pbl 3 - pjr

17
1. Memahami dan Menjelaskan Penyakit Jantung Reumatik 1.1 Etiologi, Epidemiologi, dan Faktor Resiko Etiologi Demam reumatik, seperti halnya penyakit lain merupakan akibat interaksi individu, penyabab penyakit, dan faktor lingkungan. Penyakit ini berhubungan sangat erat dengan infeksi saluran napas bagian atas oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Berbeda dengan glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit maupun saluran napas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit. Epidemiologi Meskipun individu-individu segala umur dapat diserang oleh DR akut, tetapi DR ini banyak terdapat pada anak- anak dan orang usia muda (5-15 tahun). Ada dua keadaan terpenting dari segi epidemiologik pada DR akut ini yaitu kemiskinan dan kepadatan penduduk. Tetapi pada saat wabah DR tahun 1980 di Amerika pasien-pasien anak yang terserang juga dari kelompok ekonomi menengah ke atas. Setelah perang dunia kedua dilaporkan bahwa di Amerika dan Eropa insiden DR menurun, tetapi DR masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang. Ternyata insiden yang tinggi dari karditis adalah pada anak muda dan kelainan katup jantung adalah sebagai akibat kekurangan kemampuan untuk melakukan pencegahan sekunder DR dan PJR. Dilaporkan bahwa DR adalah penyebab utama penyakit jantung untuk usia 5-30 tahun. DR dan PJR adalah penyebab utama kematian penyakit jantung untuk usia di bawah 45 tahun, juga dilaporkan 25-40% penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk semua umur. Pada penelitian di bawah ini terlihat insiden DR dan PJR di Eropa dan Amerika menurun, sedangkan di negara tropis dan subtropis masih terlihat peningkatan yang agresif, seperti kegawatan karditis dan payah jantung yang meningkat. Faktor Resiko Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan penyakit jantung reumatik Dina Tria Febriyanti - 1102010079Page 1

Upload: 22annarizky

Post on 26-Nov-2015

75 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

PBL 3 PJR

TRANSCRIPT

1. Memahami dan Menjelaskan Penyakit Jantung Reumatik1.1 Etiologi, Epidemiologi, dan Faktor ResikoEtiologiDemam reumatik, seperti halnya penyakit lain merupakan akibat interaksi individu, penyabab penyakit, dan faktor lingkungan. Penyakit ini berhubungan sangat erat dengan infeksi saluran napas bagian atas oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Berbeda dengan glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit maupun saluran napas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit.EpidemiologiMeskipun individu-individu segala umur dapat diserang oleh DR akut, tetapi DR ini banyak terdapat pada anak-anak dan orang usia muda (5-15 tahun). Ada dua keadaan terpenting dari segi epidemiologik pada DR akut ini yaitu kemiskinan dan kepadatan penduduk. Tetapi pada saat wabah DR tahun 1980 di Amerika pasien-pasien anak yang terserang juga dari kelompok ekonomi menengah ke atas. Setelah perang dunia kedua dilaporkan bahwa di Amerika dan Eropa insiden DR menurun, tetapi DR masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang.Ternyata insiden yang tinggi dari karditis adalah pada anak muda dan kelainan katup jantung adalah sebagai akibat kekurangan kemampuan untuk melakukan pencegahan sekunder DR dan PJR. Dilaporkan bahwa DR adalah penyebab utama penyakit jantung untuk usia 5-30 tahun. DR dan PJR adalah penyebab utama kematian penyakit jantung untuk usia di bawah 45 tahun, juga dilaporkan 25-40% penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk semua umur.Pada penelitian di bawah ini terlihat insiden DR dan PJR di Eropa dan Amerika menurun, sedangkan di negara tropis dan subtropis masih terlihat peningkatan yang agresif, seperti kegawatan karditis dan payah jantung yang meningkat.Faktor ResikoFaktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan penyakit jantung reumatik terdapat pada individunya sendiri serta pada keadaan lingkungan. Faktor-faktor pada individu :1. Faktor genetik. Banyak demam reumatik dan penyakit jantung reumatik terjadi pada satu keluarga maupun anak-anak kembar.2. Jenis kelamin. Dari data-data penelitian ditemukan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi klinis tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada salah satu jenis kelamin. Misalnya gejala chorea jauh lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki. Kelainan katup sebagai gejala sisa penyakit jantung reumatik juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin. Pada orang dewasa, gejala sisa berupa stenosis mitral lebih sering didapatkan pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki.3. Golongan etnik dan ras. Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibandingkan dengan orang kulit putih. Di negara-negara barat umumnya stenosis mitral terjadi bertahun-tahun setelah serangan jantung reumatik akut. Tetapi data di India menunjukkan bahwa stenosis mitral organik yang berat seringkali sudah terjadi dalam waktu yang relatif singkat, hanya 6 bulan-3 tahun setelah serangan pertama.4. Umur. Penyakit jantung reumatik paling sering mengenai anak berumur antara 5-10 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak usia 3-5 tahun dan sangat jarang ditemukan pada sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi Streptococcus pada anak usia sekolah.5. Keadaan gizi dan lain-lain. Keadaan gizi anak serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan sebagai faktor predisposisi untuk DR. Hanya telah diketahui bahwa penderita anemia sel sabit jarang yang menderita DR/PJR.Faktor-faktor lingkungan :1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk.2. Iklim dan geografi. DR adalah penyakit kosmopolit, terbanyak ditemukan di daerah beriklim sedang, tetapi data-data terakhir menunjukkan bahwa daerah tropis mempunyai insidens yang lebih tinggi. Di daerah dataran tinggi, insidens DR lebih tinggi daripada di dataran rendah.3. Cuaca. Perubahan cuaca mendadak seringkali menyebabkan insidens infeksi saluran pernapasan bagian atas meningkat, sehingga insidens DR juga meningkat.

