makalah kel e

29
MAKALAH MATA KULIAH PENGENDALIAN MUTU HASIL PERIKANAN “Pengendalian Mutu Bahan Baku” Oleh : Afwa Hayuningtyas (12289) Ahmad Tafrizi (12376) Chatulistivan Prayudha (12484) Oki Arum Puspitarini (12409) Fitria Meilia (12520) Ulfa Khoirun Nisa (12622) Ade Utari T. (12900) Dosen Pengampu : Dr. Amir Husni, S.Pi., M.P. Mgs. Muh. Prima Putra, S.Pi., M.Sc. PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN

Upload: fitria-meilia

Post on 24-Nov-2015

78 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

MAKALAH MATA KULIAHPENGENDALIAN MUTU HASIL PERIKANAN

Pengendalian Mutu Bahan Baku

Oleh :

Afwa Hayuningtyas

(12289)

Ahmad Tafrizi

(12376)Chatulistivan Prayudha(12484)Oki Arum Puspitarini

(12409)

Fitria Meilia

(12520)

Ulfa Khoirun Nisa

(12622)

Ade Utari T.

(12900)Dosen Pengampu : Dr. Amir Husni, S.Pi., M.P.Mgs. Muh. Prima Putra, S.Pi., M.Sc.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2013BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Produk pangan kemasan yang terdapat di pasaran sangat bervariasi, mulai dari jenis bahan baku sampai dengan cara pengolahannya. Variasi pada produk pangan tersebut dapat dideskripsikan dengan karakteristik atau atribut tertentu. Seringkali karakter atau atribut pangan menunjukkan mutu pangan secara umum. Karakteristik mutu pangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu mutu intrinsik dan mutu ekstrinsik. Mutu pangan intrinsik adalah mutu pangan yang berhubungan dengan sifat fisik produk secara langsung, sedangkan mutu pangan ekstrinsik adalah mutu yang berkaitan dengan produk, tetapi bukan bagian dari sifat fisik produk (Steenkamp et al. 1986). Caswell (2000) mengelompokkan mutu intrinsik dan ekstrinsik ke dalam beberapa atribut atau kriteria mutu yang lebih spesifik. Mutu intrinsik terdiri dari atribut keamanan pangan, gizi, sensori nilai, dan proses. Mutu ekstrinsik terdiri dari indikator pengukuran dan isyarat mutu. B. Tujuan

1. Mengetahui mutu intrinsik pada produk perikanan.2. Mengetahui proses pembusukan yang terjadi pada produk perikanan.

3. Mengetahui cara pemeliharaan mutu bahan baku.

4. Mengetahui cara-cara pengukuran mutu secara organoleptik dan kimiawi.

BAB II

PEMBAHASANA. Mutu Intrinsik

Mutu produk perikanan dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik. Seperti spesies, ukuran, jenis kelamin, komposisi, penanganan telur, keberadaan parasit, racun, kontaminasi polutan, dan kondisi pembudidayaan merupakan faktor- aktor yang mempengaruhi perubahan mutu intrinsik. Sifat-sifat biokimia daging ikan, seperti rendahnya kadar kolagen, relatif tingginya kadar lemak tak jenuh serta komposisi nitrogen terurai yang mempengaruhi otolisis, perkembangbiakan mikroba yang sangat cepat, dan pembusukan.

Mutu intrinsik pada seafood disebabkan oleh :a. Kondisi Ikan yang lembek (Jelly)

Kondisi ikan yang lembek disebabkan oleh proses pemijahan dan kondisi air yang tinggi. Pada fase pemijahan, pakan yang dikonsumsi ikan betina akan digunakan oleh gonadnya. Kandungan karbohidrat, protein dan lemak pada indukan menjadi menurun. Sehingga tubuhnya menjadi lembek saat di pegang. Faktor lainnya yaitu keberadaan ikan di perairan yang dingin atau bersuhu tinggi. Nafsu makan ikan akan menurun sehingga kandungan proteinnya pun menghilang. Hal ini menyebabkan dagingnya menjadi lembek.

b. Kapur (chalk)

Kenampakan ikan sudah seperti kapur. Kondisi ini berkebalikan dari daging ikan yang lembek (jelly). Faktor penyebabnya yaitu adanya kandungan asam laktat dalam tubuh ikan yang sangat tinggi. Asam laktat menumpuk pada otot ikan. Penyebabnya yaitu ikan meronta-ronta dengan kuat untuk terbebas dari alat tangkap (gillnet). Hal ini mengakibatkan glikogen yang tersimpan sebagai energi menjadi terpecah untuk melepas energi yang dibutuhkan saat ikan meronta-ronta. Proses terjadinya sebagai berikut :

