referat kolitis radiasi

41
BAB I PENDAHULUAN Sejak ditemukannya sinar X oleh Wilhem Rontgen pada tahun 1895 telah dilaporkan terjadinya kerusakan jaringan tubuh manusia karena radiasi. Pada permulaan diperkenalkannya terapi radiasi, diketahui terjadinya hiperemis kulit dan terbakarnya jaringan kulit akibat radiasi. Dengan dikembangkannya teknik radiasi super voltase, kerusakan kulit akibat radiasi tidak lagi terjadi walaupun dengan dosis yang lebih tinggi. Namun, timbul masalah baru yaitu terjadinya kerusakan jaringan yang lebih dalam, termasuk saluran cerna. Di lain pihak, hamper 50% pasien kanker mendapatkan terapi radiasi dalam program pengobatannya baik secara tersendiri maupun dalam kombinasi dengan tindakan operasi atau kemoterapi. 1

Upload: ihda-sylvia

Post on 26-Oct-2015

182 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

med

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Sejak ditemukannya sinar X oleh Wilhem Rontgen pada tahun 1895 telah dilaporkan

terjadinya kerusakan jaringan tubuh manusia karena radiasi. Pada permulaan

diperkenalkannya terapi radiasi, diketahui terjadinya hiperemis kulit dan terbakarnya

jaringan kulit akibat radiasi. Dengan dikembangkannya teknik radiasi super voltase,

kerusakan kulit akibat radiasi tidak lagi terjadi walaupun dengan dosis yang lebih tinggi.

Namun, timbul masalah baru yaitu terjadinya kerusakan jaringan yang lebih dalam,

termasuk saluran cerna. Di lain pihak, hamper 50% pasien kanker mendapatkan terapi

radiasi dalam program pengobatannya baik secara tersendiri maupun dalam kombinasi

dengan tindakan operasi atau kemoterapi.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi kolon dan rectum

Kolon merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m yang

terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter kolon lebih besar daripada usus halus.

Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5 cm), makin dekat anus diameternya makin kecil. 1,2

Kolon dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal

dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci

pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. 1,2

Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid.

Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas

berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai

setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk “S”. Lekukan bagian bawah

membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari

kolon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang

dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani

adalah 5,9 inci 1,2

Gambar 1 : Anatomi Kolon

Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis, submukosa,

dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran- gambaran yang khas

berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita

yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek

daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang

2

disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak

yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus

lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus

halus. 1,2

Gambar 2 : Histologi Kolon

Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior. Arteri

mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum sampai dua

pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior mempunyai tiga cabang

utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri

mesenterika inferior memperdarahi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon

transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga

cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea. 1,2

Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan arteria

hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui

vena mesenterika superior dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari

sistem portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior

mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Terdapat

anastomosis antara vena hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan

tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan

hemorroid. 1,2

3

Gambar 3 : Vaskularisasi kolon

Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta pada

pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik pembuluh limfe melalui

sisterna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan

jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam

kelenjar limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti

aliran pembuluh darah hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke

nodi limfatisi iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum

mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis. 1,2

Gambar 4 : Pembuluh limfe pada kolon

4

Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter eksternus yang

diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah

kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian

distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis

melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion

yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan

submukosa (meissner). 1,2

Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta

perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang

berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang

diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. 1,2

2.1 Fisiologi kolon dan rectum

Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi mucus serta

menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700- 1000 ml cairan usus halus

yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses setiap harinya.

Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah. Oksigen dan karbondioksida di

dalamnya di serap di usus, sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari

peragian dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari. Pada

infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas tertimbun di

saluran cerna yang menimbulkan flatulensi Terdapat sejumlah bakteri pada kolon, yang

mampu mencerna sejumlah kecil selulosa, dan menghasilkan sedikit nutrien bagi tubuh.

Bakteri juga memproduksi vitamin K dan juga gas, sehingga menimbulkan bau pada feses. 1,2

5

2.3 Kolitis

2.3.1 Definisi

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon yang berdasarkan penyebab

dapat di klasifikasikan sebagai berikut:3,4

a. Kolitis infeksi, misalnya: shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis

pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit lain.

b. Kolitis non-infeksi, misalnya: kolitis ulseratif, penyakit chron’s, kolitis radiasi,

kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non spesifik (simple colitis)

1. Kolitis Amebik (Amebiasis Kolon)

Peradangan kolon yang disebabkan protozoa Entamoeba Histolytica. 3,4,5

Epidemiologi

Prevalensi amebiasis di berbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10%

populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi didaerah tropis (50-80%). Manusia

merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya melalui kontaminasi tinja

ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau

lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang

padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularan.3,6

Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan

kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia.

Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang innvasif selain kista

juga mengeluarkan trofozoid, namun bentuk trofozoid tersebut tidak dapat bertahan

lama diluar tubuh manusia. 3,5,6

Patofisiologi

E.histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu: kista dan trofozoid yang

bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Didalam

lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoid yang akan menjadi

dewasa dalam lumen kolon. Akibat klinis yang ditimbulkan bervariasi, sebagian

besar asimtomatik atau menimbulkan sakit yang sifatnya ringan atau berat. 3,5,6

Berdasarkan pola isoenzimnya, E.histolytica dibagi menjadii golongan

zymodeme patogenik dan non-patogenik. Walaupun mekanismenya belum

seluruhnya jelas, diperkirakan trofozoid menginvasi dinding usus dengan cara

mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti

6

mengkonsumsi steroid memudahkan invasi parasit ini. Pelepasan bahan toksin

menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses

berlanjut timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undermined, kedalaman usus

mencapai submukosa atau lapisan muskularis. Tepi ulkus menebal dengan sedikit

reaksi radang. Mukosa diantara usus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi disemua

bagian kolon, tersering disekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadang-

kadang apendiks dan ileum terminalis. 3,5,6

Akibat invasi amuba ke dinding usus timbul reaksi imunitas humoral dan

imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta

limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon

dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma,

sering terjadi di sekum atau kolon asenden. 3,5,6

Gejala klinis

Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik sampai

berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa keadaan klinis pasien

amebiasis adalah sebagai berikut: 3,5,6

1. Carier (cyst passer) : ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus , tanpa gejala

atau hanya gejala ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare.

Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri salam waktu satu tahun, sisanya (10%)

berkembang menjadi kolitis ameba.

2. Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan

dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendi, keadaan umum pasien

baik.

3. Disentri ameba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan

nyeri spontan.

4. Disentri ameba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia.

5. Disentri ameba kronik : gejala menyerupai disentri ameba ringan, diselingi dengan

periode ringan tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,

neurastenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam, atau makanan

yang sukar dicerna.

7

Gambar 5 : Algoritma diagnosis kolitis amebik

Diagnosis

Pada pasien yang dicurigai mengidap amebiasis-kolon, pertama kali diperiksa

adanya eritrosi dalam tinja, bila positif pemeriksaan dapat dilanjutkan (lihat

algoritma diagnosis). Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis,

dilakukan minimal pada 3 spesimen tinja yang terpisah, untuk mencari adanya

bentuk trofozoit. Untuk identifikasi kistadilakukan pemeriksaan tinja dengan

pengecatan trichrome, bila perlu dilakukan dengan tehnik konsentrasi tinja. 3,5,6

Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap ameba,

positif pada 85-95% pasien dengan infeksi ameba yang invasif. 3,5,6

Pemeriksaan endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien

amebiasis akut. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum terapi. Ulkus yang

terjadi bentuknya khas berupa ulkus kecil, berbatas jelas dengan dasar yang melebar

(undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan. Mukosa disekitar ulkus

biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat ditemukan pada dasar ulkus

dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian diperiksa dengan mikroskop setelah

diberi larutan garam fisiologis. 3,5,6

8

Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambarannya sangat

bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma tampak sebagai filling defect. 3,5,6

Diagnosis banding

Kolitis amebik sangat perlu dibedakan dengan kolitis ulserosa atau kolitis

chron’s karena pemberian kortikosteroid pada kolitis amebik menyebabkan

penyebaran organisme lebih cepat dan dapat menimbulkan kematian pada pasien. 3,5,6

Diagnosis banding yang lain adalah karena infeksi shigella, salmonella,

campylo bacter, Yersinia, E.coli patogen dan kolitis pseudomembran. 3,5,6

Komplikasi

1. Intestinal : berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi,

dan striktur.

2. Ekstraintestinal : dapat terjadi abses hati, amebiasis kulit, amebiasis

pleuropulmonal, abses otak, limpa, atau organ lain.

Penatalaksanaan

1. Karier asimtomatik. Diberi obat yang bekerja dilumen usus (luminal agents)

antara lain: Iodoquinol (dilodo-hidroxyquin) 600 mg tiga kali perhari selama 20

hari atau paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari. 3,5,6

2. Kolitis ameba akut. Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari

ditambah dengan obat luminal tersebut diatas. 3,5,6

3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya: abses hati ameba). Metronidazole 750 mg

tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut diatas.

