jurnal biofar lichan

44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sebelum obat tiba pada tempat aksi atau jaringan sasaran, obat akan banyak mengalami proses. Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga tingkat atau fase, yaitu, fase biofarmasetik atau farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Untuk menghasilkan efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya dalam kadar yang cukup agar dapat menimbulkan respon. Tercapainya kadar obat tersebut tergantung dari jumlah obat yang diberikan, keadaan dan kecepatan obat diabsorpsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian lain dari badan. Maka perlu diketahui bagaimana cara badan telah menangani obat dengan proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME) dalam penentuan suatu dosis, rute dan bentuk obat yang diberikan agar diperoleh efek terapi yang diinginkan 1

Upload: elsa-elfrida-marpaung

Post on 21-May-2017

389 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL BIOFAR LICHAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sebelum obat tiba pada tempat aksi atau jaringan sasaran, obat akan

banyak mengalami proses. Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi

menjadi tiga tingkat atau fase, yaitu, fase biofarmasetik atau farmasetik, fase

farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.

Untuk menghasilkan efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya

dalam kadar yang cukup agar dapat menimbulkan respon. Tercapainya kadar obat

tersebut tergantung dari jumlah obat yang diberikan, keadaan dan kecepatan obat

diabsorpsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian

lain dari badan. Maka perlu diketahui bagaimana cara badan telah menangani obat

dengan proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME) dalam

penentuan suatu dosis, rute dan bentuk obat yang diberikan agar diperoleh efek

terapi yang diinginkan dengan efek toksis yang minimal (Ansel, H., 1989).

Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh

sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau

produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut

melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan

memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,

maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan

lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai

tidak terjadi absorpsi sama sekali (Shargel, et all, 1985).

1

Page 2: JURNAL BIOFAR LICHAN

Untuk itulah dilakukan percobaan mengenai pengaruh bentuk sediaan

terhadap laju disolusi dalam hal ini Kapsul Sulfadiazin, Tablet Sulfadiazin,

Sustained Release. Selain itu juga dilakukan percobaan mengenai pengaruh rute

pemberian obat terhadap bioavailabilitas, dalam hal ini secara oral dan intravena,

serta evaluasi sediaan di pasaran atau bioekivalensi menggunakan Furosemid

sebagai obat generik dan Lasix sebagai obat paten untuk dapat dibandingkan

nantinya.

1.2 TUJUAN PERCOBAAN

- Untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi.

1.3 MANFAAT PERCOBAAN

Dengan melakukan percobaan ini diharapkan agar:

- Kita dapat mengetahui bagaimana pengaruh bentuk sediaan obat

terhadap laju disolusi

2

Page 3: JURNAL BIOFAR LICHAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Bahan

2.1.1 Sulfadiazin

BM : 250,27

Nama lazim : sulfadiazinum/sulfadiazine

Rumus kimia : C10H10N4O2S

Pamerian :serbuk putih sampai agak kuning, tidak berbau atau

hampir tidak berbau, stabil di udara tetapi terhadap

pemeparan tehadap cahaya perlahan-lahan menjadi

hitam

Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; muadah larut dalam

asam

mineral encer , dalam larutan kalium hidroksida

dan dalam amonium hidroksida ,agak sukar larut

dalam etanol dan dalam aseton,sukar larut dalam

serum manusia pada suhu 37OC.

(Depkes RI.,1995)

3

Page 4: JURNAL BIOFAR LICHAN

2.1.2 Furosemida

BM : 330,74

Nama lazim : Furosemidum/furosemida

Rumus kimia : C12H11N2ClO5S

Pemerian : serbuk hablur, putih sampai hampir kuning; tidak berbau.

Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton,

dalam dimetilformamidadan dan dalam larutan alkali

hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam

etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam

kloroform.

Wadah penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, tidak tembus cahaya (Depkes

RI, 1995).

2.2 Disolusi

Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah

pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan dispersi

molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya

terjadi penyerapan. Tahap ini juga ditetapkan pada obat-obatan yang dibuat dalam

bentuk larutan zat aktif dalam minyak tetapi yang terjadi disini adalah proses

ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ dapat

timbul endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan

pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian

4

Page 5: JURNAL BIOFAR LICHAN

pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan segera

(Aiache, 1993).

Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam

pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat

padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat

padat dan pelarut (Aiache, 1993).

Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat

berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik

sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke

dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi dan deagragasi sediaan,

merupakan faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat sediaan

(Aiache, 1993).

