terjemahan journal
DESCRIPTION
Jurnal AnestesiTRANSCRIPT
Terapi Cairan Pada Syok Septik
Emanuel P. Rivers, Anja Kathrin Jaehne, Laura Eichhorn-Wharry,
Samantha Brown and David Amponsah
Tujuan
Untuk menilai peran terapi cairan pada pathogenesis sepsis berat dan syok semptik. Tipe,
kompoisisi, titrasi, managemen strategi dan komplikasi dari pemberian cairan pada hasil terapi.
Penemuan terkini
Cairan memiliki peran yang krusial pada patogenensis dan terapi pada resusitasi awal sepsis
berat dan syok sepsis.
Kesimpulan
Walaupun patogensisnya masih terus berkembang, titrasi cairan lebih awal memodulasi
inflamasi, meningkatkan perfusi microvaskuler, menguatkan fungsi organ dan outcome.
Pemberian cairan memiliki pengaruh yang terbatas pada perfusi jaringan selama stadium lanjut
dari sepsis dan kelebihan pemberian cairan akan memperburuk hasil terapi. Jenis cairan tidak
berpengaruh pada hasil observasi.
Kata Kunci
Terpai koloid, terapi kristaloid, terapi cairan, sepsis, syok septic, sepsis berat
Pengenalan : Fase pasang surut managemen cairan
Pada 1942, Cuthberston [1] menjelaskan respon metabolic pada inflamasi, cidera dan syok
dengan fase “pasang surut”. Selama fase surut atau fase resusitasi, terdapat cardiac output yang
rendah, perfusi jaringan yang rendah dan pasien yang dingin serta tenang. Selama fase pasang,
pasien berjuang untuk bangkit dari cengkraman fase surut yang bertahan selama kurang lebih 3
hari. Saat memasuki fase pasang,pada pasien yang membengkak, terdapat peningkatan CO,
persusi jaringan normal jika diuresis terjadi dan penurunan berat badan turun menuju stabil.
Perumpamaan pasang surut ini menunjukkan kerangka berfikir bagi para klinisi untuk pripsip
terapi cairan pada sepsis. Review ini akan menilai peran dari terapi cairan pada pathogenesis
sepsis. Ketepatan waktu, tipe, komposisi, titrasi, strategi managemen dan komplikasi dari
pemberian cairan akan di paparkan dengan berfokus pada hasil.
Patogenesis Hipovolemia Pada Sepsis
Sepsis yang terjadi karena hipovolemia dapat terjadi karena muntah, diare, berkeringat, edema,
peritonitis atau karena kehilangan cairan yang lain. Selanjutnya, hipovolemia mungkin akan
menyebabkan defek maldistributif dengan vasodilatasi,pooling darah di perifer, ekstravasasi
cairan menuju ruang interstisial, dan meningkatkan permeabiliitas endotel kapiler. Semua
mekanisme tersebut adalah hasil dari penurunan volume intravaskuler yang memberikan efek
pada penurunan preload ventrikel, tekanan diastolik, stroke volume, cardiac output dan
penghantaran oksigen sistemik.
Respon kompensasi rebagai reaksi penurunan volume darah sirkulasi dimediasi oleh aktifasi
sarah simpatik dan termasuk:
1. Redistribusi darah dari beds otot skleet dan splanknik untuk mendukung aliran darah ke
organ vital yaitu jantung dan otak [2,3]. Perpindahan cairan dari atau ke kompartemen
intravaskuler ditentukan oleh gradient tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik antara
microvaskular dan ruang interstisial. Vasokonstriksi prekapiler menurunkan tekanan darah
microvaskular menyebabkan perpindahan carian dari kompartemen interstisiel menuju
kompoarteman vaskuler [4]. Karena faktor-faktor tersebut, tipe cairan yang diberikan (koloid
atau kristaloid) menjadi penting dan merupakan hal yang kontrofersial pada awal resusitasi.
2. Tambahan kontrktilitas miokardium meningkatkan stroke volume [2]. Penyakit jantung
sebelumnya mungkin akan merubah repon ini dan gambaran klinisnya
3. Terdapat konstriksi pada kapsitansi pembuluh arteri dan vena, terutama pada splanknik
bed, penambahan balikan vena [2,3]. Keguanaan dari obat antihipertensi dan diuretic mungkin
merubah respon ini
4. Pengeluaran bertahap dari hormon-hormon adrenocortico-medular termasuk kortisol,
aldosterone dan katekolamin, seperti epinefrin. [5] Gagal jantung kongestif, gagal ginjal,
penyakit ginjal dan disfungsi adrenal mungkin memodifikasi homeostasis air dan garam yang
akan merubah baik kebutuhan ataupun eliminasi cairan
5. Aktifasi dari axis renin-angiotensin melepaskan aldosterone dari korteks adrenal.
Merubah osmolaritas serum menuju pelepasan arginin-vasopresin (AVP) dari pituitari posterior.
