makalah pbl blok 14
DESCRIPTION
abcdedTRANSCRIPT
Penyakit Reumatologi: Lupus
Eritematosus Sistemik (SLE)
Nur Atikah Binti Aminudin (102010372)*
Pendahuluan
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit reumatik autoimun yang ditandai dengan
beragam autoantibody, terutama antinukleus (ANA). Teori terjadinya penyakit Lupus
eritematosus sistemik masih belum dapat dipastikan dan terdapat pelbagai teori yang
dikemukan oleh pelbagai pakar tentang terjadinya penyakit ini. Lupus eritematosus sistemik
sering menyerang perempuan yang berada dalan usia muda dan penyakit ini mendatangkan
komplikasi yang begitu banyak. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini adalah sukar
karena SLE sering disangka sebagai penyakit rheumatoid arthritis, osteoarthritis, serta
beberapa penyakit kelainan jaringan penunjang lain. Oleh itu adalah American College of
Rheumatology, pada tahun 1982, telah mengajukan beberapa criteria untuk klasifikasi
Penyakit SLE, bagi memudahkan diagnosis. Walaupun penyakit lupus erotematosus sistemik
ini tidak dapat disembuhkan tetapi gejala-gejala yang timbul disebabkan penyakit ini boleh
diatasi.
___________________________________________________________________________
*Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna, No.6, Jakarta 11510
Telp: 56942061, Faks: 5631731, Email: [email protected]
1
Anamnesis
Di dalam ilmu kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis. Teknik anamnesis
yang baik disertai dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan
pasien secara keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran komunikasi antara dokter
dengan pasien. Empati mendorong keinginan pasien agar sembuh karena rasa percaya kepada
dokter.1
Pada anamnesis, yang perlu diketahui adalah:
1. Identitas
- Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
nama orang tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan,
pekerjaan, suku bangsa dan agama.1
- Identitas ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah
memang benar pasien yang dimaksud. Selain itu, identitas ini juga perlu untuk
data penelitian, asuransi dan lain sebagainya.1
- Dalam skenario yang diberikan, pasien merupakan seorang perempuan yang
berumur 22 tahun.
2. Keluhan utama (chief complaint)
- Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi
ke dokter atau mencari pertolongan.1
- Harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal
tersebut.1
- Berdasarkan skenario, keluhan utama pasien adalah merasa lemah sejak 3 bulan
yang lalu.
- Selain itu, sejak 2 bulan yang lalu, pasien sering mengalami nyeri pada jari-jari
kedua tangan serta kaku pada pagi hari.
- Rambut pasien juga terasa banyak rontok sejak 2 bulan yang lalu.
3. Riwayat penyakit dahulu
- Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara
penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.1
- Tanyakan pula apakah pasien pernah mengalami kecelakaan, menderita penyakit
yang berat dan menjalani operasi tertentu, riwayat alergi obat dan makanan, lama
perawatan, apakah sembuh sempurna atau tidak.1
2
- Gejala apa yang pernah dialami pasien?
Misalnya, ruam malar (fotosensitif), ruam discoid (bintik-bintik eritematosa
menimbul), artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis,
bengkak pada pergelangan kaki, kejang, dan ulkus di mulut.2
- Organ apa lagi yang terkena?
- Pernahkah ada peristiwa tromboembolik atau aborsi spontan?
Pertimbangkan sindrom anti fosfolipid yang terkait.2
4. Riwayat penyakit dalam keluarga
- Penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit
infeksi.1,2
- Adakah riwayat lupus atau penyakit autoimun lain dalam keluarga?