1.2 PatogenesisMeskipun sampai sekarang ada hal-hal yang belum jelas, tetapi ada penelitian yang mendapatkan bahwa DR yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen Streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih kurang 95% pasien menunjukan peninggian titer antistreptoksin O (AST), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman SGA.Faktor-faktor yang diduga terjadinya komplikasi pasca Streptokokus ini kemungkinan utama adalah pertama Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus, dan kedua besarnya response umum dari host dan persistensi organisme yang menginfeksi faring. Resiko untuk kambuh sesudah pernah mendapat serangan Streptokokus adalah 50-60%.Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong mekanisme autoimunitas atas dasar reaksi antigen antibody terhadap antigen Streptokokus. Salah satu antigen tersebut adalah protein-M Streptokokus. Pada serum pasien DR akut dapat ditemukan antibody dan antigen. Antibody yang terbentuk bukan bersifat kekebalan. Dan reaksi ini dapat ditemukan pada miokard, otot skelet dan sel otot polos. Dengan imunofloresensi dapat ditemukan imunoglobulinnya dan komplemen pada sarkolema miokard.

1.3 MorfologiLesi yang patognomonik Demam Reumatik adalah Badan Aschoff sebagai diagnostic histopatologi. Sering ditemukan juga pada saat tidak adanya tanda-tanda keaktifan kelainan jantung, dan dapat bertahan lama setelah tanda-tanda gambaran klinis menghilang, atau masih ada keaktifan laten. Badan Aschoff ini umumnya terdapat pada septum fibrosa intervaskular, dijaringan ikat perivaskular dan didaerah subendotelial. Pada PJR biasanya terkena ketiga lapisan, yaitu endokard, miokard dan perikard secara bersamaan atau sendiri-sendiri atau kombinasi.

