makalah blok 26 lepra
DESCRIPTION
lepra blok 26TRANSCRIPT
Kedokteran Keluarga Terhadap Penyakit
KustaMichaela Vania Tanujaya 10.2010.175
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat
Email : [email protected]
Pendahuluan
Sehat merupakan kehendak semua orang baik itu perorangan atau kelompok,
bahkan masyarakat. Menurut UU No.23 tahun 1992, sehat adalah keadaan sejahtera
dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara
social dan ekonomi.1
Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat banyak upaya yang harus
dilaksanakan. Salah satu diantaranya yang dipandang mempunyai peranan yang cukup
penting adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan menurut Blum. Pelayanan
kesehatan diartikan sebagai upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama–
sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan,
mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan,
keluarga, kelompok, dan ataupun masyarakat.
Pelayanan kesehatan dibagi menjadi dua, yaitu pelayanan kesehatan personal
(personal health services) dan pelayanan kesehatan lingkungan (environmental health
service) atau sering juga disebut sebagai pelayanan kesehatan masyarakat (public
health services). Pelayanan kesehatan kedokteran lebih mengutamakan pelayanan
dalam menyembuhkan penyakit (curative) dan memulihkan kesehatan
(rehabilitative), sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat mengutamakan
pelayanan meningkatkan kesehatan (promotive) dan mencegah penyakit
(preventive).1,2
1
Yang menjadi sasaran kedua bentuk pelayanan kesehatan ini adalah
perseorangan dan keluarga untuk pelayanan kedokteran. Dan kelompok-masyarakat
untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kedokteran yang sasaran utamanya
adalah keluarga disebut dengan nama pelayanan dokter keluarga (family practice).
LATAR BELAKANG SEJARAH
Penyakit kusta didunia dapat dibagi dalam :
1. Zaman Purbakala
Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun SM, hal ini dapat
diketahui dari peninggalan sejarah di mesir, di india 1400 tahun SM istilah sudah
dikenal di dalam kitab weda, di tiongkok 600 tahun SM, di Mesopotamia 400 tahun
SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan karena
penderita merasa rendah diri dan malu dan masyarakat merasa jijik dan takut.
2. Zaman pertengahan
Kira-kira setelah abad ke 13 di eropa dengan adanya keteraturan
ketatanegaraan dan system feudal yang berlaku dumana masyarakat sangat patuh dan
takut terhadap penguasa dan tidak ada hak azasi manusia. Demikian pula yang terjadi
pada penderita penyakit kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada
waktu itu pula penyebab penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita
kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksakan kedalam leprosaria/koloni perkampungan
penderita kusta yang tidak adakan keluar lagi dari tempat tersebut.
3. Zaman modern
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H Hansen pada tahun 1873 maka
mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha
penangulangannya. Di Indonesia program pemberantasan penyakit kusta dipelapori
oleh Dr.Sitanala, system pengobatan penderita yang tadinya dilakukan secara isolasi
secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan. Tahun 1941 obat dapsone
diketemukan dan mulai dipakai di Indonesia pada tahun 1950an dan berikutnya obat-
obat ciba 1966. Lampren dan rifampicin telah digunakan dalam pengobatan jalan.
Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :
Pada tahun 1951, DDS digunakan sebagai pengobatan pasien kusta.
2
Pada tahun 1969 emberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di
Puskesmas.
Sejak tahun 1982 indonesia mulai menggunakan obat kombinasi Multi Drug
Therapy (MDT) sesuai rekomendasi WHO untuk tipe MB 24 dosis dan PB 6
dosis.
Padala tahun 1988 dengan MDT dilaksanakan diseluruh Indonesia.
Pada tahun 1997, pengobatan MDT tipe MB diberikan 12 dosis dan PB 6 dosis
sesuai rekomendasi WHO.
Kusta
Kusta (lepra) merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.3 Penyakit ini endemis dibanyak negara di Asia, Afrika, Kepulauan
Pasifik, Amerika Latin, selatan Eropa, dan Timur Tengah. Deformitas yang
terbentuk berlanjut setelah infeksi menjadi inaktif dan pasiennya tidak lagi
infeksius.4
Etiologi4
Organisme ini dapat ditemukan di jaringan menggunakan pewarnaan tahan
asam yang sudah di modifikasi (pewarnaan Fite-Faraco). Bakteri ini diidentifikasi
di tahun 1873 oleh Gerhard Henrik Armauer Hansen, tapi belum sukses dibiakkan
secara in vitro. M.leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 μm x 0,5 μm, tahan
asam dan alcohol serta positif-Gram.3 M.leprae mempunyai siklus replikasi yang
lambat: hanya membelah setiap 10-12 hari. Organisme ini bereplikasi di bantalan
kaki tikus, di tikus yang sudah ditimektomi, beberapa jenis tikus lainnya, the nine-
banded armadillo, dan di beberapa spesies primata selain manusia. Analisa
genetik sudah mengidentifikasi 4 subtipe M.leprae.
3
EPIDEMIOLOGI
Mungkin di dunia ini terdapat 10 hingga 20 juta orang yang terinfeksi lepra. Penyakit
ini lebih sering di Negara-negara tropis , yang banyak diantaranya memiliki angka prevelensi
1-2% populasi. Lingkungan yang hangat tidak terlalu penting untuk penularannya dan lepra
juga terjadi pada daerah tertentu dengan iklim yang lebih dingin, seperti korea dan meksiko
tengah. Penyebaran individu yang terinfeksi di Negara-negara sangat tidak homogeny, dan
dapat ditemukan di wilayah yang 20% populasinya terinfeksi. Penyebaran kasus melewati
spectrum lepra juga beragam antara Negara, dengan penyakit lepromatosa yang dominan pada
beberapa Negara, seperti meksiko dan penyakit tuberkuloid di Negara lainnya, seperti india.
Sembilan puluh persen kasus yang di diagnosis di amerika serikat pada dua dasawarsa yang
lalu terjadi pada imigran dari daerah endemic-lepra. Di amerika serikat telah turun dari
puncaknya 360 kasus pada tahun 1985, yang berkaitan dengan masuknya imigran dari asia
tenggara, menjadi 139 kasus pada tahun 1991.
Lepra dapat menyerang semua umur, walaupun kasus pada bayi yang berusia kurang
dari 1 tahun sangat jarang. Insiden spesifik usia memuncak selama masa kanak-kanak
sebagaian besar Negara berkembang sampai 20% kasus terjadi pada anak dibawah usia 10
tahun. Karena lepra paling banyak di dapati pada kelompok social ekonomi lemah. Hal ini
dapat secara sederhana mencerminkan penyebaran usia pada populasi resiko tinggi. . rasio
jenis kelamin penyakit lepra yang tampak pada masa kanak-kanak adalah 1:1, tetapi laki-laki
lebih menonjol dengan rasio pada orang dewasa sebesar 2:1.
Dengan sederhana kita menyadari betapa sedikitnya yang diketahui tentang cara
penularan dan terkenanya lepra. Mengingat sifat infeksi yang dapat menular telah diketahui
selama ribuan tahun dan bahwa agen etiologinya telah diidentifikasikan selama lebih dari 100
tahun yang lalu. Penularan langsung manusia kemanusi dipercaya berperan pada kebanyakan
kasus lepra, walaupun pada anamnesis kurang dari separuh pasien dapat disingkirkan kontak
sebelumnya. Reservoir hewan terdapat diantara armadillo liar dan mungkin diantara primate
nonmanusia, tetapi hanya pada sedikit kasus manusia yang melibatkan penularan secara
zoonosis. Diantara pasien lepromatosa yang tidak diobati yang terdapat kontak keluarga erat.
Resiko penyakit meningkat sekitar delapan kali , dan angka penyerangan penyakit dapat
setinggi 10%. Timbulnya penyakit klinis pada kontak dengan pasien tuberkuloid lebih jarang,
walaupun uji imunologik mengesankan kebanyakan kontak ini telah tersensitisasi dengan
M.leprae. tempat masuknya kuman masih diduga-duga, tetapi mungkin kulit atau mukosa
saluran nafas atas. Jalan keluar utama yang diperkirakan adalah mukosa hidung pada pasien
4
lepromatosa yang tidak diobati. Masa inkubasi seringkali 3-5 tahun tetapi telah dilaporkan
bahwa masa inkubasi ini berkisar 6 bulan hingga beberapa daswarsa.
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari distribusi frekuensi dan faktor-faktor yang
menentukan kejadiaan penyakit yang berhubungan dengan masalah kesehatan pada
masyarakat dan aplikasinya dengan pengendalian masalah.
Timbulnya penyakit merupakan suatu interaksi antara berbagai faktor penyebab yaitu:
penjamu (host), kuman (agent), dan lingkungan (environment), melalui suatu proses yang
dikenal sebagai rantai penularan yang terdiri dari 6 komponen yaitu:
1. Penyebab
2. Sumber penularan
3. Cara keluar dari sumber penularan
4. Cara penularan
5. Cara masuk ke penjamu
6. Penjamu
Dengan mengetahui proses terjadinya infeksi atau rantai penularan penyakit maka intervensi
yang sesuai dapat dilakukan untuk memutuskan mata rantai penularan tersebut.
Epidemiologi penyakit kusta
1. Distribusi penyakit kusta menurut geografi
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor di
WHO pada awal tahun 2012. Jumlah kasus baru kasus baru kusta di dunia pada tahun
Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika (36.832), regional Afrika (12.673), dan
sisanya berada di regional lain di dunia.
Tabel 1. Situasi Kusta menurut regional WHO pada awal tahun 2012 ( diluar regional Eropa).
Regional WHO Jumlah kasus baru yang
ditemukan
( case detection rate)
Jumlah kasus kusta terdaftar
(prevelensi) awal tahun 2012
Afrika 12.673 (3,14) 15.006 (0,37)
5
Amerika 36.832 (4,18) 34.801 (0,40)
Asia Tenggara 160.132 (8,75) 117.147 (0,64)
Mediterania Timur 4.346 (0,17) 7.368 (0,12)
Pasifik Barat 5.092 (0,3) 7.619 (0,05)
Total 219.075 (4,06) 181.941 (0,34)
a. pravelence rate terlihay dalam tanda kurung per 10.000 penduduk
b. case detection rate dalam tanda kurung per 100.000 penduduk
sementara itu di regional Asia Tenggara distribusi kasus kusta bervariasi berdasarkan
penemuan kasus baru dan prevelensi seperti terlihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel 2. Situasi Kusta di Wilayah WHO-SEARO pada Tahun 2011.
Negara Jumlah kasus baru yang
ditemukan
( case detection rate)
Jumlah kasus kusta terdaftar
(prevelensi
Bangladesh 3.970 3.300
Bhutan 23 29
Korea Utara Data tidak tersedia Data tidak tersedia
India 127.295 83.187
Indonesia 20.032 23.169
Maladewa 14 2
myanmar 3.082 2.735
Nepal 3.184 2.410
Srilanka 2.178 1.565
Thailand 280 678
Timor leste 83 72
6
Total 160.132 117.147
2. Distribusi menurut waktu
Seperti terlihat pada tabel dibawah, ada 17 negara yang melaporkan 1000
atau lebih kasus baru selama tahun 2011. Delapan belas Negara ini mempunyai
kontribusi 94% dari seluruh kasus baru di dunia. Pada tahun ini sudah terbagi dua
yaitu sudan dan sudan selatan. Dari tabel ini terlihat bahwa secara glonal terjadi
penurunan penemuan kasus baru, akan tetapi beberapa Negara seperti india,
Indonesia, Myanmar, srilanka menunjukkan peningkatan deteksi kasus baru.
Tabel 3. Penemuan kasus baru pada 17 negara yang melaporkan >1000 kasus selama tahun 2011
dibandingkan dengan tahun 2004 sampai dengan 2010.
