makalah blok 14
DESCRIPTION
bygjhjjgigjbbigibTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak pasif, proteksi alat-alat di dalam tubuh,
pembentuk tubuh, metabolism kalsium dan mineral, dan organ hemopoetik. Tulang juga merupakan
jaringan ikat yang dinamis yang selalu diperbarui melalui proses remodeling yang terdiri dari proses
resorpsi dan formasi. Dengan proses resorpsi bagian tulang yang tua dan rusak akan dibersihkan dan
diganti oleh tulang yang baru melalui proses formasi.1
I.2. Tujuan Penulisan
Mengetahui kelainan-kelainan patologis tulang, penatalaksanaan, dan pencegahannya
1
BAB II
PEMBAHASAN
Skenario
Nn. O, 21 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri pada jari-jari tangan, & pergelangan tangan
pada tangan kanan & kiri sudah berlangsung selama 4 bulan ini. Pasien juga mengatakan jari-jari tangan
terasa kaku pada pagi hari rata-rata 1 jam lebih, disertai nyeri dan bengkak pada sendi-sendinya. Pasien
sudah berobat; saat meminum obat dikatakan nyeri & bengkak umumnya berkurang, tetapi sering
kambuh lagi. Riwayat trauma pada tangan tidak ada. Pasien adalah mahasiswi dan belum bekerja. Pasien
mengatakan ibunya juga sering nyeri sendi terutama pada lutut kirinya. Pada pemeriksaan fisik, BB
pasien 48kg, TB 158cm, KU : tampak sakit ringan, kesadaran : compos mentis, TD : 110/80 mmHg, N:
84x/menit, RR : 18 x/menit, T: 36,9°C, pemeriksaan thorax (cor & pulmo), abdomen, tidak ada kelainan.
Status lokalisasi : proximal inter phalanx I-V & meta carpo phalangeal I-V. Laboratorium : Hb : 12g/dL,
Ht : 36%, Leukosit : 7000/µL, Trombosit : 250.000/µL, LED 30 mm/jam, asam urat : 5 mg/dL.
II.1. Anamnesis
Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnosis semua penyakit,
termasuk pula rematik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang
deskriptif dan kronologis. Ditanyakan pula faktor yang memperberat penyakit dan hasil
pengobatan untuk mengurangi keluhan pasien.
Umur
Penyakit rematik dapat menyerang semua umur, tetapi frekuensi setiap penyakit terdapat
pada kelompok umur tertentu. Misalnya osteoartritis lebih sering ditemukan pada pasien
usia lanjut dibandingkan usia muda. Sebaliknya SLE lebih sering ditemukan pada wanita
usia muda dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.
Jenis Kelamin
Misalnya pada RA yang lebih terserang yaitu perempuan, ada riwayat keluarga yang
menderita RA dan umur lebih tua.
Nyeri Sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien rematik. Pasien sebaiknya diminta
menjelaskan lokasi nyeri serta punctum maximumnya karena mungkin sekali nyeri
2
tersebut menjalar ke tempat jauh merupakan karakteristik yang disebabkan oleh
penekanan radiks saraf. Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan
perubahan mekanis dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah
aktivitas akan hilang setelah istirahat serta tidak timbul di pagi hari merupakan nyeri
mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun
tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang
setelah melakukan aktivitas.
Pada artritis reumatoid, nyeri yang paling berat biasanya pada pagi hari, membaik pada
siang hari dan sedikit lebih berat pada malam hari.
Sebaliknya pada osteoartritis, nyeri paling berat pada malam hari, pagi hari terasa lebih
ringan dan membaik di siang hari. Pada artritis gout, nyeri yang terjadi biasanya berupa
serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari, sedangkan pada malam hari
sebelumnya pasien tidak merasakan apa-apa, nyeri ini biasanya self limiting dan sangat
resposif dengan pengobatan. Nyeri malam hari terutama bila dirasakan seperti suatu
regangan merupakan nyeri akibat peninggian tekanan intra artikular akibat suatu nekrosis
avaskular atau kolaps tulang akibat artritis yang berat. Nyeri yang menetap sepanjang
hari (siang dan malam) pada tulang merupakan tanda proses keganasan.
