biofar p 4 in vivo

24
PERCOBAAN IV ABSORPSI PERKUTAN OBAT SECARA IN VIVO I. TUJUAN Percobaan ini ingin mengetahui absoprsi perkutan dan fungsi stratum korneum sebagai penghalang fisik dalam absorpsi perkutan obat. II. DASAR TEORI Berbagai macam pemakaian obat telah kita kenal, seperti cara oral, intravena, intramuskular, intraperitoneal, subkutan, rectal, dan nasal. Pemakaian obat yang dioleskan pada permukaan kulit sering disebut sebagai pengobatan secara topical. Pada obat yang digunakan secara topical, untuk dapat memberikan aksinya obat harus dapat dilepaskan dari pembawa. Selanjutnya, obat dapat berada pada permukaan kulit dan atau menembus sampai ke dalam epidermis serta mungkin dapat sampai peredaran darah. Penetrasi obat ke dalam kulit ditentukan oleh berbagai faktor, seperti sifat fisikokimia obat dan bahan pembawa. Selain faktor fisikokimia tersebut, faktor kulit juga tidak kalah pentingnya. Anatomi dan fisiologi kulit Kulit merupakan organ tubuh terbesar yang tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus tubuh dan terdapat saraf

Upload: novi-candradewi

Post on 13-Nov-2015

237 views

Category:

Documents


66 download

DESCRIPTION

metode in vivo dilakukan langsung di dalam tubuh hewan uji tanpa merubah kondisinya sehingga akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya saja enzim-enzim dalam tubuh sehingga harus sangat dipertimbangkan sebelum dilakukan percobaan pada hewan uji.

TRANSCRIPT

PERCOBAAN IV

PERCOBAAN IV

ABSORPSI PERKUTAN OBAT SECARA IN VIVO

I. TUJUAN

Percobaan ini ingin mengetahui absoprsi perkutan dan fungsi stratum korneum sebagai penghalang fisik dalam absorpsi perkutan obat.

II. DASAR TEORI

Berbagai macam pemakaian obat telah kita kenal, seperti cara oral, intravena, intramuskular, intraperitoneal, subkutan, rectal, dan nasal. Pemakaian obat yang dioleskan pada permukaan kulit sering disebut sebagai pengobatan secara topical. Pada obat yang digunakan secara topical, untuk dapat memberikan aksinya obat harus dapat dilepaskan dari pembawa. Selanjutnya, obat dapat berada pada permukaan kulit dan atau menembus sampai ke dalam epidermis serta mungkin dapat sampai peredaran darah. Penetrasi obat ke dalam kulit ditentukan oleh berbagai faktor, seperti sifat fisikokimia obat dan bahan pembawa. Selain faktor fisikokimia tersebut, faktor kulit juga tidak kalah pentingnya.

Anatomi dan fisiologi kulit

Kulit merupakan organ tubuh terbesar yang tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus tubuh dan terdapat saraf perasa, tetapi kulit berfungsi untuk menjaga tubuh dari pengaruh luar, seperti tekanan, suhu, senyawa kimia, dan menahan masuknya kuman kedalam tubuh. Kulit manusia tersusun secara berlapis-lapis dengan struktur dan fungsi yang kompleks. Kulit dapat dibagi secara umum, menjadi 3 lapis yang berbeda, yaitu epidermis, dermis, dan jaringan subdermis yang berlemak.

Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang pada umumnya berfungsi sebagai penghalang terpenting dari hilangnya air, elektrolit, dan atau nutrien tubuh , serta penahan masuknya senyawa asing dari luar. Epidermis terdiri dari stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basal (germinativum).