1.4 Manifestasi KlinisArthritis gejala mayor yang sering ditemukan pada DR akut. Sendi yang dikenai berpindah-pindah tanpa cacat, yang biasanya adalah sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku, dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang secara perlahan-lahan. Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu sehingga terlihat sembuh sempurna. Proses migrasi arthritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi kecil jari tangan dan kaki juga dapat dikenai. Pengobatan dengan aspirin dapat merupakan diagnosis terapetik pada arthritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam 24-72 jam, maka diagnosis akan diragukan.Karditis merupakan manifestasi klinis yang penting dengan insidens 40-50%, atau berlanjut dengan gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadang-kadang karditis itu asimtomatik dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya mengenai endokardium saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung. Katup mitral yang terbanyak dikenai dan dapat bersamaan dengan katup aorta. Katup aorta sendiri jarang dikenai. Adanya regurgitasi mitral ditemukan dengan bising sistolik yang menjalar ke aksila, dan kadang-kadang juga disertai bidang mid-diastolik (bising Carey Coombs). Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi kelainan anatomi jantung sedangkan dengan Doppler dapat menentukan fungsi dari jantung. Miokarditis dapat bersamaan dengan endokarditis sehingga terdapat kardiomegali atau gagal jantung. Perikarditis tidak akan berdiri sendiri, biasanya pankarditis.Chorea chorea ini didapatkan 10% dari DR yang dapat merupakan manifestasi klinis sendiri atau bersamaan dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenal pada perempuan pada umur 8-12 tahun. Dan gejala ini muncul selama 3-4 bulan. Dapat juga ditemukan pada anak ini suatu emosi yang labil di masa anak ini suka menyendiri dan kurang perhatian terhadap lingkungannya sendiri. Gerakan-gerakan tanpa disadari akan ditemukan pada wajah dan anggota-anggota gerak tubuh yang biasanya unilateral. Dan biasanya ini menghilang saat tidur.Eritema Marginatum ditemukan kira-kira 5% dari pasien DR, dan berlangsung berminggu hingga berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal.Nodul Subkutanius besarnya kira-kira 0,5-2cm, bundar, terbatas dan tidak nyeri tekan. Demam pada DR tidak khas, dan jarang menjadi keluhan utama oleh pasien DR ini. Pada penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti di berbagai Negara, dari manifestasi klinis DR yang dilaporkan oleh Committee of Remaic Fever tahun 1992.

Perjalanan klinis DR/PJR dapat dibagi dalam 4 stadium .Stadium I : berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Keluhan biasanya demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, muntah, diare. Pada pemeriksaan fisis ditemukan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda inflamasi, kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar.Stadium II : disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A dengan permulaan gejala DR, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali chorea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.Stadium III : fase akut DR, saat timbulnya pelbagai menifestasi klinis DR/PJR.Gejala peradangan umum : penderita mengalami demam yang tidak tinggi tanpa pola tertentu, lesu, anoreksia, lekas tersinggung, dan berat badan tampak menurun. Anak terlihat pucat karena anemia, epistaksis, dan artralgia. Terdapat peningkatan C-reactive protein dan leukositosis serta meningkatnya LED, titer ASTO meninggi, dan pada EKG dijumpai pemanjangan interval P-R.Manifestasi Spesifik : artritis (poliartritis migrans), karditis, eritema marginatum, nodul subkutan, dan chorea.Stadium IV : stadium inaktif. Pada stadium ini penderita DR tanpa kelainan jantung atau penderita PJR tanpa gejala sisa tidak menunjukkan gejala apa-apa.

