makalah kel 2

31
MAKALAH KEGAWAT DARURATAN MEDIS “ ORAL AND MAXILLOFACIAL MANAGEMENT “ Disusun Oleh : KELOMPOK 2 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

Upload: rhynto-odc

Post on 24-Oct-2015

98 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

gawat darurat medis

TRANSCRIPT

MAKALAH KEGAWAT DARURATAN MEDIS

“ ORAL AND MAXILLOFACIAL MANAGEMENT “

Disusun Oleh :

KELOMPOK 2

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

2013

KELOMPOK 2

KETUA : FIONA WARIZKY (10-052)

SEKRETARIS : SUCI WAHYU SERUNI (10-070)

MODERATOR : ARRY APDIKA SAPUTRA (10-094)

ANGGOTA : MAIDESILVA ELUKHRA (10-050)

MUTIA FEBRIAN (10-054)

MELISYA (10056)

DIAH SULISTIA (10-058)

IRENE SEPTIKA (10-060)

DANU EKO SAPUTRA (10-062)

ADELISYA GRETILADIZNA (10-064)

ANDITA MAULANI (10-066)

RAHMADIANI FADJRIN (10-068)

INDAH RAHAYU (10-072)

WILLYAN SEPTRILIANI (10-082)

MOCHAMAD FAISAL (10-084)

MISRA YENI (10-086)

S. HARDIYANTI (10-088)

VIVIN NOLA SARI (10-090)

ANESTI RESTISIA (10-092)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Illahi Rabbi, atas kehendak dan

ketetapan- Nya telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulisan

makalah yang berjudul ” ORAL AND MAXILLOFACIAL MANAGEMENT “

dapat diselesaikan.

Makalah ini disusun guna melengkapi tugas kuliah KDM pada semester

VII di Universitas Baiturrahmah.

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari, bahwa semua proses

yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan Drg. Edrizal, Sp. Ort. selaku dosen

pembimbing, bantuan, dan dorongan yang telah diberikan berbagai pihak lainnya.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu.

Penulis juga menyadari bahwa makalah ini belum sempurna sebagaimana

mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya, karena itu kritik

dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah semuanya penulis serahkan dan

mudah- mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Padang, Oktober 2013

Penulis

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1

1.2 Tujuan ...................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Trauma Oral dan Maxillofacial................................... 4

2.2 Etiologi Trauma Oral dan Maxillofacial................................... 4

2.3 Klasifikasi Trauma Oral dan Maxillofacial............................... 6

2.3.1 Trauma Jaringan Lunak Wajah........................................ 6

2.3.2 Trauma Jaringan Keras Wajah......................................... 7

2.4 Manifestasi Klinis Trauma Oral dan Maxillofacial.................. 9

2.5 Penatalaksanaan Trauma Oral dan Maxillofacial....................... 10

2.5.1 Informed Consent............................................................. 11

2.5.2 Prosedur Operatis............................................................. 11

2.5.3 Obat-Obatan..................................................................... 14

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Muka merupakan bagian tubuh yang sering mengalami trauma, karena

tidak terlindung oleh organ lain. Trauma muka dapat terjadi akibat kecelakaan lalu

lintas,  kelalaian pekerjaan bangunan, kecerobohan dalam melakukan pekerjaan

rumah tangga, perkelahian dan kecelakaan waktu olahraga. Frekuensi kasus

terbanyak terutama pada anak laki-laki usia remaja.

Trauma muka ini dapat berupa trauma tersendiri atau disertai dengan

trauma organ tubuh lainnya. Hal yang paling sering terjadi adalah adanya

epistaksis, diplopia, hipestesi sampai anestesi dan perdarahan subkonjungtiva.

Setiap trauma muka juga dapat menyebabkan kebocoran LCS atau cairan

serebrospinalis. Sejalan dengan perkembangan dunia teknologi transportasi yang

demikian pesatnya, tampak bahwa angka kejadian trauma pada tubuh manusia

mempunyai kecenderungan untuk terus meningkat. Pembangunan jalan bebas

hambatan, bertambahnya jumlah kendaraan, kurang digunakannya alat-alat

pengamanan pada kendaraan dan kurang disipilinnya pengguna jalan

menyebabkan trauma akibat kecelakaan kendaraan lalu lintas menempati urutan

pertama sebagai penyebab trauma pada manusia.

