pbl 3(1-4)

43
1. Anatomi dan Fisiologi a. Sistem urinarius superior 1) Ren Ren terletak retro-peritoneal pada dinding posterior abdomen. Ren terdiri dari ren dextra dan ren sinistra. Masing-masing terletak di sisi kanan dan kiri columna vertebralis. Ren sinistra terletak di vertebrae T12-L3, sedangkan ren dextra letaknya lebih inferior karena terdesak oleh hepar di vertebrae L2-L4. Ren pada orang dewasa panjangnya sekitar 10 cm, lebarnya 5,5 cm, dan tebalya sekitar 3 cm. Setiap ginjal memiliki berat 150 gram. Sebagian besar bagian ren tertutup oleh arcus costalis. Saat inspirasi diafragma berkontraksi, bergerak naik turun mendorong organ di bawahnya (termasuk hepar) sehingga kedua ren akan turun sejauh 2,5 cm (Snell, 2012).

Upload: aghny-ratnasari

Post on 09-Dec-2015

294 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

:)

TRANSCRIPT

Page 1: PBL 3(1-4)

1. Anatomi dan Fisiologia. Sistem urinarius superior

1) Ren

Ren terletak retro-peritoneal pada dinding posterior abdomen. Ren terdiri dari

ren dextra dan ren sinistra. Masing-masing terletak di sisi kanan dan kiri columna

vertebralis. Ren sinistra terletak di vertebrae T12-L3, sedangkan ren dextra letaknya

lebih inferior karena terdesak oleh hepar di vertebrae L2-L4. Ren pada orang dewasa

panjangnya sekitar 10 cm, lebarnya 5,5 cm, dan tebalya sekitar 3 cm. Setiap ginjal

memiliki berat 150 gram. Sebagian besar bagian ren tertutup oleh arcus costalis. Saat

inspirasi diafragma berkontraksi, bergerak naik turun mendorong organ di bawahnya

(termasuk hepar) sehingga kedua ren akan turun sejauh 2,5 cm (Snell, 2012).

Gambar 2.1. Ren dextra et sinistra tampak dorsall (Putz & Pabst, 2006).

Page 2: PBL 3(1-4)

2) Ureter

Ureter merupakan tabung muskuler yang mengantarkan urin ke vesica

urinarius. Terletak retroperitoneal dan mempunyai tiga area penyempitan lumen:

a) Pada peralihan pelvis renalis menjadi ureter (junctura pelvico-ureterica)

b) Pada tempat menyilang di depan a. iliaca comunis/permulaan a. iliaca externa

(menyilang ketika masuk ke dalam pelvis)

c) Pada tempat di mana ureter terletak di dalam vesica urinaria (intramural/uretero-

vesical junction/junctura uretero-vesica)

Ureter terdiri dari dua pars, yaitu pars abdominalis dan pars pelvina. Pars

abdominalis terbentang dari pelvis renalis sampai bagian ventral a.iliaca

comunis. Terletak ventromedial m.psoas major dan disilang secara miring oleh

vasa spermatica interna/vasa ovarica di sebelah ventralnya. Pars pelvina

terbentang dari linea terminalis pelvis ke vesica urinarius. Ureter bermuara ke

vesica urinarius secara miring dan keadaan ini membuat fungsinya seperti katup

yang mencegah aliran balik urin ke ginjal pada waktu vesica urinaria terisi

(Snell, 2012).

3) Vaskularisasi sistem urinarius superior

Vaskularisasi ren dimulai dari aorta descendens pars abdominalis yang

bercabang menjadi arteri renalis dextra et sinistra. Setiap arteri renalis bercabang

menjadi 5 arteri segmentalis. Masing-masing berlanjut menjadi a. Lobares a.

Interlobares a. Arcuata a. Interlobulares arteriol aferen glomerulus

arteriol eferen glomerulus kapiler peritubuler v. Interlobulares v. Arcuata

v. Interlobares v. Lobares v. Segmentalis v. Renalis v. cava inferior

(Snell, 2012).

Vaskularisasi ureter dibagi menjadi tiga pars, pars 1/3 superior diperdarahi a.

renalis, pars 1/3 media diperdarahi a. testicularis/a. ovarica, sedangkan pars pelvina

diperdarahi a. vesicalis superior (Snell, 2012).

b. Sistem urinarius inferior

1) Urethra

Terdapat perbedaan antara urethra masculine dan feminine, antara lain (Martini

et al, 2009):

Page 3: PBL 3(1-4)

Perbedaan Masculina Feminina

Panjang 18-20 cm 3-5 cm

Fungsi Saluran urin dan reproduksi Saluran urin

Pars 5 pars Tidak ada

a) Urethra Masculina

Lima pars pada urethra masculina (Snell, 2012):

Pars intra mural

Pars prostatica

Pars membranacea

Pars bulbourethralis

Pars spongiosa

Struktur pada urethra masculina (Snell, 2012):

Ostium urethra externa

Spinchter urethra externa

Ostium glandula urethralis

Ostium glandula bulbourethralis

Page 4: PBL 3(1-4)

Gambar 2.2. Anatomi urethra masculina (Marieb, 2001)

b) Urethra Feminina

Struktur yang terdapat pada urethra feminine antara lain (Snell, 2006) :

Spinchter urethra externa

Ostium urethralis

Ostium glandula paraurethralis

Caruncula urethralis

Page 5: PBL 3(1-4)

Gambar 2.3. Anatomi urethra feminina (Marieb, 2001)

2) Vesica urinaria

Vesica urinaria terletak tepat di belakang os. pubis, di dalam cavitas pelvis.

