makalah blok 26 iva
TRANSCRIPT
Skrining kanker serviks dengan metode ispeksi visual asam
asetat (IVA)
Neng Nurmalasari
10-2010-326
E3
03-07-2013
Pendahuluan
Insiden dan prevalensi
Sampai saat ini kanker mulut rahim masih merupakan masalah kesehatan perempuan di
indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi.
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial ekonomi
yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi
dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita.
Di negara maju, angka kejadian dan angka kematian kanker mulut rahim telah menurun karenan
suksesnya program deteksi dini. Akan tetapi, secara umum kanker mulut rahim menempati posisi
kedua terbanyak pada keganasan wanita (setelah kanker payudara) diperkirakan diderita oleh
500.000 wanita tiap tahunnya.
Alamat korespodensi :
Jln. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Email : [email protected]
1
Tinjauan pustaka
Di indonesia, diperkirakan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahin ditemukan setiap tahunnya. Di
rumah sakit Dr. Cipto mangunkusumo, frekuensi kanker serviks 76,2% di antara kanker
ginekologik. Dari data 17 rumah sakit di jakarta tahun 1977 kanker serviks menduduki urutan
pertama yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan.
Rasjidin I. Manual prakanker serviks. Jakarta: CV sagung seto; 2008.h.5-54
Karsinoma serviks uteri
Epidemiologi
Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita dan menjadi penyebab
lebih dari 250.000 kematian pada tahun 2005. Kurang lebih 80% kematian tersebut terjadi di
Negara berkembang. Tanpa prenatalaksanaan yang adekuat, diperkirakan kematian akibat kanker
serviks akan meningkat 25% dalam sepuluh tahun mendatang.
Factor etiologi
Factor etiologi yang perlu mendapat perhatian adalah infeksi human pavilloma virus (HPV).
HPV tipe 16, 18,31,33,35,45,51,52,56 dan 58 sering ditemukan pada kanker dan lesi prakanker.
HPV adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada permukaan epiderman dan mukosa.
Infeksi virus papiloma sering terdapat pada wanita yang aktif secara seksua;.
Factor risiko
Perilaku seksual
Dari studi epidemiologi, kanker serviks skuamosa berhubungan kuat dengan perilaku seksual,
seperti berganti-ganti mitra seks dan usia melakukan hubungan seks yang pertama. Risiko
meningkat lebih dari sepuluh kali bila mitra seks enam atau lebih, atau bila hubungan seks
pertama di bawah umur 15 tahun. Risiko akan meningkat apabila hubungan dengan pria berisiko
tinggi mengidap kandiloma akuminatum. Pria berisiko tinggi adalah pria yang melakukan
hubungan seks dengan banyak mitra seks.
2
merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret
maupun yang dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbons
heterocyclic amine yang sangat karsinogenik dan mutagen, sedangkan bila dikunyah ia
menghasilkan nitrosamine. Bahan yang berasal dari tembakau yang dihisap terdapat pada getah
serviks wanita perokok dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus.
Ali dkk. Bahkan membuktikan bahwa bahan-bahan tersebut dapat menyebazbkan kerusakan
DNA epitel serviks sehingga mengakibatkan neoplasma serviks.
Nutrisi
Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker.
Dari beberapa penellitian, ternyata defisiensi terhadap asam folat, vitamin C, E, beta
karotin/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks.
Table. Risiko relative kanker serviks dari beberapa factor
Factor risiko Risiko relative
Usia pertama hubungan seks (tahun)
<16
16-19
>19
16
3
1
Jarak antara hubungan seks pertama
dengan menarche (tahun)
<1
1-5
6-10
>10
26
7
3
1
Jumlah pasangan seks
>4 pasangan (dibandingkan 0 atau 1 pasangan)
3,6
Jumlah pasangan seks sebelum usia 20 tahun
>1 pasangan (dibandingkan tanpa pasangan) 7
3
Genital wart
Ada (dibandingkan tidak ada) 3,2
Merokok >5 batang perhari
Selama >20 tahun (dibandingkan <1 tahun) 4
Perubahan system imun
Perubahan system imun dihubungkan dnegan meningkatnya risiko terjadinya karsinoma serviks
invasive. Hal ini dihubungkan dengan penderita yang terinfeksi dengan human
immunodeficiency virus (HIV) meningkatkan angka kejadian kanker serviks prainvasif dan
invasive.
Prosedur penentuan diagnosis
1. Anamnesa, untuk mencari factor predisposisi dan keluhan penerita. Keputihan dan
pendarahan abnormal per vaginam merupakan keluhan utama pasien yang dicurigai
menderita kanker serviks invasive.
2. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan ginekologis dan pemeriksaan kelenjar inguinal
3. Pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks, BNO-IVP, sitoskopi, retroskopi, CT-scan
optional, MRI, serta bone survey, terutama jika menentukan jauhnya metastase
4. Biopsy serviks untuk menentukan jenis histopatologis
5. Untuk deteksi kanker serviks stadium dini dapat dilakukan beberapa cara mulai dari uji
pap konvensional, IVA, papnet, thin prep, servikografi, uji HPV, dan kolposkopi.
Memeprhatikan permasalahan dalam penangulangangan kanker serviks Indonesia , inspeksi
visual asam asetat (IVA) dapat menjadi metode alternative untuk skrinning. Pertimbangan ini
dibuat dengan alas an:
1. Mudah dan praktis dilaksanakan
2. Dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan nondokter ginekologi. Bahkan oleh bidan praktik
swasta maupun di tempat-tempat terpencil
3. Alat-alat yang dibutuhkan sangat sederhana hanya untuk pemeriksaan ginekologi dasar
4. Biaya murah, sesuai untuk pusat pelayanan sederhana
4
5. Hasil langsung diketahui dan
6. Dapat segera diterapi (see and treat)
Pendekatan “the screen and threat”, based on visual inspection dengan asam asetat sebagai
screening test.