Kaku Sendi
Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk menggerakan
sendi. Keadaan ini biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang
mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovial, atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada
pagi hari atau setelah istirahat. Setelah digerak-gerakan, cairan akan menyebar dari
jaringan yang mengalami inflamasi dan pasien merasa terlepas dari ikatan. Lama dan
beratnya kaku sendi pada pagi hari atau setelah istirahat biasanya sejajar dengan
beratnya inflamasi sendi ( kaku sendi pada artritis reumatoid lebih lama dari
osteoartritis, kaku sendi pada artritis reumatoid berat lebih lama daripada yang ringan).
Gejala Sistemik
Penyakit sendi inflamator baik yang disertai maupun tidak disertai keterlibatan
multisistem lainnya akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti
peningkatan LED atau CRP. Selain itu terkadang akan disertai gejala sistemik seperti
panas, penurunan berat badan, kelelahan, lesu dan mudah terangsang.
3
Gangguan tidur dan depresi
Faktor yang berperan dalam gangguan pola tidur antara lain seperti nyeri kronik,
terbentuknya fase reaktan, obat anti inflamasi nonsteroid (seperti indometasin).
II.2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan Fisik1
Gaya Berjalan
Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel strike phase, loading / stance
phase , toe off phase dan swing phase. Pada heel strike phase, lengan diayun diikuti
gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri dari fleksi sendi koksae dan ekstensi sendi
lutut. Pada loading / stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur melakukan
rotasi ke depan bersamaan dengan akhir gerakan tungkai pada heel strike phase. Pada toe
off phase, sendi koksae ekstensi dan tumit mulai terangkat dari lantai. Pada swing phase,
sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi talokruralis.
Gaya berjalan abnormal meliputi gaya berjalan antalgik (Gaya berjalan pada pasien
artritis dimana pasien akan segera mengangkat tungkai yang nyeri), Trendelenburg
(Disebabkan oleh abduksi koksae yang tidak efektif sehingga panggul kontralateral akan
jatuh pada swing phase), Waddle gait (Gaya berjalan tendelenburg bilateral sehingga
pasien akan berjalan dengan pantat bergoyang), Paraparetik Spastik (Kedua tungkai
melakukan gerakan fleksi dan ekstensi secara kaku dan jari-jari kaki mencengkeram kuat
sebagai usaha agar tidak jatuh), Paraparetik flaksid (Gaya berjalan seperti ayam jantan),
hemiparetik (tungkai yang kesemutan akan digerakan ke samping baru diayun ke depan
karena koksae dan lutut tidak dapat difleksikan), ataktik (Kedua tungkai dilangkahkan
secara bergoyang ke depan dan ditapakkan ke lantai secara ceroboh secara berjauhan
satu sama lain), parkinson (gerak berjalandilakukan perlahan, setengah diseret, tertatih-
tatih dengan jangkauan yang pendek-pendek), scissor gait (Gaya berjalan dengan kedua
tungkai bersikap genu velgum sehingga lutut yang satu berada di depan lutut yang lain
secara bergantian).
Sikap / Postur Badan
Perlu diperhatikan bagaimana cara pasien menagtur posisi bagian badan yang sakit.
Sendi yang meradang biasanya mempunyai tekanan intraartikular yang tinggi, oleh
karena itu pasien akan berusaha menguranginya dengan mengatur posisi sendi tersebut
4
seenak mungkin, biasanya dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal
dengan bantal. Pada sendi bahu dengan cara lengan diaduksi dan endorotasi.
Perubahan Kulit
Kelainan kulit sering menyertai penyakit rematik atau penyakit kulit sering pula disertai
dengan penyakit rematik. Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis dan
eritema nodusum. Kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar sendi
menunjukan adanya inflamasi periartikular, yang sering pula merupakan tanda artritis
septik atau artritis kristal (gout).
Kenaikan Suhu sekitar Sendi
Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan akan dirasakan adanya kenaikan
suhu di sekitar sendi yang mengalami inflamasi.
Bengkak Sendi
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang. Cairan sendi
yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang
resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut.
Nyeri Raba
Menentukan lokasi nyeri raba yang tepat merupakan hal yang penting untuk menentukan
penyebab keluhan pasien. Nyeri raba kapsular / artikular terbatas pada daerah sendi
merupakan tanda artropati atau penyakit kapsular.
Atrofi atau Penurunan Kekuatan Otot
Atrofi otot merupakan tanda yang paling sering ditemukan. Pada sinovitis segera terjadi
hambatan refleks spinal lokal terhadap otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada
artropati berat dapat terjadi atrofi periartikular yang luas. Sedangkan pada jepitan saraf,
gangguan tendon atau otot terjadi atrofi lokal. Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini
lebih penting dari besar otot.