Vesica urinaria yang kosong terletak di dalam pelvis, bila vesica urinaria terisi maka

akan terangkat sampai ke regio hipogastrika. Vesica urinaria yang kosong berbentuk

piramidalis mempunyai apex, basis dan sebuah facies superior (Snell, 2012).

Vesica urinaria mempunyai dinding penyusun, yang terdiri dari (Snell, 2012):

a) Tunika serosa

b) Tela subserosa

c) Tunika muskularis

d) Tela submukosa

e) Tunika mukosa

1. Fisiologi sistem urinarius

Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan

darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap

zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh

tubuhlarut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih) (Panahi, 2010).

Page 6: PBL 3(1-4)

Fungsi ginjal adalah memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis

atau racun, mempertahankan suasana keseimbangan cairan, mempertahankan

keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan mengeluarkan sisa-sisa

metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak (Panahi, 2010).

a. Fisiologi Pembentukan Urine

1) Filtrasi Glomerulus

Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas protein tersaring

melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman.

Membran glomerulus terdiri atas (Sherwood, 2012):

a) Dinding kapiler glomerulus. Terdiri atas 1 lapis sel endotel. Di dinding kapiler

glomerulus ini selain adanya pori-pori, ternyata terdapat lubang atau fenestrasi

yang besar.

b) Membran basal.Adalah suatu lapisan gelatinosa aselular (tidak mengandung sel)

yang terbentuk dari kolagen dan glikoprotein. Kolagen berfungsi untuk kekuatan

structural, sedangkan glikoprotein untuk menghambat protein-protein supaya

tidak bisa menembus melaluinya.

c) Lapisan dalam kapsula Bowman. Terdiri atas sel podosit (sel yg mempunyai

kaki banyak seperti gurita) yang mengelilingi glomerulus. Nah celah diantara

kaki kaki sel podosit ini merupakan celah filtrasi atau filtration slit yang mana

merupakan lajur dari cairan supaya bisa melewatinya.

d) Untuk melaksanakan filtrasi glomerulus, harus terdapat gaya yang mendorong

sebagian plasma di glomerulus menembus lubang-lubang di membran

glomerulus. Gaya yang dimaksud adalah : (Sherwood, 2012).

i. Tekanan darah kapiler glomerulus/ tekanan hidrostatik kapiler glomerulus

Tekanan ini ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus.

Bergantung pada kontraksi jantung dan resistensi yang timbul akibat arteriol

aferen & eferen.Besar tekanan = 55 mmHg

ii. Tekanan osmotik koloid plasma

Timbul akibat osmosis yang terjadi dimana H2O pindah dari suatu

tempat yang banyak H2O nya ke tempat yg sedikit H2O nya. Kalau di sini,

tempat yg banyak H2O adalah kapsula Bowman (H2O dari kapiler

Page 7: PBL 3(1-4)

glomerulus) dan tempat yg sedikit H2O adalah kapiler glomerulus (H2O

udah pindah ke kapsula Bowman). H2O tersebut cenderung pindah dari

kapsula Bowman ke kapiler glomerulus.

Kecenderungan aliran osmotik air ke dalam larutan protein plasma

tersebut memiliki nilai sebesar = 35 mmHg

iii. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman

Timbulnya tekanan ini sama seperti tekanan hidrostatik kapiler

glomerulus, tapi ini terjadi di awal tubulus bukan di glomerulus. Yg mana

cenderung untuk mendorong cairan keluar dari kapsula Bowman melawan

filtrasi cairan dari glomerulus.Besar tekanan = 15 mmHg

Dalam keadaan normal, 20%  plasma yang masuk ke glomerulus tersaring. Proses

ini, dikenal sebagai filtrasi glomerulus, adalah langkah pertama dalam pembentukan urin.

Secara rerata, 125 ml filtrat glomerulus (cairan yang difiltrasi) terbentuk secara kolektif

dari seluruh glomerulus setiap menit. Jumlah ini sama dengan 180 liter (sekitar 47,5 galon)

setiap hari. Dengan mempertimbangkan bahwa volume rerara plasma pada orang dewasa

adalah 2,75 liter, maka hal  ini berarti bahwa ginjal menyaring keseluruhan volume plasma

sekitar 65 kali sehari. Jika semua yang difiltrasi keluar sebagai urin, semua plasma akan

menjadi urin dalam waktu kurang dari setengah jam. Namun, hal ini tidak terjadi karena

tubulus ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehingga

bahan-bahan dapat dipertukarkan antara cairan di dalam tubulus dan darah di dalam kapiler

peritubulus (Sherwood, 2012).

