referat kolitis ulseratif

65
LEMBAR PENGESAHAN Nama : Sherli Yanti Arifin NIM : 406138041 Fakultas : Kedokteran Universitas : Tarumanagara Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter Bidang Pendidikan : Radiologi Judul Laporan Kasus : Seorang Pasien dg Kolitis Ulseratif Diajukan pada tanggal : Pembimbing : dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL : __________________________ Kepaniteraan Klinik Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara RSUD Kota Semarang Pembimbing

Upload: chita-cain

Post on 29-Jan-2016

190 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Colitis Ulseratif merupakan sauté peradangan

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT Kolitis Ulseratif

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Sherli Yanti Arifin

NIM : 406138041

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Tarumanagara

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan : Radiologi

Judul Laporan Kasus : Seorang Pasien dg Kolitis Ulseratif

Diajukan pada tanggal :

Pembimbing : dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL :

__________________________

Kepaniteraan Klinik Bagian Radiologi

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

RSUD Kota Semarang

Pembimbing

dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Ra d

Page 2: REFERAT Kolitis Ulseratif

BAB I

PENDAHULUAN

Radang usus besar (kolitis) adalah suatu peradangan kronis dari usus besar (colon). Colon adalah

bagian dari sistim pencernaan dimana sisa-sisa materi disimpan. Rektum adalah ujung (akhir)

dari colon yang berbatasan pada dubur (anus). Pada pasien-pasien dengan radang usus besar

terdapat gejala-gejala dari sakit perut, diare, dan perdarahan rektum.

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Kolitis infeksi, misalnya : shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik,

kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit.

b. Kolitis non-infeksi, misalnya : kolitis ulseratif, penyakit  Crohn’s kolitisradiasi,

kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simplecolitis)

Kolitis iskemik paling sering terjadi pada usia lanjut. Pada lesi transmural timbul nyeri abdomen

mendadak, sering melebihi tanda fisik yang diperlihatkan. Kadang-kadang nyeri disertai diare

berdarah. Onset nyeri cenderung mendadak pada embolus mesenterium dibandingkan pada

trombosis arteri atau vena. Karena penyakit ini dapat berkembang sehingga menyebabkan shock

dan colaps vaskular dalam beberapa jam diagnosis harus cepat ditegakkan, sehingga diperlukan

indeks kecurigaan yang tinggi dalam situasi yang sesuai. Angka kematian pada infark usus

mendekati 90 %, terutama karena jeda waktu antara onset gejala dan perforasi akibat gangren

yang sangat singkat.

Sebaliknya iskemia mural dan mukosa mungkin bermanifestasi hanya sebagai nyeri abdomen

yang tidak jelas sebabnya atau rasa tidak nyaman di abdomen yang muncul perlahan atau

perdarahan saluran cerna yang disertai nyeri dan rasa tidak nyaman. Kecurigaan muncul apabila

pasien pernah mengalami keadaan yang memungkinkan hipoperfusi usus, misalnya serangan

gagal dekompensasi kordis berat atau syok. Infark mukosa dan mural itu sendiri tidak mematikan

dan apabila penyebab hipoperfusi dapat diatasi dan lesi dapat sembuh.

Page 3: REFERAT Kolitis Ulseratif

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

FISIOLOGI DAN ANATOMI KOLON

Fungsi utama kolon adalah (1) absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses

yang padat dan (2) penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian

proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi dan setengah distal kolon berhubungan dengan

penyimpanan. Karena sebagai 2 fungsi tersebut gerakan kolon sangat lambat. Tapi gerakannya

masih seperti usus halus yang dibagi menjadi gerakan mencampur dan mendorong.

Gerakan Mencampur “Haustrasi”.

Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5 cm otot sirkular

akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir tersumbat. Saat yang sama, otot

longitudinal kolon (taenia koli) akan berkontraksi. Kontraksi gabungan tadi menyebabkan bagian

usus yang tidak terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap haustrasi mencapai intensitas

puncak dalam waktu ±30 detik, kemudian menghilang 60 detik berikutnya, kadang juga lambat

terutama sekum dan kolon asendens sehingga sedikit isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh

karena itu bahan feses dalam usus besar secara lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan

feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan  cairan serta zat

terlarut secara progresif diabsorbsi hingga terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan tiap hari.

Gerakan Mendorong “Pergerakan Massa”.

Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra yang lambat tapi

persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur setengah padat. Dari sekum sampai

sigmoid, pergerakan massa mengambil alih peran pendorongan untuk beberapa menit menjadi

satu waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan.

Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili. menghasilkan mucus (sel

epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat yang diatur oleh

rangsangan taktil , langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf setempat terhadap sel mucus

Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla spinalis yang membawa persarafan

Page 4: REFERAT Kolitis Ulseratif

parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian distal kolon. Mucus juga berperan dalam

melindungi dinding kolon terhadap ekskoriasi, tapi selain itu menyediakan media yang lengket

untuk saling melekatkan bahan feses. Lebih lanjut, mucus melindungi dinding usus dari aktivitas

bakteri yang berlangsung dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida

sehingga menyediakan ion bikarbonat alkalis yang menetralkan asam dalam feses. Mengenai

ekskresi cairan, sedikit cairan yang dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat

meningkat sampai beberapa liter sehari pada pasien diare berat

Absorpsi dalam Usus Besar

Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air dan elektrolit

di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100 ml diekskresikan bersama feses.

Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon proksimal (kolon pengabsorpsi), sedang bagian

distal sebagai tempat penyimpanan feses sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat

(kolon  penyimpanan)

Absorbsi dan Sekresi Elektrolit dan Air.

Mukosa usus besar mirip seperti usus  halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif natrium

yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah taut epitel di usus besar lebih erat

dibanding usus halus sehingga mencegah difusi kembali ion tersebut, apalagi ketika aldosteron

Page 5: REFERAT Kolitis Ulseratif

teraktivasi.  Absorbsi ion natrium dan ion klorida menciptakan gradien osmotic di sepanjang

mukosa usus besar yang kemudian menyebabkan absorbsi air

Dalam waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat (seperti penjelasan

diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja bakteri didalam usus besar

Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar

Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari sehingga bila

jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui sekresi usus besar melebihi jumlah

ini akan terjadi diare.

Kerja Bakteri dalam kolon.

Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorpsi.

Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai tambahan nutrisi), vitamin (K, B₁₂,

tiamin, riboflavin, dan bermacam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO₂,

H₂, CH₄)

Komposisi feses.

Normalnya terdiri dari ³⁄₄ air dan ¹⁄₄ padatan (30% bakteri, 10-20% lemak, 10-20% anorganik, 2-

3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan unsur kering dari pencernaan (pigmen

empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari feses disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin

yang berasal dari bilirubin yang merupakan hasil kerja bakteri. Apabila empedu tidak dapat

masuk usus, warna tinja menjadi putih (tinja akolik). Asam organic yang terbantuk dari

karbohidrat oleh bakteri merupakan penyebab tinja menjadi asam (pH 5.0-7.0).  Bau feses

disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol, hydrogen sulfide). Komposisi tinja

relatif tidak terpengaruh oleh variasi dalam makanan karena sebagian besar fraksi massa feses

bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan penyebab mengapa selama kelaparan jangka

panjang tetap dikeluarkan feses dalam jumlah bermakna.

Page 6: REFERAT Kolitis Ulseratif

Defekasi

Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang lemah ±20

cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid  dan rectum serta sudut tajam yang

menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan massa ke rectum, kontraksi

rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi. Pendorongan massa yang

terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari 1) sfingter ani interni; 2) sfingter ani

eksternus

Refleks Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum mencapai 18

mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan eksternus melemas dan

isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks intrinsic (diperantarai sistem

saraf enteric dalam dinding rectum.

Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen menyebar

melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam kolon descendens,

sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang peristaltic mendekati anus,

sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani

eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter

melemas sewaktu rectum teregang

Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi volunter dapat

dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan otot-otot

abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex spinal yang dengan

sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap berkontraksi atau

melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen.

Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks defekasi, sehingga

diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral medulla spinalis). Bila

ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian

secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut

parasimpatis n. pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltic dan

merelaksasi sfingter ani internus. Sehingga mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi proses

defekasi yang kuat

Page 7: REFERAT Kolitis Ulseratif

Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil napas

dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari kolon turun

ke bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin anus

mengeluarkan feses.

KLASIFIKASI KOLITIS BERDASARKAN PENYEBABNYA

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Kolitis infeksi, misalnya : shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik,

kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit.

b. Kolitis non-infeksi, misalnya : kolitis ulseratif, penyakit  Crohn’s kolitisradiasi,

kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simplecolitis)

KOLITIS INFEKSI

1. KOLITIS AMEBIK (AMEBIASIS KOLON)

Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.

Epidemiologi.

Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi.

Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia

merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan

dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual

anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek. Penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi

individual mempermudah penularannya.

Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya.

Kista tersebut dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan

infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun

bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia.

Page 8: REFERAT Kolitis Ulseratif

Gejala klinis.

Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dan asimtomatik sampai berat dengan

gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis adalah

sebagai berikut :

1. Carrier: ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau hanya keluhan

ringan seperti  kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan puluh persen

pasien sembuh sendiri dalam waktu satu tahun, sisanya (10 %) berkembang menjadi kolitis

ameba.

2. Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan

tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan umum pasien baik.

3. Disentri ameba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan nyeri

spontan.

4. Disenti ameba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia.

5. Disentri ameba kronik : gejala menyerupai disentri ameba ringan diselingi dengan periode

normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, neurasthenia,

serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar

dicerna.

Penatalaksanaan.

1. Karier asimtomatik.

Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain: Iodoquinol

(diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali per hari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg 3

kali sehari selama 10 hari.

2. Kolitis ameba akut.

Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5 – 10 hari, ditambah dengan obat luminal

tersebut di atas.

3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya : abses hati ameba).

Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal

tersebut diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak terbukti

lebih efektif dari satu macam obat.

Page 9: REFERAT Kolitis Ulseratif

2. DISENTRI BASILER (SHIGELLOSIS)

Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella

Epidemiologi.

Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat , sanitasi jelek, kurang air dan tingkat

kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10 – 15 %

penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera

dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan

penyakit relative sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah

terjadi penularan secara fecal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan dan

minuman yang terkontaminasi.

Di daerah tropis termasuk Indonesia. Disentri biasanya meningkat pada musim kemarau di

mana S.flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di negera-negara Eropa dan

Amerika Serikat prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii di

negera tersebut telah menurun sehingga saat ini S.Sonnei adalah yang terbanyak

Gejala klinis.

Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis Shigeleosis 

bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat berlangsung sampai 4

minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya

menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, rasa

panas rektal, diare disertai demam yang bisa mencapai 40o C. selanjutnya diare berkurang tetapi

tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak

mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk

dan letargi.

Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun jarang

terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan  kuman bersama feses

Page 10: REFERAT Kolitis Ulseratif

selama bertahun. Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami

gejala shifellosis yang intermiten.

Penatalaksanaan

1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar pasien disentri

dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan

pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus

dilakukan rehidrasiintravena.

2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya penyakit

yaitu pasien dengan gejala disentri sedang  sampai berat, diare persisten serta perlu

diperhatikan pola sensitivitas kuman di daerah tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang

dianjurkan adalah:

Ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau

Kontrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau

Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari

Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia  kuman  Shigella telah banyak yang resisten

dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan antibiotik lain seperti golongan kuinolon

dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien dengan gejala klinik yang berat

1. Pengobatan simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus seperti

narkotika dan derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi

terjadinya megakolon toksik. Obat simtomatik yang lain diberikan sesuai dengan keadaan

pasien antara lain analgetik-antipiretik dan antikonvulasi.

3. KOLITIS TUBERKULOSA

Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.

Epidemiologi.

Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberculosis yang masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat.

Page 11: REFERAT Kolitis Ulseratif

Gejalaklinis.

Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak khas. Dapat

terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksi, demam ringan,

penurunan berat badan atau teraba masa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan

kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja

mungkin hanya berasal dan kuman yang tertelan bersama sputum.

Penatalaksanaan.

Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti pada pengobatan

tuberculosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang-kadang perlu

tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti tuberculosis yang sering dipakai

adalah :

INH 5 – 10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari

Etambutol 15 – 25 mg/kgBB atau 900 – 1200 mg sekali sehari

Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400 – 600 mg sekali sehari

Pirazinamid 25 -3 mg/kgBB atau 1,5 – 2 g sekali sehari

5. KOLITIS PSEUDOMEMBRAN

Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan

terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaaan mukosa kolon.

Kolitis pseudomembran ditandai dengan plak pseudomembran dengan ukuran bervariasi antara 2

sampai 5 mm dan seringkali bergabung membentuk pseudomembran berwarna putih

kekuningan. Pada beberapa kasus lokasi penyakit ini di sekum dan kolon bagian proksimal.

Kolitis pseudomembran digambarkan pertama kali pada abad 19 kemudian dikenal sebagai

penyakit gastrointestinal dengan frekuensi meningkat dan dapat mengakibatkan kematian.

Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik oleh karena sering timbul akibat pertumbuhan

Clostridium difficile (C. difficile) akibat pemakaian antibiotika. Kolitis pseudomembran pertama

Page 12: REFERAT Kolitis Ulseratif

kali dilaporkan pada tahun 1893 disebabkan oleh karena Staphylococcus aureus, tetapi pada

tahun 1978 banyak kasus kolitis pseudomembran diakibatkan oleh toksin C. difficile. C. difficile

ditemukan 15-25% pada penderita dengan gejala asimptomatik, mendapat terapi antibiotika

sebelumnya dan orang dewasa yang MRS. 10% kasus antibiotika berhubungan diare adalah

kolitis pseudomembran. Usia lanjut mempunyai resiko tinggi untuk menderita kolitis

pseudomembran.

Kolitis pseudomembran berhubungan dengan pembentukan pseudomembran pada mukosa kolon.