Rasjidi I. Panduan penatalaksanaan kanker ginekologik berdasarkan evidence based. Jakarta:
EGC;2007.h.6-19
Perjalanan alamiah
Skrining dan deteksi penyakit dalam populasi
Misi epidemiologi adah untuk menunjang program kesehatan masyarakat. Tujuan ahli
epidemiologi adalah untuk memahami kausalitas dan hubungan penyakit sehingga program
pengendalian penyakit, pencegahan dan program perlindungan dapat dikembangkan dan
diterapkan untuk melindungi populasi. Program skrining merupakan salah satu alat yang
digunakan untuk mencapai misi dan sasaran peidemiologi tersebut. Program skrining dapat
dilakukan secara pasif seperti pemeriksaan mata disekolah dasar atau secara ambisius seperti
skrining multifase yang diadakan di mal perbelanjaan atau bazar kesehatan. Skrining
didefinisikan sebagai pelaksanaan prosedur sederhana dan cepat untuk mengidentifikasi dan
memisahkan orang yang tampaknya sehat, tetapi kemungkinan berisiko terkena penyakit, dari
mereka yang mungkin tidak terkena penyakit tersebut. Skrining dilakukan untuk
mengidentifikasi mereka yang diduga mengidap penyakit sehingga mereka dapat dikirim untuk
menjalani pemeriksaan medis dan studi diagnostik yang lebih pasti. Skrining multifase adalah
penggunaan suatu kombinasi tes dan diagnostik yang dilakukan secara berurutan oleh tekhnisi
dibawah arahan medis terhadap sekelompok besar orang yang sehat. Skrining multifase
menggunakan serangkaian tes skrining tersebut sebagai upaya pencegahan untuk
mengidentifikasi penyakit atau kondisi apa pun pad apopulasi yang kelihatannya sehat.
5
Skrining terkadang dipertukarkan maknanya dengan diagnosis, tetapi skrining itu sendiri
merupakan prekursor untuk diagnosis. Tes skrining, seperti tes penglihatan, pengukuran tekanan
darah, pap smears, pemeriksaan darah, dan x-rays dada dilakukan pada kelompok besar atau
populasi. Tes skrining memiliki titik potong yang digunakan untuk menentukan mana orang
yang berpenyakit dan mana yang tidak. Diagnosis diberikan kepada pasien secara perorangan
oleh dokter atau institusi perawatan kesehatan berkualitas lainnya. Diagnosis selain
menggunakan hasil tes, juga melibatkan evaluasi tanda dan gejala, dan mungkin melibatkan
penilaian yang subjektif berdasarkan pengalaman dokternya. Diagnosis adalah hak prerogatif
dokter. Tes skrining dapat dilakukan oleh tekhnisi medis di bawah pengawasan dokter. Skrining
tidak ditujukan untuk menyaingi diagnosis, tetapi lebih sebagai proses yang digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan suatu kondisi penyakit sehingga dapat dirujuk untuk diagnosis.
Diagnosis tidak hanya memperkuat atau menyanggah tes skrining, tetapi juga dapat membantu
menetapkan validitas, sensitivitas, dan spesifisitas uji.
Pertimbangan program skrining
Wilson dan junger menetapkan beberapa hal yang harus dipertimbangkan ahli epidemiologi saat
merencanakan dan melaksanakan program skrining. Dari sudut pandang ksehatan masyarakat,
skrining paling efektif jika dapat mencapai sebagian besar populasi.
Berikut faktor yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan program skrining untuk
kelompok populasi yang besar:
1. Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis utama
2. Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit yang
terungkap saat proses skrining dilakukan.
3. Harus tersedia akses ke fasilitas dan pelayanan perawatan kesehatan untuk diagnosis dan
pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan
4. Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali, dengan keadaan awal dan
lanjutannya yang dapat diidentifikasi
5. Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit
6. Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyaraka tumum
6
7. Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami, termasuk fase reguler dan
perjalanan penyakit, dengan periode awal yang dapat diidentifikasi melalui uji
8. Kebijakan, prosedur, dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa yang
harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih lanjut.
9. Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau berpartisipasi
10. Skrining jangan dijadikan kegiatan sesekali saja, tetapi harus dilakukan dalam proses
yang teratur dan berkelanjutan
Tes skrining
Skrining mengandalkan tes, tidak hanya satu tes, tetapi sederetan tes, oleh karen aitu, kegiatan
skrining hanya akan efektif, bila tes dan pemeriksaan yang digunakan juga efektif. Dengan
demikian, setiap tes skrining memerlukan validitas dan reabilitas yang kuat. Validitas tes
ditunjukkan melalui seberapa baik tes secara aktual mengukur apa yangs emestinya diukur. Jika
ini adalah tes skrining kolesterol, pertanyaannya adalah: dapatkah tes itu memberikan informasi
yang cukup akurat sehingga individu dapat mengetahui tinggi atau rendahnya kadar kolesterol
sekarang? Validitas ditentukan oleh sensitivitas dan spesifisitas uji. Realibilitas didasarkan pada
seberapa baik uji dilakukan pada waktu itu dalam hal keterulangannya (repeatibility). Dapatkah
uji memberikan hasil yang dapat dipercata setiap kali digunakan dan dalam lokasi atau populasi
yang berbeda? Yield (hasil) merupakan istilah lain yang terkadang digunakan untuk menyebut
tes skrining. Yield adalah angka atau jumlah skrining yang dapat dilakukan suatu tes dalam suatu
periode waktu- jumlah penyakit yang dapat terdeteksi dalam proses skrining. Validitas suatu uji
dapat dipengaruhi oleh keterbatasan uji dan sifat individu yang diuji. Status penyakit, keparahan,
tingkat dan jumlah pajanan, kesehatan gizi, kebugaran fisik, dan faktor lain yang mempengaruhi
status kesehatan individu juga dapat mempengaruhi dan berdampak pada respons dan temuan
tes.