Keduanya meningkatkan retensi cairan [3,6-8]
6. Perubahan mikrosirkular seperti asidosis, pireksia, dan peningkatan enzim sel darah
merah 2,3-diphosphoglycerate terjadi, membuat lingkungan jaringan lokal untuk melepaskan
oksigen ke jaringan, Berbagaio faktor mungkin berkontribusi pada perubahan mikrovaskuler,
termasuk tekanan, perubahan pada reologi dan viskositas (hematocrit lokal) sel darah merah dan
adesi leukosit pada sel endotle, disfungsi endotel.
Besarnya perubahan dari mekanisme kompensatori tergantung pada waktu, keparahan serta
fungsi organ pasien. Mekanisme kompensasi efektif untuk mengembalikan perfusi jaringn
selama terjadi syok, namun bagaimanapun juga, jika proses inisiasinya tidak berkebalikan
dengan non-kompensasi , maka pathogenesis penyakit terus berlanjut dan menuju komplikasi
yang lebih berat. Mekanisme pathogenesis termasuk gangguan endotel, pengeluaran proinflamsi
dan anti-inflamasi, microcirculatory compromise, hipoksia jaringan global, gagal organ serta
kematian (Gambar 1)
Efek terapi cairan pada pathogenesis Sepsis berat dan syok Septic.
Pada hewan percobaan, terapi cairan menunjukkan peningkatakn outcome. Natanson et. al [9]
membandingkan manfaat antibiotic, dukungan cardiovascular (cairan dan titrasi dopamine
dengan monitoring intravaskuler pada hasil akhir hemodinamik) dan kombinasi dari kedua terapi
pada anjing dengan syok septik. Survival rate nya berturtut-turut 0, 13, 13 dan 43 % pada
kelompok yang tidak menerima terapi, hanya anti biotik saja, dukungan kardiovaskular saja atau
terapi kombinasi [9]. Peningkatan angka bertahan hidup ditemukan pada group yang menerima
terapi kombinasi disbanding group yang hanya menerima single terapi. Walaupun korban yang
selamat dan yang tidak selamat pada terapi kombinasi membutuhkan kuantitas yang hampir sama
Gambar.1 Respon Terkompensasi dan Tak Terkompensasi Pada Syok
pada terapi cairan, sample yang tidak bisa bertahan hidup mendapatkan peningkatan berat badan
yang signifikan, diduga berhubungan dengan permeabilitas vascular dengan retensi
ekstravaskular dari cairan, menunjukan lebih dominannya fase “surut”.
Terapi cairan memodulasi inflamasi awal. Pada model manusia yang mengalmai endotoksemia
sebelum hidrasi isotonic menunjukkan penurunan konsentrasi sitokin proinflamasi (TNF-alfa,
IL-8 dan IL 1-b), dimana konesntrasi dari sitokin antiinflamasi IL-10 menunjukkan tren
peningkatan konsentrasi. Hasil dari prehidrasi bergeeser pada gambaran sitokin anti inflamasi..
Efek ini diasosiasikan dengan penurunan gejala yang diinduksi endotoksin dan demam, dimana
endotoksin yang menginduksi perubahan pada parameter hemodinamik, tidak berubah. Lebih
penting lagi, puncak aktifitas dari respon inflamasi adalah antara 1 dan 6 jam setelah induksi,
dimana memberikian konsep resusitasi awal dan lambat yang merupakan terapi yang sangat
berbeda [10].
Cairan mungkin meningkatkan perfusi microvaskuler dengan meningkatkan viskositas darah
(hemodilusi) dan memodulasi interaksi antara endotel dan sel sirkulasi. Angiotensi II dipercaya
mempunya peran pada induksi inflamasi.. Hipovolemia ringan mengaktifasi sistem nervus
simpatis menuju peningkatan konsentrasi katekolamin yang ada dalam sirkulasi yang
mengaktifkan sitokin pemproduksi sel mengandung adenoreseptor a dan b. Selama dilakukan
drip adrenalin, endotoksin menginduksi lebih sedikit TNF-Alfa dan lebih banyak IL-10,
mengindikasikan bahwa stimulasi β-adrenergik mendesak efek anti-inflamasi. Pada percobaan in
vitro menunjukkan noreadrenalin mencegah aktifasi proinflamasi. Dengan stimulasi α-
adrenoreceptor dari makrofag dan sel mononuclear paru. Noreadrenalin meningkatkan sekresi
TNF-α pada sebagian besar percobaan model inflamasi. Karena infus cairan menurunkan
stimulas untuk aktifasi dari agen vasoaktif, yang mempengaruhi inflamasi [11]
Manifestasi Klinis Hipovolemia
Ketika seorang klinisi menjumpai pasien dengan hipotensi berat dan sumber infeksi, diagnosis
syok septik sudah berada di dalam kepala. Walaupun hipovolemia dapat ditemukan pada pasien
dari sepsis sampai syok septik, kuantitas status volume adalah salah satu dari langkah
managemen yang paling sulit. Klinisi menilai hipovolemia itu tidak sensitive dan tidak spesifik.