Data yang dikumpulkan oleh Schutz  mengatakan bahwa 54% dari kasus

trauma fasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Di samping itu kecelakaan

yang dapat menyebabkan trauma fasial adalah kecelakaan kerja, kecelakaan di

rumah, kecelakaan olah raga, perkelahian dan gigitan binatang. Bagian tubuh yang

paling sering terkena trauma akibat suatu kecelakaan lalu lintas adalah kepala,

1

yaitu sekitar 72%. Penanganan secara cepat dan tepat baik terhadap kelainan

fungsi vital yang ditimbulkan maupun terhadap kelainan lokal sangat menentukan

prognosis dari penderita.

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai

jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi,

mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma

akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan

saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap

fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan

kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma

maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta

menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan

terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan

lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma

pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut  terjadi mungkin

disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran

yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi.

Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan

tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah

maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma

maksilofasial oleh dokter umum  hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life

support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai

diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para

2

dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma Life

Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang  mengalami

kegawatdaruratan.

Prinsip-prinsip untuk mengobati patah tulang wajah adalah sama seperti

untuk patah lengan atau kaki. Bagian-bagian dari tulang harus berbaris (dikurangi)

dan ditahan dalam posisi cukup lama untuk memungkinkan mereka waktu untuk

menyembuhkan. Ini mungkin membutuhkan enam minggu atau lebih tergantung

pada usia pasien dan kompleksitas fraktur itu.

1.2 Tujuan

Memahami penanganan dari trauma pada oral dan maxillofacial.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Trauma Oral dan Maxillofacial

Trauma oral dan maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai

wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat

mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan

lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah.

Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang

terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang

maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma

jaringan lunak  antara lain :

1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.

2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.

3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.

4. Cedera kelopak mata.

5. Cedera telinga.

6. Cedera hidung.

2.2 Etiologi Trauma Oral dan Maxillofacial

Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian,

diikuti oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang

adalah tulang yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam

pengaturan masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan

bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan

4

bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama

pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain

dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan

pelecehan anak-anak dan orang tua.

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah

karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat

mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%

kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan

lalu lintas (automobile).

Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :

Penyebab  pada orang dewasa Persentase (%)

Kecelakaan  lalu lintas 40-45

Penganiayaan / berkelahi 10-15

Olahraga 5-10

Jatuh 5

Lain-lain 5-10

5

Penyebab  pada orang anak Persentase (%)

Kecelakaan  lalu lintas 10-15

Penganiayaan / berkelahi 5-10

Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-65

Jatuh 5-10

2.3 Klasifikasi Trauma Oral dan Maxillofacial

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu

trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan

lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada

kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.

2.3.1 Trauma Jaringan Lunak Wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena

trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan

berdasarkan :

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab

a. Ekskoriasi.

b. Luka sayat, luka robek , luka bacok.

6

c. Luka bakar.

d. Luka tembak.

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan.

Dikaitkan dengan unit estetik : menguntungkan atau tidak

menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

2.3.2 Trauma Jaringan Keras Wajah

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang

yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum

dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat

diklasifikasikan berdasarkan :

1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik

a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,

mandibulla, gigi dan alveolus.

b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur

kompleks mandibula.

2. Berdasarkan Tipe fraktur

a. Fraktur simple

Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada

kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.

Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk

greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan

jarang terjadi.

b. Fraktur kompoun

7

Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.

Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan

hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal

ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas

dengan sobekan pada kulit.

c. Fraktur komunisi

Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti

peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil

atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur

kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

d. Fraktur patologis

Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit

tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan

penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

3. Khusus pada Maksila Fraktur

a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)

Fraktur lantai orbita ini sering tidak terdiagnosis. Oleh karena itu perlu

dikenal secara tepat gejala-gejalanya. Umumnya terdapat ekimosis

orbita, konjunngtiva dan sclera. Pada kasus yang hebat dapat terjadi

enoftalmos. Gejala yang juga dapat terjadi adalah terbatasnya

pergerakan bola mata ke arah superior karena terjepitnya m.rektus

inferior atau m. oblikus inferior oleh fragmen-fragmen fraktur pada

lantai orbita atau karena edema jaringan. Juga hipestesia sampai

anesthesia pada daerah-daerah yang dipersarafi oleh n.infraorbitalis.

8

b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III

Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior

rahang atas dan memisahkan proses alveolar dan langit-langit keras

dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas melalui sepertiga bagian

bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding lateralis

memperluas ke tulang palatina dan piring pterygoideus.

Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung

dan memperluas melalui tulang lacrimalis; ke bawah melalui jahitan

zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral melalui rahang atas,

bawah zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus.

Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan

dari semua tulang wajah dari dasar tengkorak dengan fraktur

simultan dari zygoma, rahang, dan tulang hidung. Garis fraktur

meluas melalui tulang ethmoid posterolaterally, orbit, dan jahitan

pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina.

c. Fraktur segmental mandibula

Gejala tersering fraktur mandibula adalah maloklusi. Maloklusi harus

dibedakan dengan keterbatasan pergerakan mandibula akibat proses

pada sendi temporo-mandibular yang umumnya berhubungan dengan

gejala trismus. Daerah yang dapat mengalami fraktur adalah prosesus

alveolaris, simfisis, korpus, ramus, angulus, prosesus koronoid dan

condyle.

2.4 Manifestasi Klinis Trauma Oral dan Maxillofacial

Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :

9

1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama

pada fraktur mandibula.

2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.

3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.

4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.

5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan

lokasi daerah fraktur.

6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran.

7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah

sekitar fraktur.

8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan.

9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi

dibawah nervus alveolaris.

10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,

penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.

2.5 Penatalaksanaan Trauma Oral dan Maaxillofacial

Ada tiga langkah dalam penatalaksanaan trauma oral dan maxillofacial,

yaitu :

1. Manajemen umum

A : airway maintanance.

B : breathing and adequat ventilation.

C : circulation with control hemorraghie.

D : disability neurologic examination.

E : enviroment control.

10

2. Terapi medis umum

a. Pasien yang sadar didudukkan, saliva dan darah dibiarkan mengalir

ke luar.

b. Pasien yang tidak sadar ditidurkan dengan posisi recovery.

c. Beri oksigen dan cairan kristaloid isotonik.

d. Indikasikan tetanus profilaksis dan bahan haemostatic asam

tranexamid (cyclosporin).

2.5.1 Informed Consent

Merupakan pernyataan sepihak pasien atau yang sah mewakilinya yang

isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran atau kedokteran gigi

yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah menerima informasi yang

cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan.

Pada pasien trauma oral dan maxillofacial yang menghadapi keadaan

gawat darurat medis, sedangkan yang sah mewakilinya memberi persetujuan tidak

ditemukan, maka dokter dapat melakukan tindakan kedokteran demi kepentingan

terbaik pasien. Penjelasan dapat diberikan kemudian.

2.5.2 Prosedur Operatif

1. Pada Jaringan Lunak

Hematom yang terjadi di daerah muka umumnya dapat diresorbsi secara

spontan, akan tetapi apabila terdapat hematom yang besar, umumnya perlu

dilakukan suatu tindakan insisi untuk mengeluarkan isi hematom tersebut.

Penjahitan luka pada wajah, umumnya dapat dilakukan sebelum 24 jam

pasca-trauma, kecuali luka-luka yang diakibatkan oleh gigitan binatang misalnya

gigitan anjing. Aproksimasi kedua ujung luka yang baik serta penjahitan luka

11

dengan bahan yang tepat dapat membantu penyembuhan kosmetik secara

memuaskan. Untuk jahitan subkutis umumnya dipakai cat gut 4-0 atau bahan-

bahan sintetik yang dapat diabsorbsi seperti dexon. Sedangkan jahitan kulit

dipakai silk atau nylon 5-0 atau bahan sintetik lainnya.

