biofar quinine
TRANSCRIPT
PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS QUININE DALAM BENTUK
SUPPOSITORIA DAN TABLET PERORAL
I. Bioavailabilitas Obat
Bioavailability (biological availability/physiological availability) didefinisikan
sebagai kecepatan dan jumlah/kadar obat yang dapat diabsorbsi ke dalam sirkulasi
sistemik. Untuk memperoleh respon farmakologi dari pemakaian suatu obat, kadar efektif
minimal (minimal effective concetration = m.e.c) di dalam darah harus tercapai. Kadar
m.e.c tidak akan pernah tercapai bila kecepatan absorbsi tidak cukup tinggi, sehingga bila
kecepatan absorbsi terlalu lambat, akan diperlukan waktu yang lama untuk memperoleh
efek farmakologinya. Kekuatan dan lamanya daya kerja obat diatur oleh proses
farmakokinetik, yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan elminasi.
Bioavailabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti sifat fisiko-kimia obat,
formulasi obat, dan fisiologi penderita. Sifat kimia – fisika bahan baku merupakan
pertimbangan dalam membuat preparat untuk memberikan efek terapi yang optimal.
Faktor ini memegang peranan penting dalam kelarutan obat. Efektifitas dari bentuk obat
jadi yang sama tidak hanya dipengaruhi oleh sifat fisika kimia bahan baku, tetapi juga
formula dan proses pembuatannya. Pengaruh formulasi terhadap bioavailabilitas obat
tampak jelas jika obat diberikan per oral seperti kapsul, tablet atau dagree. Beberapa
bentuk sediaan seperti tablet, kapsul dan dagree, berpengaruh pada proses absorbsinya,
dan digambarkan sebagai berikut.
Bila terjadi hambatan pada salah satu tahap dalam proses tersebut, akan terjadi
hambatan absorbsi obat. Untuk preparat suspensi dan cair, kekentalan (viscosity) yang
tinggi dapat menghambat daya difusi molekul obat dai permukaan partikelnya, dan hal itu
dapat menghambat proses absorbsinya. Proses absorbsi obat yang maksimal terjadi di
usus. Proses ini tergantung dari kecepatan disolusi obat, juga tergantung dari kecepatan
obat bergerak meninggalkan lambung ke dalam usus, di mana sebagian besar proses
penyerapan terjadi. Jadi, faktor fisologis yang berpengaruh, antara lain gastric emptying
time dan intestine transit time dapat mempengaruhi proses absorbsi obat secara drastis.
Faktor fisiologis tersebut tentunya juga dipengaruhi oleh keadaan umum penderita, usia,
makanan (komposisi diet, kadar lemak, serat, dsb).
II. Sediaan Oral (Tablet)
Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung
pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung mengandung satu jenis obat atau
lebih dengan atau tanpa bahan tambahan.
a. Tablet kempa
Tablet ini merupakan paling banyak digunakan, ukuran dapat bervariasi, bentuk serta
penandaannya tergantung desain cetakan.
b. Tablet cetak
Merupakan tablet yang dibuat dengan memberikan tekanan rendah pada massa
lembab dalam lubang cetakan.
c. Tablet trikurat
Merupakan tablet kempa atau cetak, bentuk kecil umumnya silindris. Dan sudah
jarang ditemukan.
d. Tablet hipodermik
Merupakan tablet yang dibuat dari bahan yang mudah larut atau melarut sempurna
dalam air.
e. Tablet sublingual
Merupakan tablet yang digunakan dengan meletakkan tablet di bawah lidah dan
dengan demikian tablet ini diharapkan dapat memberikan efek yang cepat (tidak
melewati hati).
f. Tablet bukal
Digunakan dengan meletakan diantara pipi dan gusi.
g. Tablet Effervescent
Merupakan tablet yang larut dalam air dan harus dikemas dalam wadah tertutup rapat
atau kemasan tahan lembab. Pada etiket tertulis "tidak untuk langsung ditelan"
h. Tablet kunyah
Merupakan tablet yang penggunaannya dengan cara dikunyah. Tablet ini
meninggalkan sisa rasa enak dirongga mulut, mudah ditelan, dan tidak meninggalkan
rasa pahit.
