sp blok 12 yayas

28
Demam Berdarah Dengue Eka Ayu Larasati 102013125 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara no. 6, Tanjung Duren, Jakarta Barat 11510 Email: [email protected] Pendahuluan Demam Berdarah Dengue merupakan sebuah penyakit yang diakibatkan oleh hospes nyamuk aedes aegypti. Penyakit ini umumnya terjadi di daerah tropis dimana pada lingkungan ini hospes umumnya tumbuh dan berkembang biak. Penyakit ini dapat menyerang setiap orang tanpa mengenal batas usia dan dapat terjangkit kembali pada orang yang sebelumnya telah menderita penyakit ini. 1 Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin memaparkan tentang apa itu demam berdarah dengue baik gejala maupun pemeriksaan yang mendukung, vektor dan siklus penyakit ini, serta bagaimana cara penanganan demam berdarah dengue serta pencegahannya. 2 Anamesis Jenis anamnesis yang dapat dilakukan ialah autoanamnesis dan alloanamnesis. Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih berada dalam keadaan sadar. Sedangkan bila pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan alloanamnesis yang menyertakan kerabat terdekatnya yang mengikuti perjalanan penyakitnya. 1 Pada setiap anamnesis selalu ditanyakan identitas pasien terlebih dahulu. Indentitas pasien meliputi nama, tanggal lahir, umur, suku, agama, alamat, pendidikan dan pekerjaan. 1

Upload: eka-ayu-larasati-ii

Post on 11-Dec-2015

220 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

yas

TRANSCRIPT

Page 1: Sp Blok 12 Yayas

Demam Berdarah Dengue

Eka Ayu Larasati

102013125

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara no. 6, Tanjung Duren, Jakarta Barat 11510

Email: [email protected]

Pendahuluan

Demam Berdarah Dengue merupakan sebuah penyakit yang diakibatkan oleh hospes nyamuk aedes aegypti. Penyakit ini umumnya terjadi di daerah tropis dimana pada lingkungan ini hospes umumnya tumbuh dan berkembang biak. Penyakit ini dapat menyerang setiap orang tanpa mengenal batas usia dan dapat terjangkit kembali pada orang yang sebelumnya telah menderita penyakit ini.1

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin memaparkan tentang apa itu demam berdarah dengue baik gejala maupun pemeriksaan yang mendukung, vektor dan siklus penyakit ini, serta bagaimana cara penanganan demam berdarah dengue serta pencegahannya.2

Anamesis

Jenis anamnesis yang dapat dilakukan ialah autoanamnesis dan alloanamnesis. Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih berada dalam keadaan sadar. Sedangkan bila pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan alloanamnesis yang menyertakan kerabat terdekatnya yang mengikuti perjalanan penyakitnya.1

Pada setiap anamnesis selalu ditanyakan identitas pasien terlebih dahulu. Indentitas pasien meliputi nama, tanggal lahir, umur, suku, agama, alamat, pendidikan dan pekerjaan. Setelah itu dapat ditanyakan pada pasien apa keluhan utama dia datang. Kemungkinan arah working diagnosis pada demam berdarah ditinjau bila pasien menyatakan ia demam yang disertai dengan salah satu gejala demam dengue seperti perdarahan intradermal (petikie dan ekimosis) ataupun nyeri pada otot. Untuk menguatkan kemungkinan ke arah diagnosis terhadap penyakit demam berdarah maka ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan pada pasien. Kemungkinan pertanyaan yang diajukan ialah sebagai berikut :

1. Jenis demam yang dialami. Apakah demamnya menetap atau naik-turun secara tiba-tiba. Seperti yang diketahui kurva suhu pada demam berdarah ialah bifasik.

2. Apabila pasien datang dengan suhu tubuh yang menurun, tanyakan apakah saat panas ia mengalami ruam (kemerah-merahan) pada kulit dan apakah ruam itu hilang pada saat suhu tubuhnya turun. Selain ruam juga dapat timbul bintik pada tempat tersebut.