Kehidupan jaringan epidermis dimulai dai sel-sel stratum germinativum ke arah luar yang kemudian berkembang menjadi sel-sel bersegi banyak dan membentuk lapisan-lapisan yang disebut sebagai stratum spinosum. Sel-sel itu ke arah luar membentuk lapisan-lapisan menjadi stratum granulosum. Lapisan terluar epidermis adalah stratum korneum yang terdiri dari sel-sel mati yang rata (flat) dan mengandung sekitar 65% keratin, yaitu suatu protein yang dihasilkan selama proses diferensiasi. Sel-sel stratum korneum saling berdempet satu dengan yang lain dan bagian epidermis ini merupakan penghalang yang paling penting dari kulit terhadap masuknya benda-benda asing. Umumnya stratum korneum mempunyai 10-15 lapis sel dan ketebalanya dalam keadaan kering sekitar 10 mikrometer, tetapi bila kena air akan mengembang sampai beberapa kalinya. Sel-sel stratum korneum mempunyai bobot jenis 1,5 g/cm3 dengan ketebalan tiap-tiap selnya 0,5-1,5 mikro meter stratum korneum ini memegang peranan penting dalam mengontrol absoprsi perkutan molekul-molekul obat. Permeabilitas selektif stratum korneum merupakan tema sentral dalam berbagai aspek untuk studi biofarmasetika produk-produk topical.

Dermis

Dermis adalah lapisan kulit yang terletak antara epidermis dan jaringan lemak subkutan. Tebal lapisan ini sekitar 3-5mm. Dermis mengandung jaringan padat dari serabut protein, seperti kolagen, retikulum, dan elastin yang disimpan dalam subtansi dasar amorf dari mukopolisakarida.

Fungsi dermis ini terutama melindungi tubuh dari luka, menjadikan epidermis lebih fleksibel, penghalang tehadap infeksi, dan sebagai organ penyimpan air. Dalam dermis terdapat pembuluh-pembuluh darah, sayaraf limpatik, kelenjar eksrin, kelenjar apokrin, folikel rambut, dan kelenjar sebasea.

Kelenjar keringat ditemukan disleuruh permukaan tubuh dan mensekresi suatu larutan encer garam dan beberapa kompinen lain (95% keringat berupa air). Keringat mempunyai pH 4,5-5,5. Fungsi utama kelenjar ini untuk mengontrol panas dan sekresinya diransang oleh temperature luar (yang tinggi) dan atau proses dalam tubuh yang menghasilkan panas. Kelenjar keringat merupakan bagian kecil dari pembuluh tubuh, yaitu 1/10.000 total permukaan tubuh.

Kelenjar sebasea terdapat pada bagina leher tiap folikel rambut dengan diameter 2000-2000 mikro meter . Kelenjar ini mensekresikan material minyak dengan komposisi : trigliserida 57,5%, ester-ester lilin 26%, squalence 12%, ester-ester kolesterol 3%, dan kolesterol 1,5%. Komposisi sebum ini bervariasi tergantung umur , jenis kelamin, dan bangsa. Sebum ini menyebabkan terbentuknya lapisan tipis diskontinue bahan lipofil pada beberapa permukaan kulit, karenanya sebum dapat merupakan absorpsi obat untuk obat obat yang larut lemak.

Absoprsi perkutan

Absorpsi perkutan dapat didefinisikan sebagai absoprsi obat ke dalam stratum korneum (lapisan tanduk) dan berlanjut obat menembus lapisan dibawahnya serta akhirnya obat masuk dalam sirkulasi darah.

Kulit merupakan perintang yang efektiv terhadap penetrasi perkutan obat atau senyawa eksternal. Absoprsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat dan pembawa serta kondisi kulit. Pada pemakaian obat secara topikal, obat berdifusi dalam pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit (stratum korneum dan sebum ) serta obat selanjutnya menembus epidermis.

Penetrasi obat melalui kulit dapat terjadi dengan 2 cara:

1. Rute transepidermal : yaitu difusi obat menembus stratum korneum

2. Rute tranfolikular : yaitu difusi obat melewati pori kelenjar keringat .

Proses absorpsi perkuatn terdiri dari tahap-tahap partisi obat kedalam stratum korneum dan sebum. Rute yang merupakan rute penting adalah rute transepidermal sebab permukaan epidermis mempunyai luas beberapa klai luas rute transfolikular.

Difusi obat melalui membran

Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya. Setelah obat kontak dengan stratum korneum maka obat akan menembus epidermis dan masuk dalam sirkulasi sistemik secara difusi pasif.

Difusi pasif adalah proses perpindahan massa dari tempat yang berkonmsetrari tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah. Perbedaan konsentrasi itu merupakan daya dorong (druving force) sebagai penyebab terjadinya perpindahan massa. Untuk difusi dengan melewati embran molekul obat harus masuk dan melarut dulu dalam membarn itu. Selanjutnya, obat berdifusi meninggalkan membran dan masuk kedalam medium reseptor.