Penggunaan 2 macam obat atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak terbuktu

lebih efektif penggunaan dari satu macam obat. 3,5,6

Beberapa obat yang juga dapat digunakan untuk amebiasis ekstraintestinal

antara lain: 1). Kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari dilanjutkan 500

mg/hari selama 19 hari. 2). Emetin 1 mg/KgBB/hari IM (maksimal 60 mg) selama 10

hari. Emetin merupakan obat yang efektif untuk membunuh trofozoid dijaringan atau

yang berada didinding usus, tetapi tidak bermanfaat untuk ameba yang berada

dilumen usus. Beberapa dasawarsa yang lalu emetin sangat populer namun saat ini

tengah ditinggalkan karena efek toksiknya, yaitu dapat menimbulkan mual muntah,

9

diare, kram perut, nyeri otot, takikardia, hipotensi, nyeri prekardial dan kelainan

EKG berupa inversi gelombang T dan interval QT memanjang, sedangkan aritmia

dan interval QRS memanjang jarang ditemukan. Disarankan pasien yang

mendapatkan obat ini dalam keadaan tirah baring dengan pemantauan EKG. Hindari

penggunaan emetin bila terdapat kelainan ginjal, jantung, otot, sedang hamil atau

pada anak-anak, kecuali bila dengan obat yang lain gagal. 3,5,6

2. Disentri Basiler ( Shigellosis)

Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh Shigella.

Epidemiologi

Infeksi shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek,

kurang air dan tingkat kebersihan lingkungab yang rendah. Didaerah endemik,

infeksi Shigella adalah 10-15% persen penyebab diare pada anak. Jumlah kuman

untuk menimbulkan penyakit relatif sedikit yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh

karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal-oral baik secara kontak

langsung maupun akibat makanan atau minuman yang terkontaminasi. 3,5,6

Didaerah tropis termasuk indonesiadisentri biasanya meningkat pada musim

kemarau dimana S.flexnerii merupakan penyebab penyakit terbanyak. Sedangkan

dinegara Eropa dan Amerika serikat prevalensinya meningkat dimusim dingin.

Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii dinegara tersebut telah menurun sehingga saat ini

S.sonnei adalah yang terbanyak. 3,5,6

Mikrobiologi

Shigella merupakan kelompok bakteri enterobacteriaceae, yang bersifat gram

negatif, anaerob fakultatif dan sangat mirip dengan escherichia coli. Beberapa sifat

yang membedakan kuman ini dengan E.coli adalah kuman ini tidak bergerak aktif,

tidak memproduksi gas dalam media glukosa dan pada umumnya laktosa negatif. 3,5,6

Dikenal 4 spesies Shigella dengan berbagai serotipe nya yaitu : S. Dysentriae

(12 serotipe), S.flexnerii (14 serotipe), S.boydii (15 serotipe), dan S.sonnei (1

serotipe). Keempat spesies Shigella itu secara berurutan disebut sebagai golongan A,

B, C, D. 3,5,6

10

Patofisiologi

Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan

yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak (tidak cair)

disertai eksudat inflamasi yang mengandung leukoit polimorfonuklear dan darah.

Kolon merupakan tempat utama yang diserang shigella namun ileum

terminalis dapat juga terserang. Pada kasus yang berat dan mematikan kuman dapat

ditemukan juga pada lambung serta usus halus. 3,5,6

Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel

mukosa kolon dan berkembang biak didalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel

disekitarnya melalui mekanisme cell to cell transfer. Walaupun lesi awal yang

menyertai cukup berat, melibatkan leukosit PMN dan makrofag. Hal tersebut

menyebabkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan arsitektur jaringan

dan ulserasi mukosa. Bila penyakit berlanjut, terjadi penumpukan sel inflamasi pada

lamina propria dengan abses pada kripta merupakan gambaran utama. 3,5,6

S.dysentriae, S.flexnerii dan S.sonnei menghasilkan eksotoksin antara lain

ShET1, ShET2, toksin Shiga yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan

neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga

kuman lebih mampu menginvasi sel epitel mukosa kolon dan memperberat gejala

klinis. 3,5,6

Kuman Shigela jarang melakukan penetrasi ke jaringan dibawah mukosa

sehingga jarang menyebabkan bakterimia. Walaupun demikian pada keadaan

malnutrisi dan pasien immunocompromised dapat terjadi bakteremia. Selain itu

dapat pula terjadi kolitis hemoragik dan sindrom hemolitik uremik (SHU). SHU

diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh kuman Shigella.