Kecepatan disolusi obat merupakan tahap pembatas kecepatan (rute

limiting step) sebelum obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat

berada dalam saluran cerna, ada dua kemungkinan yang akan berfungsi sebagai

pembatas kecepatan. Bahan berkhasiat dari sediaan padat tersebut pertama-tama

harus terlarut, sesudah itu barulah obat yang berada dalam larutan melewati

membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat, obat

akan berdifusi secara pasif atau transport aktif, kelarutan obat merupakan

pembatas kecepatan absorpsi melalui membran saluran cerna. Sebaliknya,

kecepatan obat yang kelarutannya kecil akan dibatasi, karena kecepatan disolusi

dari obat tidak larut atau disintegrasi sediaan relatif pengaruhnya kecil terhadap

disolusi zat aktif. Apabila kecepatan absorpsi tidak dapat ditentukan oleh salah

5

Page 6: JURNAL BIOFAR LICHAN

satu dari dua tahap, maka tidak satupun dari kedua tahap merupakan pembatas

kecepatan (Aiache, 1993).

2.2.1 Kondisi Sink

Kondisi sink merupakan kondisi dimana obat pada kedua sisi lapisan epitel

dari dinding usus mencapai kesetimbangan dalam waktu singkat. Saluran

gastrointestinal bertindak sebagai natural sink; yaitu obat diserap dengan segera

pada saat melarut. Pada kondisi in vivo tidak ada konsentrasi tambahan sehingga

efek perlambatan dari gradient konsentrasi pada laju disolusi tidak terjadi

(Syukri, 2002).

Untuk mensimulasi kondisi sink in vivo, pengujian disolusi in vitro

biasanya dilakukan dengan menggunakan media disolusi yang besar atau

mekanisme di mana media disolusi diberikan kembali secara konstan dengan

pelarut baru pada kecepatan tertentu sehingga konsentrasi dari larutan tidak

pernah mencapai lebih dari 10-15 % dari solubilitas maksimalnya. Jika parameter

semacam ini dipertahankan, pengujian disolusi dilakukan dalam kondisi sink,

yaitu kondisi tanpa pengaruh gradien konsentrasi (Syukri, 2002).

Uji pelarutan in vitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam

suatu media aqueous dengan adanya satu atau lebih bahan tambahn yang

terkandung dalam produk obat. Pemilihan suatu metode tertentu untuk suatu obat

biasanya ditentukan dalam monografi untuk suatu produk tertentu. United States

Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan

uji pelarutan yaitu:

6

Page 7: JURNAL BIOFAR LICHAN

a. Metode Keranjang (Basket )

Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh

tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat

yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang

bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi

rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar

kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat

operasi telah dipenuhi (Syukri, 2002).

b. Metode Dayung (Paddle)

Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang

berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung

diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang

terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat

yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat

ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode

basket dipertahankan pada 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam

USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa

produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat

mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan

untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Syukri, 2002).

c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

7

Page 8: JURNAL BIOFAR LICHAN

Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP ”basket and rack” dirakit

untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram

dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel

tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan

dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran

membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Syukri, 2002).

2.2.2 Pengaruh Bentuk Sediaan terhadap Laju Disolusi

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan

biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu:

A. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat.

Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi

kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran

partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan

berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti

terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi (Shargel, 1985).

B. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu

dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung

pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan

pelepasan bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju

disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut: suspensi, kapsul,

tablet dan tablet salut. Secara toritis disolusi bermacam sediaan padat tidak

8

Page 9: JURNAL BIOFAR LICHAN

selalu urutan dan masalahnya sama, karena di antara masing-masing bentuk

sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori

maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul,

tablet-kaplet, suppositoria, suspensi, topikal dan transdermal. Penggunaan

bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin

dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju

disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari

bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan dalam

formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju disolusi.

Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan

granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan

dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama (Syukri, 2002).

Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi di

antaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan

dan porositas.

C. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji

Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang

meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metoda uji

yang dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan

tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak

dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif.

Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium

disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada

percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat

9

Page 10: JURNAL BIOFAR LICHAN

di sepanjang saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju

disolusi obat. Metoda penentuan laju disolusi yang berbeda dapat

menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda tergantung pada metode

uji yang digunakan (Syukri, 2002).