1.5 Pemeriksaan dan Diagnosis BandingPemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokus Grup A sangat membantu diagnostic DR yaitu : Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi SGA tersebutUntuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kuman SGA ini dapat dideteksi: Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur SGA negative pada fase akut itu. Bila positif ini pun belum pasti membantu diagnostic sebab kemungkinan akibat kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi Streptokokus dengan strain yang lain. Antibody Streptokokus lebih menjelaskan adanya infeksi Streptokokus dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-seTerbentuknya antibody-antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak, sedangkan titer pada DNA-se B120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd untuk anak-anak. Dan antibody ini dapat terdeteksi pada minggu kedua sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman SGA di tenggorokan. Untuk inilah pencegahan sekunder dilakukan tiap 3-5 minggu. Pada fase akut ditemukan lekositosis, laju endapan darah yang meningkat, protein C-reactive, mukoprotein serum. Laju endapan darah dan protein C-reactive yang tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat antirematik.Anemia yang ringan sering ditemukan adalah anemia normositer normokrom karena infeksi kronis DR. Dengan kortikosteroid anemia dapat diperbaiki. Tidak ada pola yang khas dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya bising sistolik dapat dibantu dengan kelainan EKG berupa interval PR yang memanjang atau perubahan patern ST-T yang tidak spesifik.Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis, bukan hanya pada simtom, gejala atau kelainan laboratorium patognomonis. Pada tahun 1944 Jones menetapkan criteria diagnosis atas dasar beberapa sifat dan gejala saja. Setelah itu criteria ini dimodifikasi pada tahun 1955 dan selanjutnya direfisi 1965, 1984 dan terakhir 1992 oleh AHA sebagai berikut :Gejala MajorGejala MinorPoliatritis Klinis : suhu tinggiKarditis Sakit sendi (artralgia)Korea Riwayat pernah menderita DR/PJRNodul Subkutaneus Eritema Marginatum Lab : reaksi fase akutDitambah bukti-bukti adanya suatu infeksi Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorok yang positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti DNA-se B. Terutama pada anak/dewasa muda aloanamnesa pada orang tua dan keluarga sangat diperlukan.Bila ada infeksi Streptokokus sebelumnya maka diagnosis DR/PJR didasarkan adanya :1. Dua gejala mayor, atau2. Satu gejala mayor dengan dua gejala minorSedangkan penyediaan fasilitas pemeriksaan kuman Streptokokus belum meluas maka manifestasi klinis diatas harus dijadikan pegangan diagnosis suatu DR/PJR. Tentu perlu dibedakan dengan gejala-gejala penyakit lain seperti rematoid artristis, pegal-pegal kaki infeksi virus, kelainan jantung bawaan dan lain-lain.Diagnosis Banding Arthritis RheumatoidPoliartritis pada anak-anak dibawah 3 tahun atau lebih sering pada artritis reumatoid, biasanya terjadi secara bersamaan pada sendi-sendi, simetris, tidak bermigrasi, kurang berespon terhadap preparat salisil dibandingkan dengan artritis pada DR. Apabila sakit bertahan lebih dari 1 minggu meskipun sudah diberi salisil + reumatoid faktor (+) --> diagnosis ke arah artritis reumatoid. Sickel cell Anemia/ leukemiaTerjadi pada anak dibawah 6 bulan. Adanya penurunan Hb yang significant (< 7 g/dL). Leukositosis tanpa adanya tanda-tanda radang. Peradangan pada metatarsal dan metakarpal. Splenomegali. Pada perjalanan yang kronis --> kardiomegali. Diperlukan pemeriksaan pada sumsum tulang. Artritis et causa infeksiMemerlukan kultur dan gram dari cairan sendi. Karditis et causa virusTerutama disebabkan oleh coxakie B dengan arbovirus dapat menyebabkan miokarditis dengan tanda-tanda kardiomegali, aritmia dan gagal jantung. Kardiomegali --> bising sistolik (MI). Tidak terdapat murmur. Perikarditis akibat virus harus dibedakan dengan DR karena pada virus disertai dengan valvulitis. Keadaan mirip choreaMultiple tics --> merupakan kebiasaan, berupa gerakan-gerakan repetitif.Cerbral palsy --> gerakannya lebih pelan dan lebih ritmik. Anamnesa: kelumpuhan motorik yang sudah dapat terlihat semenjak awal bulan. Keterlambatan perkembangan.Post ensefalitis --> perlu pemeriksaan lab lebih lanjut, etiologi yang bermacam-macam. Gejala klinis berupa: kaku kuduk, letargi, sakit kepala, muntah-muntah, photofobia, gangguan bicara, kejang, dll. Kelainan kongenitalKelaninan kongenital yang tersering pada anak-anak ialah VSD (ventrikel septum defect) dan ASD (atrium septum defect).Gambaran klinis yang mendasari:- Adanya kesamaan pada pemeriksaan fisik dimana didapatkan bising pansistolik murmur dengan punctum maksimum disela iga III-IV parasternal kiri.- Adanya keluhan sesak napas akibat gagal jantungUntuk menyingkirkan diagnosis banding ini diperlukan anamnesis yang teliti terhadap tumbuh kembang anak. Biasanya berat badan anak menurun (pada kasus berat) dan terdeteksi dini anak lebih kecil ( < 1 thn).

