lapsus episkleritis

32
BAB I LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PENDERITA Nama : Nn. E Usia : 15 tahun Jenis kelamin : Perempuan Alamat : Prapag Kidul, Losari – Brebes Pendidikan : SMP Pekerjaan : Pelajar Status Perkawinan : Belum Nikah Suku : Jawa Nomer RM : 773156 Tanggal periksa : 12 Juli 2015 II. ANAMNESIS 1. Keluhan Utama : Mata merah 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Waled dengan keluhan mata merah sejak 1 minggu SMRS. Mata merah hanya terjadi pada mata kanan saja serta keluhan disertai perasaan silau apabila terkena cahaya. Selain mata merah, mata sebelah kanan tampak seperti ada benjolan, pasien mengeluh ada yang menghalangi pandangan, tetapi pasien tidak mengeluh adanya penurunan tajam pengelihatan. Mata sebelah kanan sering

Upload: atang-kusman

Post on 05-Sep-2015

98 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

kkj

TRANSCRIPT

BAB ILAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITANama: Nn. EUsia: 15 tahun Jenis kelamin: PerempuanAlamat: Prapag Kidul, Losari BrebesPendidikan: SMPPekerjaan: PelajarStatus Perkawinan: Belum NikahSuku : JawaNomer RM: 773156Tanggal periksa: 12 Juli 2015

II. ANAMNESIS 1. Keluhan Utama: Mata merah 2. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Waled dengan keluhan mata merah sejak 1 minggu SMRS. Mata merah hanya terjadi pada mata kanan saja serta keluhan disertai perasaan silau apabila terkena cahaya. Selain mata merah, mata sebelah kanan tampak seperti ada benjolan, pasien mengeluh ada yang menghalangi pandangan, tetapi pasien tidak mengeluh adanya penurunan tajam pengelihatan. Mata sebelah kanan sering mengeluarkan air mata tetapi tidak terasa lengket dan tidak keluar kotoran. Awalnya mata merah disadari saat bangun tidur dan sehari sebelumnya pasien usai mengendarai motor, pasien kelilipan debu, kemudian merah dan sedikit nyeri. Rasa nyeri apabila ditekan pada sekitar mata, nyeri dirasakan tidak menyebar ke dahi dan alis. Keluhan gatal pada mata, sakit kepala, panas badan, mual dan muntah disangkal oleh pasien. Pasien belum memberikan obat apapun dan tidak memeriksakan sakitnya.3. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama seperti ini sebelumnya Pasien tidk menggunakan kacamata sebelumnya4. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak terdapat anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang sama dengan pasien.

III. PEMERIKSAAN1. Keadaan Umum: Baik2. Kesadaran: Compos mentis 3. Tanda VitalTekanan Darah: 110/70 mmHgNadi: 86x/menitPernafasan: 18x/menitSuhu: 36,70 C

IV. STATUS OFTALMOLOGISODPemeriksaanOS

1,0-AVTanpa koreksiDengan koreksi1,0-

N / PTION / P

Orthophoria KedudukanOrthophoria

Pergerakan

-----Palpebra Edema Hiperemi Ptosis Entropion Ektropion -----

++--NodulKonjungtiva Bulbi Injeksi konjungtiva Injeksi siliar Sekret Pterigium Sklera-----

JernihCembung----Kornea Warna Permukaan Ulkus Edema Infiltrat SikatrikJernih Cembung----

Cukup--Bilik Mata Depan Kedalaman Hipopion HifemaCukup --

CoklatNormalBulat Sentral 2 mm +langsungIris / pupil Warna iris Kripte iris Bentuk pupil Letak pupil Ukuran pupil Reflek cahayaCoklat Normal Bulat Sentral 2 mm+ langsung

jernih-Lensa Warna Iris shadowjernih-

V. RESUMEPasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Waled dengan keluhan mata kanan merah sejak 1 minggu SMRS. Mata kanan merah disertai perasaan silau apabila terkena cahaya dan tampak seperti ada benjolan, pasien mengeluh ada yang menghalangi pandangan, tetapi pasien tidak mengeluh adanya penurunan tajam pengelihatan.Selain itu mata kanan sering mengeluarkan air mata tetapi tidak terasa lengket dan tidak keluar kotoran. Keluhan tersebut juga disertai rasa nyeri apabila ditekan pada sekitar mata, nyeri dirasakan tidak menyebar ke dahi dan alis.Pada pemeriksaan mata didapatkan visus 1,0 dan pemeriksaan konjungtiva bulbi didapatkan injeksi konjungtiva, injeksi siliar, serta dibagian sklera terdapat nodul.