Glikogen

enegi + asam laktatc. Komposisi lemak (fat content)

Contohnya komposisi lemak pada ikan haring. Komposisi lemaknya dapat berubah dari 1% menjadi 25% antara periode kematian setelah pemijahan dan periodisitas makan tertinggi. Sementara itu, banyak pembeli di Eropa yang memiliki spesifikasi awetan ikan haring dengan komposisi lemak kurang dari 13% untuk mulai diproduksi di toko.d. Kondisi pakan (feed conditions)

Pakan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi mutu instrinsik dari ikan. Pakan menyebabkan perubahan pada daging ikan. Pakan menyebabkan bau daging ikan menyengat, warna tidak bagus, daging menjadi lebih gelap, enzim menjadi rusak.

e. Serat longgar (gaping)

Serat/otot melonggar terjadi pada saat proses rigor mortis. Proses rigor mortis yaitu proses dimana ikan kembali lunak setelah kematian. Otot ikan akan mulai rusak dari bagian ekor yang menjalar ke bagian kepala. Hal ini akan membahayakan proses produksi. Poin penting saat otot mulai longgar :

1. Meningkatnya temperatur saat ikan baru ditangkap

2. Penanganan yang terlalu kasar pada ikan saat keadaan rigor akan menjadikan otot ikan melonggar

3. Pembekuan bisa menjadi penyebab otot ikan melonggar

4. Pembukaan ikan kecil menjadi lebih besar

5. Penanganan ikan hanya setelah pemijahan

f. Parasit (parasites)

Parasit adalah salah satu organisme yang hidup pada organisme lain dengan mengambil nutrisinya. Jika perkembangbiakannya dalam keadaan yang sesuai, maka akan menjadi bahaya karena jumlahnya banyak. Parasit terpenting pada ikan yaitu cacing gelang dan nematoda. Parasit lainnya Kanada Atlantik yaitu copepoda Sphyrion lumpi. Parasit ini menyerang jaringan pada ikan merah (redfish).B. Proses Pembusukan Produk PerikananI. Pembusukan Produk Perikanan

Segera setelah dipanen atau ditangkap, produk perikanan akan mengalami serangkaian proses perombakan yang mengarah ke penurunan mutu. Proses perombakan yang terjadi pada ikan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pre rigor, rigor dan post rigor mortis. Pre rigor adalah tahap dimana mutu dan kesegaran ikan sama seperti ketika masih hidup. Rigor mortis adalah tahap dimana produk perikanan memiliki kesegaran dan mutu seperti ketika masih hidup, namun kondisi tubuhnya secara bertahap menjadi kaku. Hingga tahap rigor mortis, ikan dapat dikatakan masih segar. Namun memasuki tahap post rigor mortis, proses pembusukan daging ikan telah dimulai. Ada tiga faktor yang mempengaruhi penurunan mutu produk perikanan, yaitu kerusakan fisik, mikrobiologi dan kimia. 1. Kerusakan Fisik

Kerusakan fisik yang dialami produk perikanan dapat disebabkan oleh perlakuan fisik, seperti terbanting, tergencet, atau terluka. Perlakuan tersebut dapat menyebabkan terjadinya memar, luka, dan adanya benda asing.a) Memar

Memar yang dialami oleh produk perikanan yang disebabkan karena dipukul terbanting atau tergencet. Ikan yang meronta sesaat sebelum mati atau pedagang yang membanting ikan menyebabkan ikan mengalami memar. Semua upaya mematikan ikan dimaksudkan agar ikan menjadi mudah untuk disiangi. Produk perikanan yang memar akan mudah mengalami proses pembusukan. Rusaknya jaringan di bagian yang memar akan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik. Pada ikan, bagian yang memar cenderung menjadi lunak dan kemerahan. Luka