Dari analisis post-hoc dari Percobaan Pengobatan Cairan dan Kateter pada cidera paru akut
hipotesis ini juga turut dinilai. Ketika pada pemeriksaan fisik ditemukan sirkulasi yang tidak
efektif (CRT memanjang, kulit putcat dan ektremitas yang dingin) dimana dibandingkan dengan
parameter yang didapat dari kateter arteri pulmoner, ditemukan bahwa hasil pemeriksaan fisik
tersebut bukanlah predictor yang bermanfaat dari cardiac index yang rendah atau SvO2 yang
rendah [12.13].
Terapi Titrasi Cairan
Mengoptimalkan terapi cairan tidak hanya memodulasi inflamasi, tetapi ini juga menurunkan
kebutuhan untuk terapi vasopressor, penggunaan steroid dan monitoring invasive dengan arteri
pulmoner dan kateterisasi jalur arteri [10,14]. Penurunan penggunaan vasopressor yang
menyebabkan kesalahan elevasi pada cardiac filling pressures menghilangkan kesalahan
interpretasi tekanan volume. Hal diatas adalah salah satu dari alasan multi faktor yang
berhubungan dengan peningkatan mortalitas yang berhubungan dengan vasopressor [15, 16].
Tujuan dari terapi cairan pada sepsis berat dan syok septic adalah tidak hanyak mencapai angka
nilai monitor yang diharapkan, tetapi lebih pada peningkatan hantaran oksigen systemic (preload,
afterload, kandungan oksigen arteri, kontraktilitas atau stroke volume) dam menyeimbangkan
kebutuhan oksigen jaringan (Gambar 2) [17]. Tujuannya adalah untuk menginfus volume yang
adekuat untuk mengembalikan perfusi normal sebelum onset yang kerusakkan jaringan
irreversible tanda meningkatkan cardiac filling pressure pada level yang dapat menyebabkan
edema pulmoner.
Monitoring hemodinamik digunakan untuk mencapai tujuan yang tercantum pada tabel 1 [18].
Kemudian, yang penting lagi adalah untuk mendapatkan data tetang variabel fisiologik yang
bertanggung jawab pada perfusi jaringan. Variable tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai alat
diagnostic dan terapetik untuk karakteristik dan managemen dari pasien yang menunjukkan
tanda-tanda syok. Pada umumnya digunakan metode-metode untuk menilai tingkat adekuat dari
volume atau status volume atau cardiac preload termasuk tekanan darah, heart rate, produksi
urin, tekanan vena sentral (CVP) atau pulmonary artery occlusion pressure (PAOP).
Hasil penelitian multisenter menunjukkan bahwa penilaian kateter vena sentral. Setara dengan
penilaian volume dengan menggunakan pulmonary artery catheter pada managemen cairan.
Bagaimanapun juga, baik CVP ataupun PAOP berhubungan baik dengan parameter sebenarnya
ataupun interest dari, left-ventricular end diastolic volume (LVEDV) [19]. Nilai CVP atau PAOP
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah merupakan informasi yang penting. Selanjutnya perubahan
pada nilai CVP atau PAOP tidak berkorelasi baik dengan perubahan pada stroke volume [20].
Gambar 2. Hemodinamik, Oksigentransport dan Pemanfatan Komponen-kompenen pada
Perfusi Jaringan
Dengan tujuan untuk menilai tingkat responsifitas cairan, cairan percobaan adalah metode
tradisional selama beberapa dekade. Pada fase volume-responsif, perubahan pada CVP 2 mmHg
akan menunjukkan perubahan nilai pada CO, dimana pada fase plateu tidak terdapat perubahan
CO pada perubahan CVP [21]. Echokardiografi dapat digunakan untuk mengestimasi LVDEV,
tetapi pendekatan ini sangat tergantung dari skil dan pengalaman dari pemeriksa [22]. Penilaian
terisolasi dari LVEDV tidak mampu memprediksi respon hemodinamik pada perubahan preload
[23]. Pulse pressure variation (PPV) selama bernafas tekanan positif dapat digunakan untuk
memprediksi tingkat responsivitas perubahan CO pada preload [24]. PPV didefinisikan sebagai
perbedaan antara tekanan pulsasi maksimal dan tekanan pulsasi minimal yang dibedakan dengan
rata-rata dari kedua tekanan tersebut [24]. PPV telah dibandingkan dengan CVP, PAOP, dan
variasi tekanan sitolik sebgai predictor tingkat responsifitas preload. Pasien diklasifikasikan
sebagai preload responsive jika CI mereka meningkat setidaknya 10-15% setelah infus cepat
dari volume standar cairan intravena [25]. PPV pada pasien dengan ventilasi mekanik tetap
merupakan pendekatan yang bermanfaat untuk menilai responsivitas preload [23]
Terapi Kritaloid
Dua jenis kristaloid yang paling sering digunakan adalah 0,9% NaCl dan Ringer Lactat.