Secara luas obat atau bahan aktif yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet
dikelompokkan menjadi:
a. Zat Aktif Tidak Larut Air (Insoluble Drugs)
Zat ini cenderung digunakan untuk memberikan efek lokal pada saluran pencernaan
(seperti antasida dan adsorben). Oleh karena zat tidak larut air umumnya dipengaruhi
oleh fenomena permukaan, maka jika bekerja menggunakan zat ini, sangatlah penting
memperhatikan kemampuan redispersi bahan obat dari sediaan menghasilkan ukuran
partikel yang halus dan luas permukaan yang tinggi. Dengan demikian efek formulasi,
granulasi, dan pencetakan terhadap sifat permukaan dari bahan dan kemampuan
memperbaiki sifat bahan dalam saluran cerna dengan sifat permukaan optimum
merupakan faktor kritis.
b. Zat Aktif Larut Air (Soluble Drugs)
Zat ini cenderung digunakan untuk memberikan efek sistemik dengan terdisolusi dan
terabsorpsi pada usus. Dalam hal obat diharapkan dengan memberikan efek sistemik,
rancangan bentuk sediaan harus cepat terdisintegrasi dan terlarut. Kemampuan ini
dapat menjadi faktor kritis atau tidak, bergantung pada kemampuan terlarutnya di
daerah saluran cerna tempat bahan tersebut diabsorpsi.
Adapun keuntungan dari sediaan talet :
1. Merupakan sediaan yang kompak
2. Sediaan yang mudah dikemas,disimpan dan elegant.
3. Tablet merupakan sediaan yang mudah diatur dosisnya.
4. Rasa pahit serta bau dapat dihilangkan dengan atau ditutupi dengan penyalutan sisi
tablet .
5. Dapat dibuat dalam bentuk tablet kunyah.
6. Sifat alamiah dari tablet yaitu tidak dapat dipisahkan, kualitas bagus dan dapat dibawa
kemana-mana, bentuknya kompak, fleksibel dan mudah pemberian
7. Secara umum, bentuk pengobatan dangan menggunakan tablet lebih disukai karena
bersih, praktis dan efisien.
8. Tablet merupakan bentuk sediaan yang utuh dan menawarkan kemampuan yang
terbaik dari semua bentuk sediaan oral untuk ketepatan ukuran serta variabilitas
kandungan yang paling lemah.
9. Untuk dikonsumsi anak anak tablet dapat diserbukkan
10. Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang paling mudah untuk diproduksi secara
besar-besaran.
Adapun beberapa kerugian dari sediaan tablet :
1. Tidak dapat diberikan pada pasien yang susah untuk menelan,muntah,atau dalam
keadaan tidak sadar.
2. Dapat menyebabkan kematian jika tablet tertahan pada laring anak-anak.
3. Tablet dengan warna menarik harus dijauhkan dari anak-anak karena dapat disangka
permen.
4. Dalam pembuatan tablet diperlukan persiapan terlebih dahulu.
5. Memerlukan waktu yang lama dalam pembuatannya dan memerlukan peralatan yang
banyak dan pengetahuan yang rumit.
III. Sediaan Suppositoria
Supositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dengan cara
memasukkannya melalui lubang atau celah pada tubuh, dimana sediaan ini akan melebur,
melunak atau melarut dan memberikan efek lokal atau sistemik. Supositoria umumnya
dimasukkan melalui rectum, vagina kadang-kadang melalui saluran urin dan jarang
melalui telinga dan hidung. Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dapat
dengan mudah dimasukkan ke dalam lubang tanpa menimbulkan kejanggalan dan
penggelembungan begitu masuk, harus dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu.
Supositoria untuk rectum umumnya dimasukkan dengan jari tangan, tetapi untuk vagina
khususnya vaginal insert dapat dimasukkan dengan bantuan alat khusus.
Pada umumnya, supositoria rektum panjangnya ±32 mm, berbentuk silinder dan
kedua ujungnya tajam. Beberapa supositoria untuk rektum diantaranya ada yang
berbentuk seperti peluru, torpedo, atau jari-jari kecil tergantung pada bobot jenis bahan
obat dan basis yang digunakan. USP menetapkan berat untuk orang dewasa adalah 2 g
jika basis yang digunakan adalah oleum cacao. Sedangkan supositoria untuk bayi dan
anak-anak ukuran dan beratnya ½ dari ukuran dan berat supositoria untuk orang dewasa.
