan fungsional dan lingkungan. Gigi geligi mengalami diskolorisasi menjadi lebih gelap dan kehilangan email akibat atrisi, abrasi dan erosi. Secara umum ruang pulpa menyempit dan sensitivitas berkurang karena adanya deposisi dentin sekunder. Resesi gingiva, hilangnya perlekatan periodontal dan tulang alveolar merupakan perubahan jaringan periodontal yang umum ditemukan pada lansia. Degenerasi tulang alveolar menyebabkan gigi geligi tampak lebih panjang daripada sebelumnya. Resesi gingiva yang terjadi secara signifikan tidak diikuti oleh peningkatan kedalaman poket periodontal. Massa tulang, baik pada tulang alveolar dan sendi rahang menurun pada lansia akibat menurunnya asupan kalsium dan hilangnya mineral tulang. (Spackman SS, 2006)

Gambar 1. Gigi Geligi pada Pasien Lansia(Sumber: Burkets, 2003)b. Keadaan Saliva dan Mukosa MulutDiketahui bahwa fungsi kelenjar saliva yang mengalami penurunan merupakan suatu keadaan normal pada proses penuaan manusia. Lansia mengeluarkan jumlah saliva yang lebih sedikit pada keadaan istirahat, saat berbicara, maupun saat makan. Keluhan berupa xerostomia atau mulut kering sering ditemukan pada orang tua daripada orang muda yang disebabkan perubahan karena usia pada kelenjar itu sendiri. Fungsi utama dari saliva adalah pelumasan, buffer, dan perlindungan untuk jaringan lunak dan keras pada rongga mulut. Jadi, perubahan aliran saliva akan mempersulit fungsi bicara dan penelanan serta menaikkan jumlah karies gigi, dan meningkatkan kerentanan mukosa terhadap trauma mekanis dan infeksi microbial. (Spackman SS, 2006)Berdasarkan penelitian terjadinya degenerasi epitel saliva, atrofi, hilangnya asini dan fibrosis terjadi dengan frekuensi dan keparahan yang meningkat dengan meningkatnya usia. Secara umum dapat dikatakan bahwa saliva nonstimulasi secara keseluruhan berkurang volumenya pada lansia.(Spackman SS, 2006)Gambaran klinis jaringan mukosa mulut lansia sehat tidak berbeda jauh dibandingkan dengan individu muda, meski demikian riwayat adanya trauma, penyakit mukosa, kebiasaan merokok dan adanya gangguan pada kelenjar ludah dapat merubah gambaran klinis dan karakter histologis jaringan mulut lansia. Kesehatan umum dan kesehatan rongga mulut saling berkaitan. Sebagai contoh, penyakit periodontal parah diasosiasikan dengan diabetes mellitus, penyakit jantung sistemik dan penyakit paru-paru kronis. Kehilangan gigi juga dikaitkan dengan peningkatan resiko stroke dan kesehatan mental yang buruk. (Spackman SS, 2006)Perubahan pada mukosa mulut dengan bertambahnya usia dapat menimbulkan kesalahan penetapan diagnosis. Varikositas pada ventral lidah akan tampak jelas pada lansia. Berkurangnya jumlah gigi geligi seiring dengan proses penuaan menyebabkan lidah terlihat lebih besar atau macroglosia, tampak bercelah dan beralur dikenal dengan fissured tongue atau dapat pula tampak berambut dikenal dengan hairy tongue. Beberapa kondisi mukosa mulut yang sering ditemukan pada lansia adalah keratoris friksional akibat trauma gigitan kronis, makula melanotik, amalgam tattoo, torus, fissured tongue dan geographic tongue. (Spackman SS, 2006)1.3 Keadaan TMJ pada LansiaProses menua, terjadi kemunduran banyak fungsi tubuh. Salah satu di antaranya adalah fungsi TMJ untuk mengunyah. Adanya gangguan pada fungsi TMJ untuk mengunyah mengakibatkan berkurangnya asupan makanan sebagai sumber gizi. (Bajpai, 2009)TMJ merupakan sendi yang paling kompleks, sendi ini membuka dan menutup seperti sebuah engsel dan bergeser ke depan, ke belakang dan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya. Selama proses mengunyah, sendi ini menopang sejumlah besar tekanan. Sendi ini memiliki sebuah kartilago atau tulang rawan khusus yang disebut cakram, yang mencegah gesekan antara tulang rahang bawah dan tulang tengkorak. (Bajpai, 2009)

