makalah e3 blok 26

24
Skrining kanker serviks dengan metode IVA KELOMPOK E3 Tabita Jane Ayudia 102007128 Alfonsius Rolando Sondakh 102008121 Yosephina Mastiur 102009130 Ari Filologus Sugiarto 102009187 Sari Prasili Suddin 102010029 Emily Nadya Akman 102010115 Fredy Ferdian Pratama 102010117 Cathelin Stella 102010219 Peggy Falentin Loban 102010303

Upload: neng-nurmalasari

Post on 28-Nov-2015

106 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah E3 BLOK 26

Skrining kanker serviks dengan metode IVA

KELOMPOK E3

Tabita Jane Ayudia 102007128

Alfonsius Rolando Sondakh 102008121

Yosephina Mastiur 102009130

Ari Filologus Sugiarto 102009187

Sari Prasili Suddin 102010029

Emily Nadya Akman 102010115

Fredy Ferdian Pratama 102010117

Cathelin Stella 102010219

Peggy Falentin Loban 102010303

Neng Nurmalasari 102010326

Angela 102010349

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Tahun ajaran 2012/2013

Page 2: Makalah E3 BLOK 26

Pendahuluan

Skrining diperlukan untuk mencari penyakit pada subjek yang asimtomatik, untuk kemudian

dapat dilakukan pemeriksaan selanjutnya agar diagnosis dini dapat ditegakkan. Uji diagnostic

untuk keperluan skrining harus memiliki sensitivitas yang sangat tinggi meskipun

spesifisitasnya sedikit rendah. Penyakit yang perlu dilakukan skrining memiliki syarat-syarat,

antara lainbegin_of_the_skype_highlighting (1) prevalensi penyakit harus cukup tinggi, (2)

penyakit tersebut menunjukkan morbiditas dan/atau mortalitas yang bermakna apabila tidak

diobati, (3) harus tersedia terapi atau intervensi yang efektif yang dapat mengubah perjalanan

penyakit, dan (4) pengobatan dini harus memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan

dengan pengobatan pada kasus yang lanjut.1

Karsinoma serviks uteri

Epidemiologi

Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita dan menjadi penyebab

lebih dari 250.000 kematian pada tahun 2005. Kurang lebih 80% kematian tersebut terjadi di

negara berkembang. Tanpa penatalaksanaan yang adekuat, diperkirakan kematian akibat

kanker serviks akan meningkat 25% dalam sepuluh tahun mendatang.

Faktor etiologi

Faktor etiologi yang perlu mendapat perhatian adalah infeksi human pavilloma virus (HPV).

HPV tipe 16, 18,31,33,35,45,51,52,56 dan 58 sering ditemukan pada kanker dan lesi

prakanker. HPV adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermis

dan mukosa. Infeksi virus papiloma sering terdapat pada wanita yang aktif secara seksual.

Faktor risiko

Perilaku seksual

Page 3: Makalah E3 BLOK 26

Dari studi epidemiologi, kanker serviks skuamosa berhubungan kuat dengan perilaku seksual,

seperti berganti-ganti mitra seks dan usia melakukan hubungan seks yang pertama. Risiko

meningkat lebih dari sepuluh kali bila mitra seks enam atau lebih, atau bila hubungan seks

pertama di bawah umur 15 tahun. Risiko akan meningkat apabila hubungan dengan pria

berisiko tinggi mengidap kandiloma akuminatum. Pria berisiko tinggi adalah pria yang

melakukan hubungan seks dengan banyak mitra seks.

Merokok

Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret

maupun yang dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbons

heterocyclic amine yang sangat karsinogenik dan mutagen, sedangkan bila dikunyah ia

menghasilkan nitrosamine. Bahan yang berasal dari tembakau yang dihisap terdapat pada

getah serviks wanita perokok dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus.

Ali dkk. Bahkan membuktikan bahwa bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan

DNA epitel serviks sehingga mengakibatkan neoplasma serviks.

Nutrisi

Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah

kanker. Dari beberapa penellitian, ternyata defisiensi terhadap asam folat, vitamin C, E, beta

karotin/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks.