Sensitivitas dan spesifisitas: uji validitas
Sensitivitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dnegan benar mereka yang
terkena penyakit- presentase mereka yang terkena penyakit dan terbukti terkena penyakit seperti
yang diperhatikan melalui uji. Sensitivitas memperlihatkan proporsi orang yang benar-benar
7
sakit dalam suatu populasi yang menjalani skrining dan teridentifikasi secara tepat terkena
penyakit melalui tes skrining
sensitivitas= positif benarpositif benar+negatif palsu
=¿ positif benar
semuaorang berpenyakit
Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar presentase mereka
yang tidak terkena penyakit- orang yang tidak terkena penyakit dan terbukti tidak terkena
penyakit seperti yang ditujukkan melalui suatu uji. Spesifisitas menunjukkan proporsi orang
yang tidak terkena penyakit dalam populasi yang menjalani skrining dan mereka yang
diidentifikasi dengan benar sebagai orang yang tidak terkena penyakit melalui uji skrining.
spesifisitas= negatif benarnegatif benar+ positif palsu
=¿ negatif benar
semuaorang berpenyakitX100 %
Sensitivitas dan spesifisitas bukan nilai yang mutlak, setiap uji perorangan akan menghasilkan
respons yang berbeda. Sensitivitas dan spesifisitas terbentuk untuk setiap tes melalui penggunaan
tes yang berulang kali dalam satu rentang waktu. Penggunaan tes dalam jangka panjang dapat
menetapkan reliabilitas, validitas dan mengungkat kelemahan tes tersebut. Ahli epidemiologi
harus mengetahui seberapa baik tes dapat berfungsi dan apakah tes itu cukup efektif untuk
menskrining orang yang sakit dari orang yang sehat dalam populasi umum. Ahli epidemiologi
juga ingin mengetahui kemampuan uji untuk mengetahui positif palsu (positives false) dan
negatif palsu (false negatif). Bagaimana uji sensitifitas tersebut? Hasil tes skrining dapat
dibandingkan dnegan diagnosis yang dibuat oleh dokter, yang akan membantu menetapkan
validitas, sensitivitas dan spesifisitas uji sekaligus membantu standardisasi tes tersebut.
Disebut positif palsu jika tes skrining memperlihatkan bahwa individu terkena penyakit, tetapi
sebenernya dia tidak terkena penyakit. Tes itu keliru dalam mengidikasikan bahwa seseorang
terkena penyakit sementara pada kenyataanya dia sehat dan tidak berpenyakit. Hasil tes telah
keliru mengatakannya terkena penyakit, mencap orang yang sehat terkena penyakit.
Negatif palsu adalah kebalikan dari positif palsu. Negatif palsu adalah ketika uji skrining
mengindikasikan bahwa seseorang tidak terkena penyakit, tetapi pada kenyataanya orang itu
terkena penyakit. Tes telah keliru dalam mengindikasikan bahwa seseorang sehat sementara dia
8
sakit atau terkena penyakit. Tes telah keliru mengatakan tidak terkena penyakit, mencap orang
yang sakit sebagai orang yang sehat.
Dikatakan positif benar, jika uji menyatakan seseorang terkena penyakit dan orang itu memang
benar terkena penyakit. Negatif benar adalah jika uji menyatakan seseorang sehat dan tidak
terkena penyakit sementara pada kenyataanya memang sehat dan bebas dari penyakit.
Standardisasi uji adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu tes telah
digunakan selama waktu yang lama, sudah banyak digunakan, batasan nilainya sudah pasti, dan
tes itu memiliki bukti catatan pemakaian yang ditunjukan dalam data normatif. Program
skrinning harus menggunakan uji terstandarisasikan karena penting untuk melakukan uji yang
memiliki prediktabilitas, relibialitas validitas yang tinggi, dan fungsi jangka panjang. Ini
biasanya berarti bahwa tes telah diperbaiki dan di uji-ulangkan untuk membuatnya seelektid dan
seakurat mungkin.
Pemahaman hasil skrining, sensitifitas dan spesifisitas
Dari setiap program skrining, setiap orang diklasifikasikan sebagai negatif (mereka yang tidak
terkena penyakit) atau positif (mereka yang terkena penyakit). Akan tetapi, karena sensitivitas
dan spesifisitas suatu uji sering kali kurang dari 100%, negatif palsu dann positif palsu akan
terjadi. Dengan demikian, ahli epidemiologi mengklasifikasikan partisipasi ke dalam 4 kategori
Negatif palsu (NP) negatif benar (NB)
Positif palsu (PP) positif benar (PB)
Keempat kategori itu digunakan untuk memahami dan mengevaluasi hasil program skrining.
Kategori itu juga digunakan untuk mengkaji hasil uji dan untuk analisis data populasi studi. Agar
lebih mudah memahami keempat kategori itu, sebaiknya digunakan presentasi grafik dari proses
skrining dan letakkan masing-masing dari keempat hasil yang mungkin dari suatu uji pada posisi
yang sesuai.
Decision tree yang menyajikan visualisasi penempatan empat hasil yang mungkin (NP<, PP, NB,
PB) . informasi dalam decision tree digunakan bersamaan dengan matriks empat sel 2 X 2
sehingga ahli epidemiologi dapat menentukan tempat dan efek keempat hasil skrining. Baik
9
decision tree maupun matriks memungkinkan dilakukannya penyajian keempat efek dalam
bentuk gambar guna membantu memahami hasil analisis.