Kolitis pseudomembran dapat terjadi pada minggu pertama pemakaian antibiotika atau terjadi

lebih 6 minggu setelah pemakaian antibiotika dihentikan. Pemakaian oral lebih sering

menimbulkan kolitis pseudomembran dibanding perenteral. Walaupun clindamysin dan

lincomycin berhubungan dengan kolitis pseudomembran, sebenarnya semua antibiotika dapat

mengakibatkan kolitis pseudomembran antara lain cephalosporin dan ampicillin oleh karena

pemakaian yang luas. Mortality rate penderita kolitis pseudomembran 1.1-3.5%

Etiologi

Kolitis pseudomembran sering dihubungkan dengan penggunaan antibiotika yang

mengakibatkan perubahan keseimbangan flora normal usus dan memungkinkan pertumbuhan

beberapa organisme, termasuk C. difficile yang akan melepaskan toksin. Banyak kasus

dilaporkan kolitis pseudomembran akibat penggunaan antibiotika tanpa memperhatikan jumlah

dosis maupun cara pemberian antibiotika. Pemberian antibiotika jangka panjang dan penggunaan

lebih dari 2 macam meningkatkan resiko terkena kolitis pseudomembran. C. difficile adalah

suatu bakteri gram positif, bentuk spora, anaerob dapat diisolasi pada hampir semua kasus kolitis

pseudomembran. Sebagian besar kasus disebabkan C. difficile ditandai dengan diare dan akan

membaik jika antibiotik penyebab dihentikan dan kolitis pseudomembran merupakan komplikasi

khusus. C. difficile merupakan patogen pada hampir semua kasus kolitis pseudomembran,

meskipun sebagian besar penderita diare oleh karena antibiotika menunjukkan hasil toksin

negatif. Pada beberapa kasus ditemukan Staphylococcus aureus, Salmonella species, Clostridium

perfringens, Yersinea species, Shigella species, Campylobacter species, cytomegalovirus,

Entamoeba histolytica dan Listeria species. Faktor resiko kolitis pseudomembran yang

disebabkan C. difficile akibat pengguanaan antibiotika adalah iskemia kolon, operasi kolon yang

Page 13: REFERAT Kolitis Ulseratif

baru, uremia, perubahan diet, perubahan motilitas kolon, malnutrisi, kemoterapi, syok dan

Hirschsprung disease. Kolitis pseudomembran dapat juga terjadi tanpa riwayat pemakaian

antibiotika sebelumnya.

Patofisiologi

Faktor yang ikut berperan pada patogenesis C. difficile berhubungan dengan penyakit usus

adalah :

1)Sumber organisme dapat dari flora normal atau berasal dari lingkungan

2) mengubah flora normal (peran antibiotika)

3) produksi toksin, bersamaan flora normal ditekan

4) umur yang berkaitan dengan kepekaanan

5) kepekaan imunologik

Penggunaan antibiotika spektrum luas mengakibatkan perubahan flora normal usus dan

mengganggu mekanisme kontrol dari populasi flora usus sehingga memungkinkan C. difficile

menetap dan mengadakan proliferasi terutama jika penggunaan antibiotika secara oral..

Disamping itu juga menekan resistensi kolonisasi terhadap C. difficile dan antibiotika sisa tidak

aktif melawan C. difficile. Pemberian C. difficile pada binatang coba tanpa antibiotika tidak

mengakibatkan kolitis tetapi pemberian antibiotika mengakibatkan kolitis. Hal ini dikarenakan

hilangnya kemampuan untuk menghalangi efek toksin C. difficile dan bakteri lain. Perubahan

bakteri anaerobik tampaknya juga memegang peranan penting. Kuman tesebut menetap di kolon

dan menghasilkan toksin yang merusak mukosa, inflamasi dan sekresi

cairan. Host ikut berperan pada manifestasi gejala klinik.

Kolitis diakibatkan oleh sejumlah toksin yang dihasilkan bakteri. Toksin A dan B yang

diproduksi akan mengakibatkan kerusakan jaringan usus dan mengganggu hubungan antar sel.

Toksin yang berperan adalah toksin A (enterotoksin) dengan aktivitas sitotoksik lemah dan

toksin B (sitotoksin) mengakibatkan perubahan kultur jaringan. Enterotoksin terutama

bertanggung jawab pada gejala klinik yang berhubungan dengan infeksi C.difficile tetapi

memiliki efek sitotoksik lebih lemah dibandingkan sitotoksin.

Enterotoksin mengakibatkan sekresi cairan dan kerusakan mukosa dengan akibat diare dan

Page 14: REFERAT Kolitis Ulseratif

inflamasi. Toksin melekat dan menyerang mukosa serta mikrofilamen dari sel mukosa dan

kemudian menghasilkan kontraksi sitoplasma, perdarahan, inflamasi, nekrosis sel dan kehilangan

protein. Toksin juga mengganggu sintesa protein, stimulasi kemotaksis granulosit dan

meningkaktkan permeabilitas kapiler dan respon mioelektrik usus serta mengganggu peristaltik.

Kerusakan awal oleh toksin A memungkinkan toksin B masuk ke dalam sel dan memungkinkan

kedua toksin menyebabkan trauma pada sel.

Toksin A mengakibatkan produksi TNF a, IL-1b dan leukotriene serta menstimulasi neutrofil

sehingga mengakibatkan inflamasi. Pada awalnya tampak eksudasi polimorfonuklear dan fibrin

ke dalam lumen dan merupakan tanda spesifik. Akumulasi sel PMN di jaringan usus pada kolitis

pseudomembran oleh karena toksin A mengakibatkan kerusakan jaringan. Replikasi patogen,

produksi toksin dan pengerahan neutrofil mengakibatkan kerusakan dan apoptosis, nekrosis lokal

dan terbentuk pseudomembran. Toksin B sangat bermanfaat untuk deteksi penyakit sedangkan

toksin A bertanggung jawab pada ekspresi klinik dari penyakit. Ig G terhadap toksin A

berhubungan dengan perlindungan terhadap penyakit asimptomatik dan juga mencegah relaps.

Gejala Klinis

Pada umumnya gejala tampak setelah 3 sampai 9 hari pemakaian antibiotika. Gejala dapat

asimptomatik sampai berat. Gejala yang sering adalah diare cair atau mukoid dapat profus,

berbau busuk dan dapat disertai dengan sedikit darah, dengan frekuensi sering (10-20 kali/hari),

dan dapat terjadi ileus tetapi sangat jarang. Dapat disertai kram perut, demam dengan temperatur

tidak lebih dari 38°C. Walaupun jarang dapat mengakibatkan manifestasi ekstraintestinal yaitu

oligoartritis dan iridosiklitis.

Diagnosis

Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik perlu dipikirkan

terjadinya kolitis pseudomembran. Pemeriksaan laboratorium non spesifik berhubungan C.

difficile sebagai penyebab kolitis adalah lekositosis 15.000/mm3, hipoalbumin dan lekosit pada

feses. Diagnosis kolitis pseudomembran dapat cepat dibuat dengan mendeteksi toksin dalam

feses, hasil kultur positif dan melakukan pemeriksaan endoskopi. Karena pemeriksaan kultur C.

difficile kurang spesifik dikembangkan pemeriksaan enzyme immunoassay (EIA), latex

Page 15: REFERAT Kolitis Ulseratif

agglutination dan polymerase chain reaction. EIA dapat mendeteksi toksin A atau toksin A dan

B, banyak ahli menyukai test yang mendeteksi kedua toksin oleh karena beberapa kasus C.

difficile memproduksi hanya toksin A. Test sitotoksin feses memiliki sensitivitas 94-100% dan

spesivisitas 99%. Sebagai gold standard untuk diagnosis secara laboratorium adalah pemerikasan

sitotoksin, dengan mendeteksi toksin B pada feses. Test ini akan memberikan hasil positif jika

didapatkan sel pada kultur jaringan tampak pada feses cair, mengalami perubahan sitopatik.

Rekomendasi dari Society for Hospital Epidemiology and Infection Control (SHEA) untuk

deteksi C. difficile:

1) Test hanya feses diare kecuali jika ada ileus

2) jangan melakukan pemeriksaan atau mengobati kecuali jika ada penelitian epidemiologi

3) pemeriksaan feses hanya pada usia diatas 1 tahun

4) pemeriksaan yang disukai adalah kultur

5) EIA cocok sebagai alternatif pemeriksaan sitotoksik tetapi kurang sensitif

Plak pada kolitis pseudomembran tampak pada pemeriksaan endoksopi dan patologi anatomi.

