lbm 4, blok 18

35
Mutia Mandallassari 31101200266 Bahan Belajar LI blok 18 Lbm 4 Penatalaksanaan Fraktur Mandibula I. Trauma Maksilofasial A. Definisi Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya.2 Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Trauma mengenai wajah yang mengakibatkan diskontinuitas jaringan lunak dan jaringan keras (fraktur). Menyebabkan: - Gangguan proses pengunyahan - Gangguan fonetik - Wajah terlihat tidak estetis - Potensi mengancam jiwa Source : Michael Miloro. Peterson’s Principles of Oral and Maxillofacial Sugery. BC Decker Inc. Hamilton. London. 2004 Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak antara lain : 1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato 2. Cedera saraf, cabang saraf fasial. 3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen. 4. Cedera kelopak mata 5. Cedera telinga. 6. Cedera hidung B. Etiology - Kecelakaan lalu lintas (36%) - Trauma karena perkelahian (32%) - Trauma bermain di taman (18%)

Upload: mutia-mandallassari

Post on 15-Nov-2015

401 views

Category:

Documents


30 download

DESCRIPTION

dentistry

TRANSCRIPT

Mutia Mandallassari31101200266Bahan Belajar LI blok 18 Lbm 4Penatalaksanaan Fraktur MandibulaI. Trauma MaksilofasialA. DefinisiTrauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya.2 Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah.Trauma mengenai wajah yang mengakibatkan diskontinuitas jaringan lunak dan jaringan keras (fraktur).Menyebabkan: Gangguan proses pengunyahan Gangguan fonetik Wajah terlihat tidak estetis Potensi mengancam jiwa

Source : Michael Miloro. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Sugery. BC Decker Inc. Hamilton. London. 2004

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak antara lain : 1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.4. Cedera kelopak mata5. Cedera telinga.6. Cedera hidung

B. Etiology

Kecelakaan lalu lintas (36%) Trauma karena perkelahian (32%) Trauma bermain di taman (18%) Kecelakaan saat bekerja / industri (3%) Kecelakaan saat berolahraga

Source : Rabi AG, Khateery SM. Maxillofacial Trauma in Al Madina Region of Saudi Arabia: A 5-Year Retrospective Study. J Oral Maxillofac Surg. 2002

C. KlasifikasiTrauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.1. Trauma jaringan lunak wajah Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : Berdasarkan jenis luka dan penyebab: a. Ekskoriasi b. Luka sayat, luka robek , luka bacok. c. Luka bakar d. Luka tembak Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan Dikaitkan dengan unit estetik Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

Gambar 3. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer

Source: Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, W R Pederson

2. Trauma jaringan keras wajah Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus.b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula

Berdasarkan Tipe fraktur :a. Fraktur simpel Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi. b. Fraktur kompoun Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.c. Fraktur komunisi Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak. d. Fraktur patologis keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

Perluasan tulang yang terlibat a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang. b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

Konfigurasi ( garis fraktur ) a. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal. b. Oblique ( miring ) c. Spiral (berputar) d. Komunisi (remuk)

Hubungan antar Fragmen a. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat b. Undisplacement, bisa terjadi berupa : Angulasi / bersudut Distraksi Kontraksi Rotasi / berputar Impaksi / tertanam

Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : a. Dento alveolar b. Prosesus kondiloideus c. Prosesus koronoideus d. Angulus mandibula e. Ramus mandibula f. Korpus mandibula g. Midline / simfisis menti h. Lateral ke midline dalam regio insisivus

Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :

Fraktur Le Fort (LeFort Fractures) merupakan tipe fraktur tulang-tulang wajah yang adalah hal klasik terjadi pada trauma-trauma pada wajah. Fraktur Le Fort diambil dari nama seorang ahli bedah Perancis Ren Le Fort (1869-1951) yang mendeskripsikannya pertama kali di awal abab 20.

1. Fraktur Le Fort tipe I (Guerins)/ (transversal) merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, Fraktur Le Fort I meliputi fraktur horizontal bagian bawah antara maxilla dan palatum/arkus alveolar kompleks. menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral.

Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Pergerakan palatum durum dan gigi bagian atas. Edema pada wajah hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema. Hal ini dievaluasi dengan memegang gigi seri dan palatum durum dan mendorong masuk dan keluar secara lembut.2. Fraktur Le Fort tipe II Fraktur Le Fort tipe II = fraktur piramidal. Berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyebrang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampai ke arah fossa pterigopalatina.

testing for mobility of the central midface.