Sensitivitas dan spesifisitas merupakan ukuran yang sebanding sehingga dapat dinyatakan dalam
presentase. Idealnya, ahli epidemiologi ingin melihat suatu uji yang berfungsi sangat baik yangs
ensitivitas maupun spesifisitasnya mencapai 100%.
%sensitivitas= % orang dengan penyakit yang terdeteksi melalui tes uji
PBPB+NP
X100 %
% negatif palsu= % orang dnegan penyakit yang tidak terdeteksi uji
NPNP+PB
X100 %
% spesifisitas+ % orang tanpa penyakit yang dengan benar dinyatakan tidak terkena penyakit
melalui uji
NBNB+PP
X100 %
%positif palsu= % orang tanpa penyakit yang saat uji keliru dinyatakan terkena penyakit
PPPP+NB
X100 %
Untuk membantu analisis, beberapa observasi tentang sensitivitas dan spesifisitas akan sangat
membantu. Jika presentase negatif benar (NB) dan positif benar (PB) meningkat, sensitivitas dan
spesifisitasnya pun meningkat. Jika presentase negatif palus (NP) dan positif palsu (PP)
meningkat, sensitivitas dan spesifisitas menurun. Singkatnya sensitivitas adalah kemampuan
untuk mengidentifikasi dengan benar mereka yang terkena penyakit. Spesifisitas adalah
kemampuan untuk mengidentifikasi dengan benar mereka yang tidak terkena penyakit.
Hubungan berbanding terbalik terbentuk antara positif benar dan positif palsu. Selain itu,
hubungan berbanding terbalik terbentuk antara negatif palsu dan negatif benar.
10
Presentase negatif palsu adalah pelengkap sensitivitas. Sebaliknya, presentase positif palsu
adalah pelengkap spesifisitas. Ahli epidemiologi menginginkan sebuah uji yang sensitif sehingga
uji itu dapat mengidentigikasi jumlah yang cukup tinggi dari mereka yang terkena penyakit, dan
juga sebuah uji yang dapat menghasilkan beberapa negatif palsu. Selain itu, ahli epidemiologi
juga menginginkan uji yang cukup spesifik untuk mendeteksi penyakit, sehingga dihasilkan
respons yang terbatas hanya pada kelompok studi yang memang terkena penyakit dan beberapa
positif palsu. Begitu proses skrining selesai, sebuah diagnosis diperlukan untuk menegakkan
penyakit diantara mereka yang diduga memiliki penyakit dan mengeluarkan mereka yang diduga
terkena penyakit tetapi sebenarnya tidak.
Nilai prediktif suatu tes
Nilai prediktig tes skrining merupakan aspek terpenting suatu uji. Kemampuan suatu uji untuk
memprediksi ada atau tidaknya penyakit merupakan penentu kelayakan suatu tes. Semakin tinggi
angka prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin tinggi pengaruh sensitivitas dan
spesifisitas uji tersebut terhadap nilai prediktifnya. Semakin tinggi angka prevalensi suatu
penyakit dalam populasi, semakin besar kemungkinan terjadinya positif benar. Semakin sensitif
suatu uji, semakin tinggi nilai prediktif dan semakin rendah jumlah positif palsu dan negatif
palsu yang dihasilkan uji tersebut, yang juga menentukan nilai prediktifnya. Ketika melakukan
sebuah uji negatif, nilai prediktif adalah presentasi orang yang tidak sakit diantara partisipan
yang memiliki hasil uji negatif.
Nilai prediktif uji positif adalah presentase positif benar diantara individu yang hasil ujinya
positif. Nilai prediktif dari uji negatif adalah presentase orang yang tidak sakit diantara mereka
yang hasil ujinya negatif. Suatu penyakit harus mencapai tingkat 15% sampai 20% dalam
popilasi sebelum nilai prediktif yang berguna tercapai. Informasi prevalensi digunakan untuk
menghitung dan membagi kelompok studi menjadi mereka yang terkena penyakit dan mereka
yang tidak terkena penyakit.
Rumus nilai prediktif uji positif
nilai prediktif uji positif= positif benarpositif benar+ positif palsu
X100 %=%
Rumus nilai prediktif uji negatif
11
nilai prediktif uji negatif= negatif benarnegatif benar+ positif palsu
X100 %=%
Timmreck TC. Epidemiologi: suatu pengantar. Edisi 2. Jakarta: EGC;2004.h. 337-345
Contoh :
Tes skrining
(radiologis
Prosedut diagnosa (pemeriksaan lab) Total
BTA (+) BTA (-)
Positif 75 50 125
Negatif 15 850 865
Total 90 900 990
Perhitungan
1. Sensitivitas dan spesifisitas
Sensitivitas = 75/90 x 100= 83%
Negatif palsu= 15/90 x 100 = 17%
Spesifisitas = 850/900 x 100= 94%
Positif palsu = 50/900 x 100= 6%
2. Nilai prediksi
Nilai prediksi tes (+) = 75/125 = 60%
Nilai prediksi tes (-)= 850/865= 93%
Interpretasi data
1. Sensitivitas dan spesifisitas
Sensitivitas
Sensitivitas dari orang yang positif menderita sakit TBC yang dideteksi oleh tes
skrining adalah 83%
Negatif palsu
Presentase dari orang yang negatif, tetapi sebenarnya menderita sakit TBC adalah
17%
12
Spesifisitas
Spesifisitas dari orang yang tidak atau negatif menderita sakit yang dideteksi
dengan tes skrining adalah 94%
Positif palsu
Presentase dari orang yang dinyatakan positif tetapi tidak menderita sakit TBC
adalah 6%
2. Nilai prediksi
Menurut perkiraan secara sederhana tanpa melakukan tes skrining maka yang dinyatakan
positif hanya sekitar 60% sedangkan negatif sebesar 93%.