Difusi pasif mengkuti hukum Fick, yaitu teori yang menggambarkan hubungan antara fluks obat melewati membran sebagai fungsi perbedaan konsentrasi, persamaan Fick dapat dituliskan sebagai berikut :

J = (K D / h) (Cs C)

Dengan J = Fluks persatuan luas, K = Koefisien partisi obat dalam pembawa, h = Tebal membran; D = Koefisien difusi obat, C = Konsentrasi obat dalam medium reseptor. Bila harga Cs>>>>C maka persamaan diatas dapat disederhanakan :

J = (K D / h)Cs

Cs>>>> C sering disebut sebagai kondisi sink, Term (K D / h) sering disebut sebagai koefisien permeabilitas (P).

III. ALAT DAN BAHAN

Alat :

Alat-alat gelas

Sentrifuga

Spektrofotometer

Timbangan

Stripper

Bahan :

Salep asam salisilat basis vaselin

EDTA Larutan TCA 10 %IV. CARA KERJA

Pengambilan sampel darah darah diambil dari vena dibagian telinga sebanyak 2 m l

Darah ditampung dalam tabung yang telah diisi dengan

EDTA dan sebentar-sebentar digoyang-goyangkan

Darah disentrifugasi dengan kecepatan medium selama

15 menit

Bagian plasmanya dipisahkan dari bagian sel-sel darah

merahnya dan diambil sebanyak 1 m l

Plasma dalam tabung ditambah dengan 1m l larutan TCA

!0% dan camp disentrifugasi selama kira-kira 15 air

Sebanyak 3 m l ditambahkan pada beninan itu.

Beningan dari camp itu diambil sebanyak 1 m l dan

air ebanyak 3 m l ditambahkan pada beningn itu

Konsentrasi obat dalam camp dapat ditentukan dengan

spektorfotometer.

Penentuan Recovery asam salisilat Sampel darah yang telah diambil ( I m l) ditambah

dalam plasma

Lart asam salisilat 300 mikro gram /l, 2 m l

Camp diperlakukan seperti pada langkah

pengambilan sampel darah

Perlakuan pada kelinci

Kelinci dicukur bulunya pada daerah punggung

seluas sekitar 20 c m 2 dengan panjang 5 c m dan

lebar 4 c m

Pada bagian yang telah dicukur itu dioleskan salep

asam salisilat sebanyak 2 gram

Pada kelinci yang lain, stratum korneum dikurangi jumlah lapisanya dengan jalan stripping (dengan cara menempelkan kertas isolasi pada kulit yang telah dicukur bulunya beberapa kali)

Stripping dilakukan 5kali, 10 kali, 15 kali, 20 kali atau 25 kali.

Salep ditutuip dengan Alumunium Foil dan dabalut dengan kain kasa

Pengambilan sampel darah dilakukan pada jam ke 0,5 , 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 dan ditentukan konsentrasi

Analisis hasil

Hasil perconan dianalisis luas daerah bawah kurva dari

kurva hubungan anatar konsentrasi obat dalam plasma dan

waktu.

V. DATA PERCOBAAN

Nama Bahan Obat: Asam Salisilat

Bentuk Sediaan: Salap

Bahan Pembawa: Vaselin-propilen glikol

Bobot sample

: 2 gram

Obat yang diberikan: Salap asam salisilat

Hewan percobaan: Kelinci

Berat kelinci

:gram

Luas Permukaan kulit yang diobati: 20 cm2Percobaan dilakukan pada max = 250 nm

Kurva baku dengan persamaan garis : y = 4.71 .10-2 x + 7.15 .10-03 , harga x dalam g/ ml.

Kadar awal asam salisilat: 300 g /ml.