Negara 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Angola 2.109 1.877 1.078 1.269 1.184 937 1.076 508
bangladesh 8.242 7.882 6.280 5.375 5.249 5.239 3.848 3.970
Brazil 49.384 38.410 44.463 39.125 37.610 37.610 34.894 33.955
China 1.499 1.658 1.560 1.526 1.597 1.597 1.324 1.144
D.R.Congo 11.781 10.369 8.257 8.820 6.114 5.062 5.049 3.949
India 260.06
3
169.70
9
139.25
2
137.68
5
134.18
4
133.71
7
126.80
0
127.29
5
Etiopia 4.787 4.698 4.092 4.187 4.170 4.417 4.430 N/A
Indonesia 16.549 19.695 17.682 17.723 17.441 17.260 17.012 20.032
Madagaskar 3.710 2.709 1.536 1.644 1.763 1.572 1.520 1.571
Mozambiqu
e
4.266 5.371 3.637 2.510 1.313 1.191 1.207 1.097
Myanmar 3.748 3.571 3.721 3.637 3.365 3.147 2.936 3.082
Nepal 6.958 6.150 4.235 4.436 4.708 4.394 3.118 3.184
nigeria 5.276 5.024 3.544 4.665 4.899 4.219 3.193 NA
7
Filipina 2.254 3.130 2.517 2.514 2.373 1.795 2.041 1.818
Srilanka 1.995 1.924 1.993 2.024 1.979 1.875 2.027 2.178
sudan 722 720 884 1.706 1.901 2.100 2.394 706
Sudan
selatan
-- -- -- -- -- -- -- 1.799
tanzania 5.190 4.237 3.450 3.105 3.276 2.654 2.349 NA
Total 388.53
3
287.13
4
248.10
0
241.93
3
234.44
7
228.78
6
215.93
8
206.28
5
% dari
seluruh di
dunia
95 96 93 94 94 93 95 94
Total dunia 407.79
1
299.03
6
265.66
1
258.13
3
249.00
7
244.79
6
228.47
4
219.07
5
3. Distribusi menurut faktor manusia
Etnik dan suku
Dalam satu Negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya, didapatkan
bahwa faktor etnik mempengaruhi distribusi tipe kusta. Di Myanmar kejadian
kusta leptromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan
etnik india. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian kusta
leptromatosa lebih banyak pada etnik cina dibandingkan etnik melayu atau india.
Faktor social ekonomi
Faktor social ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti pada
Negara-negara di eropa. Dengan adanya peningkatan socialekonomi, maka kejadian
kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta yang masuk dari Negara lain
ternayata tidak menularkan kepada orang yang social ekonominya tinggi.
Distribusi menurut umur
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut
umurberdasarkan prevelensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat
8
timbulnya penyakit sangat sulit diketahui.dengan kata lain kejadian penyakit sering
terkaitpada umur saat ditemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Kusta diketahui
terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai usia lanjut (3minggu sampai lebih
dari 70 tahun).namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif.
Distribusi menurut jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan, sebagian
besar Negara di dunia kecuali di beberapa Negara di afrika menunjukan bahwa laki-
laki lebih banyak terserang dari pada perempuan
Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan
dan social budaya. Pada pkebudayaan tertentu akses perempuan ke layanan kesehatan sangat
terbatas.
Faktor-faktor yang menentukan terjadinya kusta
1. Penyebab
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae, untuk pertama kali
ditemukan oleh G.H.Armauer Hansen pada tahun 1873. M.leprae hidup intraseluler
dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (schwan cell) dan sel dari sistem
retikulo endothelial. Waktu pembelahannya sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar
tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari secret nasal dapat bertahan
sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 270-
300C.
2. Sumber penularan
Sampai saat inihanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpase dan pada telapak kaki
tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus (athymic nude mouse).
3. Cara keluar dari penjamu (tuan rumah= host)
Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Telah terbukti bahwa
saluran napas bagan atas dari pasien tipe lepromatosa merupakan sumber kuman.
4. Cara penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Akan tetapi dapat juga
bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M.leprae yang utuh (hidup) keluar dari
tubuh pasien dan masuk kedalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini dapat
terjadi dengan cara kontak yang lama dengan pasien. Pasien yang sudah minum obat
MDT tidak menjadi sumber penularan ke orang lain.
9
5. Cara masuk kedalam penjamu
Menurut teori cara masuknya kuman kedalam tubuh adalah melalui salauran
pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit.
6. Penjamu
Hanya sedikit orang yang terjangkit kusta setelah kontak dengan pasien kusta, hal
ini disebabkan adanya kekebalan tubuh. M.leprae termasuk kuman obligat
intraselular sehingga sistem kekebalan yang berperan adalah sistem kekebalan
seluler. Faktor fisiologi seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan
mulnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
Sebagian besar 95% manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian kecil yang dapat
ditulari (5%). Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan
hanya 30% yang menjadi sakit.
Seorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok
berikut ini , yaitu:
Pejamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi merupakan eklompok
terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.
Penjamu yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila
menderita penyakit kusta biasanya tipe PB.
Penjamu yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang
merupakan kelompok terkecil, bila menderita kusta biasanya tipe MB.
Faktor Ekternal.
A. Kepadatan hunian
Penularan penyakit kusta bisa melalui droplet infeksi atau melalui udara, dengan
penghuni yang padat maka akan mempengaruhi kualitas udara, hingga bila ada
anggota keluarga yang menderita kusta maka anggota yang lain akan rentan tertular
namun kuman kusta akan inaktif bila terkena cahaya matahari, sinar ultra violet yang
dapat merusak dan mematikan kuman kusta. Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh
Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan di bagi jumlah penghuni
minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan
lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur , kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
10
Kondisi rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh terhadap
status kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah harus
memperhatikan persyaratan sebagai berikut :
1). Bahan bangunan memenuhi syarat :
a).Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim
hujan, karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit.
b).Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi
kurang lebih baik dari papan .
c).Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes
tidakcocok
untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas
di dalam rumah.
2).Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas Lantai,
karena ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap
dalam kelembaban (humidity) yang optimum . Kelembaban yang optimal (sehat )
adalah sekitar 40 – 70 % kelembaban yang lebih dari 70 % akan berpengaruh terhadap
kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara didalam ruangan naik terjadinya
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan . Kelembaban yang tinggi akan
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri patogen(bakteri penyebab
penyakit).
3).Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya Matahari ini
dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu udara yang ideal
didalam rumah adalah 18–30°C.Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi,
Mycobacterium Leprae tumbuh optimal pada suhu37°C.Paparan sinar matahari
selama 5 menit dapat membunuh Mycobacterium Leprae.Bacteri ini tahan hidup pada
tempat gelap, sehingga perkembangan bacteri lebih banyak dirumah yang gelap.
4).Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai
dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan
penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ) .Rumah yang terlalu padat
penghuninya tidak sehat , sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O²
juga bila salah satu anggota keluarganya ada yang sakit infeksi akanmudah menular
kepada anggota keluarga yang lain.Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah
11
kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni ( sleeping density) dinyatakan baik bila
kepadatan lebih atau sama dengan 0,7; cukup bila kepadatan antara 0,5–0,7; dan
kurang bila kepadatan kurang dari 0,5. Didaerah pantura kabupaten Pekalongan
tingkat kepadatan hunian lebih tinggi dibanding bagian selatan sehingga angka
prevalensi lebih besar
B.Perilaku
Pengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan respon atau reaksi seseorang
tehadap stimulus ( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku terjadi melalui
proses :
Stimulus – Organisme - Respons, sehingga teori Skiner disebut juga teori _ SO- R
_Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan ( health behavior ) menurut Skiner adalah
Respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sehat-sakit,
penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit ( kesehatan) seperti
lingkungan, makanan dan minuman yang tidak sehat, dan pelayanan kesehatan .
Secara garis besar perilaku kesehatan dibagi dua, yakni :
1).Perilaku sehat (healty behavior )
Yang mencakup perilaku-perilaku(overt dan covert behavior )dalam mencegah
penyakit ( perilaku preventif ) dan perilaku dalam mengupayakan peningkatan
kesehatan ( perilaku promotif ), contoh: Makan makanan bergizi, olah raga teratur,
mandi pakai sabun mandi, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, tidak memakai
handuk atau pakaian secara bergantian, bila ada kelainan dikulit seperti panu atau
bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas
atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih
mudah disembuhkan dari pada yang sudah terlambat datang, karena kebanyakan
pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih sulit dan resiko cacat
lebih besar.
2).Perilaku orang yang sakit (health seeking behavior ), perilaku ini mencakup
tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah untuk memperoleh
kesembuhan, misalnya pelayanan kesehatan tradisional seperti : dukun, sinshe, atau
paranormal, maupun pelayanan modern atau professional seperti : RS, Puskesmas,
Dokter dan sebagainya( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 ). Becker ( 1979 ) membuat
klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membagi menjadi tiga, yakni :
12
1. Perilaku Sehat (healhty behavior)
Perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan, misalnya :
a.Menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun mandi.
b. tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, karena akan
menyebabkan bermacam-macam kelainan kulit termasuk kusta.
c.Bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak
gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan
barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan.
d.Makan makanan bergizi, teratur berolahraga serta cukup istirahat.
e.Perilaku dan gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan.
2. Perilaku Sakit(illness behavior)
Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang untuk
mencari penyembuhan , misal ke Puskesmas, RS dan sebagainya.
3. Perilaku peran orang sakit(the sick role behavior)
Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran(roles), yang mencakup
hak-haknya(rights), dan kewajiban sebagai seorang sakit(obligation).
Menurut Becker Perilaku peran orang sakit ini antara lain :
a.Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b.Tindakan untuk mengenal dan atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk
memperoleh kesembuhan.
c.Melakukan kewajiban sebagai pasien untuk mematuhi nasihat dokter/perawat .
d.Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhan ( Soekidjo
Notoatmodjo, 2010 ).
C. Sosial Ekonomi
Menurut WHO(2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan
menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu
masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya
rendah. Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi
kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan
13
mempunyai daya beli yang dapat di gunakan untuk menjamin ketahanan pangan
keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat
tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli
kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akan terganggu
Transmisi
M.leprae dipercaya ditularkan melalui orang ke orang dengan kontak dekat. Tetapi,
masih diperdebatkan bagaimana transmisi yang sebenarnya terjadi. Hanya 15-30%
pasien dengan gejala klinik lepra yang hidup di area endemik mempunyai riwayat
kontak dekat dengan orang dan barang-barang rumah tangga orang yang terkena
lepra. Bagaimanapun karena masa inkubasi yang panjang dan indolen, pajanan ini
sulit dikenali.
Kebalikannya dengan tuberkulosis, tempat primer infeksi di traktus
respiratorius belum pernah didokumentasikan. Akan tetapi banyak ahli percaya bahwa
infeksi terbanyak ditularkan melalui kontak dengan sekresi hidung. Akhir-akhir ini
peneliti menggunakan PCR untuk mengamplifikasi M.leprae, mengkonfirmasi
kehadiran organisme di sekret hidung dan peralatan rumah tangga kasus-kasus lepra.
Kebalikannya dengan penemuan ini, organisme tidak ditemukan di epidermis
dari kulit yang intak, walaupun dapat ditemukan di lesi ulserasi, biasanya jauh lebih
rendah jumlahnya daripada yang ditemukan di sekret hidung. Organisme ini juga
ditemukan dalam konsentrasi tinggi didalam darah pada kasus lepra dan di ASI
pasien dengan penyakit aktif. Beberapa peneliti berspekulasi bahwa M.leprae
mungkin infeksius oleh kontak kulit langsung. Kemunculan paling umum dari lesi
inisial lepra pada kulit yang terekspos kadang di ambil sebagai bukti untuk jalan
masuk organisme. Bagaimanapun, karena organisme ini diketahui tumbuh lebih baik
pada kulit yang terekspos dan suhunya lebih rendah, dapat mempengaruhi distribusi
dari lesi pada kondisi tersebut. Ada beberapa laporan tentang inokulasi M.leprae
melalui injeksi tato dan BCG, yang mengarah pada gejala klinik lepra di tempat
inokulasi beberapa tahun kemudian.
