makalah sp blok 14 ra

25
Tinjauan Pustaka Reumatoid Arthritis McGirt Lamberth Robert Uniplaita 102011088 [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510 Telepon : 021-5694 2061; Fax : 021-5631731 Pendahuluan Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manisfestasi klinik klasik AR adalah poliartritis simetrik terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ di luar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasa, dan adanya komorbiditas. Menegakkan diagnosis secara tepat dan memulai terapi sedini mungkin dapat menurunkan progresivitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) yaitu pemberian DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatoid Drugs) sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas, dan disabilitas, dan komplikasi penyakit yang lainnya. 1

Upload: girt-lamberth-robert-uniplaita

Post on 16-Dec-2015

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

RA

TRANSCRIPT

Tinjauan Pustaka

Reumatoid Arthritis

McGirt Lamberth Robert Uniplaita [email protected] Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510

Telepon : 021-5694 2061; Fax : 021-5631731

Pendahuluan

Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manisfestasi klinik klasik AR adalah poliartritis simetrik terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ di luar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasa, dan adanya komorbiditas. Menegakkan diagnosis secara tepat dan memulai terapi sedini mungkin dapat menurunkan progresivitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) yaitu pemberian DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatoid Drugs) sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas, dan disabilitas, dan komplikasi penyakit yang lainnya.

Skenario

Seorang perempuan, 21 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri pada jari-jari tangan dan pergelangan tangan pada tangan kiri dan kanan. Keluhan ini sudah berlangsung selama 4 bulan. Pasien mengatakan ibunya juga sering mengeluh nyeri sendi terutama pada lutut kirinya.

Epidemologi

Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan berkisar antara 0,5-1 %. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Indian (Pima dan Chippewa) masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan berbanding lelaki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.

Etiologi

1. Kompleks Histokompatibilitas Utama Kelas II (MHC Class II)

Bukti terkuat menunjukkan bahwa artritis reumatoid memiliki predisposisi genetik diketahui dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (MHC Class II Determinants), khususnya HLA-DR4 dengan artritis reumatoid seropositif. Data dari beberapa penelitian menunjukan bahwa pasien yang mengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 25% untuk menderita penyakit ini.

2. Hubungan Hormon Seks dengan Artritis Reumatoid

Prevalensi artritis reumatoid diketahui 3 kali lebih banyak diderita kaum wanita dibandingkan kaum pria. Resiko ini dapat mencapai 20% pada wanita dalam usia subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai pada pasien artritis reumatoid yang sedang hamil.3. Faktor Infeksi sebagai Penyebab Artritis Reumatoid

Sejak tahun 1930, faktor infeksi telah diduga merupakan penyebab artritis reumatoid. Pada saat itu, Nanna Svartz seorang ahli dari Swedia telah menciptakan Sulfasalazine yang terdiri dari 2 gabungan konstituen kimia yakni Sulfapiridin yang bersifat antimikroba dan asam 5-aminosalisilat yang memiliki khasiat seperti obat antiinflamasi nonsteroid. Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab artritis reumatoid juga timbul karena umumnya penyakit ini timbul secara mendadak disertai gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian, timbul dugaan kuat bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab artritis reumatoid antara lain adalah bakteri, mycoplasma, dan virus. Walaupun hingga saat ini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin dari mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya artritis reumatoid. Pada percobaan binatang telah terbukti bahwa mycoplasma artritidis dapat menimbulkan gejala artritis pada kelinci dan virus HTLV-1 dapat menimbulkan artropati inflamatif pada tikus. Pada manusia, gejala artritis dapat juga dijumpai pada pasien hepatitisvirus B dan demam reumatik. Pada pasien yang mengalami infeksi Epstein Barr Virus (EBV), seringkali dijumpai gejala atralgia, walaupun jarang dijumpai gejala artritis yang jelas. Infeksi virus rubella dapat pula menimbulkan berbagai manifestasi artikular, yang walupun jarang dapat pula menimbulkan gejala poliartritis simetris kronik.1Patogenesis

Patogenesis RA terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut:2Suatu antigen penyebab RA yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1)yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.

Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis, factor --- (TNF-), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi danaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1,IL-2, dan IL-4.

Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada RA adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.

Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebasjuga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.

Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada RA, antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada RA kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitopfraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90% pasien RA. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasijalur asam arakidonat.

Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktifdalam patogenesis RA. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.

Pemeriksaan

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Anamnesis adalah tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien (auto-anamnesis), maupun secara tidak langsung melalui keluarga atau relasi terdekat (allo-anamnesis). Tujuan anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.2 Kronologi dan dampak gejala pada pasien harus diketahui. Keluhan utama biasanya berhubungan dengan sendi atau area di sekitar sendi :3 Nyeri

Kaku

Deformitas

Penurunan fungsi

Anamnesis dibagi dua menjadi anamnesis biasa dan spesifik.

Anamnesis biasa menanyakan riwayat penyakit, yaitu riwayat penyakit secara kronologi, faktor-faktor pemberat penyakit, dan riwayat pengobatan yaitu obat-obatan apa yang sudah dikonsumsi sebelum mengunjungi klinik.

Anamnesis spesifik meliputi:

Nyeri sendi. Lokasi nyeri dan punctum maksimum harus dipertanyakan. Pertanyakan apakah ada penekanan radiks / syaraf; pertanyakan rasa nyeri yang dirasakan dan frekuensinya, apakah hanya pagi hari atau siang hari, atau tidak menentu muncul rasa nyerinya; pertanyakan pula adakah nyeri mekanis (nyeri tekan) dan reaksi inflamasi.

Kaku sendi. Bagaimana rasa kaku yang dirasakan? Apakah rasanya seperti diikat?

Bengkak sendi. Pertanyakan apakah sendi membesar dan apakah ada benjolan pada sendi tersebut. Pertanyakan juga perubahan warna, bentuk sendi dan posisi sendi dalam struktur ekstremitas.

Deformitas sendi. Pertanyakan apakah sendi berada dalam posisi yang salah atau tidak karena jika salah bisa saja sendi mengalami dislokasi atau subluksasi.

Disabilitas sendi. Pertanyakan apakah otot, sendi, atau sistem muskuloskeletal tidak dapat berfungsi secara adekuat atau tidak.Gejala ini bisa timbul dari sendi atau struktur periartikular. Tanda-tanda radang (derajat nyeri dan durasi kaku di pagi hari) harus diselidiki dengan teliti. Gejala ekstra-artikular bisa membantu secara diagnostik dengan mengarahkan pada penyakit yang sangat berhubungan dengan artritis.

Pada dugaan penyakit multisistem, keterlibatan organ spesifik (paru, ginjal, sistem syaraf) harus dicari berdasarkan gejala klinis dan melalui pemeriksaan penunjang spesifik. Gejala konstitusional termasuk demam, malaise, penurunan berat badan, atau kelelahan bisa menunjukkan proses radang yang meluas.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi inspeksi, palpasi, gerakan (look, feel, move). Pemeriksaan ini mulai dilakukan saat melihat pasien dengan mengobservasi penampilan, postur, dan cara berjalan. Mula-mula yang diperhatikan adalah keadaan umum dan lokal (status lokalis). Keadaan umum meliputi kesadaran pasien, tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan frekuensi pernapasan. Keadaan lokal atau status lokalis dilihat dari teknik look, feel, move.31. Inspeksi (Look)

Melihat tempat yang sakit yang merupakan keluhan utama pasien. Hal yang harus diperhatikan dalam inspeksi adalah:

Apakah terjadi perubahan struktur dan fungsi dari persendian yang diamati

Kesimetrisan bagian yang sakit-satu atau kedua sisi tubuh; salah satu atau beberapa sendi

Deformitas atau ketidaksejajaran tulang

Perubahan jaringan lunak di sekitarnya - perubahan kulit, nodul subkutaneus, atrofi otot, dan adanya krepitasi

Keterbatasan rentang gerak, kelemahan ligamentum

Perubahan kekuatan otot

Perhatikan tanda inflamasi dan artritis; pembengkakkan, hangat, nyeri tekan, kemerahan.