Supositoria untuk vagina (pessarium) biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti
kerucut, dan bobotnya 5 g apabila basis yang digunakan adalah oleum cacao. Supositoria
untuk saluran urin (bougie) bentuknya ramping seperti pensil. Supositoria saluran urin
pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ±140 mm. Apabila basis yang digunakan
adalah oleum cacao maka beratnya ± 4 g. Supositoria untuk saluran urin wanita panjang
dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria. Supositoria untuk hidung dan telinga (kerucut
telinga), keduanya berbentuk sama dengan supositoria saluran urin hanya ukurannya
panjangnya lebih kecil, biasanya ± 32 mm. Supositoria telinga biasanya menggunakan
basis gelatin yang mengandung gliserin.
Alasan obat diberikan dalam bentuk suppositoria adalah :
a. Penderita tidak dapat menggunakan obat secara oral misalnya karena mengalami
gangguan pada saluran gastro intestinal, kondisi pasca operasi, mual-mual dan lain
sebagainya.
b. Kondisi penderita terlalu tua, terlalu muda atau mengalami kelainan mental
c. Menghindari penagruh enzim dalam saluran gastro intestinal untuk obat-obatan yang
peka terhadap enzim misalnya Na atau K bensil penisilinat
d. Obat-obatan yang tidak cukup stabil oleh pengaruh pH saluran gastro intestinal
e. Obat-oabatan yang mengalami “first pass metabolism”
f. Untuk obat-obat yang dapat mengiritasi lambung, dapat diberikan bahkan dalam
bentuk konsentrasi tinggi misalnya sulfamid, aspirin dan fenil butason
g. Obat dengan rasa atau bau tidak enak misalnya kreosot
h. Obat yang ditujukan untuk terapi lokal misalnya anestesi lokal
Selain memiliki berbagai kelebihan, sediaan yang diberikan dalam bentuk
suppositoria juga memiliki berbagai kekurangan, seperti :
a. Timbulnya rasa kurang enak saat digunakan, menimbulkan keengganan untuk
menggunakannya
b. Obat-obat tertentu absorpsinya lambat atau tidak sempurna
c. Saat diproduksi dalam skala besar timbul problema stabilitas
Sasaran terapi dari suppositoria adalah :
1. Efek Lokal
Begitu diamasukkan basis supositoria akan meleleh, melunak atau melarut
menyebarkan bahan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut.
Supostoria rectal dimaksudkan untuk kerja local dan paling sering digunakan untuk
menghilangkan konstipasi dan rasa sakit, iritasi, rasa gatal, dan radang sehubungan
dengan wasir atau kondisi anorektal lainnya. Supositoria vaginal yang dimaksudkan
untuk efek local digunakan terutama sebagai antiseptic pada hygiene wanita dan
sebagai zat khusus untuk mengatasi bakteri pathogen. Supositoria uretra bisa
digunakan sebagai antibakteri dan sebagai anestesi lokal untuk pengujian uretral.
2. Efek Sistemik
Bahan obat yang diabsorpsi melalui system rectal dan memberikan efek sistemik
misalnya sulfonamide, obat diuretic (merkuri), golongan sedative (berbiturat dan
kloral hidrat), analgesic (opium dan dihidromorfin), antispalsmodik (aminofilin), dan
penisilin. Cara pemberian obat dalam bentuk supositoria dengan efek sistemik ini
sangat cocok untuk obat-obatan yang tidak bisa digunakan secara oral baik karena
pasien merasa mual dan ingin muntah maupun karena obat tersebut ditujukan untuk
memberikan efek bertahap dalam jangka waktu yang panjang.
IV. Quinine
Quinine adalah suatu alkaloid yang bersama-sama dengan quinidin diambil dari kulit
pohon quinchona. Pada tahun 1944, quinine telah dapat dibuat secara sintetis oleh Wood
Ward dan Doering, akan tetapi karena prosesnya terlalu kompleks dan biayanya terlalu
mahal, maka untuk keperluan komersial tetap digunakan alkaloid quinine. Quinine
mempunyai sifat antipiretik yang mempunyai aktivitas khusus terhadap demam malaria
karena dapat mematikan trophozoit. Perbedaan quinine dengan obat-obat antipiretik
lainnya adalah quinine dapat menurunkan kecepatan pertukaran zat dari sel-sel sehingga
produksi kalor berkurang. Efek samping yang paling sering adalah berdengungnya kuping
(tinitus) dan pusing-pusing. Garam quinine sebagai obat malaria, dalam dosis besar dan
berbentuk injeksi digunakan sebagai varicose. Dosis biasa sebagai obat penyembuh yang
diberikan per oral adalah 3 kali sehari 200 – 300 selama 7 hari. Dosis biasa sebagai obat
pencegah demam adalah 2 kali sehari 200 mg.