Infeksi Shigella menimbulkan imunitas humoral yang protektif untuk spesies yang

sama. 3,5,6

Gejala Klinis

Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis

shigellosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat

berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baikdan

berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien

mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal, diare disertai demam bisa mencapai

40oC. Selanjutnya diare berkurang tapi tinja masih mengandung darah dan lendir,

11

tenesmus dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak mungkin didapatkan demam

tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk, dan letargi. 3,5,6

Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang drai 4 minggu.

Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang

mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut

biasanya sembuh sendiri, dan dapat mengalami gejala shigelosis yang intermiten. 3,5,6

Diagnosis

Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit

PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau

hapus rektal. Sigmoidoskopi dapat memastikan diagnosis adanya kolitis namun

pemeriksaan tersebut pada umumnya tidak diperlukan karena menyebabkan pasien

merasa tidak nyaman. Indikasi sigmoidoskopi adalah bila segera diperlukan

kepastian diagnosa apakah gejala yang terjadi merupakan disentri atau manifestasi

akut kolitis ulserosa idiopatik. Dalam keadaan tersebut, biopsi harus dikerjakan

dalam waktu 4 harii dari saat gejala . pada fase akut tes serologi tidak diperlukan. 3,5,6

Diagnosis banding

- Salmonelosis

- Sindrom diare karena enterotoksin E.coli

- Kolera

- Kolitis ulserosa

Komplikasi

Komplikasi intestinal biasanya berupa megakolon toksik, perforasi intestinal,

dehidrasi renjatan hipovolemik dan malnutrisi. Sedangkan komplikasi

ekstraintestinal yang telah dilaporkan cukup banyak diantaranya adalah batuk, pilek,

pneumonia, meningismus, kejang, neuropati perifer, sindrom hemolitik uremik,

trombositopenia, reaksi leukemoid dan arthritis (sindrom Reiter). 3,5,6

Penatalaksanaan

a. Mengatasi gangguan cairan dan elektrolit dengan rehidrasi oral maupun

intravena.

b. Antibiotik. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah :

a. Ampisilin 4 kali 500 mg per hari atau

12

b. Kotrimoksazole 2 kali 2 tablet perhari; atau

c. Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari

c. Pengobatan simtomatik. Sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetik-

antipireik dan antikonvulsi

3. Escherichia Coli (Patogen)

Infeksi kolon oleh serotipe Escherichia coli tertentu (0157:H7) yang

menyebabkan diare berdarah atau tidak. 3,5,6

Epidemiologi

Angka kejadian tidak diketahui pasti. Diperkirakan di Amerika Serikat sekitar

21.000 orang terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika Serikat, E.coli

(0157:H7) lebih sering diisolasi pada pasien diare dibandingkan dengan Shigella.

Demikian juga pada pasien diare kronik di Jakarta. 3,5,6

Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1-8 hari. E.coli yang

patogen dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun tidak

pernah ditemukan pada orang sehat (bukan flora normal pada manusia). 3,5,6

Patofisiologi

Mekanisme terjadinya diare dan sindrom hemolitik uremik pada pasien yang

terinfeksi E.coli patogen masih belum jelas. Diduga E.coli patogen melekat pada mukosa

dan memproduksi toksin (Shiga-like toksin) yang bekerja secara lokal dan sistemik.

Kerusakan pembuluh darah kolon akibat tokin tersebut menyebabkan lipopolisakarida

dan mediator inflamasi dapat beredar dalam tubuh dan memicu terjadinya SHU. 3,5,6

Gejala klinis

Manifestasi klinis sangat bervariasi, dapat berupa asimtomatik, diare tanpa darah,

diare berdarah (haemorrhagic colitis), SHU, purpura trombositopenik sampai kematian. 3,5,6

Gejala klinik klasik adalah nyeri abdomen berat (severe abdominal cramp) diare

yang diikuti berdarah dan sebagian pasien mengalami nausea dan vomiting. Pada

umumnya suhu pasien sedikit meningkat atau normal sehingga dapat dikelirukan sebagai

kolitis non-infeksi. 3,5,6

13

Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah namun pad asebagian

pasien tidak ditemukan darah.

