pbl blok 16 dispepsia sp
TRANSCRIPT
Dispepsia Fungsional Pada Wanita
Usia 30 Tahun
Gari Kharisma
102010131
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/
keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Keluhan ini tidak perlu selalu semua ada
pada tiap pasien, dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi baik
dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya. Terdapat berbagai definisi tentang dispepsia. Salah
satunya yang dapat dipakai adalah dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper
abdomen. Definisi ini berdasarkan kriteria Roma II tahun 1999-2000. Jadi dispepsia bukanlah
suatu penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya. Secara garis
besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit
organik ( seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll ) dan kelompok dimana sarana
penunjang diagnostik yang konvensional atau baku tidak dapat memperlihatkan adanya
gangguan patologis struktural atau biokimiawi. Atau dengan kata lain, kelompok ini disebut
sebagai gangguan fungsional.
Anamnesis
Anamnesis yang akurat untuk memperoleh gambaran keluhan yang terjadi, karakteristik
keterkaitan dengan penyakit tertentu, keluhan bersifat lokal atau manifestasi gangguan sistemik.
1
Harus terjadi persepsi yang sama untuk menginterpretasikan keluhan antara dokter dan pasien
yang dihadapinya.
Pada anamnesis perlu ditanyakan :
o Identitas dan pekerjaan
o Umur
o Jenis kelamin
o Keluhan utama/ Keadaan umum yang dirasakan
o Riwayat penyakit sekarang
o Riwayat penyakit dahulu
o Riwayat keluarga
o Riwayat sosial
o Riwayat obat yang sudah digunakan
Berdasarkan lokasi nyeri, dapat dipikirkan kemungkinan kelainan yang terjadi :
Lokasi nyeri Dugaan sumber nyeri
Epigastrium gaster, pankreas, duodenum
Periumbilikus usus halus, duodenum
Kuadran kanan atas hati, duodenum, kantung empedu
Kuadran kiri atas pankreas, limpa, gaster, kolon, ginjal
Perlu diketahui kualitas nyeri yang dialami pasien. Namun hal ini tidak mudah terutama di
Indonesia dimana ekpresi bahasa tidak sama untuk menggambarkan rasa nyeri. Pada dasarnya
harus dibedakan antara nyeri kolik seperti obstruksi intestinal dan bilier, nyeri yang bersifat
tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas pada kolesistis, rasa panas pada esofagitis,
dan nyeri tumpul yang menetap pada apendisitis.
Intensitas nyeri juga dapat membantu dalam diagnosis penyakit. Pada keadaan kaut, intensitas
nyeri dapat diurutkan dari yang paling hebat sampai nyeri yang cukup ringan sesuai dengan
urutan penyakit berikut : perforasi ulkus, pankreatitis akut, kolik ginjal, obstruksi ileus,
kolesistis, apendisitis, tukak peptik, gastroenteritis dan esofagitis. Pada nyeri kronik banyak
faktor psikologis yang berperan sehingga lebih sulit dalam menentukan diagnosis.3
2
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Setelah melakukan anamnesis dan mendapatkan informasi yang cukup dari pasien. Dokter
tentu mendapatkan gambaran penyakit yang diderita pasien tersebut tetapi perlu dilakukan
pemeriksaan fisik dan penunjang untuk mendapatkan diagnosis yang tepat sehingga tindakan
terapi/penatalaksanaan dapat diberikan secara optimal.
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi
gangguan organik atau biokimiawi.
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang padat
( misalnya tumor ), organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya rangsang
peritoneal/ peritonitis.
Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi ( lekositosis ),
pankreatitis ( amilase, lipase ), keganasan saluran cerna ( CEA, CA19-9, AFP ).
Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan padat intra abdomen, misalnya
adanya batu kandung empedu, kolesistis, sirosis hati dan sebagainya.
Pemeriksaan endoskopi ( esofagogastroduodenoskopi ), pemeriksaan ini sangat dianjurkan
untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms
yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi,
muntah darah, hematemesis melena, atau keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada usia
lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organik, terutama keganasan,
sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya. Teknik pemeriksaan ini dapat
mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan struktural/ organik intra lumen saluran cerna
bagian atas seperti adanya tukak/ ulkus, tumor dan sebagainya serta dapat disertai pengambilan
contoh jaringan ( biopsi ) dari jaringan yang dicurigai memperoleh gambaran histopatologiknya
atau untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi adanya kuman Helicobacter pylori.
Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini pemeriksaan barium meal adalah pemeriksaan untuk
mengidentifikasi kelainan struktural dinding/ mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya
tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada kelainan yang
bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif dimana skop endoskopi tidak dapat melewatinya.
Pada umumnya pemeriksaan fisik dan laboratorium bersifat tidak khas atau tidak spesifik
karena dalam aplikasi klinisnya jarang digunakan karena tidak memberikan gambaran yang tepat
3
dalam rangka mencari dasar patofisiologi atau mencari dasar penyebab penyakit. Tetapi
pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi dispepsia yang disertai
alarm symptoms.1
Diagnosis
Working Diagnosis ( WD )
Dispepsia fungsional
Untuk menentukan diagnosis dispepsia diperlukan anamnesis yang cermat, sebab
tindakan-tindakan yang pertama tergantung pada keluhan yang dikemukakan penderita. Untuk
lengkapnya diajukan pula pertanyaan yang mungkin dapat menyatakan keadaan kejiwaan
penderita. Perlu ditanyakan pula kemungkinan adanya dispepsia organik. Pemeriksaan fisik dan
laboratoris biasanya tidak menunjang banyak untuk dispepsia fungsional.
Seperti dikemukakan diatas bahwa kasus dispepsia setelah ekplorasi penunjang
diagnostik, akan terbukti apakah disebabkan gangguan patologis organik atau bersifat fungsional.
Dalam konsensus Roma III ( tahun 2006 ) yang khusus membicarakan tentang kelainan
gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai :
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/
epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.
2. Tidak ada bukti kelainan struktural ( termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas ) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakkan.
Jadi disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan
adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada alarm
symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang persisten,
maka merupakan petunjuk awal kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan
pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya.1,3
4
Different Diagnosis
Dispepsia organik
Diagnosis ditegakkan pada dispepsia organik jika pada penunjang diagnostik ditemukan
kelainan struktural organik maupun biokimiawi. Dispepsia organik meliputi ;
1. Gastritis
Definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Infeksi
kuman Helicobacter pylori dan OAINS merupakan kausa gastritis yang sangat penting.
Perjalanan alamiah gastritis kronik akibat infeksi kuman Helicobacter pylori secara garis
besar dibagi menjadi gastritis kronik non atropi predominasi antrum dan gastritis kronik
atropi multifokal. Ciri khas gastritis kronik non atropi predominasi antrum adalah
inflamasi moderat sampai berat mukosa antrum, sedangkan inflamasi di korpus ringan
atau tidak sama sekali. Antrum tidak mengalami atropi atau metaplasia. Pasien-pasien
seperti ini biasanya asimptomatis, tetapi mempunyai resiko menjadi tukak duodenum.
Gastritis kronik atrofi multifokal mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut : terjadi
inflamasi pada hampir seluruh mukosa, seringkali sangat berat berupa atropi atau
metaplasia setempat-setempat pada daerah antrum dan korpus. Gastritis kronik atropi
multifokal merupakan faktor resiko terpenting displasia epitel mukosa dan karsinoma
gaster. Infeksi Helicobacter pylori juga sering dihubungkan dengan limfoma MALT.
Gastritis kronik atrofi predominasi korpus atau sering disebut gastritis kronik autoimun
setelah beberapa dekade kemudian akan dikuti anemia pernisiosa dan defisiensi besi.
Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan biasanya berupa
keluhan yang tidak khas. Keluhan yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis
adalah nyeri panas dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah.
Keluhan-keluhan tersebut sebenarnya tidak berkorelasi baik dengan gastritis. Keluhan-
keluhan tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberasilan
pengobatan. Pemeriksaan fisis juga tidak dapat memberikan informasi yang dibutuhkan
untun menegakkan diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi
5
dan histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan dengan sistematis sesuai dengan update
Sydney System yang mengharuskan mencantumkan topografi. Gambaran endoskopi yang
dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat-erosion, raised erosion, perdarahan,
edematous rugae. Perubahan-perubahan histopatologi selain menggambarkan perubahan
morfologi sering juga dapat menggambarkan proses yang mendasari, misalnya autoimun
atau respon adaptif mukosa lambung. Perubahan – perubahan yang terjadi berupa
degradasi epitel, hyperplasia foveolar, infiltrasi neutrofil, inflamsai sel mononuklear,
folikel limpoid, atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin, kerusakan sel
parietal. Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga menyertakan pemeriksaan kuman
Helicobacter pylori.2
2. Tukak peptik
Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung ( TL ) dan tukak duodenum ( TD )
merupakanpenyakit yang masih banyak ditemukan di klinik terutama dalam kelompok
umur diatas 45 tahun.