VI. DIAGNOSIS BANDING1. Episkleritis Nodular OD2. Konjungtivitis OD3. Skleritis Nodular OD

VII. DIAGNOSIS KERJA Episkleritis Noduler OD

VIII. PENATALAKSANAAN Medikamentosa Steroid eye drop (Xitrol 6x1 gtt OD) Air mata buatan (Lyteers 6x1 ggt OD) NSAID (Na Diklofenak 3x25 mg p.o)

VIII. PROGNOSISAd Vitam : dubia ad bonamAd Functionam : dubia ad bonamAd Sanactionam : dubia ad bonam

BAB IITINJAUN PUSTAKA

II.1. SKLERAII.1.1. ANATOMI SKLERASklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluhdarah yang melekat pada sklera.Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.

Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu: Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat meletaknya kornea pada sklera. Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 m dan lebar 100-140 m, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.

II.1.2. FISIOLOGI SKLERASklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sklera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.

II.2. EPISKLERITISII.2.1. DEFINISIEpiskleritis didefinisikan sebagai peradangan lokal sklera yang relatif sering dijumpai. Kelainan ini bersifat unilateral pada dua-pertiga kasus, dan insidens pada kedua jenis kelamin wanita tiga kali lebih sering dibanding pria. Episklera dapattumbuh di tempat yang sama atau di dekatnya di jaringan palpebra. Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva dan permukaan sklera.Keluhan pasien dengan episkleritis berupa mata terasa kering, dengan rasa sakit yang ringan, mengganjal, dengan konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang yang terjadi pada episklerisis mempunyai gambaran khusus, yaitu berupa benjolan setempat dengan batas tegas dan warna putih di bawah konjungtiva. Bila benjolan itu ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, akan memberikan rasa sakit, rasa sakit akan menjalar ke sekitar mata. Pada episkleritis bila dilakukan pengangkatan konjungtiva di atasnya, maka akan mudah terangkat atau dilepas dari pembuluh darah yang meradang. Perjalanan penyakit mulai dengan episode akut dan terdapat riwayat berulang dan dapat berminggu-minggu atau beberapa bulan. Radang episklera disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap penyakit sistemik seperti tuberkulosis, reumatoid arthritis, lues, SLE, dll. Merupakan suatu reaksi toksik, alergi atau merupakan bagian daripada infeksi. Dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik.

II.2.2. EPIDEMIOLOGISkleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6% nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan. Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 3 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.

II.2.3. ETIOLOGIHingga sekarang para dokter masih belum dapat mengetahui penyebab pasti dari episkleritis. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang selalu berhubungan dengan terjadinya episkleritis.Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak.

II.2.4. PATOFISIOLOGIDegradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata. Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula post kapiler dan respon imun sel perantara.

II.2.5. KLASIFIKASIAda dua jenis episkleritis: Episkleritis simpel Ini adalah jenis yang paling umum dari episkleritis. Peradangan biasanya ringan dan terjadi dengan cepat. Hanya berlangsung selama sekitar tujuh sampai 10 hari dan akan hilang sepenuhnya setelah dua sampai tiga minggu. Pasien dapat mengalami serangan dari kondisi tersebut, biasanya setiap satu sampai tiga bulan. Penyebabnya seringkali tidak diketahui.

Episkleritis nodular Hal ini sering lebih menyakitkan daripada episkleritis simpel dan berlangsung lebih lama. Peradangan biasanya terbatas pada satu bagian mata saja dan mungkin terdapat suatu daerah penonjolan atau benjolan pada permukaan mata. Ini sering berkaitan dengan kondisi kesehatan, seperti rheumatoid arthritis, colitis dan lupus.

