makalah biofar kel 1
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diberbagai
bidang, khususnya farmasi telah menghasilkan perubahan yang signifikan dalam
teknologi sediaan farmasi, khususnya obat-obatan. Berbagai bentuk dan sistem
penghantaran obat telah banyak dikembangkan untuk menggantikan bentuk dan
sistem penghantaran obat yang konvensional (Sutriyo, 2008).
Sistem penghantaran obat dikatakan ideal jika dapat diberikan dengan satu
kali pemberian untuk seluruh periode pengobatan, menghasilkan kadar obat dalam
darah yang relatif konstan selama periode waktu tertentu untuk mendapatkan efek
obat yang optimal dan menghantarkan obat langsung ke sasaran. Sistem
penghantaran obat dengan pelepasan yang dimodifikasi (modified release drug
delivery system) merupakan sistem penghantaran obat yang mendekati ideal.
Namun, obat yang diberikan secara oral, memiliki keterbatasan dalam hal
lamanya obat (residence time) berada dalam saluran pencernaan, khususnya pada
daerah-daerah terjadinya absorbsi. Sistem penghantaran obat mukoadhesif yang
menghasilkan bentuk sediaan berinteraksi lebih lama dengan mukosa yang
terdapat dalam lambung dan usus, merupakan salah satu upaya yang dapat
digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu tinggal obat dalam lambung.
Dengan sistem ini, obat akan ditahan untuk waktu yang lebih lama dalam saluran
pencernaan, sehingga diharapkan proses absorpsinya menjadi lebih optimal.
Selain itu dengan adanya lokalisasi obat pada suatu daerah absorbsi, akan
menyebabkan proses absorbsi obat menjadi lebih efektif. Selain waktu tinggal
obat dalam saluran pencernaan, sifat kelarutan dan permeabilitas obat juga
merupakan factor yang mempengaruhi proses absorbsi (Sutriyo, 2008).
Dalam sistem klasifikasi biofarmasetika (BCS), obat dikelompokkan
menjadi empat kelompok yaitu obat yang memiliki kelarutan dan permeabilitas
yang tinggi, obat yang memiliki kelarutan rendah tetapi permeabilitasnya tinggi,
obat yang memiliki kelarutan yang tinggi tetapi permeabilitasnya rendah dan obat
yang memiliki kelarutan dan permeabilitas yang rendah. Obat yang memiliki
1
kelarutan yang rendah tetapi permeabilitasnya tinggi, proses absorbsinya
ditentukan oleh tahap disolusi/rate limiting step (Sutriyo, 2008).
Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat
terlarut (terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi.
Di dalam banyak kasus, kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk
obat melarut dalam cairan pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting
step) dari proses absorbsi. Hal Ini berlaku untuk obat yang diberikan dalam
bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau suspensi, seperti halnya juga
untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk granul atau
suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, maka kecepatan
disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat
mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol keseluruhan
bioavailabilitas obat dari suatu sediaan.
Sistem klasifikasi biofarmasetik (biopharmaceutical Classification System,
BCS) mengelompokkan obat dalam kelompok yang didasarkan pada: kelarutan,
permeabilitas dan kecepatan disolusi in vitro. Klasifikasi sistem ini dapat
digunakan untuk menjustifikasi persyaratan-persyaratan penelitian in vitro
(sediaan) obat yang melarut secara cepat, mengandung bahan aktif yang sangat
larut dan sangat permeable.
Sistem klasifikasi biofarmasetik diperkenalkan melalui sebuah metode
untuk mengidentifikasi situasi yang mungkin mengikuti uji disolusi in vitro yang
digunakan untuk memastikan bioekivalensi dalam ketidakhadiran studi
bioekivalensi klinik secara nyata. Pada dasarnya pendekatan secara teori
menyatakan, kelarutan dan permeabilitas intestinal diidentifikasi sebagai
karakteristik pengobatan utama yang mengontrol absorpsi. Dalam klasifikasi
biofarmasetik tersebut telah membagi beberapa senyawa menjadi empat kelas
berdasarkan permeabilitas dan kelarutan. Sistem klasifikasi ini berguna dalam
memprediksi efek transporter penghabisan dan serapan pada penyerapan lisan
maupun di tingkat postabsorption sistemik setelah pemberian dosis oral dan
intravena.
2
Tabel 1. Klasifikasi Sistem Biofarmasetik
Kelas Kelarutan Permeabilita
s
Korelasi Pada In Vivo dan In Vitro
1 Tinggi Baik Korelasi pada in vivo dan in vitro jika laju disolusi
adalah rendah dari pada laju pengendapan pada
lambung, jika tidak maka hal tersebut terbatas/tidak
ada korelasi.
2 Rendah Baik Korelasi pada in vivo dan in vitro diharapkan apabila
secara in vitro laju disolusi serupa dengan laju disolusi
pada in vivo, kecuali jika pada dosis yang sangat
tinggi.
3 Tinggi Buruk Penyerapan (permeabilitas) merupakan laju yang
menetukan dan terbatas atau tidaknya korelasi pada in
vivo dan in vitro dengan laju disolusi.
4 Rendah Buruk Terbatas atau tidak adanya korelasi pada in vivo dan in
vitro yang diharapkan.
1. Kelas I - tinggi permeabilitas , tinggi kelarutan
Pada kelas ini menunjukkan sejumlah daya serap yang tinggi dan sejumlah
disolusi yang tinggi. Tingkat ini membatasi mekanisme laju pelepasan obat adalah
pelarutan obat dan jika disolusi sangat pesat maka tingkat penyerapan pada
lambung menjadi tingkat penentuaan langkahnya.
Contoh: Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol.
Mereka senyawa yang dapat diserap dengan baik dan tingkat penyerapan
mereka biasanya ditandai dengan adanya ekskresi yang lebih tinggi.
2. Kelas II - permeabilitas tinggi, kelarutan rendah
Pada kelas ini memiliki sejumlah daya serap yang tinggi tetapi sejumlah
disolusi yang rendah. Dalam disolusi obat in vivo maka langkah rate limiting
untuk penyerapannya, kecuali pada sejumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan
3
untuk obat kelas II biasanya lebih lambat dan terjadi selama periode yang lebih
lama. Korelasi antara in vitro-in vivo biasanya dikecualikan untuk kelas I dan
kelas II obat-obatan, contoh: Glibenklamid Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam
mefenamat, Nifedinpine. Bioavailabilitas produk tersebut dibatasi oleh tingkat
solvasi mereka. Sebuah korelasi antara in vivo bioavailabilitas dan in vitro solvasi
dapat ditemukan.
3. Kelas III - permeabilitas rendah, kelarutan tinggi
Pada kelas ini permeabilitas adalah tingkat membatasi langkah untuk
penyerapan obat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat absorpsi
obat. Sejak terjadinya disolusi yang cepat, maka terjadi variasi berbeda yang
disebabkan adanya perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor
dosis formulir.
Pada kelas obat jenis ini memerlukan teknologi yang mengatasi
keterbatasan fundamental dari permeabilitas absolut atau daerah. Peptida dan
protein merupakan bagian dari kelas III dan teknologi penanganan bahan-bahan
tersebut mulai meningkat, contoh: Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril.
Penyerapan dibatasi oleh laju permeasi tetapi obat ini terlarut sangat cepat.