Chandra B. Ilmu kedokteran kpencegahan dan komunitas. Jakarta: EGC; 2009.h. 159-
160
Jenis-jenis skrining untuk kanker serviks
Ada beberapa metode skrinning yang dapat digunakan, tergantung dari ketrsediaan sumber daya.
Metode skrining yang baik memiliki beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat diulangi
(reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman. Beberapa
metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut.
1. Metode sitology
a. Tes pap konvensional
Tes pap atau pemeriksaan sitology diperkenalkan oleh dr. George papanicolau sejak
tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher Rahim di Negara-negara
maju menurun drastic. Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur pemeriksaan yang
mudah, murah dan non-invasif. Beberapa penulis melaporkan sensitivitas
pemeriksaan ini berkisar antara 78%-93%, teapi pemeriksaan ini tak luput dari hasil
positif palsu sekitar 15-37% dan negative palsu 7-40%. Sebagian besar kesalahan
tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan tersebut
disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses
pembuatan sediaan dan kesalahan interpretasi.
b. Pemeriksaan sitology cairan (liquid base cytology/LBC)
Dikenal juga dengan thin prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah mengurangi
hasil negative palsu dari pemeriksaan tes pap konvensional dengan cara optimalisasi
13
tekhnik koleki dan preparasi sel. Pada pemeriksaan ini sel dikoleksi dengan sikat
khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi larutan fiksasi.
Keuntungan pengunaan tekhnik monolayer ini adalah sel abnormal lebih tersebar dan
mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga mudah dikenali. Kerugiannya
adalah butuh waktu yang cukup lama untuk pengolahan slide dna biaya yang lebih
mahal.
2. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai cara mulai cara
southern blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ, dot blot, hibridisasi in situ
yang memerlukan jaringan biopsy, atau dengan cara pembesaran sepertyi PCR
(polymerase chain reaction) yang amat sensitive.
3. Metode inspeksi visual
a. Inspeksi visual denga lugol iodin (VILI)
b. Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi dan servikografi.
Setiap metode skrinning mempunyai sensitifitas dan spesifisitas berbeda. Sampai saat ini belum
ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan spesifisitas 100% (absolut). Oleh karena itu,
dalam pemeriksaan skrinning, setiap wanita harus mendapat penjelasan dahulu (informed
consent0.
Berikut adalah tabel perbandingan metode dengan kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Table. Perbedaan beberapa metode skrinning
metode prosedur kelebihan Kekurangan Status
Sitology
konvensio
nal (test
Pap)
Sampel diambil
oleh tenaga
kesehatan dan
diperiksa oleh
sitotekhnis di
laboratorium
Metode
yang telah
lama
dipakai
Diterima
secara luas
Pencatatan
Hasil tes
tidak
didapatkad
engan
segera
Diperlukan
system
Telah lama
digunakan
di banyak
Negara
sejak tahun
1950
Terbukti
14
hasil
pemeriksaa
n permanen
Training
dan
mekanisme
control
kualitas
telah baku
Investasi
yang
sederhana
pada
program
yang telah
ada dapat
meningkatk
an
pelayanan
Spesifisitas
tinggi
yang
efektif
untuk
follow up
wanita
yang
diperiksa
setelah ada
hasil
pemeriksaa
n
Diperlukan
transfort
bahan
sediaan
dari tempat
pemeriksaa
n ke
laboratoriu
m,
transport
hasil
pemeriksaa
n ke klinik
Sensitivitas
sedang
menurunka
n angka
kematian
akibat
kanker
leher
Rahim di
Negara-
negara
maju
Liquid
base
citology
Sampel diambil
oleh tenaga
kesehatan.
Dimasukkan dalam
cairan fiksasi da
Jarang
diperlukan
pengambila
n sampel
ulang bila
Hasil tidak
didapat
dengan
segera
Fasilitas
15
dikirim untuk
proses dan di
periksa di
laboratorium
bahan
sediaan
tidak
adekuat
Waktu
yang
dibutuhkan
pembacaan
hasil lebih
singkat
oleh
sitotekhnis
yang
berpengala
man
Sampel
dapat
digunakan
juga untuk
tes
molekuler
(misalnya
HPV tes)
laboratoriu
m lebih
mahan dan
canggih
Tes DNA
HPV
Tes DNA HPV
secara molekuler,
pengambilan
sampel dapat
dilakukan sendiri
oleh wanita dan
dibawa ke
laboratorium
Penambilan
sampel
lebih
mudah
Proses
pembacaan
otomatis
oleh alat
Hasil tes
tidak
didapat
dengan
segera
Biaya lebih
mahal
Fasilitas
Digunakan
secara
komersial
di Negara-
nega maju
sebagai
tambahan
pemeriksa
16
khusus
Dapat
dikombinas
ikan
dengan tes
Pap untuk
meningkatk
an
sensitivitas
Spesifisitas
tinggi
terutama
pada
perempuan
>35 tahun
laboratoriu
m lebih
mahal dan
canggih
Perlu
reagen
khusus
Spesifisitas
rendah
pada
perempuan
muda (35
tahun)
an sitology
Metode
visual
(IVA dan
VILI)
Pemulasan leher
Rahim dapat
dilakukan oleh
tenaga kesehatan
yang terlatih
(bidan/dokter/pera
wat)
Mudah dan
murah
Hasil
didapat
dengan
segera
Sarana
yang
dibutuhkan
sederhana
dapat
dikombinas
i dengan
tatalaksana
segera
lainnya
Spesifisitas
rendah.
