finally kolitis ulseratif
DESCRIPTION
kolTRANSCRIPT
Nyeri Perut dan Diare Berdarah beserta Lendir pada Penderita Kolitis Ulseratif
Ginatri Florinda Gultom
102011155
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510
Email: [email protected]
Pendahuluan
Diare adalah penyakit yang sering ditemukan pada masyarakat, terutama di Indonesia yang
merupakan negara berkembang. Diare dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dari dalam tubuh
dan bisa juga dikarenakan faktor luar, seperti faktor lingkungan dan kebersihan. Kelainan-kelaian
lain di perut seperti nyeri perut juga merupakan gejala klinis yang sering dijumpai pada penyakit-
penyakit gastrointestinal.
Seperti pada kasus yang diberikan, yaitu laki-laki 36 tahun datang dengan nyeri perut sejak
1 tahun hilang timbul, terakhir kambuh 1 minggu yang lalu. Kadang-kadang diare berdarah.
Pemeriksaan fisik nyeri tekan LLQ. Laboratorium Hb 10 g/dL, leukosit 11.000/uL. Feses lengkap:
darah +, lendir +. Dari kasus di atas, saya akan membahas mengenai kelainan pada traktus
gastrointestinal yang diderita lelaki tersebut.
Anamnesis
Pada skenario yang saya bahas adalah seorang laki-laki berusia 36 tahun yang datang
dengan keluhan nyeri perut sejak 1 tahun yang lalu. Nyeri tersebut hilang timbul hingga kambuh 1
minggu yang lalu. Kadang-kadang bapak ini diare berdarah. Pada pemeriksaan fisik terdapat nyeri
tekan LLQ. Pemeriksaan Laboratorium diketahui Hb 10 g/dL, leukosit 11.000/uL dan pemeriksaan
feses lengkap ditemukan darah dan lender.
Anamesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien / keluarganya
/orangyang mempunyai hubungan dekat dengan pasien dengan memperhatikan petunjuk- petunjuk
verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien. Hal pertama yang harus kita tanyakan
adalah identitas pasien seperti nama, tempat tanggal lahir, usia, jenis kelamin, alamat, dan
pekerjaan. Kemudian menanyakan keluhan utama yang menjadi alasan pasien datang berobat.
Selanjutnya dapat menanyakan riwayat penyakit sekarang, seperti sejak kapan merasakan keluhan
sakit, lokasi keluhan yang dirasakan, peristiwa-peristiwa yang menyertai keluhan tersebut.
Riwayat penyakit dahulu juga harus ditanyakan, seperti kronologi penyakit, ada tidaknya riwayat
sakit dahulu yang pernah di derita. Riwayat kesehatan (riwayat kehamilan, riwayat kelahiran,
riwayat pertumbuhan (berat badan, tinggi badan), riwayat makanan), riwayat keluarga (penyakit
menurun) dan lingkungan, sosial-ekonomi-budaya. Dapat pula ditanyakan riwayat pribadi, seperti
kebiasaan sehari-hari dalam soal makanan, minuman, pergaulan, pekerjaan, kebersihan dan cara
hidupnya.
Dari anamnesis diketahui bapak tersebut terkadang diare. Dapat ditanyakan tentang
diarenya tersendiri. Frekuensi diare, ciri-ciri feses apakah ada darah, lendir, bentuk feses padat
atau cair, volume feses yang dikeluarkan dalam sehari. Apakah ada muntah, mual, demam, batuk,
atau masalah-masalah penting lainnya (misalnya kejang-kejang). Menanyakan jenis dan jumlah
cairan dan makanan yang dikonsumsi selama sakit. Menanyakan apakah ada mengkonsumsi obat
atau melakukan solusi lainnya dalam usaha perbaikan keadaan.
Waktu dan frekuensi diare dapat pula ditanyakan karena diare pada malam hari sepanjang
hari selalu menunjukan penyakit organik. Perasaan inginbuang air besar yang tidak bisa ditahan
merupakan kunci penting bagi petunjuk ke arahpenyakit inflamasi. Diare yang timbul akut terus
berlanjut menjadi kronik dengan riwayatberpergian mengingatkan pada diare pada turis traveler
diarea atau sprue tropis. Diare denganfrekuensi 3-4 kali sehari dan terjadi pagi hari menunjukkan
sindrom usus iriatif.