Jika formulasi tidak mengubah durasi waktu permeabilitas atau gastrointestinal,
kemudian dapat menerapkan kriteria pada kelas I.
4. Kelas IV - permeabilitas rendah, kelarutan rendah
Pada kelas ini menunjukkan banyak masalah untuk pemberian oral secara
efektif. Untungnya, contoh ekstrim dari senyawa kelas IV adalah pengecualian,
bukan aturan dan jarang dikembangkan dan mencapai pasar. Namun demikian
sejumlah obat kelas IV memang ada.
Pada obat kelas ini menyajikan sebuah tantangan besar bagi
pengembangan sistem pengiriman obat dan rute pilihan untuk memberikan obat-
obatan tersebut secara parenteral dengan formulasi yang mengandung peningkat
kelarutan, contoh: Taxol, dan hidroklorotiazid. Mereka senyawa memiliki
4
bioavailabilitas rendah. Biasanya senyawa ini tidak diserap dengan baik selama
berada di mukosa usus dan diharapkan adanya variabilitas yang tinggi.
Dalam kinerja in vivo obat tergantung pada kelarutan dan permeabilitas.
Oleh karena itu, adanya sistem klasifikasi biofarmasi diharapkan dapat menjadi
alat pemandu untuk prediksi kinerja in vivo dari zat obat dan pengembangan
sistem pengiriman obat yang sesuai dengan kinerja yang diharapkan. Pengetahuan
tentang kelas biofarmasi dari bahan obat juga penting untuk suatu penelitian
sehingga mengurangi biaya baik dari segi ekonomi dan waktu.
Ada sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kecepatan
disolusi atau kelarutan dari suatu obat, diantaranya:
1. Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)
2. Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)
3. Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)
4. Pembentukan komplek (Complexation)
5. Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)
6. Dispersi padat (Solid dispersions)
7. Pengeringan semprot (Spray dryng)
8. Hot-melt extrusion
5
KASUS 1Drug Delivery to the Lung: Permeability and Physicochemical
Characteristics of Drugs as the Basis for a Pulmonary Biopharmaceutical Classification System (pBCS)
PENDAHULUAN
Banyak obat saat ini ditujukan langsung ke sistem pernapasan yang terutama
ditujukan untuk mengobati penyakit paru-paru ini. Keuntungan utama dari
pengiriman obat melalui saluran pernapasan adalah pengurangan efek samping
dan onset kerja langsung. Selain itu, inhalasi yang menarik banyak keuntungan
sebagai rute alternatif pemberian obat sistemik. Hal ini dapat dipahami mengingat
besar luas permukaan untuk penyerapan obat, aliran darah tinggi, dan tidak
adanya first metabolisme merupakan karakteristik pertama untuk paru-paru. Hal
ini menyebabkan clearance yang cepat setelah pemberian dan dengan demikian
tingkat penyerapan tinggi dan onset yang cepat. Sistem penghantaran seperti
semprotan hidung atau inhaler telah terbukti berguna. Misalnya, pemberian
intranasal hormon pertumbuhan manusia dimaksudkan untuk pengiriman sistemik
menghasilkan bioavailabilitas 8,11% pada tikus. Selama proses pengembangan
obat untuk sistem sistemik, begitu juga dengan sistem pernapasan diperlukan
pengetahuan mendalam tentang sifat fisikokimia dan biologi. Kelarutan dan
lipofilisitas obat mungkin mempengaruhi perilaku dalam bronkial dan ruang paru-
paru dalam (misalnya mengakibatkan waktu tinggal panjang dalam sistem
pernapasan dibandingkan permeasi cepat di seluruh hambatan sel epitel). Selain
itu, perlu dipertimbangkan bahwa sifat partikel obat aerosol yang dihirup seperti
ukuran, bentuk, kerapatan, higroskopisitas, kecepatan dan tekanan pengiriman,
dan biaya serta keadaan fisiologis saluran pernapasan akan berdampak pada titik
yang tepat pengiriman dalam saluran pernafasan (saluran udara atas dibandingkan
paru-paru dalam). Harmonisasi dari semua faktor ini akan memberikan alat yang
ampuh untuk memprediksi dan mempercepat proses pengembangan obat.
6
BCS
Tahun 1995, Amidon dan kawan-kawan menetapkan dasar BCS dikelompokkan
menjadi 4 tipe berdasarkan kelarutannya dan permeabilitasnya. Tujuannya dalah
untuk memprediksi kemampuan farmakokinetik obat secara in vivo berdasarkan
pengukuran permeabilitas dan kelarutan.
KLASIFIKASI SISTEM BIOFARMASETIK PARU (pBCS)
Terdapat faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi proses penyerapan
obat dan bagaimana mereka dapat diintegrasikan ke dalam pBCS. Faktor-faktor
tersebut dikelompokkan ke dalam faktor biologis, terkait dengan fisiologi organ,
dan faktor formulasi dan fisikokimia tergantung pada sifat obat. Faktor biologis
yang terkait adalah metabolisme, ikatan protein, klirens, efflux transporters, serta
mukus/surfaktan. Sedangkan faktor formulasi diantaranya pengendapan partikel,
sifat fisik aerosol, serta dampak dari kuantitas dan kualitas eksipien pada stabilitas
metabolik. Sifat fisika kimia obat yang harus dipertimbangkan termasuk ukuran
molekul, lipofilisitas (log P), kelarutan, pKa, protein terikat, luas permukaan
kutub, dan beban atau pertukaran ikatan.
Biologi Paru
Perbandingan sifat biologis pada bronkus dan alveoli (Gambar 2) dengan
jelas menunjukkan bahwa masing-masing ruang akan merespon secara berbeda
terhadap pemberian obat, dan penyerapan obat mungkin memiliki pengaruh yang
berbeda. Saluran udara atas dan paru-paru dalam memiliki area penyerapan yang
berbeda (1-2 m2 untuk mengaliri saluran udara dan 140 m2 untuk permukaan
alveolar). Epitel saluran napas ditutupi oleh gel lendir tebal dan kental (mukus)
seperti lapisan (hingga ketebalan 10 μm), berbeda dengan lapisan tipis surfaktan
alveolar (sekitar 0,07 μm nilai rata-rata) ditemukan pada permukaan epitel
alveolar. Hasil ini dalam volume akhir disolusi yang berbeda dalam dua
kompartemen. Adanya lendir atau lapisan surfaktan mungkin tidak hanya
mempengaruhi kelarutan senyawa, tetapi juga proses difusi menuju epitel serta
sebagai interaksi obat dengan permukaan sel dan reseptor. Selain itu, ketebalan
7
selular di kedua jaringan (sampai dengan 58 μm untuk sel bronkial dibandingkan
dengan 0,3 μm perinuklear dari alveolar pneumosit) dan populasi seluler berbeda.
Lendir (mukus) bertanggung jawab untuk pembersihan obat di makrofag
sementara bronkus memiliki peran yang sangat aktif dalam pembersihan di dalam
paru-paru. Metabolisme obat dan interaksi obat-obat juga harus dipertimbangkan
termasuk transporter penghabisan. Misalnya, fungsional P-Glycoprotein (P-gp)
telah terdeteksi di bronki dan sel-sel alveolar manusia tipe I yang sebagian besar
merupakan absorbsi permukaan di dalam paru-paru, sedangkan sel alveolar tipe II
negatif untuk protein ini.