Perolehan kembali Obat dalamPlasma

AbsorbansiPengenceranKadar obatKadar Obat mula-mulaRecovery

0.65110136.69930045.57

Absoprsi Perkutan

waktu, jamAbsorbansiPengencerankadar

00.322533.424

0.50.486550.833

10.762580.133

20.6472.533.962

2.50.4502.523.506

Perhitungan

Perhitungan kadar obat

( jam ke 0

( jam ke 0.5

( jam ke 1

( jam ke 2

( jam ke 2.5

Perhitungan AUC

Perhitungan koefisien permeabilitas

EMBED Equation.DSMT4

VI. PEMBAHASAN

Pada percobaan kali ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar absorpsi secara perkutan dan fungsionalitas dari stratum korneum yang mana bisa bersifat sebagai penghalang fisik dalam abosrpsi perkutan suatu obat. Karena pada umumnya, absorbsi perkutan dari bahan obat yang ada pada preparat dermatologi seperti salep, tidak hanya tergantung pada sifat kimia dan sifat fisika dari bahan obat saja, Namun juga bergantung pada sifat apabila dimasukkan ke dalam pembawa farmasetika dan pada kondisi dari kulit. Meskipun pembawa farmasetika tak dapat menembus kulit, atau membawa bahan obat melalui kulit. Untuk mengetahui absorbsi perkutan suatu sediaan farmasi, juga pengaruh stratum korneum sebagai barrier fisiknya dapat dilakukan suatu percobaan in vivo, sebagaimana percobaan 4 praktikum biofarmasetika pada kali ini.

Pertama kali kita siapkan seluruh alat dan bahan yg akan dipakai. Alat-alat yang digunakan terdiri dari alat-alat gelas, Sentrifuga, Spektrofotometer,Timbangan,dan Stripper. Sedangkan bahan yang digunakan adalah Salep asam salisilat basis vaselin, EDTA, Larutan TCA 10 %. hewan uji yang dipakai adalah kelinci. Ada dua perlakuan di mana satu ekor kelinci langsung diolesi salep setelah dicukur rambutnya, sedangkan kelinci yang lain distripping terlebih dahulu sebelum diolesi salep. Stripping dilakukan dengan menggunakan selotip yang ditempelkan pada kulit kelinci yang telah dicukur bersih, kemudian dilepas lagi. Fungsi stripping di sini adalah untuk menghilangkan lapisan stratum korneumnya. Untuk menguji apakah lapisan stratum korneum berpengaruh signifikan terhadap absorbsi perkutan, dapat dilakukan seri pengujian, kemudian membandingkan hasil obat yang diabsorbsi antara kelinci yang diperlakukan dengan stripping dan tanpa stripping dengan menggunakan uji t. Atau dengan melakukan variasi jumlah stripping yang dilakukan. Misalnya, lima kali, sepuluh kali dan sebagainya. Namun, pada praktikum kali ini, tidak dilakukan percobaan dengan stripping karena keterbatasan hewan uji pada laboratorium sehingga hanya dilakukan percobaan dengan dicukur untuk satu kelinci.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi kulit pada dasarnya sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi pada saluran cerna dengan laju difusi yang sangat tergantung pada sifat fisika kimia obat, dan hanya sedikit tergantung pada zat pembawa, pH, dan konsentrasi. Perbedaan fisiologis melibatkan kondisi kulit, yakni apakah kulit dalam keadaan baik (tanpa stripping) atau terluka (dengan stripping), umur kulit, daerah kulit yang diobati, ketebalan fase pembatas kulit, perbedaan spesies, dan kelembaban yang dikandung oleh kulit.

Salep asam salisilat yang dipakai menggunakan vaselinium album sebagai pembawa. Dan setelah selesai diolesi ditutup dengan aluminium foil dan diikat dengan kassa. Vaselin merupakan suatu pembawa lipofilik yang oklusif, membentuk suatu lapisan yang menutup kulit sehingga menyebabkan hidrasi melalui penimbunan keringat pada antarmuka kulit-pembawa. Sedangkan pemakaian aluminium foil dan kain kassa juga akan meningkatkan hidrasi tersebut. Kedua hal ini akan membantu penetrasi obat agar lebih cepat dalam menembus kulit. Keadaan hidrasi dari stratum korneum tersebut merupakan faktor fisika-kimia utama dalam penetrasi kulit.

Setelah pengolesan salep secara topikal, konsentrasi obat yang telah diabsorbsi dapat diperhitungkan dengan pengambilan sampel darah dari vena marginalis di bagian telinga kelinci pada selang waktu tertentu. Dari sampel darah tadi, diambil plasmanya untuk dianalisis dengan spektrofotometer. Saat pengambilan darah, tabung diberi EDTA terlebih dahulu agar darah tidak menjendal. Darah selanjutnya disentrifugasi untuk mendapatkan bagian plasma. Plasma darah ini lalu ditambah TCA untuk menggumpalkan protein plasma yang mungkin mengikat obat yang akan dianalisis. Kemudian disentrifugasi lagi untuk memisahkan endapannya.