Table. Risiko relative kanker serviks dari beberapa factor

Factor risiko Risiko relative

Usia pertama hubungan seks (tahun)

<16

16-19

>19

16

3

1

Jarak antara hubungan seks pertama

Page 4: Makalah E3 BLOK 26

dengan menarche (tahun)

<1

1-5

6-10

>10

26

7

3

1

Jumlah pasangan seks

>4 pasangan (dibandingkan 0 atau 1

pasangan)

3,6

Jumlah pasangan seks sebelum usia 20 tahun

>1 pasangan (dibandingkan tanpa pasangan) 7

Genital wart

Ada (dibandingkan tidak ada) 3,2

Merokok >5 batang perhari

Selama >20 tahun (dibandingkan <1 tahun) 4

Perubahan system imun

Perubahan system imun dihubungkan dengan meningkatnya risiko terjadinya karsinoma

serviks invasive. Hal ini dihubungkan dengan penderita yang terinfeksi dengan human

immunodeficiency virus (HIV) meningkatkan angka kejadian kanker serviks prainvasif dan

invasive. 2

Cara penularan kanker serviks

Tes HPV umumnya hanya digunakan untuk membantu deteksi kanker serviks. Tidak ada tes

umum bagi laki-laki atau perempuan untuk memeriksa seseorang secara keseluruhan ‘status

HPV’, juga tidak ada tes HPV untuk menentukan HPV pada alat kelamin atau di mulut, atau

Page 5: Makalah E3 BLOK 26

tenggorokan. Bila ingin mengidentifikasi tipe HPV, dapat diketahui dengan pemeriksaan

PCR, tetapi bila hanya untuk mengetahui infeksi HPV onkogenik dapat dilakukan

pemeriksaan tes DNA HPV.

Virus HPV 95% menular dengan hubungan seksual, 5% menular nonseksual yaitu menular

melalui kulit, kuku, dan lain sebagainya. HPV menular melalui kontak kelamin, yang paling

sering melalui vagina dan anal seks. HPV dapat juga ditularkan di antara pasangan berbeda

jenis kelamin maupun pasangan gay, lesbian, dan heteroseksual. Bahkan ketika terinfeksi,

pasangan tersebut tidak memiliki tanda-tanda atau gejala.

Seseorang bisa terkena HPV bahkan bertahun-tahun berlalu sejak penderita kontak seksual

dengan orang yang terinfeksi. Sebagian besar orang yang terkena virus HPV tidak menyadari

mereka terinfeksi atau mereka menularkan virus pada pasangannya. Hal ini juga memungkin

seseorang dapat terinfeksi pada lebih dari satu jenis HPV.

Sangat jarang terjadi, seorang wanita hamil yang terkena infeksi HPV dapat menularkan HPV

pada bayinya selama proses persalinan. Dalam kasus ini, anak dapat menderita penyakit yang

disebut Respiratory Juvenille Onset Recurrent Eespiratoru Papillomatosis (JORRP).3

Penanganan kanker serviks

Kanker serviks yang disebabkan virus HPV akan menimbulkan kutil yang akan menghilang

sendiri setelah sistem imun terangsang untuk mengenalinya. Hal ini biasanya terjadi setelah

vaskularisasi atau perdarahan kutil.

Iritasi kutil kulit atau plantar dengan pengolesan asam salisilat, formaldehida, podofilum atau

iritan kulit lain dapat merangsang reaksi imun terhadap kutil. Kutil sering kali muncul

kembali setelah penaganan. Nitrogen cair, bedah baku, atau laser dapat digunakan untuk

mengangkat kutil yang berada di daerah genital atau esophagus.