Sehingga
berisiko
overtreatm
ent
Tidak ada
dokumenta
si hasil
pemeriksaa
n
Tidak
cocok
untuk
skrining
pada
Belum
cukup data
dan
penelitian
yang
mendukun
g, terutama
sehubunga
n dengan
efeknya
terhadap
penurunan
angka
kejadian
dan
kematian
17
yang cukup
dengan
pendekatan
sekali
kunjungan
(single visit
approach)
perempuan
pasca
menopause
Belum ada
standarisasi
Seringkali
perlu
training
ulang
untuk
tenaga
kesehatan
kanker
leher
Rahim
Saat ini hanya
direkomendasikan
pada daerah
proyek
Jurnal : 2008. Skrinning kanker rahim dengan metode inpeksi visual asam asetat (IVA). Health
technology assessment indonesia, departemen kesehatan republik indonesia hal 3-36.
Tes Pap
Pemeriksaan apusan Pap saat ini merupakan suatu keharusan bagi wanita, sebagai sarana
pencegahan dan deteksi dini kanker serviks, yang seyogyanya dilaksanakan oleh setiap wanita
yang telah menikah sampai dengan umur kurang lebih 65 tahun, bila dua kali pemeriksaan apusa
Pap terakhir negative dan tidak pernah mempunyai riwayat hasil pemeriksaan abnormal
sebelumnya.
Pemeriksaan ini harus dilakukan secara berkala minimal satu tahun sekali, walaupun awanita itu
tidak mempunyai keluhan pada organ saluran genital, karena kanker serviks pada stadium dini
biasanya tanpa keluhan dan dengan mata biasa tidak mungkin dapat dideteksi.
Pemeriksaan skrining apusan pap secara berkala, diharapkan dapat menemukan kasus-kasus
kanker serviks dini atau lesi prakanker yang belum menimbulkan gejala secara klinik, sehingga
dapat dilakukan terapi dengan tuntas.
18
Ketepatan diagnosis sitology pada skrinning deteksi kanker serviks terutama sangat tergantung
pada representative tiaknya sediaan apusan Pap yang dibuat, disamping factor-faktor lain, seperti
fiksasi, pulasan sediaan dan kemahiran interpretasi.
Representative tidaknya sediaan apusan Pap sangat dipengaruhi oleh cara/ tenik pengambilan
bahan pemeriksaan, cara pembuatan sediaan dan alat pengambil secret yang digunakan.
Oleh karena itu sebelum melangkah kepada penilaian sitology apusan pap perlu dipahami
terlebih dahulu mengenai cara pengambilan dan cara pembuatan sediaan sitology apusan pap
yang tepat dan benar dngan cara seksama.
Pemeriksaan skrning deteksi kanker serviks dengan hanya memeriksa sekrt vagina saha
didapatkan hasil negative palsu sebesar 45%, dengan hanya memeriksa secret servikal saja
menurunkan hasil negative palsu menjadi 6%, dan dengan memeriiksa secret endoservikal saja,
yang diambil dengan lid kapas atau aspirator, menurunkan hasil negative palsu menjadi 45. Bila
pemeriksaan skrinning deteksi kanker serviks dilakukan dengan memeriksa sediaan servikal dan
endoserviikal maka tidak didapatkan hasil negative palsu.
Dalam penggunaan apusan Pap untuk tujuan diagnosis dan deteksi dini kanker serviks sering
timbul masalah yaitu apabila iagnosis klinik tidak sesuai dengan diagnosis sitology, dan hal ini
sering terjadi akibat hasil negative palsu dari pemeriksaan sitology apusan pap (palse negative).
Menurut literature, hasil negative palsu disebabkan oleh kesalahan lokasi pengambilan secret,
kesalahan dalam proses pembuatan sediaan 9fiksasi0 dan kesalahan dalam intrpretasi sediaan
sitology.
Untuk mendapat hasil pemeriksaan skrining sitology apusan Pap yang akurat, maka perlu
diperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan sitology menjadi negative
palsu seperti diatas.
Factor kesalahan lokasi pengambilan dapat diatasi dengan memperhatikan lebih cermat lokasi
pengambilan sewaktu mengambil secret, yaitu untuk secret servikal harus diambil seluruh
permukaan portio serviks dan untuk secret endoservikal harus diambil dari permukaan mukosa
endoserviks, sedangkan secret vagina tidak bermanfaat sama sekali untuk pemeriksaan skrining,
19
karena nilai negative palsuunya snagat besar. Hal ini perlu ditekankan pada dokter atau bidan
yang biasa mengambil sediaan Pap.
Kegunaan diagnostic sitology apusan pap:
1. Evaluasi sitohormonal :
Penilaian hormonal pada seorang wanita dapat dievaluasi melalui pemeriksaan sitology
apusan pap yang bahan pemeriksaannya adalah secret vagina yang berasal dari dinding
lateral vagina sepertiga bagian atas.
2. Mendiagnosa peradangan
Peradangan pada vagina dan servciks pada umumya dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan sitology apusan Pap, karena baik peradangan akut maupun kronis, sebagian
besar akan memberikan gambaran perubahan sel yang khas pada sediaan apus Pap sesuai
dengan organisme penyebabnya, walaupun kadang-kadang ada pula organisme yang
tidak menimbulkan reaksi yang khas pada sediaan apusan Pap.
3. Identifikasi organisme penyebab peradangan
Dalam vagina ditemukan beberapa macam organisme/kuman yang sebagian merupakan
flora normal vagina yang bermanfaat bagi organ tersebut misalnya bakteri doderlein.