Tukak peptik secara anatomis didefinisikan sebagai suatu defek mukosa/ submukosa
yang berbatas tegas dapat menembus muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga
dapat terjadi perforasi. Secara klinis, suatu tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau
lapisan lebih dalam dengan diameter ≤ 5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau
radiologis.
Patogenesis terjadinya tukak peptik adalah ketidakseimbangan antara faktor agresif yang
dapat merusak mukosa dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa lambung
dan duodenum.
Secara umum pasien tukak biasanya mengeluh sindrom dispepsia, berupa nyeri dan rasa
tidak nyaman ( discomfort ) pada epigastrium. Memiliki periode remisi dan eksaserbasi.
Pada tukak duodeni rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit
membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum obat
antasida ( Hunger Pain Food Relief / HPFR ). Rasa sakit tukak gaster timbul setelah
makan, berbeda dengan tukak duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa sakit tukak
gaster sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodeni sebelah kanan garis tengah perut. Rasa
sakit bermula pada satu titik ( pointing sign ) akhirnya difus bisa menjalar ke punggung.
6
Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau mengalami komplikasi
berupa penetrasi tukak ke organ pankreas. Muntah kadang timbul pada tukak peptik
disebabkan edema dan spasme seperti tukak kanal pilorik ( obstruksi gastric outlet ).
Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui
terbentuknya fibrosis/ oedem dan spasme.1
Etiologi
Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang menggambarkan
keluhan atau kumpulan gejala ( sindrom ) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan
rasa panas yang menjalar di dada. Sindroma atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh
berbagai penyakit atau gangguan dalam lumen saluran cerna, tentunya termasuk pula penyakit
pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awam sebagai penyakit maag/ lambung. Penyakit
hepato-pancreato-bilier ( hepatitis, pankreatitis kronik, kolesitis kronik dll ) merupakan penyakit
tersering setelah penyakit yang melibatkan gangguan patologik pada esofago-gastroduodenal
( tukak peptik, gastritis dll ). Beberapa penyakit diluar sistem gastrointestinal dapat pula
bermanifest dalam bentuk sindroma dispepsia, seperti yang cukup kita harus waspadai adalah
gangguan kardiak ( inferior iskemia/ infark miokard ), penyakit tiroid, obat-obatan dan
sebagainya. Bersifat fungsional jika dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organik/ struktural biokimia.2,3
Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya
gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan
dengan dispepsia fungsional adalah ; hipotesis asam lambung dan inflamasi, hipotesis gangguan
motorik, hipotesis hipersensitivitas viseral, serta hipotesis tentang adanya gangguan psikologik
atau psikiatrik.
Sekresi Asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung,
baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga
7
adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa
tidak enak diperut.
Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan helicobacter pylori pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda makna dengan angka kekerapan Hp
pada kelompok orang sehat. Memang mulai ada kecenderungan untuk melakukan
eradikasi helicobacter pylori pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang gagal
dengan pengobatan konservatif baku.
Dismotilitas gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomtilitas antrum ( sampai 50% kasus ), gangguan
akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Salah
satu dari keadaaan ini dapat ditemukan pada setengah sampai duapertiga kasus dispepsia
fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia
fungsional, tetapi tidak adanya korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat
perlambatan pengosongan lambung. Pemeriksaan manometri antro-duodenal
memperlihatkan adanya abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial,
disamping juga ditemukannya disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi ini
diduga yang mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola pikir
pengobatan yang akan diambil. Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami
perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan rasa
penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi lambung
biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan. Rasa cepat
kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi lambung waktu
makan. Pada keadaaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus
dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Dilaporkan bahwa pada
penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post
prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang mendasari adanya pembagian subgrup
dispepsia fungsional menjadi tipe dismotilitas, tipe seperti ulkus, dan tipe campuran.