b) Produk perikanan dapat mengalami luka yang diakibatkan tusukan atau sayatan oleh benda tajam. Penggunaan pengait pada saat akan mengangkat ikan hasil tangkapan dapat menyebabkan luka pada ikan. Apabila tidak segera ditangani dengan benar, luka tersebut dapat menjadi jalan bagi mikroba pembusuk untuk memasuki bagian tubuh ikan dan merombak komponen di dalamnya.2. Kerusakan Kimiawi Penurunan kandungan senyawa kimia pada produk perikanan dapat terjadi selama proses pencucian dan pemanasan. Selama berlangsung proses pencucian produk perikanan, banyak komponen senyawa kimia yang akan larut, seperti beberapa protein, vitamin B dan C, serta mineral.a) Autolisis Autolisis adalah proses perombakan sendiri, yaitu proses perombakan jaringan oleh enzim yang berasal dari produk perikanan tersebut. Proses autolisis terjadi pada saat produk perikanan memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang mengalami autolisis memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis, sehingga apabila daging tubuhnya ditekan dengan jari akan membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali kekeadaan semula. Bila proses autolisis sudah berlangsung lebih lanjut, maka daging yang ditekan tidak pernah kembali ke posisi semula. Proses autolisis dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekelilingnya. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses autolisis ikan yang tidak diberi es dan paparan sinar matahari dapat mempercepat proses autolisis.b) OksidasiIkan termasuk salah satu produk perikanan yang banyak mengandung lemak, terutama lemak tidak jenuh. Lemak tidak jenuh adalah lemak yang mengandung ikatan rangkap pada rantai utamanya. Lemak demikian bersifat tidak stabil dan cenderung mudah bereaksi. Lemak pada ikan didominasi oleh lemak tidak jenuh berantai panjang (Polyunsaturated fatty acid / PUFA). Selama penyimpanan, lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuk senyawa peroksida.

3. Kerusakan Mikrobiologi

Kerusakan Mikrobiologi pada produk perikanan dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen dan pembusuk, baikberupa bakteri, virus, jamur, kamir ataupun protozoa.

a) Burst Belly

Tubuh ikan mengandung banyak mikroba, terutama di bagian permukaan kulit, insang, dan saluran pencernaan. Ikan yang tertangkap dalam keadaan perutnya kenyang, maka disaluran pencernaan banyak mengandung enzim pencernaan. Enzim tersebut merupakan gabungan dari enzim yang berasal dari produk perikanan atau mikroba yang hidup disekelilingnya. Apabila tidak segera disiangi, enzim ini akan mencerna dan merusak jaringan daging yang ada di sekitarnya, terutama di bagian dinding perut. Peristiwa pecahnya dinding perut ikan yang disebabkan aktivitas enzim dikenal dengan sebutan burst belly.b) Aktivitas Mikroba Merugikan

Kerusakan Kimia yang dialami produk perikanan dapat disebabkan oleh adanya mikroba merugikanProduk perikanan mengandung sejumlah mikroba, baik mikroba yang menguntungkan maupun merugikan. Mikroba ini hidup secara berdampingan. Mereka biasa disebut sebagai flora alami. Mikroba merugikan terdiri dari mikroba pembusuk dan patogen (Tabel 3.1). Mikroba pembusuk merupakan mikroba yang dapat menimbulkan kerusakan pada produk perikanan. Kerusakan Kimia yang ditimbulkan oleh aktivitas mikroba merugikan adalah meningkatnya kandungan senyawa racun atau penyakit yang disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen. Mikroba pembusuk akanmenyebabkan produk perikanan menjadi busuk sehingga tidak dapat atau tidak layak dikonsumsi. Mikroba pembusuk akan merombak produk perikanan menjadi komponen yang tidak diinginkan, seperti protein yang diubah menjadi amonia dan hidrogen sulfida; karbohidrat menjadi alkohol, dan lemak menjadi keton dan asam butirat. Ciri khas dari peningkatan aktivitas mikroba pembusuk antara laintercium bau busuk, bahan menjadi lunak berair dan masih banyak lainnya.

Tabel 3.1. Jenis Bakteri Pembusuk

Nama bakteri pembusuk

Shewanella putrifaciens

Photobacterium phosphoreum

Pseudomonas spp.

Vibrionacaea

Aerobacter

Lactobacillus

Moraxella

Acinetobacter

Alcaligenes

Micrococcus

Bacillus

Staphylococcus

Flavobacterium

Mikroba patogen merupakan kelompok mikroba yang dapat menyebabkan penyakit (Tabel 3.2.). Produk perikanan yang mengandung mikroba patogen cenderung menjadi berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya.

Tabel 3.2. Jenis bakteri patogen

Nama Bakteri Patogen

Bacillus cereus

Escherichia coli

Shigella sp.

Streptococcus pyogenes

Vibrio cholerae

V. parahaemolyticus

Salmonella spp.