Gambar 2. Letak TMJ(Sumber: Bajpai, 2009)a. Proses perubahan TMJStruktur dan fungsi jaringan konektif mengalami sintesis dan degradasi makromolekul sel dan ekstraseluler secara terus-menerus. Proses remodeling ini adalah adaptasi biologis terhadap lingkungan, yaitu respon stres biomekanis. Adaptasi morfologi akan meminimalkan stres biomekanis. Sejak usia dewasa muda, tulang rahang terus mengalami remodeling. Remodeling dianggap menyebabkan penebalan jaringan pada permukaan sendi, misalnya produksi osteosit, sebagai respon terhadap perubahan lingkungan, misalnya sebagai kompensasi gigi yang telah dicabut. Sedangkan kegagalan menahan stres biomekanis menyebabkan degenerasi prematur jaringan fibrosa sendi seperti resorpsi tulang subartikular. Akibat proses menua, jaringan sendi mengalami reduksi sel yang progresif sehingga hanya tersisa sedikit kondrosit dan fibroblas yang kemudian menjadi fibrokartilago. Akibatnya terjadi penipisan meniskus sendi dan dapat mengalami arthritis remodeling terjadi pada bagian anterior dan posterior condyl, medial dan lateral eminensia sendi, dan atap fossa glenoid. Derajat remodeling tidak berhubungan dengan usia tetapi sangat berhubungan dengan kehilangan gigi. Terdapat lebih dari 95% individu memberikan gambaran osteoartritis. Gambaran radiografik condyl yang utama adalah sklerosis subkondral sehingga permukaan sendi menjadi rata karena erosi dan celah sendi menjadi sempit. Secara histologis, terlihat bahwa stres mekanis menyebabkan pemanjangan ligamen posterior meniskus, diikuti pergeseran ventromedial yang menyebabkan tidak adekuatnya aliran darah sehingga terjadi iskemia di daerah tersebut dan terjadi resorpsi tulang. (Bajpai, 2009)TMD bisa mengenai sendi dan otot-otot yang berada di sekitarnya. Sebagian besar penyebab dari TMD adalah gabungan dari ketegangan otot dan kelainan anatomis pada sendi, kadang disertai faktor psikis. (Bajpai, 2009)

Tabel 1. Perubahan- perubahan Pada Mandibula Sesuai Umur (Nomura K, 2007)BagianPada KelahiranDewasaUsia Tua

1. Simpisis menti

Ada. Kedua belahan di satukan oleh jaringan ikat, Sinostosis terjadi pada tahun ke 2 dewasaTidak ada.Sebuah gigi median pada setengah bagian atas melukiskan simpisis.tidak ada.Rigi median diabsorpsi.

2. Angulus

TumpulSudut kanan mendekati angulus dekstra.Tumpul 140

3. Foramen mentale

Di dekat pinggir bawah.

Di tengah di antara pinggir atas dan bawahDi dekat pinggir atas.

4. Kanalis mandibulaisBerjalan dekat pinggir bawah.Berjalan sejajar linea milohyoidea.Berjalan dekat pinggir atas,

5. Prosesus

Prosesus koronoideus besar dan posisi lebihtinggi dari padaprosesus kondiloideus.Prosesus kondiloideus tinggi di atas prosesus koronoideus.Prosesus kondiloideus sangat di belakang pada Lansia.

6. Pinggir alveolarisBerkembang, menyelubungi lubang-lubang gigi yang belum tumbuh

Baik bagian alveolaris maupun sub alveolaris tidak berkembang.Bagian alveolaris diabsorpsi akibat rontoknya gigi-gigi dan berubah menjadi rugi.