V. Perbandingan Bioavailabilitas Quinine Dalam Bentuk Suppositoria dan Tablet Peroral
Quinine adalah salah satu obat yang murah, paling efektif dan tersedia untuk
pengobatan penderita malaria berat dan resisten terhadap berbagai obat malaria. Quinine
masih efektif terhadap strain Plasmodium falcifarum di Afrika Laporan terakhir
menyatakan bahwa quinine masih seefektif artemisinin dan derivatnya dalam mengobati
cerebral malaria pada anak-anak. Pada malaria yang parah dan menimbulkan komplikasi,
direkomendasikan penggunaan quinine dalam bentuk injeksi intravena hingga pasien
mampu menggunakan obat secara oral. Tetapi, rute pemberian ini tidak umum digunakan
di daerah pedesaaan karena kurangnya tenaga medis yang professional dan tidak
memadainya fasilitas kesehatan. Rute lain penggunaan quinine adalah secara
intramuscular. Pengunaan ini banyak menimbulkan komplikasi pada anak-anak seperti
menyebabkan rasa sakit, inflamasi lokal, abses, tetanus, dan kelumpuhan alat gerak
bawah. Pemberian secara oral efektif namun tidak cocok diberikan pada pasien yang
mengalami mual dan comatose. Karenanya diperlukan alternatif rute pemberian yang
tepat untuk quinine. Rute pemberian melalui rectal umum digunakan pada anak-anak dan
secara luas dinilai sebagai alternatif pemberian untuk menggantikan pemberian secara
parenteral. Saat ini, artemisinin dan derivatnya tersedia dalam bentuk suppositoria.
Menurut penelitian, Sediaan artemisin dalam bentuk suppositoria memiliki efektivitas
yang sama dengan artemisin yang diberikan secara intravena dan intramuscular.
Berdasarkan suatu penelitian, pemberian krim quinine (quinimax) secara intrarectal
serta injeksi larutan garam quinine efektif dalam mengobati malaria yang parah dan
menimbulkan komplikasi pada anak-anak. Suatu penelitian di Afrika menyatakan bahwa
quinine secara intrarectal dapat ditoleransi dengan baik dan aman dikonsumsi. Penelitian
tersebut juga menemukan bahwa bioavailabilitas quinine secara intrarectal jauh di bawah
bioavailabilitas quinine secara intravena dan intramuscular. Selain itu, bioavailabilitas
quinine secara intrarectal lebih tidak teratur daripada bioavailabilitas quinine secara
intravena dan intramuscular. Namun, kelebihan pemberian secara rectal adalah dapat
menghambat beberapa efek samping seperti penolakan dini, masalah intestinal transit
time, dan insufficient product retention yang memerlukan pemberian ulang. Pada
pemberian secara intrarectal diperlukan dilusi yang cukup memadai untuk mengurangi
tingkat keasaman, sehingga dibutuhkan tenaga medis yang profesional untuk
melakukannya. Sejauh ini, satu-satunya formulasi quinine dalam bentuk sediaan rectal
yang telah diuji adalah krim rectal. Namun, dalam pemakaiannya tetap diperlukan tenaga
medis yang profesional. Mengingat dosis pemberian krim sukar ditentukan secara pasti,
maka perlu dibuat suatu formulasi sediaan rectal yang dosisnya dapat ditentukan dengan
pasti, seperti sediaan suppositoria.
Dalam suatu penelitian di mana dilakukan pembuatan suppositoria, dilakukan suatu
perbandingan bioavailabilitas antara quinine dalam bentuk sediaan suppositoria dan
quinine dalam bentuk sediaan tablet dengan objek studi pada orang dewasa yang sehat.
Pada pembuatan suppositoria tersebut digunakan basis teobroma oil dan bees wax.
Suppositoria ini (1 gram) mengandung 300 mg quinine sulfat. Adapun tablet yang
digunakan sebagai perbandingan adalah tablet tanpa salut. Uji perbandingan
bioavailabilitas antara suppositoria quinine sulfat dan tablet dilakukan melalui suatu
analisa menggunakan titrasi bebas air (TBA).
Hasil pengujian quinine dalam bentuk sediaan tablet maupun suppositoria
memberikan hasil yang dapat ditoleransi dengan baik dan tidak ada ditemukan efek
samping yang berarti. Pada pemakaian sediaan suppositoria tidak ditemukan adanya
iritasi rectal dan diare.