5. Riwayat peribadi
- Meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan.1
- Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari
seperti masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya.1
- Kebiasaan pasien juga harus ditanyakan seperti kebiasaan merokok, minum
alkohol, termasuk penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkoba).1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum dan khusus. Pemeriksaan
fisik umum adalah pemeriksaan kesadaran, dan tanda-tanda vital, seperti tekanan darah,
denyut nadi frekuensi nafas, dan suhu tubuh. Berdasarkan kasus, hasil pemeriksaan fisik
umum perempuan berusia 22 tahun tersebut adalah seperti ini:
1. Tekanan darah: 110/70 mmHg
2. Denyut nadi: 82x per menit
3. Frekuensi nafas: 18x per menit
4. Suhu tubuh: 37°C
Pemeriksaan fisik khusus dilakukan inspeksi dan palpasi pada tempat dimana pasien
mengeluh mengalami nyeri pada jari-jari kedua tangan serta kekakuan pada pagi hari.1
Pada inspeksi, dilihat posisi tangan pasien ketika dalam keadaan wajar. Kemudian dilihat
permukaan dan kontur tangan pada bagian dorsal dan palmar. Dilihat sama ada terdapat
pembengkakan pada sendi atau deformitas pada pergelangan tangan, tangan dan jari.1
3
Kemudian pada palpasi, diraba permukaan dorsal dan palmar karpal, MCP, PIP, dan DIP.
Selepas iru diraba pula processus styloideus radii untuk melihat sama ada terdapat penonjolan
atau tidak. Boleh juga dilakukan tes integritas jari.1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada penyakit lupus adalah pemeriksaan
laboratorium darah. Hasil pemeriksaan darah dapat menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopeni, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat
selama penyakit aktif, test Coombs mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-
globulin terbalik, serum globulin meningkat, albumin dan sel darah merah juga sering
ditemukan pada urin.3
Hasil pemeriksaan imunologis pada penderita lupus adalah untuk tes ANA,positif pada 95%
kasus lupus eritematosus sistemik. Tes sel lupus eritematosus sebenarnya spesifik tapi tidak
terlalu sensitif sehingga dihapus dari kriteria American College of Rheumatology (ACR). Tes
Double-stranded DNA/ ds-DNA , anti-dsDNA sebetulnya spesifik tanpa tidak cukup sensitif,
biasanya mengindikasikan adanya penyakit pada ginjal. Tes antibodi anti-Sm, sensitifitas
kurang dari 10% tetapi dengan spesifitas yang tinggi. Tes antinuklear ribonucleic acid protein
(anti-nRNP) menunjukkan hasil titer yang rendah pada penderita lupus eritematosus sistemik.
Tes antibodi anti-La positif pada penderita lupus. Tes antibodi anti-Ro positif pada 25%
penderita lupus, 40% penderita Sjogren’ syndrome. Tes komplemen serum, bila rendah
menunjukkan penyakit lupus sedang aktif biasanya disertai penyakit ginjal. Tes band lupus,
merupakan tes imunofluoresen langsung pada kulit. Tes antiphospholipid termasuk antibodi
antikardiolipin dan antikoagulan lupus. Hasil tes ini positif pada penderita lupus.3
Bila tes ANA positif atau bila ada kecurigaan kearah lupus eritematosus sistemik tetapi tes
ANA negatif, dilakukan tes lain yaitu anti RNP, anti double stranded DNA, dan antibodi anti-
Smith. Pemeriksaan komplemen juga diperlukan. Antibodi anti-Smith biasa ditemukan pada
20% penderita lupus.
Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan histologi, dengan cara biopsi. Hasil biopsi
memperlihatkan gambaran atrofi pada epidermis yang signifikan, infiltrasi limfosit yang
dalam dan tidak sempurna dengan proses flame-shape rete dan membran dasar yang menebal,
hiperkeratosis, follicular plugging, dan adanya infiltrasi sel inflamasi. Tes lupus band
4
memperlihatkan deposit imunoglobulin pada membaran dasar epitel. Deposit glanular
terutama IgM ditemukan pada membrane dasar dari lesi.