Bentuk tinja ditanyakan guna mengetahui bila terdapat minyak dalam tinja menunjukan
insufisiensi pancreas. Tinja pucat (steatorea)menandakan kelainan di proksimal ileosekal. Diare
seperti air biasa terjadi akibat kelainan pada semua tingkat dari sistem pencernaan terutama usus
halus. Adanya makanan yang tidak tercerna adaalah manifestasi dari kontak yang terlalu cepat
antara tinja dan dinding usus. Bauasam menunjukan penyerapan karbohidrat yang tidak sempurna.
Harus dibedakan antaraperdarahan yang disertai diare dengan perdarahan yang menyertai tinja
normal. Pada kolitis infeksi dan kolitis ulseratif perdarahan disertai dengan diare, sedangkan
perdarahan yangmenyertai tinja normal terdapat pada keganasan, polip, hemoroid, dan fissura ani.1
Nyeri abdomen dan keluhan lain yang menyertai diare. Nyeri abdomen ini merupakan
kelainan tak khas, karena dapat terjadi pada kelainan organik maupun non organik. Pada penyakit
organik, lokasi rasa sakit menetap sedangkan pada diarepsikogenik nyerinya dapat berubah ubah
baik tempat maupun penyebarannya. Nyeriabdomen yang disebabkan kelainan ususkecil berlokasi
disekitar pusat, dan kolik yangdiakibatkan kelaianan usus besar, letaknya suprapubik. Nyeri terus
menerus menandakanulserasi yang berat pada usus atau adanya komplikasi abses. Demam sering
menyertai infeksiatau keganasan. Mual dan muntah dapat juga menunjukan infeksi.
Banyak macam obat mengakibatkan diare, seperti laksan, antasida, diuretik,
bahkanneomisin. Penghentian obat beberapa hari dapat dicoba untuk membantu
menegakkandiagnosis. Bila diare berhenti dengan dihentikannya obat, maka kemungkinan besar
diaredisebabkan oleh obat tersebut. Diare dan mual yang menyertai minum susu menunjukkan
dugaan kuat terhadap intoleransilactose dan sindrom usus iriatif. Pada pada pasien dengan riwayat
diare terhadap makanantertentu biasanya mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya atau
manifestasi alergi lain seperti asma.1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada skenario ini yaitu dapat secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Pertama-tama dapat dilakukan inspeksi yaitu melihat permukaan abdomen seperti
warna kulit pada abdomen, bentuk abdomen, apakah ada lesi kulit ataupun bekas luka, benjolan,
ataupun kelainan lainnya. Selanjutnya dilakukan palpasi untuk merasakan apakah ada kelainan
yang teraba pada abdomen. Pada skenario diketahui adanya nyeri tekan pada LLQ atau pada
bagian abdomen sebelah kiri bawah. Perkusi dan auskultasi dilakukan juga untuk mencari dan
mengetahui apakah ada kelainan lain pada abdomen bapak tersebut.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah ada peningkatan atau
penurunan sistemik pada bapak tersebut. Diketahui kadar Hb 10 g/dL dan leukosit 11.000/uL.
Pemeriksaan feses lengkap juga dapat dilakukan untuk mengetahui kandungan pada feses tersebut,
apakah ada darah, lendir, bakteri atau virus yang ditemukan, dan kelainan lainnya. Pada skenario
didapatkan adanya darah dan lendir pada pemeriksaan feses lengkap. Pemeriksaan radiografi
dengan barium pada kolon membantu menentukan luas perubahan pada kolon yang lebih
proksimal, tetapi sebaiknya tidak dilakukan pada serangan akut, karena dapat mempercepat
terjadinya megakolon toksik dan perforasi. Kolonoskopi dan biopsi seringkali dapat membedakan
kolitis ulseratif dari kolitis granulomatosa. Pemeriksaan USG endoskopi dapat memperlihatkan
dinding saluran gastrointestinal dan struktur yang berdekatan. USG endoskopi lebih akurat untuk
menilai abses dibandingkan pemeriksaan MRI dan dapat membantu membedakan antar kolitis
ulseratif dan penyakit Chron.2
Diagnosis Kerja
Saya mengambil working diagnosis pada Bapak berusia 36 tahun tersebut terkena Kolitis
Ulseratif. Alasan saya mengambil diagnosis yaitu:
- Nyeri perut di LLQ atau kuadaran kuadran kiri bawah pada abdomen. Nyeri perut di
kuadran tersebut mengarah kelainan pada kolon.