3. Fraktur Le Fort III

Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui fissure orbitalis superior melintang kearah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatico-frontal dan sutura temporo-zigomatikum. Disebut juga sebagai cranio-facial disjunction. Merupakan fraktur yang memisahkan secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial.

4. FRAKTUR ZIGOMA

Penemuan klinis yang bisa ditemukan: Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan rahang. tulang pipi yang datar dan nyeri saat palpasi. Pendarahan subkonjungtiva juga bisa ditemukan. Parestesi pada lateral hidung dan bibir bagian atas disebakan kelainan pada nervus infraorbital. diplopia jika melirik mata ke atas karena keruskan pada muskulus rektus inferior. Trismus bisa terjadi tetapi tidak sering akibat daripada kelainan di mandibula. ekimosis intraoral atau destruksi pada gusi. 5. Fraktur Nassal Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat trauma dengan bengkak, dan krepitus pada jembatan hidung. Pasien mungkin mengalami epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur dengan CSF. Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas septum nasal karena adanya pergeseran septum dan fraktur septum. Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti patah hidung dengan telecanthus, pelebaran jembatan hidung dengan canthus medial terpisah, dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.

Method of palpating the nasal complex for fractures. The nasal pyramid should be moved right and left to detect mobility. Patient with naso-orbitoethmoid fracture and cerebrospinal fluid rhinorrhea (A). The fluid leaves a double ring where it drips onto fabric (B). D. Gejala Klinis1. Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :2. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibula.3. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.4. Rasa nyeri pada sisi fraktur5. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.6. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.7. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran.8. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitarfraktur.9. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan.10. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus alveolaris.11. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus

No.FrakturTanda & Gejala KhasPemeriksaan PenunjangManajemen

1.Fraktur orbita(blow-out fracture)1. Periokular ecchymosis2. Enoftalmos3. Proptosis 4. Diplopia5. Asimetri pada muka6. Hypesthesi saraf infraorbital7. Gangguan visus1. Pemeriksaan oftalmologi: Inspeksi palpebra, kornea, pupil, bilik mata depan Slit-lamp examination Funduskopi Gerakan bola mata Ketajaman visus2. Foto Roentgen:a. Waters: rim inferior orbita, tulang nasoethmoidal, sinus maksilaris(air-fluid level di sinusmaksilaris fraktur lantai orbita) Tear-drop signb. Caldwell:rim lateral orbita, tulang ethmoid c. Submentovertex:zygomatic arch3. CT scan fasial 1. Operasi rekonstruksi orbita melalui: Transcutaneous Transconjunctival Endoscopic (transmaxillary/ transnasal)2. NSAID: antinyeriibuprofen (200-400mg PO tiap 4-6 jam prn)

2.Fraktur os. nasal1. Kelembutan ketika menyentuh hidung2. Pembengkakan hidung atau wajah3. Memar hidung atau di bawah mata (mata hitam)4. Deformitas hidung (hidung bengkok)5. Mimisan6. Ketika menyentuh hidung, yang berderak atau suara berderak atau sensasi seperti yang terbuat dari rambut menggosok antara 2 jari7. Nyeri dan kesulitan bernafas keluar dari lubang hidung1.Foto Roentgena. Waters (occipitomental) - rim inferior orbita, tulang nasoethmoidal-menunjukkan displaced septum dari maxillary crest dan deviasi nasal root b. Pandangan lateral hidung.

2.CT scana. menunjukkan fraktur di bagian bawah tulang hidung yang lebih lemah.

1. Reposisi fraktur2. Reduksi tertutup3. Reduksi terbuka4. Rekontruksi kawat atau plate & screw

3. Fraktur naso-orbito-ethmoid1. Pembengkakan atau laserasi pada hidung dan dahi2. Nyeri pada mata,dahi,dan hidung3. Parasthesi (baal) pada dahi4. Diplopia5. Telechantus6. CSF rhinorrhea1. Halo sign2. Roentgen waters, PA, dan lateral3. CT Scan axial dan coronalReduksi terbuka