Clostridium botulinum

C. perfringens

Staphylococcus aureus

Listeria monocytogenes

II. Mencegah Penurunan Mutu

Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghambat penurunan mutu. Upaya tersebut dapat dilakukan sejak produk perikanan dipanen atau ditangkap, maupun selama pengolahan. Berikut ini upaya yang dilakukan untuk menghambat pengunduran mutu selama penanganan . Upaya kegiatan untuk menghambat penurunan mutu produk perikanan antara lain :

1) Precooling, yaitu proses penurunan temperatur produk perikanan dengan tujuan untuk memperkecil perbedaan antara temperatur produk perikanan dan ruang penyimpanan. Makin kecil perbedaan temperatur tersebut, akan mengurangi beban panas yang akan diterima oleh ruang penyimpanan dingin.

2) Penanganan steril, yaitu penanganan yang ditujukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi silang atau kontaminasi ulang (recontamination). Penanganan steril dicirikan dengan penggunaan peralatan, lingkungan, dan karyawan yang steril.

3) Pencucian produk perikanan ditujukan untuk mengurangi populasi mikroba alami (flora alami) yang terdapat dalam produk perikanan, sehingga populasinya tidak berpengaruh pada proses selanjutnya.

4) Penyiangan, yaitu proses membersihkan. Pada produk perikanan penyiangan berarti pembersihan sisik, pembuangan kepala (headless), pembuangan isi perut (gutting), atau pembuangan kulit (skinning atau skinless).

5) Blansing, yaitu penggunaan suhu tinggi dalam waktu singkat untuk tujuan tertentu. Pada produk perikanan, blansing dilakukan pada bagian yang dipotong untuk menghambat aktivitas mikroba dan enzim proteolitik.

6) Pemiletan (Filleting) yaitu pemotongan daging sedemikian rupa sehingga tidak menyertakan bagian yang keras, seperti duri, tulang, atau kulit.

7) Sortasi, yaitu Pemisahan komoditi selama dalam aliran komoditas, misalnya sortasi di lokasi pemanenan yang didasarkan pada jenis, ukuran yang diminta pasar.

8) Grading, yaitu proses pemisahan produk perikanan berdasarkan mutu, misalnya ukuran, bobot, kualitas.

C. Pemeliharaan Mutu Bahan Baku

Seperti telah diketahui bahwa perubahan kualitas ikan akan terjadi setelah ikan dipanen, untuk itu diperlukan suatu penanganan untuk mencegah perubahan tersebut agar selambat mungkin. Pada awal 1980-an , Departemen Kelautan dan Perikanan Kanada menyusun program untuk meningkatkan kualitas produk perikanan. Salah satu aspek dari program ini adalah Program Grading Point-of-Sale yang diusulkan, yang akan digunakan untuk memberikan nilai ikan yang dibeli. Secara garis besar program ini mencakup penyiangan, pembantaian, pencucian, pemberian es dan penyimpanan. Tujuan program tersebut adalah untuk mencegah tekanan yang tidak semestinya pada ikan dan memastikan sanitasi penanganan ikan.

1. Penyiangan

Penyiangan spesies ikan berdaging putih, seperti cod, telah terbukti menghasilkan beberapa manfaat yang sangat positif terhadap produk yang berasal dari ikan tersebut. Daging ikan mengasumsikan penampilan yang sangat putih , baik dalam keadaan fillet ikan yang disiangi dan tidak disiangi dibandingkan. Hasilnya, ikan yang telah disiangi terbukti menghasilkan jauh lebih sedikit memar daripada ikan yang tidak disiangi. Juga, ikan yang disiangi dapat diperkirakan untuk memproses hidup lebih lama penyimpanan beku daripada ikan yang tidak disiangi.

Seseorang menganggap bahwa penampilan ikan yang berdaging putihlah yang dicari oleh konsumen, akan tetapi tetap harus dipertimbangkan produk perikanan yang berkualitas tinggi, serta fakta bahwa sedikitnya memar pada ikan akan dapat mengefisiensikan proses pembuatan ikan fillet, juga daya simpan yang lebih lama pada suhu beku.

Penyiangan ikan sebaiknya dilakukan dalam waktu sekitar 15 menit setelah dibawa pada meja produksi. Dalam spesies cod - seperti ini biasanya dilakukan dengan memutuskan arterii belakang insang dan di depan jantung. Fishemen di Newfoundland akan Rever prosedur sebagai "memotong tenggorokan" ikan. Pada ikan yang berbadan pipih, perdarahan dilakukan dengan memotong ekor sehingga Candal arteriy terputus . Procedur ini disebut sebagai "bob -tailing" .

Setelah disiangi, sebaiknya ikan dicuci dengan air dingin dan dibiarkan darahnya mengalir selama sekitar 20 menit. Pada ikan yang berSetelah prosedur tetap perdarahan ikan sebaiknya oleh tempat dalam air dingin dalam tangki pendarahan dan dibiarkan berdarah selama kurang lebih 20 menit .

