blok 26 dhf

35
Tinjauan Pustaka Program Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Regina Caecilia Setiawan 102012280 /D6 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email : [email protected] Abstrak Demam berdarah dengue (DBD) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Arbovirus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. DBD adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan hemoragik. Penyakit DBD mempunyai perjalan yang sangat cepat dan sering menjadi fatal karena banyak pasien yang meninggal akibat penanganannya terlambat. Demam berdarah dengue (DBD) disebut juga dengue hemorrhagic fever (DHF), dengue fever (DF), demam dengue (DD), dan dengue shock syndrome (DSS). Dalam tinjauan pustaka ini, akan dibahas mengenai proses perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dari mulai telur hingga dewasa yang berkaitan dengan upaya promotif dan preventif, serta bagaimana cara penyebaran dan penularan virus dengue ke manusia. Selain itu juga akan dibahas mengenai program puskesmas dalam pemberantasan penyakit demam berdarah dengue. Program Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Page 1

Upload: chatarina-ancilla-cindy

Post on 06-Sep-2015

252 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

blok 26

TRANSCRIPT

Tinjauan PustakaProgram Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di PuskesmasRegina Caecilia Setiawan102012280 /D6Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email : [email protected]

Demam berdarah dengue (DBD) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Arbovirus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. DBD adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan hemoragik. Penyakit DBD mempunyai perjalan yang sangat cepat dan sering menjadi fatal karena banyak pasien yang meninggal akibat penanganannya terlambat. Demam berdarah dengue (DBD) disebut juga dengue hemorrhagic fever (DHF), dengue fever (DF), demam dengue (DD), dan dengue shock syndrome (DSS). Dalam tinjauan pustaka ini, akan dibahas mengenai proses perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dari mulai telur hingga dewasa yang berkaitan dengan upaya promotif dan preventif, serta bagaimana cara penyebaran dan penularan virus dengue ke manusia. Selain itu juga akan dibahas mengenai program puskesmas dalam pemberantasan penyakit demam berdarah dengue.

Kata kunci : demam berdarah dengue, promotif dan preventif, penyebaran dan penularan virus, program puskesmas, pemberantasan penyakit dengueAbstract

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is an acute infection caused by the Arbovirus and is transmitted by the bite of Aedes aegypti and Aedes albopictus. Dengue is an infectious disease caused by the dengue virus with clinical manifestations of fever, muscle aches or joint pain that is accompanied by leukopenia, rash, lymphadenopathy, thrombocytopenia and hemorrhagic. DHF has a very quick journey and often become fatal because many patients who died due to late treatment. Dengue hemorrhagic fever (DHF) is also called dengue hemorrhagic fever (DHF), dengue fever (DF), dengue fever (DD), and dengue shock syndrome (DSS). In this literature review, will discuss the Aedes aegypti mosquito breeding process from start egg to adult associated with promotive and preventive efforts, and how the spread and transmission of dengue virus to humans. It also will discuss the health center program in combating dengue fever.

Keywords: dengue hemorrhagic fever, promotive and preventive, dissemination and transmission of the virus, health centers program, the eradication of dengue diseasePendahuluan

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit endemik yang berada di Indonesia. Kasus DBD terus ada sepanjang tahun di daerah Tropis, terutama pada musim penghujan, dimana banyak genangan air yang tidak tercemar oleh tanah menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Insiden DHF di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk; dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DHF cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Data dari Departemen Kesehatan RI melaporkan bahwa pada tahun 2004 selama bulan Januari dan Februari, pada 25 provinsi tercatat 17.707 orang terkena DHF dengan kematian 322 penderita. Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) per 100.000 penduduk di Jawa Tengah lima tahun terakhir adalah 59,2 pada tahun 2008; 57,9 pada tahun 2009; 56,8 pada tahun 2010; 15,3 pada tahun 2011; dan 19,29 pada tahun 2012. Penyebarannya tidak hanya terjadi pada daerah perkotaan, tetapi sudah menyebar ke daerah perdesaan. Sejak tahun 2007, 33 kabupaten/kota dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah merupakan daerah endemis DBD. Diperlukan pencegahan lebih lanjut agar kejadian DHF ini tidak menimbulkan jumlah kesakitan dan kematian yang besar. Daerah endemic DBD pada umumnya merupakan sumber penyebaran ke wilayah lain. Setiap kejadian luar biasa (KLB) DBD umunya dimulai dengan peningkatan jumlah kasus di wilayah tersebut. Untuk membatasi penyebaran penyakit DBD diperluakan pengasapan (fogging) secara missal, abatisasi missal, serta penggerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang terus-menerus. Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai pemberantasan DHF dalam hal pendekatan epidemiologi, surveilance, kejadian luar biasa, tingkat pencegahan penyakit, pelayanan puskesmas, program pemberantasan DHF, dan pemberdayaan masyarakat.Penyakit demam berdarah (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas.1,2,3PengertianDemam berdarah dengue (DBD) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Arbovirus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. DBD adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan hemoragik. DBD adalah penyakit yang ditandai oleh empat manifestasi klinis utama yaitu demam tinggi, fenomena pendarahan, sering disertai oleh hepatomegali dan pada keadaan berat terjadi tanda-tanda kegagalan sirkulasi. DBD adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan tipe I-IV dengan manifestasi klinis 5-7 hari disertai gejala pendarahan dan jika timbul syok, angka kematiannya cukup tinggi.4Epidemiologi

Epidemiologi adalah cabang ilmu yang mempelajari distribusi kejadian sakit, gangguan fungsi tubuh (disability) dan kematian, serta faktor-faktor yang memengaruhi frekuensi kejadian pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Dalam aspek epidemiologi, terdapat model segitiga epidemiologi menggambarkan kejadian suatu penyakit yang ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu host, agent, dan environment.5