Apabila kulit yang dijahit sangat tipis misalnya pada kelopak mata,

pembukaan jahitan dapat dilakukan pada hari ke 4 atau ke 5, sedangkan pada

daerah lain di wajah umumnya pengangkatan jahitan dilakukan antara hari ke 4

sampai hari ke 6 pasca tindakan.

2. Pada Jaringan Keras

a. Fraktur Blow Out Orbita

Ada dua alternatif terapi, pertama adalah reposisi transantral, yaitu melalui

sinus maksila dan yang kedua adalah melalui insisi dibawah palpebra inferior

tepat diatas orbital rim inferior, dimana lantai orbita perlu disanggah oleh bahan

sintetik misalnya jala  tantalum, lembaran silastik atau dapat juga disanggah oleh

tulang rawan yang diambil dari septum nasi.

b. Fraktur os Maxilla

Bermacam-macam bentuk fraktur os maksila dapat terjadi. Fraktur os

maksila yang terkenal adalah menurut pembagian Le Fort yaitu tipe I

(transversed), tipe II (pyramidal), dan tipe III (craniofacial disjunction), akan

tetapi, pada umumnya terdapat kombinasi dari bermacam-macam jenis fraktur

terutama pada trauma fasial yang hebat.

Prinsip dasarpembedahan penatalaksanaan fraktur rahang yaitu :

Reduksi : mengembalikan segmen-segmen tulang pada posisi anatomi

semula.

12

Fiksasi segemn-segmen tulang untuk mengimobilisasikan segmen-segmen

pada lokasi fraktur.

Perawatan fraktur dapat berupa :

Reduksi tertutup/ intermaxillary fixation (IMF) : tidak ada pembukaan dan

manipulasi langsung area fraktur. Paling banyak menggunakan arch bar.

Reduksi terbuka : tindakan perawatan dan reduksi terhadap area fraktur

secara langsung dengan pembedahan.

Fraktur Le Fort I

Penatalaksanaan : reposisi dan arch bar maxilla digantung dengan snar

wire pada tepi bawah orbita (IMW).

Fraktur Le Fort II

Penatalaksanaan : reposisi dengan rowe forceps, fiksasi (IDW + IMW),

miniplate.

Fraktur Le Fort III

Penatalaksanaan : open reduction internal fixation (fiksasi dengan

miniplate dan wire).

13

c. Fraktur Mandibula

Reposisi dapat dilakukan secara tertutup maupun terbuka, tergantung jenis

dan garis fraktur. Fiksasi dapat berupa fiksasi eksterna dengan intermaxillary

fixation maupun fiksasi interna dengan plat metal.

2.5.3 Obat-Obatan

Pemberian antitetanus merupakan prosedur pada luka akibat trauma dan

anti rabies pada luka karena gigitan hewan. Pilihan antibiotik yang diberikan

adalah penisilin dengan asam klavulanat. Anestesi lokal yang dipakai adalah

lidocain 1% dengan atau tanpa 1:100.000 epineprin. Sebelum luka dijahit harus

dipastikan telah bersih dari debris dan benda asing.

Pada iskemi dan kerusakan jaringan, terjadi peningkatan radikal bebas

yang menyebabkan pembengkakan endotel vaskuler dengan akibat ekstravasasi

cairan dan trombosis intra vaskuler. Pemberian obat anti radikal bebas seperti

alopurinol diberikan sejak sebelum pembedahan. Saat ini obat yang dianggap

ideal adalah klorpromazin, dan diberikan sampai 14 hari pasca bedah.

Klorpromazin mempunyai efek menghambat influks ion Ca2+, mempunyai daya

stabilisasi membran sel, menurunkan kebutuhan metabolisme sel, berefek

hipotermik, anti-inflamasi dan antikoagulan.

14

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Mandibula merupakan tulang yang berperan kompleks dalam penampilan

estetis wajah dan oklusi fungsional. Karena letaknya yang menonjol, mandibula

menjadi tulang wajah yang paling umum mengalami fraktur. Fraktur mandibula

dapat disebabkan oleh trauma maupun proses patologik.