Filtrat glomerulus mempunyai komposisi yang hampir tepat sama dengan komposisi

cairan yang merembes dari ujung arteri kapiler ke dalam cairan interstisial. Tidak

mengandung eritrosit dan hanya mengandung sekitar 0,03 persen protein, atau sekitar

1/200 protein di dalam plasma. Elektrolit dan komposisi solut lain dari filtrat glomelurus

juga serupa dengan yang ditemukan di dalam cairan interstisial (Guyton, 2012).

Di dalam glomerulus dihasilkan urine primer melalui filtrasi plasma. Urine primer

merupakan cairan isotonic terhadap plasma. Pori-pori yang dilalui oleh plasma,

mempunyai garis tengah efektif rata-rata sekitar 2,9 nm. Hal ini memungkinkan seluruh

komponen plasma dengan berat molekul hingga kira-kira 5 kDa dapat melalui pori-pori

tanpa hambatan. Dengan bertambahnya berat molekul, molekul akan ditahan, tetapi

Page 8: PBL 3(1-4)

pertama-tama molekul dengan suatu M>65 kDa tidak dapat lagi masuk kedalam urine

primer. Karena protein darah secara umum mempunyai suati M>54 kDa, maka protein-

protein darah hanya terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam urine (Guyton,

2012).

Gambar 2.4 bagian-bagian nefron (Sherwood, 2012).

Sumber : Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem.

Gambar 2.5 Fungsi  bagian-bagian nefron (Sherwood, 2012).

Page 9: PBL 3(1-4)

Sumber : Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem.

Gambar 2.5 Mekanisme pembentukan urine (Sherwood, 2012).

Sumber : Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem.

Gambar 2.6 Filtrasi glomerulus (Vander, 2013)

Page 10: PBL 3(1-4)

Sumber : Vander et al. Human Physiology: The Mechanism of Body

Function.

2) Reabsorpsi Tubulus

Sewaktu filtrat mengalir melaiui tubulus, bahan-bahan yang bermanfaat bagi

tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Perpindahan selektif bahan-bahan

dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam darah ini disebut reabsorpsi

tubulus. Bahan-bahan yang direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin tetapi

dibawa oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk

diresirkulasi. Dari 180 liter plasma yang disaring per hari, sekitar 178,5 liter

direabsorpsi. Sisa 1,5 iiter di tubulus mengalir ke dalam pelvis ginjal untuk

dikeluarkan sebagai urin. Secara umum, bahan-bahan yang perlu dihemat oleh tubuh

secara selektif direabsorpsi, sementara bahan-bahan yang tidak dibutuhkan dan harus

dikeluarkan tetap berada di urin (Sherwood, 2012).

Reabsorbsi memengang peranan yang jauh lebih penting daripada sekresi

dalam pembentukan urina ini. Tetapi sekresi sangat penting dalam menentukan

jumlah ion kalium, ion hydrogen, dan beberapa zat lain didalam urina. Biasanya,

lebih dari 99% air di dalam filtrat glomerulus direabsobsi ketika mengalir melalui

tubulus tersebut. Oleh karena itu, jika suatu unsur terlarut dalam filtrat glomelurus

tidak direabsorbsi sama sekali sepanjang perjalanan tubulus. Rebsorbsi air ini tentu

saja memekatkan zat tersebut lebih dari 99 kali. Sebaliknya, beberapa unsure seperti

glukosa dan asam amino, hampir seluruhnya direabsorbsi sehingga kosentrasi mereka

menurun hampir ke nol sebelum cairan tersebut menjadi urina dengan cara ini

tubulus ginjal memisahkan zat-zat yang harus dikeluarkan didalam urina (Guyton,

2012).

Page 11: PBL 3(1-4)

Gambar 2.7 Reabsorpsi Tubulus (Vander, 2013).

Sumber : Vander et al. Human Physiology: The Mechanism of Body Function.

2. Sekresi Tubulus

Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus, adalah pemindahan selektif bahan-bahan

dari kapilel peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini merupakan rute kedua

bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari darah, sedangkan yang pertama

adalah melalui filtrasi glomerulus. Hanya sekitar 20%  dari plasma yang mengalir

melaiui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul Bowman; sisa 80% mengalir

melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus merupakan

mekanisme untuk mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan

mengekstraksi sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang Tidak terfiltrasi di

kapiler peritubulus dan memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus

sebagai hasil filtrasi (Sherwood, 2012).

Page 12: PBL 3(1-4)

Gambar 2.7 Sekresi Tubulus (Vander, 2013).

Sumber : Vander et al. Human Physiology: The Mechanism of Body Function.

3. Ekskresi Urine

Ekskresi urin adalah pengeluaran bahan-bahan dari tubuh ke dalam urin. Ini

bukan merupakan proses terpisah tetapi merupakan hasil dari tiga proses pertama di

atas. Semua konstituen plasma yang terfiltrasi atau disekresikan tetapi tidak

direabsorpsi akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk diekskresikan

sebagai urin dan dikeluarkan dari tubuh. Semua yang difiltrasi dan kemudian

direabsorpsi, atau tidak difiltrasi sama sekali, masuk ke darah vena dari kapiler

(Sherwood, 2012).