4.Fraktur zigoma 1. Asimetri wajah pada tonjolan malar dan arkus zigomatik. Pipi menjadi lebih rata dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma.2. Palpasi zygomatic buttress terdapat crepitus, bengkak dan nyeri tekan.3. Kerusakan saraf infra orbita nyeri dan hypesthesia di pipi.4. Herniasi lemak orbital ke sinus maksila atau terjepitnya inferior rectus dan/atau inferior oblique diplopia, gerakan bola mata ke atas terganggu.5. Forced duction test positif manandakan terjepitnya otot inferior rectus atau inferior oblique muscle6. Perubahan letak arkus zygomatic pada coronoid process mandible atau spasme otot master dan temporalis akibat kontusio langsung menyebabkan trismus (tidak bisa membuka mulut lebih dari 3 cm).7. Perdarahan di sinus maksila darah keluar dari ostium maksila dan hidung epistaksis8. Laserasi pembuluh darah kantus mata inferior perdarahan subconjungtival dan ekimosis periorbital9. Herniasi lemak dan otot orbita ke sinus maksila enoftalmos1. Rontgena. Foto Waters Terlihat teardrop sign yang berarti ada herniasi dari konten orbital ke sinus maksila atau bisa juga menandakan adanya perdarahan di sinus maksila. Kerusakan pada frontozygomatic suture dan body of the zygoma.b. Foto Submental vertex Untuk mengevaluasi arkus zygomatik.2. CT scan 3 dimensiCT scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau mengalami pergeseran minimal. Jika intervensi diperlukan, sebaiknya dilakukan reduksi sebelum hari ke 10, karena setelah 10-14 hari akan terbentuk fibrous union pada tulang zygoma. Preoperasi : pemberian antibiotic dan analgetik. Konsul ke bagian oftalmologi juga bisa dilakukan Reduksi frakturTeknik klasik dengan memasang plate atau wire di frontal zygomatic fracture line dan zygomaticomaxillary suture line dekat infraorbital rim. Post operasi : observasi selama 24 jam dan berikan antibiotik selama 7 hari. Parenteral steroid bisa diberikan untuk mengurangi postoperative facial edema. Konsul bagian oftalmologi untuk pemeriksaan fungsi mata.

5.Fraktur maksila1. Mobilitas palatum2. Mobilitas hidung3. Epistaxis4. Asimetris bentuk wajah.5. Obstruksi partial/total jalan napas.

-Plain radiograph/roentgen Waters and submental-vertical views of the paranasal sinuses.

Tanda Le Fort :

1

2

3

Begitu pasien datang, stabilisasi pasien terutama jalan napas

Surgery :- Open reduction/internal fixation technique with direct wiring for intermaxillary fixation.

-External fixation devices if open reduction/internal fixation not produce a good result.

*Pre-op :Siapkan roentgen/CT sebagai penuntun dalam melakukan operasi.

*Post-op :Untuk mencegah edema, "dressing" menggunakan kasa. Bila kasanya tetap kering selama 5 hari, bisa dilepas.

Observasi apabila ada pendarahan, masalah jalan napas, dan muntah.

Antibiotic :-Penicillin

6.Fraktur mandibula1. Edema, hematoma, ekimosis, atau laserasi pd kulit yg meliputi mandibula2. Nyeri disebabkan o/kerusakan pd n. alveolaris inferior3. Anestesia dpt terjadi pd 1 sisi bibir bawah, pd gusi, atau pd gigi di mana n. alveolaris inferior rusak4. Perubahan posisi mandibula5. Maloklusi6. Gangguan mobilitas, krepitasi7. Malfungsi: trismus, nyeri waktu mengunyah8. Gangguan/obstruksi jalan nafas9. Fraktur gigi/ gigi tanggal1. Foto polos kepala u/menentukan lokasi & luasnya fraktur PA Lateral Towne Lateral oblik2. CT Scan

1. Bebaskan jalan nafas.Jika perlu trakeostomi2. Hentikan perdarahan penekanan/ligasi3. Reposisi & fiksasi dengan mikro/mini plate

12. Radiologi1. Fraktur Mandibula

There is a mildly displaced fracture of the angle of the rightmandible.

Left sided mandibular fracture of the mandibularcondyle.