3. Apakah pasien mengalami myalgia (nyeri pada otot), terutama nyeri pada otot perut dan matanya.

1

Page 2: Sp Blok 12 Yayas

4. Apakah pasien mengalami gambaran klinis lain seperti sakit kepala yang menyeluruh, mual ataupun muntah.

5. Apakah pasien pernah melakukan perjalanan ke tempat endemik penyakit demam berdarah dalam kurun waktu masa inkubasi demam berdarah (5-8 hari).

Riwayat keluarga dan kerabat yang berhubungan juga perlu ditanyakan untuk menguatkan dugaan. Misalnya apakah ada kerabat yang dalam kurun waktu belakangan ini mengalami penyakit demam berdarah dan apakah ada kontak antara pasien dengan kerbabatnya tersebut. Jika data-data dari pasien sudah lengkap untuk anamnesi, maka dapat dilakukan pemeriksaan fisik untuk menunjang anamnesis tadi.1

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan setelah sebelumnya melakukan anamnesis. Pemeriksaan fisik merupakan pemeriksaan tahap awal yang dilakukan terhadap pasien yang selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui lebih lanjut mengenai diagnosis dari penyakit yang diderita pasien. Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah pemeriksaan denyut nadi pasien. Nadi pada awalnya akan cepat dan kemudian kembali normal, selanjutnya akan melambat pada hari 4 dan 5. Pada mata pasien dapat juga dijumpai infeksi konjungtiva, lakrimasi, fotophobia, serta pembengkakan. Dapat juga dijumpai bradikardi yang menetap selama beberapa hari dalam masa penyembuhan. Selain itu pada pasien juga dijumpai kesulitan dalam buang air besar dan lidah yang kotor. Terdapat juga gejala perdarahan pada hari 3 dan 5 berupa ptekiae, purpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epitaksis. Terdapat juga pembesaran hati dan nyeri tekan yang tak sesuai dengan beratnya penyakit.

Pada dengue shock syndrome gejala renjatan umumnya ditandai dengan kulit yang terasa lembab dan dingin. Terjadi pula sianosis perifer pada ujung hidung, jari-jari tangan, dan kaki. Hal ini juga disertai dengan penurunan tekanan darah. 4,5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendekatkan ke arah diagnosis penyakit demam berdarah ialah pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit serta hapusan darah tepi untuk melihat gambaran limfosit serta untuk menghitung jumlah leukosit.2

Selain pemeriksaan darah juga dapat dilakukan pemeriksaan serologis. Deteksi pastinya ialah menggunakan teknik deteksi antigen virus RNA dengue menggunakan teknik PCR, namun teknik ini cukup rumit. Teknik lain yang dapat digunakan ialah mendeteksi antobodi total, IgG maupun IgM. Selain pemeriksaan darah, dapat pula dilakukan rontgen untuk melihat adanya kemungkinan dilatasi pada pembuluh darah paru, efusi pleura, kardiomegali, serta efusi perikard. Cairan dalam rongga peritonium yang timbul sebagai akibat bocornya plasma juga dapat dilihat dengan menggunakan USG.5

1. Uji Tourniquet

2

Page 3: Sp Blok 12 Yayas

Uji ini merupakan manisfestasi pendarahan kulit paling ringan dan dapat dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari pertama demam. Di daerah endemis DBD, uji tourniquet dilakukan kepada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa alasan yang jelas. Pemeriksaan ini harus dilakukan sesuai standar yang ditetapkan oleh WHO. Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah pasien. Selanjutnya diberikan tekanan antara sistolik dan diastolic pada alat pengukur yang diletakan dilengan atas siku, tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, perhatikan timbulnya petekie di bagain volar lengan bawah.Uji dinyatakan positif apabila pada satu inci persegi didapatkan 10 atau lebih petekie (WHO1997). Pada DBD uji ini biasanya menunjukan hasil positif. Namun dapat berhasil negative atau positif lemah pada keadaan syok.

Uji tourniquet dilakukan sebagai berikut:1. Periksa tekanan darah pasien2. Berikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang

pada lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan menetap selamapercobaan.

3. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit perhatikan timbulnya petekiae dikulit lengan bawah bagian medial pada sepertiga bagian proksimal.

4. Uji dinyatakan positif bila pada satu inci persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebihdari 20 petekiae.