Reservoir
14
M.leprae hidup dapat ditemukan dari serangga seperti nyamuk dan kutu busuk yang
habis menghisap darah dari pasien lepra, akan tetapi transmisi melalui serangga tidak
penting. Organisme juga bisa masuk melalui traktus digestivus, akan tetapi tidak ada
bukti dari jalan masuk ini yang sudah dipublikasikan.
Manusia yang infeksius hampir pasti merupakan satu-satunya reservoir
M.leprae untuk infeksi manusia. Bagaimanapun ada laporan tentang isolasi dari
mycobacteria yang menyerupai M.leprae dari beberapa unsur alam, termasuk tanah,
lumut, dan duri; dan juga infeksi lepra endemik pada armadillo liar.
Prevalensi dan Insidensi
Prevalensi dari lepra bervariasi sekitar 0,01-2,0% di daerah endemis. Walaupun lepra
dapat timbul di bayi dan anak-anak, sangat jarang terjadi dibawah usia 7 tahun; hal
ini disebabkan karena periode inkubasi yang panjang antara pajanan dan onset dari
gejala klinis. Periode inkubasi diperkirakan melalui personel milliter dan misionaris
yang kembali dari daerah endemis. Data ini mengidentifikasikan bahwa periode
inkubasi lebih panjang untuk lepra (8-12 tahun) daripada tuberkulosis (2-5 tahun).
Melalui penelitian ini, dapat diperkirakan bahwa hanya sekitar 5% populasi orang
dewasa yang rentan.
Insidens puncak dari lepra antara 10-29 tahun. Kasus baru terjadi 5-10 kali
lebih tinggi pada orang yang mempunyai kontak dekat dalam rumah tangga.
Kecepatan insidensi lepra jarang melebihi 2/1000 orang pertahun, kecuali pada orang
yang berkontak dekat dengan kasus aktif. Penelitian prospektif di Malawi yang
terakhir menemukan insidens sekitar 1,2/1000 per tahun dan sedikit lebih tinggi pada
orang yang belum mendapatkan vaksinasi BCG.
Lingkungan yang padat dan status ekonomi populasi yang rendah adalah
faktor penting transmisi M.leprae dan perkembangan gejala klinisnya. Penelitian
prospektif di Malawi yang terakhir menemukan bahwa insidens lepra lebih rendah
pada orang yang tidak tinggal didaerah padat dan mempunyai level edukasi yang
lebih tinggi. Meningkatkan standar kehidupan mungkin berperan penting dalam
hilangnya lepra dari beberapa negara, seperti Norwegia, dimana lepra endemis pada
abad 19 dan awal abad 20.
15
Mungkin kerentanan genetik merupakan salah satu faktor penting yang
berkontribusi pada resiko dan tipe lepra yang timbul setelah pajanan. Beberapa
penelitian tentang distribusi human lymphocyte antigen (HLA) pada pasien lepra
ditemukan asosiasi yang signifikan dengan haplotipe HLA yang pasti. Beberapa
penelitian mengubungkan kerentanan lepra dengan gen NRAMP1.
Tergantung pada lokasi geografisnya, proporsi dari kasus lepra multibasiler
dan pausibasiler pada populasi berbeda sangat bervariasi. Proporsi yang tinggi dari
kasus tipe lepromatosa di temukan pada Asia Tenggara daripada Afrika, dimana
kebanyakan kasusnya bertipe tuberkuloid. Apakah perbedaan ini disebabkan karena
perbedaan host (seperti faktor genetik atau nutrisi), faktor epidemiologi yang
mempengaruhi rute atau umur saat pajanan, ukuran dari inokulum, atau karena
perbedaan strain dari M.leprae di area berbeda di dunia belum diketahui.
Bagaimanapun strain M.leprae, hanya punya sedikit perbedaan genetik.
Ketidakmampuan untuk mengkultur organisme dan kurangnya model binatang yang
baik yang mengembangkan penyakit yang mirip dengan yang ada di manusia telah
menghalangi investigasi dari pertanyaan ilmiah yang penting tadi.
Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi
kusta sebagai program kesehatan msyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan
prevalensi kusta menjadi dibawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini
dikenal sebagai Eliminasi Kusta Tahun 2000 (EKT 2000). Jumlah kasus kusta di
seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar
negara atau wilayah endemis.4 Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009
tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus
baru tahun 2008 baru tercatat 249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat
akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668
orang. Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di pulau Jawa, Sulawesi,
Maluku dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73.3
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat
terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas.Penderita kusta bukan menderita karena
penyakitnya saja tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat
kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan
16
sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anestetik
disertai paralisis dan atrofi otot.3
Gejala Klinis3
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling
sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan
dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang
hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan
agar dapat menetapkan terapi yang sesuai. Bila kuman M.leprae masuk kedalam
tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut.
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS
baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa.
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau bentuk yaitu :
TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: Tuberkuloid indefinite
BT: Bordeline tuberkuloid
BB: Mid borderline
BL: Borderline lepromatous
Li: Lepromatosa indefinite
LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spectrum. TT adalah tipe
tuberculoid polar yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah
lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti
17
campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri
atas 50% tuberculoid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah
tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun kearah LL.
Table 1. Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO (1995)
PB (TT, BT, I) MB (LL, BL, BB)
1. Lesi kulit
(macula datar,
papul yang
meniggi,
nodus)
- 1-5 lesi
- Hipopigmentasi/eritema
- Distribusi tidak simetris
- Hilangnya sensasi yang
jelas
- >5 lesi
- Distribusi lebih
simetris
- Hilangnya
sensasi kurang
jelas
2. Kerusakan
saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi atau
kelemahan
otot yang
dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)
- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang
saraf
Sumber: Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: FKUI,2010.h.77.
Penunjang Diagnosis
pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)Pemeriksaan bakteriskopik digunakan untuk membantu diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan
kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam
18
(BTA), antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M.leprae.3
Pemeriksaan HistopatologikMakrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel
glia dari otak dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah
melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M.leprae) masuk, akibatnya akan
bergantung pada SIS orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu
memfagosit M.leprae. datangnya histiosit ke tempat kuman disebakan oleh proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak
ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid
yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menhancurkan
M.leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembangbiak dan
disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasan.3
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan sarafnya lebih nyata,
tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat
kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung
dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan
banyak kuman. Pada tipe borderline terdapat unsur-unsur campuran tersebut.3
1. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibody pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibody yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M.leprae yaitu antibody anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1)
dan antibody antiprotein 16 kD serta 35 kD.3
Kegiatan Program Kusta
19
1. Tatalaksana Pasien
No Kegiatan Kabupaten/ kota
Beban rendah Beban tinggi
Puskesmas
non PRK
PRK/RSUD WASOR Semua
puskesmas
Pelayanan pasien
1. Penemuan Suspek + + + +
2. Diagnosis - + + +
3. Penentuan regimen dan
mulai pengobatan
+ + +
4. Pemantauan
pengobatan
+ + + +
5. Pemeriksaan kontak + + + +
6. Konfirmasi kontak + + +
7. Diagnosis &
pengobatan reaksi
+ + +
8. Penentuan dan
penanganan reaksi
+ + +
9. Pemantauan
pengobatan reaksi
+ + + +
10. POD & perawatan diri +/- + + +
11. Penyuluhan perorang + + + +
Pendukung
pelayanan
12. Stok MDT + + +
13. Pengisian kartu pasien + + + +
20
14. Register kohort pasien + + +
15. Pelaporan + + +
16. Penanggung jawaban
program
+ +
2. Tatalaksana Program
No Kegiatan Kabupaten / kota Propinsi Pusat
Beban tinggi Beban
rendah
1. Rapid Village Survey + + +
2. Intensifikasi
pemeriksaan kontak
serumah & lingkungan
+ +
3. Pemeriksaan
laboratorium pada
pasien dengan
diagnosis meragukan
+ + +
4. Penyuluhan, advokasi + + + +
5. Pelatihan petugas
puskesmas dan RS
+ +
6. Pelatihan Wasor
kabupaten, propinsi
+
7. Supervisi + + + +
8. Pencatatan &
pelaporan
+ + + +
9. Monitoring dan + + + +
21
evaluasi
10. Stock logistik MDT + + + +
11. Rehabilitasi medic
social ekonomi
+ + + +
12. Seminar dengan FK/
perdoski
+ +
13. Seminar dengan
sekolah calontenaga
kesehatan lain
+ + + +
3. Catatan khusus untuk daerah beban rendah
a) Penemuan pasien (case finding)
Penemuan pasien dilaksanakan secara pasif, diikuti dengan penanganan
daerah focus yaitu pemeriksaan kontak keluarga dan tetangga. Bila
diperlukan dapat dilakukan kegiatan penemuan aktif lainnya.
b) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan oleh petugas PRK/RSUD/Wasor. Bila puskesmas non
PRK menemukan suspek, harus dirujuk ke PRK/RSUD/Wasoruntuk
konfirmasi diagnosis, atau sebaliknya. Konfirmasi diagnosis terhadap suspek
yang dilaporkan, bila positif langsung diadakan on the job training (OJT).
c) Pengobatan
Regimen pengobatan diberikan oleh petugas PRK/RSUD/Wasor.
Pengobatan selanjutnya diberikan oleh puskesmas non PRK.
d) Pemantauan pengobatan (case holding)
Pemantauan pengobatan dilakukan oleh petugas puskesmas non PRK dan
pasien harus mendapatkan indormasi penting berkaitan dengan pengobatan.
Bila pasien mangkir lebih dari 1 bulan perlu dilakukan pelacakan pasien
mangkir.
e) POD
22
Pemeriksaan POD dilakukan oleh petugas di PRK/RSUD/Wasor, bila
dipandang mampu petugad puskesmas non PRK dapat melaksanakan POD
dengan bimbingan dari wasor.
f) Penanganan pasien reaksi
Penanganan pasien reaksi oleh petugas PRK/RSUD/Wasor. jika puskesmas
non PRK menemukan pasien rekasi harus dirujuk ke PRK/RSUD/wasor,
selanjutnya pemantauan pengobatan reaksi dilakukan oleh puskesmas
non PRK.
g) Perawatan diri
Penyuluhan tentang perawatan diri diberikan oleh PRK/RSUD/Wasor, dan
dapat didelegasikan kepada petugas puskesmas non PRK yang telah dilatih
secara OJT tentang perawatan diri. Pasien perlu mendapatkan informasi
penting berkaitan dengan kecacatan yang diderita dan cara perawatan diri
dengan leaflet.
h) Rujukan pasien dengan Komplikasi
Rujukan pasien dengan Komplikasi (misalnya alergi DDS/ Komplikasi lain)
harus dilakukan ke PRK/RSUD/Wasor, jika kondisi pasien sangat berat harus
dirujuk ke RS kabupaten.
i) Pelatihan petugas puskesmas
Pelatihan diberikan oleh provinsi dibantu wasor kabupaten puskesmas non
PRK dilatih 1 hari untuk mampu mendeteksi suspek. PRK akan mendapatkan
pelatihan penuh (5hari).
j) Sosialisasi program kusta di rumah sakit
Sosialisasi program kusta di RS agar memberikan pelayanan kepada orang
yang pernah mengalami kusta tanpa diskriminasi.
k) Supervisi
Supervise dari provinsi ke kabupaten maupun kabupaten ke puskesmas
diintegrasikan dengan program pengendalian penyakit yang lain. Frekuensi
supervise ke PRK/RSUD dilaksanakan lebih sering dari pada puskesmas non
PRK.
l) Penyuluhan (KIE)
23
Penyuluhan perorangan dan kelompok diberikan oleh puskesmas
sedangkan penyuluhan massa diberikan oleh kabupaten.
m) Pengelolaan obat dan logistic dilakukan oleh petugas PRK/RSUD dan
kabupaten.
Puskesmas: bila pasien sudah didiagnosis diberikan MDT oleh petugas
PRK atau wasor.