Untuk obat yang tahan terhadap getah-lambung, kecepatan melarut

dari berbagai bentuk sediaan menurun dengan urutan sebagai berikut: larutan

– suspensi – serbuk – kapsul – tablet - tablet salut film- dragee (tablet salut

gula) – tablet e.c. – tablet kerja panjang (retaid, sustained release, ZOC). Ini

berarti bahwa tablet, walaupun murah dan praktis, memiliki aktivitas lebih

rendah sebagai bentuk sediaan dibandingkan larutan, serbuk atau kapsul.

Inilah sebabnya pula , mengapa tablet sebaiknya dilarutkan dalam air atau

bila mungkin dikunyah sampai halus sebelum ditelan (Tjay dan Kirana,

2002).

Setelah ditelan, tablet akan pecah (desintegrasi) di lambung dan

menjadi granul kecil, yang terdiri dari zat aktif tercampur zat-zat pembantu

(gom, gelatin, dan sebagainya ). Setelah granul-granul ini pecah, zat aktif

dibebaskan. Bila daya-larutnya cukup besar, zat aktif tersebut akan melarut di

dalam cairan lambung/usus, tergantung di mana obat pada saat itu berada. Hal

ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung (gastric emptying time),

yang pada umumnya berkisar antara 2 dan 3 jam setelah makan. Setelah

melarut, obat tersedia dan proses resorpsi oleh usus dapat dimulai; peristiwa

inilah yang disebut pharmaceutical availability, (kecepatan larut dan jumlah

obat yang in vitro dibebaskan dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk

proses absorpsi). Sehingga jelas bahwa obat yang diberikan sebagai larutan

10

Page 11: JURNAL BIOFAR LICHAN

akan mencapai waktu larut yang jauh lebih singkat, karena tidak mengalami

fase desintegrasi dari fase tablet, granul serta melarut (Tjay dan Kirana,

2002).

Bila suatu tablet ataui sediaan obat lainnya dimasukkan ke dalam

saluran cerna (saluran gastrointestin), obat tersebut mulai masuk ke dalam

larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer,

matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-

granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel yang halus.

Disintegrasi, deagregasi, dan disolusi bisa berlangsung secara serentak

dengan melepasnya suatu obat dari bentuk di mana obat tersebut diberikan.

Tahapan-tahapan ini dipisahkan agar lebih jelas seperti dapat dilihat pada

gambar (Shargel, 1985).

2.3 Spektrofotometri UV-Visible

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan

spektrofotometri UV-Vis terutama untuk senyawa yang semula tidak berwarna

yang akan dianalisis dengan spektrofotometri visibel karena senyawa tersebut

harus diubah terlebih dahulu menjadi senyawa yang berwarna. Berikut adalah

tahapan-tahapan yang harus diperhatikan :

1. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis

Hal ini diperlukan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap pada

daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan merubah menjadi senyawa

lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu. Pereakssi yang digunakan harus

memenuhi persyaratan yaitu :

11

Page 12: JURNAL BIOFAR LICHAN

- reaksinya selektif dan sensitif

- reaksinya cepat, kuantitatif, dan reprodusibel

- hasil reaksi stabil dalam jangka waktu yang lama

2. Waktu operasional (operating time)

Cara ini biasa digunakan untuk pengukuran hasil reaksi atau pembentukan

warna. Tujuannya adalah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Waktu

operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran

dengan absorbansi larutan. Pada saat awal terjadi reaksi, absorbansi senyawa

berwarna ini akan meningkat sampai wakatu tertentu hingga diperoleh absorbansi

yang stabil. Semakin lama waktu pengukuran, maka ada kemungkinan senyawa

yang berwarna tersebut menjadi rusak atau terurai sehingga intensitas warnanya

turun akibatnya absorbansinya juga turun.

3. Pemilihan panjang gelombang

Panjang gelombang ynag digunakan untuk analisis kuantitatif adalah

panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memilih

panjnag gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara

absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi

tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan panjang gelombang

maksimal, yaitu :

- Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena

pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk

setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.

- Di sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar

dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.

12

Page 13: JURNAL BIOFAR LICHAN

- Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh

pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan

panjang gelombang maksimal.

4. Pembuatan kurva baku

Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai

konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi

diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi

dengan konsentrasi. Bila hukum Lambert-beer terpenuhi maka kurva baku berupa

garis lurus. Penyimpangan dari garis lurus biasanya disebabkan oleh kekuatan ion

yang tinggi, perubahan suhu dan reaksi ikutan yang terjadi.

5. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan

Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2

sampai 0,8 atau 15 % sampai 70 % jika dibaca sebagai transmitans. Anjuran ini

berdasarkan anggapan bahwa kesalahan dalam pembacaan T adalah 0,005 atau 0,5

% (kesalahan fotometrik) (Gandjar, 2007).

13

Page 14: JURNAL BIOFAR LICHAN

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 ALAT

- Dissolution Tester

- Spektrofotometer (Shimadzu)

- Gelas ukur 1000 ml

- Labu tentukur 25 ml

- Beaker glass 1000 ml

- Maat pipet 5 ml

- Bola karet

- Spuit 15 ml

- Vial

- Pipet tetes

- Tissue

3.2 BAHAN

- Tablet Sulfadiazin

- Kapsul Sulfadiazin

- Tablet sulfadizin SR

- Tablet Furosemida Generik

- Farsix

- Lasix

- Dapar Phospat pH 7,4

- Cairan lambung buatan pH 1,2

- Aquadest

3.3 PROSEDUR

3.3.1 Uji Disolusi Sulfadiazin

Dipanaskan 900 ml medium cairan lambung pH 1,2 sampai suhu 37

0,5oC. Dimasukkan medium disolusi ke dalam tabung Dissolution Tester. Diatur

14

Page 15: JURNAL BIOFAR LICHAN

putaran 50 rpm. Sediaan sulfadiazin dimasukkan ke dalam tabung disolusi, lalu

dihidupkan alat. Pada interval waktu dipipet cuplikan sebanyak 5 ml dan

dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml. Diencerkan dengan medium disolusi

sampai garis tanda. Setiap pengambilan cuplikan diganti dengan medium disolusi

dalam jumlah yang sama. Larutan diukur serapan dengan alat spektrofotometer

UV pada panjang gelombang maksimum 241,5 nm.

Interval Pengambilan: Kapsul: 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit

Tablet: 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit

Sustained release: 5, 10, 20, 30, 45, 60, 75 menit

3.3.2 Uji Disolusi Furosemid

Dipanaskan 900 ml medium cairan lambung pH 1,2 sampai suhu 37

0,5oC. Dimasukkan medium disolusi ke dalam tabung Dissolution Tester. Diatur

putaran 50 rpm. Sedian furosemid dimasukkan ke dalam tabung disolusi, lalu

dihidupkan alat. Pada interval waktu dipipet cuplikan sebanyak 5 ml dan

dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml. Diencerkan dengan medium disolusi

sampai garis tanda. Setiap pengambilan cuplikan diganti dengan medium disolusi

dalam jumlah yang sama. Larutan diukur serapan dengan alat spektrofotometer

UV pada panjang gelombang maksimum 276,5 nm.

Interval Pengambilan: Lasix : 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit

Farsix : 5, 10, 20, 30, 45, 60, 75 menit

Tablet Generik : 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit

15

Page 16: JURNAL BIOFAR LICHAN

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

Berdasarkan percobaan diperoleh hasil:

Tabel % Kumulatif Sulfadiazin dalam medium cairan lambung buatan pH 1,2

No Waktu Tablet Sulfadiazin Kapsul Sulfadiazin Sulfadiazin SR

1 5 5,106 53,8056 5, 24752 10 7,915 84,19692 6,49523 20 18,79 91,49402 34,11394 30 23,36 103,914 58,97115 45 38,148 100,677 71,28716 60 40,197 102,567 71,88927 75 - - 73,9428

Tabel % Kumulatif Furosemid dalam medium dapar fosfat pH 7,4

No Waktu Furosemid Lasix Farsix1 5 31,07 86,51 41,3432 10 61,24 94,27 58,353 20 99,30 105,8 71,884 30 106,12 102,6 87,785 45 110,58 106,13 101,896 60 110,65 109,45 116,817 75 - - 121,13

4.2 PEMBAHASAN

Dari data percobaan diperoleh bahwa kapsul memiliki persen kumulatif

lebih besar dibandingkan tablet dan sustained release. Hal ini menunjukkan

bahwa kapsul memiliki % kumulatif yang tinggi dibandingkan bentuk sediaan

lainnya. Kenyataan ini dapat terlihat pada menit ke-5, kapsul melepaskan

sulfadiazin sebesar 53,8056 %, sedangkan tablet baru sekitar 5,106% dan sediaan

sustained release 5,2475 %. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan

formulasi dari masing-masing sediaan. Hal ini sangat sesuai karena kapsul

mempunyai % kumulatif yang lebih besar dibandingkan tablet dan sustained

16

Page 17: JURNAL BIOFAR LICHAN

release sehingga laju disolusi kapsul lebih cepat dibandingkan sediaan lainnya.