Pemeriksaan Laboratorium1
Hb : 12g/dL
Ht : 36%
5
Leukosit : 7000/µL
Trombosit : 250.000/µL
LED : 30 mm/jam
Asam urat : 5 mg/dL.
Tidak ada tes diagnostic tunggal yang definitive untuk konfirmasi diagnosis AR. The American College
of Rheumatology Subcomitee on Rheumatoid Arthritis (ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan
laboratorium dasar untuk evaluasi antara lain : darah perifer lengkap (complete blood cell count), faktor
rheumatoid (RF), laju endap darah atau C-reactive protein (CRP). Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal
juga direkomendasikan karena akan membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan RF dan
anti-CCP negative bila dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita AR
yang mempunyai faktor resiko tinggi mengalami prognosis buruk.
Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk menilai penderita AR antara lain foto polos
(plain radiograph) dan MRI (magnetic resonance imaging). Pada awal perjalanan penyakit mungkin
hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada pemeriksaan foto polos, tetapi
dengan berlanjutnya penyakit mungkin akan lebih banyak ditemukan kelainan. Ostopenia juxtaarticular
adalah karakteristik untuk AR dan chronic inflammatory arthritides lainnya. Hilangnya tulang rawan
artikular dan erosi tulang mungkin timbul setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang lebih
70% penderita AR akan mengalami erosi tulang dalam 2 tahun pertama penyakit, dimana hal ini
menandakan penyakit berjalan secara progresif. Erosi tulang bisa tampak pada semua sendi, tetapi paling
sering ditemukan pada, sendi metacarpophalangeal, metatarsophalangeal, dan pergelangan tangan. Foto
polos bermanfaat dalam membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan sendi secara longitudinal,
dan bila diperlukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI mampu mendeteksi adanya erosi lebih awal
bila dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi konvensionaldan mampu menampilkan struktur sendi
secara rinci, tatapi membutuhkan biaya yang lebih tinggi.
II.3. Diagnosis
Working Diagnosis
Arthritis Rheumatoid1
Artritis rheumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik
kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik klasik
AR adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan
dan kaki. Selain lapisan synovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ di luar
peresndian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat
adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan, dan adanya
komorbiditas. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat
6
menurunkan progersifitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan
pyramid terbalik (reverse pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk
menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi
destruksi sendi, deformitas dan disabilitas. Morbiditas dan mortilitas AR berdampak
terhadap kehidupan social dan ekonomi. Kemajuan yang cukup pesat dalam
pengembangan DMARD biologic, memberi harapan baru dalam penatalaksanaan
penderita AR.
Differential Diagnosis2,3,4
Penyakit reumatik yang selalu menimbulkan positif palsu dengan reumatik arthritis adalah:
Ciri-ciri Osteoathritis SLE Athritis Gout Rheumatoid
Athritis
Nyeri + + + +
Kristal - - + -
LED Normal + - + tinggi
CRP - - + tinggi + tinggi
F.Reumatoid Normal - - +
ANA Normal + - +
Inflamasi + + - +
Merah + + - +
Erosi - - - +
Cairan sendi Normal Normal + warna susu
kental
+ tidak jernih
Ada sekitar 200 jenis penyakit artritis, namun yang umum dikenal adalah jenis artritis reumatoid,
osteoatritis dan artritis pirai (gout).
Berbagai keadaan yang menyerupai artritis reumatoid seperti :
1. pseudogout, 2. demam reumatik, 3. osteoatritis, 4. Spondilitis ankilosing , 5. Penyakit lyme, 6.
artritis gonokokal, 7. atritis psoriatic, 8. sindroma reiter, 9. gout
Artritis pirai (gout), penyebab utama penyakit ini adalah hiperurisemia
atau kelebihan asam urat dalam darah. Biasanya menyerang ibu jari kaki,
dan sering muncul pada tengah malam. Penyakit ini umumnya
menyerang orang dengan gaya hidup yang tidak sehat, terkait pula oleh
pola makan seseorang. Misalnya orang yang sering mengonsumsi
jerohan, ikan laut, mengonsumsi alkohol dan berbagai makanan yang
7
tinggi purin (seperti bayam, buncis, jamur, asparagus, ragi). Penderita disarankan mengkonsumsi
makanan rendah purin seprti buah-buahan, sereal, gelatin, susu, gula, telur, tepung, mentega.
