journal
DESCRIPTION
hutrewssTRANSCRIPT
Journal Reading
Anaesthesia for non-obstetric surgery during pregnancy
Diperkirakan bahwa sekitar 1-2% dari wanita hamil di negara-negara maju menjalani
anestesi untuk operasi yang tidak terkait dengan kehamilan. Appendisitis,torsi ovarium, dan
trauma merupakan beberapa diantara indikasi terbanyak untuk intervesi operatif. Sedangkan
yang jarang diantaranya prosedur untuk gangguan jantung dan neuro yang diambil selama
kehamilan.
Untuk mendapatkan anastesi yang aman untuk ibu dan janin, sangat penting untuk
mengingat perubahan fisiologi dan farmakologi yang merupakan karakteristik kehamilan
pada trimester ketiga; perubahan-perubahan ini dapat memberikan efek samping pada ibu dan
janin. Anastesinya memiliki beberapa pencapaian di bawah ini :
(i) Mengoptimalkan dan mempertahankan fungsi fisiologi normal ibu.
(ii) Mengoptimalkan dan mempertahankan aliran darah utero-plasenta dan delivery
oksigen.
(iii) Menghindari efek obat yang tidak diinginkan pada janin.
(iv) Menghindari perangsangan miometrium (efek oksitosik).
(v) Menghindari kesadaran selama anestesi umum;
(vi) Sebisa mungkin menggunakan anastesi regional.
Penilaian Pre-anestesi.
Hal ini harus selalu melibatkan dokter obstetri dan juga termasuk penilaian janin
dengan USG, kapan perkiraan persalinan untuk diantisipasi. Konsultasi kepada Neonatalogis
juga dibutuhkan. Beberapa tanda dan gejala sering berhubungan dengan penyakit jantung,
seperti dispnoe, murmur jantung dan edema perifer biasanya normal selama kehamilan. EKG
selama kehamilan termasul left axis deviation, denyutan prematur dan perubahan gelombang
ST dan T yang tidak spesifik. Selama pemeriksaan radiologi, eksposure terhadap janin harus
di minimalisir. Hasil tes darah yang relevan serta crossmatch darah harus dipersiapkan untuk
semua operasi besar.
Jika dibutuhkan resusitasi, harus secara agresif dilakukan dengan mengikuti protokol
ALS-Advanced Life support atau ATLS-Advanced Trauma Life Support, dengan kemudian
memiringkankekiri untuk menghindari hipotensi supine.
Pre-medikasi harus selalu menyertakan pencegahan aspirasi, seperti pemberian
profilaksis aspirasi seperti ranitidine, asam sitrat, dan metoklopramide. Dan obat-obat
analgesia harus di resepkan hanya jika diperlukan untuk menghindari efek samping
merugikan pada ibu dan janin. Obat NSID harus dihindari, karena karena resiko penutupan
premature dari duktus arteriosus. Namun, aspirin dosis rendah, meskipun sering diberikan,
tampak masih aman.
Pertimbangan Obat.
Antara hari ke-15 dan ke-56 kehamilan, embrio manusia dikatakan paling rentan
terhadap efek teratogenik obat.2 Sejak 1978, sebagian besar obat yang digunakan dalam
pengobatan dan anestesi telah ditetapkan dalam kode Swedish Catalogue of Registered
Pharmaceutical Specialities (FASS). Kode-kode ini merupakan panduan untuk pilihan jenis-
jenis yang memiliki efek pada janin, plasenta dan aliran darah utero-plasenta, dan
kemungkinan perangsangan aborsi. Studi hasil dalam jumlah besar terhadap wanita-wanita
yang menjalani operasi selama kehamilan menunjukkan tidak ada peningkatan kelainan
kongenital tetapi meningkatkan besar risiko aborsi, keterlambatan pertumbuhan dan berat
badan lahir rendah. Studi ini menyimpulkan bahwa masalah yang dihasilkan adalah dari
penyakit primernya atau prosedur bedah itu sendiri daripada paparan anaesthesia.3 Meskipun
data yang tersedia tidak lengkap, penelitian menunjukkan bahwa data dari obat analgesia
hipnotis opioid atau obat penenang tidak akan memiliki efek negatif pada perkembangan
embrio atau janin.
Konsensus terkini menyatakanbahwa benzodiazepin tidak teratogenik dan dosis
tunggal dinyatakan aman. Karena kekhawatiran akan peningkatan risiko bibir sumbing,
penggunaan rutin, khususnya pada trimester pertama, mungkin harus dihindari.4
Meskipun efek primer obat pada janin sering dapat diprediksi (yaitu mirip dengan
yang terjadi pada ibu), efek sekunder juga harus juga dipertimbangkan, karena mereka
mungkin memiliki kepentingan yang lebih besar (Misalnya obat vasoaktif yang
mempengaruhi aliran darah plasenta). Contoh spesifik akan dijelaskan dalam bagian-bagian
yang relevan dari artikel ini; namun, jika ada keraguan dan kondisi ibu membutuhkan
pengobatan, maka harus meminta saran ahli.