- Nyeri perut sejak 1 tahun dan hilang itu, menandakan penyakit ini adalah kronis yang biasa
terjadi pada kolitis ulseratif.
- Diare dengan feses terdapat darah dan lendir merupakan salah satu gejala klinis kolitis
ulseratif
- Pemeriksaan laboratorium diketahui leukosit 11.000 dimana tidak terlihat peningkatan
leukosit yang tinggi menandakan tidak terjadi infeksi bakteri atau virus sehingga dapat
menghilangkan dugaan terkenanya kolitis infeksi yang dikarenakan bakteri.
Dari beberapa alasan tersebut saya mengambil working diagnosis Kolitis Ulseratif dan
diagnosis bandingnya Kolitis infeksi dan Penyakit Chron.
Kolitis ulseratif merupakan penyakit radang kolon non spesifik yang umumnya
berlangsung lama disertai masa remisi dan eksaserbasi yang berganti-ganti.Nyeri abdomen, diare,
dan perdarahan rektum merupakan gejala dan tanda yang penting. Lesi utamanya adalah reaksi
peradangan daerah subepitel yang timbul pada basis kripte Lieberkuhn, yang akhirnya
menimbulkan ulserasi mukosa. Awitan puncak penyakit ini adalah antara usia 15 dan 40 tahun,
dan menyerang kedua jenis kelamin sama banyak. Insidensi kolitis ulseratif per tahun adalah
sekitar 1 per 10.000 orang dewasa kulit putih.2
Kolitis infeksi memiliki kemiripan gambaran dengan Penyakit Chron. Namun, kolitis
ulseratif umumnya terbatas di mukosa, penyulit obstruksi, perforasi, dan pembentukan fistula
jarang terjadi.3
Diagnosis banding
Kolitis Infeksi
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
- Kolitis infeksi; misalnya shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis
pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit lain.
- Kolitis non-infeksi; misalnya kolitis ulseratif, penyakit Chron’s, kolitis radiasi, kolitis
iskemik.
Kolitis infeksi sering ditemukan di Indonesia sebagai daerah tropik, yaitu kolitis amebik,
shigellosis, dan kolitis tuberkulosa. Di samping itu ada kolitis pseudomembran yang timbulnya
terkait dengan pemakaian antibiotik, dan infeksi E.coli patogen yang dilaporkan sebagai salah satu
penyebab utama diare kronik di Jakarta.4
Penyakit Crohn
Penyakit Chron biasanya terjadi di ileum distal atau kolon, meskipun semua bagian saluran
cerna dari mulut ke anus dapat terkena, umumnya secara diskontinu. Penyakit ini ditandai oleh
ulserasi dan inflamasi yang mengenai keseluruhan tebal dinding usus, dengan rekurensi penyakit
pada bagian usus yang sebelumnya tidak terkena, dan bahkan dapat mengenai mesenterium dan
kelenjar limfe sekitar. Kombinasi ulserasi mukosa yang dalam dan penebalan submukosa
menyebabkan mukosa yang terkena tampak seperti berbatu-batu.3
Penyulit penyakit Crohn yang sering terjadi adalah perforasi, fistula, pembentukan abses,
dan obstruksi usus halus, meskipun sebagian besar kasus memperlihatkan perjalanan penyakit
yang indolen. Terkenanya seluruh ketebalan usus dapat mempermudah timbulnya penyulit.
Perdarahan nyata dari ulserasi mukosa dapt berlangsung perlahan atau massif, demikian juga
protein-losing enteropathy. Penyulit penting lain adalah kemungkinan meningkatnya insidens
kanker usus.3
Epidemologi
Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena kolitis ulseratif. Insidennya 10.4-12
kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000
orang. Sementara itu, puncak kejadianpenyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun,
penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap dekade kehidupan. Kolitis ulseratif terjadi 3
kalilebih sering daripada Crohn disease. Kolitis ulseratif terjadi lebih sering pada orangkulit putih
daripada orang Afrika, Amerika atau Hispanic. Kolitis ulseratif juga lebihsering terjadi pada
wanita daripada laki-laki.2,5
Etiologi dan Patogenesis
Etiologi kolitis ulseratif, seperti juga Chron’s disease tidak diketahui. Faktor genetik
tampaknya berperan dalam etiologi, karena terdapat hubungan familial yang jelas antara kolitis
ulseratif, Chron’s disease dan spondilitis ankilosa.