2. Pembantaian

Seperti telah diketahui bahwa usus ikan mengandung kedua enzim pencernaan dan bakteri, yang memainkan peran penting dalam pembusukan ikan Pembantaian akan berfungsi untuk memperlambat proses pembusukan autolisis dan bakteri serta mampu menjaga waktu lebih lama untuk ikan.

Pembantaian ikan mungkin dapat bermanfaat dalam mengurangi kejadian parasit dalam daging ikan, tetap manfaat ini belum diketahui kebenarannya. Beberapa cuaca juga pertanyaan gutting tepat waktu ikan juga mungkin bermanfaat dalam mencegah terjadinya "bau feedy"

Agar daya simpan dan mutu ikan tetap terjaga, maka pada saat pemotongan harus dijalankan dengan baik yakni ketika ikan selesai proses pembantaian, tidak ada sisa yang menempel pada ikan.3. Pencucian

Setelah pembantaian, ikan dicuci dalam air dingin bersih. Ini dapat menghilangkan lendir dan bakteri pembusuk terkait dari permukaan ikan serta material sisa usus dan bakteri pembusukan dari rongga usus. Ini akan menghambat kemajuan pembusukan bacetrial pada ikan . Pencucian ikan juga membantu proses menghilangkan darah darah berlebih sebagai akibat dari proses pembantaian.

Harus diingat bahwa untuk mencuci menjadi afektif pasokan sanitasi air harus digunakan. Air diambil dari daerah tercemar banyak memiliki penampilan melakukan sementara yang baik, pada kenyataannya, bakteri masyarakat, signifikansi kesehatan mungkin ditambahkan ke ikan sehingga untuk membuat itu tidak layak untuk dikonsumsi manusia.

4. Pemberian es

Mengontrol suhu ikan yang baru tertangkap mungkin merupakan bagian yang paling penting dalam pelestarian ikan segar. Semua ikan membutuhkan pendinginan sesegera mungkin setelah dipanen dengan tujuan agar ikan mencapai suhu tinggi dalam waktu yang singkat.

Penting untuk dicatat bahwa es yang digunakan dalam pendinginan ikan harus dibuat dari air bersih karena jika terbuat dari air yang terkontaminasi, es dapat berfungsi sebagai reservoir bakteri yang membuat ikan tidak sehat dan tidak cocok untuk diproses. Jika es terkontaminasi, maka hasilnya ikan dalam bak air ikut terkontaminasi.

5. Penyimpanan ikan

Penyimpanan untuk memperbaiki kualitas ikan dapat dilakukan dengan meminimalkan ketinggian penyimpanan. Telah ditemukan bahwa penyimpanan dangkal ikan menyebabkan penurunan berat selama penyimpanan, pemeliharaan tekstur daging yang lebih baik, dan tingkat pembusukan lebih lambat.

6. Kebersihan

Kontaminasi dari sumber manapun dapat berfungsi untuk menurunkan kualitas ikan karena adanya bakteri pembusuk atau bahan asing. Untuk memastikan ikan yang ditangani dengan cara sanitasi dapat menggunakan air bersih, peralatan sanitasi, dan memanfaatkan praktik komersial yang baik.D. Cara Pengukuran Kualitas atau Mutu

Pengukuran mutu dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu secara organoleptik dan kimiawi.

1. Organoleptik

Dalam menentukan kualitas produk perikanan segar maupun olahan, diperlukan cara yang mudah, cepat dan akurat. Dengan demikian tidak ada satu pun metode analisis tunggal yang dapat digunakan untuk menetapkan kesegaran ikan dengan sempurna. Meskipun telah banyak metode analisis baik secara biokimiawi maupun mikrobiologi yang cocok digunakan untuk menganalisis kondisi kesegaran/ kebusukan ikan yang sesuai, namun dalam pelaksanaan analisis secara biokimiawi dan mikrobiologi diperlukan peralatan yang cukup mahal dan waktu yang lama.