Host atau pejamu adalah manusia yang mudah terkena atau rentan terhadap suatu bibit penyakit, yang menyebabkan ia sakit. Faktor utama pada host yang memudahkannya terkena penyakit adalah sistem kekebalan atau imunitas dan perilakunya sendiri. Sistem kekebalan tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan ras.5

Agent adalah faktor yang menjadi bibit penyakit yang menjadi penyebab suatu penyakit. Penyebab penyakit ada yang bersifat biologis, fisik, kimia, dan sosiopsikologis. Yang bersifat biologis seperti DHF disebabkan virus dengue.5

Environment atau lingkungan adalah situasi atau kondisi di luar host dan agent yang memudahkan interaksi antar keduanya. Faktor ini juga dapat menjadi risiko timbulnya gangguan penyakit pada host karena lingkungan memberikan peluang agent untuk berkembang (breeding). Lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan biologis, fisik, kimia, dan sosial.5

Paradigma sehat menurut H.L. Blum juga dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara empat faktor utama yang menentukan derajat kesehatan masyarakat di suatu wilayah. Keempat faktor tersebut adalah genetik, pelayanan kesehatan, perilaku manusia, dan lingkungan.5

Faktor genetik paling kecil pengaruhnya terhadap kesehatan perorangan atau masyarakat dibandingkan ketiga faktor lain. Pengaruh pada status kesehatan perorangan terjadi secara evolutif dan paling sukar dideteksi. Untuk itu, perlu dilakukan konseling genetik. Untuk kepentingan kesehatan masyarakat atau keluarga, faktor genetik perlu mendapat perhatian di bidang pencegahan penyakit. Ketersediaan sarana pelayanan, tenaga kesehatan, dan pelayanan kesehatan yang berkualitas akan berpengaruh pada derajat kesehatan masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan yang diimbangi dengan kelengkapan sarana / prasarana, dan dana akan menjamin kualitas pelayanan kesehatan. Pelayanan seperti ini akan mampu mengurangi atau mengatasi masalah kesehatan yang berkembang di suatu wilayah atau kelompok masyarakat. Faktor perilaku masyarakat terutama di negara berkembang paling besar pengaruhnya terhadap munculnya gangguan kesehatan atau masalah kesehatan di masyarakat. Tersedianya jasa pelayanan kesehatan tanpa disertai perubahan perilaku masyarakat akan mengakibatkan masalah kesehatan tetap potensial berkembang di masyarakat. Lingkungan yang terkendali, akibat sikap hidup dan perilaku masyarakat yang baik akan dapat menekan perkembangan masalah kesehatan. Sektor-sektor terkait di luar sektor kesehatan seperti Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan Cipta Karya (PU), Kependudukan akan besar sekali perannya dalam upaya pengendalian sampah. Sampah yang menumpuk, kampung kumuh, dan genangan air akan memudahkan vektor DHF berkembang.5

Untuk menganalisis program kesehatan di lapangan, paradigma H.L. Blum dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan masalah sesuai dengan faktor-faktor yang berpengaruh pada status kesehatan masyarakat. Analisis keempat faktor tersebut perlu dilakukan secara cermat sehingga masalah kesehatan masyarakat dan masalah program dapat dirumuskan dengan jelas.5

Demam berdarah dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit virus yang berbahaya. Virus penyebab DHF ini adalah virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus ini termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Terdapat empat serotipe virus ini yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Gejala klinis DHF berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari dan manifestasi perdarahan yang biasanya didahului tanda khas berupa bintik-bintik merah (petechia) pada badan penderita. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Vektor utama DHF adalah nyamuk kebun yang disebut Aedes aegypti, sedangkan vektor potensialnya adalah Aedes albopictus.1,2,6

Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah: sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih. Selain itu nyamuk ini berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung, dan lain-lain. Jarak terbangnya 100 m dan nyamuk betinanya bersifat multiple biters (menggigit beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat). Nyamuk ini tahan suhu panas dan kelembaban tinggi.2

Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DHF adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya). Menurut laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari nyamuk ke telur-telurnya.2

Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-6 hari dan orang tersebut akan mengalami sakit DHF. Virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu. Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit DHF. Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit. Tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengue selama satu minggu, sehingga dapar menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya.2Penyebaran penyakit DHF di Jawa biasanya terjadi mulai bulan Januari sampai April dan Mei. Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas penyakit DHF antara lain: imunitas pejamu, kepadatan populasi nyamuk, transmisi virus dengue, virulensi, keadaan geografis setempat. Faktor penyebaran kasus DHF antara lain: pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terkontrol, transportasi.2

Kriteria diagnosis daru DHF adalah lewat kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Kriteria klinisnya adalah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang kelas dan berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, terdapat manifestasi perdarahan, pembesaran hati, dan syok. Kriteria laboratorusnya adalah trombositopenia (20%). Seorang pasien dinyatakan menderita penyakit DHF bila terdapat minimal 2 gejala klinis yang positif dan 1 hasil laboratorium yang positif. Bila gejala dan tanda tersebut kurang dari ketentuan di atas maka pasien dinyatakan menderita demam dengue.2