Formulasi Obat / Sifat Fisika kimia
Sistem pemberian obat jelas akan mempengaruhi seluruh proses absorbs:
pengendapan partikel, sifat fisik aerosol, serta dampak dari kuantitas dan kualitas
eksipien pada stabilitas metabolik, dan kelarutan kinetika harus diukur. Sifat fisika
kimia obat yang harus dipertimbangkan termasuk ukuran molekul, lipofilisitas
(log P), kelarutan, pKa, protein terikat, luas permukaan kutub, dan beban atau
pertukaran ikatan. Properti ini pada akhirnya akan mempengaruhi permeabilitas
senyawa melintasi lapisan barier epitel paru-paru.
PEMBENTUKAN pBCS
Beberapa kelas pBCS harus didefinisikan untuk mengklasifikasikan obat
sesuai dengan kemampuan mereka untuk berada di paru-paru atau dapat dialihkan
ke aliran darah. Karena itu, dampak sebenarnya dari faktor-faktor yang disebutkan
di atas dalam penyerapan obat paru harus dibentuk dengan bantuan model
senyawa.
8
Gambar 1. Proposal untuk BCS paru (pBCS)
Gambar 2. Perbandingan dari saluran udara atas dan paru-paru
dalam. Perbedaan ditemukan di daerah penyerapan,
jenis dan tinggi seluler, komposisi lapisan (lendir
vs surfaktan), ketebalan, dan volume total.
Langkah pertama : Penentuan Permeabilitas Obat Paru-Paru
Satu set entitas kimia dipilih untuk melakukan studi permeabilitas obat
dalam jaringan pernafasan (Tab. 1.) Faktor eksperimental permeabilitas ini akan
9
ditentukan dengan bantuan dua sistem in vitro seluler. Sel Calu-3 mewakili model
epitel bronkial dan sel primer alveolar sebagai model dalam paru-paru. Hasil yang
diperoleh akan dievaluasi dan dikorelasi dengan data yang tersedia dari literatur
seperti kelarutan, lipofilisitas, dan model in vivo dari penyerapan paru-paru.
Evaluasi ini akan memberikan ide bagaimana sifat fisikokimia seperti
kelarutan dan permeabilitas mempengaruhi penyerapan obat di paru-paru
dan akan menjadi dasar pBCS. Hal ini harus diperhitungkan bahwa lendir dan
surfaktan dapat mempengaruhi karakteristik kelarutan dari senyawa yang
diberikan. Efek potensial selanjutnya diuji dan dipertimbangkan dalam sistem
klasifikasi. Nilai uji permeabilitas dapat berkorelasi dengan nilai log P yang
diketahui untuk masing-masing senyawa dan memberikan tambahan prediksi alat.
Untuk memeriksa validitas dan kekokohan yang digunakan dalam model
in vitro paru-paru, nilai uji permeabilitas akan dibandingkan dengan data
permeabilitas sistem tes lainnya seperti model gastrointestinal menggunakan sel
Caco-2. Hal ini akan memungkinkan untuk menilai adanya kesamaan atau
ketidaksamaan antara model dan akan memberikan wawasan ke dalam
karakteristik yang unik untuk organ paru-paru ini. Ada bukti jelas bahwa
perbedaan biologi antara paru-paru dan sistem pencernaan mempengaruhi
penyerapan obat.
Langkah selanjutnya : Integrasi dari Faktor Tambahan
Setelah dasar pBCS didirikan sesuai dengan kelarutan dan permeabilitas
nilai parameter tambahan akan diintegrasikan: jalur metabolik aktif dalam paru-
paru yang dapat mempengaruhi farmakologi obat, interaksi obat-obat yang dapat
mempengaruhi jalur-jalur metabolik, transpor aktif yang dapat mempengaruhi
farmakokinetik obat, dan ukuran partikel aerosol, yang bisa menjadi penentu
untuk lokalisasi obat. Perbaikan lebih lanjut dari model selular dapat mencakup
co-budaya untuk memeriksa efek dari makrofag pada metabolisme obat dan
bioavailabilitas di saluran udara distal.
10
Pemilihan bahan kimia untuk penetapan pBCS
Senyawa yang dipilih untuk menetapkan pBCS memiliki berat molekul di
bawah 1000 Da dan penutup, menurut klasifikasi BCS, berbagai permeabilitas dan
kelarutan, serta efek farmakodinamik. Selain itu, mereka adalah kandidat untuk
pengiriman melalui saluran pernapasan: beberapa mereka sudah diberikan melalui
saluran pernapasan, yang lain ditujukan untuk mengobati penyakit paru, namun
saat ini diberikan secara oral. Bahan kimia yang disajikan telah diklasifikasikan ke
dalam enam kategori: steroid, senyawa dengan korelasi in vitro-in vivo, zat aktif
farmasetikal yang kecil, produk konsumen, transporter penghabisan substrat, dan
kontrol kualitas senyawa.
Steroids
Steroid tersedia dalam berbagai macam bentuk formulasi, diantaranya
formulasi inhaler untuk hidung. kortikosteroid inhalasi saat ini dipilih untuk
pengobatan asma persisten. Efisiensi dan keselamatan tergantung pada
farmakokinetik dan aspek phamacodinamik seperti ukuran partikel, sistem
pengiriman, paru-paru tinggal, bioavailabilitas oral, atau mengikat protein. Dalam
pengukuran in vitro secara konsisten menunjukkan perbedaan antara berbagai
kortikosteroid.
Korelasi In Vitro - In Vivo
Pengetahuan tentang sifat fisikokimia kandidat obat tentu akan
mempercepat proses yang mengarah kepada pemilihan akhir digunakan sebagai
11
obat. Langkah terakhir dari proses perkembangan ini, studi hewan harus dilakukan
untuk menilai toksisitas, penyerapan, metabolisme, dan clearence dari senyawa.
Untuk senyawa yang dipilih dalam data kelompok yang luas tersedia dalam
percobaan in vivo yang akan memungkinkan untuk membangun korelasi dengan
sifat fisikokimia (data in vitro) dan untuk memeriksa ketahanan dari vitro dalam
model.
API kecil
API (bahan aktif farmasi) adalah bahan kimia aktif yang digunakan dalam
pembuatan obat. Bahan dengan berat molekul kurang dari 1000 Da dan
keragaman aplikasi farmasi dipertimbangkan. Semua API disebutkan di sini
memiliki potensi untuk digunakan sebagai obat hirup, baik untuk penyakit
pernapasan atau karena saluran pernafasan bagian atas, misalnya sistem saraf
pusat.
Konsumen - Terkait Gaya Hidup
Kehidupan seseorang sehari-hari melakukan kontak dengan produk biasa
atau umum, hal ini lah yang perlu diperhatikan. Beberapa dari produk ini,
bagaimanapun mungkin memiliki efek tak terduga pada penggunaan secara
bersamaan dengan obat, seperti berkurangnya penyerapan obat atau efektifitas
obat tersebut meningkat, serta mengubah metabolisme. Selain itu, beberapa
produk memiliki potensi untuk menjadi obat inhalasi.