Working Diagnosis (WD)
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan
menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-
macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang
jumlah orang terserang oleh penyakit ini sulit diperolehi. SLE menyerang perempuan kira-
kira delapan kali lebih sering daripada laki-laki. Penyakit ini sering kali dimulai pada akhir
masa remaja atau awal masa dewasa.4
Di Amerika syarikat, penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih
sering daripada perempuan Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada usia di atas 60
tahun, biasanya akan lebih mudah untuk diatasi.4
Semua SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun 1800-an, dan
diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”, melintasi tonjolan
hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala ( lupus adalah kata
dalam bahasa Latin yang berarti serigala). Lupus Diskoid adalah nama sekarang diberikan
pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit.4
Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American
College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi
SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria
tersebut adalah:5
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensitifitas
4. Ulserasi di mulut dan nasofaring
5. Arthritis
6. Serositis, yaitu pleuritis atau parikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten > 0,5 gr/hari, atau adalah silinder sel
8. Kelainan neurologic, yaitu kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologic, yaitu anemia hematolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau
trombositopenia
5
10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif
atau tes serologic untuk sifilis yang positif palsu
11. Antibody antinuclear (ANA) positif
Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:5
1. Jender wanita pada rentang usia reproduksi
2. Gejala konstutusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
3. Muskuloskeletal: arthritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLEi membrane
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organic, mielitis transversa, neuropati
cranial dan perifer
Differensial diagnosis (DD)
1. Rheumatoid arthritis (RA)
Arthritis rheumatoid (AR/RA) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi
sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik
klasik RA adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan
dan kaki. Selain lapisan synovial sendi, RA juga bisa mengenai organ-organ diluar
persendian seperti kulit, jantung, paru-paru dan mata.5
Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal,
keganasan dan adanya komorbiditas. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini
mungkin, dapat menurunkan progresifitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah
pendekatan pyramid terbalik (reverse pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin
untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan
6
terjadi destruksi sendi, deformitas dan disabilitas. Morbiditas dan mortilitas RA berdampak
terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan
DMARD biologik, memberi harapan baru dalam penatalaksanaan penderita RA.5,6
Pada penelitian klinis, RA didiagnosis secara resmi dengan menggunakan 7 kriteria dari
American College of Rheumatology. Pada kunjungan awal, penderita harus ditanyakan
tentang derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan fungsional.
Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk mengamati adanya ciri-ciri seperti yang
disebutkan diatas. Liao melakukan modifikasi terhadap kriteria ACR dengan memasukkan
pemeriksaan anti-CCP dan membuang criteria nodul rheumatoid dan perubahan radiologis,
sehingga jumlah criteria menjadi enam. Diagnosis RA ditegakkan bila terpenuhi 3 dari 6
kriteria.5,6
Gejala dan tanda Definisi
Kaku pagi hari (morning
stiffness)
Kekakuan pada sendi dan sekitarnya yang berlangsung paling
sedikit selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal
Artritis pada 3 persendian atau
lebih
Paling sedikit 3 sendi secara bersamaan menunjukkan
pembengkakan jaringan lunak atau efusi (bukan hanya
pertumbuhan tulang saja) yang diobservasi oleh seorang dokter.
Ada 14 daerah persendian yang mungkin terlibat yaitu PIP, MCP,
pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki dan MTP kanan
atau kiri
Artritis pada persendian tangan Paling sedikit ada satu pembengkakan (seperti yang disebutkan di
atas) pada sendi: pergelangan tangan, MCP atau PIP
Artritis yang simetrik Keterlibatan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh secara
bersamaan (keterlibatan bilateral sendi PIP, MCP atau MTP dapat
diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris)
Nodul rheumatoid Adanya nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang , permukaan
ekstensor atau daerah juxtaartikular yang diobservasi oleh dokter
Faktor rheumatoid serum
positif
Adanya titer abnormal faktor rheumatoid serum yang diperiksa
dengan metode apapun, yang memberikan hasil postif <5% pada
kontrol subyek normal
Perubahan gambaran radiologis Terdapat gambaran radiologis yang khas untuk RA pada foto
posterioanterior tangan dan pergelangan tangan, berupa erosi atau
dekalsifikasi tulang yang terdapat pada sendi atau daerah yang
7
berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak
memenuhi persyaratan)
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid Menurut ACR5
2. Osteoarthritis (OA)
OA merupakan penyakit sendi degenerative yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi.
Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Prevalensi OA lutut
radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria, dan 12.7% pada
wanita. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada
pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat dirasakan
terus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien.5
Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalnya dengan pengendalian faktor-faktor risiko,
latihan, intervensi fisioterapi, dan terapi farmakologis, pada OA fase lanjut sering diperlukan
pembedahan. Untuk membantu mengurangi keluhan nyeri pada OA, biasanya digunakan
analgetika atau obat anti-inflamasi non steroid (OAINS). Karena keluhan nyeri pada OA
yang kronik dan progresif, penggunaan OAINS biasanya berlangsung lama, sehingga jarang
menimbulkan masalah.5
Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis. Pada sebagian
besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena sudah cukup memberikan gambaran
diagnostik yang lebih canggih.
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA ialah:
- Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada bagian yang
menanggung beban)
- Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
- Kista tulang
- Osteofit pada pinggir sendi
- Perubahan struktur anatomi sendi
Ciri khas yang sering terlihat pada gambaran radiogram osteoarthritis adalah penyempitan
ruang sendi. Keadaan ini terjadi karena rawan sendi menyusut. Pada sendi lutut penyempitan
ruang sendi dapat terjadi pada salah satu kompartemen saja. Selain ditemukannya
penyempitan sendi juga bisa terjadi peningkatan densitas tulang sekitar sendi. Osteofit (spur),
8
juga bisa terlihat pada aspek marginal dari sendi. Kadangkala terlihat perubahan-perubahan
kistik dalam berbagai ukuran.5
Beratnya perubahan pada sendi yang terlihat secara radiografis dapat tidak berhubungan
dengan gejala-gejala yang ada. Bukti radiologis OA dapat ditemukan pada hampir 85%
pasien yang berusia diatas 75 tahun, sedangkan pasien yang mengluh nyeri dan kaku sendi
persentasenya jauh lebih rendah.5
Radiogram khusus dapat membantu untuk mengevaluasi OA. Radiogram sendi lutut yang
sedang memikul beban tubuh dapat memberi gambaran yang lebih baik tentang efek penyakit
bila dibandingkan dengan gambaran sendi yang tidak sedang memikul beban tubuh. OA
bukan suatu penyakit yang simetris, sehingga pembuatan gambar radiogram sendi
kontralateral akan dapat membantu.5
Etiologi
1. Lupus erimatosus sistemik (SLE)
SLE adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflammasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ atau system dalam tubuh. Penyakit ini berkaitan dengan deposisi
autoantibody dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.5
Etiologi dari SLE masih belum diketahui. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan
multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan
penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadic tanpa
identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui
faktor yang bertanggungjawab.5
Interaksi antar sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA)
mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme
pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun
merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini.5
Hilangnya toleransi imun meningkatkan beban antigenic, bantuan sel T berlebihan, gangguan
supresi sel B dan peralihan respons imun dari T helper 1 (Th 1) ke Th2 menyebabkan
hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibody patogenik. Respon imun yang terpapar
faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi UV atau infeksi virus dalam periode yang cukup
lama bisa juga menyebabkan disregulasi system imun.5
9
2. Rheumatoid arthritis (RA)
Etiologi dari RA tidak diketahui secara pasti.
2.1 Faktor Genetik5
Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor
genetik berperan penting terhadap kejadian RA, dengan angka kepekaan dan ekspresi
penyakit sebesar 60%. Hubungan gen HLA-DRB 1 dengan kejadian RA telah
diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan
RA seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode activator reseptor
nuclear factor kappa B (NF-kB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada
RA.
Faktor genetik juga berperanan penting dalam terapi RA karena aktivitas enzim
seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk
metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Pada
kembar monozigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya RA lebih dari
30% dan pada orang kulit putih dengan RA yang mengekspresikan HLA-DR1 atau
HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 80%.
2.2 Hormon sex5
Prevalensi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki, sehingga diduga
hormone sex berperan dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan
bahwa terjadi perbaikan gejala RA selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena:
- Adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga
hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit.
- Adanya perubahan profil hormone. Placental corticotrophin releasing hormone
secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang
merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal
fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral.
DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan
progesterone menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon
imun selular (Th1). Oleh karena pada RA respon Th1 lebih domina sehingga
estrogen dan progesterone mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan RA. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah
perkembangan RA atau berhubungan dengan penurunan insiden RA yang lebih
berat.