Program Pemberantasan Demam Berdarah DengueCase Finding

Kejadian Luar Biasa terakhir dengue yang cukup bermakna terjadi pada lima dari enam wilayah WHO, dengan wilayah Eropa merupakan satu - satunya pengecualian. Akan tetapi, ada beberapa Negara di Eropa yang melaporkan penemuan kasus dengue impor. Populasi di dunia yang diperkirakan berisiko terhadap penyakit ini mencapai 2,5 sampai 3 miliar orang yang tinggal di daerah perkotaan di wilayah yang beriklim tropis dan subtropics. Akan tetapi, pada saat dengue diperkirakan hanya sebagai masalah yang timbul di daerah perkotaan, ternyata di beberapa wilayah pedesaan di Asia Tenggara masalah ini menjadi masalah yang signifikan. Menurut hasil perkiraan terdapat sedikitnya 100 juta kasus demam dengue yang terjadi setiap tahunnya dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan rawat inap. Dari 500.000 kasus DHF tersebut, 90% di antaranya merupakan anak anak yang berusia kurang dari 15 tahun. Rata rata angka kematian akibat DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya.4Diagnosis

Infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau mengakibatkan penyakit demam biasa (sindrom virus), demam dengue (DF), atau demam berdarah dengue (DHF) termasuk sindrom syok dengue (DSS). Infeksi terhadap salah satu serotype virus dengue memberikan imunitas seumur hidup khusus untuk serotype tersebut, tetapi tidak ada perlindungan silang terhadap serotype yang lain. Penampilan klinis bergantung pada usia, status imun pejamu, dan strain virus. 4

Demam biasa : bayi, anak anak, dan beberapa orang dewasa yang terinfeksi virus dengue pertama kalinya (melalui infeksi primer dengue) akan mengalami demam biasa yang tidak biasa yang tidak bias dibedakan dengan demam akibat virus lain. Ruam mukulopapular dapat menyertai demam atau muncul selama fase defervesens (fase penurunan suhu tubuh).3

Demam dengue : demam dengue paling sering menyerang anak dan orang dewasa. Pada dasarnya demam dengue merupakan demam bifase akur yang ditandai dengan sakit kepala, myalgia, atralgia, ruam kulit dan leukopenia. Walaupun DHF pada dasarnya tidak berbahaya, penyakit ini dapat menurunkan fungsi tubuh, misalnya otot dan sendi terasa sangat nyeri (break-bone fever), terutama pada orang dewasa dan terkadang disertai dengan pendarahan yang tidak biasa. Di daerah endemic dengue, DF jarang menyerang penduduk asli.4

Demam berdarah dengue : demam berdarah dengue paling sering menyerang anak yang berusia kurang dari 15 tahun, walaupun juga menyerang orang dewasa. DHF ditandai dengan munculnya awitan akur demam yang disertai tanda dan gejala yang tidak spesifik. Diathesis hemoragi juga terjadi dan kecenderungan menimbulkan syok yang berakibat fatal (sindrom syok dengue). Hemostasis tidak normal dan adanya kebocoran plasma merupakan perubahan patofisiologis yang itama dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi sebagai temuan yang tetao. Walaupun DHF biasa menyerang anak anak yang telah mengalami infeksi sekunder dengue, cacatan juga menunjukkan serangan infeksi primer.4

Setelah inkubasi yang berlangsukng antara 4-6 hari (rata rata 3-14 hari), berbagai gejala awal yang biasa tidak spesifik seperti sakit kepala, sakit punggung, dan malaise menyeluruh mungkin dialami. Secara tipikal, awitan DF pada orang dewasa terjadi tiba tiba, dengan peningkatan suhu yang cukup tajam disertai dengan menggigil dan terkadang juga disertai dengan sakit kepala yang parah dan kemerahan pada wajah. Dalam 24 jam, nyeri retroorbital mungkin akan dirasakan terutama jika mata bergerak atau ditekan, demikian juga dengan fotofobia, sakit punggung, dan nyeri toto serta persendia/ tulang tangan dan kaki. Gejala umum lainnya meliputi anoreksia dan berubahnya sensasi pengecap, konstipasi, nyeri kolik, dan nyeri tekan perut, nyeri tarikan di bagian pangkal paha, sakit tenggorokan, dan sepresi menyeluruh. Gejala ini memiliki tingkat keparahan yang berbeda dan biasanya berlangsung selama beberapa hari. 4Demam: suhu tubuh biasanya mencapai 39C sampai 40C, dan demam mungkin bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari. Ruam kulit: kemerahan atau bercak bercak merah yang menyebar dapat terlihat pada wajah, leher, dan dada selama separuh pertama periode demam dan ruam yang jelas yang kemungkinan makulopapular ataupun menyerupai bentuk demam skarlatina akan muncul pada hari ketiga atau keempat. Menjelang akhir periode demam atau tepat setelah dase defervensens, ruam di seluruh tubuh mulai menghilang secara bertahap dan kumpulan bintik merah yang terlokalisasi akan muncul di daerah ounggung kaki, di tungkai, dan di lengan serta tangan. Pertemuan ruam dan bintik merah yang ditandai dengan bidang bidang bulat yang pucat dan menyebar pada kulit normal. Ruam terkadang sidertai gatal. Pendarahan kulit : hasil uji turniket yang positif dan/atau petekia.4Surveilans

Surveilans adalah observasi kejadian yang sedang berlangsung, aktif, dan sistematik terhadap kejadian dan distribusi penyakit dalam suatu populasi, dan kejadian atau kondisi yang dapat meningkatkan atau menurunkan risiko kejadian suatu penyakit. Sistem surveilans dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang berbagai macam peristiwa.7-9