Penghabisan Substrat
Protein transporter seperti P-gp (juga disebut MDR), Breast Cancer
Resistance Protein (BCRP), Multidrug Resistance Protein t (MRP), dan Lung
Resistance Protein (LRP) bertanggung jawab atas transportasi penghabisan
banyak obat. Hal ini menyebabkan nilai penyerapan dan bioavailabilitas lebih
rendah dari yang diharapkan. Bahkan, kehadiran protein ini umumnya merupakan
indikator hasil pengobatan yang buruk dan prognosis rendah, misalnya pada
12
pasien kanker. Hal ini penting, untuk mengkarakterisasi obat dalam hal
transportasi dan untuk menghitung dosis secara benar serta menjamin efektivitas
farmakologis yang benar. Inhibitor dari transporter ini adalah alat yang berguna
untuk aktivitas penelitian. Senyawa diklasifikasikan dalam kelompok ini dikenal
target protein.
Quality Control Produk
Ketika membangun suatu model obat secara in vitro selular, studi
permeabilitas, diharapkan meniru sebagus mungkin dalam situasi vivo. Hal ini
untuk membedakan senyawa menurut permeabilitas mereka (rendah / tinggi) dan
ekspresi dari efflux transporter yang hadir dalam in vivo. Senyawa dalam
kelompok ini dapat digunakan sebagai penanda untuk sifat dan kualitas produk
sebagai kontrol yang membantu menentukan kesesuaian dari epitel model in vitro.
PENENTUAN MODEL SELULER UNTUK PERMEABILITAS OBAT
Berbagai kemungkinan ada untuk menilai penyerapan obat di paru.
Meskipun dalam tes in vivo saat ini banyak digunakan, ketersediaan model seluler
yang mereproduksi sistem paru merupakan perhatian utama bagi para peneliti.
13
Tabel 1. Daftar Senyawa Dipilih dan Sifat fisiko
a Experimental log P / hydrophobicity.bExperimental solubility in water.c Source of entries marked with (*): www.tsrlinc.com/services/bcs/search.cfmdType of delivery to the lung (if available).e Current clinical applications.
N.A.: Not availableI: Inhaled S: SprayC: Candidate for pulmonary deliveryT: Toxic effects in the lungCan: CancerCard: Cardiovascular diseases
CNS: Central Nervous System diseasesDD: Drug Delivery enhancerInf: Inflammatory diseasesResp: Respiratory diseasesHorm: Hormone therapy M: Marker
14
15
Compound Model system -6Apparent permeability (10 cm/s)
Hydrocortisone Reconstructed human cornea 5.41 0.4 (ab)
Testosterone
Pig nasal mucosa – liquid mucosal interface
Pig nasal mucosa – air mucosal interface
32.24 31.12 (ab)
9.82 11.41 (ab)
HT29-18-C1 intestinal cells
mucus secreting HT29-MTX
4.8 (ab)
3 (ab)
Caco-2 4.8 (ab)
TR146 (human buccal epithelium) 24.1 0.4 (ab)
Dexamethasone
Primary tracheal epithelial cells – Air-interfaced culture
Primary tracheal epithelial cells – Liquid-covered culture
9.8 0.4 (ab)
8.7 0.3 (ab)
Rabbit cornea 24.2 1.03 (ab)
Rabbit conjunctival epithelial cells 4.1 0.1 (ab)
6.6 0.3 (ba)
Caco-2 11.4 0.9 (ab)
Budesonide
pAEpCs 2.65 0.49 (ab)*
2.80 0.2 (ba)*
Caco-2 10.7 2.6 (ab)
8.7 3.9 (ba)
Calu-3 5.33 0.95 (ab)
4.11 0.19 (ba)
Human nasal cells 17.1 1.9 (ab)
Betamethasone N.A. N.A.
CromolynCaco-2 0.1 0.03 (ab)
0.1 0.02 (ba)
FormoterolCaco-2 1.9 1.4 (ab)
2.1 1.5 (ba)
ImipramineCaco-2 10.8 (ab)
12.1 (ba)
LosartanCaco-2 1.0 0.4 (ab)
3.7 0.3 (ba)
TerbutalineCaco-2
0.78 0.41 (ab)
0.8 0.5 (ab)
0.4 0.25 (ba)
1.1 0.5 (ba)
Salbutamol N.A. N.A.
Zopiclone N.A. N.A.
Zaleplon N.A. N.A.
Zolpidem N.A. N.A.
Leflunomide N.A. N.A.
Oxymetazoline N.A. N.A.
Tabel 2. Permeabilitas Nilai dari Senyawa Terpilih di Model Seluler
Compound Model system -6Apparent permeability (10 cm/s)
NicotineTR146 (human buccal epithelium) 65.4 5.2 (ab)
Porcine buccal mucosa 0.0154 0.012 (ab)
Menthol N.A. N.A.
Mannitol
Pig nasal mucosa – liquid mucosal interface
Pig nasal mucosa – air mucosal interface
3.12 1.72 (ab)
2.26 1.42 (ab)
Calu-30.27 0.02 (ab)*
0.27 0.08 (ba)*
Rabbit cornea 8.99 1.43 (ab)
Rabbit sclera 6.18 1.08 (ab)
Caco-2
0.82 0.09 (ab)
0.54 0.21 (ab)
0.64 0.04 (ab)
0.2 0.3 (ab)
0.5
Rabbit conjunctival epithelial cells 0.1 (ab)
0.09 (ba)
Primary tracheal epithelial cells – Air-interfaced culture
Primary tracheal epithelial cells – Liquid-covered culture
0.12 0.03 (ab)
0.28 0.06 (ab)
Rabbit alveolar epithelial primary cells 0.101 0.003 (ab)
TR146 (human buccal epithelium) 3 1.2 (ab)
MDCK 2.41 0.06 (ab)
Caffeine Porcine buccal mucosa 18.9 3.1
Methotrexate N.A. N.A.
Vinblastine
Rat alveolar epithelial cells 1.77 (ab)
5.71 (ba)
Caco-2 5.4 (ab)
16.28 (ba)
MDCK 1.5 (ab)
Topotecan N.A. N.A.
Sulfasalazine N.A. N.A.