4. Mendiagnosis kelainan prakanker (dysplasia) serviks dan kanker serviks dini atau
lanjutan (karsinoma insitu/invasive)
5. Memantau terapi
Syarat-syarat pengambilan bahan pemeriksaan apusan pap
Dalam penggunaan apusan Pap untuk penilaian hormonal, untuk dapat menghasilkan interpretasi
hormonal yang akurat, diperlukan bahan pemeriksaan secret vaginal yang representative untuk
peniaian hormonal. Untuk itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum dilakukan
pengambilan bahan pemeriksaan, yaitu sebagai berikut:
1. Secret vaginal harus benar-benar berasal dari dinding vaginal sepertiga bagian atas
2. Pengambilan secret harus dilaksanakan pada keadaan vagina normal tenpa infeksi dan
tanpa pengobatan local paling sedikit dalam waktu 48 jam terakhir
20
3. Untuk penilaian hormonal siklus menstruasi pada infertilities, pengambilan secret harus
dilaksanakan pada hari siklus tertentu,s esuai dengan fase-fase pada siklus haid. Sediaan
vaginal biasanya harus diambil pada hari ke 8, 14, dan 22 atau hari siklus ke 8, 15 dan 22
4. Untuk penilaian pos maturitas, pengambilan secret vaginal dilakukan bila umur
kehamilan telah melewati waktu dua minggu melebihi dari tanggan tafsiran partus dan
ketuban janin harus masih utuh (belum pecah).
5. Dalam pengunaan apusan Pap untuk deteksi dan diagnosis lesi prakanker dan kanker
serviks,
Lestadi J. Penuntun diagnostik praktis sitologi ginekologik apusan pap. Jakarta: widya medika;
1997.h. 1-4, 17
IVA
A. Definisi
Tes visual dengan menggunakan larutan asam cuka 9asam asetat 2%) dan larutan iosium
lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah dilakukan olesan.
Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami dysplasia sebagai salah satu metode
skrinning kanker mulut Rahim. Tes ini lebih cocok digunakan di Negara yang
berkembang, misalnya kamboja.
B. Indikasi
Skrinning kanker mulut Rahim
C. Kontraindikasi
Tidak direkomendasikan pada wanita pasca menopause, karena daerah zona transisional
seringkali terletak di kanalis servikalias dan tidak tampak dengan pemeriksaan inspekulo.
D. Persiapan dan syarat
Persiapan alat dan bahan
Sabun dan air untuk mencuci tnagan
Lampu yang terang untuk melihat serviks
Speculum dengan desinfeksi tingkat tinggi
Sarung tangan sekali pakai atau desinfeksi tingkay tinggi
Meja ginekologi
Lidi kapas
21
Asam asetat 3-5% atau anggur putih (white vinegar)
Larutan iodium lugol
Larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi instrument dan sarung tangan
Format pencatatan
Persiapan tindakan
Menerangkan prosedur tindakan, bagaimana dikerjakan, dan apa artinya hasil test
positif. Yakinkan bahwa pasien telah memahami dan menandatangani informed
consent.
Pemeriksaan inspekulo secara umum meliputi dinding vagia, serviks, dan forniks.
E. Tekhnik prosedur
Sesuaikan pencahayaan untuk mendapatkan gambaran terbaik dari serviks
Gunakan lidi kapas untuk membersihkand arah, mucus dan kotoran lain pada
serviks
Identifikasi daerah sambungan skuamo-columnar (zona transformasi) dan area di
sekitarnya.
Oleskan larutan asam cuka atau lugol, tunggu 1-2 menit untuk terjadinya
perubahan warna. Amati setiap perubahan pada serviks, perhatian dengan cermat
daerah di sekitar zona transformasi.
Lihat dengan cermat SCTdan yakinkan area ini dapat semuanya terlihat. Catat bila
serviks mudah berdarah. Lihat adanya plaque warna putih dan tebal atau epitel
acetowhite bila menggunakan larutan asam asetat atau warna kekuningan bila
menggunakan larutan lugol. Bersihkan segala darah dan debris pada saat
pemeriksaan
Bersihkan sisa larutan asam asetat dan larutan lugol dengan lidi kapas atau kasa
bersih
Lepaskan speculum dengan hati-hati
Catat hasil pengamatan, dan gambar denah temuan
F. Komplikasi/efek samping
Tidak ada
G. Interpretasi
22
IVA positif bila ditemukan adanya area berwarna putih (cetonwhite) dan permukaannya
meninggi dengan batas yang jelas disekitar zona transformasi.
Tes pelengkap
1. Tes HPV-DNA
a. Definisi
Pengambilan sampel untuk mengetahui adanya infeksi HPV dengan menggunakan
lidi kapas atau sikat
b. Indikasi
Kelompok risiko tinggi paparan terhadap infeksi human papiloma virus
c. Kontraindikasi
Tidak ada
d. Persiapan
1. Persiapan alat
Sabun dan air mengalir untuk cuci tangan
Lampu
Meja ginekologi
Spekulum dengan desinfeksi tingkat tinggi (tidak harus steril)
Sarung tangan disposabel atau desinfeksi tingkat tinggi
Sikat kecil, lidi kapas
Botol kecil dengan cairan pengawet (alkohol 96%), untuk menyimpan
sampel
Kaleng berisi air hangat untuk menghangatkan spekulum
Formulir pencatatan
Larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi intrumen dan sarung tangan
2. Persiapan pasien
Terangkan tentang tes HPV DNA dan menjelaskan arti positif hasil
pemeriksaan dan lakukan informed consent
Sebaiknya tidak dilakukan pada saat menstruasi, tetapi adanya pendarahan
sedikit tidak menghalangi dilakukannya pemeriksaan
Lakukan pemeriksaan inspikulo secara umum
23
e. Tekhnik/prosedur
Ambil sampel dari bagian atas vagina dan ostium serviks dnegan
menggunakan lidi kapas dan sikat kecil
Masukan lidi kapas atau sikat ke dalam wadah yang berisi cairan pengawet
Tutup spekulum dan keluarkan dengan gentle
Beri label nama, register dan tanggal pemeriksaan
Catat semua kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan inspekulo
f. Komplikasi/efek samping
Tidak ada
g. Interpretasi
Tes HPV DNA lebih berguna bila dikombinasikan dengan pemeriksaan sitologi.