1.6 Penatalaksanaan1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A. Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera dilaksanakan setelah diagnosis ditegakkan. Dianjurkan menggunakan penicilin dosis biasa selama 10 hari; pada penderita yang peka terhadap penicilin dapat diganti dengan eritromisin. Pengobatan terhadap Streptococcus ini harus tetap diberikan walaupun biakan usap tenggorok negatif, karena kuman masih mungkin ada dalam jumlah sedikit di dalam jaringan farings dam tonsil. Penisilin tidak berpengaruh terhadap demam, gejala sendi, dan LED, tetapi insidens PJR menjadi lebih rendah dalam pengawasan selama 1 tahun. Tetrasiklin dan sulfa tidak digunakan untuk eradikasi kuman Streptococcus.2. Obat anti inflamasi. Yang dipakai secara luas ialah salisilat dan steroid; keduanya efektif untuk mengurangi gejala demam, kelainan sendi, serta reaksi fase akut. Kedua obat ini tidak mengubah lamanya serangan DR maupun akibat selanjutnya. Steroid tidak lebih unggul dari salisilat terhadap gejala sisa kelainan jantung. Sampai saat ini tidak ada bukti steroid dapat mencegah kelainan jantung, meskipun diberikan secara dini pada awal perjalanan penyakit. Hanya dapat dilihat dengan nyata bahwa steroid lebih cepat memperbaiki keadaan umum anak, nafsu makan cepat bertambah, dan LED cepat menurun. Pada umumnya para ahli memilih steroid untuk semua penderita karditis akut terutama karditis berat, sedangkan salisilat hanya untuk DR tanpa karditis atau karditis ringan tanpa kardiomegali.Dosis dan lamanya pengobatan disesuaikan dengan beratnya penyakit dan responnya terhadap pengobatan. Pada pemberian steroid, seringkali terjadi fenomena rebound setelah obat dihentikan, yang bermanifestasi sebagai timbulnya kembali gejala-gejal peradangan akut. Untuk mencegah hal ini maka diberikan salisilat pada saat dosis steroid diturunkan dan dilanjutkan beberapa minggu setelah steroid dihentikan. Untuk keperluan ini, dosis salisilat tidak perlu penuh 100 mg/kgBB/hari, cukup 50-75 mg/kgBB/hari.Pada pemberian salisilat jangan diberikan antasida untuk mengurangi rangsangan pada lambung karena akan mengurangi absorpsi salisilat sehingga kadar terapeutik tidak tercapai. Lebih baik pakai tablet salut dan diminum setelah makan. Bila terdapat intoksikasi salisilat (nausea, muntah, takipnea, dan tinnitus), hentikan obat selama 1-2 hari, kemudian mulai lagi diberikan dalam dosis yang lebih kecil. Perlu diingatkan efek samping steroid yang hampir selalu terjadi pada penderita DR/PJR yang diberi prednison untuk jangka waktu yang lama.Pada anak yang pernah menderita TBC hendaknya diberikan INH (isonicotinic acid hydrazide) selama pemberian steroid.3. Diet. Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori, cukup protein. Tambahan vitamin dapat dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal jantung.4. Istirahat dan mobilisasi. Selama terdapat tanda-tanda peradangan akut, penderita harus istirahat di tempat tidur. Untuk artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu. Sedangkan untuk karditis berat dengan gagal jantung hampir 6 bulan. Mobilisasi dilakukan bertahap. Istirahat mutlak berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis dan keperluan sekolah. Penderita DR tanpa karditis atau PJR tanpa gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa tanpa kardiomegali, setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita dengan kardiomegali menetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak diperkenankan mengikuti olahraga yang bersifat kompetisi fisik.