Anestesi dan kehamilan.
Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan sama sekali selama kehamilan, dan hanya
ligasi tuba yang dapat dilakukan dalam 6 minggu pertama postpartum untuk memungkinkan
kembalinya fungsi fisiologis post kehamilan secara keseluruhan. Operasi darurat harus
dilakukan tanpa memperhatikan usia kehamilan, dimana tujuan utamanya adalah untuk
mempertahankan hidup ibu. Jika memungkinkan, operasi sering ditunda sampai trimester
kedua untuk mengurangi risiko teratogenisitas dan keguguran, meskipun tidak ada bukti kuat
untuk mendukung pendekatan ini.
Janin non-viable.
Manajemen Anestesi ketika janin sudah mati atau non-viable harus mengikuti prinsip
yang sama seperti untuk pasien hamil. Jika waktu kematian janin tidak diketahui atau telah
terjadi akibat trauma rahim atau sepsis, koagulopati dapat terjadi dan harus tangani sebelum
anestesi dan operasi.
Anestesi untuk konsepsi dan pada trimester pertama.
Banyak wanita menerima anestesi dan sedasi i.v. untuk fertilisasi in vitro. Teknik
anestesi yang ideal tidak boleh mengganggu pembuahan atau perembangan embrio awal dan
harus menghasilkan mual, sedasi, nyeri, dan gangguan psikomotor yang minimal paska
operasi. Prosedur yang paling dapat dilakukan yakni dengan dosis kecil midazolam dan
opioid. Dilanjutkan dengan sedasi propofol dan sedasi kendali sekarang mulai digunakan.
Sekarang direkomendasikan bahwa penggunaan propofol harus selalu diawasi oleh ahli
anestesi. Beberapa ahli bedah menginjeksikan dinding vagina dengan anestesi lokal,
meskipun kegunaannya masih kontroversial. Anestesi spinal telah digunakan untuk wanita
yang ingin menghilangkan sensasi pengambilan oosit; anestesi umum juga digunakan. Pada
laparoskopi untuk membantu tekhnik reproduksi mungkin memerlukan naestesi umum.
Nitrous oxide dihindari sebagaimana pada studi hewan memberikan bukti bahwa itu
adalah inhibitor potensial metionin sintase. Namun, saat ini, tidak ada bukti pada manusia
yang menunjukkan secara klinis signifikan. Setelah 6-8 minggu kehamilan, parameter
jantung, hemodinamik, pernafasan, metabolik dan farmakologis berubah drastis. Dengan
peningkatan ventilasi per menit dan konsumsi oksigen dan penurunan cadangan oksigen
(penurunan fungsional kapasitas residu dan volume residu), ibu hamil cenderung lebih cepat
hipoksemia. Oksigen tambahan harus selalu diberikan selama periode rentan untuk
mempertahankan oksigenasi. Hiperventilasi normal dalam kehamilan terjadi karena
penurunan pengeluaran CO2 (32-34mm Hg), hal ini harus dipertahankan selama anestesi.
Manajemen jalan napas dengan masker wajah, masker laring atau intubasi trakea akan
sulit secara teknis karena peningkatan diameter dinding dada anteroposterior, pembesaran
payudara, edema laring dan berat badan mempengaruhi jaringan lunak pada leher. Nasal tube
harus dihindari penggunaannya pada wanita hamil karena adanya peningkatan vaskularisasi
pada membran mukus. Penurunan konsentrasi (penurunan 30%) kolinesterase plasma secara
teori menyebabkan sukinilkoline, anestetik ester lokal, efek berkepanjangan dari obat-obat
tertentu. Namun, hal ini di imbangi dengan peningkatan volume distribusi obat. Oleh karena
itu, sebagai konsekuensinya, pada periode pospartum, ketika enzim tetap menurun tapi
volume distribusi mulai menuju normal. Monitoring obat neuromuskular harus di monitor.
Pencegahan terjadinya aspirasi disarankan sejak permulaan trimester kedua.
Kehamilan berhubungan dengan rendahnya kebutuhan anestesi, meskipun mekanismenya
belum diketahui. Konsentrasi alveolar minimal (MAC) untuk inhalasi anestesi menurun 30%
pada awal 8-12 minggu kehamilan. Obat-obat intravena yang menginduksi anestesi umum
harus juga diberikan untuk menurunkan dosis.
Keadaan janin harus dinilai dengan ultrasound atau doppler sebelum dan setelah
anestesi dan operasi. Karena adanya peningkatan risiko hipoksemia, kesulitan dalam intubasi,
aspirasi asam, dan risiko pada janin, sebisa mungkin anestesi regional harus dipilih dibanding
anestesi umum.
Anestesi pada trimester kedua.