Tabel 1. komposisi jumlah zat dalam proses filtrasi, reabsorpsi dan ekskresi

(Vander, 2013).

Sumber : Vander et al. Human Physiology: The Mechanism of Body Function.

Page 13: PBL 3(1-4)

5) Mekanisme Miksi

Saat volume urin mencapai ambang batas, reseptor regangan akan menangkap

sinyal tersebut dan mengirimkan impuls melalui n.splanchnici pelvici menuju

segmen S2-S4, kemudian ke otak. Impuls juga dapat dikirimkan melalui saraf

simpatis melewati plexus hypogastricus menuju segmen L1-L2, yang selanjutnya

ditransmisikan menuju thalamus kemudian ke cortex cerebri. Pusat otak akan

mengirimkan impuls eferen ke segmen S2-S4 untuk dilanjutkan melalui

n.splanchnici pelvici menuju plexus hypogastrica inferior, kemudian menuju ke

m.detrusor vesicae untuk memicu kontraksi m.detrusor, sekaligus merelaksasikan

sphincter urethrae interna. Segmen S2-S4 juga mampu mengirimkan impuls melalui

n. Pudendus untuk merelaksasikan sphincter urethrae externa sehingga terjadi miksi

(Snell, 2007).

2. Diagnosis banding

GNAPS Sindroma NefrotikEtiologi Sebagian besar (75%)

glomerulonefritis akut paska

streptokokus timbul setelah

infeksi saluran pernapasan

bagian atas, yang disebabkan

oleh kuman Streptokokus beta

hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4,

12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2,

49, 55, 56, 57 dan 60

menyebabkan infeksi kulit 8-

14 hari setelah infeksi

streptokokus, timbul gejala-

gejala klinis. Infeksi kuman

streptokokus beta hemolitikus

ini mempunyai resiko

terjadinya glomerulonefritis

akut paska streptokokus

berkisar 10-15%. (Rauf, 2012)

Penyebab sindroma nefrotik

secara pasti belum diketahui,

tetapi diduga sebagai akibat

penyakit autoimu, yaitu

melibatkan mekanisme antibodi-

antigen. Eiologi dapat

dikelompokkan menjadi 3 jenis:

(Noer, 2008)

1. Sindroma Nefrotik Bawaan

Diturunkan sebagai resesif

autosomal yang resisten

terhadap semua pengobatan.

Gejala muncul saat masa

neonatus berupa edema di

seluruh tubuh.

2. Sindroma Nefrotik Idiopatik

(Primer)

Diduga berkaitan dengan

Page 14: PBL 3(1-4)

reaksi autoimun, alergi, dan

genetik.

3. Sindroma Nefrotik Didapat

(Sekunder)

Malaria Kuartana

Glomerulonefritis akut

atau kronis

Penyakit sel sabit

Amiloidosis

Nefritis membrano

proliferatif

Keganasan:

Adenokarsinoma paru,

payudara, kolon,

limfoma Hodgkin,

myeloma multiple, dan

karsinoma ginjal.

Penyakit jaringan

penghubung:

Lupus Eritematosus

Sistemik, Artritia

Reumatoid, MCTD

(mixed connective

tissue disease).

Efek obat dan toksin

Obat antiinflamasi non-

steroid, preparat emas,

penisilinamin,

probenesid, air raksa,

kaptpril, heroin.

Lain-lain :

Diabetes mellitus,

amiloidosis, pre-

eklamsia, rejeksi alograf

Page 15: PBL 3(1-4)

kronik, refluks

vesikoureter, atau

sengatan lebah.

Tanda dan gejala Gambaran klinis

bervariasi. Kadang-kadang

gejala ringan tetapi kadang

juga berat. Gejala yang sering

ditemukan ialah:

Hematuria/ kencing

berwarna merah daging.

Kadang-kadang disertai

edema ringan yang terbatas

di sekitar mata atau di

seluruh tubuh.

Umumnya edem berat

terdapat pada oligouria dan

bila ada gagal jantung.

Hipertensi terdapat pada 60-

70% anak dengan GNA pada

hari pertama kemudian pada

akhir minggu pertama

menjadi normal kembali.

Bila terdapat kerusakan

jaringan ginjal maka tekanan

darah akan tetap tinggi

selama beberapa minggu dan

menjadi permanen bila

penyakit menjadi kronis.

Hipertensi timbul karena

vasospasme atau iskemia

ginjal dan berhubungan

dengan gejala serebrum dan

Tanda dan gejala pada Sindroma

Nefrotik adalah sebagai berikut :

(Noer, 2008)

Berkurangnya nafsu makan

Pembengkakan kelopak

mata, terutama pada pagi

hari saat bangun tidur.

Edema merupakan gejala

utama, bervariasi dari bentuk

ringan sampai berat dan

merupakan gejala satu-

satunya yang Nampak.