Page 6: Makalah E3 BLOK 26

Pada penderita neoplasma intraepitel serviks, pembedahan berupa konisasi diindikasikan bagi

penderita usia muda dan masih ingin mempunyai anak. Sedangkan, histerektomi

diindikasikan pada multiparietas, penderita di atas 40 tahun, atau lesi dalam pada serviks.4

Early diagnosis

Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skrining yang terorganisasi dengan sasaran

perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap

tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia

produktif. Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi prakanker)

memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan penatalaksanaan kanker

leher rahim. Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini

kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat

sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas :

Sasaran yang akan menjalani skrining

WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut : 5

a. setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes Pap

sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih.

b. Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya

c. perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca

sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal

lainnya

d. perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya

Diagnosis kanker adalah usaha untuk mengidentifikasi jenis kanker yang diderita dengan cara

pemeriksaan tertentu. Pemeriksaan yang dilakukan pada kanker leher rahim meliputi :

a. Pemeriksaan Ginekologi

Page 7: Makalah E3 BLOK 26

Dengan melakukan Vaginal tauche atau rectal tauche yang berguna untuk mengetahui

keadaan leher rahim serta sangat penting untuk mengetahui stadium kanker leher rahim.

b. Pemeriksaan Pap smear

Pemeriksaan pap smear adalah pemeriksaan sitologi epitel porsio dan leher rahim untuk

menentukan tingkat praganas dan ganas pada portio dan leher rahim serta diagnosa dini

karsinoma leher rahim.

c. Pemeriksaan Kolposkopi

Kolposkopi adalah mikroskop teropong stereoskopis dengan pembesaran yang rendah 10-40

X, dengan kolposkopi maka metaplasia scuomosa infeksi HPV, neoplasma Intraepiteliel

leher rahim akan terlihat putih dengan asam asetat atau tanpa corak pembuluh darah.

Kelemahanya: hanya dapat memeriksa daerah terlihat saja yaitu portio, sedangkan kelainan

pada SCJ dan intraepitel tidak bisa dilihat. 6

d. Pemeriksaan Biopsi

Pemeriksaan ini dikerjakan dengan mata telanjang pada beberapa tempat di leher rahim yaitu

dengan cara mengambil sebagian/seluruh tumor dengan menggunakan tang oligator, sampai

jaringan lepas dari tempatnya.

e. Konisasi

Adalah suatu tindakan operasi untuk mengambil sebagian besar jaringan leher rahim

sehingga berbentuk menyerupai kuretase dengan alat di ektoleher rahim dan punkankerknya

pada kanalis servikalis, kemudian dilakukan pemotongan maupun pemeriksaan mikroskopis

secara serial sehingga diagnosa lebih tepat. Konisasi di laksanakan bila hasil pap smear

mencurigakan, biasanya dikerjakan pada karsinoma insitu serta untuk mengatahui apakah

sudah ada penembusan sel kanker dibawah membran basalis. 7

IVA tes

Page 8: Makalah E3 BLOK 26

Mengkaji masalah penanggulangan kanker leher rahim yang ada di Indonesia dan adanya

pilihan metode yang mudah di-ujikan di berbagai negara, agaknya metode IVA (inspeksi

visual dengan aplikasi asam asetat) layak dipilih sebagai metode skrining alternatif untuk

kanker leher rahim. Pertimbangan tersebut didasarkan oleh pemikiran, bahwa metode

skrining IVA itu mudah, praktis dan sangat mampu laksana. Dapat dilaksanakan oleh tenaga

kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan

kesehatan ibu. Alat-alat yang dibutuhkan sangat sederhana. Metode skrining IVA sesuai

untuk pusat pelayanan sederhana. IVA adalah pemeriksaan skrining kanker serviks dengan

cara inspeksi visual pada serviks dengan aplikasi asam asetat. 8

Tabel 3. Perbedaan beberapa metode skrining

Metode Prosedur Kelebihan Kekurangan Status

Sitologi

konvensional

(Tes Pap)