2. Pengaruh Esterogen Terhadap TulangSetelah menopause, maka reasorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga insiden fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan formasi tulang, keduanya meningkat menunjukan adanya peningkatan bone turnover. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagaisitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktifitas osteoklas meningkat. (Guyton & Hall, 2009)Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalisium diginjal. Selain itu, menopause juaga menuurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1,25 (OH),sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan konsentrasi 1,25 (OH) didalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen transdermal tidak diangkut melewati hati. Walaupun demikian, estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan absorpsi kalsium diusus secara langsung tanpa dipengaruhi vitamin D. (Guyton & Hall, 2009)Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkatkan pada wanita menopause , sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause, kadang kala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatkannya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terkait albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik. Walaupun terjadi peningkatan kadar kalsium yang terkait albumin dan kalsium dalam garam kompleks, kadar ioan kalsium tetap sama dengan keadaan premenopause. (Guyton & Hall, 2009)

Gambar 3. Tulang normal dan osteoporosis(Sumber: Guyton & Hall, 2009)

3. Perbedaan Cara Berjalan Dewasa dengan LansiaPerubahan gaya berjalan terjadi seiring dengan meningkatnya usia. Kendati perubahan tersebut tidak terlalu menonjol untuk dianggap patologis, kondisi perubahan gaya berjalan tersebut dapat meningkatkan kejadian jatuh. Pada umumnya orang usia lanjut tidak dapat mengangkat atau menarik kakinya cukup tinggi sehingga cendurung mudah terantuk (trip). Orang usia lanjut laki-laki cenderung memiliki gaya berjalan dengan kedua kaki melebar dan langkah pendek-pendek (wide-based, short stepped gaits); sedangkan perempuan usia lanjut sering kali berjalan kedua kaki menyempit (narrow based) dan gaya jalan bergoyang-goyang (wadling gait). Orang usia lanjut cenderung untuk berjalan lebih lambat dan meningkatkan kecepatan berjalan dengan cara meningkatkan jumlah langkah per unit waktu dibandingkan jarak satu siklus berjalan, serta terdapat peningkatan ayunan postural. Pada usia lanjut yang sehat, kecepatan berjalan menurun 1-2% tiap tahunnya dan berkaitan dengan berkurangnya panjang langkah dan jarak satu siklus berjalan. Gerak ekstensi sendi pergelangan kaki dan rotasi pelvis menurun, serta periode double support meningkat untuk membuat gaya berjalan lebih stabil. Bertambahnya waktu untuk menyelesaikan satu siklus berjalan berkaitan dengan peningkatan sebesar 5 kali resiko untuk jatuh. (Sudoyo, 2009)Dalam pola jalan lansia ada beberapa perubahan yang mungkin terjadi, diantaranya sebagai berikut: (Sudoyo, 2009) Sedikit ada rigiditas pada anggota gerak, terutama anggota gerak atas lebih dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabila tubuh bergerak. Gerakan otomatis, amplitudo dan kecepatan berkurang, seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan. Hilangnya kemampuan untuk memanfaatkan gravitasi sehingga kerja otot meningkat. Hilangnya ketepatan dan kecepatan otot, khususnya otot penggerakan sendi panggul. Langkah lebih pendek agar merasa lebih aman Penurunan perbandingan antara fase mengayun terhadapt fase menumpu. Halk itu juga untuk menambah rasa aman dengan fase menumpu pada kedua tungkai lebih lama. Penurunan rotasi badan, terjadi karena efek sekunder kekuatan sendi. Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun Penurunan sudut antara tumit dan lantai, itu mungkin disebabkan lemahnya fleksibilitas plantar fleksor. Penurunan irama jalan. Hal itu merupakan salah satu upaya menjaga rasa aman. Penurunan rotasi gelang bahu dan panggul sehingga pola jalan tampak kaku. Penurunan kecepatan ayunan lengan dan tungkai.