Edema mula-mula Nampak

pada kelopak mata terutama

waktu bangun tidur. Edema

yang hebat atau anasarka

sering disertai edema pada

genetalia eksterna. Edema

pada perut terjadi karena

penimbunan cairan. Gejala

yang lainnya adalah edema

lutut dan kantung zakar

(pada pria). Edema yang

terjadi seringkali berpindah-

pindah, pada pagi hari cairan

tertimbun di kelopak mata

atau setelah berjalan, cairan

akan tertimbun di

pergelangan kaki.  Selain itu

Page 16: PBL 3(1-4)

kelainan jantung. Suhu

badan tidak terlalu tinggi

tapi bisa sangat tinggi pada

hari pertama. Kadang-

kadang gejala panas tetap

ada walaupun tidak ada

gejala ginjal lain yang

mendahuluinya.

Gejala gastrointestinal

seperti muntah, tidak nafsu

makan, konstipasi dan diare

tidak jarang menyertai

penderita GNA. (Rauf,

2012).

Selama fase akut, terdapat

vasokonstriksi arteriola

glomerulus yang

mengakibatkan tekanan

filtrasi menjadi kurang dan

karena hal ini kecepatan

filtrasi glomerulus menjadi

kurang. Filtrasi air, garam,

ureum dan zat lainnya

berkurang, sebagai akibatnya

kadar ureum dan kreatinin

darah meningkat. Fungsi

tubulus relatif kurang

terganggu. Ion natrium dan

air diresorbsi kembali

sehingga diuresis berkurang

(timbul oligouria dan anuria)

dan ekskresi natrium

mengurang. Ureum juga

diresorbsi kembali lebih dari

edema anasarka ini dapat

menimbulkan diare dan

hilangnya nafsu makan

karena edema mukosa usus.

Umbilikalis, dilatasi vena,

prolaks rectum, dan sesak

dapat pula terjadi akibat

edema anasarka ini. 

Sesak Napas, terjadi karena

adanya cairan dirongga

sekitar paru-paru (efusi

pleura).

Nyeri perut.

Pengkisutan otot, biasa

tertutupi oleh edema. 

Pembengkakan jaringan

akibat penimbunan garam

dan air.

Air kemih berbusa.

Protenuria : > 3.0 gr/24 jam.

Perubahan pada membrana

dasar glomerulus

menyebabkan peningkatan

permebilitas glomerulus

terhadap protein plasma

yaitu albumin.

Hipoalbuminemia : albumin

serum 3,5 g/1,73m2 luas

permukaan tubuh/hari),

hipoalbuminemi (<3 g/dl),

edema, hiperlipidemi,

lipiduri dan

hiperkoagulabilitas. 

Page 17: PBL 3(1-4)

biasanya. Akhirnya terjadi

insufisiensi ginjal akut

dengan uremia,

hiperfosfatemia, hidremia

dan asidosis metabolic.

Pasien akan mengalami

sindrom nefritik akut setelah

1-2 minggu dari infeksi

streptococcus tipe faringitis

secara antesenden dan

setelah 3-6 minggu infeksi

streptococcus tipe pioderma.

Tingkat keparahan

keterlibatan ginjal bervariasi

dari hematuria mikroskopis

yang asimptomatik dengan

fungsi ginjal yang masih

normal hingga gagal ginjal

akut. Bergantung pada

tingkat keparahan

keterlibatan ginjal, pasien

akan mengalami berbagai

derajat edema, hipertensi,

dan oligouria. Pasien

mungkin akan berkembang

menjadi encefalopati dan

atau gagal jantung akibat

dari hipertensi atau

hipervolemia. Encefalopati

juga bisa disebabkan oleh

efek toksik secara langsung

dari streptococcus pada

sistem syaraf pusat. Edema

biasanya disebabkan oleh

Page 18: PBL 3(1-4)

adanya retensi garam dan air.

Sindrom nefrotik juga bisa

muncul pada 10-20% kasus.

Gejala nonspesifik seperti

malaise, letargi, nyeri

abdominal dan flank, dan

demam merupakan gejala

yang paling umum dirasakan

pasien. Fase akut pada

umumnya akan sembuh

dalam 6-8 minggu.

Meskipun ekskresi protein

urin dan hipertensi akan

normal kembali dalam 4-6

minggu setelah onset.

Namun hematuri

mikroskopis dapat bertahan

hingga 1-2 tahun setelah

kemunculan yang pertama

kali. (Rauf, 2012)

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dari

penyakit ini meliputi : (Rauf,

2012)

Riwayat infeksi saluran

nafas atas (faringitis) 1-2

minggu sebelumnya atau

infeksi kulit (pyoderma) 3-

6 minggu sebelumnya.

Umumnya pasien datang

dengan hematuria yang

nyata atau sembab di kedua

kelopak mata dan tungkai.

Hematuria. Gross

hematuria adalah tanda

Pada pemeriksaan fisik

harus disertai pemeriksaan berat

badan, tinggi badan, lingkar

perut, dan tekanan darah. Dalam

laporan ISKDC (International

study of kidney diseases in

children), pada SNKM

ditemukan 22% dengan

hematuria mikroskopik, 15-20%

disertai hipertensi, dan 32%

dengan peningkatan kadar

kreatinin dan ureum darah yang

bersifat sementara (Noer, 2008).