Hal ini mungkin disebabkan karena sediaan kapsul tersusun dari cangkang gelatin

yang mudah larut dalam medium disolusi, sehingga bahan obat yang terkandung

di dalamnya dapat terlepas lebih cepat dari pada sediaan tablet dan sediaan lepas

lambat (sustained release). Sedangkan pada formulasi tablet terdiri dari bahan-

bahan tambahan seperti bahan pengikat dan bahan pelicin yang dapat

memperlambat laju disolusi dari tablet tersebut. Selain itu tablet juga

diformulasikan dengan cara kempa pada tekanan tertentu. Sedangkan sediaan

lepas lambat terdiri dari matriks polimer yang sudah diatur formulasinya untuk

melepaskan bahan obat secara perlahan-lahan.

Secara umum laju disolusi akan menurun sesuai urutan sebagai berikut:

kapsul, tablet dan tablet salut. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan

pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin dalam proses formulasi akan

menghambat laju disolusi. Cangkang kapsul yang terbuat dari gelatin merupakan

suatu senyawa yang mudah larut dalam air sehingga kapsul dapat mengeluarkan

bahan obat yang diperlukan oleh tubuh (Syukri, Y, 2002).

Suatu bahan tambahan dalam formulasi dapat berinteraksi secara langsung

dengan obat membentuk suatu kompleks yang larut atau tidak larut dalam air

(Shargel, L., 1985).

Pada sustained release dibuat dengan mencampurkan bahan obat ke

dalam pembawa (matriks) yang berbeda viskositasnya dan dirancang supaya

pemakaian unit dosis tunggal melepaskan zat aktif obat secara perlahan-lahan

sehingga laju disolusi dan jumlah obat yang terlarut paling kecil dibandingkan

kapsul dan tablet (Ansel, 1989).

17

Page 18: JURNAL BIOFAR LICHAN

Dari grafik disolusi sediaan Lasix , Farsix dan sediaan Furosemid diatas

menunjukkan bahwa sediaan Furosemid memiliki persen kumulatif yang lebih

kecil daripada sediaan Lasix dan Farsix. Hal ini ditunjukkan pada menit ke-5

untuk furosemid % kumulatifnya 31,07% , Farsix 41,343% dan Lasix 86,51%.

Dengan kata lain sediaan Lasix mempunyai laju disolusi yang lebih besar

dibandingkan dengan Farsix dan Furosemid. Hal ini disebabkan adanya perbedaan

bahan tambahan yang digunakan dalam proses formulasi dan pengolahan sediaan

Lasix, Farsix dan Furosemid.

Suatu bahan tambahan dalam formulasi dapat berinteraksi secara langsung

dengan obat membentuk suatu kompleks yang larut atau tidak larut dalam air.

Sifat-sifat fisika kimia dari obat dan bahan-bahan penambah menetapkan laju

penglepasan obat dari bentuk sediaan dan transpor berikutnya melewati membran-

membran biologis. Dari studi biofarmasetik memberi fakta yang kuat bahwa

metode fabrikasi dan formulasi dengan nyata mempengaruhi bioavailabilitas obat

tersebut (Shargel, L., 1985).

4.3 PERHITUNGAN

Terlampir

18

Page 19: JURNAL BIOFAR LICHAN

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

- Dari uji disolusi yang dilakukan pada sediaan Sulfadiazin, bentuk sediaan

kapsul memiliki laju disolusi yang lebih besar dibandingkan dua bentuk

sediaan lainnya.

- Dari uji disolusi yang dilakukan pada sediaan Furosemid, bentuk sediaan

Lasix memiliki laju disolusi yang lebih besar dibandingkan dua bentuk

sediaan lainnya.

5.2 SARAN

- Untuk percobaan selanjutnya, sebaiknya digunakan bentuk formulasi

tablet yang lain seperti tablet bersalut.

- Untuk percobaan selanjutnya, sebaiknya digunakan jenis obat yang lain

misalnya Asam Mefenamat.

19

Page 20: JURNAL BIOFAR LICHAN

DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M., and Guyot Hermann, A. M. (1993). Farmasetik 2: Biofarmasi. Edisi kedua. Penerjemah: Dr. Widji Soeratri. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. Hal. 13, 108-110, 112, 115-119, 121.

Ansel, H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI Press. Hal.110-111.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia Ed. IV. Jakarta: Ditjen POM. Hal.796.