Pada penderita DBD, umumnya uji tourniquet memberikan hasil positif. Pemeriksaan itu dapat memberikan hasil negatif atau positif lemah selama masa syok. Bila pemeriksaan diulangi setelah syok ditanggulangi, biasanya akan didapat hasil positif bahkan positif kuat.2 Sesuai dengan skenario didapatkan hasil uji tourniquet postif (+).

2. Pemeriksaan Darah Pemeriksaan darah, meliputi :

o Pemeriksaan hematokrit

Infeksi sekunder pada kasus demam berdarah dengue dapat menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat kompleks dalam tubuh manusia. Kompleks antibodi virus yang terjadi dapat mengaktifkan sistem koagulasi yang akan menghasilkan benang-benang fibrin, namun pada saat yang bersamaan akan mengaktifkan sistem fibrinolisis yang menyebabkan pemcehan benang fibrin menjadi FDP. Hal ini dapat memicu terjadinya pendarahan dan dapat menyebabkan terjadinya tingkatan lanjutan dari demam berdarah yaitu demam berdarah dengan renjatan (shock). Hal ini akan berpengaruh pada peningkatan hematokrit darah. Sebenarnya yang meningkat bukanlah jumlah sel darah merah melainkan terjadi penurunan plasma. Dan hal ini ternyata menyebabkan

3

Page 4: Sp Blok 12 Yayas

peningkatan hematokrit dalam kadar yang cukup signifikan, yang dapat menjadi 20% dari keadaan normal.6

Pemeriksaan hematokrit menggunakan prinsip sentrifugasi untuk mendapatkan endapan sel darah merah dalam jumlah yang besar. Pemeriksaan ini dapat menggunakan cara makro dan cara mikro. Pada cara makro tinggi kolom sel darah merah dibaca dengan menggunakan skala yang tertera pada tabung pengukur yang disebut dengan tabung Wintrobe. Tinggi kolom sel darah merah tersebut menyatakan persentasi dari eritrosit. Sedangkan cara mikro menggunakan tabung yang lebih kecil yang tidak memiliki skala. Pembacaan skala menggunakan skala tersendiri yang dicocokan dengan tinggi kolom eritrosit dalam darah.2,5

Nilai normal hematokrit ialah 40-48 volume % bagi pria dan 37-43 volume % bagi wanita. Pada demam berdarah dapat terjadi peningkatan hematokrit dalam jumlah yang cukup berarti (60-70 volume %).

o Leukosit

Leukosit secara normal terdapat dalam jumlah 5.000 – 10.000/µL darah. Penderita demam berdarah dapat mengalami leukopenia ringan, namun hal ini umumnya dijumpai pada hari pertama hingga hari ketiga dan bila dilakukan hitung jenis masih bisa digolongkan dalam batas yang normal. Akan tetapi, pada dengue shock fever dapat dijumpai neutropenia yang absolut.5

Lalu bagaimana cara menghitung jumlah leukosit tersebut? Ada cara yang dapat digunakan dalam perhitungan sel darah tepi dengan cara mengambil sampel darah. Pada perhitungan ini alat bantu yang disebut dengan pipet Thoma. Prinsipnya ialah sel darah diambil dalam jumlah tertentu kemudian diambil cairan pengencer, dalam hal ini ialah larutan Turk. Larutan ini dapat melisiskan sel darah merah sehingga yang terlihat pada mikroskop hanya sel darah putih/leukosit. Cairan pengencer ini dicampur dengan darah.

Bila darah diambil hingga skala 1 sedangkan pengencer diisi hingga angka 11, maka pengenceran yang terjadi ialah sebesar 10 kali. Sedangkan bila darah yang terambil jumlahnya hanya mencapai skala 0,5 sedangkan pengencer diisi hingga angka 11, maka pengenceran terjadi sebanyak 20 kali. Setelah itu darah akan diteteskan pada alat bantu pembaca yang disebut sebagai kamar hitung Improved Neubauer.6

Pada kamar Hitung yang digunakan adalah empat kotak besar 1 x 1 mm yang terdapat pada keempat sudut kamar hitung. Setelah meletakkan sampel darah, maka dapat dibaca jumlah leukosit di bawah mikroskop. Hasil pembacaan pada keempat kamar hitung dijumlahkan. Jumlah leukosit dalam tiap mikroliter darah ialah jumlah leukosit pada keempat kamar hitung dikalikan