Untuk inspeksi pergelangan tangan, tangan, dan jari maka yang harus diperhatikan adalah gerakan pergelangan tangan (fleksi dan ekstensi) pada pergelangan tangan, tangan, jari, kontur pergelangan tangan, tangan, jari, dan telapak tangan. Jika ditemukan deformitas maka kemungkinannya adalah artritis reumatoid dan degeneratif. Jika dilakukan inspeksi telapak tangan didapatkan atrofi tenar pada kondisi kompresi nervus medianus maka kemungkinan pasien menderita carpal tunnel. Jika ada atrofi pada hipotenar, mungkin ada kompresi pada nervus ulnaris. Pada penderita artritis reumatoid terkadang didapatkan nodul reumatoid pada permukan ekstensor ekstremitas.

2. Palpasi (Feel)

Pada palpasi pergelangan tangan yang dilakukan adalah untuk mengetahui kemungkinan adanya pembengkakkan pada RA, nyeri tekan pada ulnar stiloid yang dapat dijumpai fraktur colles, pada tangan adalah meraba sendi metakarpophalanx (MCP), proximal interphalanx (PIP), dan distal interphalanx (DIP). Jika didapat pembengkakkan pada MCP maka dicurigai RA dan apabila ditemukan nodulus pada PIP dan DIP kemungkinannya juga RA. Jika ditemukan nodulus proksimal kemungkinannya juga RA namun jika nodulus distal maka dicurigai osteoartritis (OA).

3. Gerakan (Move)

Pemeriksaan gerakan dilakukan dengan menggerakan sendi pasien baik secara aktif maupun pasif. Gerakan aktif apabila meminta pasien menggerakkan sendinya sendiri, sedangkan pasif apabila pemeriksa yang menggerakkan sendi pasien. Pada RA, pemeriksaan dilakukan dengan melakukan gerakan fleksi, ekstensi, inversi, eversi pergelangan tangan dan pada jari dilakukan abduksi dan adduksi serta oposisi. Selain itu melakukan gerakan digiti I manus dengan melakukan abduksi, adduksi, dan rotasi.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Komponen pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:

1. Laju Endap Darah (LED)

LED yang meningkat >30 mm/jam dapat dicurigai sebagai RA

Indikator ini biasa digunakan untuk evaluasi awal RA

2. C-reactive protein (CRP)

C-reactive protein (CRP) yang meningkat hingga 0,7 pg/ml juga untuk evaluasi awal RA

Leukosit dan trombosit mungkin mengalami peningkatan

3. Fungsi hati

Fungsi hati biasanya normal, namun dapat terjadi peningkatan fosfatase alkali

4. Rheumatoid Factor (RF)

RF dapat bernilai (-) pada 30% penderita RA stadium awal

Apabila (-), pemeriksaan diulang 6-12 bulan dari onsetnya

Penyakit keganasan dan infeksi juga dapat menunjukkan RF yang (+) sehingga tidak spesifik

5. Anti-CCP

Anti-CCP ( anticyclic citrullinated peptide antibody) yang lebih spesifik dibandingkan dengan RF

Pemeriksaan ini bersama dengan RF sangat berperan dalam deteksi dini sebab RA dini cenderung tidak memenuhi kriteria diagnosis utama ACR yang telah disebutkan di atas

Spesifisitas anti-CCP mencapai 95-98%

6. Tes Antinuclear Antibodies (ANA)

ANA tidak terlalu bermakna untuk penilaian RA karena tidak spesifik

Dengan titer normal yang 1:40 atau kurang, titer yang lebih tinggi menunjukkan penyaki autoimun

7. Pemeriksaan cairan sendi (Artrosentresis)

Cairan sendi diperiksa untuk menunjukkan tidak adanya kristal (pembeda terutama dengan Artritis Gout), kultur negatif, dan kadar glukosa yang rendah.