Profil konsentrasi rata-rata qunin dalam plasma versus waktu setelah pemberian
tunggal secara oral dan rectal, dapat dilihat pada gambar di atas. Profil plasma setelah
pemberian secara rectal memberikan 2 puncak setelah 2 jam pemberian dan 10 jam
pemberian. T max absorbsi dari suppositoria lebih lama jika dibandingkan dengan sediaan
quinine dalam bentuk tablet. T max ekskresi melalui urine antara quinine dalam bentuk
suppositoria dengan bentuk tablet menunjukkan waktu yang sama. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada level absorbsi
quinine dari sediaan suppositoria ketika dibandingkan dengan sediaan tablet. Pada
pemberian quinine dalam bentuk suppositoria ditemukan konsentrasi dalam plasma dan
urine yang rendah serta bervariasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa absorbsi quinine
dalam bentuk suppositoria tidak bagus dan tidak teratur. Variasi konsentrasi lebih banyak
terlihat pada plasma dibandingkan pada urine.
Perbedaan level absorbsi quinine dalam bentuk suppositoria dan tablet menunjukkan
bahwa kedua bentuk sediaan tersebut tergolong ke dalam bioinekivalen. Selain itu, level
konsentrasi kuinin dalam plasma yang dari sediaan suppositoria lebih rendah daripada
spectrum terapeutik dari quinine dalam bentuk sediaan tablet. Hal ini dapat memberikan
kegagalan terapi pada pemberian secara suppositoria. Oleh karena itu diperlukan dosis
yang lebih tinggi pada pemberian secara rectal daripada pemberian secara oral agar dapat
menimbulkan efek terapi. Beberapa faktor seperti sifat substansi obat, sifat basis
suppositoria, dan lingkungan rectal dapat mempengaruhi laju dan level absorpsi obat ke
dalam sistem sistemik jika obat tersebut diberikan dalam bentuk suppositoria.
Bioavailabilitas yang jelek dari sediaan quinine dalam bentuk suppositoria kemungkinan
disebabkan oleh luas permukaan kolon yang kecil, volume cairan rectal yang sedikit, dan
kelarutan quinine sulfat yang kecil dalam air. Hal tersebut dapat menghasilkan kelarutan
obat yang rendah dalam rectum.
Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa bioavailabilitas
suppositoria quinine sulfat yang dibuat dari theobroma oil dan beeswax jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan biovailabilitas qiunin sulfat dalam bentuk tablet.
DAFTAR PUSTAKA
Barennes H, Kailou D, Pussard E, Munjakazi JM, Fernan M, Sherouat H, Sanda A, Clavier F,
Verdier F. Intrarectal administration of quinine: an early treatment for severe malaria in
children. Sante 2001; 11:145-53.
Barennes H, Mahaman Sani A, Kahia Tani F, Meda H, Khenine A. Tolerance of quinine
administered as an intrarectal solution in children in Frenchspeaking Africa. Med Trop
1999; 59:383-8.
De Boer AG, de Leede LG, Breimer DD. Drug absorption by sublingual and rectal routes. Br
J Anaesth 1984;56:69-82.
Garnham JC, Raymond K, Shotton E, Turner P. The bioavailability of quinine. J Trop Med
Hyg 1976; 79:264-9.
Rogier C, Brau R, Tall A, Cisse B, Trape JF. Reducing the oral quinine-quinidine-cinchonin
(Quinimax) treatment of uncomplicated malaria to three days does not increase the
recurrence of attacks among children living in a highly endemic area of Senegal. Trans R
Soc Trop Med Hyg 1996; 90:175-8.
Satti GM, Elhassan SH, Ibrahim SA. The efficacy of arthemeter versus quinine in the
treatment of cerebral malaria. J Egypt Soc Parasitol 2002; 32:611-23.
BIOFARMASETIKA
PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS QUININE DALAM BENTUK
SUPPOSITORIA DAN TABLET PERORAL
OLEH :
NAMA KELOMPOK
NI MADE WIRYATINI (0808505003)
KHATIJA TAHER ALI (0808505014)
NI MADE AYU SUARTINI (0808505015)
ENNY LAKSMI ARTIWI (0808505018)
NI LUH PUTU ARIASIH (0808505020)
NI LUH GEDE LISNIAWATI (0808505021)
NI PUTU MARTIARI (0808505023)
NI KOMANG ENNY WAHYUNI (0808505025)
BAYU ANGGARA (0808505027)
ARRY ANDI YASTAWA (0808505034)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2010