4

Page 5: Sp Blok 12 Yayas

dengan faktor. Yang disebut dengan faktor ialah 1/volume kamar hitung x jumlah pengenceran.5 Selain menggunakan pipet thoma, dapat pula digunakan pipet sahli yang memiliki prinsip yang hampir mirip dengan pipet thoma.2,7

Gambaran yang khas pada demam berdarah lainnya adalah secara mikroskopis ditemukan cukup banyak limfosit yang mengalami transformasi / limfosit atipik (20-50% total limfosit). Limfosit ini berinti sel satu, dengan struktur kromatin inti halus dan padat serta sitoplasma yang berwarna biru tua. Oleh karena itu, gambaran ini disebut sebagai limfosit plasma biru.1

o Trombosit

Seperti yang telah dibahas di awal, terjadinya koagulasi merupakan salah satu akibat dari aktivitas kompleks virus – antibodi demam berdarah. Hal ini tentu saja menyebabkan penurunan kadar trombosit / trombositopenia. Pada tiga hari pertama umumnya jumlah trombosit masih dalam kadar yang normal. Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah panas, dan mencapai titik terendah pada fase renjatan / shock. Kadar trombosit normal dalam darah ialah 200.000-300.000/µl. Penderita DBD umumnya mengalami penurunan hingga angka 100.000/µl. Bahkan DBD dengan renjatan bisa mengalami trombositopenia lebih parah dari angka tadi.

Perhitungan kadar trombosit dapat dilakukan dengan pipet thoma maupun pipet sahli. Namun perhitungan ini memerlukan ketelitian yang lebih tinggi. hal ini disebabkan oleh sifat trombosit yang mudah rusak. Oleh karena itu sebelum pemeriksaan, pipet harus dibilas dengan larutan pengencer. Dalam pemeriksaan ini digunakan larutan amonium oksalat yang dapat melisis eritrosit ataupun larutan Rees Ecker yang tidak melisis eritrosit. Cara pengisian pada kamar hitung juga sama. Akan tetapi pada perhitungan trombosit yang digunakan hanya 1 kotak besar 1 x 1 mm yang terletak tepat di tengah kamar hitung.6

3. Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan yang dilakukan bisa meliputi uji HI, uji pengikatan komplemen, uji neutralisasi, uji Mac. Elisa dan uji IgG Elisa Indirek. Dari kelima jenis, uji HI (hemagglutination inhibition test) merupakan uji serologi yang paling banyak dipakai secara rutin karena lebih sederhana, mudah, murah serta sensitif. Antibodi HI ini dapat berada dalam kurun waktu yang sangat lama hingga lebih dari 50 tahun begitu seseorang mendapatkan infeksi demam berdarah.1

Antibodi ini timbal pada kadar yang terdeteksi yaitu titer 10 pada hari kelima hingga hari keenam dari jalannya penyakit. Kadarnya akan meningkat bila demam berdarah terus berlanjut (dapat mencapai 640 pada infeksi primer dan 10240 pada infeksi sekunder).

5

Page 6: Sp Blok 12 Yayas

Pada infeksi akut, kadar titer yang mencapai 1280 dapat mengarahkan diagnosis pada dugaan adanya infeksi baru. Titer HI yang tinggi ini akan bertahan hingga tiga bulan sesudah infeksi dengan gejala penurunan yang tampak mulai pada hari ke – 30.

4. Radiologi Kebocoran plasma dapat diamati melalui radiologi. Dengan pemeriksaan rontgen, bisa terlihat dilatasi pada pembuluh darah paru di daerah sekitar hilus pulmonis. Biasanya hal ini akan terlihat jelas. Selain itu kemungkinan lainnya ialah terisi pleura oleh cairan yang disebut sebagai efusi pleura.1,2

Selain itu organ yang kemungkinan terkena dampak ialah jantung. Perbesaran jantung dapat diukur dengan cardio thoraxic ratio pada hasil rontgen. Hasil CTR yang lebih dari 0,5 dianggap sebagai perbesaran jantung. Efusi perikardium juga mungkin terjadi. Di dalam gambaran hasil rontgen biasanya terlihat daerah hitam yang disertai bercak.1