Kabupaten : membuat perencanaan MDT berdasarkan permintaan
PRK/RSUD, membuat permohonan dan pengambil ke provinsi dan
mendistribusikannya ke PRK/RSUD yang membutuhkan.
Provinsi : membuat perencanaan obat berdasrkan permintaan kabupaten,
membuat permohonan obat ke pusat dan mendistribusikannya ke kabupaten.
n) Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan harus sederhana, memuat seluruh informasi yang
dibutuhkan, pencactatan dilakukan oleh semua unit pelayanan. Puskemas
mengirim salinan register kohort ke kabupaten. Pelaporan hanya dilakukan
oleh kabupaten dan provinsi.
o) Perencanaan, monitoring dan evaluasi
Semua unit pelayanan mambuat perencanaan kegiatan, monitoring
evaluasi sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Kegiatan ini
dapat diintegrasikan dengan program lain.
p) Rujukan rehabilitasi medic bagi orang yang pernah mengalamai kusta
dilakukan oleh kabupaten dan provinsi dengan memperhatikan
persyaratan dan kondisi ini di lapangan.
4. Pelaksana dan penanggung jawab
kegiatan pelaksana Penanggung jawab
Peningkatan kemampuan tim Wasor dan kasi Kasubdin/kabid
Konfirmasi diagnosis/ OJT PRK/RSUD/Wasor Kasi
Tatalaksanan penderita PRK/RSUD/Wasor Kasi
Bimbingan teknis Wasor dan kasi Kasubdin/kabid
24
KIE PRK/RSUD/Wasor
INFOKOM
Kadinkes
Advokasi Kasubdin/kabid Kasinkes
Pengelolaan obat dan logistik Gudang farmasi/ P2M Kasubdin/kabid
Pencatatan & pelaporan PRK/RSUD/wasor Kasi
Monitoring & evaluasi Wasor & kasi Kasubdin/kabid
PENEMUAN PASIEN
Penemuan pasien kusta secara garis besar terdiri dari penemuan pasif fan aktif.
A. Penemuan pasien secara pasif (sukarela)
Adalah pasien yang ditemukan karena datang ke puskesmas/ sarana kesehatan
lainnya atas kemauan sendiri atau saran orang lain.
Faktor-faktor yang menyebabkan pasien terlambat berobat, disebabkan oleh dua
aspek yakni:
Aspek dari sisi pasien : tidak mengerti tanda dini kusta, malu datang ke
puskesmas, tidak tahu bahwa ada obat tersedia gratis di puskesmas,
jarak rumah pasien ke puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu
jauh, dll.
Aspek dari penyedia layanan kesehatan : ketidakmampuan mengenali
tanda kusta dan mendiagnosis, pelayanan yang tidak mengakomodasi
kebutuhan klien, dll.
B. Penemuan pasien secara aktif
Adalah pasien yang ditemukan secara aktif, melalui kegiatan-kegiatan seperti:
Pemeriksaan kontak
Adalah kegiatan penemuan pasien dengan melakukan kunjungan ke
rumah pasien yang baru ditemukan (kasus indeks). Kegiatan ini memerlukan biaya
yang rendah namun memiliki efektivitas yang tinggi sehingga WAJIB dilakukan.
25
1. Tujuan
I. Meningkatkan kesadaran dan dukungan anggota
keluarga agar pengobatan berjalan baik dan tidak ada
diskriminasi.
II. Ditemukannya pasien baru sedini mungkin.
2. Sasaran
Semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan pasien dan
tetangga di sekitarnya.
3. Kegiatan
I. Untuk pasien baru kunjungan rumah dilakukan sesegera
mungkin (paling lambat dalam waktu 3 bulan).
Kegiatan yang dilakukan meliputi pemberian konseling
sederhana dan pemeriksaan fisik.
II. Saat melakukan kunjungan rumah petugas diwajibkan
membawa kartu pasien, alat-alat pemeriksaan dan obat
MDT.
Rapid Village Survey (RVS)
1. Tujuan
I. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi
masyarakat
II. Meningkatkan pengetahuan dan partisipasi
petugas kesehatan.
III. Ditemukannya kasus baru dalam lingkup
kecil/desa.
2. Sasaran
Kelompok potensial masyarakat desa/kelurahan atau unit
yang lebih kecil yaitu dusun.
3. Pelaksanaan
I. Persiapan
Pimpinan puskesmas dan kepala desa membuat
rencana pelaksanaan kegiatan survey. Dilakukan
on the job training (OJT) kepada staf puskesmas.
II. Pelaksanaan
26
Kegiatan dilaksanakan dalam 2 tahap
Tahap pertama :
Pertemuan diadakan sesuai dengan tanggal
yang ditetapkan dan dipimpin oleh kepala
desa dengan susunan acara sebagai berikut:
a. Penjelasan maksud dan tujuan pertemuan
b. Penjelasan tanda-tanda dini kusta dan
program pengendalian penyakit kusta
oleh dokter/petugas puskesmas.
c. Tanya jawab
d. Pembagian tugas kelompok kerja
(kelompok untuk deteksi suspek,
kelompok untuk pencatatan dan
kelompok untuk diagnose dan
verifikator). Besar dan jumlah kelompok
disesuaikan dengan kapasitas dan sumber
daya yang ada.
Tahap kedua:
a. pemeriksaan seluruh desa untuk mencari
suspek yang dijaring oleh kelompok kerja
(target suspek adalah minimum 10% dari
populasi umum). Pada pagi hari pemeriksaan
difokuskan pada suspek dari anak sekolah
sedangkan siang hari pada suspek di
masyarakat umum. Pasien baru yang
ditemukanpada saat pemeriksaan, dibuatkan
kartu dan diberikan pengobatan serta
penyuluhan yang mendalam.
b. Suspek dicatat dan dijadwalkan untuk
diperiksa ulang di puskesmas dalam kurun
waktu 3-6 bulan setelah pertemuan.
Chase survey
27
Chase survey adalah kegiatan penemuan pasien kusta secara aktif
dengan mengunjungi wilayah tertentu bedasarkan informasi dari berbagai
sumber tentang keberadaan suspek kusta di wilayah tersebut. Kegiatan yang
dilakukan adalah pemeriksaan suspek dan penyuluhan kepada masyarakat di
lokasi tersebut.
Pemeriksaan anak sekolah SD sederajat
Kegiatan ini diperioritaskan pada wilayah yang terdapat kasus anak.
Supaya lebih efisien sebaiknya kegiatan ini diintegrasikan dengan usaha
kesehatan sekolah (UKS).
A. Tujuan
I. meningkatkan pengetahuan dan kesadaran guru
dan murid tentang penyakit kusta.
II. Ditemukannya pasien baru secara dini.
B. sasaran
Guru dan murid Sd/sederajat.
C. Pelaksanaan
Sebelum dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu diberikan
penyuluhan tentang kusta kepada murid-murid dan guru- guru.
Pemeriksaan dilakukan pada seluruh murid. Jika ada yang dicurigai
kusta maka perlu dirujuk ke puskesmas untuk pemeriksaan lebih
lanjut. Jumlah anak yang diperiksa dan kasus baru yang ditemukan
dicatat.
Leprosy Elimination Campaign (LEC)
A. Tujuan
I. meningkatkan komitmen politis dan dukungan dari
pemangku kepentingan di wilayah setempat.
II. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam
pengendalian penyakit kusta.
III. Meningktaknya kemampuan petugas kesehatan di
puskesmas dan bidan desa dalam pengendalian penyakit
kusta.
28
IV. Ditemukannya dan diobatinya kasus kusta.
B. Sasaran
Pimpinan wilayan (bupati, walikota), pemangku kepentingan, dan
masyarakat.
C. Pelaksanaan
I. pertemuan dengan kepala dinas kesehatan kabupaten
menjelaskan mengenai kegiatan LEC, membuat
perencanaan pertemuan lintas sector dimana bupati
diharapkan sebagai pelaksana pertemuan.
II. Pertemuan lintas sektoral kabupaten . meningkatkan
kesadaran lintas sector mengenai pengendalian penyakit
kusta dan mengharapkan bantuannya dalam
pelaksanaan LEC.
III. Pelatihan sehari team leader dan kepala puskesmas.
Meningkatkan kemampuan peserta dalam
mendiagnosis, klasifikasi dan pengobatan penyakit
kusta.
IV. Membuat jadwal pelatihan tenaga puskesmas dan
pertemuan kecamatan.
V. Pelatihan sehari staf puskesmas dan bidan desa.
Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam
mendiagnosis, klasifikasi dan mengobati pasien kusta.
VI. Pertemuan dengan kepala desa/kader kesehatan
memberikan pengetahuan tentang penyakit kusta dan
mengharapkan bantuan kades, tokoh masyarakat dalam
pelaksanaan LEC.
VII. Kunjungan ke desa. Tim yang tersiri dari team leader,
petugas puskesmas, kades/kader mengadakan
penyuluhan di balai desa. Sebelum penyuluhan dimulai,
poster, leflet harus dipasang. Setelah masyarakat
kumpul, team leader/dokter puskesmas mengadakan
penyuluhan dan mengharapkan masyarakat yang
mempunyai kelainan di kulit agar memeriksakan diri.
29
Bila terdapat suspek maka mereka di rujuk ke
puskesmas untuk diperiksa dan bila terdiagnosis kusta
dibuatkan kartu pasien dan diberi MDT.
Special Action Program For Elimination Leprosy (SAPEL)
SAPEL merupakan proyek khusus untuk mencapai tujuan eliminasi kusta dan
dilaksanakan pada daerah yang mempunyai geografis yang sulit. Pada
kegiatan ini MDT diberikan sekaligus 1 paket dibawah pengawasan kader
atau keluarga
Pengobatan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai
sejak 1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak
1962 oleh BROWN dan HOGERZEIL, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun
1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu
ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin.
Untuk mencegah resistensi pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi
drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun
1971. Pada saat ini ada berbagai macam MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia
sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan
kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS
adalah obat anti kusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai
dengan penderita yang ada di negara berkembang dengan sosial ekonomi rendah. 3
Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati
resisten, memperpendek masa pengobatan, mempercepat pemutusan mata rantai
penularan.
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain: 3
- Efek terapeutik obat
- Efek samping obat
- Ketersediaan obat
- Harga obat
- Kemungkinan penerapannya
30
DDS
Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan sebagai
monoterapi. Dengan adanya pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola berpikir
dan tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi ke MDT.3
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps
sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif penyakit kambuh setelah
menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Secara klinis,
bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali
dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik postif kembali. Tetapi setelah
dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit ternyata M.leprae masih
sensitive terhadap DDS. M.leprae yang semula dorman, sleeping atau persisten,
bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, kuman dorman sukar
dihancurkan dengan obat atau MDT apapun. Pada relaps resisten penyakit kambuh
setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan tetapi tidak
dapat diobati dengan obat yang sama. Dengan gejala klinis, bakterioskopik dan
histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan pencobaan pengobatan dan
inokulasi pada mencit, bahwa M.leprae resisten terhadap DDS. Cara pembuktiannya
adalah dengan percobaan pengobatan dengan DDS 100 mg sehari selama 3 bulan
sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis, bakterioskopik dan histopatologik.
Apabila fasilitas mengizinkan, dapat ditentukan gradasi resistensinya dari yang
rendah, sedang sampai tinggi.3
Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar
oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat. Resitensi
terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer terjadi bila orang
ditulari oleh M.leprae yang telah resisten dan masifestasinya dapat dalam berbagai
tipe (TT, BT, BB, BL, LL) bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang
rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada
derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.3
Resistensi sekunder dapat terjadi oleh karena:3
31
- Monoterapi DDS
- Dosis terlalu rendah
- Minum obat tidak teratur
- Minum obat tidak adekuat baik dosis maupun lama pemberiannya
- Pengobatan terlalu lama setelah 4-24 tahun
Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,
hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia. 3
Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10mg/kgbb; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak
boleh diberikan sebagai monoterapi oleh karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh
diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya. 3
Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu like syndrome dan erupsi kulit. 3
Klofazimin (lamprene)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh BROWN dan
HOOGERZEIL. Dosis sebagai anti kusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang
sehari atau 3x100 mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga
dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu
200mg-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi
pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.