4. Penatalaksanaan pada Fraktur LansiaTujuan utama tatalaksana adalah mengembalikan pasien pada keadaan dan fungsi sebelum terjadi fraktur. Hal ini dapat dicapai dengan operasi diikuti mobilisasi dini. Walaupun demikian, adakalanya operasi dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas bila ada penyakit penyerta seperti riwayat infark miokard. Pada keadaan ini operasi sebaiknya ditunda hingga risiko infark berkurang. Operasi sebaiknya ditunda pula pada pasien yang membutuhkan terapi antikoagulan segera.Tata laksana non-operatif ditujukan pada pasien nonambulatoar dan demensia. Pada pasien ini, target tatalaksana adalah keadaan dan fungsi sebelum fraktur tanpa operasi. Mobilisasi dini penting untuk menghindari komplikasi akibat tirah baring lama. (Sudoyo, 2009)Pada pasien usia lanjut yang mengalami fraktur diperlukan penilaian geriatri yang komprehensif. Kelompok pasien ini umumnya lemah, memiliki beberapa masalah medis, minum banyak obat, serta acapkali sudah terdapat demensia atau penyakit terminal lainnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan, dibuat pengkajian geriatri yang prinsipnya mencakup penyakit dasar, penyakit penyerta, faktor risiko, prognosis, dan kelayakan operasi. Bila didapatkan penyakit penyerta pada pasien yang akan dioperasi maka dilakukan manajemen perioperatif hingga penyakit penyerta tersebut dapat terkontrol atau terkendali. (Sudoyo, 2009)Perlu pula dilakukan penapisan aktivitas hidup harian sebelum dan setelah fraktur, maupun adanya gangguan fungsi kognitif dan depresi. Aktivitas hidup harian secara sederhana dapat dinilai dengan indeks activity daily living, (ADL) Barthel. Evaluasi fungsi kognitif dapat secara kuantitatif menggunakan abbreviated mental test (AMT) atau mini-mental state examination (MMSE). Adanya depresi ditapis dengan geriatric depression scale (GDS). Persiapan mental pasien pun harus dilakukan dimulai dengan penjelasan kepada pasien tentang penyakit dan tatalaksananya. (Sudoyo, 2009)Obat-obatan yang digunakan pasien sebelumnya perlu dievaluasi. Pasien harus dihindarkan dari efek samping polifarmasi. Obat yang tidak/sedikit efektif dihentikan. Namun obat yang berefek buruk bila dihentikan tetap diteruskan. Obat Parkinson tidak perlu dihentikan sebelum operasi. (Sudoyo, 2009)Pada pemeriksaan fisik dievaluasi adanya komplikasi akibat fraktur, faktor penyebab fraktur, dan penyakit penyerta. Pemeriksaan fisik awal sangat penting untuk mengevaluasi komplikasi yang mungkin terjadi kemudian. Penilaian status nutrisi pasien dapat dinilai melalui berat badan dan tinggi badan, konsentrasi albumin, dan jumlah total limfosit. Penilaian kulit dilakukan terhadap adanya dekubitus. Perlu dilakukan tatalaksana terhadap nyeri yang seringkali timbul akibat fraktur. Pada keadaan tersebut pasien dapat diberikan parasetamol 500 mg hingga dosis maksimal 3000 mg per hari. Bila respons tidak adekuat dapat ditambahkan dengan kodein 10 mg. Langkah selanjutnya adalah dengan menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid seperti ibuprofen 400 mg, 3 kali sehari. Pada keadaan sangat nyeri (terutama bila terdapat osteoporosis), kalsitonin 50-100 IU dapat diberikan subkutan malam hari. Golongan narkotik hendaknya dihindari karena dapat menyebabkan delirium. (Sudoyo, 2009)Selain itu, perlu diingat kemungkinan terjadinya komplikasi pascaoperasi seperti infeksi, tromboemboli, delirium, infeksi saluran kemih dan retensio urin, ulkus dekubitus akibat tirah baring lama, maupun