Surveilans juga dapat digunakan untuk mengukur outcome lainnya yang disebabkan oleh pelayanan atau kinerja, atau proses tindakan yang diambil untuk mencapai suatu outcome (seperti kepatuhan pada suatu kebijakan atau peraturan yang telah disepakati). Dua tujuan utama program surveilans dalam fasilitas pelayanan kesehatan adalah: memperbaiki kualitas pelayanan pasien; dan mengidentifikasi, mengimplementasikan, dan mengevaluasi strategi untuk mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial dan kejadian tidak diinginkan lainnya. Empat tujuan suatu program surveilans adalah: 1. Mempersiapkan standar nilai, atau rate penyakit endemik; 2. mengidentifikasi peningkatan rate penyakit di atas standar nilai yang telah ditetapkan, atau yang diperkirakan; 3. mengidentifikasi faktor risiko penyakit; dan 4. mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian.7-9

Terdapat beberapa metode surveilans yang telah digunakan dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Metode ini dapat dipisahkan ke dalam empat kategori utama: 1. Surveilans prospektif total, ketika semua pasien dipantau untuk infeksi nosokomial pada semua divisi rumah sakit; 2. Surveilans yang bertarget, yaitu dengan menyurvei infeksi terseleksi, tempat infeksi, atau organisme tertentu yang akan disurvei; 3. Survei prevalensi, untuk jumlah infeksi yang aktif selama periode waktu tertentu, dan rate prevalensi yang dihitung; 4. Surveilans periodik, yang dapat dilakukan selama suatu periode waktu tertentu pada unit-unit yang terpilih dan surveilans periode berikutnya dilakukan pada unit lain sehingga keseluruhan rumah sakit dapat disurvei pada selama tahun tersebut.7-9

Suatu program surveilans yang telah dirancang dengan baik seharusnya mempunyai kegiatan pengumpulan data, manajemen data, analisis data, dan diseminasi data yang berkelanjutan untuk mengendalikan dan mencegah penyakit. Tanpa mengabaikan fasilitas pelayanan kesehatan, orang-orang yang merancang suatu program surveilans untuk fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya dapat menetapkan suatu sistem yang dapat mencegah timbulnya infeksi dan kejadian merugikan lainnya lebih banyak lagi dengan sumber daya yang ada. Daftar ini dapat digunakan untuk merancang suatu program surveilans: 1. Menargetkan outcome yang akan dicegah dan proses yang akan dikembangkan serta mengembangkan indikator yang spesifik dengan tujuan tertentu; 2. Menetapkan prioritas menurut tujuan tersebut; 3. Mengalokasi waktu dan sumber daya yang sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan; 4. Setelah menyelesaikan 3 langkah pertama, strategi surveilans, pencegahan, dan pengendalian kemudian dirancang agar langkah-langkah tersebut dapat mendukung tujuan yang telah ditetapkan; 5. Setelah waktu surveilans ditentukan, langkah berikutnya adalah mengevaluasi program surveilans, pencegahan, dan pengendalian, serta merevisi program tersebut jika dibutuhkan.7-9Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: Surveilans pasif dan aktif (Gordis, 2000). Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggung jawab utama.7-9Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan dari pada surveilans pasif. Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium. Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu.7-9Pemilihan denominator yang tepat adalah salah satu aspek yang paling penting dalam pengukuran frekuensi penyakit. Denominator yang digunakan harus mendekati populasi berisiko yang sebenarnya. Insidens mengukur frekuensi kasus atau kejadian selama suatu periode tertentu. Rumusnya adalah:8Insidens =

Selain itu terdapat juga prevalensi yang mengukur kejadian kasus baru maupun kasus yang telah ada dari suatu penyakit.Rumusnya adalah:7Prevalensi =

Surveilans vektor DHF ditujukan untuk memperoleh informasi tentang kepadatan dan distribusi vektor DHF, tempat bersarangnya yang berpotensial, jarak terbang, arah infiltrasi vektor ke dalam masyarakat, dan pengaruh perubahan cuaca atau mutasi terhadap populasi vektor.9Pelayanan Puskesmas

Sesuai strategi Indonesia sehat tahun 2010 dan kebutuhan pembangunan sektor kesehatan di era desentralisasi ini, Depkes Pusat sudah menetapkan visi dan misi Puskesmas. Visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas adalah terwujudnya Kecamatan Sehat 2010.5

Kecamatan sehat 2010 merupakan gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang hidup di lingkungan yang sehat dan perilaku hidup masyarakatnya juga sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan visi dan misi Puskesmas diperlukan analisis internal dan eksternal lingkungan Puskesmas.5