Pada sebagian besar penderita kolitis pseudomembran yang dilakukan pemeriksaan

sigmoidoskopi fleksibel memberikan hasil positif diatas 90%, pada sebagian kecil penderita jika

penyakit terbatas pada proksimal kolon memerlukan pemeriksaan kolonoskopi. Inspeksi

langsung dengan endoskopi sebagian besar penderita dengan diare yang berhubungan dengan

pemakaian antibiotika ditemukan mukosa kolon dan rektum tampak normal atau menunjukan

inflamasi ringan. Penemuan ini dapat berupa perubahan nonspesifik berupa eritema, friability

dan edema sampai menunjukkan kelainan kolitis pseudomembran. Kolitis pseudomembran

merupakan suatu plak pseudomembran dengan ukuran antara 2-5 mm dan seringkali bergabung

menjadi bentuk besar, berupa pseudomembran putih kekuningan. Gambaran histologi dari lesi

bervariasi tergantung beratnya penyakit juga pada saat pengambilan biopsi dari jaringan, tapi

tidak berkorelasi dengan beratnya gejala klinik. Gambaran histologi dari biopsi kolitis

pseudomembran terdiri eksudat inflamatori berupa mukoid terdiri dari infiltrasi neutrofil

polimorfonuklear, eosinofil dan inti-inti. Pada lamina propria Menurut Price dan Davies ada 3

tipe lesi : Volcano, Glandular dan Mucosa necrosis.

Page 16: REFERAT Kolitis Ulseratif

Pemeriksaan radiologi meliputi foto polos abdomen, barium enema dan CT scan abdomen dapat

dilakukan untuk mendukung diagnosis kolitis pseudomembran. CT scan menunjukkan gambaran

cap jempol dari mukosa kolon yang menunjukkan edema mukosa tetapi perubahan ini tidak

spesifik untuk kolitis pseudomembran oleh karena C. difficile. Meskipun hasil CT scan tidak

berhubungan dengan beratnya penyakit dan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis, tetapi

CT scan abdomen penting untuk penderita dengan kecurigaan kolitis pseudomembran

oleh karena peningkatan mortalitas akibat diagnosis yang ditegakkan dalam jangka waktu lama.

Komplikasi

Meningkatnya kesadaran penggunaan antibiotika penyebab kolitis pesudomembran dan

pemberian terapi awal kasus yang dicurigai kolitis pseudomembran mengakibatkan penurunan

komplikasi dan mortalitas. Akibat diare berkepanjangan mengakibatkan dehidrasi, gangguan

keseimbangan elektrolit, hipotensi dan protein loss dengan akibat hipoalbuminemia. Komplikasi

serius tapi jarang terjadi dari kolitis pseudomembran adalah kolitis fulminan dengan toksik

megakolon. Perforasi merupakan komplikasi yang mengakibatkan kematian tertinggi dari

komplikasi lainnya, terutama jika menyangkut beberapa lokasi, tetapi jarang terjadi.

Penatalaksanaan

Terapi pada kolitis pseudomembran meliputi: antibiotika yang diduga menjadi penyebab

dihentikan, terapi suportif non spesifik dan beberapa kasus diberikan antibiotika terhadap C.

difficile. Terapi suportif diberikan pada kasus ringan dan sedang. Terapi awal yang penting

adalah menghentikan penggunaan antibiotika yang diduga menyebabkan kolitis pseudomembran

atau minimal mengganti dengan antibiotika yang kecil kemungkinan untuk pertumbuhan C.

difficile, menghindari penggunaan obat yang mengganggu peristaltik (seperti narkotik dan

antidiare), mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada kasus berat penderita perlu

dirawat untuk rehidrasi secara intravena. Pada penderita tua dan kolitis pseudomembran yang

berat antibiotika empiris harus dimulai setelah dicurigai kolitis pseudomembranous. Pada kasus

gagal dengan terapi suportif dan antibiotika penyebab tidak dapat dihentikan, bisa

dipertimbangkann pemberian antibiotika khusus 7 sampai 10 hari bersama-sama pemberian

terapi suportif dan antibiotika penyebab dapat diganti lainnya jika memungkinkan. Terapi

Page 17: REFERAT Kolitis Ulseratif

spesifik didasarkan 3 pendekatan : penggunaan antibiotika efektif terhadap C difficile,

membersihkan toksin dari lumen kolon dengan pengikat resin atau menghidupkan kembali flora

normal.

Vancomycin dan metronidazole sering digunakan dan memberikan respon baik pada hampir

seluruh kasus. Metronidazole secara oral merupakan obat pilihan untuk terapi awal dengan dosis

250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari. Vancomycin direkomendasikan sebagai second

line therapy dengan dosis 125 mg 4 kali sehari, kedua antibiotika tersebut diberikan selama 10-

14 hari. Pemberian vancomycin secara oral memberikan kadar dalam kolon tinggi dan sensitif

terhadap semua strain C. difficile. Tetapi penggunaan metronidazole lebih disukai mengingat

harganya 20 kali lebih murah dibandingkan vancomycin. Pada penderita yang tidak

memungkingkan pemberian secara oral pemberian metronidazole intravena menjadi pilihan

dibandingkan vancomycin, hal ini disebabkan vancomycin tidak dapat diekskresikan ke dalam

kolon. Metronidazole intravena diberikan 500 mg tiap 6 jam. Cholestyramine dapat diberikan

untuk pengikatan toksin A dan B dari C. difficile, dengan maksud membersihkan toksin dari

lumen kolon. Cholestyramine dapat mengikat vancomycin sehingga diberikan 2 sampai 3 jam

sebelum atau sesudah pemberian vancomycin. Lactobacilli juga telah digunakan secara luas pada

penyakit diare seperti kolitis pseudomembran. Tindakan pembedahan diindikasikan pada

penderiita yang tidak respon dengan terapi medik atau kecurigaan perforasi kolon atau toxic

megacolon. Pembedahan diperlukan kurang lebih 0.4% kasus. Dua pertiga penderita dengan

toxic megacolon memerlukan tindakan pembedahan . Diare akan berkurang, suhu tubuh turun

dan perbaikan gejala klinis dalam 24-48 jam dan diare akan berhenti total dalam waktu 5 sampai

7 hari. Kultur C. difficile dan pemeriksaan toksin tetap positif dalam beberapa minggu dan

jangan disalahartikan sebagai kegagalan terapi jika diare membaik. Penderita yang tidak

membaik secara cepat perlu dipertimbangkan untuk diagnosa lain

Pencegahan

Paling penting untuk mencegah penyakit usus yang berhubungan dengan penggunaan antibiotika

adalah dengan menghindari penggunaan antibiotika jika tidak diperlukan. Jika telah terkena

penyakit tersebut dengan meminimalkan penyebarannya. Penyebaran secara nosokomial

merupakan hal serius sehingga isolasi tepat dan tindakan pencegahan harus diperhatikan

Page 18: REFERAT Kolitis Ulseratif

terutama pada penderita dengan diare. Disarankan pemakaian sarung tangan dan mencuci tangan

pada seseorang yang terlibat dalam perawatan penderita.