Hepatomegali dapat dilihat dengan menggunakan USG. Umumnya dianggap hepatomegali bila pada USG didapati posisi hepar yang melewati arcus costae. Dilatasi v. hepatika juga kemungkinan dapat mengikuti hepatomegali. Pada USG juga bisa terlihat cairan dalam rongga peritonium yang ditandai dengan gambaran usus yang terkumpul pada daerah medial abdomen. Kemungkinan terlihatnya asites ialah diantara hati dan ginjal kanan.

Differential Diagnosis

Chikungunya

Chikungunya merupakan penyakit yang ditransmisikan dari satu orang ke orang lainnya oleh vektor nyamuk A. aegypti betina. Penyakit ini ditandai dengan adanya arthtritis terutama pada sendi-sendi di ekstremitas seperti pada pergelangan-pergelangan kaki dan tangan serta jari-jari. Gejala lainnya yaitu demam tinggi, pusing, rasa mual, muntah-muntah, terdapat maculopapular (bintik merah yang berisi cairan), ruam, nyeri otot, menggigil, dan lymphadenopati.3 Pada penderita chikungunya, jumlah trombosit biasanya normal.

Demam TifoidDemam Enterik (Tifoid) adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri pada abdomen yang disebabkan oleh penyebaran  Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Pada awalnya penyakit ini disebut demam tifoid karena memiliki gejala klinis yang sama dengan typhus.

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata 10 – 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini  disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi, imunologi dan lama sakit di rumahnya.

6

Page 7: Sp Blok 12 Yayas

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan denga pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat; seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.

Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan nampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga ijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh obstipasi, obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan.4

Malaria Diagnosa malaria sering mernerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria, riwayat pengobatan kuratip maupun preventip. Diagnosis malaria dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Pemeriksaan tetes darah untuk malaria Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatif tidak mengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negatif maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga laboratorik yang berpengalaman dalam pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan pada saat penderita demam atau panas dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya parasit. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui:

a. Tetesan preparat darah tebal Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negatif

7

Page 8: Sp Blok 12 Yayas

bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikroliter darah.5

b. Tetesan darah tipis Digunakan untuk mengidentifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasarkan jurnlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit lebih besar dari 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat tirnbul dengan jumlah parasit yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishman's, atau Field's dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang urnum dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup baik.

2. Tes Antigen : P-F test Yaitu mendeteksi antigen dari P. falciparum (Histidine Rich Protein II). Deteksii sangat cepat hanya 3 - 5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar di pasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL.

Optimal dapat mendeteksi dari 0 - 200 parasit/ul darah dan dapat membedakan apakah infeksi P. falciparum atau P vivax. Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid Test).

3. Tes Serologi Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tehnik indirect fluorescent antibody, test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epiderniologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dan test > 1: 20 dinyatakan positip. Metode-metode tes serologi antara lain indirect haemagglutination test, immuno-precipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay.

Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan splenomegali. Massa inkubasi berviariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan

8

Page 9: Sp Blok 12 Yayas

prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demarn ringan, anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin. Keluhan prodromal sering terjadi pada P vivax dan ovale, sedang pada P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak.Gejala yang klasik yaitu terjadinya " Trias Malaria secara berurutan: periode dingin (15-60 menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperatur; diikuti dengan periode panas : penderita muka merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat; kemudian periode berkeringat : penderita berkeringat banyak, temperatur turun dan penderita merasa sehat. Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi P. vivax, pada P. falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P.falciparum, 36 jam pada P. vivax dan ovale, 60 jam pada P malariae.4

Working Diagnosis

Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan maka akan didapatkan diagnosis terhadap pasien. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG lebih banyak.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Virus Dengue4

DD/DBD Derajat* Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, artralgia.