Untuk mewujudkan visi Kecamatan sehat 2010, setiap Puskesmas harus memanfaatkan kapasitas dan potensi Puskesmas secara potimal untuk kemudian dikembangkan secara bertahap untuk mewujudkan visi Puskesmas. Tiga misi yang harus diemban adalah: 1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan yakni pembangunan yang mampu menciptakan lingkunan sehat dan membentuk perilaku hidup sehat masyarakat; 2. Memberdayakan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan.; 3. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu yaitu komprehensif, holistik, terpadu antar program, dan berkesinambungan. Setiap Puskesmas menambah misi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dan lembaga di wilayah kerjanya. Sesuai misi tersebut diatas, Puskesmas mempunyai fungsi sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan, dan sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama.5Program kesehatan dasar Puskesmas yang dikembangkan di era desentralisasi ini lebih disederhanakan yang meliputi program: Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana, Perbaikan Gizi, Pemberantasan Penyakit Menular, dan Pengobatan Dasar. Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) menjadi titik berat dalam konteks DHF. Tujuan dari P2M adalah menemukan kasus penyakit menular sedini mungkin, dan mengurangi faktor risiko lingkungan masyarakat yang memudahkan terjadinya penyebaran penyakit menular di suatu wilayah, memberikan proteksi khusus kepada kelompok masyarakat tertentu agar terhindar dari penularan penyakit. Sasaran program ini adalah ibu hamil, balita, dan anak-anak sekolah untuk kegiatan imunisasi. Sasaran sekunder adalah lingkungan pemukiman masyarakat. Untuk pemberantasan penyakit menular tertentu, kelompok-kelompok tertentu masyarakat yang berperilaku risiko tinggi juga perlu dijadikan sasaran kegiatan P2M. Lingkup kegiatannya adalah surveilans epidemiologi, imunisasi, dan pemberantasan vektor.4Proses manajemen terdiri dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, aktuasi, dan pengawasan. Fungsi perencanaan adalah fungsi terpenting dalam manajemen karena akan menentukan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Tanpa fungsi perencanaan, tidak mungkin fungsi manajemen lainnya akan dapat dilaksanakan dengan baik. Perencanaan manajerial akan memberikan pola pandang secara menyeluruh terhadap semua pekerjaan yang dijalankan, siapa yang akan melakukan dan kapan akan dilakukan. Pengorganisasian adalah salah satu fungsi manajemen yang juga mempunyai peranan penting seperti halnya perencanaan. Melalui fungsi pengorganisasian, seluruh sumber daya yang dimikili oleh organisasi akan diatur penggunaannya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Fungsi aktuasi merupakan penggerak semua kegiatan program untuk mencapai tujuan program. Prinsip ini lebih menekankan pada bagaimana manajer mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Fungsi pengawasan dan pengendalian merupakan fungsi yang terakhir dari proses manajemen. Fungsi ini mempunyai kaitan erat dengan ketika ketiga fungsi manajemen lainnya, terutama dengan fungsi perencanaan. Melalui fungsi pengawasan dan pengendalian, standar keberhasilan suatu program yang dituangkan dalam bentuk target, prosedur kerja, dan sebagainya harus selalu dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai atau yang mampu dikerjakan oleh staf.4,5

Untuk melaksanakan usaha pokok Puskesmas secara efisien, efektif, produktif, dan berkualitas, pimpinan Puskesmas harus memahami dan menerapkan prinsip-prinsip manajemen. Manajemen bermanfaat untuk membantu pimpinan dan pelaksana program agar kegiatan program Puskesmas dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penerapan manajemen kesehatan di Puskesmas terdiri dari Micro Planning (MP) yaitu perencanaan tingkat Puskesmas. Pengembangan program Puskesmas selama lima tahun disusun dalam MP. Lokakarya Mini Puskesmas (LKMP) yaitu bentuk penjabaran MP ke dalam paket-paket kegiatan program yang dilaksanakan oleh staf, baik secara individu maupun berkelompok. LKMP dilaksanakan setiap tahun. Sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas (SP2TP) adalah kompilasi pencatatan program yang dilakukan secara terpadu setiap bulan. Stratifikasi Puskesmas merupakan kegiatan evaluasi program yang dilakukan setiap tahun untuk mengetahui pelaksanaan manajemen program Puskesmas secara menyeluruh. Penilaian dilakukan oleh tim dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Data-data SP2TP dimanfaatkan oleh Puskesmas untuk penilaian stratifikasi. Supervisi rutin oleh pimpinan Puskesmas dan rapat-rapat rutin untuk koordinasi dan memantau kegiatan program. Supervisi oleh pimpinan, monitoring dan evaluasi merupakan penjabaran fungsi manajemen (pengawasan dan pengendalian) di Puskesmas.4Program Pemberantasan DHF

Pemberantasan Aedes aegypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk memberantas DHF, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum ditersedia. Pemberantasan dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa atau jentiknya.6,10

Pemberantasan nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan-fogging) dengan insektisida yaitu: organofosfat misalnya malation, fenitrotion; piretroid sintetik, misalnya lamda sihalotrin, permetrin; karbamat.6,10

Pemberantasan jentik dikenal dengan istilah PSN (pemberantasan sarang nyamuk), dilakukan dengan cara kimia, biologi, dan fisik. Secara kimia, pemberantasan larva dilakukan dengan larvasida yang dikenal dengan istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos. Formulasi temefos yang digunakan ialah granules. Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram (+1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Abatisasi dengan temefos tersebut mempunyai efek residu 3 bulan. Secara biologis misalnya memelihara ikan pemakan jentik. Secara fisik, dikenal cara 3M (menguras, menutup, mengubur) yaitu menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum, dan lain-lain), serta mengubur atau memusnahkan barang bekas (seperti kaleng, ban, dan lain-lain). Pengurasan TPA perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu.6,10

Apabila PSN dilaksanakan seluruh masyarakat maka diharapkan nyamuk dapat terbasmi. Untuk itu diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara terus menerus dalam jangka waktu lama, karena keberadaan jentik nyamuk tersebut berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.6,10