malnutrisi. (Sudoyo, 2009)Risiko infeksi dapat diturunkan dengan pemberian antibiotik perioperatif. Untuk mencegah tromboemboli, baik trombosis vena dalam maupun emboli paru, pasien perlu mendapat antikoagulan selama masa perioperatif. Warfarin diberikan dengan targel international normalized ratio (INR) 2-3. Heparin diberikan dengan target partial thromboplastin time (aPTT) 1,5-2,5 kontrol. Low molecular weight heparin (LMWH) dapat diberikan tanpa pengontrolan aPTT. Sebelum operasi, antikoagulan perlu dihentikan dahulu agar perdarahan luka operasi terkendali. Setelah operasi, antikoagulan dapat diberikan hingga 2-4 minggu atau bila pasien sudah dapat mobilisasi. Walaupun aspirin bila dibandingkan dengan heparin efektivitasnya lebih rendah, namun pada keadaan pasien dengan kontraindikasi terhadap antikoagulan maka pada pasien dapat diberikan aspirin 75-325 mg/hari atau hanya menggunakan tindakan mekanis seperti sepatu kompresi pneumatik. Stoking kompresi dapat menjadi tambahan dari terapi di atas. Penggunaan aspilet dan stoking kompresi diteruskan hingga 6 minggu setelah operasi. (Sudoyo, 2009)Delirium pasca operasi dapat dipicu oleh gangguan elektrolit dan obat-obatan yang diberikan seperti golongan benzodiazepin agar pasien dapat tidur atau opiat untuk mengatasi nyeri. Fuktor preoperatif terjadi delirium pascaoperasi adalah demensia sebelum fraktur, mobilisasi rendah sebelum fraktur, dan MMSE rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan elekrolit berkala, evaluasi obat-obatan yang digunakan, dan pasien diperkenalkan menggunakan pakaian, kacamata, dan alat pendengarannya serta ditunggui keluarga. Satu anggota keluarga tetap menunggui pasien khususnya pada malam hari. Pemindahan ruang rawat yang tidak perlu diminimalkan. (Sudoyo, 2009)Untuk mencegah infeksi saluran kemih dan retensio urin, kateter urin harus dilepas segera setelah operasi, tidak boleh dipertahankan lebih dari 24-36 jam kecuali bila dibutuhkan evaluasi jumlah urin. Retensio urin sementara dapat terjadi akibat nyeri, opiat, anestesi, atau faktor lain. Ulkus dekubitus perlu dicegah dengan melakukan mobilisasi dini, menjaga kesehatan kulit, dan penggunaan kasur dekubitus. Asupan nutrisi pasien juga perlu diperhatikan untuk mencegah malnutrisi. Umumnya pasien dapat menerima nutrisi enteral dalam 12-24 jam pascaoperasi. Suplemen protein oral harus diberikan dalam jumlah besar, karena asupan pada masa pascaoperasi dapat kurang dari seharusnya. Bila asupan oral tidak adekuat maka digunakan pipa nasogastrik untuk memperbaiki keseimbangan nitrogen dan asupan kalori. (Sudoyo, 2009)Aspek penting pada pascaoperasi adalah mobilisasi dini untuk mencegah komplikasi akibat imobilisasi. Pada usia lanjut dengan fraktur femur proksimal, hal ini sangat penting agar dapat hidup tanpa tergantung pada orang lain dengan target terapi adalah mengembalikan fungsi berjalan. Rehabilitasi harus mulai satu hari setelah operasi dengan mobilisasi bertahap dari tempat tidur, kursi dan selanjutnyan berdiri dan berjalan. Pada hal pertama dapat dimulai dengan latihan kekuatan isometri dan latihan mobilisasi. Pada hari keempat latihan berdiri dan latihan berjalan dengan pegangan. (Sudoyo, 2009)Perencanaan pulang ke rumah merupakan hal penting. Agar pasien dapat melakukan fungsi tanpa ketergantungan saat kembali ke rumah, pasien harus memulihkan kemampuan untuk melakukan aktuvitas hidup harian dasar. Kebanyakan pemulihan terjadi pada 6 bulan pertama setelah fraktur. (Sudoyo, 2009)