Sumber penularan C. difficile mungkin secara endogen jika penderita sebagai karier atau paling

sering didapat secara eksogen didapat secara nosokomial. Rekomendasi SHEA untuk mengontrol

C. difficile di rumah sakit dan perawatan yang lama :

1) Membatasi penggunaan antibiotika dedngan perhatian khusus untuk clindamycin

dan cephalosporin

2) cucitangan dengan sabun

3) memakai sarung tangan

4) membersihkan lingkungan terutama pada daerah dengan kasus infeksi C. difficile

5) isolasi pada penderita simptomatik khususnya yang inkontinensia feses pada ruangan khusus

6) menghindari penggunaan termometer rektal

Prognosis

Prognosis penderita kolitis pseudomembran adalah baik. Kecurigaan secara klinik dan

pengenalan tepat dari penyakit mendorong penghentian penggunaan antibiotika dan memulai

memberikan terapi spesifik jika merupakan indikasi. Progonis pada penderita dengan komplikasi

toxic megacolon dan perforasi kurang baik.

KOLITIS NON-INFEKSI

1. DEFINISI

Kolitis ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama penyakit radang usus (IBD) ,

bersama dengan penyakit Crohn . Tidak seperti penyakit Crohn, yang dapat mempengaruhi

setiap bagian dari saluran pencernaan, kolitis ulseratif bersifat hanya melibatkan usus besar, dan

ileum terminal pada 10% pasien.

EPIDEMIOLOGI

Penyebaran penyakit kolitis ulseratif ini sama dengan penyakit chron. Banyak ditemukan

di negara barat dan sedikit di negara Asia dan Afrika. Akan tetapi akhir-akhir ini lebih banyak

Page 19: REFERAT Kolitis Ulseratif

kasus Crohn ditemukan di Indonesia, mungkin juga karena lebih banyak orang berobat ke dokter

dan adanya kemajuan di bidang teknik untuk diagnosa. Insidensi penyakit kolitis ulseratif di

Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan.

Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk. Sementara puncak

kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi dalam

setiap dekade kehidupan.

Di RSCM tahun 2001 – 2006 terdapat 3,9% pasien yang terdeteksi dari 1541 pasien

yang dilakukan endoskopi, dan di RSGS tahun 2002 – 2006 terdapat 6,95% pasien yang

terdeteksi sebagai kolitis ulseratif dari 532 pasien yang dilakukan endoskopi.

ETIOLOGI

Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran tertentu

penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor familial

atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik. (Glickman RM, 2000)

Faktor familial/ genetik

Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih dibandingkan orang kulit hitam

atau cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi

dibandingkan dengan non Yahudi. Hal ini menunjukan bahwa dapat ada predisposisi

genetik terhadap perkembangan penyakit ini. (Glickman RM, 2000)

Faktor infeksi

Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus untuk

kemungkinan penyebab infeksi. Disamping banyak usaha untuk menemukan agen

bakteri, jamur, virus, belum ada yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat

varian dinding sel Pseudomonas atau agen lain yang dapat ditularkan yang dapat

menghadirkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi.

Faktor imunologik

Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi

ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat

mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid

atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada

60-70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-

Page 20: REFERAT Kolitis Ulseratif

neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam

patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana

pasien dengan p-ANCA negatif lebih cenderung menjadi HLADR4 positif.

Faktor psikologik

Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim

bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya

stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah

dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang

membuat mereka menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang

atau mengeksaserbasi gejalanya.

Faktor lingkungan

Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis ulseratif

berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif menurun secara signifikan

pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian

sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara perokok

dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit

kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok.

PATOGENESIS

Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit,

makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri

telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik

yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen

mikroba non patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu

mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T atau

produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal kolon.

Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh

epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen

lumenal, yang tetap dan diperkuat karena kesam/aan antara antigen lumenal dan protein tuan

rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epitelial oleh sitotoksisitas

seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara langsung. (Price , 2005)

Page 21: REFERAT Kolitis Ulseratif

Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada peningkatan sekresi

antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen.

Kolitis ulseratif dihubungkan dengan meningkatnya produksi IgG (oleh limfosit Th2) dan IgG,

sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent. Ada juga peningkatan

produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α [TNF-α], terutama

pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun

respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat

dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam pembentukan

penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi

netrofil, mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi,

komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan

edema.

KLASIFIKASI KOLITIS ULSERATIF

Klasifikasi kolitis ulseratif (Tabel 1) adalah:

a. Kolitis ulserosa dini aktif

Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia dan edema, erosif dan

ulserasif kecil. Gambaran histopatologi biopsi, menunjukkan kelainan kombinasi antara

erosi dan ulserasi. Kuantitas elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan

vaskularisasi pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang terdiri

dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses kemudian pecah dan proses

radang meluas pada submukosa.

b. Kolitis ulserosa kronik aktif

Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses penyembuhan dengan

regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta jumlahnya berkurang atau menghilang, pada

lamina propria jaringan limfoid mengalami hiperplasia. Kelenjar mukosa mengalami

hiperplasia, muncul dalam bentuk psedopolip.

c. Kolitis Ulserosa Tenang

Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses regenerasi kelenjar,

menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah berkurang. Bila kolitis ulserosa sudah

Page 22: REFERAT Kolitis Ulseratif

berlangsung lama, dapat dijumpai displasia atau prakanker. Itulah alasannya ulserosa

dianggap sebagai resiko tinggi untuk karsinoma kolon dan rektum.

Tabel 1. Klasifikasi kolitis ulseratif

 

Acute

Stage

Resolving

Stage

Chronic-healed

Stage

Vascular congestion ++ +  

Mucin depletion + -  

Cryptitis, crypt abcess ++ +  

Epithelial lost and ulcer ++ -  

PMN, eosinophil and mast

cell ++ +  

Luminal pus ++ -  

Basal plasma cell ++ ++  

Epithelial regeneration - ++  

Expantion of mitotic active

cell - ++  

Architectural distortion:      

• atrophy     ++

• branching     ++

• crypt shortening     ++

• villous surface     ++

Metaplasia pyloric     ++

Metaplasia Paneth cell     ++

Lymphoid hyperplasia     ++

Epithelial displacement     ++

Increased mononucleous     ++

Endocrine cell hyperplasia     ++

Squamous metaplasia     ++

G AMBARAN KLINIS

Page 23: REFERAT Kolitis Ulseratif

Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulseratf adalah sakit pada perut

dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di samping itu dapat juga dijumpai anemia, kelelahan

(mudah lelah), kehilangan berat badan, pendarahan pada rektum, kehilangan nafsu makan,

kehilangan cairan tubuh dan gizi, lesi pada kulit dan radang sendi, pertumbuhan yang terganggu,

terutama anak-anak. Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa dengan kolitis ulseratf yang

mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam, diarrhea dengan perdarahan,

nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti

arthritis, radang pada mata (uveitis), hati (sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini tidak

dapat diketahui bagaimana bisa terjadi di luar dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini

dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu sistem immune. Sebagian problem seperti ini

tidak jadi masalah jika kolitis dapat diobati. Ada pun organ yang terlibat pada kolitis ulseratif

seperti pada gambar dibawah ini.

Perbedaan kolitis ulseratif dan penyakit crohn

Page 24: REFERAT Kolitis Ulseratif

Kolitis Ulceratif Penyakit CrohnHanya usus yang terlibat PanintestinalTerus-menerus memperluas peradangan proksimal dari dubur

Skip-lesi dengan intervening mukosa normal

Peradangan pada mukosa dan hanya submucosa Peradangan Transmural

Tidak ada granuloma Noncaseating granuloma

Perinuclear Anca (PANCA) positif Asca positif

Pendarahan (umum) Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa dengan kolitis ulseratf yang mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam, diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti arthritis, radang pada mata (uveitis), hati (sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini tidak dapat diketahui bagaimana bisa terjadi di luar dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu sistem immune. Sebagian problem seperti ini

Pendarahan (jarang)

Fistula (jarang) Fistula (umum)

DIAGNOSIS

Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali

dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit yang ringan,

bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah

dan tanpa manifestasi sistemik.

Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan, berdasarkan

frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan laju endap

darah (klasifikasi Truelove). Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat dimulai dengan

serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual

setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang

terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa. Secara

endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif relatif mudah dengan menilai gradasi

berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Pada kolitis ulseratif,

Page 25: REFERAT Kolitis Ulseratif

terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,

kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari

radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa

yang normal.

Tabel . Truelove and Witts classification of severity of ulcerative colitis

Activity Mild Moderate Severe

Number of bloody stools per day (n) <4 4–6 >6

Temperature (°C)

Afebril

e Intermediate >37.8

Heart rate (beats per minute) Normal Intermediate >90

Haemoglobin (g/dl) >11 10.5–11 <10.5

Erythrocyte sedimentation rate (mm/h) <20 20–30 >30

(Marc D, 2011)

Gambaran Fisik Diagnostik

Temuan fisis pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik; bisa terdapat distensi

abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisis umum

akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya berhubungan dengan

penyakit yang lebih berat.

Manifestasi ekstrakolon bisa dijumpai. Hal ini termasuk penyakit okular (iritis, uveitis,

episkleritis), keterlibatan kulit (eritema nodosum, pioderma gangrenosum), dan

artralgia/artritis (periferal dan aksial artropati). Kolangitis sklerosing primer jarang dijumpai.

Gambaran Laboratorium

Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan beratnya

perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan penyakit kronik serta

defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan

peningkatan laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat.

Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia

Page 26: REFERAT Kolitis Ulseratif

umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein

lumen melalui mukosa yang berulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat

menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang berhubungan.

Pemeriksaan kultur feses (patogen usus dan bila diperlukan, Escherichia coli

O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile negatif.

Pemeriksaan antibodi p-ANCA dan ASCA (antibodi Saccharomyces cerevisae

mannan) berguna untuk membedakan penyakit kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn.

2.7.3 Gambaran Radiologi

1. Foto polos abdomen

Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus pada kolon.

Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis,

spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat

memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada,

sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam

abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi

yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan

tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi

adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral

decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak.

Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan

pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan

tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium enema merupakan kontra indikasi.

2. Barium enema

Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila ada kelainan

pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema maka persiapan saluran cerna

merupakan pendahuluan yang sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-

turut dengan memakan makanan rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih

yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral. (Marc D, 2011)

Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras tunggal (single

contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu barium sulfat dan udara.

Page 27: REFERAT Kolitis Ulseratif

Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa kolon dibandingkan dengan

teknik single contrast, walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit.

Barium enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien

dengan kolitis ulseratif.. Adapun gambaran kolitis pada pemeriksaan barium tampak pada

gambar.

Gambar : Pemeriksaan barium enema yang menunjukkan gambaran pipa pada Colitis

ulseratif (Adam, 2010)

Gambar : Gambaran colitis ulseratif stadium berat dimana haustra tidak terlihat hampir

menyeluruh di semua colon. (Adam, 2010)

Gambaran foto barium enema pada kasus dengan kolitis ulseratif adalah mukosa kolon

yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak menjadi kaku seperti

Page 28: REFERAT Kolitis Ulseratif

tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen

kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon.

Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri (desendens)

selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum dan menyebar ke

arah proksimal secara kontinu. Jadi rektum selalu terlibat, walaupun rektum dapat

mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian proksimalnya.

Pada keadaan di mana terjadi pan-ulseratif kolitis kronis maka perubahan juga dapat

terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal menjadi granuler difus dan dilatasi,

sekum berbentuk kerucut (cone-shaped caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga

terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas

yaitu collar-button ulcers. Pasien dengan kolitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi

menjadi adenokarsinoma kolon.

3. Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan modalitas pemeriksaan

yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali merupakan pemeriksaan alternatif untuk

evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen.

Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran

pencernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan banyak

minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum

pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air.

Pada pemeriksaan USG, kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan penebalan dinding

usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang

terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku,

berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target sign

atau pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau cross-sectional. Dengan USG

Doppler, pada kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding usus dapat pula

dilihat adanya hypervascular pada dinding usus tersebut.

4. CT-scan dan MRI

Page 29: REFERAT Kolitis Ulseratif

Kelebihan CT-scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung keadaan intralumen

dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh mana komplikasi ekstralumen kolon

yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT-scan adalah mengevaluasi

jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara

jaringan lunak satu dengan yang lain.

Gambaran CT-scan pada kolitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal secara

simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka terlihat gambaran target sign.

Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau

keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas

memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya.

Gambaran Endoskopi

Pada dasarnya kolitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon

secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan menyebar/progresif ke proksimal. Data

dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah 80%

pada rektum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan

seluruh kolon (pan-kolitis).

Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,

kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mukus, darah dan nanah.

Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik. Sekali mukosa yang

sakit ditemukan (biasanya di rektum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela

sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun

selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon

pada kolitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biopsi rektal bisa

memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan

penampilan granuler, dan bisa terdapat pseudopolip seperti pada gambar.

Page 30: REFERAT Kolitis Ulseratif

Gambar : Gambaran colitis ulsertatif cronic. (Marc D, 2011)

PERJALANAN KLINIK

Perjalanan klinis kolitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan menderita relaps

dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari penyakit.

Namun demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala

minimal. Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya keterlibatan kolon dan

intensitas radang.

2.1 DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Divertikulitis

Penyakit crohn

Polip colon 

Gastroenteritis bakteri

Gastroenteritis viral

Pendarahan gastrointestinal bagian bawah

Colitis infeksi

Irritable bowel syndrome

Tuberkulosis usus

Page 31: REFERAT Kolitis Ulseratif

PENATALAKSANAAN

Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan, tujuan

pengobatan dengan obat adalah untuk 1) menginduksi remisi, 2) mempertahankan remisi, 3)

meminimalkan efek samping pengobatan, 4) meningkatkan kualitas hidup, dan 5)

meminimalkan risiko kanker

Adapun Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan lini

pertama dijelaskan pada gambar. Obat-obat kolitis ulserativa meliputi Agen anti-inflamasi

seperti senyawa 5-ASA, kortikosteroid sistemik, kortikosteroid topikal, dan

1. Immunomodulators

Gambar : Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan lini pertama .

( Djojoningrat dkk, 2011)

a. Kortikosteroid Sistemik

Kortikosteroid ( Prednisone , prednisolone, hidrokortison, dll) telah digunakan

selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien dengan penyakit Crohn sedang sampai

parah dan kolitis ulseratif atau yang gagal untuk merespon dosis optimal 5-ASA. Berbeda

dengan senyawa 5-ASA, kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung dengan jaringan

usus yang meradang untuk menjadi efektif. Kortikosteroid oral adalah agen anti peradangan

yang kuat seluruh tubuh.  Akibatnya, mereka digunakan dalam mengobati enteritis.

Page 32: REFERAT Kolitis Ulseratif

Pada pasien kritis, kortikosteroid intravena (seperti hydrocortisone) dapat diberikan

di rumah sakit. Kortikosteroid lebih cepat bertindak daripada senyawa 5-ASA. Pasien sering

mengalami perbaikan dalam gejala mereka dalam beberapa hari setelah pemberian

kortikosteroid dimulai. 