8. Pemeriksaan asam urat

Pemeriksaan asam urat untuk meniadakan differential diagnosis yaitu artritis gout.

Pemeriksaan Gambaran Radiologik

Pada awal penyakit tidak ditemukan, tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang berat dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Pada gambaran radiologik dapat terlihat gambaran terjadinya erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan ini sifatnya tidak reversibel. Secara radiologik didapati adanya tanda-tanda dekalsifikasi (sekurang-kurangnya) pada sendi yang terkena.4Working Diagnosis (WD)

Diagnostik artritis reumatoid dapat menjadi suatu proses yang kompleks. Pada tahap dini mungkin hanya akan menemukan sedikit atau tidak ada uji laboratorium yang positif; perubahan-perubahan pada sendi dapat minor; dan gejala-gejalanya dapat bersifat sementara. Diagnosis tidak hanya bersandar pada satu karakteristik saja tetapi berdasarkan pada suatu evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala. Pada penelitian klinis, RA didiagnosis secara resmi menggunakan tujuh kriteria dari American College of Rheumatology (ACR). Penderita stadium dini mungkin sulit untuk menegakkan diagnosis definitif menggunakan kriteria ini. Penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan fungsional pada kunjungan awal. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk mengamati adanya ciri-ciri seperti kriteria tersebut.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid menurut ACR4Gejala dan TandaDefinisi

Kaku pagi hari (morning stiffness)Kekakuan pada sendi dan sekitarnya. Berlangsung paling sedikit 1 jam

Artritis pada 3 persendian atau lebihPaling sedikit 3 sendi secara bersamaan menunjukkan pembengkakkan atau efusi

Artritis pada persendian tanganPaling sedikit ada satu pembengkakkan pada sendi: pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP), atau proximal interphalanx (PIP)

Artritis yang simetrikKeterlibatan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh secara bersamaan

Nodul reumatoidAdanya nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang, permukaan esktensor, atau daerah juxtaartikular

Faktor reumatoid serum positifTiter abnormal faktor reumatoid serum yang memberikan hasil positif 1 jam< 20 menitTerjadi serangan saat mengkonsumsi makanan tinggi purin

PembengkakkanSimetrisAsimetrisAsimetris

PrevalensiP > LP = LP < L

Manifestasi Klinis

Terdapat beberapa gambaran klinis yang lazim pada seseorang yang mengidap artritis reumatoid. Namun begitu, gejala tersebut tidak harus timbul sekaligus pada masa yang bersamaan oleh karena penyakit ini memilliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.

1. Gejala-gejala konstitusional seperti lelah, anoreksia, dan berat badan menurun

2. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer termasuk sendi-sendi tangan namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi distal interphalanx (DIP) dan hampir semua sendi diartrodial dapat terserang

3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam, dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam.

4. Artritis erosif yang merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik dan peradangan sendi kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang

5. Deformitas, dapat berupa:

Kerusakan strukur penunjang sendi meningkat dengan perjalanan penyakit (progresif)

Pergeseran ulnar atau deviasi jari

Subluksasi sendi MCP

Boutonniere deformity - fleksi PIP dan hiperekstensi DIP

Swan neck deformity - fleksi kontraktur MCP, hiperektensi PIP, dan fleksi DIP

Pada kaki terdapat protrusi kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal - hallux vagus

Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi

6. Nodul-nodul reumatoid, yang merupakan massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering terkena adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan, namun nodul-nodul ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya dan merupakan petunjuk sesuatu penyakit yang aktif dan lebih berat.