Pengujian mutu organoleptik ikan bersifat subyektif yaitu penilaian diberikan oleh panelis berdasarkan pengamatan secara langsung yang mengacu pada score sheet dengan rentang nilai tertentu. Penilaian tersebut merupakan cara yang paling banyak dilakukan dalam menentukan tanda-tanda kesegaran ikan karena lebih mudah dan cepat, tidak memerlukan banyak peralatan dan laboratorium. Makin tinggi nilai yang diberikan menunjukkan makin bagus kondisi/ kesegaran ikan (Hadiwiyoto, 1993). Analisis secara sensori untuk produk perikanan segar selama ini merupakan cara yang mudah dan cepat. Meskipun demikian kelemahan dari cara ini adalah tingginya tingkat subyektivitas dari para panelis, terlebih apabila panelis yang melakukan asesmen bukan panelis terlatih. Oleh karena itu dalam pelaksanaan asesmen sensori untuk menentukan mutu/ kondisi kesegaran ikan, keterlibatan panelis terlatih mutlak diperlukan. Pengamatan pada metode ini meliputi warna, bau, konsistensi dan penampakan daging. Perubahan organoleptik disebabkan karena melunaknya tekstur daging ikan. Pelunakan tekstur terjadi karena penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu polipeptida, asam amino dan amoniak yang dapat meningkatkan pH ikan. Keadaan basa adanya hasil pemecahan protein, lemak, dan karbohidrat merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Murniyati dan Sunarman 2000).

Tabel Tanda-tanda ikan segar yang dapat dikonsumsi segar:

2. Kimiawi Pengukuran mutu secara kimiawi yakni mengukur kualitas produk secara objektif (objective analysis) berdasarkan kandungan kimia yang terdapat dalam suatu produk. Prinsip dari pengujian secara kimiawi adalah analisis ini tidak tergantung pada indera manusia untuk pengujian, melainkan menggunakan alat/instrumen tertentu dan metode terstandar. Dalam melakukan pengujian kualitas secara kimiawi dibutuhkan dasar pengetahuan kimia bagi para penguji, sehingga tidak sembarang orang dapat melakukannya. Kelebihan dari pengukuran mutu secara kimiawi ini adalah sangat objektif sehingga hasil pasti (kuantitatif) dan memiliki prosedur terstandar sehingga hasilnya dapat dipercaya (realibility tinggi). Sementara kekurangan dari metode ini yaitu membutuhkan biaya yang mahal, sangat kompleks sehingga menuntut untuk memiliki pengukur keahlian dan pengetahuan di bidang analisa kimia, membutuhkan ketelitian dan kehati-hatian dalam pengerjaannya, karena melibatkan reagen-reagen kimia dan tidak dapat diterapkan dalam pengukuran kualitas beberapa produk.

Beberapa alat yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas produk perikanan, yaitu:1. GR Torrymeter

Alat ini digunakan untuk mengukur tingkat kebusukan pada ikan dengan mengukur perubahan progresif dari kulit dan jaringan di bawahnya. Alat ini biasanya digunakan untuk mengukur tingkat kebusukan ikan pada produk dingin dan ikan utuh, namun tidak dapat digunakan untuk ikan beku atau di thawing atau fillet.2. Icelandic Fish Content Scale

Alat ini digunakan untuk menilai kandungan lemak spesies ikan yang berlemak. Alat ini berbentuk sebatang kuningan dikalibrasi yang memanfaatkan berat jenis ikan untuk menentukan kandungan lemak. 3. Moisture Balance

Alat ini merupakan alat laboratorium dengan pemanas inframerah yang membuat sampel halus cepat kering di bawah pertanyaan dan beratnya hampir bersamaan yang menghasilkan pembacaan ukuran kelembaban umumnya dengan sensitifitas 0,1%.4. Colormet

Alat ini digunakan untuk membantu praktisi dalam menilai derajat perdarahan yang telah dicapai dalam penanganan banyak ikan yang akan dijual. Prinsip dari alat ini yaitu saat menyentuh ke permukaan potongan fillet ikan, dapat menilai jumlah hemoglobin (pigmen merah dari darah) yang tersisa dalam daging.5. Quality Probe

Alat ini digunakan untuk pengujian kerusakan tekstur pada fillet ikan. Alat ini menggunakan probe sensitif yang berlaku pada fillet dan perlahan memendek. Rebound dari fillet ini digunakan bersama dengan penurunan kekuatan dan penurunan jarak untuk menghitung indeks tekstur. Indeks tekstur ini secara langsung berkaitan dengan kesegaran (grade) dari fillet.6. DurometerAlat ini digunakan untuk mengukur secara objektif kekerasan atau kelembutan dari cangkang kepiting dan menguji secara komparatif, lebih efektif bila dibandingkan dengan pengujian secara sensoris. Berikut ini adalah contoh alat Durometer.