1.7 PrognosisPasien tanpa komplikasi yang berat dengan pemakaian antibiotik yang adekuat, prognosis umumnya baik . DR tidak akan kambuh bila infeksi Streptococcus dapat diatasi. Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan akut DR. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit DR/PJR tidak membaik bila bising organik katup tidak menghilang .Prognosis buruk bila ditemukan mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotik, payah jantung, pengobatan terlambat, bakteremia, infeksi terjadi setelah pemasangan, pasien geriatri tanpa disertai demam, dan keadaan umum yang buruk . Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata DR akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahu pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan dengan baik. Ada penelitian melaporkan bahwa stenosis mitral sangat tergantung pada beratnya karditis, sehingga kerusakan katup mitral selama 5 tahun perama sangat mempengaruhi angka kematian DR ini. Penelitian yang dilakukan selama 10 tahun menemukan adanya kelompok lain terutama keolmpok perempuan dengan kelainan mitral ringan yang menimbulkan payah jantung yang berat tanpa diketahui adanya kekambuhan DR atau infeksi Streptococcus .

1.8 PencegahanPencegahan primer ditujukan langsung pada streptokokus grup A pada serangan akut, dengan penggunaan obat Penisillin V 2 juta unit/hari selama 10 hari, atau Eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari. Namun, pencegahan primer sangat sukar dilaksanakan karena sangat banyaknya penduduk yang dicakup dan juga adanya infeksi Streptokokus hemolitik grup A ini yang tidak memperlihatkan gejala-gejala yang khas.Sedangkan pencegahan sekunder bertujan untuk menghindari terjadinya kekambuhan demam reumatik, maka digunakan pencegahan sekunder yang antara lain dengan pemberian Penisillin G parentral, yang merupakan obat yang paling baik di antara tiga obat pencegahan yang dicobakan (Sulfadiazin, Penisillin G oral, dan suntikan benzatin penisillin G setiap bulan).

2. Memahami dan Menjelaskan Endokarditis2.1 Etiologi dan EpidemiologiEtiologiWalaupun banyak spesies bakteri dan fungi kadang dapat menyebabkan endokarditis, hanya sedikit spesies bakteri yang menjadi penyebab dari sebagian besar kasus endokarditis. Berbagai jenis bakteri yang berbeda menimbulkan gejala klinis yang sedikit bervariasi pada endokarditis. Hal ini dikarenakan jalur masuk masing-masing bakteri juga berbeda. Rongga mulut, kulit, dan saluran pernapasan atas adalah jalur masuk primer bagi Streptococcus viridans, Staphylococcus, dan organisme HACEK (Haemophyllus, Actinobacillus, Cardiobacterium, Eikenella, dan Kingella) yang menyebabkan native valve endocarditis yang didapatkan dari lingkungan. Streptococcus bovis berasal dari saluran cerna, dan entreroccus memasuki aliran darah lewat traktus urogenital. Native valve endocarditis nosokomial merupakan akibat bakteremia dari infeksi kateter intravascular, luka nosokomial dan infeksi traktus urinarius, serta prosedur invasif kronis seperti hemodialisis. Pada bakteremia Staphylococcus aureus akibat kateter, 6-25% mengalami komplikasi menjadi endokarditis.EpidemiologiInsidens di negara maju berkisar antara 5,9% sampai 11,6 episode per 100.000 populasi. EI biasanya lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan 1,6 sampai 2,5. sekitar 36-75 % pasien dengan EI katup asli (native valve endocarditis) mempunyai faktor predisposisi : penyakit jantung reumatik,penyakit jantung kongenital,prolaps katup mitral,penyakit jantung degeneratif,hipertrofi septal asimetrik atau penyalahgunaan NARKOBA intervena (PNIV). Sekitar 7-25% kasus melibatkan katup prostetik. Faktor predisposisi tidak dapat diidentifikasi pada 25 sampai 47% pasien.