Digoxin
pAEpCs 1.91 0.27 (ab)*
2.12 0.25 (ba)*
Calu-30.42 0.07 (ab)*
2.07 0.11 (ba)*
Rhodamine123
pAEpCs0.77 0.27 (ab)*
0.89 0.19 (ba)*
Calu-30.49 0.24 (ab)*
3.01 0.71 (ba)*
hAEpCs1.41 0.78 (ab)
4.35 2.15 (ba)
16
Normal human bronchial epithelial cells2.82 0.81 (ab)
8.31 2.15 (ba)
Caco-20.116 0.019 (ab)
1.42 0.16 (ba)
10.4 1.5 (ba)
Compound Model system -6Apparent permeability (10 cm/s)
Fluorescein
Calu-3 0.18 0.03 (ab)*
2.19 0.20 (ba)*
pAEpC 0.37 0.17 (ab)*
HT29-18-C1 intestinal cells 0.8 (ab)
Calu-3 (LCC conditions)
Calu-3 (AIC conditions)
1.48 0.19 (ab)
3.36 0.47 (ab)
hAEpC0.121 0.019 (ab)
0.104 0.016 (ba)
Propranolol
Calu-3 20.27 4.75 (ab)*
15.26 2.40 (ba)*
pAEpC 26.61 7.93 (ab)*
Caco-2
7.4 2.5 (ab)
14.5 (ab)
13.5 0.34 (ab)
41.91 4.31 (ab)
43.03 3.64 (ab)
29.4 2 (ab)
23 (ab)
41.91 4.31 (ab)
Primary tracheal epithelial cells – Air-interfaced culture
Primary tracheal epithelial cells – Liquid-covered culture
31.7 8 (ab)
23.8 3 (ab)
Atenolol
Caco-2
0.422 (ab)
0.203 0.004 (ab)
0.2 0.01 (ab)
0.8 0.3 (ab)
0.203 0.004 (ab)
0.47 (ab)
HT29-18C 4.2 (ab)
TalinololCaco-2 0.3 0.01 (ab)
1.2 0.1 (ba)
pAEpC 18.04 0.3 (ab)*
17
Metoprolol
Caco-210.9 3.7 (ab)
7.3 3.2 (ba)
26.95 0.71 (ab)
16HBE14o- 25.2 (ab)
ab: apical to basolateral transport direction.ba: basolateral to apical transport directionN.A.: Not available*: own dataTabel 3 Metabolisme dari Senyawa Terpilih
Compound Localization Enzyme Metabolite Comments
Hydrocortisone
(cortisol)
Target cell11 -hydroxysteroid
dehydrogenase (11HSD)
Cortisol
Cortisone
Interconversion cortisol-
cortisone
Liver
Adipose tissue
11HSD1 Cortisol
Corticoid regeneration
Glucocorticoid receptor acti-
vation amplification
11HSD1 inhibited by the
growth hormone-insuline-likegrowth factor 1 axis
Kidney 11HSD2 Cortisone (inert) Cortisol inactivation
Liver5- reductase
5- reductase
Tetrahydrocortisol
Tetrahydrocortisone-
Liver CYP3A4 6 -hydroxycortisol -
Testosterone
Liver
Testis
Prostate
5- reductase 5- dihydrotestosterone (active)Androgen receptor
Hormonal signal
amplification
Muscle
Fat tissueAromatase Estradiol
Activity on estrogen
receptor
Dexamethasone Liver 11HSD System11-dehydro-dexamethasone
(active)-
BudesonideLung Esterase Budesonide-oleate (active)
Prolonged anti-inflammatory
activity
Improved airway selectivity
and efficacy
Liver CYP3A4 6-hydroxybudesonide (inactive) -
Betamethasone Liver CYP3A46- -hydroxybetamethasone
11-ketobetamethasone-
Cromolyn - - Not identified -
Formoterol Liver
CYP2D6
CYP2C19
CYP2C9
CYP2A6
O-demethylated formoterol
(inactive glucuronide conjugate)
Deformlyated formoterol
(inactive sulphate conjugate)
-
18
Imipramine
Liver
CYP2C19
CYP1A2
CYP3A4
CYP2D6
CYPD2D18
Nortriptyline (active)
N-desmethylclomipramine
(active)
Desipramine (active)
Contribution to general phar-
macological effects
Serotonin transporter inhibi-
tion
Norepinephrine reuptake
inhibition
Liver Uridine-5’-diphosphoglucuronosyltransferase
1A4Imipramine N(+)-glucuronide -
Brain Flavin-containing monooxygenase Imipramine N-oxide Locally modulate pharmacol-
ogical/toxic effects
Losartan Liver
CYP3A4
CYP2C10
CYP2C9
EXP3174 (active)Increased potency as
antihypertensive
Increased duration of action
EXP3179No antihypertensive
properties
Anti-inflammatory agent
Compound Localization Enzyme Metabolite Comments
Terbutaline Intestine Terbutaline sulphotransferase Sulphate conjugate -
Salbutamol Intestine Sulphotransferase 1A3 Sulphate conjugate (inactive)Extensive metabolism leads
low bioavailability
Zopiclone LiverCYP3A4
CYP2C8 (in vitro)
N-oxidezopiclone (low activity)
N-desmethylzopiclone (inactive)-
Zaleplon LiverAldehyde oxidase
CYP3A
5-oxo-zaleplon (inactive)
N-desethyl-5-oxo-zaleplon
(inactive)
-
Zolpidem Liver CYP3A4 Inactive metabolites -
LeflunomideIntestine
Liver
CYP1A2
CYP2C19A771726 (active)
Rapid metabolism
Metabolite responsible for
the drug’s activity in vivo
OxymetazolineLiver
Nose
-
Hydroxilated metabolites
Glucuronidated metabolites
Glutathione conjugates
Imidazole conjugates
-
Nicotine Liver
CYP2A6
CYP2B6
UDP-glucuronosyltransferase 2B10
Nicotine-N-glucuronide
Cotinine
Cotinine-N-glucuronide
Trans-3’-hydroxycotinine
Trans-3’-hydroxycotinine-O-
glucuronide
-
Menthol LiverUDP-glucuronosyltransferase
P450 monooxygenase system
Menthol-glucuronide
Mono-, di-hydroxylated mentholRapid metabolism
Mannitol Liver P450 monooxiygenase system - -
19
Caffeine LiverCYP1A2
CYP2E1
More than 25 derivatives, some of
which with pharmacological proper-
ties
Interindividual variability
to environmental and genetic
factors
Methotrexate Liver Aldehyde oxidase 7-hydroxy-methotrexate -
Vinblastine
Liver CYP3A4 O4-deacetylvinblastine -
Serum Copper oxidase (ceruloplasmin)Inactive metabolites
e.g. Catharinine
Catharinine also obtained
the presence of hydrogen
peroxide through Peroxidase
Topotecan LiverN-demethylase
UDP-glucuronosyltransferase
N-desmethyl topotecan
Topotecan-O-glucuronide
N-desmethyl topotecan-O-
glucuronide
Low extent of metabolism
Sulfasalazine Intestine Bacterial azo-reductasesSulfapyridine
Aminosalicylate
Lower activity than parent
compound
Digoxin Liver CYP3A4
Digoxigenin bis-digitoxoside
Digoxigenin mono-digitoxoside
Digoxigenin
Minor pathway of
metabolism
Compound Localization Enzyme Metabolite Comments
Kidney - Dihydrodigoxin (inactive)Drug is mainly renally elimi-
nated
Rhodamine123 - - - Low metabolism
Fluorescein Liver UDP-glucuronosyltransferase Fluorescein glucuronideRapid metabolism
Fluorescent like parent com-
pound
Propranolol Liver
CYP2D6 (mainly)
CYP1A2
CYP2D
4-hydroxypropranolol
(Main metabolite, active)
5-hydroxypropranolol
N-desisopropylpropranolol
7-hydroxypropranolol (traces)
Extensive metabolism
Atenolol - - - Low metabolism
Talinolol Liver CYP3A4 4-trans hydrosytalinolol High metabolism
Metoprolol Liver CYP2D6
Alpha-hydroxymetoprolol
O-demethylmetoprolol
4-(2-hydroxy-3-
isopropylaminopropoxy)-phenylacetic
acid
Deaminated metoprolol
-
Oleh karena itu, kami telah memfokuskan perhatian kita di dalam
model in vitro pada paru sebagai dasar untuk penentuan permeabilitas senyawa
yang dijelaskan di atas. Ada banyak model in vitro dalam hambatan epitel dari
20
saluran pernapasan atas dan bawah yang tersedia. Tabel 4 menunjukkan beberapa
petunjuk. Ini bukan tujuan dari artikel ini untuk melakukan tinjauan ekstensif dari
masing-masing dari hal tersebut, informasi lebih lanjut dapat ditemukan dalam
literatur. Di bawah ini, kami jelaskan secara singkat dua model yang telah dipilih
untuk melakukan tes permeabilitas untuk pembentukan pBCS. Keduanya baik
dalam meniru situasi in vivo dalam hal fenotipe sel dan menampilkan ciri khas
dari suatu penghalang epitel, seperti ditemukan di berbagai bagian dari sistem
pernapasan.