Pasien dengan hasil tes positif sebaiknya dilakukan pemeriksaan kolposkopi.
Penderita dnegan HPV positif dengan tes Pap menunjukkan adanya displasia
(ASCUS) termasuk kelompok risiko tinggi dan harus dilakukan pemeriksaan
kolposkopi dan bila perlu biopsi.
Rasjidi I. Manual prakanker serviks. Jakarta: CV sagung seto.2008. H.49-54
Program IVA di puskesmas
Pelaksanaan IVA dan pelatihan tenaga kesehatan
Pemeriksaan IVA dapat dilakukan oleh tenaga perawat yang sudah terlatih, oleh bidan, dokter
umum atau oleh dokter spesialis.
Adapun pelatihannya, telah ada kesepakatan antara pihak yang berpengalaman dan
berkecimpung dalam kegiatan pelatihan deteksi dini dengan metode IVA ini, hingga disepakati
IVA selama 5 (lima) hari. Dua hari untuk pembekalan teori dan juga “dry workshop”. Adapun
tiga hari untuk pelatihan di klinik dan di lapangan bersifat “wet workshop” dalam artian latihan
dengan memeriksa langsung pada klien. Sangat disarankan setelah pelatihan tersebut tetap
dilanjutkan dengan pendamping atau supervisi, hingga dapat dicapai suatu kemampuan yang
dinilai kompeten jika personil yang bersangkutan telah melakukan pemeriksaan pada 100 orang
24
klien dan mendapatka 3 (tiga) hasil pemeriksaan yang positif dan benar. (laporan hasil loka karya
penanggulangan kanker rahim balikpapan, 25 juli 2008).
Akurasi pemeriksaan IVA
Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa IVA menjadi alternatif metode skrining
kanker leher rahim di daerah-daerah yang memiliki sumber daya terbatas. Namun demikian,
akurasi metode ini dalam penerapan klinis masih terus dikaji diberbagai negara berkembang.
Penelitian universitas zimbabwe dan JHPIEGO cervical cancer project yang melibatkan 2.203
perempuan di zimbabwe melaporkan bahwa skrining dengan metode IVA dapat mengidentifikasi
sebagian besar lesi prakanker dan kanker. Sensitivitas IVA dibanding dengan pemeriksaan
sitologi (tes Pap) berturut-turut adalah 76,7% dan 44,3%. Meskipun begitu, dilaporkan juga
bahwa IVA kurang spesifik, angka spesifisitas IVA hanya 64,1% dibanding sitologi 90,6%.
Penelitian lainnya mengambil sampel 1997 perempuan di daerah pedesaan cina, dilakukan oleh
belinson JL dan kawan-kawan untuk menilai sensitivitas metode IVA pada lesi prakanker tahap
NIS 2 atau yang lebih tinggi, dikkonfirmasi dengan kolposkopi dan biopsi leher raim. Hasilnya
penerlitian menunjukkan bahwa sensitivitas IVA untuk NIS 2 atau yang lebih tinggi adalah 71%
sementara angka spesifisitas 74%.
Skrining kanker leher rahim
Berbagai metode skrining kanker rahim telah dikenal dan diaplikasikan, dimulai sejak tahun
1960-an dengan pemeriksaan tes Pap. Selain itu dikembangkan metode visual dengan gineskopi,
atau servikografi dan kolposkopi. Hingga penerapan metode yang dianggap murah yaitu dengan
tes IVA (inspeksi visual dengan asam asetat). Skrining DNA HPV juga ditujukan untuk
mendeteksi adanya HPV tipe onkogenik, pada hasil yang positif dan memprediksi seorang
perempuan menjadi berisiko tinggi terkena kanker serviks.
Interval skrining
Ameran cancer society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining dimulai 3 tahun setelah
dimulainya hubungan seksual melalui vagina. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko
munculnya lesi prakanker baru terjadi setelah 3-5 tahun setelah paparan HPV pertama.
25
Interval yang ideal untuk dilakukan skrining adalah 3 tahun. Skrining 3 tahun sekali memberi
hasil yang hampir sama dengan skrining tiap tahun. ACS merekomendasikan skrining tiap tahun
dengan metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan pemeriksaan sitologi
cairan (liquid-based cytology) setelah skrining yang pertama. Setelah perempuan berusia 30
tahun, atau setelah 3 kali berturut-turut skrining dengan hasil negatif, skrining cukup dilakukan
2-3 tahun sekali. Bila dana sangat terbatas skrining dapa tdilakukan tiap 10 tahun atau sekali
seumur hidup dengan tetap memberikan hasil yang signifikan.
WHO merekomendasikan :
Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya dilakukan
pada perempuan antara 35-45 tahun
Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan skrining
hendaknya dilakukan 3 tahun sekali
Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali
Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia diatas 65
tahun, tidak perlu menjalani skrining
Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun sekali.
Jurnal : 2008. Skrinning kanker rahim dengan metode inpeksi visual asam asetat (IVA). Health
technology assessment indonesia, departemen kesehatan republik indonesia hal 3-36.
Daftar pustaka
26
27