Dari pengukuran secara spektrofotometri, diperoleh data yang berupa absorbansi. Untuk mengkonversikan absorbansi menjadi konsentrasi, maka diperlukan kurva baku yang merupakan hubungan antara absorbansi (Y) dengan seri kadar obat yang telah diketahui (X). Dari percobaan diadapatkan :

waktu, jamAbsorbansiPengencerankadar

00.322533.424

0.50.486550.833

10.762580.133

20.6472.533.962

2.50.4502.523.506

Validitas dari metode ini diuji dengan menghitung nilai recovery-nya. Pada suatu metode, semakin tinggi recovery-nya, maka metode tersebut makin baik. Penghitungan recovery dilakukan dengan memasukkan obat dengan konsentrasi tertentu ke dalam darah yang diambil sebelum kelinci diolesi salep. Dengan preparasi sampel yang sama, absorbansinya diukur dengan spektrofotometer untuk kemudian dihitung berapa konsentrasinya. Konsentrasi yang diperoleh ini lalu dibandingkan dengan konsentrasi obat mula-mula yang ditambahkan. Pada kali ini recovery yang didapatkan :

AbsorbansiPengenceranKadar obatKadar Obat mula-mulaRecovery

0.65110136.69930045.57

Dari nilai recovery yang didapatkan sekitar 45,57%, Recovery yang sangat baik antara 70-95%. Kemudian kita evaluasi dengan AUC yg dianggap sebagai jumlah obat yg terdapat dalam sirkulasi sistemik didapatkan nilai AUC pada kali ini 125,22 . dan didapatkan permeabilitasnya 0,008348 .Biasanya pada percobaan sering terjadi hemolisis, hal ini dapat disebabkan karena pecahnya sel darah merah. Pecahnya sel darah ini bisa terjadi karena dalam preparasi sampel kurang hati-hati, atau EDTA maupu TCA yang ditambahkan menyebabkan plasma menjadi hipotonis dan cairan dalam sel darah menjadi hipertonis, sehingga terjadi lisisnya sel darah.

Pada penetrasi perkutan, yakni perjalanan melalui kulit, meliputi :

disolusi suatu obat dalam pembawanya

difusi obat terlarut (solut) dari pembawa ke permukaan kulit

penetrasi obat melalui lapisan-lapisan kulit, terutama lapisan stratum korneum. Oleh karena itu, ini merupakan laju yang membatasi atau mengontrol permeasi.

Stratum korneum dianggap sebagai suatu lapisan homogen yang padat. Nonelektrolit polar yang kecil berpenetrasi ke dalam bulk dari stratum korneum dan berikatan kuat dengan komponen-komponennya. Difusi kebanyakan zat melalui batas ini agak lambat. Sebagian besar difusi adalah transelular bukan terjadi melalui saluran antarsel atau melalui pori sebasea dan saluran keringat. Stratum korneum merupakan membran biologis yang impermeable (tidak dapat ditembus), ini salah satu segi penting dalam sistem kehidupan.

Pada penetrasi perkutan, setelah kondisi steady state mantap, difusi transepidermik melalui stratum korneum umumnya mendominasi (lebih banyak berperan). Walaupun dalam tahap penetrasi awal, difusi melalui organ tambahan (folikel rambut, saluran sebasea, dan saluran keringat) mungkin bermakna. Hal tersebut dikarenakan karena luas permukaan organ-organ tambahan tersebut lebih kecil dibanding dengan daerah kulit yang tidak mengandung elemen anatomi ini.

Faktor-faktor penting yang mempengaruhi penetrasi dari suatu obat ke dalam kulit adalah :

Konsentrasi obat terlarut Cs, karena laju penetrasi sebanding dengan konsentrasi.

Koefisien partisi K antara kulit dan pembawa yang merupakan ukuran afinitas relatif dari obat tersebut untuk kulit dan pembawanya.

Koefisien difusi yang menggambarkan tahanan pergerakan molekul obat melalui barrier pembawa dan pembatas kulit. Besaran relatif dari kedua koefisien difusi menentukan apakah pelepasan dari pembawa atau perjalanan melalui kulit merupakan tahap penentu laju.