Telah dijelaskan beberapa teori mengenai penyebab kolitis ulseratif, namun tidak ada yang
terbukti. Teori yang paling terkenal adalah teori reaksi sistem imun tubuh terhadap virus atau
bakteri yang menyebabkan terus berlangsungnya peradangan dalam dinding usus. Penderita kolitis
ulseratif memang memiliki kelainan sistem imun, tetapi tidak diketahui hal ini merupakan
penyebab atau akibat efek ini, kolitis ulseratif tidak disebabkan oleh distres emosional atau
sensitifitas terhadap makanan, tetapi faktor-faktor ini mungkin dapat memicu timbulnya gejala
pada beberapa orang.
Lesi patologis awal terbatas pada lapisan mukosa berupa pembentukan abses dalam
kriptus, yang berbeda dengan lesi pada penyakit Chron yang menyerang seluruh tebal dinding
usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa. Edema dapat mengakibatkan
kerapuhan hebat sehingga dapat terjadi perdarahan akibat trauma ringan, seperti gesekan ringan
pada permukaan.2
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kripte pecah menembus dinding kripte dan
menyebar dalam lapisan submukosa, menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa kemudian
terkelupas menyisakan daerah tidak bermukosa (tukak). Tukak mula-mula tersebar dan dangkal,
tetapi pada stadium lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi luas sekali sehingga
mengakibatkan hilangnya jaringan, protein, dan darah dalam jumlah banyak.
Seperti yang kita ketahui etiologi pasti dari kolitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi
penyakit ini multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor lingkungan,
disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti bahwa anak dengan berat badan
lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu dengan kolitis ulseratif memiliki risiko lebih besar
untuk terjadinya perkembangan penyakit.Histocompatibility human leukocyte antigen (HLA-B27)
merupakan antigenyang sering teridentifikasi pada pasien-pasien dengan kolitis ulseratif,
meskipunpenemuan ini tidak berhubungan dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27
tidakmenunjukkan peningkatan risiko untuk kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif bisadipengaruhi oleh
makanan, meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder.
Antigen makanan atau bakterial dapat berefek pada mukosa usus yang telah rusak,sehingga
meningkatkan permeabilitasnya. Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap tidak diketahui,
gambaran tertentudari penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini
meliputifaktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik.
1. Faktor familial/genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulithitam dan
orang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi genetikterhadap perkembangan penyakit
ini.
2. Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus-menerus untuk
kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usahamenemukan agen bakteri, jamur, atau
virus, belum ada yang sedemikiandiisolasi. Laporan awal isolate varian dinding selPseudomonas
atau agen yang ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan
masihdikonfirmasi.
3. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwamanifestasi
ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnyaarthritis, perikolangitis) dapat
mewakili fenomena autoimun dan bahwa zatterapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau
azatioprin, dapat menunjukkanefek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-70%
pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA(perinuclear anti-neutrophilic
cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCAtidak terlibat dalam pathogenesis penyakit kolitis
ulseraif, namun ia dikaitkandengan alel HLA-DR2, dimana pasien dengan p-ANCA negative
lebihcenderung menjadi HLA-DR4 positif.
4. Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan.Tidak lazim
bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang,sehubungan dengan adanya stress
psikologis mayor misalnya kehilanganseorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien
penyakitradang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadirentan
terhadap stress emosi yang sebaliknya dapat merangsang ataumengeksaserbasi gejalanya.
5. Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitisulseratif
berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif menurunsecara signifikan pada pasien
yang menjalani operasi apendiktomi padadecade ke-3.Beberapa penelitian sekarang menunjukkan
penurunan risiko penyakit kolitisulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan
perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokoksebanyak 40%
dibandingkan dengan yang bukan perokok.1,2,5
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria olehlimfosit, makrofag,
dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virusdan bakteri telah diperkirakan
sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukungadanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab
IBD. Hipotesis yang kedua adalahbahwadietary antigen atau agen mikroba non patogen yang
normal mengaktivasirespon imun yang abnormal. Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang
gagal.Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkanrespon imun
yang tidak terkontrol pada flora normal kolon. Hipotesis ketiga adalahbahwa pencetus IBD adalah
suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal.Pada teori ini, pasien menghasilkan respon
imun inisial melawan antigenluminal,yang tetap dan diperkuat karna kesamaan antara
antigenluminal dan protein tuanrumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel
epithelial olehsitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitascell-mediated
secaralangsung.Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Adapeningkatan
sekresi antibody oleh sel mononuclear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi
komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan meningkatnyaproduksi IgG1 (oleh limfosit
Th2) dan IgG3, sub tipe yang respon terhadap proteindan antigenT-cell dependent.
Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi(IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis
factor-α (TNF- α), terutama pada aktivasimakrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10,
TGF-β) menurunkan imunrespon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis.
Sitokin jugaterlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain
dalampembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigenreaktif yang
lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang meningkatkanpermeabilitas dan merangsang
vasodilatasi, komponen kemotaksis netrofil lekotriendan nitrit oksida yang menyebabkan
vasodilatasi dan edema.1,2,5
Gejala Klinis
Terdapat tiga jenis klinis kolitis ulseratif yang sering terjadi, dikaitkan dengan frekuensi
timbulnya gejala. Kolitis ulseratif fulminan akut ditandai oleh awitan yang mendadak disertai diare
(10 sampai 20 kali/hari), parah, berdarah, nausea, muntah, dan demam yang menyebabkan
berkurangnya cairan dan elektrolit dengan cepat. Seluruh kolon dapat terserang disertai dengan
pembentukan terowongan dan penglupasan mukosa, yang menyebabkan hilangnya darah dan
mukus dalam jumlah banyak. Jenis kolitis ini terjadi pada sekitar 10% penderita. Prognosisnya
buruk, dan sering terjadi penyulit berupa megakolon toksik.2
Sebagian besar penderita kolitis ulseratif mengalami tipe kolitis kronis intermiten
(rekuren). Awitan cenderung perlahan selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Penyakit
bentuk ringan dicirikan dengan serangan singkat yang terjadi dalam interval berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun dan berlangsung selama 1-3 bulan. Mungkin terjadi sedikit atau tidak
terjadi demam serta gejala konstitusional, dan biasanya hanya mengenai kolon bagian distal.
Demam dan gejala sistemik dapat timbul pada bentuk penyakit yang lebih berat dan serangan
dapat berlangsung selama 3 atau 4 bulan, kadang digolongkan sebagai tipe kronis kontinu. Pada
tipe kronis kontinu, pasien terus menerus mengalami diare setelah serangan permulaan.
Dibandingkan dengan tipe intermiten, kolon yang terserang cenderung lebih luas dan lebih sering
terjadi komplikasi.2
Pada kolitis ulseratif bentuk ringan, terjadi diare ringan disertai dengan perdarahan ringan
dan intermiten. Pada penyakit yang berat, defekasi terjadi lebih dari enam kali sehari disertai
banyak darah dan mukus. Kehilangan darah dan mukus yang berlangsung kronis dapat
mengakibatkan anemia dan hipoproteinemia. Nyeri kolik hebat ditemukan pada abdomen bagian
bawah dan sedikit mereda bila defekasi. Hanya sedikit kematian yang secara langsung terjadi
akibat penyakit ini, namun dapat menimbulkan cacat ringan atau berat.
Penegakan diagnosis ulseratif biasanya jelas. Dijumpai diare disertai darah, dan
sigmoidoskopi memperlihatkan mukosa yang rapuh dan sangat meradang disertai eksudat. Pada
95% kasus mengenai daerah rektosigmoid kolon. Serangan dapat meluas dari daerah ini tetapi
selalu bersifat kontinu, berbeda dengan penyakit Chron yang cenderung melompat-lompat.2
Komplikasi
Komplikasi kolitis ulseratif dapat bersifat lokal atau sistemik. Fistula, fisura, dan abses
rektal jarang terjadi bila dibandingkan pada kolitis granulomatosa. Kadang-kadang, terbentuk
fistula rektovagina. Beberapa penderita dapat mengalami penyempitan lumen usus akibat fibrosis,
yang umumnya ringan bila dibandingkan dengan penyakit Chron.2
Salah satu komplikasi yang lebih berat adalah dilatasi toksik atau megakolon, dengan
paralisis fungsi motorik kolon transversum disertai dilatasi cepat segmen usus tersebut. Megakolon
toksik paling sering menyertai pankolitis. Angka mortalitas sekitar 30 % dan sering terjadi
perforasi usus. Pengobatan komplikasi ini adalah kolektomi darurat. Komplikasi lain adalah
perdarahan masif yang kadang-kadang memerlukan kolektomi darurat.