Walaupun normal saline dan Ringer Laktat diakui manfaatnya oleh para klinisi namun data
yang dikumpulkan mendukung pandangan bahwa penggunaan dari volume yang besar dari
normal salin tetapi tidak Ringer Laktat, memicu terjadinya asidosis metabolic hiperchloremic
[37]
Koloid memiliki berat molekul yan glebih besar yang dapat meningkatkan tekanan onkotik
plasma. Koloid dapat diklasifikasikan atas natural (albumin) atau buatan (kanji, dextran, gelatin).
Koloid yang menadnung starches, hetastarch dan pentastarch, serum albumin manusia, gelatin
dan dextran. Koloid dipecah sebagai normal salin atau bentuk garam stabil. Tinjauan terkini
menduga bahwa tidak ada perbedaan klinik yang signifikan antaraa penggunaan berbagai
macam cairan kolloid jika digunakan untuk resusitasi syok [38]
Ketika dibandingkan antara cairan dengan dasar salin, hetastarch dipecah menjadi garam calcium
yang mengandung clorida stabil yang mungkin berhubungan dengan kemungkinan asidosis yang
lebih kecil serta penggunaan produk darah yang lebih sedikit. Karena berat molekulnya yang
lebih besar, koloid berada dalam ruang intravascular lebih lama dari pada kristaloid dengan masa
paruh albumin intra vaskuler 16 jam dibandingkan 30-60 menit masa paruh normal salin atau
Ringer Lactat [41,42]. Ketika dititrasi dengan PAOP yang sama, koloid dan kristaloid
mengemballikan perfusi jaringan dengan besaran yang sama, walaupun dua sampai empat kali
volume kristaloid diperlukan untuk mencapai nilai yang sama [43]. Hal ini sangat berkaitan
dengan stadium syok dan permeabilitas kapiler. Meta analisis dari hasil uji coba yang
membandingkan kristalod dengan kolid mengesankan bahwa outcome tersebut tidak dipengaruhi
oleh pemilihan cairan [44,45].
Terapai Cairan dan Microsirkulasi
Perubahan microvaskular sering terjadi pada pasien dengan syok septik, bahkan ketika hantaran
oksigen global terlihat adekuat. Hal yang biasa ditemui termasuk penurunan pada fungsi densitas
kapiler dan heterogenitas dari aliran darah dengan perfusi kapiler di sekitar kapiler yang tidak
mendapat perfusi. Perubahan tersebut lebih nyata pada paisen yang tidak bisa bertahan hidup dari
pada pasien yang bertahan hidup dan tingkat persistenya berhubungan dengan kegagalan organ
dan kematian [53]. Cairan meningkatkan mikrosirkulasi pada awal namun tidak pada sepsis
lanjut. Efek tersebut berhubungan dengan efek sistemik dari cairan dan hasil serupa ditunjukkan
baik oleh kristaloid ataupun albumin. Selian itu, perfusi mikrovaskular gagal untuk ditingkatkan
pada pasien dengan sepsis lanjut dengan baseline perfusi mikrovaskular yang jelek [53].
Optimal Hemoglobin ( Hematokrit Makrovaskular dan Mikrovaskular)
Kadar hemoglobin target yang tepat pada keadaan syok masih kontroversial karena terdapat
kekurangan literature pada pasien dengan syok sepsis. Kontroversi tersebut didasarkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Hebert dkk [54] yang menemukan toleransi kadar hemoglobin
yang rendah pada pasien ICU yang stabil. Konsentrasi hemoglobin mungkin bervariasi antara di
sentral, perifer dan sirkulasi microvaskular.
Kombinasi dari anemia dan hipoksia jaringan global dapat menjadi alasan untuk transfusi sel
darah merah selama fase hantaran-terganung (peningkatan laktat dan ScvO2 yang rendah).
Anemia mungkin sebagai akibat dari hemodilusi. Hal ini merupakan fase khusus yang belum
dilakukan penelitian. Terapi transfuse menjadi salah satu pilihan cermat pada pasien dengan
penyakit kritis, yang menjadi perhatian para peneliti, namun sampai saat ini data yang ada masih
saling bertolak belakang [55]. Kemudian dari temuan yang ada dapat diduga bahwa
mikrosirkulasi sublingual secara umum tidak berubah dengan pemberian transfuse RBC pada
pasien dengan sepsis dan dapat meningkat pada pasien dengan perubahan perfusi kapiler [56].
Risiko dan manfaat dari transfusi darah merah sebaiknya dinilai pada setiap pasien sebelum
transfuse.