Gandjar, I.G dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 226-261.

Shargel,L. (1985). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 170-186.

Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika. Yogyakarta: Penerbit UI Press. Hal. 31-34.

Tjay, T.H., dan R., Kirana, (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. Jakarta: Elex Media Komputindo. Halaman 12, 14, 17, 23.

20

Page 21: JURNAL BIOFAR LICHAN

LAMPIRAN

Lampiran 1. Flowsheet

Sulfadiazin

← Dipanaskan sampai suhu 37o + 0,5oC

← Dimasukkan ke dalam tabung disolusi

← Dimasukkan sediaan

← Dihidupkan dengan kecepatan putaran 50

rpm bersamaan dengan stop watch

← Dipipet sebanyak 5 ml pada interval waktu

5, 10, 20, 30, 45, 60 (untuk kapsul dan

tablet) 75 menit (untuk SR)

← Dimasukkan kedalam labu lalu tentukur 25

ml dan diadkan dengan cairan lambung

buatan sampai garis tanda

← Diukur dengan spektrofotometer uv pada

panjang gelombang 241,5 nm (untuk

sulfadiazin)

← Setiap pengambilan ditambahkan media

disolusi dengan jumlah yang sama

21

900 ml medium lambung buatan

Hasil

Page 22: JURNAL BIOFAR LICHAN

Furosemid

← Dipanaskan sampai suhu 37o + 0,5oC

← Dimasukkan ke dalam tabung disolusi

← Dimasukkan sediaan

← Dihidupkan dengan kecepatan putaran 50

rpm bersamaan dengan stop watch

← Dipipet sebanyak 5 ml pada interval waktu

5, 10, 20, 30, 45, 60 (untuk furosemid dan

lasix) 75 menit (untuk Farsix)

← Dimasukkan kedalam labu lalu tentukur 25

ml dan diadkan dengan cairan lambung

buatan sampai garis tanda

← Diukur dengan spektrofotometer uv pada

panjang gelombang 276,5 nm (untuk

furosemid)

← Setiap pengambilan ditambahkan media

disolusi dengan jumlah yang sama

22

900 ml medium lambung buatan

Hasil

Page 23: JURNAL BIOFAR LICHAN

Lampiran 2. Data kalibrasi sulfadiazine dan kalibrasi furosemid

Perhitungan Pers.Regresi Sulfadiazin

N0 X Y XY X2 Y2

1 0,000 0 0 0 0

2 5,00 0,268 25 0,0718 1,34

3 6,00 0,322 36 0,103684 1,932

4 7,00 0,401 49 0,1608 2,807

5 8,00 0,460 64 0,2116 3,68

6 9,00 0,521 81 0,2714 4,689

7 10,00 0,611 100 0,3733 6,11

∑X= 45

X=5,625

∑Y =2,583

ȳ = 0,3228

∑X2=355 ∑Y2=1,1925 ∑XY=20,558

a = ∑ XY−(∑ X . ∑Y ) ∕ n

∑ X2 – (∑ X )2/n

= 20,558−( 45 )(2,583)/7

355−(45)2/7

= 0,05917

b = y-ax

=0,3228-(0,0590).5,625 =-0,01

R¿∑ xy− (∑ x ) (∑ y )

n

√[∑ x2− (∑ x )2

n ] [∑ y2− (∑ y )2

n ]

23

Page 24: JURNAL BIOFAR LICHAN

¿20,558−(45 )(2,583)/7

√[355− (45 )2

7 ][1,1925− (2,583 )2

7] =0,9975

Y=ax+b

Persamaan regresi dari sulfadiazin adalah Y= 0,059x-0,01

Dalam suasana alkali

λ = 240nm (867a), (USP)

- Konsentrasi terendah: A=0,2

A=abc

C=0,2/867 = 2,3068x10-4 mcg/ml

- Konsentrasi tengah: A=0,434

C= 0,434/867 = 0,5 mcg/ml

- Konsentrasi tertinggi: A=0,6

C= 0,6/867 = 6,92x10-4 mcg/ml

Perhitungan Pers.Regresi Furosemid

NO X Y XY X2 Y2

1 0,000 0 0 0 0

2 4,00 0,298 1,192 16 0,088804

3 5,00 0,343 1,715 25 0,117649

4 6,00 0,411 2,466 36 0,168921

5 7,00 0,490 3,43 49 0,2401

6 8,00 0,563 4,504 64 0,316969

7 9,00 0,620 5,58 81 0,3844

8 10,00 0,704 7,04 100 0,495616

24

Page 25: JURNAL BIOFAR LICHAN

∑X= 49 ∑Y =3,429 ∑XY=25,927 ∑X2=371 ∑Y2=1,812459

X = 6,125 Y = 0,428625

a = ∑ XY−(∑ X . ∑Y ) ∕ n

∑ X2 – (∑ X )2/n

= 25,927−(49 ×3,429)/8

371−(49)2/8

= 0,069479

b = y-ax

=0,428625-0,069479(6 125)