2.2 PatogenesisMekanisme terjadinya endokarditis infektif pada pasien dengan katup normal belum diketahui dengan pasti. Mikrotrombi steril yang menempel pada endokardium yang rusak diduga merupakan nodus primer untuk adhesi bakteri. Faktor hemodinamik (stress mekanik) dan proses imunologis mempunyai peranan penting pada proses terjadinya kerusakan endokard.Adanya kerusakan endotel, selanjutnya akan mengakibatkan deposisi fibrin dan agregasi trombosit, sehingga akan terbentuk lesi nonbacterial thrombotis endocardial (NBTE). Jika terjadi infeksi mikroorganisme yang masuk dalam sirkulasi melalui infeksi fokal atau trauma, maka endokarditis nonbakterial akan menjadi endokarditis infektif. Faktor-faktor yang terdapat pada bakteri seperti dekstran, ikatan fibronektin dan asam teichoic berpengaruh terhadap perlekatan bakteri dengan matriks fibrin-trombosit pada katup yangrusak.Tahapan Patogenesis EndokarditisKerusakan endotel katupPembentukan thrombus fibrin-trombositPerlekatan bakteri pada plak thrombus-trombositProliferasi bakteri local dengan penyebaran hematogenPatogenesis endokarditis infektif pada penyalahguna narkoba intravena(PNIV):Beberapa teori mengemukakan adanya kerusakan endotel (endothelial injury), karena bombardier secara terus menerus oleh partikel yang terdapat pada materi yang diinjeksikan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya granulasi talk subendotel pada katup trikuspid pasien endokarditis infektif yang diautopsi. Karena materi yang diinjeksikan secara intravena, katup jantung yang pertama menyaring partikel adalah sisi kanan jantung. Di samping kerusakan mekanis secara langsung, faktor lain yang juga berperan adalah diluent (pelarut) yang dipakai dapat menyebabkan vasospasme, kerusakan intima, dan pembentukan trombus. Selain itu obat adiktif sendiri dapat menyebabkan kerusakan endotel. Pada PNIV, kuman dapat berasal dari kulit yang tak steril maupun jarum yang tak steril/spuit yang terkontaminasi kuman dan berfungsi sebagai reservoir pada pengguna berikutnya. Oleh karena Staphylococcus aureus merupakan kuman flora kulit normal, maka kuman ini merupakan penyebab tersering yaitu antara 50-60% kasus.Beberapa manifestasi klinis yang timbul pada endokarditis merupakan akibat dari mekanisme-mekanisme, antara lain:1. Efek destruksi lokal akibat infeksi intrakardiak. Koloni kuman pada katup jantung atau perivalvular dapat menyebabkan kerusakan dan kebocoran katup, terbentuk abses, atau perluasan vegetasi ke perivalvular.2. Adanya vegetasi fragmen septik yang terlepas dapat menyebabkan tromboemboli, seperti emboli paru (vegetasi katup tricuspid) atau sampai keotak (vegetasi sisi kiri).3. Vegetasi akan melepas bakteri secara terus-menerus ke dalam sirkulasi (bakteremia kontinus) yang mengakibatkan gejala konstitusional seperti demam, malaise, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, dan lainnya.4. Respon antibodi humoral dan seluler terhadap infeksi mikroorganisme dan kerusakan jaringan akibat kompleks imun atau interaksi komplemen-antibodi dan antigen yang tetap menetap dalam jaringan. Manifestasi endokarditis infektif dapat berupa petekie, Oslers node, artritis, glomerulonefritis, dan lainnya.