Konsekuensi Negatif dari Terapi Cairan
Kelebihan cairan dan balance cairan yang positif berhubungan dengan outcome yang lebih buruk
pada pasien dengna penyakit kritis [57-59]. Pada saat kondisi sepsi, edema berhubungan dengan
kombinasi dari peningkatan permeabilitas kapiler protein dan meningkatkan tekanan hidrostatik
transkapiler dengan menurunkan vasokonstriksi prekapiler. Pengunaan Positive End-Expiratory
Pressure (PEEP) pada pasien dengan penyakit kritis dapat juga menyebabkan terjadinya retensi
cairan dan garam dan menurunkan drainase limfatik. Sebagai tambahan, beberapa studi
menunjukkan bahwa ventilasi mekanik dan PEEP menurnkan produksi urin. Bagaimanapunjuga
efek pada filtrasi glomerulus dan aliran darah renal tdiak konsisten dan dan menungkin
menunjukkan perbedaan pada status hidrasi dan cidera paru. Akumulasi cairan dapat
berkontribusi pada penurunan fungsi organ dengan mekanisme yang berbeda. Edema jaringan
dapat mengganggu absorbsi dari usus, ekskresi ginjal, peningkatan tekanan abdominal menuju
pada abdominal kompartemen sindrom [60]. Pasien risiko tinggi adalah usia tua, gagal ginjal,
malnutrisi, dan ventilasi mekanik [18]. Kita seharusnya tidak hanya fokus pada balan cairan
harian namun juga pada balan cairan kumulatif, sebagai durasi dari akumulasi cairan mungkin
mempengaruhi hasil terapi.
Strategi management cairan yang Bebas, Konservatif atau Sesuai Timing?
Konsep dari early goal-directed therapy (EGDT) berdasarkan hasil studi dari Rivers dkk [61],
tidak hanya merubah cara pandang dari management sepsis tetapi juga mempertajam debat
tentang resusitasi dan management terapi pada pasien sepsis. Pasien sepsis risiko tinggi yang
dirandomisasi mendapat terapi konvensional atau goal-directed-resusciatation mencapai nilai
“normal” fisiologi selama 6 jam setelah pemberian. EGDT adalah langkah dengan pendekatan
capaian fisiologis yang termasuk optimalisasi preload, afterload, kandungan oksigen arteri,
kontraktilitas dan meminimalkan kebutuhan oksigen. Dari pada mentarget nilai sepsifik dari CO,
DO2 sistemik atau VO2 sistemik , EGDT mentargetkan capaian dari ScvO2 lebih besar dari 70%
sebagai tamabahan target dari pada hanya mengoptimalkan CVP. Menggunakan algoritma
resusitasi yang berhati-hati (Gambar 3), EGDT menurunkan tingkat kematian dalam 30 hari dari
46,5% menjadi 30,5%. Hasil penemuan dari penelitian ini dan efek sosioekonominya telah
dikonfirmasi.
FACTT (Fluids and Catheters Treatment Trial in acute lung injury) diisolasi dengan manipulasi
dari volume terapy sebagai intervensi terkontrol yang dimulai rata-rata 43 jam setelah pasien
masuk ICU dan 24 jam setelah ditegakkan mengalami Acute Lung Injury (ALI) [63].
Gambar 3. Protokol Early goal-directed therapy pada syok septik
Walaupun tidak terdapat perbedaan pada angka mortalitas dalam 60 hari, pasien yang mendapat
konservatif strategi, secara signifikan menunjukkan peningkatan fungsi paru dan sistem saraf
pusat serta menurunkan kebutuhan dari sedasi, ventilasi mekanik, dan perawatan ICU.
Bagaimanapun juga, terdapat peningkatan secara statistic sebesar 0,3 hari pada kejadian gagal
jantung pada terapi bebas dibandingkan dengan terapi konservatif, menunjukkan perhatian harus
diberikan untuk menerapkan terapi cairan konservatif selama fase resusitasi. Ketika managemen
cairan liberal digunakan lebih awal, tidak terdapat perbedaan pada fungsi pulmo dan penggunaan
ventilasi mekanik. Kenyataannya penggunaan liberal terapi lebih awal menurunkan insidensi
penggunaan ventilasi mekanik pada 72 jam pertama mondok di rumah sakit. Hal ini mungkin
karena efek modulasi pada IL-8 yang telah diidentifikasi sebagai faktor pemburuk dalam 72 jam
pertama [64,65].
Penemuan pada percobaan FACTT menunjukkan bahwa tidak ada perselisihan dengan EGDT.
Penelitian ini telah memberkan perhatian pada konsekuensi negative dari pemberian cairan.