Rencana bertindak diawali dengan : (a) memilih obat: secara konvensional,

prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih menjadi pilihan yang sering karena

murah dan mudah dijangkau. Preparat Budesonide dipakai untuk memperoleh tujuan

konsentrasi steroid yang tinggi pada dinding usus, dengan efek sistemik (dan efek

sampingnya) yang rendah, khususnya pada pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan

colon ascendens baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. (b)

mempertimbangkan dosis. Dosis rata – rata yang banyak digunakan untuk mencapai fase

remisi adalah setara dengan 40 – 60 mg prednison atau setara dengan prednisolon dengan

dosis 0,5 – 1,0 mg/KgBB. Tindakan terapi kemudian tappering off dose setelah remisi yang

tercapai dalam waktu 8-12 minggu.

b. Obat Golongan Asam Aminosalisilat

Dilatar belakangi oleh dasar berfikir, bahwa preparat sulfasalazin merupakan obat

yang sudah dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD, terdiri dari gabungan sulfapiridin

dan aminosalisilat dalam ikatan azo yang dalam usus dipecah menjadi sulfapiridin dan

mesalazine/ 5-ASA. Telah diketahui bahwa yang berperan sebagai efek anti inflamasi adalah

5-ASA ini. Efek samping 5-ASA murni lebih kecil dibanding Sulfasalazin (terdapat pada

unsur sulfapiridin), sedangkan efektivitas relatif sama dalam pengobatan IBD. Rencana

tindakan: (a) Preparat murni atau derivatnya (olsalazine: ikatan bersama dua molekul

mesalazine) lebih diutamakan dibanding mesalazine yang terikat molekul pembawa (carrir

molecule: sulfasalazine dan blasalazide), karena dapat dilepas lambat pada pH >5 (dalam

lumen usus halus/ ileum terminalisdan kolon proximal) serta lebih efektif dalam penggunaan

oral (coated) maupun rektal (foam-enema/suppository). (b) Dosis rata-rata 5-ASA untuk

mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi tercapai yang umumnya setelah 16-24

minggu diberikan kemudian dosis pemeliharaan yang bersifat individual.Terapi jangka

panjang 5-ASA dapat pula mencegah karsinoma kolorektal dengan cara apoptosis dan

menurunnya proliferasi mukosa kolorektal pada IBD.

Page 33: REFERAT Kolitis Ulseratif

c. Immunomodulators

Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan sistem kekebalan tubuh.

Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif, bagaimanapun, sistem kekebalan

tubuh secara abnormal dan kronis diaktifkan. Immunomodulators mengurangi peradangan

jaringan dengan mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu

produksi protein yang mempromosikan aktivasi kekebalan dan peradangan. Contoh

Immunomodulators termasuk azathioprine, 6-mercaptopurine (6-MP), siklosporin,

dan methotrexate.

Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu pemberian 2-3 bulan

sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya. Umumnya sebagai introduktor/ substituensi

pada kasus kasus steroid dependent atau refrakter. Umumnya dosis initial 50 mg sampai

tercapai efikasi substitusi, kemudian dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau

1,5 mg/kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering timbul adalah nausea dan dispepsia,

leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis.

d. Pembedahan

Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera setelah terdeteksi atau

bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare dihentikan, penderita

dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau usus kecil dan semua cairan, makanan

dan obat-obatan diberikan melalui pembuluh darah.

Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis atau perforasi.

Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera

dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar diangkat.

Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus besar, maka

pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan. Pembedahan non-darurat juga

dilakukan karena adanya penyempitan dari usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan

pada anak-anak. Alasan paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak

sembuh-sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.

Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan menyembuhkan kolitis

ulserativa.

Page 34: REFERAT Kolitis Ulseratif

Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian terendah usus kecil

dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi. Prosedur pilihan lainnya

adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus besar dan sebagian besar rektum diangkat, dan

sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat

diatas anus.

KOMPLIKASI

1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia  karena

kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering menjadi berat,

dengan perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran infeksi.

2. Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus.

Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding usus terhenti,

sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya. Perut tampak menggelembung.

Usus besar kehilangan ketegangan ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen

perut akan menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar sangat

melebar, keadaannya disebut megakolon toksik. Penderita tampak sakit berat dengan

demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan jumlah sel darah putih meningkat.

Dengan pengobatan efektif dan segera, kurang dari 4% penderita yang meninggal. Jika

perlukaan ini menyebabkan timbulnya lubang di usus (perforasi), maka resiko kematian

akan meningkat.

3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat pada orang

yang menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat.

Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita telah mengidap

penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa menghiraukan seberapa aktif penyakitnya.

Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara

teratur, terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode bebas

gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk diperiksa dibawah

mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila diagnosis kanker

ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita akan bertahan hidup.

Page 35: REFERAT Kolitis Ulseratif

PROGNOSIS

Remisi pada 10%; eksaserbasi intermiten sebanyak 75%; penyakit aktif berlanjut

sebanyak 10%.

Page 36: REFERAT Kolitis Ulseratif

LAPORAN KASUS

ANAMNESA

1. IdentitasNama : Tn. RJenis Kelamin : Laki - lakiUsia : 27 thTanggal Lahir : 18/04/1988Alamat : Jl. Lintang trenggono V no 5, Pedurungan.Pekerjaan : -Pendidikan : SMAAgama : ISLAMStatus Pernikahan : Belum MenikahNo.Reg CM : 273402Tanggal Masuk : 28/07/2015Ruangan : Arimbi (15)

2. Keluhan Utama : (autoanamnesa dilakukan tgl 29/7/2015)

BAB bercampur darah sejak 1,5 bulan yang lalu.

3. Riwayat Penyakit Sekarang :Pasien datang ke IGD RSUD Kota Semarang dengan keluhan sejak 1,5 bulan yang lalu BAB bercampur darah segar dan kadang bercampur lendir. Konsistensi tinja kecil – kecil dan padat. Pasien mengatakan ketika BAB tidak hanya BAB bercampur darah tapi darah segar dapat mengalir. Dalam 1 hari pasien bisa BAB >7x yang selalu disertai darah segar maupun darah bercampur lendir. Mual (-), muntah (-), mules (+), BAK tidak ada keluhan. Pola makan pasien kurang makan serat dan sayur-sayuran.

4. Riwayat Penyakit Dahulu :1 tahun lalu pasien didiagnosa menderita hemmoroid dan disarankan untuk dilakukan operasi tapi pasien menolak untuk dioperasi. Pasien mengaku hemoroidnya sekarang sudah sembuh dengan pengobatan herbal.

5. Riwayat Penyakit Keluarga :Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien

6. Riwayat Sosial Ekonomi :Biaya ditanggung oleh BPJS NON PBI.

Page 37: REFERAT Kolitis Ulseratif

7. Pemeriksaan Fisik : Keadaan umum :

o Kesadaran kompos mentis, GCS E4 V5 M6 (15),tampak sakit sedang

o Tanda Vital :

Tekanan darah : 110/80 mmHg Nadi : 84x/menit Laju nafas : 20x/menit Suhu : 36,7 derajat celsius

o Data antropometri :

Berat badan : 60 kg Tinggi badan : 170cm IMT : 20,76 (normal menurut IMT Asia Pasifik)

Pemeriksaan sistematis :o Kepala : bentuk dan ukuran normal, tidak teraba benjolan, rambut, dan

kulit kepala normal.o Mata : palpebra superior et inferior, dex et sin tidak tampak edema /

cekung, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil bulat, isokor, ukuran 3 mm, refleks cahaya + / +

o Telinga : bentuk normal, nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik aurikel (-),

liang telinga D/S lapang, serumen (-), sekret (-)o Hidung : bentuk normal, sekret (-)

o Mulut : perioral sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), mukosa

dinding faring tidak hiperemis.o Leher : trakea ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, KGB

submandibula, servikal D/S tidak teraba membesar.o Toraks :