Partially displaced

II. Penatalaksanaan

1. Metode essig Tujuan stabilitas paska reimplantasi atau reposisi eliminasi gangguan proses penyembuhan mengurangi rasa tak nyaman periode akut memelihara perbaikan jaringan periodontal melindungi proses organisasi jendalan darah revaskularisasi pulpa melalui apeks

Armamentariuma. klem peanb. klem kocher c. gunting kawat d. tang polos (ortho)e. wire / kawat stainless steel lembut / lentur penampang 0,40 dan 0,30 mm

Reduksi atau ReposisiReduksi atau reposisi dari fraktur rahang adalah mengembalikan fragmen fragmen tulang yang mengalami farktur ke posisi anatomi semula. Pedoman yang paling baik dalam tindakan reduksi adalah oklusi dari gigi geligi. Secara umum terdapat dua metode dalam tindakan reduksi rahang, yaitu reduksi tertutup (closed reduction) dan reduksi terbuka (open reduction)3.Reduksi tertutupAdalah suatu tindakan reduksi fraktur tanpa melakukan pembedahan atau operasi, fiksasi dan imobilisasi biasanya menggunakan alat yang sama. Indikasinya:1. Jika gigi gigi pada kedua rahang atas dan bawah cukup tersedia sehingga oklusi dapat dibangun kembali, dan gigi gigi tersebut dapat dijadikan sebagai penyangga alat fiksasi.2. Pada fraktur rahang yang masih baru dengan celah antar fragmen yang tidak terlalu lebar.3. Pada fraktur dengan garis fraktur yang berlawanan dengan arah tarikan otot (favorable fracture) dengan minimal displacement.Reduksi terbuka Adalah tindakan reduksi fraktur dengan cara pembedahan atau operasi. Pada reduksi terbuka tindakan reposisi, fiksasi, dan imobilisasi biasanya menggunakan alat yang berbeda. Reposisi dapat menggunakan alat berupa suatu interosseus wiring, bone plate with screw, intramedullary wire, pin dan rods. Reduksi terbuka merupakan metode paling akurat dalam tindakan reposisi segmen segmen fraktur, karena dengan metode ini dapat diperoleh pandangan langsung terhadap lokasi tulang yang mengalami fraktur. Indikasinya:1. Tidak terdapat cukup gigi untuk mendapatkan oklusi pada reduksi terttutup.2. Fraktur dengan displacement fragmen yang sangat lebar.3. Pada kasus - kasus: non-union, mal-union, dan fibrous fracture4. Pada garis fraktur yang tidak menguntungkan (unfavorable fracture)5. Jika dibutuhkan bone grafting.

Fiksasi dan ImmobilisasiTindakan utama perawatan trauma oromaksilofasial adalah pada tahap perawatan definitif yang dimaksudkan untuk mereposisi dan merekontruksi tulang tulang oromaksilofasial sedapat mungkin seperti keadaan sebelum terjadi trauma. Namun tentu saja perawatan definitif ini harus dilakukan setelah keadaan umum pasien stabil, terkontrol, dan telah melewati masa kritis. Seperti telahdisebutkan diatas bahwa perawatan definitif trauma oromamaksilofasial meliputi tiga tindakan, yaitu: reposisi/reduksi, fiksasi, dan imobilisasi.Untuk mendapatkan hasil penyembuhan fraktur yang baik, fragmen fragmen tulang harus terikat dengan kuat pada posisi anatomi semula. Adanya pergerakan antar fragmen tulang dapat mengganggu proses penyembuhan dan meningkatkan resiko terjadinya fibrous union. Fiksasi yang baik menghsilkan terbentuknya kalus pada proses penyembuhan fraktur dimana terjadi remodeling tulang secara perlahan sehingga terbentuk kontur tulang yang normal. Pada prinsipnya fiksasi dapat berupa alat yang rigd, semi-rigid, atau non-rigid dimana penempatannya dapat internal maupun eksternal. Posisi yang akurat, oklusi dan angulasi yang baik, tidak adanya interposisi jaringan lunak serta reduksi yang benar sangat penting untuk memastikan terjadinya penyembuhan tulang yang baik. Penutupan jaringan lunak baik itu mukosa maupun kulit sangat penting khususnya dalam kasus kasus penggunaan fiksasi internal5. Pada makalah ini akan dibahas khususnya metode dan jenis jenis fiksasi yang sering digunakan pada perawatan trauma oromaksilofasial. Secara umum fiksasi pada trauma oromaksilofasial dapat dibagi menjadi tiga jenis3:

Fiksasi IntramaksilaYaitu suatu cara fiksasi dengan jalan pengikatan gigi geligi hanya pada rahang atas atau rahang bawah saja. Misalnya metode wiring eyelet, Essig, rigid arch bar pada satu rahang, dan lain lain.1. Twisted loop atau Eyelet MethodMetode ini pertama kali diperkenalkan oleh Ivy, kawat yang digunakan biasanya jenis stainless steel ukuran 0,4 mm atau 0,5 mm sepanjang 20 cm. Kawat tersebut dilipat dan dipilin sehingga salah satu ujungnya membentuk bulatan (loop), kedua ujung kawat yang bebas kemudian dilewatkan dari permukaan luar lengkung gigi melalui ruang interproksimal dua gigi yang berdekatan. Salah satu ujung kawat tersebut dilewatkan sekeliling permukaan lingual gigi depannya, ujung kawat lainnya dilewatkan sekeliling gigi dibelakangnya. Kedua kawat akan bertemu dipermukaan luar lengkung gigi, kemudian diikatkan dengan kuat satu sama lainnya sehingga membentuk satu eyelet6. Tahap tahap pembuatan eyelet4 Gambar 1. Eyelet & Essig Method1,4

Fiksasi IntermaksilerAdalah suatu cara fiksasi fraktur rahang dengan cara mengunci gigi geligi rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi dengan menggunakan kawat atau rubber elastic band. Misalnya metode Gilmer, Ivys loop, Stout continous, arch bar dari Jelenko, Winter, Erich, Austin, dan penggunaan splint dari logam atau akrilik. Untuk perawatan kasus fraktur rahang edentulous dapat digunakan denture atau Gunning splint yang dikombinasikan dengan kawat atau rubber elastic band. A BFiksasi intermasiler: A. screw & wire, B. Gunning splint untuk rahang edentulous9Fiksasi intermaksiler dengan Erich bar & rubber elastic

Fiksasi EkstramaksilerAdalah suatu cara fiksasi yang dilakukan dari luar rongga mulut, dapat dibagi menurut penempatannya: cranial, fasial, oksipital, frontal, dan servikal. Sedangkan alat yang digunakan dapat berupa: bandage, head cap strips, adhesive tape, head gear, head frame, dll. Fiksasi Extramaksiler1,3 Open Reduction and Rigid Internal Fixation (ORIF)Adalah salah satu bentuk fiksasi pada fraktur rahang yang dilakukan dengan cara mengaplikasikan langsung alat fiksasi pada tulang rahang sehingga didapatkan suatu kekuatan fiksasi yang adekuat. Alat yang digunakan berupa plate & screw dan untuk kasus fraktur maksilofasial biasanya dari jenis miniplate Bone plate & screw fixation1

Prosedur Pemasangan Interdental Wiring (IDW) di RSHS1. Melakukan tindakan aseptik yaitu sterilisasi alat, bahan dan daerah operasi termasuk juga operator kemudian pasang duk bolong pada pasien, 2. Melakukan anestesi lokal yaitu blok n. alveolaris superior kiri kanan dan n.nasopalatinus untuk rahang atas, sedangkan untuk rahang bawah dilakukan blok mandibular.3. Fragmen tulang direposisi sedemikian rupa sehingga posisinya kembali seperti keadaan semula sebelum kejadian fraktur.4. Mengukur Erich bar disesuaikan lengkung rahang. Erich bar kemudian diadaptasikan pada permukaan bukal/labial lengkung gigi rahang atas dan bawah pada daerah sepertiga apikal mahkota gigi mulai gigi M@ kiri sampai dengan M2 kanan.5. Erich bar diikatkan pada gigi geligi dengan cara melewatkan kawat stainless steel 0.4 mm pada ruang interproksimal gigi menyilang Erich bar, di bagian lingual/palatal kawat harus berada di bawah garis servik gigi caranya ditekan dengan luniatscheck (lidah ular). Kedua ujung kawat dijepit dengan arteri clam lurus ditarik dan diputar searah jarum jam kemudian dipotong dan disisakan 0,5 cm. Sisa kawat yang sudah dipilin ditekuk dan disembunyikan disela sela gigi agar tidak mengiritasi gusi dan mukosa. Kemudian dites apakah Erich bar tersebut sudah kencang ikatannya.6. Pasien disuruh menutup mulut, kalau oklusi sudah tercapai dengan baik maka Erich bar pada rahang atas dan bawahlangsung diikat dengan kawat stainless steel melalui kaitannya (hook). Tetapi kalau oklusi belum tercapai dengan baik dipasang dahulu rubber elastic baru berikutnya diganti dengan kawat jika oklusi sudah baik.7. Pada perawatan dengan open reduction Erich bar bisa dipasang satu hari sebelum operasi atau bisa juga bersamaan dengan waktu operasi. Jika langsung dilakukan fiksasi intermaksiler maka harus dipasang pula nasogastric tube.8. Pemberian obat obatan: antibiotik, analgetik, vitamin, dll.9. Intruksi pada pasien yang tidak dirawat inap untuk diet lunak atau cair, kebersihan mulut harus selalu dijaga dengan cara disemprot (spooling) atau berkumur sesring mungkin. Setiap seminggu sekali pasien diintruksikan untuk kontrol10. Pada minggu keempat atau keenam, dibuat foto panoramik atau foto lainnya pada daerah fraktur sehingga dapat dilihat proses penyembuhan tulang, jika tulang sudah menyatu dengan baik kawat intermaksiler dilepas. Pasien diintruksikan untuk melatih sendi dan otot otot pengunyahannya serta mulai membiasakan makan makanan yang padat. Satu minggu kemudian Erich bar pada rahang atas dilepas, minggu berikutnya baru Erich bar rahang bawah.11. Jika terjadi komplikasi berupa gangguan sendi dan otot otot pengunyahan yang tidak dapat ditanggulangi dengan latihan sendiri. Pasien diinstruksikan untuk mendapatkan perawatan rehabilitatif di Unit Rehabilitasi Medis.