Begitu zat melalui stratum korneum, tampaknya tidak ada gangguan penetrasi selanjutnya yang berarti pada lapisan epidermis dan korium, kemudian segera masuk ke sirkulasi melalui kapiler. Penurunan konsentrasi pada dasarnya berakhir pada lapisan dermis pada awal sirkulasi. Sirkulasi sistemik bertindak sebagai gudang atau tempat obat. Pada sirkulasi umum, obat diencerkan dan didistribusikan dengan cepat dengan sedikit penimbunan sistemik.

Apabila kita lihat pada contoh percobaan dengan menggunakan stripping biasanya pada proses stripping, lapisan stratum korneum kulit terluka (rusak) sehingga barrier permeasi melalui kulit berkurang. Maka obat yang dapat memasuki aliran darah perkutan lebih banyak dan kadar obat dalam sirkulasi sistemik lebih besar bila dibandingkan pada perlakuan yang hanya dicukur bulunya yang tidak menyebabkan kerusakan pada stratum korneum. Luka pada kulit atau dalam keadaan dimensi yang berbeda akan menyebabkan perbedaan dalam absorbsi obat. Jelas sekali bahwa kulit yang telah dipotong secara dirusak atau dipecah akan memungkinkan obat dan bahan asing lainnya mendapat jalan langsung ke jaringan subkutan.

Jadi, perbedaan fisiologi yang melibatkan kondisi kulit, yakni apakah kulit dalam keadaan terluka atau baik, umur kulit, daerah kulit yang diobati, ketebalan fase pembatas kulit, perbedaan spesies dan perbedaan kelembaban yang dikandung oleh kulit.

Penyimpangan teori seing terjadi,banyak hal yang dapat menyebabkan penyimpangan dari teori di antaranya :

proses pembacaan serapan yang tidak teliti sehingga didapatkan jumlah kadar yang salah.

nilai recovery yang merupakan tolok ukur efisiensi suatu analisis kecil, yaitu hanya 45,57%, sehingga kesalahan sistematiknya besar. Padahal kesalahan sistematik merupakan tolok ukur inakurasi penetapan kadar. Kesalahan ini dapat berupa kesalahan konstan atau proporsional.

KESIMPULAN

1. Nilai permeabilitas salap asam salisilat dalam vaselin-PEG untuk kulit normal kelinci adalah 0,008348

2. Nilai recovery dari percobaan ini adalah 45,57% dan kesalahan sistematiknya 54,43% Jika dilihat dari recoverynya maka analisis dianggap tidak efisien, dan karena kesalahan sistematiknya lebih besar maka akurasi dalam penetapan kadarnya kecil dan kemungkinan besar terjadi kesalahan data. Hal tersebut yang menyebabkan hasil percobaan tidak sesuai dengan fakta.

3. Seharusnya, jika lapisan stratum korneum telah rusak maka akan makin mudah zat-zat asing masuk ke dalam tubuh.

4. Absorbsi obat secara kutan dipengaruhioleh sifat fisika kimia obat dan perbedaan fisiologi yang melibatkan kondisi kulit, yakni apakah kulit dalam keadaan terluka atau baik, umur kuli, daerah kulit yang diobati, ketebalan fase pembatas kulit, perbedaan spesies dan perbedaan kelembaban yang dikandung oleh kulit.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel,c,howart. 1989.pengantar Bentuk sediaan Farmasi, edisi keempat. Jakarta;

Universitas Indonesia

Lachman,Leon. 1989, Teori dan Praktek Farmasi Industr, edsi kedua,Jakarta, Universitas Indonesia

Martin,alvred. 19993, Farmasi Fisik, Dasar-daar Farmasi fisik dalam ilmu farmasetik, Jakarta,Universitas Indonesiasss

_1161362398.unknown

_1161365043.unknown

_1161365045.unknown

_1161365046.unknown

_1161365392.unknown

_1161365044.unknown

_1161362527.unknown

_1161364431.unknown

_1161364919.unknown

_1161365042.unknown

_1161364444.unknown

_1161362676.unknown

_1161362455.unknown

_1161361968.unknown

_1161362341.unknown

_1161362251.unknown

_1161362297.unknown

_1161361568.unknown