I : bentuk normal, simetris dalam diam dan pergerakan nafas, retraksi dinding dada (-)

P : stem fremitus kanan – kiri depan – belakang sama kuat P : sonor, batas paru – hepar di ICS VI MCL dextra A : vesikuler, ronkhi -/- , wheezing -/-

o Jantung :

I : pulsasi ictus cordis tak tampak P : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra P : redup, batas jantung kanan : midsternum, kiri : ICS V

MCL sinistra, atas : ICS III PSL sinistra. A : bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), Gallop (-)

o Abdomen :

I : tampak datar

Page 38: REFERAT Kolitis Ulseratif

P : distensi (-), turgor baik, nyeri epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan keempat kuadran(-)

P : timpani A : bising usus (+) normal

o Anus dan genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

o Ekstremitas : akral teraba hangat, pulsasi dan perfusi baik.

o Kulit : turgor baik, ruam (-)

o KGB : tidak membesar

8. Pemeriksaan Radiologi :

Page 39: REFERAT Kolitis Ulseratif
Page 40: REFERAT Kolitis Ulseratif

Interpretasi Hasil foto Colon in Loop:

Foto Polos

Udara usus normal sampai ke distal, tak tampak distensi maupun dilatasi usus.

Colon IN LOOP

Kontras masuk anus melalui kateter, tampak kontras mengisi rectum, sigmoid, colon descenden, transversum dan sebagian ascendens.

Tak tampak filling defect dan additional shadow maupun indentasi. Lumen colon descendens dan sebagian sigmoid tampak kaku dan lebih sempit. Haustra colon descendens dan sebagian sigmoid tampak sangat berkurang.

PE: tampak kontras masih sedikit tersisa, fungsi pengosongan cukup baik.

Kesan :

Gambaran colitis pada colon descendens dan sebagian sigmoid.

PEMERIKSAAN PENUNJANG LABORATORIUM

Laboratorium(28-07-2015)

Hematologi

Hemoglobin : 15,4 g/dl (12,0-16,0)

Hematokrit : 5,05 % (35-47%)

Leukosit : 8,3/uL (4,8-10,8/uL)

Trombosit : 242 10^3/ul (150-40010^3/ul)

Gula darah sewaktu : 100 mg/dl (70-105 mg/dl)

Ureum : 14,0 mg/dl (15-43 mg/dl)

SGOT : 29 U/ L < 31

SGPT : 15 U/ L < 31

Creatinin : 0,9 mg/dl (0,7-1,1 mg/dl)

Natrium : 136 mmol/L (134-147 mmol/L)

Kalium : 3,5 mmol/L (3,5-5,2 mmol/L)

Calsium : 1,18 mmol/L (1,12-1,32 mmol/L)

Page 41: REFERAT Kolitis Ulseratif

PEMERIKSAAN FESES

Karbohidrat : + Lemak : + Eritrosit : 4-5 Amoeba : + Lekosit : 8-10 Bakteri : + Jamur : +

RESUME

Telah diperiksa seorang laki – laki berumur 27 tahun yang datang ke IGD dengan keluhan BAB bercampur darah segar, kadang berlendir, dan darah segar kadang mengalir ketika BAB. Konsistensi tinja: kecil-kecil dan padat. Dalam 1 hari pasien bisa BAB >7x. riwayat penyakit dahulu pasien mengaku 1 tahun yang lalu didiagnosis menderita hemmoroid dan disarankan untuk dilakukan operasi tapi pasien menolak dan pasien mengatakan sekarang hemmoroid pasien sudah sembuh.

DIAGNOSIS : Kolitis Ulseratif

TATALAKSANA

IVFD RL 20tpm

Sulcolon 2x1 tab

Kotrimoksazol 3x1 tab

PROGNOSIS

1. Ad vitam : bonam2. Ad functionam : bonam3. Ad sanationam : bonam

Page 42: REFERAT Kolitis Ulseratif
Page 43: REFERAT Kolitis Ulseratif

DAFTAR PUSTAKA

Moore, Keith L.2002.Anatomi Klinis Dasar. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Fleshman, James W.Schwartz’s. 1999. Principles of Surgery ed.7th. New York :

Mc Graw-Hill

Ariestina, Dina Aprilia.2008. Kolitis Ulseratif ditinjau dari aspek etiologi, klinik,

dan patogenesa. Universitas Sumatra Utara : Medan

Http//: www. digilib-usu.ac.id

Colitis Ischemic ( http://www.mayoclinic.com/health/ischemic-colitis/)

Colitis (www.e-medicine.com/colitis/article_em)

Sudoyo, Aru W.dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit FKUI : Jakarta

Way, Laurance W, Gerard M. Doherty. 2003. Current Surgical Diagnosis &

Treatment, Eleventh Edition. McGraw-Hill Companies : USA

Sabbiston, David C. 1995. Essentials of Surgery. Philadelphia

Kumar, Cotran, Robin. 2004. Buku ajar patologi edisi 7. Penerbit buku kedokteran

EGC. Jakarta.

Ganong W. F. 19.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta : EGC

Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.

Bartlett JG. (2002). Pseudomembranous enterocolitis and antibiotic associated diarrhea. In :

Gastrointestinal and liver disease Pathophysiology. Diagnosis/Management. Ed. Feldman M,

Friedman LS, Sleisenger MH. 7th ed. WB Saunders, Philadelphia, p 1914.

Bartlett JG. (2002). Antibiotic-Associated Diarrhea. NEJM 346 (5),334.

Borriello SP. (1998). Pathogenesis of Clostridium difficile in infection. Journal of Antimicrobial

Chemotherapy 41 (Suppl. C), 13.

Brazier JS. (1998). The diagnosis of Clostridium difficile-associated disease. Journal of

Antimicrobial Chemotherapy 41 (Suppl.C), 29

Fasano A. (2002). Toxins and the gut : role in human disease.Gut 50 (Suppl III), iii9.

Gronczewski CA, Katz JP. (2003). Clostridium Defficile Colitis. E Medicine J

http//www.eMedicine.com/med/htm.

Kawamoto. (1999). Pseudomembranous Colitis : Spectrum of Imaging Findings with Clinical

and Pathologic Correlation. Radiographics 19, 887.

Kyne L, Kelly CP. (2001). Recurrent Clostridium difficile diarrhoea. Gut 49, 152.

Page 44: REFERAT Kolitis Ulseratif

LaHatte LJ, Tedesco FJ, Schuman BM. (1995). Antibiotic-Associated Injury to the gut. In :

Gastroenterology. Ed. Haubrich WS, Schaffner F, Berk JE. 5th ed. WB Saunders,

Philadelphia, p 1657.

Lee Joseph. (2002). Pseudomebranous Colitis. E Medicine http//www.eMedicine.com/med/htm

Limaye AP, Turgeon DK, Cookson BT, Fritsche TR. (2000). Pseudomembranous Colitis Caused

by a toxin A-B+ Strain of Colstridium difficile. J. Clin. Microbiol 38 (4), 1696.

Louie TJ, Meddings J. (2004). Clostridium difficile infection in hospitals : risk factors and

responses. CMAJ 171 (1), 45.

Macfarlane GT, Cummings JH. (1999). Probiotics and prebiotics : can regulating the activities of

intestinal bacteria benefit health?. BMJ 318,999.

Oesman N. (2001). Kolitis Infeksi. Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor : Suyono S.

Edisi ketiga. Jakarta, hlm. 213.

Yassin. (2002). Pseudomembranous Colitis. E Medicine J http//www.eMedicine.com/med/htm.