Osteoartritis, penyakit ini merupakan penyakit artritis kronik yang angka
kejadiannya meningkat seiring dengan bertambahnya umur oleh karna itu
disebut penyakit degeneratif sendi sinovial. Terdapat kerusakan kartilago
hialin disertai sklerosis, pembentukan kista dan osteofit pada tulang
subkondral yang mendasari, dan penyempitan rongga sendi. Ada dua jenis
osteoartritis, yaitu osteoartritis primer (tidak diketahui penyebabnya), dan
osteoartritis sekunder (pencetusnya adalah penyakit lain).Baik RA maupun
OA, keduanya menyebabkan terjadinya radang sendi sehingga
mengakibatkan nyeri (hebat), kaku, kerusakan jaringan sendi dan hilangnya fungsi. Pada
dasarnya RA sangat berbeda dengan OA, RA adalah penyakit autoimun, artinya, sistem imun
tubuh menyerang jaringan sehat sehingga mengakibatkan rusaknya sendi, inflamasi kronik yang
ditambah dengan rusaknya organ-organ lain dan sistem organ. RA cenderung muncul pada usia
yang lebih muda, dan tidak terbatas pada sendi-sendi penyangga (berat) tubuh. Sebaliknya pada
OA, rusaknya sendi dikarenakan oleh penggunaan dan usia, OA biasanya menyerang sendi
penyangga (berat) tubuh, tidak menyerang organ-organ lain, dan biasanya berkaitan dengan
bertambahnya usia.
II.4. Etiologi1
Faktor Genetik
Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor
genetic dan lingkungan. Faktor genetic berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan
dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan
baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen
TNFRSR11A yang mengkode activator reseptor nuclear factor kappa B (NF-κB). Gen ini berperan
penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor genetic juga berperan dalam terapi AR karena aktivitas
enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolism
methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetic. Pada kembar monozigot mempunyai angka
kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan AR yang
mengekpresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 80%.
Hormon Seks
Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormone
seks berperanan dalam penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR
selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena adanya :
8
1. Adanya alloantibody dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi
hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit.
2. Adanya perubahan profil hormone. Placental corticotrophin releasing hormone secara langsung
menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron(DHEA), yang merupakan androgen utama pada
perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresif
terhadap respon imun selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis
estrogen plasenta. Estrogen dan progesterone menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan
menghambat respon imun selular (Th1). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesterone mempunyai efek berlawanan terhadap perkembangan AR
atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.
Protein heat shock (HSP)
HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon
terhadap stress. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. HSP tertentu
manusia dan HSP mikrobakterium tuberculosis mempunyai 65% untaian yang homolog.
Hipotensinya adalah antibody dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host.
Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry).
II.5. Epidemiologi1
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1%.
Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan
6,8%. Prevalensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama besar yaitu 0,75%. Sedangkan di
China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik di daerah urban maupun rural.
Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% di daerah rural
dan 0,3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia di
atas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah. Di
poliklinik Reumatologi RUSPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus Ar baru merupakan 4,1% dari
seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus
AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%). Prevalensi AR lebih banyak
ditemukan pada perempuan dibandingkan pada laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua
kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada decade keempat dan kelima.
II.6. Patogenesis2,5,6
Yang terkena adalah sendi-sendi besar, dan berpindah-pindah (polyarthritis migrans). Nyeri yang sangat,
merupakan tanda khas bagi sendi yang bengkak dan meradang. Jaringan yang terkena menunjukkan
9
synovitis acuta, yang mengakibatkan cairan synovial bertambah. Jaringan subsynovial, jaringan
periartikuler dan ligament juga terkena sedikit. Ditemukan tonjolan rematik (jisim Aschoff) pada jaringan
subcutis, gambarannya sama dengan yang dijumpai pada jantung. Umumnya penyakit akan sembuh tanpa
kelainan, tetapi bila keras, dapat juga mengakibatkan kekakuan sendi.
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblast synovial setelah adanya faktor
pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi
proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neurovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang
terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang
irregular pada jaringan synovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus.
Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin,
proteinase, dan faktor pertumbuhan dilepaskan,sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi
sistemik.