Dapat ditemukan edema

Page 19: PBL 3(1-4)

umum kedua setelah

edema. Hematuria ini

dideskripsikan pasien

sebaga air kencing yang

berwarna seperti teh atau

cola. Warna coklat pada

kencing ini akibat

terjadinya hemolisis sel

darah merah dengan

pembebasan hemoglobin

yang kemudian diubah

menjadi hematin pada

suasana urin yang asam.

Kadang-kadang pasien

datang dengan kejang dan

penurunan kesadaran

akibat ensefalopati

hipertensi.

Oligouria/anuria akibat

gagal ginjal atau gagal

jantung.

Edema. Edema adalah

manifestasi klinis yang

paling umum pada pasien

GNAPS, yaitu 90% kasus.

Edema biasa terjadi di pagi

hari pada bagian

periorbital. Ekstremitas

bagian bawah adalah lokasi

kedua untuk retensi cairan.

Biasanya tidak dijumpai

ascites atau efusi pleura

kecuali pada pasien dengan

sindrom nefrotik. Derajat

di kedua kelopak mata (puffy

eyelids), tungkai atau adanya

ascites atau edema skrotum atau

labia. Kadang-kadang

ditemukan., tanda-tanda

hipertensi, dan striae pada kulit

akibat edema (Noer, 2008).

Page 20: PBL 3(1-4)

edema tergantung pada

jumlah garam dalam diet.

Pasien dengan edema yang

kurang jelas, dapat

kehilangan 1-2 kg berat

badan selama masa

penyembuhan.

Hipertensi. Hipertensi

terjadi pada 70-82% kasus,

dan dapat memberat pada

setengah dari persentase

tersebut. Hipertensi

biasanya muncul

bersamaan onset GNAPS.

Hipertensi pada pasien

GNAPS berhubungan

dengan ekspansi volume

intravaskular dan

ekstravaskuler hingga

vasospasme akibat faktor

neurogenik dan hormonal.

Hipertensi pada GNAPS

adalah bentuk ‘volume-

dependent-hypertension’,

sehingga restriksi cairan

dan garam serta pemberian

diuretik dan vasodilator

mampu mengontrol

kejadian hipertensi dengan

optimal.

Hipertensif Ensefalopati.

Gejala serebral biasanya

berhubungan dengan

peningkatan tekanan darah

Page 21: PBL 3(1-4)

akut. Gejala ini dilaporkan

terjadi pada 5-10% kasus.

Manifestasi cerebral akut

yang paling umum adalah

sakit kepala, nausea,

muntah, gangguan

kesadaran dan kejang.

Gagal jantung kongestif /

Edem Pulmo. Bukti klinis

adanya gagal jantung

kongestif yaitu adanya

takikardi, takipneu,

respiratory distress, ritme

gallop, dan pembesaran

hepatik dan adanya bukti

radiologis adanya edem

pulmonum yaitu infiltrat

pada alveolar pulmo,

cardiomegali, dan

penebalan septum terjadi

pada 20% kasus.

Hipertensi dan

hipervolemia adalah faktor

primer yang menghasilkan

gejala gagal jantung

kongestif. Pada GNAPS,

volume plasma pada pasien

meningkat, dan bahwa

terdapat hubungan yang

nyata antara volume darah

dengan gejala edem

pulmonal. Pada anak

dengan distress respiratory,

dan foto thoraks dengan

Page 22: PBL 3(1-4)

cardiomegali dan edem

pulmonal, maka analiusa

urin harus segera dilakukan

untuk mendiagnosis

glomerulonefritis akut.

Hemoptisis (perdarahan

pulmonal) juga dapat

terjadi pada GNAPS.

Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan

penunjang didapati : (Rauf,

2012)

Hematuria mikroskopis

biasanya muncul pada

semua pasien. Pemeriksaan

urin mengungkapkan kadar

RBCs dengan bukti

hematuria glomerular, dan

silinder eritrosit dapat

dilihat pada spesimen urin

segar.

Proteinuria muncul pada 80%

kasus dengan GNAPS.

Meskipun begitu

proteinuria masif hanya

muncul pada 4-10%

pasien.

Kadar serum komplemen C3

didapatkan turun pada 80-

95% kasus jika pengukuran

dilakukan 2 minggu awal

penyakit. Kadar

komplemen biasanya akan

Pemeriksaan penunjang

untuk mendukung diagnosis

sindrom nefrotik, antara lain

(Noer, 2008):

Urinalisis (bila perlu lakukan

biakan urin)

Biakan urin dilakukan

apabila terdapat gejala klinik

yang mengarah pada infeksi

saluran kemih (ISK).

Protein urin kuantitatif

Pemeriksaan dilakukan

dengan menggunakan urin 24

jam atau rasio

protein/kreatinin pada urin

pertama pagi hari.

Pemeriksaan darah

1) Darah tepi lengkap

(hemoglobin, leukosit,

hitung jenis leukosit,

trombosit, hematokrit,

LED)

2) Albumin dan kolesterol

serum

Page 23: PBL 3(1-4)

kembali normal pada 6-8

minggu. Kadar komplemen

yang ,menetap lebih dari 8

minggu mengindikasikan

penyebab lain dari

glomerulonefritis .