Prosedur penatalaksanaan kegawatdaruratan trauma maksilofacial.Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi dan ditangani secara sistematis, di titik beratkan pada penentuan prioritas tindakan berdasarkan atas riwayat terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya trauma.Source: Agus Purwadianto & Budi Sampurna. Kedaruratan Medik. 2000. Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Edisi Revisi Raymond and Wolker, 1991, Oral and maxillofacial Trauma. Vol I, W.B. Saunders Company, Philadelphia, CoKruger G.O. 1984, Textook of oral and maxillofacial surgery. 6th edition. Saint Louis. Mosby Company.Fonseca, R.J. et al. . 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. Vol. 2. St Louis: Elsevier.Pedersen, GW. 1996. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Jakarta. EGC

1. Apakah Pasien dapat bernapas ?Jika sulit : Ada obstruksi. Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak.2.Curiga adanya Fraktur Mandibula.Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan memperbaiki jalan napas dansirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yang besar jika frakturterjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi.Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan forcep khusus (Rowes) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan goyangkan.3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakangLakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya,dan secara lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringanPada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepalapada salah satu ujung sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut di antara pegangan.5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi dudukBiarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika ia melakukannya. Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah. Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu.6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarahHisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebalyang sejenis ke satu sisi.Jika terjadi perdarahan : Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untukngedep perdarahan yang hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan perdarahan. Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara.Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial :a. Memperbaiki jalan napas.b. Mengontrol perdarahan.c. Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna.d. Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma7. Pemeriksaan Intra Oral.Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah adanya floatingpada susunan tulang-tulang wajah, seperti : Mandibularfloating. Maxillarfloating. Zygomaticum floatingYang dimaksud dengan floatingdisini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut.3Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknikterencana untuk mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainnya dari trauma maksilofasial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan ini dengan baik dapat berakibat fatal.11