II.7. Manifestasi Klinik6
Awalnya, awitan gejala nonspesifik tidak kentara (keletihan, malaise, anoreksia, demam derajat
rendah yang menetap, penurunan berat badan, dan gejala artikular samar, seperti pembengkakan
serta kekakuan sendi yang terjadi setelah inaktivitas).
Pada tahap lanjut penyakit, gejala artikular terlokalisasi, peling sering pada jari di bagian
interfalangeal proximal, metekarpofalangeal, dan sendi metatarsofalangeal; biasanya terjadi
bilateral dan simetris, dan dapat meluas ke pergelangan tangan, siku, lutut, serta pergelangan
kaki.
Kekakuan sendi (setelah inaktivitas, khususnya ketika bangun pagi hari), nyeri tekan dan
kesakitan (pertama-tama terasa dengan gerakan, tetapi akhirnya bahkan pada saat istirahat), serta
penurunan fungsi sendi, khususnya jika penyakit aktif berlanjut.
Nodul rheumatoid pada daerah yang tertekan seperti siku (temuan ektraartikular tersering).
Jari berbentuk kumparan (akibat edema yang nyata dan kongesti pada sendi); dapat menjadi
permanen pada deformitas leher angsa yang khas (hiperekstensi sendi interfalangeal proksimal
disertai fleksi permanen sendi interfalangeal distal); tangan tampak memendek.
Otot kaku, lemah, atau nyeri.
Parestesia yang terasa kesemutan pada jari (akibat tekanan synovial pada saraf medialis akibat
carpal tunnel syndrome).
Kebas atau kesemutan pada kaki atau kelemahan atau kehilangan sensasi pada jari (menyertai
neuropati perifer)
Nyeri saat inspirasi (menyertai pleuritis), napas pendek (menyertai nodul atau fibrosis paru), atau
bunyi gesek pericardial (menyertai perikarditis)
Lesi, ulkus pada tungkai, dan komplikasi sistemik multiple (menyertai vaskulitis)
10
Kemerahan pada mata (menyertai skleritis atau episkleritis)
Gangguan pada neuron motorik atas, seperti tanda Babinski positif dan kelemahan (menyertai
kompresi medulla spinalis).
II.8. Faktor Risiko1
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin
perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok.
Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated mungkin juga beresiko.
Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan
penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dg AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama
kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan.
II.8. Penatalaksanaan1,7
Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala, terapi sedini
mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan
diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin. ACRSRA merekomendasikan bahwa penderita dengan
kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3 bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan
inisiasi terapi DMARDs (disease-modifying atirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi
terapi non farmakologik dan farmakologik.
Tujuan terapi pada penderita AR adalah :
1. Mengurangi nyeri
2. Mempertahankan status fungsional
3. Mengurangi inflamasi
4. Mengendalikan keterlibatan sistemik
5. Prediksi sendi dan struktur ekstraartikular
6. Mengendalikan progresivitas penyakit
7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi
Terapi Non-Farmakologik
Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa, suplementasi asam
lemak essensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen ikan (cod
liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita AR. Memberikan edukasi dan
pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek.
Penggunaan terapi herbal, acupuncture dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan.
Pembedahan harus dipertimbangkan bila :
11
1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif,
2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat,
3. Ada rupture tendon
Terapi Farmakologik
Metotrexate
Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim dihidrofolat reduktase, sehingga menghambat
sintesis timidilat dan purin. Untuk arthritis rheumatoid digunakan dosis 7,5 mg sekali seminggu
yang dapat diberikan dalam dosis tunggal atau terbagi. Dosis ini dapat ditingkatkan sampai
maksimum 20mg per minggu.
Efek samping dan kontraindikasi
Pada arthritis rheumatoid, toksisitas meningkat dengan pemberian bahan yang bersifat
hepatotoksik, seperti alcohol. Pneumonitis akut dan kronik juga dapat terjadi pada arthritis
rheumatoid. Obat ini di kontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui.
Penisilamin
Mekanisme kerja penisilamin pada arthritis rheumatoid belum diketahui dengan pasti, meskipun
supresi terhadap penyakit bisa diakibatkan oleh penurunan kadar faktor IgM rheumatoid secara
berarti. Uniknya, penurunan ini tidak disertai oleh penurunan kadar immunoglobulin dalam
plasma.