=0,003121

r¿

∑ xy−(∑ x )(∑ y)/n

√[∑ x2− (∑ x )2

n ] [∑ y2− (∑ y )2

n]

¿25,927−(49 )(3,429)/8

√[371− (49 )2

8 ][1,8115− (3,4297 )2

8]

= 0,9993

Y=ax+b

Persamaan regresi dari furosemid adalah Y=0,06947x+0,0031

Dalam suasana asam:

λ=274nm (A11=600a)

- Konsentrasi terendah: A=0,2

25

Page 26: JURNAL BIOFAR LICHAN

A=abc

C=0,2/600 = 3,3x10-4 mcg/ml

- Konsentrasi tengah: A=0,434

C=0,434/600 = 7,23x10-4 mcg/ml

- Konsentrasi tertinggi: A=0,6

C=0,6/600 = 0,001mcg/ml

Lampiran 3. Perhitungan disolusi

1. Konsentrasi

Persamaan regresi :

Furosemid

Y = 0.0695 X + 0,0029

Sulfadiazin

Y = 0.0602 X - 0,0180

X = konsentrasi

Y = absorbansi

Contoh :

Furosemid

Pada t = 5 menit, Y = 0,1952

Y = 0.0695 X + 0,0029

0,1952 = 0,0695 X + 0,0029

X = 2,7617

2. Faktor Pengenceran

Fp = (pengenceran dalam labu 25 ml) / jumlah pemipetan aliquot

26

Page 27: JURNAL BIOFAR LICHAN

Fp = 25 / 5

Fp = 5

3. Konsentrasi dalam 1 ml

Contoh : pada t = 5 menit

C = 2,7617 mcg/ml x 5 = 13,8085 mcg/ml

4. Konsentrasi dalam 900 ml

C dalam 900 ml = C dalam 1 ml x 900

Contoh : t = 5 menit

C dalam 900 ml = 13,8085 mcg/ml x 900 = 12427,65 mcg/ml

5. Faktor Penambahan

Faktor penambahan pada t n = C dalam 1 ml pada t ke (n – 1) + C dalam

1ml pada t ke (n-2)

Contoh : pada t = 10 menit

Faktro penambahan = 0 + 69,0425 = 69,0425

6. Furosemid yang Terlepas

Furosemid yang terlepas = C dalam 900 ml + faktor penambahan

Contoh : pada t = 5 menit

Furosemid yang terlepas = 12427,65 mcg/ml + 0 = 12427,65

7. % Kumulatif

27

% kumulatif=[ ]obatyangdilepas /1000 mgdosis /mg

x100 %

=12427 ,65 /100040

x 100 %=31. 07

Page 28: JURNAL BIOFAR LICHAN

Lampiran 3. Tabel %Kumulatif

Tabel 1. Disolusi Tablet Sulfadiazin

No.

Waktu (menit

)A

C (mcg/ml

)

FP

C x FP dalam 1

ml (mcg/ml)

C x FP dalam 900

ml (mcg/ml)

Faktor penamba

han

Sulfadiazin yang

terlepas

% Kumulat

if

1 5 0.0505 1.1347 5 5.6735 5106.5 0 5106.15 5.1062 10 0.0880 1.7577 5 8.7885 7909.65 5.6735 7915.3235 7.9153 20 0.2334 4.1743 5 20.8715 18784.35 14.462 18798.812 18.794 30 0.2942 5.1848 5 25.924 23331.6 35.3365 23366.9369 13.365 45 0.4912 8.4638 5 42.319 38087.1 61.2605 38148.3605 38.1486 60 0.5664 9.7097 5 48.5485 40993.65 103.5795 40197.2295 40.1977 75 - - 5 - - - - -

Tablet 2. Disolusi Kapsul Sulfadiazin

No Waktu (menit) A

C (mcg/ml

)FP

C x FP dalam 1 ml

(mcg/ml)

C x FP dalam 900 ml

(mcg/ml)