Pengendalian nyamuk dilakukan dengan cara: 1. Perlindungan perseorangan untuk mencegah gigitan nyamuk yaitu memasang kawat kasa di lubang-lubang angin di atas jendela atau pintu, tidur dengan kelambu, penyemprotan dinding rumah dengan insektisida dan penggunaan repellent pada saat berkebun; 2. Pembuangan atau mengubur benda-benda di pekarangan atau di kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, botol, ban mobil, dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat perindukan Aedes aegypti (man made breeding places); 3. Mengganti air atau membersihkan tempat-tempat air secara teratur tiap minggu sekali, pot bunga, tempayan dan bak mandi; 4. Pemberian temefos ke dalam tempat penampungan air / penyimpanan air bersih; 5. Melakukan fogging dengan malation setidak-tidaknya 2 kali dengan jarak waktu setidak-tidaknya 10 hari di daerah yang terkena wabah di daerah endemi DHF; 6. Pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar masyarakat dapat memelihara kebersihan lingkungan dan turut secara perseorangan memusnahkan tempat-tempat perindukan Aedes aegypti di sekitar rumah.6,10Pemantauan kepadatan populasi Aedes aegypti merupakan hal yang penting sekali untuk meningkatkan kewaspadaan wabah DHF.6 Pengukuran kepadatan populasi dilakukan dengan cara survei larva. Pada survei larva semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiak Aedes aegypti diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya larva. Untuk memeriksa tempat penampungan air (TPA) yang berukuran besar seperti bak mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan lainnya, jika pada pandangan (penglihatan) pertama tidak ditemukan larva, tunggu kira-kira - 1 menit untuk memastikan bahwa larva benar tidak ada. Untuk memeriksa tempat berkembangbiak yang kecil seperti vas bunga dan botol air didalamnya perlu dipindahkan ke tempat lain, sedangkan untuk memeriksa larva di tempat yang agak gelap atau airnya keruh digunakan lampu senter. Survei larva dapat dilakukan dengan single larval method atau cara visual. Pada single larval method survei dilakukan dengan mengambil satu larva di setiap TPA lalu diidentifikasi. Bila hasil identifikasi menunjukkan Aedes aegypti maka seluruh larva yang ada dinyatakan sebagai larva Aedes aegypti. Pada cara visual, survei cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya larva di setiap TPA tanpa mengambil larvanya. Dalam program pemberantasan DBD survei larva yang biasa digunakan adalah cara visual. Ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti ialah: angka bebas jentik (ABJ), house index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah, sedangkan Breteau Index menunjukkan kepadatan dan penyebaran larva Aedes aegypti. Container index menggambarkan kepadatan nyamuk. Menurut WHO, House Index (HI) merupakan indikator yang paling banyak digunakan untuk memonitor tingkat infestasi nyamuk. Namun, parameter ini termasuk lemah dalam risiko penularan penyakit apabila tidak menghitung TPA atau kontainer dan data rumah yang positif dengan larva/jentik. Nilai HI menggambarkan persentase rumah yang positif untuk perkembangbiakan vektor sehingga dapat mencerminkan jumlah populasi yang berisiko. HI tidak memperhitungkan jumlah kontainer dengan nyamuk dewasa maupun produksi nyamuk dewasa dari kontainer tersebut. Bila suatu daerah mempunyai HI lebih dari 5% , daerah tersebut mempunyai risiko tinggi untuk penularan dengue. Bila HI kurang dari 5%, masih bisa dilakukan pencegahan untuk terjadinya infeksi virus dengue. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bila HI > 15% berarti daerah tersebut sudah ada kasus DBD. Semakin tinggi angka HI, berarti semakin tinggi kepadatan nyamuk, semakin tinggi pula risiko masyarakat di daerah tersebut untuk kontak dengan nyamuk dan juga untuk terinfeksi virus dengue. Nilai CI dapat digunakan sebagai alat pembanding yang penting dalam mengevaluasi program pengendalian vektor, tetapi tidak begitu berguna dari sisi epidemiologis. Nilai CI menggambarkan banyaknya kontainer yang positif dibandingkan dengan jumlah seluruh kontainer yang terdapat di suatu wilayah karena hanya mengungkapkan persentase tempat penampungan air (TPA) atau kontainer yang positif dengan larva/jentik perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. CI memberikan informasi mengenai proporsi kontainer yang berisi > 1 ekor nyamuk dewasa, tidak memperhitungkan variasi atau kepadatan nyamuk dewasa. Nilai BI menunjukkan hubungan antara kontainer yang positif dengan jumlah rumah. Indeks ini dianggap indeks yang paling baik, tetapi tidak mencerminkan jumlah larva/jentik dalam kontainer. Meskipun demikian, pada waktu pengumpulan data dasar untuk perhitungan BI akan didapatkan juga profil dan karakter habitat larva/jentik, dengan cara sekaligus mencatat jumlah dan potensi dari semua macam tipe kontainer. Secara umum, BI merupakan indikator yang paling baik dibandingkan dengan CI dan HI karena mengkombinasikan antara tempat tinggal dan kontainer. Oleh karena itu, BI mempunyai nilai signifikan epidemologis yang lebih besar. Nilai BI tinggi berarti masih ditemui jumlah rumah dengan kontainer positif jenisnya lebih dari satu kontainer. BI membentuk hubungan antara kontainer yang positif dan rumah, tetapi juga tidak dapat memperhitungkan nyamuk3,6,10

Rumus-rumusnya sebagai berikut:6Angka Bebas Jentik (ABJ) = House Index (HI) = Container Index (CI) = Breteau Index = Jumlah container berisi jentik dalam 100 rumah / bangunan.