21
Tabel 4 Model Seluler untuk Sistem Pernafasan
Calu-3
Garis sel sub bronkial manusia berasal dari pria adenokarsinoma kaukasia
berusia 25 tahun sebagai model jalan napas atas (bronkus). Setelah skrining untuk
sekresi saluran napas protein dan mRNA, ditemukan hanya 12 baris sel berasal
dari kanker paru-paru manusia dengan mRNA dan karakteristik protein epitel asli.
Morfologi sel epitel, monolayer terpolarisasi patuh pertumbuhan, dan
persimpangan ketat di bawah cairan yang tertutup kondisi. Selain itu, mereka
mengeluarkan lendir jika dibudidaya di bawah kondisi airinterfaced. Mereka
mengungkapkan sejumlah besar protein penghabisan yang mungkin akan
memiliki dampak yang tinggi pada penyerapan obat seperti P-gp, MRP1 2, 3 dan
5, Novel Organik Kation Transporter dan juga LRP, Transporter Peptida 1, dan
Cystic Fibrosis transmembran Konduktansi Regulator. Itu Kehadiran kedua telah
mempromosikan penggunaan Calu-3 sel sebagai model untuk cystic fibrosis.
Keketatan dari monolayers dimediasi oleh persimpangan ketat interseluler, seperti
22
N a m e S p ec ie s O rig in R e g io n C h a r a c ter is t ic s
NHBE Human Primary cells Bronchi Mucus production Functional tight junctions Confluent layers
RPMI 2650 Human Anaplastic squamous cell carcino
ma Nasal Expression of tight junctions
Features of nasal epithelium
Calu-3 Human Bronchial adenocarcinoma Bronchi Expression of tight junctions Metabolic capacity Mucus production under AIC
16HBE14o- Human Transformed bronchial epithelial
cells Bronchi Basal cell morphology
Tight junctions. microvilli. cilia
Alveolar epithelial ce
lls Rat Primary cells Alveoli Type II to type I transdifferentiation
Tight epithelial barrier
Alveolar epithelial ce
lls Human Primary cells Alveoli Type II to type I transdifferentiation
Tight epithelial barrier
Alveolar epithelial ce
lls Pig Primary cells Alveoli Type II to type I transdifferentiation
Tight epithelial barrier
yang ditunjukkan oleh pewarnaan dari protein-1 ZO, komponen karakteristik
struktur ini. Sel membangun desmosom dan penganut zonulae (Struktur sel
adheren), yang dideteksi oleh konstituen protein desmoplakin dan Ecadherin.
Kemampuan ini lini sel untuk membentuk persimpangan ketat dan
monolayers terpolarisasi sangat penting untuk menggunakan mereka sebagai in
vitro penyerapan model obat. Memang, sel-sel ini mampu membedakan senyawa
permeabilitas jelas berbeda (Papp), seperti ditunjukkan pada Gambar. (3)
(Pappvalues molekul penanda yang ditampilkan). P-gp aktivitas ditunjukkan
dengan bantuan P-gp substrat.
Porcine alveolar Primer Sel epitel
Sementara jalur sel ada beberapa yang mereproduksi fenotip ditemukan
pada saluran pernapasan bagian atas, hal ini tidak terjadi untuk paru-paru yang
mendalam. Sel garis seperti A549 sel yang sering digunakan sebagai model
alveloar manusia dalam uji toksisitas gagal untuk menciptakan monolayer ketat
dan dengan demikian tidak cocok untuk permeabilitas penelitian. Oleh karena itu,
sel primer sering digunakan dalam mengangkut model untuk studi permeabilitas
obat. Data telah diperoleh terutama dengan sel manusia atau tikus. Untuk
mengatasi masalah etika dalam kasus pertama dan hasil yang rendah dalam kasus
kedua, kami telah mengembangkan model baru yang didasarkan pada sel babi.
Babi mirip manusia dalam anatomi dan fisiologi serta histologis dan biokimia
aspek. Sel paru-paru babi primer telah sebelumnya digunakan untuk studi
penyakit saluran napas inflamasi, sifat dari persiapan surfaktan paru-paru, atau
Actinobacillus pleuropneumoniae patogenesis. Dalam Model kami, sel dapat
membentuk penghalang epitel ketat dan menunjukkan campuran tipe I dan tipe II
fenotipe sel alveolar. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar. (4), mereka mampu
membedakan permeabilitas senyawa yang berbeda di dalam studi transportasi,
tetapi tidak menunjukkan aktivitas P-gp. Pengamatan ini didukung oleh penelitian
lain yang menunjukkan keberadaan dan fungsi P-gp di epitel bronkial dan dalam
sel alveolar tipe I, tetapi tidak dalam sel alveolar tipe II . Tercatat bahwa peran P-
gp di paru-paru masih merupakan bahan diskusi penting dalam komunitas ilmiah.
23
Masalah lain yang kontroversial adalah bagaimana untuk membakukan
selular model utama. Model ini bisa sangat bervariasi, misalnya karena mulai
material yang berasal dari individu yang berbeda. Meskipun ini merupakan
masalah yang melekat model seperti itu, perlu dicatat bahwa model yang
disarankan dalam ulasan ini telah menunjukkan tingkat reproduktifitas tinggi
mengingat proses isolasi serta dalam studi permeabilitas seperti yang ditunjukkan
pada Gambar. (4).
KESIMPULAN
Studi permeabilitas yang dilakukan di atas dijelaskan dalam sistem in vitro
selular dan dengan daftar senyawa tercantum dalam ulasan ini tentu akan
memberikan data berharga untuk prediksi lebih lanjut dari calon obat. Mengingat
kelarutan, metabolisme dan data transportasi penghabisan, hasil ini harus menjadi
dasar untuk Sistem Klasifikasi biofarmasetika yang diusulkan untuk penggunaan
pada paru-paru. Tentu saja, komplementasi lanjut dengan ketergantungan dosis
dan data linieritas, dan perbandingan dengan dalam hasil in vivo akan
meningkatkan pengetahuan kita tentang proses penyerapan obat di paru-paru,
yang, tanpa diragukan lagi, rute pemberian obat harus dipertimbangkan.
Gambar. (3). Permeabilitas nyata nilai senyawa penanda di Calu-3 monolayers sel. Manitol (Man), penanda permeabilitas rendah, Propranolol (Pro), permeabilitas penanda tinggi, Rhodamin 123 (Rho), P-gp penanda kegiatan; ab = apikal ke arah transportasi basolateral, ba = basolateral ke arah transportasi apikal. Data yang ditampilkan adalah nilai rata-rata ± SD (n = 3).