Faktor penamb

ahan

Sulfadiazin yang

terlepas

% Kumulati

f

1 5 0.3419 5.9784 10 59.784 53805.6 0 53805.6 53.80562 10 0.5432 9.322 10 93.22 83898 298.92 84196.92 84.196923 20 0.588 10.081 10 100.81 90729 765.02 91494.02 91.494024 30 0.6686 11.405 10 114.05 102645 1269.07 103914.07 103.9145 45 0.6431 10.982 10 109.82 98878 1839.32 100677.32 100.6776 60 0.6521 11.131 10 11.31 100179 2388.42 102567.42 102.5677 75 - - 10 - - - -

28

Page 29: JURNAL BIOFAR LICHAN

Tabel 3. Disolusi SR Sulfadiazin

NoWaktu (menit

)A

C (mcg/ml

)

FP

C x FP dalam 1

ml (mcg/ml

)

C x FP dalam 900

ml (mcg/ml)

Faktor penambaha

n

Sulfadiazin yang

terlepas

% Kumulat

if

1 5 0.0522 1.1661 5 5.8305 5247.45 0 5247.45 5.24752 10 0.0658 1.4369 5 7.1845 6466.05 29.1525 6495.2025 6.49523 20 0.4375 7.5664 5 37.832 34048.8 65.075 34113.875 34.11394 30 0.7675 13.0482 5 65.241 58716.9 254.235 58971.135 58.97115 45 0.9279 15.7126 5 78.563 70706.7 580.44 71287.14 71.28716 60 0.9307 15.7591 5 78.7955 70915.95 973.255 71889.205 71.88927 75 0.9529 16.1279 5 80.6395 72575.55 1367.2325 73942.7829 73.9428

Tabel 4. Disolusi Tablet Furosemida

NoWaktu (menit

)A

C (mcg/ml

)

FP

C x FP dalam 1

ml (mcg/ml

)

C x FP dalam 900

ml (mcg/ml)

Faktor penamb

ahan

Sulfadiazin yang

terlepas

% Kumula

tif

1 5 0.1952 2.7617 5 13.8085 12427.62 0 12427.65 31.072 10 0.3804 5.4286 5 27.143 24428.7 69.0425 24497.74 61.243 20 0.6132 8.7810 5 43.905 39514.5 204.76 39719.26 99.304 30 0.6519 9.3383 5 46.6915 42022.35 424.285 42446.635 106.12

5 45 0.6758 9.6829 5 48.4145 43573.05 657.7425 44230.79 110.58

6 60 0.6725 9.6354 5 48.177 43359.3 899.815 44259.115 110.657 75 - - 5 - - - - -

29

Page 30: JURNAL BIOFAR LICHAN

Tabel 5. Disolusi Tablet Lasix

NoWaktu (menit

)A

C (mcg/ml

)

FP

C x FP dalam 1

ml (mcg/ml)

C x FP dalam 900

ml (mcg/ml)

Faktor penamba

han

Sulfadiazin yang

terlepas

% Kumula

tif

1 5 0.5374 7.689 5 38.448 34604.05 0 34604.06 86.512 10 0.5825 8.339 5 41.6945 37525.086 192.24 37717.3 94.273 20 0.6504 9.316 5 46.580 41922.82 400.7125 42323.533 105.84 30 0.6276 8.988 5 44.94 40446.11 633.613 41079.723 102.65 45 0.6453 9.2434 5 46.213 41592.50 858.313 42450.813 106.136 60 0.6613 9.273 5 47.365 42688.8 1089.378 43778.178 109.457 75 - - - - - - - -

Tabel 6. Disolusi Tablet Farsix

NoWaktu (menit

)A

C (mcg/ml

)

FP

C x FP dalam 1

ml (mcg/m

l)

C x FP dalam 900 ml

(mcg/ml)

Faktor penambaha

n

Sulfadiazin yang terlepas

% Kumula

tif

1 5 0.2456 3.863 5 18.415 16573.5 0 16573.5 4103432 10 0.3428 5.158 5 25.79 23211 92.075 2339.95 58.353 20 0.4207 6.3399 5 31.6995 28529.55 211.025 28750.575 71.884 30 0.5115 7.718 5 38.59 34731 379.5225 35110.5225 87.785 45 0.5914 8.930 5 44.65 40185 572.4425 40757.4425 101.896 60 0.6726 10.206 5 51.03 45927 795.6925 46722.6925 116.817 75 0.6971 10.534 5 52.67 47403 1050.8425 48453.8425 121.13

30