Abate nama dagang sejenis pestisida, lengkapnya Abate 1 %. Pestidida ini tergolong dalam organofosfat yang disebut temefos, digunakan untuk pemberantasan larva, yaitu vector penyakit demam berdarah dengue. Abate tidak toksik terhadap mamalia tetapi sangat toksik terhadap larva nyamuk. Untuk tempat tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk abate ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali. Takaran penggunaan bubuk abate, untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram bubuk abate. Contoh : untuk 10 liter air, abate yang diperlukan = (100/10) x 1 gram = 10 gram abate.11Fogging

Nyamuk Aedes aegypti mempunyai jarak terbang dengan radius 100-200 meter. Sebenarnya, tidak efektif jika fogging hanya dilakukan pada rumah anda. Fogging juga kurang bermanfaat jika dilakukan hanya satu kali. Sesudah satu minggu, jentik nyamuk akan menetas kembali dan menyerang penderita baru. Oleh karena itu, minimum fogging dilakukan dua kali dengan selang satu minggu. Sangat baik hasilnya jika fogging dilakukan tiga kali dengan selang satu minggu dan tentu harus dilakukan pada area yang luas.12Promosi Kesehatan untuk DBD

Strategi Promosi Kesehatan

Menyadari rumitnya hakikat dari perilaku, maka perlu dilaksanakan strategi promosi kesehatan paripurna yang terdiri dari (1) pemberdayaan, yang didukung oleh (2) bina suasana dan (3) advokasi, serta dilandasi oleh semangat (4) kemitraan.2

Pemberdayaan adalah pemberian informasi dan pendampingan dalam mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan, guna membantu individu, keluarga atau kelompok-kelompok masyarakat menjalani tahap-tahap tahu, mau dan mampu mempraktikkan PHBS. Bina suasana adalah pembentukan suasana lingkungan sosial yang kondusif dan mendorong dipraktikkannya PHBS serta penciptaan panutan-panutan dalam mengadopsi PHBS dan melestarikannya. Sedangkan advokasi adalah pendekatan dan motivasi terhadap pihak-pihak tertentu yang diperhitungkan dapat mendukung keberhasilan pembinaan PHBS baik dari segi materi maupun non materi.2

Penyebarluasan Informasi Kesehatan

Materi Penyuluhan

Materi penyuluhan tentang pengertian, gejala, cara mencegah, serta cara menanggulangi DBD, termasuk didalamnya mengenai Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta informasi rujukan bagi penderita DBD.13Penyuluhan kesehatan jangan terbatas pada pemberitahuan pada masyarakat tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan melalui proses komunikasi vertical (dari atas ke bawah). Sebaliknya, penyuluhan kesehatan harus didasarkan pada penelitian yang formatif untuk mengidentifikasi apa yang penting bagi masyarakat dan harus dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu tingkat masyarakat, tingkat system, dan tingkat politik.14a. Tingkat masyarakat

Penduduk jangan hanya dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan tentang pengendalian vector, tetapi juga dengan materi pendidikan yang dapat memberikan mereka pengetahuan sehingga memungkinkan mereka menetukan pilihan kesehatan yang positif, dan memberi mereka kemampuan untuk bertindak secara mandiri dan bersama.

b. Tingkat Sistem

Untuk memungkinkan masyarakat dapat memobilisasi kegiatan di tingkat local dan sumber daya masyarakat di luar masyarakat mereka sendiri, yaitu di bidang kesehatan, pengembangan, dan layanan sosial.

c. Tingkat Politik

Harus tersedia mekanisme yang memungkinkan penduduk mengungkapkan dengan jelas prioritas kesehatan mereka kepada pihak pemerintah. Hal ini akan memfasilitasi penempatan program pengendalian vector ke dalam agenda kegiatan yang diprioritaskan dan secara efektif memberika ruang untuk kebijakan dan tindakan.

Metode penyuluhan yang dapat dilakukan, yaitu: Penyuluhan perorangan, seperti kunjungan rumah, pada saat melakukan pendataan kasus, maupun pada saat warga berkunjung ke Puskesmas. Penyuluhan kelompok, seperti pada saat pertemuan desa, forum pengajian atau majelis taklim, khotbah jumat, khotbah minggu, kunjungan Posyandu, pertemuan PKK, pertemuan Karang Taruna. Penyuluhan massa, dapat dilakukan pada saat digelarnya pesta rakyat, kesenian tradisional, pemutaran film, ceramah umum, tablig akbar. Selain itu, penyuluhan massa juga dapat dilakukan melalui pemasangan media massa seperti poster dan spanduk di tempat-tempat keramaian yang sesuai dengan kelompok sasaran (balai desa, Posyandu, Poskesdes, Puskesmas dan lain-lain).13Pemberdayaan dan Penggerakan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan satu dari tiga misi yang harus diemban puskesmas selain menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu. Masyarakat dan keluarga perlu dididik oleh staf Puskesmas tentang perilaku hidup sehat sehingga mereka lebih peka dengan masalah kesehatan yang potensial muncul di wilayahnya; mendidik keluarga dan masyarakat untuk hidup sehat, diarahkan agar mereka memanfaatkan semaksimal mungkin potensi yang ada di masyarakat. Untuk itu, program PKM dan konseling perlu lebih digalakkan oleh staf puskesmas. Keterampilan melakukan konseling dan pemasaran perlu lebih dilatih. Untuk memberdayakan masyarakat, Puskesmas dapat bekerja sama dengan LSM setempat yang peduli kesehatan.13-5Hal-hal yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat:13-51. Mengajak masyarakat untuk melakukan PHBS.

2. Mengajak masyarakat untuk melakukan pemeriksaan jentik nyamuk di lingkungan sekitar rumah maksimal 3 hari sekali.

3. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) minimal seminggu sekali di tatanan rumah tangga, tatanan sekolah, tatanan tempat-tempat umum, tatanan tempat kerja, dan tatanan institusi kesehatan.