III. Sinkop dan Syok2. Sinkop Sinkop berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata syn dan koptein yang artinya memutuskan. Sehingga definisi sinkop (menurut European Society of Cardiology : ESC), adalah suatu gejala dengan karakteristik klinik kehilangan kesadaran yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dan biasanya menyebabkan jatuh. Onsetnya relatif cepat dan terjadi pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat hipoperfusi serebral.Penyebab sinkop dapat dikelompokkan dalam 6 kelompok yaitu vaskular, kardiak, neurologik-serebrovaskular, psikogenik, metabolik dan sinkop yang tidak diketahui penyebabnya. Sinkop vaskular merupakan penyebab sinkop yang terbanyak, kemudian diikuti oleh sinkop kardiakSinkop adalah hilangnya kesadaran sementara, sering disebut sebagai pingsan. Sinkop terjadi ketika aliran darah ke otak berkurang nyata minimal selama lima atau enam detik. Aliran darah otak dapat terganggu akibat sejumlah alasan yang berbeda. Untungnya, dalam banyak kasus, syncope adalah suatu kondisi transien dan jinak, sehingga biasanya - selama episode syncopal sendiri tidak menyebabkan cedera serius - tidak akan berpengaruh dalam jangka panjang.Namun, terkadang sinkop merupakan tanda adanya kondisi berbahaya atau bahkan mengancam jiwa.PatofisiologiHilangnya pada setiap jenis sinkop disebabkan oleh penurunan oksigenasi pada bagian-bagian otak yang merupakan bagian kesadaran. Terdapat penurunan aliran darah, penggunaan oksigen serebral, resistensi serebrovaskuler yang dapat ditunjukkan. Jika iskemia hanya berakhir beberapa menit, tidak terdapat efek otak. Iskemia yang lama mengakibatkan nekrosis jaringn otak pada daerah perbatasan dari perfusi anatara daerah vaskuler dari arteri serebralis mayor.Pada pasien dengan kelemahan atau sinkop yang ditandai dengan bradikardia, seseorang harus membedakan yang disebabkan oleh kegagagalan reflex neurologenaik dari seranagn kardiogenaik (Stokes-adam). EKG bersifat menentukan, tapi meskipun tanpa EKG, seranagn stokes. Adam dapat diketahui secara klinis dengan durasinya yang lebih lama, dan sifat denyut jantung lambat yang menetap, adanya bunyi sinkron yang dapat didengar dangan kontraksi atrial, dengan gelombang kontraksi antrial (A) pada pulsasi vena jugularis, dan dengan berbagai intensitas bunyi jantung pertama yang nyata walaupun ritme teraturManifestasi Klinis Sinkop1. adapun tanda dan gejala orang pingsan yaitu:2. Kesadaran menurun / hilang3. Muka pucat, kulit basah, keringat dingin, dan gelisah4. Nafas dangkal, nadi cepat5. Mengeluh mual, kadang muntah, pusing, haus dan bibir rasa baal Pemeriksaan Diagnostik1. Laboratorium : leukosit, LED, limfosit, LDH.2. Elektrokardiografi.3. Pemeriksaan elektroensefalografi.4. Ekokardiografi.

2. SyokSyok merupakan kondisi medis yang mengancam nyawa, yang terjadi ketika tubuh tidak mendapat cukup aliran darah sehingga tidak tercukupinya kebutuhan aerobik seluler atau tidak tercukupinya oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh sehinggga dapat menyebabkan hipoperfusi jarngan secara global dan meyebabkan asidosis metabolik. Keadaan ini membutuhkan penanganan yang cepat karena dapet berkmbang / memburuk dengan cepat.Syok dapat terjadi meskipun tekanan darah normal dan hipotensi dapat terjadi tanpa terjadinya hipoperfusi.

Tanda khas (typical sign) syok adalah menurunnya tekanan darah, meningkatnya denyut jantung, tanda gangguan perfusi pada organ akhir, dan dekompensasi (peripheral shut-down), seperti menurunnya urin output, menurunnya kesadaran, Patofisiologi Syok merupakan kondisi terganggunya perfusi jaringan. Terdapat beebrapa faktor yan mempengaruhi perfusi jaringan, yaitu Cardial : Cardiac Output-> volume darah yang dipompakan oleh jantung baik ventrikel kiri maupun ventrikel kanan dalam interval 1 menit. Cardiac Output dapat dihitung dengan rumusStroke Volume x Heart rate. Sehingga cardiac output dipengaruhi oleh stroke volume dan denyut jantung (Heart Rate )dalam satu menit. Perfusi jaringan dipengaruhi oleh cardiac output, sebagai contoh apabila Cardiac output menurun yang disebabkan oleh aritmia, atau AMI (Acute Myocard Infact) maka volume darah yang dipompa menuju seluruh tubuh pun akan menurun sehingga jaringan di seluruh tubuh pun mengalami hipoperfusi. Vascular: Perubahan Resistensi Vaskular. Tonus vaskular diregulasi oleh : Aktivitas tonus simpatis Kotekolamin sistemik -> berperan dalam sistem saraf simpatis Myogenic faktor -> berperan dalam menjaga aliran darah agar tetap konstan ketika terjadi berbagai macam faktor yang mempengaruhi perfusi Substansi yang berperan sebagai vasodilator Endothelial NO Humoral: renin, vasopressin, prostaglandin, kinin, atrial natriuretic factor. Faktor - faktor yang mempengaruhi dalam mikrosirkulasi yaitu Adanya adhesi platelet dan leukosit pada lesi intravaskuler. Koagulasi intravaskuler Adanya konstriksi pada pembuluh darah prekapiler dan post kapiler Hipoksia -> vasodilatasi artriola -> venokonstriksi -> Kehilangan cairan intravaskuler meingkatnya permeabilitas intrakapiler -> edema jaringanTahapan Patofisiologiterdapat 4 stage perkembangan shock yang berlangsung secara progresif dan berkelanjutan, yaitu