Leukopenia

Trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma

DBD I Gejala di atas ditambah uji bendung positif Trombositopenia (<100.000/l), bukti ada kebocoran plasma

DBD II Gejala di atas ditambah perdarahan spontan

Trombositopenia (<100.000/l), bukti ada kebocoran plasma

DBD III Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)

Trombositopenia (<100.000/l), bukti ada kebocoran plasma

9

Page 10: Sp Blok 12 Yayas

DBD IV Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur

Trombositopenia (<100.000/l), bukti ada kebocoran plasma

DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD) Pada kasus diatas, kelompok kami menyimpulkan bahwa pasien tersebut

menderita Demam Berdarah Dangue

Etiologi

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Falivivrus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.

Terdapat 4 serotip virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Keempat serotip tersebut ditemukan di Indonesia, dengan DEN-3 merupakan serotip terbanyak.

Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing dan kelelawar. Penelitian terhadap artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus aedes (stegomyia) dan toxorhynchites. 8

Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes (terutama A.aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih.

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:

1. Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.

2. Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan atau keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.

Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.8

Patofisiologi

Terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.9

Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD ialah :

10

Page 11: Sp Blok 12 Yayas

a. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.9

b. Limfosit T baik T-helper dan T sitotoksik berperan dalam respon imun selulerterhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.9

c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody. Namun proses fagositosis ini meyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.9

d. Selain itu aktivitas komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.9

Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivaasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF, IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadnya disfungsi sel endotel dan terjadinya kebocoran plasma.4,9

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :a. Supresi sumsum tulangb. Destruksi dan pemendekkan masa hidup trombosit

Gejala Klinis

Demam berdarah dengue ditandai dengan adanya beberapa manifestasi klinis yaitu demam tinggi, terjadi pendarahan terutama pendarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah. Demam tersebut merupakan gejala utama pada semua penderita DBD dan datang secara mendadak disertai gejala klinis lainnya yang tidak spesifik seperti nyeri punggung, tulang, sendi, otot, anoreksia, nyeri kepala, leukopenia, trombositopenia, serta ada ruam. Demam akan memiliki durasi antara 2-7 hari sebelum diberi perawatan. Rata-rata keadaan umum penderita memburuk saat demam menurun di antara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Manifestasi pendarahan yang paling sering ditemukan pada DBD adalah pendarahan kulit, memar, dan pendarahan ditempat pengambilan darah vena. Kulit juga terasa lembab dan dingin, adanya sianosis di dekat mulut, nadi menjadi cepat sehingga akhirnya terjadi penurunan tekanan darah. Petekiae halus tersebar di anggota gerak, wajah, dan axilla sering ditemukan pada masa dini demam. Pendarahan juga bisa terjadi di setiap organ tubuh lainnya. Hal lain yang bisa ditemukan adalah hepatomegali. hepatomegali umumnya dapat diraba pada saat awal penyakit dan pembesarannya tidak sejajar dengan berat penyakit. Nyeri tekan yang ditemukan tidak disertai ikterus. Pada pemeriksaan laboratorium akan terlihat turunnya jumlah trombosit dan meningkatnya nilai hematokrit.10,11

PenatalaksanaanTerapi untuk demam dengue adalah terapi suportif. Terapi suportif dapat dilakukan dengan tetap memelihara volume cairan sirkulasi, karena hal tersebut merupakan hal yang sangat

11

Page 12: Sp Blok 12 Yayas

penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien DBD juga harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang bermakna. Terapi yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai pelaksanaannya.

Beberapa penanganan yang tepat untuk DBD pada kondisi yang berbeda:1. Penanganan DBD tanpa syok

Penanganan ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 – 150.000 pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi Gawat Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan

untuk dirawat.

2. Pemberian cairan pada tersangka DBD di ruang rawat Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini :

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}

Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam : Bila Hb, Ht meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 jumlah

pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 12 jam.

Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

3. Penanganan penderita DBD dengan hematokrit > 20% Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6 – 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 – 4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus

12

Page 13: Sp Blok 12 Yayas

dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian.

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah menurun, 20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBb/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda – tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

4. Penanganan pendarahan spontan pada DBD Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung / epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 – 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulangi setiap 4 – 6 jam.Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

5. Penatalaksanaan sindroma syok dengue Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang

13

Page 14: Sp Blok 12 Yayas

tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal, cairan kristaloid diberikan sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat disertai diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).10

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 – 30 ml/kgBB/jam dan kemudian dievaluasi setelah 20 – 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berati terjadi perdarah (internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.