Efek sampingnya ialah warna merah kecokelatan pada kulit dan warna
kekuningan pada sklera sehingga mirip ikterus apalagi pada dosis tinggi, yang sering
merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan
karena klofazimin adalah zat warna dan dideposit pertama pada sel sistem
retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Pigementasi bersifat reversible, meskipun
menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi
dalam dosis tinggi yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia dan vomitus. Selain
itu dapat terjadi penurunan berat badan.3
32
Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kgbb setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini tidak
atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata, sehingga
kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.3
Obat Alternative
Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
M.leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. dosis tunggal yang diberikan
dalam 22 dosis akan membunuh kuman M.leprae hidup sebesar 99,99%. Efek
sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai
gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness,
nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan
bisanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat. Pengguaan pada anak
remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda
kuinolon menyebabkan atropati.3
Minosiklin
Termasuk dalam kelopok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
daripada klaritomisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian
100mg. efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran
cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadizzines. Oleh sebab itu
tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.3
Klaritomisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap M.leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari
dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan
diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.3
33
Kontrol dan Pencegahan
Tiga pendekatan dasar telah digunakan untuk mengontrol dan mencegah lepra,
dinamakan:4
1. Deteksi awal dan pengobatan yang diawasi untuk kasus aktif.
2. Pengobatan preventif untuk kontak rumah tangga, terutama anak, pada kasus
yang infektif.
3. Imunisasi dengan BCG
Pencarian kasus aktif sangat penting untuk mengontrol lepra dimana
penyakitnya endemik. Yang paling penting adalah skrining periodik dan follow up,
kontak rumah tangga dari kasus baru yang didiagnosis. Didaerah endemik, sangat
penting untuk melatih penyedia kesehatan profesional untuk mengenali dan
mengobati lepra. Fasilitas kesehatan seperti klinik umum dan klinik penyakit kulit
bisa menyediakan skrining dan terapi lepra yang tepat.4
Profilaksis dengan dapsone, 50mg/hari selama 3 tahun, sudah
direkomendasikan untuk umur kurang dari 25 tahun yang mempunyai kontak rumah
tangga dengan pasien lepra multibasiler aktif. Anak-anak dengan kontak dekat
dengan seorang lepra pausibasiler memiliki risiko yang meningkat; jadi mereka harus
diperiksa tiap 6-12 bulan selama beberapa tahun setelah pajanan ini, dan biopsi harus
didapatkan dari lesi yang mencurigakan untuk mendeteksi dan mengobati segera
setelah penyakit klinis timbul. Insidens lepra pada anggota rumah tangga setelah 10
tahun kontak dekat dengan seorang lepra lepromatosa yang tidak diobati, dilaporkan
sekitar 11%. Perbedaan persentase didapatkan pada kasus lepra tuberkuloid yaitu
hanya sekitar 0,5%. Bagaimanapun, hanya 15% kasus lepra yang muncul pada
mereka yang mempunyai kontak rumah tangga. Penelitian tentang profilaksis
dapsone, menggunakan dosis 50mg/hari selama 3 tahun dengan kontak rumah
tangga, ditemukan pengurangan kejadian lepra sekitar 52,5%.4
BCG dan Vaksin Lepra
Bukti eksperimental awal untuk kemanjuran preventif vaksin BCG dilaporkan
oleh Shepard pada tahun 1966. Dia menemukan bahwa tikus yang divaksin dengan
BCG, mencegah inokulasi M.leprae hidup dari bantalan kaki. Setelah itu beberapa
percobaan random dari BCG pada populasi manusia dilakukan.Hasil dari penelitian-
34
penelitian tersebut menganjurkan bahwa BCG memberikan proteksi yang signifikan
tetapi tidak komplet untuk melawan lepra di beberapa populasi. Akan tetapi vaksin
yang disiapkan dari heat-killed M.leprae tidak begitu manjur. 4
Beberapa tahun ini, penggunaan MDT yang efektif dibawah pengawasan
langsung, Diagnosis yang lebih awal, pengurangan gejala klinik yang khas, dan
penggunaan rutin BCG di banyak negara endemik lepra berujung pada penurunan
dari kasus baru lepra. Beberapa ahli cukup optimis hal ini akan terus berlanjut dan
kepentingan kesehatan masyarakat dari lepra akan terus menurun, selama usaha
untuk mengontrol penyakit ini terus menerus dilakukan. Dampak jangka panjang
yang terlihat untuk mengontrol lepra sebagai sebuah masalah kesehatan masyrakat
cukup baik selama upaya prevensi yang efektif terus diupayakan. Bagaimanapun
beberapa ahli khawatir bahwa upaya mengontrol lepra mungkin akan diakhiri ketika
prevalence rate dibawah 1/10000 populasi yang menunjukan bahwa lepra telah di
eliminasi sebagai masalah kesehatan masyarakat.4
Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melaksanakan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan
tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita
diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang
telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau
panas dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula
cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya
memar, luka atau ulkus, setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki
agar tidak kering dan pecah.3
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara
lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali
ke asal, tetapi fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki.
35
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang
sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa
percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).3
Komplikasi
Penderita kusta yang terlambat di diagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf
yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.3
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya
perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka
yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan
sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-
hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda
kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti
dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan
dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan menjadi berlanjut.3
Dokter Keluarga
Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh
yang memusatkan pelayanan kepada keluarga sebagai suatu unit, dimana tanggung
jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan umur atau
jenis kelamin pasien juga tidak boleh organ tubuh atau jenis penyakit tertentu. Dokter
keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
berorientasi komunitas dengan titik berat kepada keluarga, ia tidak hanya
memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian dari unit
keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif tetapi bila perlu aktif mengunjungi
penderita atau keluarganya (IDI 1982).1
Ilmu kedokteran keluarga adalah ilmu yang mencakup seluruh spektrum ilmu
kedokteran tingkat yang orientasinya adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan
tingkat pertama yang berkesinambungan dan menyeluruh kepada satu kesatuan
36
individu, keluarga dan masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan,
ekonomi dan sosial budaya (IDI 1983). Karakteristik pelayanan dokter keluarga
antara lain:1,2
a. Yang melayani penderita tidak hanya sebagai orang perorang melainkan
sebagai
anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat sekitarnya.
b. Yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan memberikan
perhatian kepada penderita secara lengkap dan sempurna, jauh melebihi
jumlah keseluruhan keluhan yang disampaikan.
c. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan seoptimal mungkin, mencegah timbulnya penyakit dan mengenal
serta mengobati penyakit sedini mungkin.
d. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan
berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya.
e. Yang menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan.
Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga
Tujuan Umum1,2
Terwujudnya keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga.
Tujuan Khusus
a. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih
efektif.
b. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih
efisien.
Ruang lingkup pelayanan dokter keluarga mencakup bidang amat luas sekali.
Jika disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam:1,2
1. Kegiatan yang dilaksanakan
Pelayanan yang diselenggarakan oleh dokter keluarga harus memenuhi syarat
pokok yaitu pelayanan kedokteran menyeluruh (comprehensive medical
37
services).
Karakteristik CMC:
- Jenis pelayanan yang diselenggarakan mencakup semua jenis pelayanan
kedokteran yang dikenal di masyarakat.
- Tata cara pelayanan tidak diselenggarakan secara terkotak-kotak ataupun
terputus-putus melainkan diselenggarakan secara terpadu (integrated) dan
berkesinambungan (kontinu).
- Pusat perhatian pada waktu menyelenggarakan pelayanan kedokteran
tidak memusatkan perhatiannya hanya pada keluhan dan masalah
kesehatan yang disampaikan penderita saja, melainkan pada penderita
sebagai manusia seutuhnya.
- Pendekatan pada penyelenggaraan pelayanan tidak didekati hanya dari
satu sisi saja, melainkan dari semua sisi yang terkait (comprehensive
approach) yaitu sisi fisik, mental dan sosial (secara holistik).
2. Sasaran Pelayanan
Sasaran pelayanan dokter keluarga adalah keluarga sebagai suatu unit.
Pelayanan dokter keluarga harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan
kesehatan keluarga sebagai satu kesatuan, harus memperhatikan pengaruh
masalah kesehatan yang dihadapi terhadap keluarga dan harus memperhatikan
pengaruh keluarga terhadap masalah kesehatan yang dihadapi oleh setiap
anggota keluarga.
Praktek Dokter Keluarga
Terlepas dari masih ditemukannya perbedaan pendapat tentang kedudukan dan
peranan dokter keluarga dalam sistem pelayanan kesehatan, pada saat ini telah
ditemukan banyak bentuk praktek dokter keluarga. Bentuk praktek dokter keluarga
yang dimaksud secara umum dapat dibedakan atas tiga macam:1,2
Pelayanan Dokter Keluarga Sebagai Bagian Dari Pelayanan Rumah Sakit
(Hospital Based)
Pada bentuk pelayanan dokter keluarga diselenggarakan di rumah sakit. Untuk
ini dibentuklah suatu unit khusus yang diserahkan tanggung jawab menyelenggarakan
pelayanan dokter keluarga. Unit khusus ini dikenal dengan nama bagian dokter
keluarga (departement of family medicine), semua pasien baru yang berkunjung ke
rumah sakit, diwajibkan melalui bagian khusus ini. Apabila pasien tersebut ternyata
38
membutuhkan pelayanan spesialistis, baru kemudian dirujuk kebagian lain yang ada
dirumah sakit.
Pelayanan Dokter Keluarga Dilaksanakan Oleh Klinik Dokter Keluarga (Family
Clinic)
Pada bentuk ini sarana yang menyelenggarakan pelayanan dokter keluarga
adalah suatu klinik yang didirikan secara khusus yang disebut dengan nama klinik
dokter keluarga (family clinic/center). Pada dasarnya klinik dokter keluarga ini ada
dua macam. Pertama, klinik keluarga mandiri (free-standing family clinic). Kedua,
merupakan bagian dari rumah sakit tetapi didirikan diluar komplek rumah sakit
(satelite family clinic). Di luar negeri klinik dokter keluarga satelit ini mulai banyak
didirikan. Salah satu tujuannya adalah untuk menopang pelayanan dan juga
penghasilan rumah sakit.
Terlepas apakah klinik dokter keluarga tersebut adalah suatu klinik mandiri
atau hanya merupakan klinik satelit dari rumah sakit, lazimnya klinik dokter keluarga
tersebut menjalin hubungan kerja sama yang erat dengan rumah sakit. Pasien yang
memerlukan pelayanan rawat inap akan dirawat sendiri atau dirujuk ke rumah sakit
kerja sama tersebut.
Klinik dokter keluarga ini dapat diselenggarakan secara sendiri (solo practice)
atau bersama-sama dalam satu kelompok (group practice). Dari dua bentuk klinik
dokter keluarga ini, yang paling dianjurkan adalah klinik dokter keluarga yang
dikelola secara berkelompok. Biasanya merupakan gabungan dari 2 sampai 3 orang
dokter keluarga.
Pada klinik dokter keluarga berkelompok ini diterapkan suatu sistem
manajemen yang sama. Dalam arti para dokter yang tergabung dalam klinik dokter
keluarga tersebut secara bersama-sama membeli dan memakai alat-alat praktek yang
sama. Untuk kemudian menyelenggarakan pelayanan dokter keluarga yang dikelola
oleh satu sistem manajemen keuangan, manajemen personalia serta manajemen sistem
informasi yang sama pula.