1. inisial2. kompensatori3. progresif4. refraktori InisialSelama tahap ini, terjadi keadaan hipoperfusi yang menyebabkan kurangnya/ tidak cukupnya oksigen untuk memberikan suplai terhadap kebutuhan metabolisme seluler. Keadaan hipoksia ini menyebabkan, terjadinya fermentasi asam laktat pada sel. Hal ini terjadi karena ketika tidak adanya oksigen, maka proses masuknya piruvat pada siklus kreb menjadi menurun, sehingga terjadi penimbunan piruvat. Piruvat tersebut akan diubah menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase sehingga terjadi penimbunan laktat yang menyebabkan keadaan asidosis laktat.

KompensatoriPada tahap ini tubuh menjalani mekanisme fisiologis untuk mengembalikan kepada kondisi normal, meliputi neural, humoral, dan bio kimia. Asidosis yang terjadi dalam tubuh dikompensasi dengan keadaan hiperventilasi dengan tujuan untuk mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh, karena secara tidak langsung CO2 berperan dalam keseimbangan asam basa dengan cara mengasamkan ata menurunkan pH dalam darah. Dengan demikian ketika CO2 dikeluarkan melalui hiperventilasi dapat menaikkan pH darah didalam tubuh sehingga mengkompensasi asidosis yang terjadi.

Pada syok juga terjadi hipotensi yang kemudian pada ambang batas tertentu dideteksi oleh barosreseptor yang kemudian tubuh merespon dengan menghasilkan norepinefrin dan epnefrin. Norepinefrin berperan dalam vasokonstriksi pembuluh darah namun memberikan efek yang ringan pada peningkatan denyut jantung. Sedangkan epinefrin memberikan efek secara dominan pada peningkatan denyut jantung dan memberikan efek yang ringan terhadap asokonstriksi pembuluh darah. Dengan demikian kombinasi efek keduanya dapat berdampak terhadap peningkatan tekanan darah. Selain dilepaskan norepinefrin dan epinefrin, RAA (renin angiotensi aldosteron) juga teraktivasi dan terjadi juga pelepasan hormon vasopressor atau ADH (anti diuretic hormon) yang berperan untuk meningkatkan tekanan darah dan mempertahankan cairan didalam tubuh dengan cara menurunkan urine output.

ProgresifKetika shock tidak berhasil ditangani dengan baik, maka syok akan mengalami tahap progresif dan mekanisme kompensasi mulai mengalai kegagalan. Pada stadium ini, Asidosis metabolik semakin prah, otot polos pada pembuluh darah mengalami relaksasi sehingga terjadi penimbunan darah dalam pembuluh darah. Ha ini mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik dikombinasikan dengan lepas nya histamin yang mengakibatkan bocornya cairan ke dalam jaringan sekitar. Hal ini mengakibatkan konsentrasi dan viscositas darah menjadi meningkat dan dapat terjadi penyumbatan dala aliran darah sehingga berakibat terjadinya kematian banyak jaringan. Jika organ pencernaan juga mengalami nekrosis, dapat menyebabkan masuknya bakteri kedalam aliran darah yang kemudian dapat memperparah komplikasi yaitu syok endotoxic.

RefraktoriPada stadium ini terjadi kegagalan organ untuk berfungsi dan shock menjadi ireversibel. Kematian otak dan seluler pun berlangsung. Syok menjadi irevesibel karena ATP sudah banyak didegradasi menjadi adenosin ketika terjadi kekurangan oksigen dalam sel. Adenosin yang terbentuk mudah keluar dari sel dan menyebabkan vasodilatasi kapiler. Adenosin selanjutnya di transformasi menjadi asam urat yang kemudian di eksresi ginjal. Pada tahap ini, pemberian oksigen menjadi sia- sia karena sudah tidak ada adenosin yang dapat difosforilasi menjadi ATP.