8
Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai
hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Bagaimana
mekanismenya, masih belum dipahami. Penelitian dnegan menggunakan balon
intargastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dsipepsia fungsional sudah timbul rasa
nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah
dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.
Disfungsi autonom
Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan daam hipersensitivitas gastrointestinal pada
kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam
kegagalan relaksasi bagianproksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa
tachygastria, bradygastria, pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, yapi hal ini
bersifat inkonsisten.
Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya
penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal.
Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi
kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
fungsional dibandingkan kasus kontrol.
Psikologis
Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan
pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului
keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Tapi korelasi antara faktor psikologik stres
kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan
personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini dibandingkan
9
kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan
pada kasus dispepsia fungsional terdapat adanya masa kecil yang kurang bahagia atau
adanya gangguan psikiatrik.1-4
Manifestasi Klinis
Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien, maka
banyak disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadi subgrup didasarkan
pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.
Bila nyeri ulu hati yang dominan adalah nyeri epigastrik disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe ulkus ( ulcer like dyspepsia )
Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas (
dismotility like dyspepsia )
Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non-
spesifik.
Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah diperoleh
gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan awalnya.1
Penatalaksanaan
Pendekatan umum
Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan bahwa adanya
ketidakpastian dalam patogenesisny. Adanya respon plasebo yang tinggi ( sekitar 45% )
mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang lebih pasti. Penjelasan dan reaasurance
kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang dialaminya, merupakan langkah awal yang
penting. Buat diagnosis klinik dan evaluasi bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang
mengancamnya. Coba jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang dideritanya.
Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk menghindari makanan yang dapat
mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik akan berdampak positif bagi
perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional.1
10
Non-medikamentosa
Pada penatalaksanaan non-medika mentosa kita perlu menjelaskan tentang perlunya dietetik
kepada pasien. Walaupun, tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan
secara bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan pegangan
yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi
sebaiknya dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan sampai menurunkan/
mempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila keluhan cepat kenyang, dapat dianjurkan untuk
makan porsi kecil tapi sering dan rendah lemak.1,4
Penatalaksanaaan non farmakologis yaitu meliputi:
1. Atur pola makan
2. Olah raga teratur
3. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat, keju,
dll )
4. Hindari makanan yang terlalu pedas
5. Hindari minuman dengan kadar caffeine,alkohol,dan kurangi rokok
6.Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung
7.Kelola stress psikologi seefisien mungkin.
Medikamentosa
Antasida
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita dispepsia,
merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan asam lambung dengan
menurunkan aktivitas pepsin dan menaikkan pH lambung ≤ 4 dan merupakan suatu basa
lemah.
Penyekat H2 reseptor/ antagonis reseptor histamin – H2
Obat ini juga diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak tersamar ganda,
didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian gagal memperlihatkan manfaatnya pada
dispepsia fungsional, dan sebgaian lagi berhasil. Secara metaanalisis diperkirakan
11
manfaat terapinya 20% diatas plasebo. Masalah pkok adalah kriteria inklusi pada
berbagai penelitian, dan juga kemungkinan masuknya kasus penyakit refluks
gastroesofageal. Umumnya manfaatnya untuk menghilangakn rasa nyeri ulu hati.
Penghambat pompa proton ( PPI )
Obat ini tampaknya cukup superior dibanding plasebo pada dispepsia fungsional.
Respons baik terlihat pada dispepsia fungsional tipe ulkus. Paling efektif menekan
sekresi asam lambung dan merupakan suatu pro-drug yang membutuhkan suasana asam
sehingga harus diminum sebelum makan. Efeknya akan menurun jika diberi bersama H2
– reseptor antagonis dan antasida. Preparat : omeprazole, lanzoprazole, pantoprazole
dan rabeprazole.
Sitoproteksi
Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya yang memperoleh
kemanfaatan yang dapat dinilai.
Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid ( antagonis reseptor dopamin D2 ),
domperidon ( antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak 0 dan cisapride 9
agonis reseptor 5-HT4 ). Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan
cisapride mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi
nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi abdomen dan mual.
Metoklopramid yang tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia fungsional, tapi
terbatas studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidalnya.
Cisapride tergolong agonist reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara
metaanalisis memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo.
Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat ini adalah
setelah diketahuinya efek sampingnya pada aritmia jantung, terutama perpanjangan
masa Q-T, sehingga pemakaiannya berada dalam pengawasan.
Obat lain – lain
Adanya peran hipersensitivitas viseral dalam patogenesis dispepsia fungsional, mebuka
peran obat-obatan yang bermanfaat dalam menghilangkan persepsi nyeri. Dalam
12
beberapa penelitian, dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan dapat
menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen.
Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam studi pada
volunteer serta pada beberapa studi dapat menurnkan keluhan pada dispepsia
fungsional, walaupun manfaat kliniknya masih dipertanyakan. Obat golongan agonist 5-
HT1 ( sumatriptan dan busipiron ) dapat memperbaiki akomodasi lambung dan
memperbaiki rasa keluhan cepat kenyang setelah makan.5
Psikoterapi
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan
manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibanding terapi baku.
Komplikasi
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun, dapat memicu adanya komplikasi yang
tidak ringan. Salah satunya komplikasi Ulkus Peptikum, yaitu luka di dinding lambung yang
dalam atau melebar, tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila keadaan
Ulkus Peptikum ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat menimbulkan komplikasi
pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah darah. Muntah darah ini
sebenarnya pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti akan mengalami buang
air besar berwarna hitam terlebih dulu. Yang artinya sudah ada perdarahan awal.Tapi komplikasi
yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker lambung yang mengharuskan penderitanya
melakukan operasi.
Pencegahan
Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan memperbaiki kondisi
lambung secara tidak langsung. Berikut ini adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola
danmencegah timbulnya gangguan akibat dyspepsia.
1. Atur pola makan seteratur mungkin.
2. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung(coklat, keju, dan lain-
lain).
3. Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon,semangka, dan lain-lain).
4. Hindari makanan yang terlalu pedas.
13
5. Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.
6. Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obatanti- inflammatory, misalnya yang mengandung
ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen.
Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding
lambung.
7. Kelola stress psikologi se-efisien mungkin.
8. Jika anda perokok, berhentilah merokok.
9. Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan sebelum waktu tidur.
10. Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan terlalubanyak, terutama makanan
berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makansesaat sebelum olahraga.
11. Pertahankan berat badan sehat
12. Olahraga teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa hari seminggu) untukmengurangi stress dan
mengontrol berat badan, yang akan mengurangi dispepsia.
13. Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatandispepsia. Baik itu antasid, PPI, penghambat histamin-2
reseptor, dan obat motilitas.
Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat,
mempunyai prognosis yang baik.1-3
Kesimpulan
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/
keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Diagnosis dispepsia fungsional didarakan
pada keluhan/ simptom/ sindrom dispepsia dimana pada pemeriksaan penunjang baku dapat
disingkirkan kausa organik/ biokimiawi, sehingga masuk dalam kelompok penyakit
gastrointestinal fungsional. Mempunyai patofisiologi yang kompleks dan multifaktorial, diaman
tampaknya berbasiskan gangguan pada motilitas atau hipersensitivitas viseral. pemeriksaan
endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi dispepsia yang disertai alarm symptoms.
14
Modalitas pengobatannya menjadi luas, berdasarkan kompleksitas patogenesisnya, serta lebih
kearah hanya menrunkan atau menghilangkan simptom. Pilihan pengobatan berdasarkan
pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih diperdebatkan manfaatnya.
Daftar pustaka 1. Aru W. Sudoyo, Bambang S, Idrus A, Marcellus simadibrata, Siti S editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid III edisi V. Pusat informasi dan Penerbitan bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Jakarta; 2009 : 441 – 533.
2. Sylvia Anderson P, Lorraine McCarty W. Alih bahasa, Braham U, Pendit dkk. Editor edisi
bahasa indonesia, Huriawati H. Patofisiologi ; konsep-konsep klinis penyakit. Edisi 6.
EGC. Jakarta; 2005 : 235-40
3. Fauci et all. Harisson’s priciples of internal medicine. 17 th ed. USA : McGraw-Hill
Companises; 2008 : 2575-590
4. Tack j. Pathophysiology and treatment of functional dyspepsia. Gastroenterology ; 2004 :
325-40
5. Sulistia G, Rianto S, Elysabeth ( dkk ). Farmakologi dan terapi. Edisi- 5. FKUI. Jakarta ;
2005 : 820-5
15