Pelayanan Dokter Keluarga Dilaksanakan Melalui Praktek Dokter Keluarga
(Family Practice)
Pada bentuk ini sarana yang menyelenggarakan pelayanan dokter keluarga
adalah praktek dokter keluarga. Pada dasarnya bentuk pelayanan dokter keluarga ini
39
sama dengan pelayanan dokter keluarga yang diselenggarakan melalui klinik dokter
keluarga. Disini para dokter yang menyelenggarakan praktek, menerapkan prinsip-
prinsip pelayanan dokter keluarga pada pelayanan kedokteran yang
diselenggarakanya. Praktek dokter keluarga tersebut dapat dibedakan pula atas dua
macam. Pertama, praktek dokter keluarga yang diselenggarakan sendiri (solo
practice). Kedua, praktek dokter keluarga yang diselenggarakan secara berkelompok
(group practice).
Pelayanan Pada Praktek Dokter Keluarga
Pelayanan yang diselenggarakan pada praktek dokter keluarga banyak
macamnya. Secara umum dapat dibedakan atas tiga macam:5
Menyelenggarakan Pelayanan Rawat Jalan
Pada bentuk ini, pelayanan yang diselenggarakan pada praktek dokter keluarga
hanya pelayanan rawat jalan saja. Dokter yang menyelenggarakan praktek dokter
keluarga tersebut tidak melakukan pelayanan kunjungan dan perawatan pasien di
rumah atau pelayanan rawat inap di rumah sakit. Semua pasien yang membutuhkan
pertolongan diharuskan datang ke tempat praktek dokter keluarga. Jika kebetulan
pasien tersebut memerlukan pelayanan rawat inap, pasien tersebut dirujuk ke rumah
sakit.
Menyelenggarakan Pelayanan Rawat Jalan, Kunjungan dan Perawatan Pasien
Dirumah
Pada bentuk ini, pelayanan yang diselenggarakan pada praktek dokter keluarga
mencakup pelayanan rawat jalan serta pelayanan kunjungan dan perawatan pasien di
rumah. Pelayanan bentuk ini lazimnya dilaksanakan oleh dokter keluarga yang tidak
mempunyai akses dengan rumah sakit.
Menyelenggarakan Pelayanan Rawat Jalan, Kunjungan dan Perawatan Pasien
Di Rumah, Serta Pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit
Pada bentuk ini, pelayanan yang diselenggarakan pada praktek dokter keluarga
telah mencakup pelayanan rawat jalan, kunjungan dan perawatan pasien di rumah,
serta perawatan rawat inap di rumah sakit. Pelayanan bentuk ini lazimnya
diselenggarakan oleh dokter keluarga yang telah berhasil menjalin kerja sama dengan
rumah sakit terdekat dan rumah sakit tersebut memberi kesempatan kepada dokter
keluarga untuk merawat sendiri pasiennya di rumah sakit.
40
Tentu saja penerapan dari ketiga bentuk pelayanan dokter keluarga ini tidak
sama antara satu negara dengan negara lainnya, dan bahkan dapat tidak sama antara
satu daerah lainnya. Sekalipun pelayanan yang diselenggarakan pada praktek dokter
keluarga tidak sama, perlulah diingatkan bahwa orientasi pelayanan dokter keluarga
yang diselenggarakan tetap tidak boleh berbeda. Orientasi pelayanan dokter keluarga
bukan sekedar menyembuhkan penyakit, tetapi diarahkan pada upaya pencegahan
penyakit. Atau jika tindakan penyembuhan yang dilakukan, maka pelaksanaannya
harus mempertimbangkan keadaan pasien sebagai manusia seutuhnya, juga harus
mempertimbangkan pula keadaan sosial ekonomi keluarga dan lingkungannya.
Praktek dokter keluarga tidak menangani keluhan pasien atau bagian anggota badan
yang sakit saja, tetapi individu pasien secara keseluruhan.
Kesamaan lain yang ditemukan adalah pada ruang lingkup masalah kesehatan
yang ditangani. Praktek dokter keluarga melayani seluruh anggota keluarga dan
semua masalah kesehatan yang ditemukan pada keluarga. Untuk dapat
menyelenggarakan pelayanan yang seperti ini dibutuhkan pelbagai pengetahuan dan
keterampilan yang luas. Karena adanya ciri yang seperti inilah ditemukan pihak-
pihak yang tidak sependapat bahwa dokter spesialis dapat bertindak sebagai dokter
keluarga. Oleh kalangan yang terakhir ini disebutkan bahwa dokter keluarga harus
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang luas, yang mencakup pengetahuan dan
keterampilan beberapa dokter spesialis, dan karenanya tidak mungkin jika
diselenggarakan oleh satu dokter spesialis saja.
Dari uraian tentang orientasi serta ruang lingkup masalah kesepakatan yang
ditangani pada praktek dokter keluarga diatas, jelaslah bahwa pelayanan kedokteran
yang diselenggarakan pada praktek dokter keluarga memang agak berbeda dengan
pelayanan kedokteran yang diselenggarakan oleh dokter umum dan atau dokter
spesialis. Pelayanan kedokteran yang diselenggarakan pada praktek dokter keluarga
pada umumnya:5
1. Lebih aktif dan bertanggung jawab
Karena pelayanan kedokteran yang diselenggarakan pada praktek dokter
keluarga mengenal pelayanan kunjungan dan atau perawatan pasien di rumah,
bertanggung jawab mengatur pelayanan rujukan dan konsultasi, dan bahkan,
apabila memungkinkan, turut menangani pasien yang memerlukan pelayanan
rawat inap di rumah sakit, maka pelayanan kedokteran yang diselenggarakan
41
pada praktek dokter keluarga umunya lebih aktif dan bertanggung jawab dari
pada dokter umum.
2. Lebih lengkap dan bervariasi
Karena praktek dokter keluarga menangani semua masalah kesehatan yang
ditemukan pada semua anggota keluarga, maka pelayanan dokter keluarga
pada umumnya lebih lengkap dan bervariasi dari pada dokter umum. Tidak
mengherankan jika dengan pelayanan yang seperti ini, seperti yang ditemukan
di Amerika Serikat misalnya, praktek dokter keluarga dapat menyelesaikan
tidak kurang dari 95 % masalah kesehatan yang ditemukan pada pasien yang
datang berobat.
3. Menangani penyakit pada stadium awal
Sekalipun praktek dokter keluarga dapat menangani pasien yang telah
membutuhkan pelayanan rawat inap, bukan selalu berarti praktek dokter
keluarga sama dengan dokter spesialis. Praktek dokter keluarga hanya sesuai
untuk penyakit-penyakit pada stadium awal saja. Sedangkan untuk kasus yang
telah lanjut atau yang telah terlalu spesialistik, karena memang telah berada
diluar wewenang dan tanggung jawab dokter keluarga, tetap dan harus
dikonsultasikan dan atau dirujuk kedokter spesialis. Seperti yang dikatakan
oleh Malerich (1970), praktek dokter keluarga memang sesuai untuk penyakit-
penyakit yang masih dalam stadium dini atau yang bersifat umum saja. 'The
family doctor cannot be expected to treat all problems as best possible, but he
can be expected to treat all common diseases as best possible'.
Surveilans (Pengamatan Epidemiologis)6
Data tentang penyakit menular yang pernah terjadi di suatu daerah merupakan
hasil dari sistem pengamatan (surveilans) yang dilakukan oleh petugas di daerah
tersebut. Data ini penting untuk mengetahui bahwa di daerah tersebut pada masa yang
lalu pernah mengalami kejadian luar biasa. Daerah itu dapat berupa rumah sakit,
sekolah, industri, pemukiman transmigrasi, kota, kabupaten, kecamatan, desa, atau
negara.6
Pengamatan epidemiologis penyakit menular ialah kegiatan yang teratur
mengumpulkan, meringkas, dan analisis data tentang insidensi penyakit menular
42
untuk mengidentifikasikan kelompok penduduk dengan risiko tinggi, memahami cara
penyebaran dan mengurangi atau memberantas penyebarannya. Setiap kasus harus
dilaporkan dengan jelas dan lengkap meliputi diagnosis, mulai timbulnya gejala, dan
variabel demografi seperti nama, umur, jenis kelamin, alamat, dan asal data (dokter,
rumah sakit, puskesmas, sekolah, tempat kerja, dan lain–lain).
Dengan mengadakan analisis secara teratur, kita dapat memperoleh berbagai
informasi tentang peyakit musiman atau kecenderungan jangka panjang, perubahan
daerah penyebaran, kelompok penduduk risiko tinggi yang dirinci menurut umur,
jenis kelamin, suku, agama, sosial ekonomi, dan penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan. Pengamatan epidemiologis secara garis besar dapat dilakukan secara aktif
dan pasif. 6
Surveilans aktif ialah pengumpulan data yang dilakukan secara langsung
untuk mempelajari penyakit tertentu dalam waktu yang relatif singkat dan dilakukan
oleh petugas kesehatan secara teratur seminggu sekali atau 2 minggu sekali untuk
mencatat ada atau tidaknya kasus baru penyakit tersebut.
Surveilans pasif ialah pengumpulan data yang diperoleh dari laporan bulanan
sarana pelayanan di daerah. Dari data yang diperoleh dapat diketahui distribusi
geografis tentang berbagai penyakit menular, penyakit rakyat, perubahan–perubahan
yang terjadi, dan kebutuhan tentang penelitian sebagai tindak lanjut.
Jadi, yang dimaksud dengan pengamatan epidemiologis adalah kegiatan yang
dilakukan secara rutin dan teratur berupa pencatatan lengkap hasil pengamatan
tentang ada tidaknya kasus baru penyakit tertentu atau adanya peningkatan jumlah
kasus baru untuk memantau perubahan yang terjadi pada penyakit yang mempunyai
risiko menimbulkan wabah. Umumnya, pengamatan epidemiologis dilakukan pada:
penyakit yang dapat menimbulkan wabah, penyakit kronis, penyakit endemis,
penyakit baru yang dapat menimbulkan masalah epidemiologis, dan penyakit yang
dapat menimbulkan epidemic ulang.6
Secara garis besar, tujuan pengamatan epidemiologi adalah untuk mengetahui
distribusi geografis penyakit endemis dan penyakit yang dapat menimbulkan
epidemik (malaria, gondok, kolera, dan campak), mengetahui periodisitas suatu
penyakit, untuk menentukan apakah peningkatan insidensi suatu penyakit yang terjadi
43
disebabkan kejadian luar biasa atau karena periodisitas penyakit tersebut, mengetahui
situasi penyakit tertentu, memperoleh gambaran epidemiologis tentang penyakit
tertentu, melakukan pengendalian penyakit, mengetahui adanya letusan ulang
penyakit yang pernah menimbulkan epidemik, dan khusus untuk influenza adalah
untuk mendeteksi adanya tipe baru virus influenza karena ada dugaan timbulnya
pandemik influenza dengan virus influenza tipe baru. 6
Dua tujuan utama program surveilans dalam fasilitas pelayanan kesehatan
adalah: 7
Memperbaiki kualitas pelayanan pasien.
Mengidentifikasi, mengimplementasikan, dan me-ngevaluasi strategi untuk
mencegah dan mengen-dalikan infeksi nosokomial dan kejadian tidak di-
inginkan lainnya.
Empat tujuan suatu program surveilans adalah: 7
Mempersiapkan standar nilai, atau, rate penyakit endemik.
Mengidentifikasi peningkatan rate penyakit di atas standar nilai yang telah
ditetapkan, atau yang di-perkirakan.
Mengidentifikasi faktor risiko penyakit.
Mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian.
Tanpa mengabaikan fasilitas pelayanan kesehatan, orang-orang yang
merancang suatu program surveilans untuk fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya
dapat menetapkan suatu sistem yang dapat mencegah timbulnya infeksi dan kejadian
merugikan lainnya lebih banyak lagi dengan sumber daya yang ada. Pada tahun
1984, Robert Haley, MD, telah merekomendasikan suatu pendekatan berdasarkan
prioritas pada surveilans yang dia sebut sebagai "surveilans berdasarkan tujuan”.