24
Gambar. (4). Nilai permeabilitas jelas senyawa penanda di monolayers pAEpC. Fluorescein (Flu), penanda permeabilitas rendah, Pro-pranolol (Pro), permeabilitas penanda tinggi, Rhodamin 123 (Rho), P-gp penanda kegiatan; ab = apikal ke arah transportasi basolateral, ba = basolateral ke arah transportasi apikal. Data yang ditampilkan adalah nilai rata-rata ± SD (n = 3).
25
KASUS 2Penelusuran Kelarutan Naproxen dan Peningkatan Permeabilitas pada Gel
Poly (Vinyl Alkohol) untuk Pemakaian Topikal
Senthil Rajan Dharmalingam, CT. Kumarappan, Michele Yong Woon Hui,
Gan Chin Bao, Kuan You Ming and Lee Mun Fai
Abstrak-Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh teknik nano-suspensi dan teknik penambahan siklodekstrin terhadap karakterisasi kelarutan dan difusi in vitro Naproxen pada gel Poly (Vinyl Alkohol). Diketahui bahwa kombinasi dari kedua teknik tersebut direkomendasikan untuk dikerjakan di massa yang akan datang untuk mendapatkan peningkatan kelarutan yang baik, aktivitas antitryptic, dan permeabilitas Naproxen.
Kata kunci-Naproxen, Kelarutan, Permeabilitas, Gel Poly (Vinyl Alkohol), A.
FE-SEM.
I. PENDAHULUAN
Naproxen adalah non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID), dengan sifat
analgesik, antipiretik dan antiinflamasi untuk berbagai gangguan muskuloskeletal.
Biasanya diberikan secara oral tetapi memberikan banyak efek samping yang
tidak diinginkan, terutama masalah gastrointestinal, hal ini dapat dihindari melalui
rute dermal. Namun, masalah utama dari rute dermal adalah rendahnya kelarutan
air dari Naproxen, yang menyebabkan berkurangnya penetrasi obat di kulit. Jadi
dalam penelitian ini, teknik nano-suspensi dan teknik penambahan siklodekstrin
dapat digunakan untuk mengatasi masalah kelarutan dan permeabilitas dari
naproxen. (dengan "Float over text" tidak terkedali).
II. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengevaluasi pengaruh teknik nano-suspensi dan teknik penambahan
siklodekstrin terhadap kelarutan dan karakteristik difusi in vitro Naproxen pada
gel Poly (Vinyl Alkohol).
26
III. BAHAN
Gel Naprosyn® USP, serbuk naproxen, β-siklodekstrin (β-CD), polisorbat 80,
metanol, etil asetat, natrium klorida, dinatrium hidrogen fosfat, serbuk Poly (Vinyl
Alkohol), trietanolamina, membran selulosa nitrat , isopropil.
IV. METODE
A. Persiapan nanosuspensi
Naproxen dilarutkan dalam etil asetat (pelarut organik dengan titik didih
77oC). Surfaktan penstabil, polisorbat 80, ditambahkan ke dalam air suling dan
larutan dipanaskan sampai 80-85oC. Naproxen dalam etil asetat ditambahkan
air suling melalui jarum suntik dan campuran diaduk terus menerus secara
magnetis. Etil asetat dibiarkan menguap dan nanosuspensi terbentuk.
B. Persiapan kompleks inklusi
Kompleks inklusi β-CD Naproxen dipersiapkan dalam
rasio molar 2:1 (β-CD: Naproxen) dengan teknik meremas.
β-CD ditempatkan pada mortar dan dibasahi dengan beberapa tetes
campuran metanol-air 1:1 dan dicampurkan dengan naproxen oleh
pencampuran geometri untuk mendapatkan massa dengan konsistensi seperti
pasta. Campuran dibiarkan kering dan terbentuk kompleks inklusi.
C. Pemeriksaan ukuran partikel untuk nanosuspensi
Pemeriksaan dilakukan oleh field emission scanning electron microscope (FE-
SEM).
D. Analisis kandungan obat
Sampel dilarutkan dalam metanol dan campuran
disaring dan diencerkan. Absorbansi diukur dengan menggunakan
spektrofotometer UV-VIS pada 262 nm.
E. Pemeriksaan kelarutan
Sampel yang mengandung setara dengan jumlah Naproxen dilarutkan dalam
air suling. Kemudian, semua sampel ditempatkan dalam shaker selama 30
menit. Selanjutnya, sampel disentrifugasi pada 4000 rpm pada 25oC selama 20
27
menit. Terakhir, absorbansi supernatan diukur dengan spektrofotometer UV-
VIS pada 262 nm.
F. Penentuan aktivitas anti-tryptic
0,06 ml tripsin, 0,94ml dari 25 Mm buffer tris-Cl dan 1 ml
sampel ditambahkan dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 5 menit.
Kemudian, 1 ml dari 0,8% (b/v) kasein ditambahkan dan campuran
diinkubasi selama 20 menit. Selanjutnya, 2ml asam asetat Trichloro
ditambahkan untuk mengakhiri reaksi. Sampel disentrifugasi pada
2000 rpm pada 25°C selama 20 menit. Persentase aktivitas anti-tryptic
dihitung.
G. Penelitian permeasi secara in vitro
Penelitian permeasi secara in vitro dilakukan dengan sel difusi Franz. Suhu
media difusi (air) adalah dipertahankan pada 32oC. Buffer garam fosfat
(pH7.4) digunakan sebagai cairan reseptor. Membran filter nitratselulosa (0.1-
μm diameter pori) direndam dalam isopropil miristat untuk mensimulasikan
stratum korneum lipofilik dan kemudian dipasang di sel difusi. 1g gel
diaplikasikan ke dalam donor kompartemen. Sampel dikumpulkan selama 6
jam dan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV pada 262 nm.
H. Analisis Statistik
Program SPSS digunakan untuk analisis data yang diperoleh. ANOVA satu
jalur digunakan untuk pengujian kelarutan sedangkan ANOVA dua jalur
digunakan untuk pemeriksaan proteolitik dan permeasi secara in vitro.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. FE-SEM pada nanosuspensi
Berdasarkan gambar, ukuran partikel suspensi terlihat pada ukuran
mikrometer dan kristalisasi telah diamati. Pematangan Ostwald mungkin
terjadi selama persiapan yang menyebabkan kristalisasi. Aglomerasi
(pemusatan) partikel obat dapat menyebabkan penambahan ukuran partikel.
Namun, sampel dengan formulasi yang sama diteliti untuk beberapa tes
dan terbukti meningkatkan kelarutan serta permeabilitas Naproxen. Hal ini
28
membuktikan bahwa sampel mengalami reduksi ukuran atau beberapa
modifikasi yang mendukung profil kelarutan dan permeabilitasnya. Beberapa
masalah terjadi selama analisis FE-SEM termasuk konversi sampel dari
bentuk liquid ke bentuk solid yang mengakibatkan kerugian dan berkurangnya
kesegaran sampel untuk analisis waktu hingga dapat membentuk kristalisasi.