Sumber gambar: http://www.alatuji.com/kategori/400/durometer7. Crab Life Detector

Alat ini merupakan alat elektrik yang digunakan untuk mendeteksi apakah kepiting dan lobster sudah dalam keadaan benar-benar mati. Prinsip dari alat ini yakni perangkat bertenaga baterai bekerja dengan mengirimkan sebuah panah kecil berarus listrik ke dalam ikan melalui dua probe logam tipis yang disisipkan di antara cangkang. Apabila kepiting/lobster tersebut sudah mati tidak ada reaksi apapun pada alat ini, namun apabila masih hidup, dorongan listrik akan mengkontraksi daging sehingga menyebabkan pergerakan pada kaki. Kebusukan secara kimiawi dapat diukur dengan beberapa indikator, diantaranya:1. Asam lemak bebas

Nilai asam lemak bebas merupakan indikator dari tingkat ketengikan secara hidrolitik. Nilaiasam lemak bebas ditentukan melalui titrasi dengan alkali standar. Nilai penerimaan asam lemak bebas harus ditetapkan untuk masing-masing spesies dengan masing-masing batas maksimum.2. Angka peroksidaAngka peroksida merupakan indikator dari tingkat ketengikan secara oksidatif. Pengukuran angka peroksida pada prinsipnya yaitu jumlah oksigen yang diserap oleh ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh.3. Thiobarbituric acid value (TBA)TBA merupakan indikator dari ketengikan secara oksidatif. Autoksidasi mengarah pada pembentukan malonaldehyde dan derivatnya yang dapat diukur melalui reaksi dengan TBA. Tingkat kebusukan diikuti oleh peningkatan TBA, sehingga ikan dengan kualitas baik memiliki nilai TBA lebih kecil dari 2 dan ikan dalam kualitas buruk memiliki nilai antara 3 hingga 27. 4. Angka iodinAngka iodin digunakan sebagai indikator dari tingkat ketidakjenuhan. Gliserida dari asam lemak tidak jenuh bereaksi dengan jumlah yang pasti dari iodin dengan penambahan ikatan rangkap.5. Angka saponifikasiNilai ini mengacu pada besarnya dari miligram potassium hidroksida yang dibutuhkan untuk melengkapi saponifikasi 1 gram lemak. Nilai ini memberikan estimasi rata-rata berat molekul dari lemak.6. Hipoksantin

Hipoksantin berasal dari pemecahan ATP, semakin tinggi kandungan hipoksantin maka tingkat kesegaran ikan rendah. Besarnya kadar hipoksantin yang masih dapat diterima oleh konsumen tergantung berbagai faktor diantaranya jenis hasil perikanan dan keadaan penduduk setempat.7. Total Volatile Base (TVB) dan Trimetil amin (TMA)TVB merupakan hasil dekomposisi protein oleh aktifitas bakteri dan enzim. Hasil pemecahan protein bersifat volatil dan menimbulkan bau busuk seperti amonia, H2S, merkaptan, phenol, kresol, indol dan skatol. Pada uji kimiawi, ditentukan kadar senyawa yang terdapat pada ikan sebagai bahan baku industri. Senyawa tersebut terbentuk sebagai hasil perubahan kimiawi dari senyawa-senyawa yang terdapat pada ikan seperti senyawa yang mengandung nitrogen terbentuk senyawa basa volatil yang keseluruhannya disebut total volatile bases (TVB). Menurut Connel (1975) ikan benar-benar telah busuk ketika kadar TVBnya melebihi 30 mg-N/100 gram. Prinsip pengukuran kadar TVB adalah destilasi uap basa-basa volatil terhadap sampel. Senyawa basa volatil tersebut diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan HCl (Ilyas, 1988).TMA merupakan senyawa organik yang terbentuk dari pengurairan senyawa lipoprotein menjadi kolin, lalu diuraikan menjadi TMAO oleh enzim dehidrogenase dan kemudian direduksi menjadi TMA sebagai senyawa yang besar terdapat pada ikan laut. Oleh karena itu TMA yang digunakan sebagai indeks kerusakan ikan laut. Karena kandungan TMA dan TMAO pada ikan laut lebih tinggi dibanding ikan air tawar, sehingga untuk ikan air tawar biasanya digunakan amonia sebagai indeks kerusakannnya. Pada prinsipnya pengukuran kadar TMA hampir sama dengan TVB hanya saja pada pengujian TMA, perlu adanya penambahan formalin 40% sebanyak 0,5 ml yang diletakkan diantara sampel dan K2CO3. Larutan formalin ditambahkan untuk mengikat senyawa lain selain TMA.8. HistaminSebagian besar ikan konsumsi dari golongan scromboid mempunyai karakteristik yakni memiliki banyak histidin bebas pada dagingnya. Histamin adalah senyawa biogenik amin hasil perombakan asam amino histidin bebas yang berada pada daging ikan. Histamin merupakan senyawa amin yang dihasilkan dari prose dekarboksilasi histidin bebas. Bakteri seperti P. Morganii merupakan bakteri yang menyebabkan kontaminasi pada jaringan ikan selama pembusukan dan mampu mendekarboksilasi histidin untuk membentuk histamin.Keracunan histamin disebabkan akibat mengkonsumsi ikan golongan scombroid. dalam kasus analisis bakteriologis makanan laut dan produk terkait, terdapat sejumlah tes standar yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas. Tes ini juga sering dijadikan sebagai sarana untuk mengevaluasi praktik sanitasi dari operasi pengolahan hasil laut.Menurut FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat, keracunan histamin akan berbahaya jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50mg/100gram ikan. Sedangkan kandungan histamin sebesar 20 mg/100 gram ikan terjadi karena penanganan yang tidak higienis. Menurut Summer et al. (2004), terdapat 4 macam tingkatan level histamin, yaitu aman konsumsi (100 mg/100 gram).BAB IIIPENUTUP