10
2.3 Faktor infeksi5
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit. Organisme ini
diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respons sel
T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen
infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit.
2.4 Protein heat shock (HSP)5
HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai
respon terhadap stress. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino
homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikobakterium tuberculosis mempunyai
65% untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibody dan sel T mengenali epitop
HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit
dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal
sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry).
3. Osteoarthritis
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses ketuaan yang tidak dapat
dihindari. Para pakar yang meneliti penyakit ini sekarang berpendaapt bahwa OA ternyata
merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan
struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui. Jejas mekanis dan
kimiawi pada sinovia sendi yang terjadi multifaktorial antara lainkarena faktor umur, stress
mekanik atau penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomic, obesitas, genetik, humoral
danfaktor kebudayaan.5
Jejas mekanis dan kimiawi ini diduga merupakan faktor penting yang merangsang
terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago di dalam cairan synovial
sendi yang mengakibatkan terjadinya inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri. OA
ditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan
terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi perbaikan
(repair). OA terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodelling tulang
dan inflamasi cairan sendi.5
Patofisiologi
SLE adalah penyakit multisystem, dan gambaran klinisnya sangat bervariasi. Biasanya pasien
adalah seorang wanita muda dengan sebagian gambaran berikut: ruam kupu-kupu diwajah,
11
demam, nyeri di satu atau lebih sendi perifer, tetapi tanpa deformitas, nyeri dada pleuritik,
dan fotosensitivitas.6
Namun pada banyak pasien, gambaran SLE tampak samar dan membingungkan, yaitu berupa
penyakit demam yang tidak jelas sebabnya, kelainan urine atau penyakit sendi yang mirip RA
atau demam rheumatoid. ANA dapat ditemukan hampir pada 100% pasien dan juga
ditemukan pada pasien dengan penyakit autoimun lain. Antibodi terhadap DNA untai ganda
dan antigen Sm hampir diagnostic untuk SLE. Berbagai temuan klinis dapat menunjukkan
keterlibatan ginjal, termasuk hematuria, silinder eritrosit, proteinuria dan pada sebagian kasus
sindrom nefrotik klasik.6
Bukti laboratorium gangguan hematologic dijumpai pada semua pasien, tetapi pada sebagian
pasien, keluhan utama dan masalah klinis yang dominan adalah anemia atau trombositopenia.
Pada pasien lainnya, yang menjadi masalah klinis yang dominan adalah gangguan mental,
termasuk psikosis atau kejang, atau penyakit arteri koroner. Pasien SLE juga rentan terhadap
infeksi, mungkin karena adanya disfungsi imun dan terapi dengan obat-obat imunisupresif.6
Perjalanan kasus SLE bervariasi dan sulit diduga. Beberapa kasus akut yan jarang
menyebabkan kematian dalam beberapa minggu sampai bulan. Namun, dengan terapi yang
sesuai, penyakit biasanya memperlihatkan perjalanan kambuh dan reda dalam periode
beberapa tahun atau bahkan beberapa dekad. Selama kekambuhan akut, peningkatan
pembentukan kompleks imun dan pengaktifan komplemen menyebabkan
hipokomplementemia. Ekserbasi penyakit biasanya diterapkan dengan kortikosteroid dan
obat imunosupresan lain. Bahkan tanpa pengobatan, perjalanan penyakit berlangsung ringan
dan hanya berupa kelainan kulit dan hematuria ringan selama bertahun-tahun.6
Gejala klinis
Gejala klinis penyakit SLE sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali
sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi penyakit SLE seringkali tidak terjadi
bersamaan. Seseorang daapt saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang
berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis
lainnya seperti fotosensitifitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi criteria
SLE.
Gejala konstitusional5,6
12
1. Kelelahan
- Keluhan umum pada penderita SLE, dan biasanya mendahului berbagai
manifestasi penyakit lainnya.
2. Penurunan berat badan
- Terjadi beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Dapat disebabkan oleh
menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
3. Demam
- Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil.
Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita SLE dapat terjadi seiring atau sebelum
dengan aktifitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran
kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.5
Manifestasi musculoskeletal
Merupakan yang paling sering dijumpai pada penderita SLE. Seringkali dianggap sebagai
manifestasi RA karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Untuk dibedakan dengan
RA, pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang
berlangsung beberapa menit dan sebagainya.5
Manifestasi kulit.
Ruam kulit merupakan manifestasi SLE pada kulit yang telah lama dikenal oleh para ahli.
Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam perkembangan penyakit SLE ini
diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantai proses imun dan non-imun. Pada anemia
yang bukan diperantai proses imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik,
defisiensi besi, sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk anemia yang diperantai
proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia
hemolitik otoimun dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan dengan proses otoimun seperti
anemia pernisiosa, acute hemophagocytic syndrome.5
Penatalaksanaan
Arthritis, artralgia dan mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE.
Pada keluhan ringan, dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflammasi non
13
steroid (NSAID). Harus diperhatikan efek sampingnya, agar tidak memperberatkan keadaan
penderita.5
Sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi akut SLE akan
dapat terjadi bila penderita terpapar sinar UV , sinar inframerah, panas dan kadang-kadang
juga sinar fluoresensi. Penderita harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut
dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan, dan menggunakan
sunscreen. Glukokortikoid local, seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada
SLE dermis.5
Pemilihan preparat harus hati-hati karena glukokortikoid topical, terutama yang bersifat
fluorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis dan fragilitas.5
Jenis obat Dosis
Azatioprin 50-150 mg per hari, dosis terbagi 1-3,
tergantung berat badan.
Siklofosfamid Per oral: 50-150 mg/hari.
IV: 500 mg/M2 dalam dextrose 250 ml,
infuse selama 1 jam.
Metotreksat 7.5-20 mg/minggu, dosis tunggal atau terbagi
3. Dapat diberikan pula melalui injeksi.
Siklosporin A 2.5 – 5 mg/kg BB, atau sekitar 100-400
mg/hari dalam 2 dosis, tergantung berat
badan.
Mofetil mikofenolat 2000 mg/hari dalam 2 dosis.
Tabel 2. Jenis Dan Dosis Obat Imunosupresan Dan Sitotoksik Yang Dapat Dipakai Pada
SLE5
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan
penderita SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan
penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang
bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya.5
Pada umumnya, penderita SLE mengalami fotosensitivitas, sehingga penderita harus selalu
diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasehatkan
untuk selalu menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau
14
payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar
matahari dari jendela.5
Karena infeksi sering terjadi pada penderita SLE, maka penderita harus selalu diingatkan bila
mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh
kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada
penderita SLE yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur
invasive lainnya.5
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita SLE, terutama penderita dengan nefritis,
atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan,
misalnya antimalaria atau siklifosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut
SLE dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.5
Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus diputuskan dahulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif atau imunosupresif yang agresif. Pada
umumnya, penderita SLE, yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan
kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan
mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi
kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.5
Komplikasi
1. Pada musculoskeletal5
- Keluhan berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu
arthritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi.
2. Pada kulit5
- Ruam kulit merupakan manifestasi yang telah lama dikenal pada penderita SLE.
- Lesi muko-kutaneous yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi
fotosensitifitas, discoid LE, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE),
lupus profundus/paniculitis, alopecia, lesi vaskuler berupa eritema periungual,
livedo reticularis, teleangiectasia, fenomena raynaud’s atau vaskulitis atau bercak
yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema pada
palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.
15
3. Pada paru5
- Dapat terjadi radang interstitial parenkim paru, emboli paru, hipertensi pulmonum,
perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome.
- Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan menjadi kronis. Pada keadaan
akut perlu dibedakan dengan pneumonia bacterial. Biasanya penderita akan
merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal.
4. Pada jantung5
- Baik pericardium, miokardium, endokardium atau pun pembuluh darah koroner
dapat terlibat pada penderita SLE, walaupun paling banyak terkena adalah
pericardium.
- Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal,
friction rub, gambaran silhouette foto dada, ataupun melalui gambaran EKG.
- Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard, atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini makin banyak dijumpai pada penderita SLE usia muda
dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.
- Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang
juga sering dijumpai pada penderita SLE.
5. Pada renal5
- Gejala atau keterlibatan ginjal biasanya tidak tampak sebelum terjadinya
kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
6. Pada gastrointestinal5
- Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric
vasculitis, inflammatory bowel disease (IBS), pancreatitis dan penyakit hati.
- Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat penderita dalam
keadaan tertekan.
- Dispesia dijumpai pada kurang 50% penderita SLE, lebih banyak dijumpai pada
mereka yang memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan
dengan pemakaian obat ini.
- Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada SLE.
7. Pada neuropsikiatrik5
- Keterlibatan neuropsikiatrik sukar ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu
luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologic dan psikiatrik.
16
- Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsy,
hemiparesis, lesi syaraf cranial, lesi batang otak, meningitis aseptic atau myelitis
transversal.
- Pada susunan saraf tepi akan bermanifestasi sebagai meuropati perifer, myasthenia
gravis atau mononeuritis multiplex. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental
dapat bersifat organic atau non-organik.
Pencegahan
Antara cara yang dapat dilakukan untuk mencegah SLE adalah dengan memberikan edukasi
kepada pasien. Dalam memberikan edukasi yang perlu diperjelaskan kepada pasien adalah:5
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan
pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirehat, pemakaian alat bantu maupun diet,
mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga
atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlukah
suplementasi mineral dan vitamin? Obat-obatan yang dipakai jangka panjang
contohnya obat anti tuberculosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6. Dimanakah pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
Prognosis
Sejauh ini tidak ada pengobatan yang berhasil penuh pada penderita lupus eritematosa
sistemik, seperti yang bermanifestasi pada ginjal paling banyak menyebabkan kecacatan dan
kematian, dan pada beberapa kasus perlu dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal. Lebih
dari 85% penderita lupus mengalami kelainan darah seperti trombositopenia dan anemia
hemolitik. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah stroke, emboli paru-paru, perikarditis,
dan miokarditis.
Prognosis penderita lupus pada kulit, seperti diskoid lupus lebih baik, meskipun lesi secara
kosmetik kurang bagus tapi tidak membahayakan jiwa dan biasanya tidak membuat penderita
17
harus mengubah pola hidupnya. Hanya 10% penderita diskoid lupus yang berkembang
menjadi sistemik lupus.7
Prognosis penyakit lupus pada anak kurang bagus, karena kematian lebih banyak terjadi,
seperti yang dilaporkan pada sebuah studi retrospektif di Brazil yang menyatakan kematian
selama 16 tahun berjalan adalah sebesar 24%, kematian biasanya terjadi karena pengaruh
adanya infeksi (sebanyak 58%), penyakit SSP (36%), penyakit ginjal (7%). Bila penyakit
mulai timbul sebelum usia 15 tahun, maka keterlibatan ginjal dan hipertensi di prediksi dapat
menyebabkan kematian.
Kesimpulan
Hipotesis awal yang dibuat adalah “Kelainan autoimmune dapat menyebabkan kelainan pada
musculoskeletal”.
Penyakit autoimmune seperti lupus eritematosus sistemik dapat menimbulkan komplikasi
bukan sahaja pada sistem musculoskeletal, tetapi juga kulit, renal, gastrointestinal dan juga
neuropsikiatrik. Jadi hipotesis diterima.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid ke 1. Ed 5. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.25-9
2. Gleadle J. Alih Bahasa: Rahmalia A. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.h.196-7
3. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s disease of the skin clinical
dermatology. Ed 10. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006.h.45
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Jilid 1. Ed 6. Jakarta: EGC; 2006.h.1392-6
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid ke 3. Ed 5. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.2445-56, 2495-2512,
2538-48, 2565-79
6. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & Cotran pathologic basis of disease. Ed 7.
Jakarta: EGC; 2010.h.235-43
7. Gill JM, Quisel AM, Rocca PV, Walters DT. Diagnosis of systemic lupus
erythematosus. American family Physician. 2003.
18
19