2.3 Manifestasi KlinisDemam merupakan gejala dan tanda yang paling sering ditemukan pada endokarditis infektif. Demam mungkin tak ditemukan atau minimal pada pasien usia lanjut atau pada gagal jantung kongestif, debilitas berat, gagal ginjal kronik, dan jarang pada endokarditis infektif katup asli yang disebabkan oleh stafilokokus koagulase negatif. Pembesaran limpa ditemukan pada 15-50% pasien dan lebih sering pada EI subakut.Petekie merupakan manifestasi perifer tersering, dapat ditemukan pada konjungtiva palpebra, mukosa palatal dan bukal, ekstremitas dan tidak spesifik pada EI. Splinter atau subungual hemorrhages merupakan gambaran merah gelap, linear atau jarang berupa flame-shaped streak pada dasar kuku atau jari, biasanya pada bagian proksimal. Osler nodes biasanya berupa nodul subkutan kecil yang nyeri yang terdapat pada jari atau jarang pada jari lebih proksimal dan menetap dalam waktu beberapa jam atau hari, dan tak patognomonis untuk EI. Lesi Janeway berupa eritema kecil atau makula hemoragis yang tak nyeri pada telapak tangan atau kaki dan merupakan akibat emboli septik. Roth spots, perdarahan retina oval dengan pusat yang pucat, jarang ditemukan pada EI.Gejala muskuloskletal sering ditemukan berupa artralgia dan mialgia, jarang artritis dan nyeri bagian belakang yang prominen.Emboli sistemik merupakan sequellae klinis tersering EI, dapat terjadi sampai 40% pasien dan kejadiannya cenderung menurun selama terapi pemberian antibiotik yang efektif. Gejala dan tanda neurologis terjadi pada 20-40% pasien EI dan dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Strok emboli merupakan manifestasi klinis tersering. Manifestasi klinis yang lain yaitu perdarahan intrakranial yang berasal dari ruptur aneurisma mikotik, ruptur arteri karena arteritis septik, kejang, dan ensefalopati

2.4 PemeriksaanDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, dan pemeriksaan penunjang tambahan lainnya. Pada pemeriksaan penunjang ekokardiografi bisa ditemukan adanya vegetasi dan kerusakan katup jantung. Penegakan diagnosis endokarditis yang biasa dipakai dengan menggunakan criteria duke, yaitu:Diagnosis criteria duke:1. Kriteria Patologisa. Mikroorganisme, yang ditemukan dalam kultur atau pemeriksaan histologi di dalam vegetasi, emboli yang berasal dari vegetasi, atau abses intrakardiak Dari pemeriksaan histologi didapatkan adanya endokarditis aktif didalam vegetasi atau abses intrakardiak2. Kriteria Klinisa. 2 kriteria mayor 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor 5 kriteria minor

Kriteria Mayor:a. Kultur darah positif:- Mikroorganisme khas untuk endokarditis infektif: Streptococcus viridians, Streptococcus bovis, Grup HACEK, Staphylococcus aureus atau Enterococcus- Bakteremia yang persisten2 kultur darah (+) dalam waktu 12 jam terpisah 3 kultur darah (+) dalam waktu > 1 jam terpisahb.Keterlibatan Endokardial- Ekokardiografi yang positif dengan adanya vegetasi, abses, perforasi katup atau gangguan katup protesac. Regurgitasi katup baruKriteria Minor:a. Adanya faktor predisposisi: predisposis dari kondisi jantung itu sendiridan pada penyalahguna narkoba intravenab. Demam dengan suhu > 38oCc. Fenomena vaskular: arterial peteki, major arterial emboli, septic pulmonary infarcts, mycotic aneurysm, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, dan janeway lesiond. Fenomena imunologis: glomerulonefritis, osler nodes, roth spots, faktor rheumatoide. Mikrobiologi/serologi: kultur darah (+) tapi tidak ditemukan tanda-tanda pada kriteria mayor atau secara serologik terbukti adanya infeksi aktif dari kuman-kuman penyebab endokarditis infektif.

Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI.Sudoyo, Aru W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: InternaPublishing.

Dina Tria Febriyanti - 1102010079Page 1