Komplikasi

Ada beberapa jenis komplikasi dan manifestasi klinis yang tidak lazim yang dapat terjadi pada pasien demam berdarah dengue.2,5 Antara lain:

Enselopati dengue

14

Page 15: Sp Blok 12 Yayas

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi akibat perdarahan yang dialami oleh pasien. Gangguan seperti hipoksemia, hiponatremia atau pendarahan dapat mencetuskan terjadinya ensefalopati. Melihat enselopati yang bersifat sementara, maka dapat dilihat kemungkinan lain yaitu trmobosit pembuluh darah di otak akibat dari koagulasi intravaskular. Virus dengue merupakan jenis virus yang dapat menembus sawar darah otak namun sangat jarang menginfeksi jaringan otak. Pada ensefalopati kesadaran pasien menurun menjadi kesadaran somnolen yang dapat disertai dengan syok. Dalam keadaan seperti ini yang terutama ialah mengatasi syok yang dialami oleh pasien terlebih dahulu kemudian perhatikan kesadarannya. Jika syok teratasi namun kesadaran tetap menurun dapat dilakukan pungsi lumbal. Pada ensefalopati dijumpai peningkatan SGOT/SGPT, penurunan kadar gula darah serta alkalosis.2

Kelainan ginjalPada fase terminal dari penyakit demam berdarah dengue dapat terjadi gagal ginjal yang bersifat akut. Yang perlu diperhatikan bahwa ini dimungkinkan oleh karena terjadi syok yang dapat diatasi dengan penggantian volume cairan intravaskular dengan bantuan infus. Setelah diberi infus kristaloid yang perlu diperhatikan ialah diuresis pasien. Diusahakan agar diuresis dapat mencapai lebih dari1ml/kgBB/jam. Keadaan syok yang berat dapat dijumpai acute tubular necrosis yang ditandai dengan penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

Udem paruMerupakan komplikasi akibat pemberian cairan secara berlebih. Pemberian cairan sesuai panduan pada hari ketiga hingga kelima umumnya tidak menyebabkan udem pada paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Namun bila terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular sementara pemberian cairan tetap berlebih maka pasien dapat mengalami distress pada pernafasan disertai sembab pada kelopak mata yang bisa ditunjang pada pemeriksaan radiologi terdapat gambaran udem paru pada foto rontgen dada.7

Pencegahan

Tubuh seseorang yang pernah terinfeksi virus dengue akan timbul kekebalan untuk virus tertentu yang terbagi lagi menjadi beberapa jenis atau tipe (serotype), sehingga pada umumnya tidak akan terserang lagi untuk jenis serotype yang sama. Namun masih ada kemungkinan untuk terserang virus dengan serotype yang berbeda. Oleh karena itu pembuatan vaksin untuk virus tersebut masih sulit dilakukan karena adanya perkembangan serotype virus dari waktu ke waktu.

Belum ada vaksin yang dapat menyembuhkan DBD secara langsung meskipun saat ini sedang dikembangkan penelitian untuk menemukan vaksin tersebut. Oleh karena itu, pencegahan terhadap virus dengue lebih diutamakan dengan membasmi vektor pembawa virus yaitu Aedes aegypty. Pencegahan berkembangnya nyamuk Aedes aegypti bisa dilakukan dengan tidak menyediakan tempat yang lembab dan berair yang berpotensi

15

Page 16: Sp Blok 12 Yayas

menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk dan memberantas sarang-sarangnya. Karena tempat berkembangbiaknya ada di rumah-rumah dan tempat-tempat umum, setiap keluarga harus melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara teratur, sekurang-kurangnya seminggu sekali. Selain itu, fogging (pengasapan) dan memutuskan mata rantai pembiakan aedes aegypti lewat abatisasi juga harus dilakukan. Abatisasi adalah menggunakan sejenis insektisida dengan merek dagang Abate sebanyak 1 ppm (per sejuta bagian) atau sesuai dengan petunjuk setempat. Kegunaannya untuk mencegah larva berkembang menjadi nyamuk dewasa.12

Untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk, gunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Bila perlu oleskan bahan-bahan yang berfungsi untuk mencegah gigitan nyamuk dan minum ramuan yang secara empiris diketahui bisa mencegah dari gigitan nyamuk. Bila perlu, tempat tidur ditutupi kelambu untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk.