Protokol yang digunakan dalam FACTT tidak dikenal pada praktik standar. Dengan tujuan untuk
mengeneralisis hasil penemuan, variabel yang multiple harus dipertimbangkan ktikan
menerapkan pendekatan managemen cairan [11]. Eksklusi pada pasien-pasien dengan
hemodialisa, gagal ginjal, gagal jantung dan pasien muda membuat FACTT berangkat dari
realitas bahwa banyak klinisi akan menghadapi terapi ALI atau sepsis. Sebagaimana
dideskripsikan oleh Cuthberson pada 1942, klinisi harus juga membuat penilaian klinis yang
akurat dari fase “Pasang” ketika memberikan perhatian yang serius pada komplikasi dari strategi
konservatif terapi dan aktif diuresis. Meskipun secara pathogenesis telah dideskripsikan dengan
jelas, patokan klinis yang membedakan antara fase “Surut” dan “Pasang” seringkali sulit
dibedakan dan kompleks. Pada ALI (Acute Lung Injury) fase “Surut” memiliki karakteristik
dengan peningkatan pada cairan paru dari pada permeabilitias langsung yang berubbah pada
kapiler paru dan pengarush sistemik dari balan cairan [8,0]. Pada ketidak adaan manipulasi
keseimbangan cairan fase ini pada ALI bisa terjadi edema pulmoner, komplikasi miokardial,
insufisiensi respirasi dan berlanjut dengan kebutuhan akan ventilasi mekanik sebagai akhirnya.
Jadi strategi cairan konservatif, bahkan mungkin memerlukan provokasi diuretic, dengan
perhatian yang tepat untuk menjaga perfusi organ dan menghindari gangguan metabolik.
[Gambar 4.].
Percobaan FACTT dan percobaan berikutnya membedakan resusitasi carian inisial yang adekuat
dengan konservatif pada fase lanjut. Dimana resusitasi cairan yang tepat berdasarkan resusitasi
atau fase “Surut” menuju pada peningkatan outcome, sedangkan terapi cairan yang “bebas” serta
terlambat merubakan kontributor pada perburukkan outcome [66]. Jadi ada keuntungan yang
signifikan antara kedua pemberian yang berfokus pada hasil dan penghentian cairan selama fase
inflamasi yang tepat.
Gambar 4. Strategi Managemen Cairan pada Sepsis
Simpulan
Cairan sangat penting pada pathogenesis dan pengobatan dari resusitasi awal dari sepsis berat
dan syok sepsis. Walaupun patogenesisnya terus berkembang, titrasi cairan awal memodulasi
inflamasi, meningkatkan perfusi mikrovaskular, berpengaruh pada fungsi organ dan outcome
nya. Pemberian cairan memilki dampak yang terbatas pada perfusi jaringan selama fase lanjut
dari sepsis dan kelebihan cairan akan memperburuk outcome. Tipe cairan yang diberikan tidak
terlalau berpengaruh. Terapi cairan masih merupakan keputusan klinis yang berdasarkan pada
pathogenesis penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
1 Cuthbertson DP. Post-shock metabolic response. Lancet 1942; 239:433– 436.
2 Chien S. Role of the sympathetic nervous system in hemorrhage. Physiol Rev 1967; 47:214–288.
3 Reilly PM, Wilkins KB, Fuh KC, et al. The mesenteric hemodynamic response to circulatory shock: an overview. Shock 2001; 15:329–343.
4 Gann DS, Carlson DE, Byrnes GJ, et al. Role of solute in the early restitution of blood volume after hemorrhage. Surgery 1983; 94:439–446.
5 Marik PE, Zaloga GP. The central nervous system hypothalamic-pituitaryadrenal axis in sepsis. Crit Care Med 2002; 30:490–491.
6 Givertz MM. Manipulation of the renin-angiotensin system. Circulation 2001; 104:E14–E18.
7 Cumming AD, Driedger AA, McDonald JW, et al. Vasoactive hormones in the renal response to systemic sepsis [erratum appears in Am J Kidney Dis 1988 Apr;11(4):363]. Am J Kidney Dis 1988; 11:23–32.
8 Danser AH. Local renin-angiotensin systems: the unanswered questions. Int J Biochem Cell Biol 2003; 35:759–768.
9 Natanson C, Danner RL, Reilly JM, et al. Antibiotics versus cardiovascular support in a canine model of human septic shock. Am J Physiol 1990; 259:H1440–H1447.
10 Dorresteijn MJ, van Eijk LT, Netea MG, et al. Iso-osmolar prehydration shifts the cytokine response towards a more anti-inflammatory balance in human endotoxemia. J Endotoxin Res 2005; 11:287–293.
11 Grocott MP, Mythen MG, Gan TJ. Perioperative fluid management and clinical outcomes in adults. Anesth Analg 2005; 100:1093–1106.
12 Strehlow MC. Early identification of shock in critically ill patients. Emerg Med Clin North Am 2010; 28:57–66; vii. An excellent overview from the acute care setting.