II.2.6. GEJALA KLINISGejala episkleritis meliputi: Sakit mata dengan rasa nyeri tetapi ringan Mata merah pada bagian putih mata Kepekaan terhadap cahaya Tidak mempengaruhi visusJika pasien mengalami episkleritis nodular, pasien mungkin memiliki satu atau lebih benjolan kecil atau benjolan pada daerah putih mata. Pasien mungkin merasakan bahwa benjolan tersebut dapat bergerak di permukaan bola mata.

Gambar. Skleritis Anterior

Gambar. Skleritis Posterior

Gambar. Episkleritis

II.2.7. DIAGNOSISSkleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.

ANAMNESISPada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan dapat terjadi penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaukoma, katarak dan fundus yang abnormal.

Gambar. Skleritis

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan skleritis seperti : Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat Penyakit infeksi Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea) Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan ibandronate. Post pembedahan pada mata Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati, penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan responnya terhadap pengobatan.

PEMERIKSAAN FISIK SKLERA1. DaylightSklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan translusen juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam, abu-abu dan coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang mengindikasikan adanya proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area pada sklera bisa menjadi avaskular yang menghasilkan sekuester putih di tengah yang dikelilingi lingkaran coklat kehitaman. Proses pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan jaringan granulasi meninggalkan uvea yang kosong atau lapisan tipis dari konjungtiva.

2. Pemeriksaan Slit LampPada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera edema. Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.

3. Pemeriksaan Red-free LightPemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai kongesti vaskular yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru dan juga area yang avaskular total. Selain itu perlu pemeriksaan secara umum pada mata meliputi otot ekstra okular, kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular dan fundus.

PEMERIKSAAN LABORATORIUMBerdasarkan riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan sistemik dan pemeriksaan fisik dapat ditentukan tes yang cocok untuk memastikan atau menyingkirkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan skleritis. Adapun pemeriksaan laboratorium tersebut meliputi : Hitung darah lengkap dan laju endap darah Kadar komplemen serum (C3) Kompleks imun serum Faktor rematoid serum Antibodi antinukleus serum Antibodi antineutrofil sitoplasmik Imunoglobulin E. Kadar gula darah Kadar asam urat serum Urinalisis Rata-rata Sedimen Eritrosit Tes serologis HBs Ag

PEMERIKSAAN RADIOLOGIBerbagai macam pemeriksaan radiologis yang diperlukan dalam menentukan penyebab dari skleritis adalah sebagai berikut : Foto thorax Rontgen sinus paranasal Foto lumbosacral Foto sendi tulang Ultrasonography (Scan A dan B) CT-Scan MRI

Pemeriksaan lain yang diperlukan antara lain : Skin Test Tes usapan dan kultur PCR Histopatologi

II.2.8. DIAGNOSIS BANDINGBerikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari skleritis: Konjungtivitis alergika Episkleritis Gout Herpes zoster Rosasea okular Karsinoma sel skuamosa pada konjungtiva Karsinoma sel skuamosa pada palpebra Uveitis anterior nongranulomatosa

II.2.9. PENATALAKSANAANPengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga. Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai.1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya. Diffuse scleritis atau nodular scleritis Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal. Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs. Jika oral kortikosteroid gagal, obat obatan imunosupresif dapat digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien dengan Wegeners granulomatosis atau polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah pilihan utama. Jika masih gagal, dapat diberikan obat obatan imunomodulator seperti infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

Necrotizing scleritis Obat obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada bulan pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan lahan. Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan. Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah proses nekrosis yang terjadi. 2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak boleh digunakan.

3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan terapi imunosupresif.

Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam penyakit skleritis ialah:A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi perjalanan dari lekosit, dan menghambat fosfodiesterase.Pemberian:Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk menghindari gangguan pada saluran pencernaan.1. Indometasin (Indocin)Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan cepat diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan konjugasi glukuronid.Dosis: 75-150 mg PO/hari or dibagi 2 kali sehari; tidak melampaui 150 mg/hariPemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal lebih mungkin terjadi usia lanjut. Dosis/frekuensi terendah disarankan.2. Diflunisal (Dolobid)Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai analgesik. Memiliki efek antipiretik dan anti radang; tetapi, berbeda secara kimia dengan aspirin dan tidak dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini adalah sebuah penghambat prostaglandin sintase.Dosis: 250-1000 mg PO setiap hari dibagi setiap 12 jam.Dosis maksimum: 1500 mg/hari.3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, menghasilkan penurunan dari sintesis prostaglandin.Naproxen diserap dengan cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 15 jam. Dosis: 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang, jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri, kemungkinan dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, yang menghasilkan sintesis prostaglandin.Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara oral. Memiliki paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).Dosis: 300-800 mg PO 4 kali sehari, 400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6 jam kalau diperlukan. Tidak melebihi 3200 mg/hari5. Sulindac (Clinoril)Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat sintesis prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator peradangan. Dosis: 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.6. Piroxicam (Feldene)Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein plasma. Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan dengan begitu, menghambat sintesis prostaglandin. Efek ini menurunkan pembentukan mediator radang.Dosis: 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 30-40 mg/hari

B. Agen ImunosupresanDigunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten terhadap NSAIDs. 1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui. Dapat mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala peradangan (nyeri, bengkak, kaku).Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap minggu. Dosis dibagi PO sebanyak 2.5 mg setiap 12 jam untuk 3 dosis, sebagai pengganti sekali seminggu.Peningkatan sampai respon optimum; tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg (meningkatkan resiko supresi sumsum tulang). Kurangi sampai serendah mungkin. Kurangi sampai dosis efektif terendah dengan waktu istirahat terpanjangAwasi : fungsi ginjal, keracunan hematopoietik, fungsi paru, fungsi hati2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen. Sebagai alkylating agent, mekanisme kerjanya sebagai metabolit aktif mungkin melibatkan penyambungan silang DNA, yang dapat mengganggu pertumbuhan sel normal dan neoplastik.Pemberian IV:Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam interval 2-4 mingguDosis setiap hari: 1-2.5 mg/kg/hariPemberian oral:Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermitenTerapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hariPemberian:Berikan dosis pertama sepagi mungkinMinum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral. Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.Awasi: Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun sampai 2000-3000/cu.mm tanpa resiko serius terkena infeksi)

3. Azathioprine (Imuran)Menghambat mitosis dan metabolisme seluler dengan mengganggu metabolisme purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein.Dosis awal: 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat ditingkatkan seperti berikut:Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis efektif terendah tercapai4. Cyclosporine (Neoral)Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun yang dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan cangkok.Dosis: 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hariC. GlukokortikoidMemiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik. Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam pengobatan skleritis yang berulang.1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen imunosupresif lainnya.Dosis: 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari POMetilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 mingguJika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan dosis IM setiap harinya sama dengan dosis oral.Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap minggu. Hanya metilprednisolon sodium sukinat dapat diberikan secara IVDigunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan cara meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat menurunkan peradangan.Dosis: 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali sehari sampai 4 kali sehari.

II.2.10. KOMPLIKASIPenyulit skleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi sebagai pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukoma akibat steroid. Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan ini tidak pernah terjadi neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan.

II.2.11. PROGNOSISPrognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada tipe skleritis yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S., 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2. PERDAMI. 2006. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum & Mahasiswa Kedokteran, PERDAMI.3. Roy Sr H , episkleritis, http://emedicine.medscape.com/article/1228246-overview.Medscape.4. Riordan-Eva, Paul, John P.Whitcher. Vaughan & Asburys General Ophthalmology. USA: Mc.GrawHill; 2008.5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Cetakan I, Widya Medika, Jakarta, 2000: Hal 165-167.6. Watson PG, Hayreh SS. Scleritis dan episcleritis. Br J Ophthalmol. 1976; 60:163-91.

BAB IIIANALISIS KASUS

III.1 Identitas PasienPasien perempuan 15 tahun sebagai pelajar. Hal ini faktor resiko bagi terjadinya episkleritis, jenis kelamin perempuan termasuk insidensi tinggi terkena episkleritis dibandingkan pria.

III.2 Anamnesis