Sampel diambil

oleh tenaga

kesehatan dan

diperiksa oleh

sitoteknisi di

laboratorium

Metode yang

telah lama

dipakai

Diterima secara

luas

Pencatatan hasil

pemeriksaan

permanen

Training dan

mekanisme

kontrol kualitas

telah baku

Investasi yang

sederhana pada

program yang

telah ada dapat

Hasil tes tidak

didapat dengan

segera

Diperlukan

sistem yang

efektif untuk

follow up

wanita yang

diperiksa

setelah ada

hasil

pemeriksaan

Diperlukan

transport

bahan sediaan

dari tempat

Telah lama

digunakan di

banyak negara

sejak tahun 1950

Terbukti

menurunkan angka

kematian akibat

kanker leher rahim

di negara-negara

maju

Page 9: Makalah E3 BLOK 26

meningkatkan

pelayanan

Spesifisitas tinggi

pemeriksaan ke

laboratorium,

transport hasil

pemeriksaan ke

klinik

Sensitivitas

sedang

Liquid Base

Citology

Sampel diambil

oleh tenaga

kesehatan,

dimasukkan

dalam cairan

fiksasi dan

dikirim untuk

diproses dan di

periksa di

laboratorium

Jarang

diperlukan

pengambilan

sample ulang

bila bahan

sediaan tidak

adekuat

Waktu yang

dibutuhkan

untuk

pembacaan hasil

lebih singkat bila

dilakukan oleh

sitoteknisi yang

berpengalaman

Sampel dapat

digunakan juga

untuk tes

Hasil tes tidak

didapat

dengan segera

Fasilitas

laboratorium

lebih mahal dan

canggih

Page 10: Makalah E3 BLOK 26

molekuler

(misalnya HPV

tes)

Tes DNA HPV Tes DNA HPV

secara

molekuler.

Pengambilan

sampel dapat

dilakukan

sendiri oleh

wanita dan

dibawa ke

laboratorium

Pengambilan

sampel lebih

mudah

Proses

pembacaan

otomatis oleh

alat khusus

Dapat

dikombinasi

dengan Tes Pap

untuk

meningkatkan

sensitivitas

Spesifitas tinggi

terutama pada

perempuan >35

tahun

Hasil tes tidak

didapat

dengan segera

Biaya lebih

mahal

Fasilitas

laboratorium

lebih mahal

dan canggih

Perlu reagen

khusus

Spesifitas

rendah pada

perempuan

muda (,35

tahun)

Digunakan secara

komersial di

negara-negara

maju sebagai

tambahan

pemeriksaan

sitologi

Metode Visual

(IVA dan VILI)

Pemulasan leher

rahim dapat

dilakukan oleh

tenaga kesehatan

Mudah dan

murah

Hasil didapat

Spesifitas

rendah,

sehingga

Belum cukup data

dan penelitian yang

mendukung,

Page 11: Makalah E3 BLOK 26

yang terlatih

(bidan/

dokter/perawat)

dengan segera

Sarana yang

dibutuhkan

sederhana

Dapat

dikombinasi

dengan

tatalaksana

segera lainnya

yang cukup

dengan

pendekatan

sekali

kunjungan

(single visit

approach)

berisiko

overtreatment

Tidak ada

dokumentasi

hasil

pemeriksaan

Tidak cocok

untuk skrining

pada

perempuan

pasca

menopause

Belum ada

standarisasi

Seringkali perlu

training ulang

untuk tenaga

kesehatan

terutama

sehubungan dengan

efeknya terhadap

penurunan angka

kejadian dan

kematian kanker

leher rahim

Saat ini hanya

direkomendasikan

pada daerah

proyek

Dikutip dari Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential Practice. Geneva

: WHO, 2006.

Program puskesmas akan skrining kanker serviks:

Ketua Yayasan Kanker Indonesi Provinsi DKI Jakarta melihat kanker serviks

merupakan salah satu masalah kesehatan perempuan yang perlu menjadi perhatian utama

sebagai bentuk perlindungan bagi perempuan di indonesia. Program ini merupakan langkah

positif menyadarkan kaum perempuan bahwa pencegahan lebih baik dari pada mengobati.

Dengan target pencapaian 1.4 juta perempuan di DKI Jakarta diperiksa untuk mendeteksi dini

kanker serviks ditahun 2017.

Page 12: Makalah E3 BLOK 26

Periode pemeriksaan IVA secara gratis dimulai dari bulan Mei sampai Juni 2013

dengan waktu pelayanan pukul 08.00 sampai 12.00 di 286 puskesmas se DKI Jakarta.