13 Grissom CK, Morris AH, Lanken PN, et al. Association of physical examination with pulmonary artery catheter parameters in acute lung injury. Crit Care Med 2009; 37:2720–2726. A secondary analysis from a multicenter study that shows that the physical examination is poor in assessing hemodynamic status.
14 Packman MI, Rackow EC. Optimum left heart filling pressure during fluid resuscitation of patients with hypovolemic and septic shock. Crit Care Med
1983; 11:165–169.
15 Nouira S, Elatrous S, Dimassi S, et al. Effects of norepinephrine on static and dynamic preload indicators in experimental hemorrhagic shock. Crit CareMed 2005; 33:2339–2343.
16 Levy MM, Macias WL, Vincent JL, et al. Early changes in organ function predict eventual survival in severe sepsis. Crit Care Med 2005; 33:2194–
2201.
17 Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2008. Crit Care Med 2008; 36:296–327.
18 Durairaj L, Schmidt GA. Fluid therapy in resuscitated sepsis: less is more. Chest 2008; 133:252–263.
19 Godje O, Peyerl M, Seebauer T, et al. Central venous pressure, pulmonary capillary wedge pressure and intrathoracic blood volumes as preload indicators in cardiac surgery patients. Eur J Cardiothorac Surg 1998; 13:533–539.
20 Lichtwarck-Aschoff M, Zeravik J, Pfeiffer UJ. Intrathoracic blood volume accurately reflects circulatory volume status in critically ill patients with
mechanical ventilation. Intensive Care Med 1992; 18:142–147.
21 Magder S. Central venous pressure monitoring. Curr Opin Crit Care 2006; 12:219–227.
22 Smith MD, MacPhail B, Harrison MR, et al. Value and limitations of transesophageal echocardiography in determination of left ventricular volumes and ejection fraction. J Am Coll Cardiol 1992; 19:1213–1222.
23 Gunn SR, Pinsky MR. Implications of arterial pressure variation in patients in the intensive care unit. Curr Opin Crit Care 2001; 7:212–217.
24 Michard F, Chemla D, Richard C, et al. Clinical use of respiratory changes in arterial pulse pressure to monitor the hemodynamic effects of PEEP. Am J Respir Crit Care Med 1999; 159:935–939.
25 Michard F, Boussat S, Chemla D, et al. Relation between respiratory changes in arterial pulse pressure and fluid responsiveness in septic patients with acute circulatory failure. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162:134–138.
26 Michard F, Lopes M, Auler J-O. Pulse pressure variation: beyond the fluid management of patients with shock. Crit Care 2007; 11:131.
27 Wiedemann HP, Wheeler AP, Bernard GR, et al. Comparison of two fluidmanagement strategies in acute lung injury. N Engl J Med 2006; 354:2564– 2575.
28 Osman D, Ridel C, Ray P, et al. Cardiac filling pressures are not appropriate to predict hemodynamic response to volume challenge. Crit Care Med 2007; 35:64–68.
29 Hadian M, Pinsky MR. Functional hemodynamic monitoring. Curr Opin CritCare 2007; 13:318–323.
30 Prentice D, Sona C. Esophageal Doppler monitoring for hemodynamicassessment. Crit Care Nurs Clin North Am 2006; 18:189–193; x.
31 Cuschieri J, Rivers EP, Donnino MW, et al. Central venous-arterial carbon dioxide difference as an indicator of cardiac index. Intensive Care Med 2005; 31:818–822.
32 Hamilton-Davies C, Mythen MG, Salmon JB, et al. Comparison of commonly used clinical indicators of hypovolaemia with gastrointestinal tonometry. Intensive Care Med 1997; 23:276–281.
33 Yee JB, McJames SW. Use of gastric intramucosal pH as a monitor during hemorrhagic shock. Circ Shock 1994; 43:44–48.
34 Beaulieu Y. Bedside echocardiography in the assessment of the critically ill. Crit Care Med 2007; 35:S235–S249.
35 Rozycki GS. Surgeon-performed ultrasound: its use in clinical practice. Ann Surg 1998; 228:16–28.
36 Takanishi DM Jr, Biuk-Aghai EN, Yu M, et al. The availability of circulating blood volume values alters fluid management in critically ill surgical patients. Am J Surg 2009; 197:232–237. This study adds to the physiologic understanding of what is the true assessment of volume status.
37 Kellum JA. Fluid resuscitation and hyperchloremic acidosis in experimental sepsis: improved short-term survival and acid-base balance with Hextend compared with saline. Crit Care Med 2002; 30:300–305.
38 Alderson P, Schierhout G, Roberts I, Bunn F. Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation in critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev
2000:CD000567.
39 Gan TJ, Bennett-Guerrero E, Phillips-Bute B, et al. Hextend, a physiologically balanced plasma expander for large volume use in major surgery: a randomized phase III clinical trial. Hextend Study Group. Anesth Analg 1999; 88:992–998.