Gambar 1. Gambar FE-SEM nanosuspensi
29
B. Analisis kadar obat
Nanosuspensi Naproxen : 95,28%
Penambahan kompleks β-cyclodextrin Naproxen : 90%
C. Uji kelarutan
Berdasarkan Gambar 2, kedua teknik memperlihatkan peningkatan
kelarutan air. Teknik siklodekstrin lebih baik dibandingkan dengan teknik
nanosuspensi dan penambahan kompleks β-cyclodextrin (1:2) menunjukkan
kelarutan air, yang kira-kira 10 kali lebih baik dari pada Naproxen saja.
Molekul siklodekstrin dapat menghasilkan permukaan luar yang hidrofilik dan
rongga dalam yang non polar atau lipofilik. Oleh karena itu, ketika obat
berinteraksi dengan molekul siklodekstrin, obat akan terjerap di dalam rongga
siklodekstrin untuk membentuk kompleks stabil, dengan demikian dapat
menambah kelarutan dari obat yang kurang larut dalam air. Teknik
nanosuspensi mengurangi ukuran partikel jadi dapat meningkatkan kelarutan
air.
Gambar 2. Perbandingan kelarutan dalam air pada sampel yang berbeda
D. Studi Aktivitas Anti-tryptic
Studi Aktivitas Anti-tryptic didasarkan pada reaksi enzim antara tripsin
(enzim) dan kasein (protein). Tripsin merusak kasein dan menyebabkan reaksi
30
enzim yang mengakibatkan inflamasi dan nyeri. Naproxen mempunyai
aktivitas anti-tryptic maka dapat memberikan efek antiimflamasi.
Berdasarkan Gambar 3, nanosuspensi memperlihatkan aktivitas anti-
tryptic tertinggi, mengindikasikan efek antiinflamasi terkuat. Hal ini mungkin
karena ukuran partikel berkurang pada nanosuspensi yang meningkatkan luas
permukaan Naproxen, yang mengarah ke aktivitas antitryptic yang lebih baik
karena ada interaksi yang lebih besar antara Naproxen dan tripsin.
Penambahan kompleks menunjukkan aktivitas anti-tryptic terendah, hal ini
mungkin karena Naproxen terjerap di dalam rongga siklodekstrin yang
membuat menjadi tidak dapat berinteraksi dengan tripsin.
Gambar 3. Aktivitas anti-tryptic dari formula Naproxen yang berbeda
E. Studi penyerapan in vitro
Berdasarkan Gambar 4, gel nanosuspensi menunjukkan permeabilitas
tertinggi, yaitu 4 kali lebih tinggi daripada penambahan kompleks yang
permeabilitasnya lenih rendah daripada naproxen saja karena pembentukan
31
kompleks memiliki ukuran yang lebih besar dan naproxen terjerap pada
rongga maka mengurangi permeabilitasnya terhadap membran.
Gambar 4. Perbandingan permeabilitas dari formula gel yang berbeda
VI. KESIMPULAN
Teknik nanosuspensi secara signifikan memperbaiki kelarutan, aktivitas anti-
tryptic, dan permeabilitas Naproxen. Inklusi siklodextrin hanya baik pada
peningkatan kelarutan Naproxen tapi menunjukkan perbedaan yang non-
signifikan pada aktivitas anti-tryptic, dan permeabilitas Naproxen. Pada kelarutan,
efek kompleks inklusi siklodekstrin lebih baik dibandingkan dengan
nanosuspensi. Kombinasi dari kedua teknik tersebut direkomendasikan untuk
dikerjakan di massa yang akan datang untuk mendapatkan peningkatan kelarutan
yang baik, aktivitas antitryptic, dan permeabilitas Naproxen.
32
Naproxen
Pemerian : putih atau hampir putih, serbuk kristal, tidak berbau.
Kelarutan : praktis tidak larut air, larut dalam alhokol, dan dalam kloroform,
sedikit larut dalam eter.
Penyimpanan : terlindung dari cahaya (Sweetman, 2009)
β-siklodekstrin
Pemerian : putih atau hampir putih, kerbuk amorf atau kristal.
Kelarutan : sedikit larut dalam air. Praktis tidak larut dalam alcohol dan
diklorometan
Penyimpanan : dalam wadah kedap udara (Sweetman, 2009)
Siklodekstrin merupakan oligosakarida siklik terdiri dari molekul-molekul
glukosa, mempunyai kemampuan membentuk kompleks inklusi dengan berbagai
macam molekul. Bentuk molekul siklodekstrin tidak silindris melainkan
berbentuk toroidal dengan bagian dalam senyawa bersifat hidrofob sedangkan
bagian luar bersifat hidrofil.
33
Proses pembentukan kompleks inklusi terutama dipengaruhi oleh sifat
hidrofob senyawa obat (guest) yang berinteraksi dengan bagian dalam rongga
siklodekstrin. Selain itu interaksi juga dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran
senyawa obat. Sifat fisiko kimia senyawa obat dapat berubah karena terbentuk
kompleks inklusi. Kompleks yang terbentuk dapat meningkatkan kelarutan, laju
disolusi, bioavabilitas, dan stabilitas obat. Kompleks inklusi yang terbentuk dalam
larutan dapat dideteksi dengan meningkatnya kelarutan senyawa dan selanjutnya
dapat ditentukan tetapan stabilitas kompleksnya. Kompleks inklusi dalam keadaan
padat dapat dikarakterisasi dengan spektrofotometer inframerah, metode analisis
panas , difraktometer sinar X, dan dengan kromatografi lapisan tipis (Isadiartuti
dan Suwaldi, 2005).
Polivinil alkohol
Digunakan untuk membuat gel yang dapat mengering secara cepat. Film
yang terbentuk sangat kuat dan plastis sehingga memberikan kontak yang baik
antara obat dan kulit.
Sel difusi Franz
Contoh gambar sel difusi Franz
34
Daftar Pustaka
Amidon, GL., Lennernas H, Shah VP, dan Crison JR. 1995. A Theoretical Basis
For A Biopharmaceutic Drug Classification: The Correlation Of In Vitro
Drug Product Dissolution And In Vivo Bioavailability. Pharm. Res. 12:
413-420, PMID 7617530.
Isadiartuti, D. dan Suwaldi. 2005. Pembentukan kompleks inklusi fenobarbital
dengan hidroksipropil-β-siklodekstrin. Majalah Farmasi Indonesia. 16 (1):
28 – 37.
Senthil R. D., CT. Kumarappan, Michele Y. W. H., Gan C. B., Kuan Y. M. and
Lee M. F. 2012. An Investigation on the Naproxen Solubility and
Permeability Enhancement in Poly (Vinyl Alcohol) Gel for Topical
Application. International Conference on Medical and Pharmaceutical
Sciences (ICMPS'2012) June 16-17, 2012, Bangkok. Page 104-107.
Sutriyo. 2008. Pengembangan Sediaan Dengan Pelepasan Dimodifikasi
Mengandung Furosemid Sebagai Model Zat Aktif MenggunakanSistem
Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. V, No. 1, April 2008, 01 –
08.
Sweetman, S.C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36th. London:
Pharmaceutical Press. Hlm 92.
Sweetman, S.C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36th. London:
Pharmaceutical Press. Hlm 2291.
35
BIOFARMASETIKA TERAPAN DAN FARMAKOKLINIK
KELARUTAN DAN PERMEABILITAS
Disusun oleh:
Kelompok 1
Rendra 26011212001
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
JATINANGOR
2012
36