Kompresi Aortocaval merupakan bahaya besar sejak 20 minggu dan seterusnya
(kadang-kadang bahkan lebih awal); hal ini mengkompromi aliran darah uterus dan, pada
beberapa wanita, dapat mengakibatkan supine hypotension. Efek ini mungkin dapat
diperburuk oleh anestesi regional maupun umum ketika mekanisme kompensasi normal
dilemahkan atau dihilangkan. Kompressi aortocaval hanya efektif dihindari dengan posisi
lateral. Hal ini dapat dikurangi dengan pemindahan uterus dengan wedging atau perpindahan
manual. Hasil kompresi vena cava pada distensi pleksus vena epidural, meningkatkan risiko
injeksi intravaskular saat blokade regional. Kapasisat ruang epidural berkurang, yang
mungkin menyebabkan penyebaran anestesi lokal pada wanita hamil. Kehamilan dikaitkan
dengan keadaan hiperkoagulasi karena meningkatnya faktor pro-koagulasi. Insiden
komplikasi trombo emboli sekurangnya lima kali lebih tinggi selama kehamilan;
prombopilaksis sangat penting. 5
Anestesi untuk trimester ketiga.
Pada usia kehamilan, persalinan dengan operasi caesar sebelum bedah mayor sering
dianjurkan. Bila memungkinkan, operasi harus ditunda 48 jam untuk memungkinkan terapi
steroid untuk meningkatkan pematangan paru-paru janin. Oleh karena itu mungkin lebih baik
bila bayi dilahirkan dengan anestesi regional dan kemudian dikonversi ke anestesi umum
untuk operasi definitif. Anestesi paska persalinan harus disesuaikan dengan kebutuhan
operasi, dengan persiapan bahwa obat-obat volatile agen harus dihentikan, atau
digunakanhanya pada dosis kecil (<0.5 MAC) bersama dengan oksitosin untuk
meminimalisir risiko atonia uteri dan perdarahan.
Pembedahan, stres dan anestesi mungkin dapat menekan laktasi, setidaknya untuk
sementara. Banyak obat yang diekskresikan ke ASI; namun hanya sedikit yang benar-benar
kontraindikasi selama menyusui (misalnya, zat radioaktif ergotamine, lithium, agen
psikotropika). Kemungkinan efek pada neonatus dari obat lain seperti opioid dan sedativ
harus dijelaskan kepada ibu. Susu formula mungkin dapat digunakan untuk menunjang ASI
sementara.
Monitoring Fetus.
Setelah viabilitas janin diasumsikan (24-26 minggu), denyut jantung janin (DJJ) harus
dipantau. Hal ini mungkin sulit pada pasien obesitas atau selama pembedahan abdomen.
Agen Inhalasi biasanya menyebabkan penurunan DJJ secara bevariasi, perubahan dapat
mengindikasikan hipoksemia janin. Monitoring DJJ intraoperatif membutuhkan keterampilan
interpretasi dan dokter kandungan dengan plan of action jika terdiagnosis adanya distress
janin. Manipulasi uterus harus di minimalisir untuk menghindari persalinan pre-term.
Ketamine meningkatkan tonus uterus pada awal kehamilan dan harus dihindari
penggunaannya. Sementara beberapa menganjurkan penggunaan agen profilaksis tokolitik,
obat ini juga bukannya tidak berisiko dan tidak ada bukti efikasinya.
Teknik anestesi.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan efek menguntungkan pada kehamilan setelah
anestesi regional dibandingkan dengan anestesi umum. Namun, anestesi regional
meminimalkan paparan obat janin, manajemen saluran napas disederhanakan, kehilangan
darah mungkin akan menurun, dan secara keseluruhan risiko pada ibu dan janin kurang.
Risiko terbesar dari anestesi regional adalah hipotensi akibat blokade saraf simpatik, yang
mengurangi aliran darah rahim dan perfusi ke janin. Perhatian terhadap volume cairan ibu
dan tekanan darah sangat penting.
Ephedrine secara tradisional telah menjadi vasopressor pilihan dalam situasi ini
karena stimulasi reseptor alfa dan beta dan kurangnya efek aliran darah rahimnya. Penelitian
terbaru menunjukan bahwa lebih penting untuk menangani hipotensi secara efektif dari pada
mengkhawatirkan pemilihan obat. Oleh karena itu, obat-obat yang sebelumnya di kontra
indikasikan (mis. Phenileprine) sekarang dianggap aman.
Anestesi umum, hanya boleh diberikan oleh spesialis anestesi yang terlatih dalam pemberian
anestesi umum untuk pasien obtetri.
Bedah Laparoskopi.
Kehamilan tidak lagi dianggap sebagai kontraindikasi untuk operasi laparoskopi.
Sebuah studi di Swedia yang melibatkan lebih dari 2 juta persalinan, operasi laparoskopi
lebih disukai dibandingkan dengan prosedur terbuka. Keuntungannya meliputi paparan zat
toxic yang minimal untuk janin, sayatan lebih kecil, penurunan rasa sakit, kurang kebutuhan
akan analgesik, pemulihan lebih cepat dan mobilization.6 Karbon dioksida
pneumoperitoneum dikaitkan dengan peningkatan risiko hipoksemia, hiperkarbia dan
hipotensi karena perubahan fisiologi dan anatomi kehamilan (Tabel 1).