Toksisitas
Meskipun penggunaan jangka pendek penisilamin sebagai kelator relative aman, penggunaan
kronis pada arthritis rheumatoid menimbulkan toksisitas yang berarti dan beragam. Penisilamin
menyebabkan lesi kulit, urtikaria, reaksi macula dan papula, lesi pemfigus, lupus erimatosus,
dermatomiositis, kulit kering dan bersisik.
Pada system hematologi bisa terjadi leucopenia, anemia aplastik, agranulositosis. Toksisitas renal
yang bisa timbul ialah proteinuria yang reversible; tetapi toksisitas ini bisa berlanjut menjadi
sindrom nefrotik dengan glomerulopati membrane. Toksisitas saluran napas tidak umum terjadi,
tetapi sesak napas berat terjadi akibat bronkoalveolitis dengan penisilamin pernah dilaporkan.
Miastenia gravis disebabkan oleh terapi kronis dengan penisilamin juga pernah dilaporkan. Mual,
muntah, diare, dyspepsia, anoreksia, dan hilangnya merasakan ras manis dan asin untuk
sementara, dapat disembuhkan dengan menambahkan tembaga dalam diet. Penisilamin
dikontraindikasikan pada kehamilan, pasien yang pernah mengalami agranulositosis atau anemia
aplastik akibat penisilamin, dan insufisiensi ginjal.
Siklosporin
Bermanfaat untuk beberapa penyakit autoimun seperti sindrom Bechet, uveitis endogen,
psoriasis, dermatitis atopic, rematoid arthritis, penyakit Crohn, dan sindrom nefrotik.
12
Siklosporiin diberikan juka terapi standar dengan kortikosteroid gagal. Mekanisme kerjanya
yaitu dengan mengurangi produksi sitokin yang ikut serta dalam aktivitas T-cells.
Efek Samping
Efek samping utama siklosporin adalah gangguan fungsi ginjal yang dapat terjadi pada 75%
pasien yang mendapat siklosporin. Gangguan fungsi ginjal juga sering menjadi faktor utama
penghentian pemberian siklosporin. Toksisitas lain meliputi hipertensi, hepatotoksisitas,
neurotoksisitas, hirsutisme, hyperplasia gingival, dan toksisistas gastrointestinal (mual, muntah,
diare, anoreksia, dan sakit perut).
Garam Emas
Suntikan IM aurotiomalat dan aurotioglukosa telah terbukti efektif sebagai APP (antirematik
pemodifikasi penyakit) di tahun 1960. Tetapi karena toksisitasnya, obat ini sudah jarang
digunakan.
Sulfasalazin
Suatu derivate sulfonamide efektif sebagai APP. Juga berguna pada arthritis juvenile kronik dan
spondilitis ankilosa dan uveitis yang menyertainya. Kira-kira 30% pasien menghentikan obat
akibat efek samping. Efek samping yang umum adalah mual, muntah, nyeri kepala, dan rash.
Sesekali anemia hemolitik dan methemoglobinemia terjadi. Toksisitas terhadap paru dilaporkan.
Obat ini menyebabkan infertilitas pada laki-laki yang tidak menetap, tetapi tidak pada
perempuan. Obat ini agaknya tidak bersifat teratogenik.
Retuximab
Sebenarnya asalnya adalah antibody moniklonal yang digunakan sebagai antikanker. Targetnya
adalah antigen CD20, diindikasika untuk Limfoma sel B dan LLK.
Kortikosteroid
Efek anti-inflamasi. Merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan
penyebab penyakit tetap ada. Sebenarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak
digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan sering disebut life saving drugs, tetapi hal ini juga
yang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan
sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang
terjadi masking effect, dari luar penyakit nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di dalam tubuh
masih tetap menjalar.
Efek imunosupresi. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah limfosit secara cepat, terutama
diberikan dalam dosis besar. Efek ini, yang berlangsung beberapa jam , diduga terjadi akibat
redistribusi limfosit. Setelah 24 jam, jumlah limfosit dalam sirkulasi biasanya kembali ke nilai
sebelumnya. Studi teerbaru menunjukkan bahwa kortikostreoid menghambat proliferasi sel
limfosit T, imunitas seluler, dan ekspresi gen yang menyandi berbagai sitokin (IL-1, IL-2, IL-6,
IFN-α, dan TNF-α). Terdapat bukti bahwa berbagai gen sitokin memiliki glucocorticoid
13
response element yang bila berikatan dengan kortikosteroid akan menyebabkan hambatan
transkripsi gen IL-2.