a. Kesimpulan

1. Mutu intrinsik terdiri dari atribut keamanan pangan, gizi, sensori nilai, dan proses. indikator mutu intrinsik secara aktual berasal dari fisik produk. Mutu ini tidak dapat diganti atau dimanipulasi secara eksperimen tanpa mengubah karakteristik produk tersebut.2. Proses perombakan yang terjadi pada ikan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pre rigor, rigor dan post rigor mortis. Pre rigor adalah tahap dimana mutu dan kesegaran ikan sama seperti ketika masih hidup. Rigor mortis adalah tahap dimana produk perikanan memiliki kesegaran dan mutu seperti ketika masih hidup, namun kondisi tubuhnya secara bertahap menjadi kaku. Hingga tahap rigor mortis, ikan dapat dikatakan masih segar. Namun memasuki tahap post rigor mortis, proses pembusukan daging ikan telah dimulai.3. Seperti telah diketahui bahwa perubahan kualitas ikan akan terjadi setelah ikan dipanen, untuk itu diperlukan suatu penanganan untuk mencegah perubahan tersebut agar selambat mungkin. Program Grading Point-of-Sale yang diusulkan untuk mencegah tekanan yang tidak semestinya pada ikan dan memastikan sanitasi penanganan ikan, Secara garis besar program ini mencakup penyiangan, pembantaian, pencucian, pemberian es dan penyimpanan. 4. Pengujian mutu organoleptik ikan bersifat subyektif yaitu penilaian diberikan oleh panelis berdasarkan pengamatan secara langsung yang mengacu pada score sheet dengan rentang nilai tertentu. Sedangkan pengujian secara kimia dilakukan dengan menganalasisa kadar air, abu/mineral, lemak, protein, karbohidrat, TVB dan TMA.DAFTAR PUSTAKAAnonim. 2013. Durometer. http://www.alatuji.com/kategori/400/durometer. (diakses pada tanggal 25 November 2013 pukul 20.31 WIB)[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of

The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official

Analytical Chemist, Inc.

Caswell JA. 2000. Analyzing quality and quality assurance (including labeling) for GMOs. J. Agbioforum 3(4): 225-230. Caswell JA, Noelke C, Mojduszka E. 2002. Unifying two frameworks for analyzing quality and quality assurance for food products. In: Krissoff B, Bohman M,Caswell JA (Eds.). Global Food Trade and Consumer Demand for Quality. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers. Grunert K, Larsen HH, Madsen TK, Baadsgard A. 1996. Market Orientation in Food and Agriculture. Kluwer Academic Publishers. Boston.Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Liberty.YogyakartaLazarova R. 2010. Consumers perception of food quality and its relation to the choice of food [tesis]. Denmark: Master of Science in Marketing, Aarhus University.

Murniyati AS, Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Northen JR. 2000. Quality attributes and quality cues: effective communication in the U.K. meat supply chain. The British Food Journal 102(3): 230-245. Olson J, Jacoby J. 1972. Cue utilization in the quality perception process. In: Venkantesan M. (ed). Proceedings of the Third Annual Conference of the Association for Consumer Research. Association for Consumer Research: 167-179.

Sonny Widiarto, 2009 Kimia Analitik

Steenkamp J, Wierenga B, Meulenber M. 1986. Analysis of food quality perception process. Netherland Jurnal of Agricultural Science 34: 227-230.Steenkamp J. 1990. Conceptual model of the quality perception process. J Business Research 21(4): 309333.Yunizal, Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan LautSlipi.