Komplikasi lain yang cukup penting adalah karsinoma kolon, dan frekuensinya semaking
meningkat pada pasien yang telah menderita penyakit ini lebih dari 10 tahun . apabila kolitis
ulseratif telah mengenai seluruh kolon selama 25 tahun, angka probabilitas kanker meningkat
menjadi 40 %.
Komplikasi sistemik sangat beragam, dan sukar dihubungkan secara kausal dengan
penyakit kolon. Komplikasi tersebut berupa pioderma gangrenosa, episkeretis, eveitis, artritis, dan
spondilitis ankilosa. Gangguan fungsi hati sering terjadi pada kolitis ulseratif. Adanya komplikasi
sistemik berat dapat menjadi indikasi pembedahan pada kolitis, bahkan bila gejala kolon bersifat
ringan sekalipun.2
Penatalaksanaan
Tidak ada obat spesifik untuk kolitis ulseratif. Tujuan terapi adalah untuk mengatasi
peradangan, mempertahankan status gizi penderita, meringankan gejala, serta mencegah infeksi
dan komplikasi lain.2
Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi peradangan dan mempercepat penyembuhan
klinis. Sulfonamida diberikan, namun mekanisme kerjanya kurang dimengerti. Diet residu rendah
menyebabkan berkurangnya massa feses sehingga membuat pasien merasa lebih nyaman. Diet
juga harus mengandung protein tinggi untuk mengompensasi kehilangan protein dalam lesi
eksudatif, dan juga harus tinggi kandungan vitamin dan mineral dengan pembatasan laktosa untuk
menghindari terjadinya intoleransi laktosa yang berkaitan dengan diare. Selama ekserbasi, tingtura
opium dan paregorik kadang-kadang diberikan untuk mengatasi diare. Obat antikoligernik juga
dapat membantu menghilangkan kram abdomen dan diare. Obat untuk mengendalikan diare harus
diberikan dengan pengawasan untuk menghindari terjadinya dilatasi kolon dan megakolon toksik.
Pasien malnutrisi membutuhkan pemberian nutrisi parenteral total (TPN). Dukungan emosional
dan menentramkan hati penderita merupakan aspek pengobatan yang penting.2
Bila tindakan medis tidak berhasil dan penyakit tidak dapat teratasi, maka diindikasikan
pembedahan. Operasi yang paling sering dilakukan adalah kolektomi total dan pembuatan
ileostomi permanen. Beberapa ahli juga menganjurkan kolektomi pada semua pasien yang seluruh
kolonnya telah terkena selama beberapa tahun. Hal ini karena insidensi karsinoma kolon pada
pasien ini sangat tinggi. Kanker kolon sukar didiagnosis pada penderita ini sebab gejala yang
timbul (seperti penurunan berat badan atau feses berdarah) lebih dianggap sebagai eksasebasi
kolitis ulseratif dibandingkan sebagai tanda-tanda kanker.2
Prognosis
Penyakit kolitis ulseratif merupakan penyakit yang bersifat remisi dan eksaserbasi. Cukup
banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan dalam jangka waktu yang lama.
Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon terhadap
pengobatan konservatif.1
Kesimpulan
Kolitis ulseratif merupakan penyakit radang kolon non spesifik yang umumnya
berlangsung lama dan tidak diketahui penyebab spesifiknya. Nyeri abdomen, diare, dan
perdarahan rektum merupakan gejala dan tanda yang penting. Tidak ada pengobatan spesifik untuk
kolitis ulseratif. Tujuan terapi adalah untuk mengatasi peradangan, mempertahankan status gizi
penderita, meringankan gejala, serta mencegah infeksi dan komplikasi lain.
Daftar Pustaka
1. Djojoningrat D. Inflammatory bowel disease alur diagnosis dan pengobatannya di
Indonesia dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta: FKUI;
2009.h.591-7
2. Lindseth GN. Gangguan usus besar dalam Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005.h.461-4
3. Bunnet NW, Lingappa VR. Penyakit gastrointestinal dalam Patofisiologi penyakit:
pengantar menuju kedokteran klinis. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2010.h.411
4. Oesman N. Kolitis infeksi dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta:
FKUI. 2009.h.560
5. Glickman RM. Radang usus: kolitis ulseratif dan penyakit crohn dalam Harrison prinsip-
prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 4. Edisi 13. Jakarta: EGC; 2000.h.1577-91