7. Manisfestasi ekstra-artikular. RA dapat juga menyerang organ-organ lain di luar sendi seperti jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.4Komplikasi

Komplikasi yang biasa terjadi adalah:

Anemia. 75% penderita RA mengalami anemia karena penyakit kronik, 25% penderita memberikan respons terhadap terapi besi,

Kanker, mungkin dapat terjadi akibat sekunder dari terapi yang diberikan. Kejadian limfoma dan leukimia 2-3 lebih sering terjadi pada penyakit RA dan dapat terjadi peningkatan resiko terjadinya berbagai tumor solid.

Komplikasi kardiak, terjadi pada 1/3 penderita RA karena memungkinkan terjadinya efusi perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan. Mungkin juga timbul miokarditis dengan atau tanpa gejala.

Penyakit tulang belakang leher (cervical spine disease) seperti tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas; adanya resiko hilangnya lordosis servikal dan berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada foto servikal lateral; dan myelopati yang bisa terjadi ditandai oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas atas dan parestesia

Deformitas sendi tangan, dapat berupa deviasi ulnar pada sendi metacarpal, boutonneire deformity, swan neck deformity, carpal tunnel syndrome - penekanan nervus medianus yang terperangkap dalam rongga karpalis yang mengalami sinovitis, hiperekstensi dari ibu jari, dan peningkatan risiko ruptur tendon.

Deformitas sendi lainnya seperti frozen shoulder syndrome dan kista poplitea

Komplikasi pernapasan diakibatkan nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan lesi kavitas, adanya inflamasi pada sendi cricoarytenoid dengan gejala suara serak dan nyeri pada laring, dan fibrosis intersistial yang bisa ditandai dengan adanya ronki pada pemeriksaan fisik

Nodul reumatoid yang biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor ekstremitas atau daerah penekanan lainnya, bisa juga ditemukan pada daerah sklera, pita suara, sakrum, dan vertebra.6Penatalaksanaan

Terapi non-farmakologis

Terdapat beberapa cara yang dirancang untuk mencapai tujuan yang disebut di atas, contohnya pendidikan, istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi serta obat-obatan. Pendidikan yang cukup tentang penyakit harus diberikan kepada pasien, keluarga dan siapa saja yang mempunyai hubungan dengan si pasien. Pendidikan tersebut merangkum patofisiologi, etiologi, dan prognosis penyakit ini. Selain itu, pendidikan tentang semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan harus dilakukan secara terus menerus.7Istirahat amat penting atas sebab penyakit reumatoid arthritis ini biasanya disertai dengan rasa lelah yang hebat. Ada masa-masa pasien merasa lebih baik atau lebih berat walaupun rasa lelah tersebut dapat timbul setiap hari. Metode-metode untuk mengurangi nyeri malam hari harus diajarkan, contohnya dengan memberikan obat antiinflamasi kerja lama dan analgesik. Walaupun begitu, pasien harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat.

Latihan-latihan spesifik amat bermanfaat mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini meliputi gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat-obatan untuk menghilangkan nyeri mungkin perlu diberikan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi-sendi yang sakit dan bengkak juga dapat mengurangi nyeri. Terapi panas dan dingin digunakan untuk merelaksasi otot dan efek analgesik. Latihan dan terapi panas ini paling baik diatur oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus seperti fisioterapis atau terapis kerja. Harus berhati-hati karena latihan yang berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah karena penyakit ini. Pasien reumatoid artritis tidak membutuhkan diet khusus. Prinsip umumnya adalah pentingnya diet seimbang. Mempertahankan berat badan pada batas-batas yang sewajarnya sangat penting karena pasien biasanya akan mudah menjadi terlalu gemuk sebab kurang melakukan aktivitas. Bertambahnya berat badan dapat menambah tekanan pada sendi panggul, lutut, dan sendi-sendi pada kaki. Masalah ini dapat diatasi dengan mendapatkan rujukan dari ahli gizi.