Tanda klinis utama fraktur mandibula adalah rasa nyeri, perdarahan,

trismus, gangguan oklusi, gerakan abnormal, krepitasi tulang, dan mati rasa pada

bibir bawah dan pipi. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan radiologis.

Penatalaksanaan fraktur mandibula terdiri atas perawatan pendahuluan dan

perawatan defenitif. Hal yang diperhatikan pada perawatan pendahuluan, adalah

primary survey, yaitu airway, breathing, circulation, sedangkan perawatan

defenitifnya terdiri atas reduksi terbuka atau reduksi tertutup, imobilisasi dan

fiksasi.

15

DAFTAR PUSTAKA

Abughazaleh Khaled. 2009. Mandibular Fractures, Available http://www.utmb.edu/dept/dorns/base-fromhtm. Accessed on 1 Oktober 2013

Barrera Jose. 2004. Mandibular Body Fractures, Available From http://www.emedicine.com/ent/topic415htm Accessed on 1 Oktober 2013

Munira Ulfa hanwar. 2011. Trauma Maksilofasial. Available From

http://muniraulfahanwar.blogspot.com/2011/10/traumamaksilofasial.html

Accessed on 1 Oktober 2013

Prater Michael.,2003. Mandibular Fractures, Available From http://www.utmb.edu/otoref/grnds/mandibular-fx-961127.pps. Accessed on 1 Oktober 2013

Reksoprojo Soelarto. 2000. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, FKUI Bagian Ilmu Bedah RSCM, Jakarta

Soule William., 2004. Mandible Fractures, Available http://www.emedicine.com/radio/topic423.htm. Accessed on 1 Oktober 2013

Stierman Karen. 2007. Mandibular Fractures, Available From http://www.utmb.edu/otoref/grnds/mandibular-fx-0006/htm. Accessed on 1 Oktober 2013

Tawfilis Adel. 2004. Facial Trauma, Mandibular Fractures, Available from http://www.emedicine.com/plastic/topic227.htm. Accessed on 1 Oktober 2013

TANYA JAWAB

1. HPEQ (Health Professional Education Quality) merupakan salah satu

kebijakan pemerintah pusat berupa beasiswa untuk mahasiswa kedokteran.

Dalam hal ini pemerintah pusat menyerahkan pengelolaan pembiayaan

langsung ke pemerintah daerah. Apakah kebijakan ini termasuk dalam bentuk

kebijakan desentralisasi kesehatan dan governance sektor kesehatan ?

Penanya : Wahyuni Meyza (10-004)

Penjawab : Irene Septika (10-060)

2. Bagaimana peran pemerintah dalam menggunakan konsep good governance ?

Penanya : Yelvia Rita (10-024)

Penjawab : Maidesilva Elukhra (10-050)

3. Bagaiman upaya pemerintah untuk mengubah dan memperbaiki kegagalan

kebijakan kesehatan “Indonesia Sehat 2010” ?

Penanya : Inten Puriya Sari (10-032)

Penjawab : Mutia Febrian (10-054)

4. Apakah 4 strategi utama Depkes telah mencapai tujuan ? Bagaimana upaya

masyarakat dalam mendukung hal tersebut ?

Penanya : Arry Apdika Saputra (10-094)

Penjawab : Fiona Warizky (10-052)

5. Kenyataan dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan yaitu tidak tercapainya

visi Indonesia Sehat 2010 dan kebijakan ini dilanjutkan menjadi Indonesia

sehat 2020. Apakah dengan program kebijakan bottom-up visi tersebut akan

bisa tercapai ? Apa saja kendala yang mungkin akan dihadapi pemerintah ?

Penanya : Engla Papertu Dekosta (10-046)

Penjawab : Diah Sulistia (10-058)

6. Apa saja keuntungan dan kerugian dari kebijakan desentralisasi kesehatan ?

Penanya : Putri Astari (10-034)

Penjawab : Mellisya (10-056)