Pada saat ini pemberantasan A. aegypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk memberantas demam berdarah dengue, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Pemberantasan A. aegypti dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa ataupun jentiknya. Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan dengan pengasapan atau fogging insektisida yaitu:

Organofosfat misalnya malation, fenotrion Pinetroid sintetik, misalnya lamda sihalotrin, permetrin Karbamat

Pemberantasan jentik A. aegypti yang yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

Kimia: pemberantasan larva dilakukan dengan larvasida yang dikenal dengan abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos. Formulasi temefos yang digunakan adalah granules (sandgranules). Dosis yang digunakan 1ppm atau 10gram (kurang lebih 1 sendok makan rata) untuk setiap 1 liter air. Abatisasi dengan temefos tersebut mempunyai efek residu 3 bulan.

Biologi: dengan memelihara ikan pemakan jentik, contohnya ikan guppy, ikan cupang dan beberapa jenis ikan lainnya.

Fisik: cara ini dikenal dengan kegiatan 3M yaitu menguras, menutup dan mengubur. Menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan iar, rumah tangga seperti tempayan, drum air, dan lain-lainnya serta mengubur atau memusnahkan barang bekas yang bisa menjadi tampungan air sementara seperti kaleng, ban, dan sebagainya. Pengurasan tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya satu kali dalam seminggu agar nyamuk tidak dapat berkembang biak ditempat tersebut.11,

Jika pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk ini dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia, maka diharapkan nyamuk A. aegypti dapat terbasmi. Untuk itu diperlukan usaha

16

Page 17: Sp Blok 12 Yayas

dan penyuluhan serta motivasi kepada masyarakat secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama, karena keberadaan jentik nyamuk tersebut berkaitan dengan lingkungan juga perilaku masyarakat.

Prognosis

Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, DF dan DHF tidak ada yang mati. Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf, kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain.1

Kesimpulan

Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi virus dengue dengan vektor nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini disertai gejala klinis seperti sakit kepala, nyeri otot, sendi atau tulang, mual, dan terdapat pendarahan terutama di bagian kulit. Dalam kondisi yang lebih lanjut, pasien DBD dapat terkena syok yang berisiko pada kematian. Untuk mencegah pasien DBD hingga mengalami syok perlu dilakukan penanganan yang cepat dan intensif seperti rawat inap di rumah sakit untuk tetap mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Cara yang paling efektif untuk mengindari penyakit DBD adalah dengan melakukan pencegahan keberadaan dan perkembangbiakan vektor sedini mungkin melalui beberapa cara diantaranya adalah fogging dan 3M.

Daftar pustaka

1. Tumbelaka AR, Darwis D, Gatot D, dkk. Demam berdarah dengue. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005.

2. Davey P, editors. At a glance medicine. Jakarta: EMS; 2006.h.298-300.3. Capinera JL. Encyclopedia of entomology. 2nd ed. USA: Springer; 2008.h.841-3

4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V Jilid III. Jakarta; Interna Publishing; 2009

5. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI Jakarta. Parasitologi Kedokteran edisi IV. Jakarta; Balai Penerbit FK UI; 2008

6. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA. Penuntun patologi klinik hematologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2009.h.51-60.

7. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar ilmu penyakit dalam. edisi 5 jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2773-9.

8. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I. Jakarta; Balai Penerbit FK UI; 2007.

9. Satari, Hindra I., Meiliasari,Mila. Demam berdarah. Jakarta: Puspa Swara, 2004.h.28-

31.

17

Page 18: Sp Blok 12 Yayas

10. World Health Organization. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. France: WHO Press; 2009.h.8,15-7.

11. Clyde K, Kyle JL. Recent advances in deciphering viral and host determinants of dengue virus replication and pathogenesis. J Virol:2006;80:11418-31.

12. Sutanto I, Ismid SI, Sjariffudin PK. Buku ajar parasitologi kedokteran. Ed ke 4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2008.h.265-8.

18