Fungsi ginjal : azotemia timbul

pada GNAPS, biasanya

terdapat penurunan ringan

hingga sedang dari laju

filtrasi glomerulus. Serum

kreatinin biasanya tidak

lebih dari 150 micromole/L

pada sebagian besar pasien.

Anemia biasanya timbul

ringan berhubungan

dengan ekspansi volume

plasma (anemia dilusi).

Laju sedimentasi meningkat

selama fase akut penyakit.

Kreatinin dan ureum darah

meningkat.

ASTO meningkat pada 75-

80% kasus

Kultur tenggorok positif

mendukung diagnosis atau

menunjukkan bahwa

seseorang adalah carrier.

Dengan kata lain, titer

antibody yang naik

terhadap antigen

streptococcus

mengkonfirmasi infeksi

streptococcus yang baru

3) Ureum, kreatinin, dan

klirens kreatinin

Kadar komplemen C3

Apabila terdapat kecurigaan

lupus erimatosus sistemik,

pemeriksaan ditambah

dengan komplemen C4,

ANA (anti nuclear

antibody), dan anti ds-DNA.

Page 24: PBL 3(1-4)

terjadi.

Jika terjadi komplikasi gagal

ginjal akut, didapatkan

hiperkalemia, asidosis

metabolic, hiperfosfatemia

dan hipokalsemia.

Biopsi ginjal harusnya

dipertimbangkan bila

hanya dijumpai gagal

ginjal akut, sindrom

nefrotik, tidak ada bukti

infeksi streptococcus atau

kadar komplemen yang

normal. Biopsi ginjal juga

dianjurkan bila terdapat

hematuria, proteinuria,

hilangnya fungsi ginjal dan

kadar C3 yang menetap

selama 2 bulan setelah

onset.

3. Penegakan Diagnosis GNAPS dan Sindroma Nefrotik

Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi tidak

jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus

mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang telah

dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-

kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh.

Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang

terjadi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan

ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia.

Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering

terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian

anggotaGFR biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya,

Page 25: PBL 3(1-4)

ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia.

Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering

terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian

anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya tergantung pada berat

peradangan gelmurulus, apakah disertai dnegan payah jantung kongestif, dan seberapa cepat

dilakukan pembatasan garam (Price, 2009).

Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian pada

akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka

tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan

penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari

pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang

mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare

tidak jarang menyertai penderita GNA (Wiguno, 2010).

a. Gold standart GNAPS

1) Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit.

Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba sebelumnya. Beberapa uji

serologis terhadap antigen streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya

infeksi, antara lain antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining

antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap

beberapa antigen streptokokus.

2) Titer anti streptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan

faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O,

sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila semua uji

serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi streptokokus, titer

ASTO meningkat pada hanya 50% kasus (Wiguno et al, 2010).

b. Sindroma Nefrotik

Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik meliputi (Prodjosudjadi, 2010):

1) Proteinuria massif >3-3.5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin spot >300-350

mg/mmol.

2) Serum albumin <2,5 gr/dl.

3) Manifestasi klinis edema anasarka.

4) Hiperlipidemia (kolesterol total sering >10 mmol/l) sering menyertai

Page 26: PBL 3(1-4)
Page 27: PBL 3(1-4)

4. Patogenesis dan Patofisiologi GNAPS

Glomerulonefritis adalah penyakit akibat respon imunologik dan hanya jenis

tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis besar dua

mekanisme terjadinya glomerulonephritis yaitu circulating immune complex dan

terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ. Antigen yang berperan pada

pembentukan deposit in-situ dapat berasal dari komponen membrane basal glomerulus

sendiri atau substansi dari luar yang terjebak pada glomerulus (Sudoyo, 2009).

Mekanisme pertama apabila antigen dari luar memicu terbentuknya antibody

spesifik, kemudian membentuk kompleks imun antigen antibody yang ikut dalam

sirkulasi. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang kemudian

berikatan denga kompleks antigen antibodi. Kompleks imun yang mengalir dalam

sirkulasi akan terjebak pada glomerulus dan mengendap di sub-endotel dan mesangium.

Aktivasi sistem komplemen akan terus berlanjut setelah terjadi pengendapan kompleks

imun (Sudoyo, 2009).

Mekanisme kedua apabila antibodi secara langsung berikatan dengan antigen

yang merupakan komponen glomerulus. Kerusakan glomerulus tidak langsung

disebabkan oleh endapan kompleks imun. Berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel

inflamasi, mediator inflamasi dan komplemen berperan pada kerusakan glomerulus.

Kerusakan glomerulus dapat pula terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas

selular melalui sel T yang tersensitisasi (Sudoyo, 2009).

Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu

oleh endapan kompleks imun. Proses inflamasi akan melibatkan sel inflamasi, molekul

adesi dan kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kemotaktik. Proses inflamasi

diawalai dengan melekat dan brgulirnya sel inflamasi pada permukaan sel endotel. Proses

ini dimediasi oleh molekul adesi selektin L, E dan P yang secara berturut-turut terdapat

pada permukaan leukosit, endotel dan trombosit. Molekul CD31 atau PECAM1 yang

dilepaskan oleh sel endotel akan merangsang aktivasi sel inflamasi. Reaksi ini

menyebabkan ekspresi molekul adesi integrin pada permukaan sel inflamasi meningkat

dan perlekatan sel inflamasi dengan sel endotel semakin kuat. Perlekatan ini dimediasi

Page 28: PBL 3(1-4)

oleh VL4 dan VCAM1 pada sel endotel yang teraktivasi. Ikatan LFA1 dengan ICAM1

pada sel endotel akan lebih mempererat perlekatan tersebut (Sudoyo, 2009).

Proses selanjutnya adalah migrasi sel inflamasi melalui celah antar sel endotel.

Kemokin mempunyai efek kemotaktik yaitu kemampuan untuk menarik sel inflamasi

keluar dari dalam pembuluh darah menuju jaringan. Dengan pengaruh kemokin akan

semakin banyak sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi

menjadi lebih berat. Sel inflamasi yang banyak dikaitkan dengan kerusakan glomerulus

pada glomerulonefiritis adalah leukosit PMN dan makrofag. Trombosit dan produk

koagulasinya juga ikut berperan pada proses inflamasi tersebut. Interaksi antara makrofag

dengan sel glomerulus seperti sel mesangial, sel epitek atau sel endotel akan

menyebabkan sel tersebut teraktivasi dan melepaskan berbagai mediator inflamasi.

Trombosit yang lebih banyak berperan pada sistem koagulasi akan menyebabkan oklusi

kapiler, proliferasi sel endotel, dan mesangial pada glomerulonefritis (Sudoyo, 2009).

Komplemen terbukti dengan ditemukannya endapan pada pemeriksaan mikroskop

imunofluoresen biopsy ginjal pasien glomerulonephritis. Kadar serum komplemen yang

rendah pada nefritid lupus dan GN pasca infeksi Streptococcus akut memperkuat kaitan

antara komplemen dengan GN. Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai

mekanisme pertahanan humoral. Dua jalur aktivasi sistem komplemen yaitu klasik dan

alternative. Kompleks imun yang mengandung IgG atau IgM akan mengaktivasi jalur

klasik sedangkan aktivasi jalur alternative dipicu oleh kompleks imun yang mengandung

IgA atau IgM (Sudoyo, 2009).

Kerusakan glomerulus terjadi akibat terbentknya fragmen komplemen aktif yang

berasal dari aktivasi sistem komplemen.fragmen complemen C3a, C4a, C5a bersifat

anafilatoksin sedangkan C5a mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit. Endapan

kompleks imun sub epitel akan mengaktivasi jalur klasik dan menghasilan MAC. Dalam

jumlah besar MAC akan menyebabkan lisis sel epitel glomerulus seperti pada GNMN.

Sebaliknya jika tidak terjadi lisis akan mengaktivasi sel epitel glomerulus dan

membentuk kolagen serta produk metabolism asam arakhindonat yang bersifat protektif.

Endapan endapan C3b pada MBG menyebabkan terjadi perlekatan sel inflamasi dengan

C3b melalui reseptor komplemen CR1 yang terdapat pada permukaan sel dan akan

Page 29: PBL 3(1-4)

dilepaskan berbagai protease yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus (Sudoyo,

2009).

Kerusakan glomerulus dapat menyebabkan proteinuria karena glomerulus tidak

dapat melakukan filtrasi dengan baik sehingga protein yang seharusnya difiltrasi masuk

kedalam urin dan menyebabkan urin bertambah pekat. Protein yang tidak dapat difiltrasi

oleh ginjal akan berkurang terus-menerus dalam tubuh sehingga kadar albumin dalam

tubuh menurun atau disebut dengan hipoalbumin dan menyebabkan tekanan osmotic

dalam plasma menurun dan tekanan hidrostatik ginjal meningkat, dan akhirnya terjadi

edem pada jaringan intersisial. Selain protein yang tidak dapat difiltrasi oleh ginjal,

semua kandungan yang berada didalam plasma darah masuk kedalam ginjal seperti sel

darah merah dan menyebabkan urin berwarna kemerahan atau pekat. Semakin lama laju

glomerulus filtrasi akan semakin menurun sehingga urin yang dihasilkan pun semakin

sedikit atau oligouri atau anuri (Sudoyo, 2009).

Page 30: PBL 3(1-4)

DAPUS

Rauf Syarifuddin, Albar Husein, Aras Jusli. Konsensus Glomerulonefritis Akut

Pasca Streptokokus. Jakarta: IDAI; 2012.

Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima Jilid

II. Jakarta : Interna Publishing

Noer MS. Sindroma Nefrotik. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta: Badan

Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.

Prodjosudjadi. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sindrom Nefrotik.

Jakarta : Interna Publishing.

Price, Sylvia Anderson. 2009. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit. Jakarta: EGC

Wiguno. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Glomerulonefritis. Jakarta :

Interna Publishing.