Berdasarkan reko-mendasi Dr. Haley tersebut, daftar berikut dapat digunakan untuk
merancang suatu program surveilans saat ini.7
1. Menargetkan outcome yang akan dicegah (seperti influenza, infeksi sistem
urinari, infeksi sistem pernapasan, ulkus dekubitus kesalahan medis, dan
cedera yang spesifik) dan proses yang akan dikembangkan (contohnya rate
imunisasi influensa pada penghuni fasilitas perawatan jangka panjang atau
44
orang-orang yang selalu melakukan aktivitas mencuci tangan) serta
mengembangkan indikator yang spesifik dengan tujuan tertentu.
2. Menetapkan prioritas menurut tujuan tersebut. Jika tidak ada waktu atau
sumber daya yang memadai untuk melakukan segalanya, tujuan harus
diprioritaskan dari yang paling penting.
3. Mengalokasikan waktu dan sumber daya yang se-suai dengan prioritas yang
telah ditetapkan.
4. Setelah menyelesaikan tiga Iangkah pertama, strategi surveilans, pencegahan,
dan pengendalian kemudian dirancang agar langkah-langkah tersebut dapat
mendukung tujuan yang telah ditetapkan.
5. Setelah waktu surveilans ditentukan, langkah berikutnya adalah mengevaluasi
program surveilans, pencegahan, dan pengendalian, serta merevisi program
tersebut jika dibutuhkan.
Pedoman untuk melakukan pengembangan dan evaluasi program surveilans
telah dipublikasikan oleh CDC30 dan APIC. Berdasarkan pada referensi tersebut,
kajian literatur, dan pengalaman personal yang ada, langkah-langkah berikut
seharusnya dapat diambil ketika merancang suatu sistem surveilans untuk fasilitas
pelayanan kesehatan. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:7
• Mengidentifikasi metode surveilans yang digunakan
• Menilai dan mendefinisikan popuiasi serta memilih indikator yang akan
diteliti
• Menetapkan periode waktu pengumpulan data
• Memilih kriteria surveilans
• Menentukan proses pengumpulan data
• Mengidentifikasi bagaimana cara menganalisis data
• Merancang laporan surveilans yang informatif
• Mengidentifikasi siapa yang akan merjerima laporan
• Mengembangkan suatu rencana surveilans yang tertulis
Definisi Rumah Sehat
Pada dasarnya rumah merupakan tempat hunian yang sangat penting bagi
kehidupan setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai tempat untuk melepas lelah
setelah bekerja seharian, namun di dalamnya terkandung arti yang penting sebagai
45
tempat untuk membangun kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Rumah yang sehat
dan layak huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar, namun rumah yang
sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni. Rumah Sehat
adalah bangunan rumah tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan, yaitu
rumah yang memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan
sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi rumah yang baik, kepadatan hunian
rumah yang sesuai dan lantai rumah yang tidak terbuat dari tanah.8,9
Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar,
menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan setiap
manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia. Kesehatan adalah faktor
utama sebagai parameter penilaian kelayakan sebuah hunian, sebelum faktor bentuk
dan gaya arsitektur dari sebuah rumah. Ada yang mengatakan bahwa rumah adalah
tujuan akhir manusia. Penilaian terhadap rumah sebagai tujuan akhir dari manusia ini
tentunya sangat dipengaruhi oleh kesehatan. Rumah yang sehat akan mampu
mendukung kesehatan penghuninya, begitulah hubungannya. Dikarenakan manusia
adalah makhluk biopsikososial, rumah yang sehat harus mampu memenuhi
kebutuhan manusia tersebut. Seluruh fungsi dari rumah sehat haruslah berjalan
semestinya.9 Berikut akan kita bahas bagaimana syarat–syarat rumah yang
menjadikan kesehatan penghuninya terdukung. Kita akan melihatnya dari segi
fisiologis (bio/fisik), psikologis, dan sosiologis.
Fisiologis
Dari segi fisik rumah yang sehat adalah rumah yang dapat memberikan
perlindungan kepada penghuninya dari kecelakaan maupun penyakit yang
mengganggu kesehatannya. Ada 4 sisi yang harus diperhatikan dalam rumah sehat,
yaitu bangunan rumahnya, ruangan rumah, ekologinya (lingkungan), dan fasilitas
rumah.
Bangunan
Sekarang ini, perkembangan pembangunan semakin maju. Ini ditandai dengan
munculnya bermacam-macam bahan bangunan baru. Hal ini menjadi salah satu aspek
yang menjadikan banyaknya alternatif yang dapat dipilih sebagai bahan bangunan
guna mengkonstruksikan gedung. Maraknya penemuan bahan bangunan baru juga
ditandai dengan kesadaran terhadap ekologi lingkungan dan fisika bangunan.
46
Membangun berarti suatu usaha untuk menghemat energi dan sumber daya alam.
Teknologi bangunan yang baru menuntut para ahli supaya mereka terbuka terhadap
perkembangan tersebut, karena tidak jarang teknologi baru menyimpang dari cara
pertukangan tradisional. Kajian ilmu bahan bangunan yang cukup sederhana dan
formal selama ini kiranya perlu diubah sesuai dengan pandangan pembangunan yang
menyeluruh. Ilmu bahan bangunan biasanya menggolongkan bahan bangunan seperti
tabel berikut.
Tabel 4. Penggolongan Bahan Bangunan
Golongan Bahan bangunan Contoh bahan
Bahan bangunan alam Anorganik: batu alam,
tanah liat, tras, dsb.
Batu kali, kerikil, pasir, kapur,
tras
Organik; kayu, bambu,
dedaunan, serat, rumput,
dsb.
Bermacam-macam kayu bambu,
rumbia, jiuk, alang-alang
Bahan bangunan buatan Bahan yang dibakar Batu merah, genting
Bahan yang dilebur Kaca
Bahan yang
dikempa/diperes
Conblock, batako
Bahan kimia dan
petrokimia
Plastik, bitumen, kertas, cat
Bahan bangunan logam Logam mulia Emas, perak
Logam setengah mulia Air raksa, nikel, kobalt
Logam besi Besi, baja
Logam non - besi Aluminium, kuningan, perunggu
47
Bahan bangunan alam yang tradisional seperti batu alam, kayu, bambu, tanah
liat, dan sebagainya tidak mengandung zat kimia yang mengganggu kesehatan.
Berbeda dengan bangunan modern seperti tegel keramik, pipa plastik, cat-cat yang
beraneka macam warnanya, perekat, dan sebagainya.10
Selain itu, bahan untuk pembuatan bangunan tidak boleh terbuat dari bahan
yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain:
debu total tidak lebih dari 150 µg m3, asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam,
timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg. Bangunan juga tidak boleh terbuat dari bahan
yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.8
Selain bangunan tidak boleh menimbulkan zat–zat berbahaya bagi tubuh,
pembuatan bangunan juga harus kokoh sehingga mampu melindungi penghuninya
dari kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara
lain, posisi garis sempadan jalan, kontruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah
terbakar, melindungi dari gempa, tidak cenderung membuat penghuninya jatuh
tergelincir, dan lain sebagainya. Tentu saja manfaat bangunan juga harus dapat
melindungi penghuni dari hujan, panas, dingin, pencemaran udara, kebisingan, dan
penyakit menular. Bangunan harus bisa menjadi tempat berlindung yang aman.9,11
Sedikit informasi untuk atap, atap genteng adalah umum dipakai baik di
daerah perkotaan maupun di pedesaan. Di samping atap genteng adalah cocok untuk
daerah tropis juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan masyarakat dapat
membuatnya sendiri. Namun demikian banyak masyarakat pedesaan yang tidak
mampu untuk itu maka atap daun rumbai atau daun kelapa pun dapat dipertahankan,
walaupun sebenarnya tidak memenuhi syarat secara penuh. Pembuatan atap dengan
atap rumbai dan daun kelapa harus dapat melindungi dengan baik, jadi buatlah secara
tebal, tertata rapi, dan baik. Atap seng maupun asbes tidak cocok untuk rumah
pedesaan, disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah.12
Bahan dinding bangunan pun haruslah yang mampu mengalirkan uap air.
Makin kecil pori-pori bahan bangunan makin besar daya mengisap air, dan makin
besar pori-pori makin mudah dapat diisi dengan air. Hal ini berarti bahwa air bisa
masuk ke dalam bahan bangunan melalui gravitasi (misalnya oleh atap yang bocor),
oleh tekanan angin (misalnya pada tepi dinding atau atap yang terekena angin
kencang), oleh kapilaritas (pada retak plesteran dinding atau kelembapan tanah yang
48
tidak kedap air). Bahan bangunan yang higroskopis (misalnya batu merah) kadang-
kadang dapat mengikat banyak air. Air yang ada di dinding ini harus mudah menguap.
Kelebihan kelembapan apapun dalam iklim tropis lembap, akan menumbuhkan
cendawan kelabu (aspergillus) yang mempengaruhi kesehatan penghuni karena
mengakibatkan alergi bronkitis dan asma.10
Ruang
Selain bangunan yang harus dapat melindungi, ruangan di dalam rumah harus
dapat mencegah penularan penyakit dan mendukung kesehatan penghuninya.
Syarat ruang yang baik dimulai dari komponen, kemudian ventilasi,
pencahayaan, luas bangunan rumah, dan tata ruangnya.
Komponen
Komponen rumah yang mudah untuk dirawat sangatlah penting. Sebab,
semakin sering dan mudah dirawat dan membersihkannya, maka sumber penyakit
tidak akan ada. di rumah itu. Untuk lantai, saat ini ada berbagai jenis lantai rumah.
Lantai rumah dari semen atau ubin, keramik, atau cukup tanah biasa yang dipadatkan.
Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak becek
pada musim hujan. Lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai yang basah
dan berdebu merupakan sarang penyakit. Selain lantai, dinding dan langit–langit serta
ruang dapur juga harus diperhatikan. Dinding di kamar mandi dan tempat cuci harus
kedap air dan mudah dibersihkan. Langit–langit harus mudah dibersihkan dan
komponennya kuat sehingga tidak rawan kecelakaan. Sedangkan ruang dapur harus
memiliki sarana pembuangan asap karena dapur menghasilkan asap pembakaran dari
proses memasak.8,12
Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti
kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Namun,
perhatikan bahwa udara yang masuk ke dalam rumah tidaklah berasal dari tempat
pembuangan dan pembakaran limbah serta kamar mandi/WC.12
49
Kurangnya ventilasi juga akan menyebabkan kelembaban udara di dalam
ruangan naik karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-
bakteri penyebab penyakit). Fungsi kedua daripada ventilasi adalah membebaskan
udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu selalu terjadi
aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di
dalam kelembaban (humidity) yang optimum. Luas ventilasi alamiah yang permanen
minimal haruslah 10% dari luas lantai.
Ada 2 macam ventilasi, yakni :
Ventilasi alamiah, di mana aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi
secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada
dinding dan sebagainya. Di pihak lain ventilasi alamiah ini tidak
menguntungkan karena juga merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga
lainnya ke dalam rumah. Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk
melindungi kita dari gigitan-gigitan nyamuk tersebut.
Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk
mengalirkan udara terebut, misalnya kipas angin dan mesin pengisap udara.
Tetapi jelas alat ini tidak cocok dengan kondisi rumah di pedesaan. Perlu
diperhatikan disini bahwa sistem pembuatan ventilasi harus dijaga agar udara
tidak mandeg atau membalik lagi, harus mengalir. Artinya di dalam ruangan
rumah harus ada jalan masuk dan keluarnya udara.
Gambar 1. Ilustrasi sirkulasi udara bagi rumah sehat12
50
Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama
cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang
baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak
cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusakkan
mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni:
Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen didalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh
karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15-20 % dari
luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan di dalam membuat
jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak
terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini disamping sebagai ventilasi juga
sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan
diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding).
Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca.
Cahaya buatan yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,
seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya.
Luas Bangunan Rumah
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya.
Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan
perjubelan (overcrowded). Hal ini berdampak kurang baik terhadap kesehaan
penghuninya, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah
satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain.12
Tata Ruang
Untuk mendapatkan ruang yang baik, diperlukan kesatuan bagian–bagian
dalam ruang. Kesatuan ini dapat diperoleh dengan pengaturan yang baik dan
pandangan yang serasi. Kegunaan suatu susunan harus merupakan kesatuan harmonis
dengan tuntutan tata ruang yang sesuai dan juga tidak membahayakan keselamatan
51
seseorang. Susunan suatu ruang pertama–tama harus sesuai tujuannya. Maksudnya
adalah bahwa penggunaan dan penyusunan perabot ditentukan oleh kebutuhan hidup
penghuninya. Untuk itu, harus diperhatikan keselarasan antara perabot–perabot, ruang
gerak, dan ruang pemersatu. Misalnya, di dalam kamar tidur, ada pisau atau gunting
yang digantung. Hal ini tentunya sangat membahayakan si pengguna kamar tidur.
Fungsi perabotan ini tidaklah selaras dengan fungsi ruang tidur. Akan lebih baik bila
perabotan itu diletakkan di ruang dapur, dan mengambilnya ketika diperlukan saja.
Bayangkan bila ada anak kecil yang bermain ke kamarnya dan ada pisau atau gunting
yang bisa dimainkannya.
Peletakkan ruang juga harus diperhatikan. Jangan mendekatkan ruang yang
tertutup, dapur, atau ruang makan dengan ruang yang bersumber penyakit. Hal ini
akan memungkinkan si penghuni rentan akan terjangkitnya penyakit. Bayangkan
apabila kamar mandi atau tempat pembuangan sampah tepat di sebelah ruang makan.
Bakteri–bakteri atau virus yang berasal dari WC akan dengan mudahnya mencemari
makanan yang akan kita makan, baik melalui udara maupun melalui binatang, yang
kemudian akan membuat tubuh kita terjangkit penyakit tersebut. Apabila di dekat
ruang tertutup, bakteri akan hidup tenteram berkembang biak dan menjadi sumber
penyakit.9
Ekologis
Pembangunan rumah juga harus mempertimbangkan masalah ekologisnya.
Rumah yang dibangun harus memiliki sumber air bersih di dekatnya, memiliki
penghijauan di sekitar rumahnya, tidak terlalu jauh dari pusat pendidikan, pasar, telah
terjangkau jaringan listrik PLN, dan tempat–tempat sumber kebutuhan pokok manusia
lainnya.
Lingkungan sekitar rumah juga harus bersih, tidak dekat tempat
pembuangankotoran/sampah, dan hal–hal merugikan lainnya.10
Fasilitas
Tentu selain ketiga hal di atas, fasilitas merupakan hal penting yang
mendukung kesehatan penghuninya. Namun, fasiitas yang dipakai dan cara
penggunaannya juga harus benar. Yang terpenting adalah penyediaan air bersih,
pembuangan air limbah, pembuangan sampah, dan penyediaan listrik. Ada pula
fasiitas tambahan lainnya seperti kandang ternak dan fasilitas–fasilitas untuk alat
rumah tangga.
52
Pada dasarnya setiap rumah harus disediakan air minum dan memenuhi
persyaratan. Berkenaan dengan itu maka air yang akan dipergunakan untuk air minum
agar dimintakan rekomendasi dari PDAM atau instansinya yang berwenang.
Pengambilan contoh air hendaknya dilakukan oleh instansi yang menyelidiki kualitas
airnya bukan oleh pihak developer, dan keterangan ini harus tercantum dalam surat
statement yang mereka terbitkan. Untuk menyediakan air minum dengan jumlah yang
cukup, dapat diambil sumber dari: Sumur Pantek/Gali, sumur artesis, PDAM/PAM,
mata air, penyaringan dari air-air sungai/rawa dsb.
Sumur Pantek/Gali
Dalam hal penyediaan air minum/air bersih diambil dari sumur pantek/gali,
maka untuk setiap sumur gali/pantek, hanya diperbolehkan mensupply
maksimum 4 (empat) unit rumah.
Dalam pipa/sumur gali harus dibuat sedemikian rupa sehingga sumur tersebut
selalu dapat menyediakan air dengan jumlah yang cukup, walau-pun pada
musim kemarau (tinggi air minimal 2 M)
Jarak smur pantek/gali terhadap pembuangan air kotor biasa, lebih-lebih septic
tank harus lebih besar dari 8 M). Untuk sumur gali jarak tersebut agar
diambil/diukur dari dinding sumur ke dinding bagian luar septic tank.
Pemeriksaan mutu air, cukup dilakukan satu sumur saja pada lokasi yang
diperkirakan terjelek.
Sumur Artesis
Debit air harus dapat mensupply kebutuhan setiap penghuni rumah dengan
cukup. Tersedia sentral/pusat reservoir dengan ketinggian yang cukup (>_4M
dari kran rumah yang tertinggi) dan volume minimal 20% dari kebutuhan
untuk air bersih seluruh rumah per hari dari rumah-rumah yang disupply oleh
sumur tersebut. Bak reservoir air ini direncanakan/dihitung oleh tenaga ahli
(konstruktur) agar aman dan kuat.
Lokasi sumur artesis inipun harus jauh dari lokasi pembuangan air kotor (≥ 25
M).
PDAM (PAM)
Mengenai kualitas air dan debitnya sudah diatur oleh PAM. Rumah yang
dianggap telah tersedia air PAM dengan baik yaitu bila penyambungan pipa beserta
meterannya telah terpasang. Konstruksi bangunan air maupun jaringan distribusinya
supaya dibenarkan oleh persyaratan untuk air minum. Untuk keperluan tersebut perlu
53
adanya testing secara periodik terhadap alat penyaring maupun hasil air yang telah
disaring. Debit airnya harus mampu untuk didistribusikan ke seluruh rumah dengan
baik, maka persyaratan bak reservoir seperti pada sumur artesis harus tetap dipenuhi.
Tiap rumah agar dipasang meteran air, dan jaringan instalasi distribusinya harus
dilegalisir oleh PAM setempat.
Air limbah yang berasal dari kamar mandi, dapur, dan pembuangan lainnya
tidak boleh dibuang langsung pada saluran yang sama. Masing-masing limbah ini
harus dibuang dengan saluran tersendiri, dan hasil pembuangan ini harus
ditampung dalam sebuah bak yang disebut septic tank. Perencanaan saluran juga
harus tepat agar saluran tidak tersumbat. Septic tank haruslah terbuat dari bahan
yang tidak tembus air agar limbah tidak mencemari lingkungan. Selain itu, jarak
septic tank dengan sumur penyerapan adalah minimal 10 meter agar sumur tidak
tercemar.
Jaringan listrik, bila penyambungan listrik tidak termasuk dalam KPR BTN
maka tanah untuk lokasi trafo harus disediakan dengan luas yang mencukupi.
Jaringan listrik sangatlah penting sebagai sumber energi pendukung aktivitas
manusia. Ingat juga untuk bumbung rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau
lebih harus dilengkapi dengan penangkal petir.
Untuk pembuangan sampah setiap rumah harus disediakan atau dilengkapi
dengan tempat pengumpulan sampah. Volume bak sampah minimal 100 liter.
Apabila memakai drum/tong yang dapat ditumpahkan, volume minimumnya dapat
diambil 50 liter.
Di samping fasilitas-fasilitas tersebut, ada fasilitas lain yang perlu diadakan
tersendiri untuk rumah pedesaan adalah kandang ternak. Oleh karena ternak adalah
merupakan bagian hidup para petani, maka kadang-kadang ternak tersebut ditaruh
di dalam rumah. Hal ini tidak sehat karena ternak kadang-kadang merupakan
sumber penyakit pula. Maka sebaiknya, demi kesehatan, ternak harus terpisah dari
rumah tinggal atau dibuatkan kandang tersendiri.12
Fasilitas lainnya adalah perabotan rumah tangga. Setiap rumah seharusnya
memiliki beberapa ruangan dimana ruangan itu memiliki perabotan yang menjadi
54
standar minimumnya hingga ruang itu memiliki suatu nama tersendiri. Berikut
adalah macam ruangan dan standar minimum perabotannya:
1) Ruang duduk/keluarga: kursi duduk, sofa, meja.
2) Ruang makan: kursi makan, meja makan, lemari makan.
3) Ruang tidur : tempat tidur, lemari pakaian (ruang tidur orangtua dan anak
lebih baik dipisahkan).
4) Ruang kerja : meja tulis dan kursi.
5) Ruang tamu/makan: meja makan, kursi makan,kursi tamu,meja tamu lemari
pendek.
6) Ruang dapur:
Alat dapur: meja ranik, almari, pisau, sendok, garpu, piring
Memasak : bahan bakar kayu, minyak, arang, alat pembakar (tungku,
kompor, anglo), alat memasak (wajan, sendok pengaduk, panci, teko)
Mencuci : bak cuci, sikat, lap, sabun
Apabila tidak ada ventilasi bisa diberi alat sirkulasi udara, misalnya exhaust
fan.
10) Ruang mandi dan kakus: bak air, pelat jongkok, gantungan pakaian/handuk,
tempat sabun mandi.
11) Ruang Cuci/Kerja Seterika: bak cuci (ember), papan cuci, rak/lemari.
Kesimpulan
Sehat atau bebas dari penyakit merupakan keinginan dari setiap individu,
keluarga, dan masyarakat. Dalam mewujudkan kondisi sehat tersebut, ada pelayanan
kesehatan yang disediakan, yaitu pelayanan kesehatan kedokteran dan pelayanan
kesehatan kedokteran. Pelayanan yang diberikan dapat berupa promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif. Dalam kasus lepra yang terjadi pada kasus, ada beberapa hal
yang harus dilakukan sebagai seorang dokter keluarga, antara lain melakukan
pendekatan epidemiologi secara langsung, melakukan pengobatan, dan melakukan
promosi kesehatan mengenai lepra pada keluarga pasien dan masyarakat yang tinggal
di area 100 meter radius dari rumah pasien.
Daftar Pustaka
55
1. Azwar, Azrul. Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta:
Yayasan Penerbitan IDI, 1995.
2. Azwar, Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga. Jakarta: PT.
Binarupa Aksara, 1995.
3. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: FKUI, 2010.h.73-88.
4. Nelson KE. Leprosy. In: Maxcy-Rosenau. Last public health & preventive
medicine. 15th ed. USA: the McGraw-hill Companies, 2008.p. 258-63.
5. Kuswadji S. Penjaminan Mutu Praktek Dokter Keluarga. Jakarta: Widya
Medika, 1996.
6. Dudiarto E, Anggraeni D. Pengantar epidemiologi. Ed.II. Jakarta: EGC,
2003.h.100-3.
7. Arias KM, Harkavy LM. Program surveilans rutin untuk fasilitas pelayanan
kesehatan. Dalam Aris KM. Investigasi dan pengendalian wabah di fasilitas
pelayanan kesehatan. Jakarta: EGC, 2010.h.25-54.
8. Prabu. Rumah sehat. 3 Januari 2009. Diunduh dari
http://putraprabu.wordpress.com/2009/01/03/rumah-sehat , 1 Juli 2013.
9. Wicaksono AA. Kreasi, tipe, dan solusi menciptakan rumah sehat. Jakarta:
Penebar Swadaya, 2009.h.2-22.
10. Frick H. 10 patokan untuk rumah ekologis sebagai rumah sehat. Diunduh dari
http://www.lmbunika.com/PDF/StandardI.pdf , 1 Juli 2013.
11. Putrakusuma M. 4 kriteria rumah sehat. 7 Agustus 2009. Diunduh dari
http://www.sobatsehat.com/info-sehat/4-kriteria-rumah-sehat. 1 Juli 2013.
12. Diunduh dari http://www.smallcrab.com/kesehatan/619-syarat-syarat-rumah-
sehat. 1 Juli 2013.
56