4. Menjadikan anak sekolah sebagai agent of change.

5. Mengaktifkan Poskesdes.

6. Melakukan mobilisasi massa untuk bersama-sama mencegah dan menanggulangi DBD.

Pembinaan

Bina suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada (keluarga di rumah, orang yang menjadi panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama, dan lain-lain bahkan masyarakat umum) memiliki opini positif terhadap perilaku tersebut.15Terdapat tiga pendekatan bina suasana, antara lain:15a) Bina suasana individu ditujukan kepada individu-individu tokoh masyarakat. Dengan pendekatan ini diharapkan mereka akan menyebarkan opini yang positif terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan seperti gerakan 3M. Di samping itu diharapkan mereka juga bersedia memperkenalkan atau mau mempraktekkan perilaku yang sedang diperkenalkan tersebut (misal seorang pemuka agama rajin melakukan 3M yaitu menguras, mengubur dan menutup).15b) Bina suasana kelompok ditujukan kepada kelompok masyarakat seperti majelis pengajian, majelis gereja, organisasi pemuda, sekolah, tempat kerja dan lain-lain. Pendekatan ini dilakukan bersama tokoh masyarakat sehingga mereka peduli dan mau mendukung perubahan perilaku yang sedang diperkenalkan dan menyetujui untuk mempraktekkan perilaku yang sedang diperkenalkan yaitu 3M tersebut.15c) Bina suasana masyarakat umum dilakukan terhadap masyarakat umum dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi seperti radio, televisi, koran, majalah, situs internet dan lain-lain, sehingga dengan media komunikasi tersebut diharapkan media-media massa tersebut perduli dan mendukung perubahan perilaku yang diperkenalkan. Dengan demikian media massa tersebut dapat menjadi mitra dalam rangka penyebarluasan informasi dan akhirnya diharapkan terbentuklah sebuah opini publik yang positif terhadap perubahan perilaku baru yang diperkenalkan dan akhirnya mereka masyarakat mau melaksanakan perilaku baru tersebut dalam kehidupannya.15Advokasi

Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis atau terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Advokasi diarahkan untuk mendapatkan dukungan yang berupa kebijakan (misal dalam bentuk perundang-undangan), dana, sarana, dan lain-lain sejenisnya. Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintah dan penyandang dana pemerintah. juga dapat berupa tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan di bidangnya.15Kejadian Luar Biasa

KLB adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu. Tujuh kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) menurut Permenkes 1501 tahun 2010 yaitu:16a) Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah

b) Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama tiga kurun waktu dalm jam, hari, atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya

c) Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya

d) Jumlah penderita baru dalam periode wakti satu bulan menunjukan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya

e) Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama satu tahun menunjukan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian sakit per bulan pada tahun sebelumnya

f) Angka kematian kasus suatu penyakit (Case fatality rate) dalam satu kurun waktu tertentu menunjukan kenaikan 50% atau lebih dibandingkan dengan angka kematian suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama

g) Angka proporsi penyakit penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih daripada satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.16PenutupDHF merupakan penyakit yang sering terjadi di Indonesia. Karena itu perlu dilakukan pencegahan penyakit ini yaitu dengan melakukan pemberantasan terhadap vektor penyakitnya. Vektor DHF adalah nyamuk Aedes aegypti. Sebelum melakukan pemberantasan, perlu dilakukan pendekatan epidemiologi dan surveilans terlebih dahulu untuk mempelajari situasi yang terjadi di masyarakat.

Puskesmas adalah organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat dan memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Menurut Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II/2004 puskesmas merupakan Unit Pelayanan Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Pada program puskesmas dalam pemberantasan penyakit demam berdarah dengue, penting bagi para petugas puskesmas untuk melakukan pendekatan system dan membandingkan antara cakupan dengan target yang telah ditetapkan. Pemberantasan DBD dibandingkan dengan target variable yang dinilai: jumlah penderita DBD, insiden terjadinya DBD, CFR (Case Fatality Rate) DBD, pemeriksaan jentik berkala, kegiatan penyuluhan DBD, pemberantasan vector yaitu: kegiatan fogging, abatisasi dan gerakan 3M/ gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Program tersebut harus tepat pada sasaran sehingga pemberantasan DHF dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.Daftar Pustaka1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 2773.

2. Widoyono. Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan & pemberantasan. Jakarta: Erlangga; 2008. h. 60-7.3. Sunaryo, Pramestuti N. Surveiland Aedes aegepty Di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue. Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 20144. Kalra NL. Panduan lengkap pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah dengue. Jakarta: EGC; 2005.h.1-12

5. Muninjaya AAG. Manajemen kesehatan. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.

6. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. h. 265.

7. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas. Jakarta: EGC; 2009. h. 33

8. Arias KM. Investigasi dan pengendalian wabah di fasilitas pelayanan kesehatan. Jakarta: EGC; 2010. h. 26.

9. Mubarak WI, Chayatin N. Ilmu kesehatan masyarakat: teori dan aplikasi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2009. 10. Nadesul H. Cara mudah mengalahkan demam berdarah. Jakarta: Kompas; 2007.h.37-38.11. Anies. SLP: Manajemen berbasis lingkungan. Jakarta : PT Elex Media Komputindo; 2006.h.69.

12. Satari HI. Demam berdarah : perawatan di rumah & rumah sakit. Jakarta : Puspa Swara; 2008.h.58.

13. Sulistyowati LS. Promosi kesehatan di daerah bermasalah kesehatan, panduan bagi petugas kesehatan di puskesmas. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2011.h.88-92

14. Makhfudli, Efendi F. Keperawatan kesehatan komunitas. Jakarta: Salemba Medika; 2009.h.135-138. 15. Karmila. Peran Keluarga Dan Petugas Puskesmas Terhadap Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Sumatera Utara : USU, 2008. h. 34-6.16. Berita Negara Republik Indonesia. http://peraturan.go.id/inc/view/11e44c50c74f 42e0a8 00313233303535.html. Diunduh 5 Juli 2015Program Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di PuskesmasPage 21