40 Evidence-based colloid use in the critically ill: American Thoracic Society Consensus Statement. Am J Respir Crit Care Med 2004; 170:1247–59.
41 Shoemaker WC. Relation of oxygen transport patterns to the pathophysiology and therapy of shock states. Intensive Care Med 1987; 13:230–243.
42 Vincent JL, Gerlach H. Fluid resuscitation in severe sepsis and septic shock:
an evidence-based review. Crit Care Med 2004; 32:S451–S454.
43 Rackow EC, Falk JL, Fein IA, et al. Fluid resuscitation in circulatory shock: a comparison of the cardiorespiratory effects of albumin, hetastarch, and saline solutions in patients with hypovolemic and septic shock. Crit Care Med 1983;11:839–850.
44 Choi PT, Yip G, Quinonez LG, Cook DJ. Crystalloids vs. colloids in fluid
resuscitation: a systematic review. Crit Care Med 1999; 27:200–210.
45 Schierhout G, Roberts I. Fluid resuscitation with colloid or crystalloid solutions in critically ill patients: a systematic review of randomised trials. Br Med J 1998; 316:961–964.
46 Singh A, Carlin BW, Shade D, Kaplan PD. The use of hypertonic saline for fluid resuscitation in sepsis: a review. Crit Care Nurs Q 2009; 32:10–13.
47 All you need to read in the other general journals. BMJ 2008; 336:744–
745.
48 Finfer S, Bellomo R, Boyce N, et al. A comparison of albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care unit. N Engl J Med 2004; 350:2247–2256.
49 Brunkhorst FM, Engel C, Bloos F, et al. Intensive insulin therapy andpentastarch resuscitation in severe sepsis. N Engl J Med 2008; 358:
125–139.
50 Wiedermann CJ. Systematic review of randomized clinical trials on the use ofhydroxyethyl starch for fluid management in sepsis. BMC Emerg Med 2008; 8:1.
51 Sriskandan S, Altmann DM. The immunology of sepsis. J Pathol 2008; 214:211–223.
52 Vincent JL, Weil MH. Fluid challenge revisited. Crit Care Med 2006;\34:1333–1337.
53 Ospina-Tascon G, Neves AP, Occhipinti G, et al. Effects of fluids on microvascular perfusion in patients with severe sepsis. Intensive Care Med 2010; 36:949–955. A study which examines the time sensitive response of the microcirculation to fluid therapy.
54 Hebert PC, Wells G, Blajchman MA, et al. A multicenter, randomized, controlled clinical trial of transfusion requirements in critical care. Transfusion
Requirements in Critical Care Investigators, Canadian Critical Care Trials Group. N Engl J Med 1999; 340:409–417.
55 Vincent JL, Sakr Y, Sprung C, et al. Are blood transfusions associated with greater mortality rates? Results of the sepsis occurrence in acutely ill patients study. Anesthesiology 2008; 108:31–39.
56 Sakr Y, Chierego M, Piagnerelli M, et al. Microvascular response to red blood cell transfusion in patients with severe sepsis. Crit Care Med 2007; 35:1639–1644.
57 Bouchard J, Soroko SB, Chertow GM, et al. Fluid accumulation, survival and recovery of kidney function in critically ill patients with acute kidney injury.Kidney Int 2009; 76:422–427.
58 Payen D, de Pont AC, Sakr Y, et al. A positive fluid balance is associated witha worse outcome in patients with acute renal failure. Crit Care 2008; 12:R74.
59 Schuller D, Mitchell JP, Calandrino FS, Schuster DP. Fluid balance duringpulmonary edema. Is fluid gain a marker or a cause of poor outcome? Chest 1991; 100:1068–1075.
60 Kula R, Szturz P, Sklienka P, et al. A role for negative fluid balance in septic patients with abdominal compartment syndrome? Intensive Care Med 2004; 30:2138–2139.
61 Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl JMed 2001; 345:1368–
1377.
62 Donnino M, Shirazi E, Wira C, et al. Early goal-directed therapy in patients with end-stage renal disease. Critical Care 2004; 8:163.
63 Wiedemann HP, Wheeler AP, Bernard GR, et al. Comparison of two fluidmanagement strategies in acute lung injury. N Engl J Med 2006; 354:2564–2575.
64 Rivers EP, Kruse JA, Jacobsen G, et al. The influence of early hemodynamic optimization on biomarker patterns of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med 2007; 35:2016–2024.
65 Miller EJ, Cohen AB, Matthay MA. Increased interleukin-8 concentrations in the pulmonary edema fluid of patients with acute respiratory distress syndrome from sepsis. Crit Care Med 1996; 24:1448–1454.
66 Murphy CV, Schramm GE, Doherty JA, et al. The importance of fluid management in acute lung injury secondary to septic shock. Chest 2009; 136:102–109.