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang sering menimbulkan berbagai efek samping sperti
meningkatnya resiko infeksi, ulkus lambung/duodenum, hiperglikemi, dan osteoporosis.
II.9. Komplikasi1
Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita AR adalah sebagai berikut :
1. Anemia
2. Kanker
3. Komplikasi kardiak : efusi pericardial asimptomatik dan bisa terjadi miokarditis.
4. Penyakit tulang belakang leher.
5. Gangguan mata
6. Pembentukan fistula
7. Peningkatan infeksi. Biasanya terjadi akibat terapi AR.
8. Deformitas sendi tangan.
9. Deformitas sendi lainnya : frozen shoulder, kista popliteal, sindrom terowongan karpal dan
tarsal.
10. Komplikasi pernapasan : nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan lesi
kavitas, pleuritis ditemukan pada 20% penderita.
11. Nodul rheumatoid.
12. Vaskulitis : arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus, arteritis organ viscera,
dan arteritis koroner.
II.10. Prognosis1
Predictor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain: skor fungsional yang rendah, status
social ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita AR, melibatkan
banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau anti CCP positif, ada
perubahan radiologis pada awal penyakit., ada nodul rheumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya.
Sebanyak 30% penderita AR dengan manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20
walaupun sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakti lebih ringan
memberikan respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk pada
penderita AR yang mulai tahun 1980-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortaliltas
pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada
penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1,6. Tetapi hasil ini mungkin akan menurun
setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.
14
II.11. Pencegahan6
Arthritis rheumatoid adalah penyakit kronis yang dapat mebuat pasien anda melakukan gaya hidup besar-
besaran. Anjuran di bawah ini dapat mencegah perburukan penyakit dan akan membantu pasien anda
hidup lebih nyaman dengan penyakit ini :
Anjurkan pasien untuk mempertahankan postur tegak ketika berdiri, berjalan, dan duduk.
Beritahu pasien agar duduk di kursi dengan dudukan tinggi dengan penyangga lengan; pasien
akan lebih mudah bangkit dari kursinya jika lututnya lebih rendah dari pinggangnya.
Instruksikan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari, beristirahat selama 5-10 menit setiap
jamnya dan melakukan tugas yang membutuhkan duduk dan berdiri secara bergantian.
Tekankan pentingnya istirahat yang adekuat dan postur tidur yang benar. Beritahu pasien untuk
tidur terlentang di matras yang keras dan menghindari meletakkan bantal di bawah lututnya,
karena dapat meningkatkan deformitas fleksi.
15
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dan sistemik yang simetris, yang terutama
menyerang sendi perifer dan otot, tendon, ligament, dan pembuluh darah disekitarnya. Penyakit ini
menyerang wanita 3 kali lebih banyak daripada pria.
Penanganan memerlukan pendekatan multidisiplin untuk mengurangi nyeri dan inflamasi,
menjaga kapasitas fungsi, memulihkan proses patologik, serta melakukan perbaikan.
III.2. Saran
Pasien dengan AR dianjurkan untuk melakukan gaya hidup sehat dengan melakukan aktivitas
fisik yang diselingi dengan frekuensi istirahat yang adekuat serta dukungan dari keluarga juga dapat
membantu perbaikan penyakit ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Sumariyono. Artrosentesis dan Analisis Cairan Sendi. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi IV
2006;270:1147-50
2. Sudoyo, Aru W; Setiyohadi,Bambang; Alwi, Idrus; Simadibrata K, Marcellus; Setiati, Siti. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Internal Publishing. 2009. Jakarta.
3. Theophilopoulos AN. Autoimmunity. In : Stites DP., Stobo JD., Fudenberg HH., Wells JV.,
penyunting. Basic & Clinical Immunology. Edisi kelima, Los Altos, Lange, 1984 : 152-86.
4. Miller ML, Cassidy JT. Juvenile Rheumatoid arthritis. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 799-804.
5. Artritis reumatica. Bagian patologi anatomi fakultas kedokteran universitas Indonesia.2000.
Jakarta.
6. Stockslager, Jaime L; Schaeffer, Liz. Asuhan keperawatan geriatric. Penerbit buku kedokteran
EGC. 2008. Jakarta.
7. Farmakologi dan terapi. Ed.V. Departemen farmakologik dan terapeutik fakultas kedokteran
universitas Indonesia. 2007. Jakarta.
17