Alat-alat pembantu dan adaptif mungkin diperlukan untuk melakukan aktivitaskehidupan sehari-hari. Pasien memegang tongkat pada tangan berlawanan dengan sendiyang berdampak. 7

Terapi farmakologi

Farmakoterapi untuk penderita RA umumnya meliputi OAINS (obat anti-inflamasi nonsteroid), glukokortikoid atau DMARD (disease-modifying anti-rheumatic drugs). Analgetik lain juga mungkin dipergunakan seperti acetaminophen, opiate, diproqualone, dan lidokaintopical.

OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Oleh karena obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh digunakan secara tunggal. Penderita RA biasanya sering kali mengalami komplikasi akibat efek obat ini untuk itu penggunaan obat ini harus dipantau tehadap efek samping gastrointestinal.

Glukokortikoid dalam hal ini steroid digunakan dalam dosis kurang dari 10mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan memperlambat kerusakan sendi. Kalau diberikan dosis tinggi maka mengakibatkan osteoporosis, katarak, dan gangguan kadar gula darah. Penderita yang mengalami terapi ini maka harus disertai dengan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 UI per hari. Gejala mungkin akan kambuh bila pemberian steroid dihentikan apalagi steroid dalam dosis yang tinggi. Untuk itu kebanyakan Rheumatologistmenghentikan steroid dengan cara menurunkan dosisnya secara perlahan (tappering off).

Obat DMARD yang sering dipakai adalah MTX atau metotreksat, hidroksiklorokuin, sulfasalazin, leflunomide, infliximab, dan etenercept. Pada terapi awal biasanya digunakan hidroksiklorokuin dan sulfasalazin tetapi pada kasus berat digunakan MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai first line.7,8Prognosis Prediktor prognosis buruk pada stadium dini RA antara lain yaitu skor fungsional rendah, status sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat RA dari keluarga dekat, melibatkan banyak sendi, nilai LED dan CRP tinggi saat permulaan penyakit, reumatoid faktor atau anti-CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul reumatoid. Sebanyak 30% penderita RA dengan manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun sudah mendapatkan berbagai macam terapi. Penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk pada penderita RA yang mulai tahun 1980-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada penderita RA dibandingkan dengan populasi umum adalah 1.6. Tetapi hasil ini mungkin akan menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.9Penutup

Perempuan berusia 21 tahun yang datang ke poliklinik menderita penyakit rheumatoid artritis dan hipotesis diterima. Pengobatan dari RA adalah pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat progresi RA. OAINS juga diberi bersama DMARD untuk menghilangkan keluhan utama pasien yaitu nyeri dan bengkak pada sendi-sendi yang kecil. Reumatoid Arthritis ( RA ) adalah kelainan inflamasi ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas, dan keletihan.Daftar Pustaka

1. Mitchell R, Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2009.

2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007.

3. Bickley, Lynn S. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Edisi V. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.p.227-60.

4. Stephen RM, John FB. Monoarthritis, polyarthritis - differential diagnosis. In: StephenAP,

John FB, Allan G, Thomas PS, editors. Manual of rheumatology and outpatientorthopedic disorders: diagnosis and therapy. 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2006.

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

6. Sjamsuhidajat R, Jong DW. Buku ajar ilmu bedah. Edisi II. Jakarta: EGC; 2005.p.911-2.

7. Yazici Y. Treatment of rheumatoid arthritis: we are getting there.Lancet: 2009;374:178-80. [PubMed: 19560809]

8. Deighton C, O'Mahony R, Tosh J, Turner C, Rudolf M; Guideline Development Group. Management of rheumatoid arthritis: summary of NICE guidelines.BMJ. 2009;338:702. [PubMed: 19289413]

9. Davey P. Medicine at a glance. Jakarta: Erlangga; 2005.h.71-5.

1615