Dimana sebelumnya pada tahun 2007 sampai 2012 terdapat 53.815 perempuan yang telah

diperiksa dengan melibatkan kader dan anggota PKK serta PPKS Yayasan Kanker Indonesia

DKI Jakarta.9

Tes skrining

Sensitivitas dan spesifisitas

Penilaian uji diagnostic memberikan kemungkinan hasil positif benar, positif semu, negatif

semu, dan negatif benar. Dalam penyajian hasil penelitian diagnostik, keempat kemungkinan

tersebut disusun dalam tabel 2x2. Bila hasil positif benar disebut sel a, hasil positif semu

disebut sel b, hasil negatif semu disebut sel c, dan hasil negatif benar disebut sel d, maka hasil

pengamatan dapat disusun dalam tabel 2x2 seperti pada Tabel 1. Dari tabel 2x2 tersebut dapat

diperoleh beberapa nilai statistik yang memeperlihatkan beberapa akurat suatu uji diagnostik

dibandingkan dengan baku emas. Dari hasil uji diagnosis harus dapat dijawab dua pertanyaan

berikut:

1. Bila subjek benar sakit, harus dicari seberapa besar hasil uji diagnostik positif atau

abnormal. Ini berhubungan dengan sensitivitas. Sensitivitas adalah proporsi subjek yang

sakit dengan hasil uji diagnostik positif (positifbenar) dibanding seluruh subjek yang sakit

(positif benar + negatif semu), atau kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik tabel 2x2,

senssitivitas = a : (a+c).

2. Bila subjek tidak sakit, seberapa besar kemungkinan bahwa hasil uji negatif berhubungan

dengan spesifisitas, yang menunjukan kemampuan alat diagnostik menentukan bahwa

subjek tidak sakit. Spesifisitas merupakan proporsi subjek sehat yang memberikan hasil

uji diagnostik negatif (negatif benar) dibandingkan dengan seluruh subjek yang tidak

Page 13: Makalah E3 BLOK 26

sakit (negatif benar + positif semu), atau kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik akan

negatif bila dilakukan pada kelompok subjek yang sehat. Dalam tabel hasil uji diagnostik,

spesifitas = d : (b+d).

Tabel 1. Baku emas.1

Sakit Tidak Sakit Jumlah

Positif a b a+b

Negatif c d c+d

Jumlah a+c b+d a+b+c+d

Tabel 1. Memperlihatkan hasil uji diagnostik, yakni hasil yang diperoleh dengan uji yang

diteliti dan dengan hasil pada pemeriksaan dengan baku emas. Sel a menunjukkan jumlah

subjek dengan hasil positif benar; sel b = jumlah subjek dengan hasil positif semu, sel c =

subjek dengan hasil negatif semu, sel d= subjek dengan hasil negatif benar. Dari tabel dapat

dihitung:1

Sensitivitas = a/(a+c)

Spesifisitas = d/(b+d)

Nilai prediktif uji positif = sensitivitas * 100%

Nilai prediktif uji negatif = spesifisitas * 100%

Presentase negatif palsu adalah pelengkap sensitivitas. Sebaliknya, presentase positif palsu

adalah pelengkap spesifisitas. Ahli epidemiologi menginginkan sebuah uji yang sensitive

sehingga uji itu dapat mengidentifikasi jumlah yang cukup tinggi dari mereka yang terkena

penyakit dan juga sebuah uji yang dapat menghasilkan beberapa negatif palsu. Selain itu, ahli

epidemiologi juga menginginkan uji yang cukup spesifik untuk mendeteksi penyakit,

sehingga dihasilkan respon yang terbatas hanya pada kelompok studi yang memang terkena

Page 14: Makalah E3 BLOK 26

penyakit dan beberapa positif palsu. Begitu proses skrining selesai, sebuah diagnosis

diperlukan untuk menegakkan penyakit di antara mereka yang diduga memiliki penyakit dan

mengelurkan mereka yang diduga terkena penyakit tetapi sebenarnya tidak.10

Sensitifitas dan spesifisitas banyak digunakan dalam kedokteran untuk uji diagnostik atau

mendeteksi penyakit pada uji tapis. Di samping manfaat yang telah disebutkan, sensitivitas

dan spesifitas memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:

1. Sensitivitas dan spesifisitas hanya dapat digunakan untuk konfirmasi penyakit yang telah

diketahui, tetapitidak dapat digunakan untuk memprediksi penyakit pada sekelompok

orang yang belum diketahui kondisinya karena dasar yang digunakan pada perhitungan

sensitivitas dan spesifisitas adalah orang yang telah diketahui kondisinya, sedangkan

dalam kenyataan para klinisi berhadapan degnan orang yang belum diketahui kondisinya.

2. Dengan menggunakan tabel 2x2 sebenarnya terjadi penyederhanaan karena dalam

kenyataan hasil pengobatan tidak selalu dengan sembuh dan tidak sembuh.11

Nilai prediktif tes skrining merupakan aspek terpenting suatu uji. Kemampuan suatu uji untuk

memprediksi ada atau tidaknya penyakit merupakan penentu kelayakan suatu tes. Semakin

tinggi angka prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin tinggi pengaruh sensitivitas

dan spesifisitas uji tersebut terhadap nilai prediktifnya. Semakin tinggi angka prevalensi suatu

penyakit dalam populasi, semakin besar kemungkinan terjadinya positif benar. Semakin

sensitive suatu uji, semakin tinggi nilai prediktif dan semakin rendah jumlah positif palsu dan

negatif palsu yang dihasilkan uji tersebut, yang juga menentukan nilai prediktifnya. Ketika

melakukan sebuah uji negatif, nilai prediktif adalah presentase orang yang tidak sakit di

antara semua partisipan yang memiliki hasil uji negatif. Nilai prediktif uji positif adalah

presentasi positif benar di antara individu yang hasil ujinya positif. Suatu penyakit harus

mencapai tingkat 15%-20% dalam populasi sebelum nilai prediktif yang berguna tercapai.

Page 15: Makalah E3 BLOK 26

Informasi prevalensi digunakan untuk menghitung dan membagi kelompok studi menjadi

mereka yang terkena penyakit dan mereka yang tidak terkena penyakit.10

Kesimpulan

Skrining kanker serviks telah memberikan dampak yang baik terhadap masalah kanker

serviks. Penurunan jumlah penderita kanker serviks dikarenakan skrining yang dilakukan

pada wanita yang memiliki faktor resiko. Skrining memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas

yang berguna untuk menentukan nilai prediksi uji positif dan nilai prediksi uji negatif.

Skrining kanker serviks dengan metode IVA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang

rendah

Daftar pustaka

1. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologipenelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto, 2011.

hal. 219-30.

2. Rasjidi I. Panduan penatalaksanaan kanker ginekologik berdasarkan evidence based.

Jakarta: EGC;2007.h.6-19

3. Nurwijaya H, Andrijono, Suheimi HK. Cegah dan deteksi kanker serviks. Jakarta:

Elex Media Komputindo, 2010. hal. 59-60.

4. Manuaba IBG. Penuntun kepaniteraan klinik obstetric dan ginekologi. Edisi !!.

Jakarta: EGC, 200. hal. 317.

5. World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to

Essential Practice. Geneva : WHO, 2006.

6. Lestadi J. Penuntun diagnostic praktis sitologi ginekologij apusan pap. Jakarta:

Widya medika. 1997. 1-26

7. Desen Wan. Buku ajar onkologi klinis. Ed 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2008. 492-502.

8. Suharti, Hartono. Makalah inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Palembang: FK

Page 16: Makalah E3 BLOK 26

Unair. 2001.

9. Sjamsuddin S. pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Jakarta: EGC 2001; 133

10. Timmreck TC. Epidemiologi: suatu pengantar. Jakarta: EGC, 2004. hal. 337-47.

11. Budiarta e. metodologi penelitian kedokteran: sebuah pengantar. Jakarta: EGC, 2003.

Hal 184-6.