Pada pemeriksaan barium enema dapat terlihat gambaran thumbprinting pattern

pada kolon ascenden dan atau transversum akibat adanya edema atau perdarahan

submukosa. 3,5,6

Pada pemeriksaan koloniskopi didapatkan gambaran mukosa yang edematous dan

hiperemis kadang-kadang ditemukan ulserasi superfisial. Dapat dijumpai pula

pseudomembran segingga menyerupai infeksi C.difficile. 3,5,6

Pemeriksaan patologi menunjukan gambaran infeksi atau iskemik dengan pola

patchy kadang-kadang dijumpai mikrotrombi fibrin. Gejala biasanya membaik dalam

seminggu, namun dapat pula terjadi SHU pada sekitar 6% pasien antara 6-112 hari onset

diare. SHU ditandai dengan adanya anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia,

gagal ginjal, dan gejala sistem saraf sentral. Komplikasi neurologik berupa kejang,

koma, dan hemiparesis terjadi pada sepermempat pasien SHU. Faktor resiko terjadinya

SHU antara lain balita/manula, diare berdarah, febris, leukosit yang meningkat,

pengobatan dengan obat anti motilitas. Prediktor keparahan SHU antara lain

meningkatnya jumlah leukosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat timbuk anuria,

usia dibawah 2 tahun. Mortalitas antara 3-5%.3,5,6

Diagnosis banding

Kolitis pseudomembrann dan kolitis infeksi yang lain. 3,5,6

Penatalaksanaan

Pengobatan infeksi E.coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan simtomatik

dan suportif. Kompikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat

antobiotik dan obat yang menghambat motilitas. Pemberian kotrimoksazole dilaporkan

tidak mempunyai efek signifikan terhadap perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi

organisme dan komplikasi SHU. 3,5,6

14

4. Kolitis Tuberkulosa

Infeksi kolon oleh Mycobacterium tuberculosis. 3,4

Epidemiologi

Lebih sering ditemukan dinegara berkembang dengan penyakit tuberkulosis yang masih

menjadi masalah kesehatan masyarakat. 3,4

Patofisiologi

Penyebab terbanyak Mycobacterium tuberkulosa biasanya lewat tertelannya sputum

yang mengandung kuman. Kadang-kadang akibat minum susu yang tercemar

Mycobacterium bovis. Terdapat hubungan tingginya frekuensi tuberkulosis saluran cerna

dengan beratnya tuberkulosis paru. Timbul 3 bentuk kelainan: 1) ulseratif pada 60% kasus,

lesi aktif berupa tukak superfisial: 2) hipertrofik pada 10% kasus, bentuk lesinya berupa

parut fibrosis, dan massa yang menonjol menyerupai karsinoma. 3) ulserohipertrofik pada

30% kasus terdapat ulserasi dengan fibrosis yang merupakan bentuk penyembuhan. Semua

bagian disaluran cerna dapat terinfeksi namun lokasi tersering (85-90% kasus) adalah

didaerah ileosekal. 3,4

Gejala Klinis

Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak

khas. Dapat terjadi diare dengan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksia,

demam ringan, penurunan berat badan atau ditemukan massa intraabdomen kanan bawah.

Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tapi pada pasien tuberkulosis paru aktif

ditemukannya kuman dalam tinja mungkin akibat dari kuman yang tertelan bersama sputum. 3,4

Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dari ditemukannya kuman tuberkulosis dalam jaringan

baik dengan pemeriksaan mikroskopik langsung atau atas dasar hasil kultur biopsi jaringan.

Sedangkan diagnosis dugaan adanya kolitis tuberkulosa adalah bila didapatkan tuberkulosis

paru aktif dengan adanya kelainan ileosekal. 3,4

Pada pemeriksaan barium dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi lekuk

mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip keganasan di cekum. Mungkin

pula terbentuk fistula di usus halus. 3,4

15

Kolonoskopi merupakan pemeriksaan yang penting untuk membantu penegakan

diagnosis kolitis tuberkulosa yang akan didapatkan visualisasi lesi secara langsung sekaligus

dilakukan biopsi untuk pemeriksaan kultur dan histopatologi. Pada tuberkulosis kolon

biasanya ditemukan penyempitan lumen, dinding kolon kaku, ulserasi dengan tepi yang

ireguler dan edematous. 3,4

Tes tuberkulin untuk menunjang diagnosis tuberkulosis paru didaerah endemik

kurang bernilai. 3,4

Diagnosis banding

Penyakit chron, amebiasis, divertikulitis dan carsinoma kolon. 3,4

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi bisa perdarahan, perforasi, obstruksi intestinal,

terbentuknya fistula dan sindrom malabsorpsi. Komplikasi yang sering terjadi adalah

obstruksi (+30% kasus) intestinal. Mula-mula berupa obstruksi parsial yang kemudian

berkembang menjadi obstruksi total. 3,4

Penatalaksanaan

Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberkulosis seperti pada

tuberkulosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang perlu tindakan

bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat yang sering digunakan adalah: 3,4

INH 5-10 mg / KgBB atau 400 mg sekali sehari

Etambutol 15-25 mg / KgBB atau 900-1200 mg sekali sehari

Rifampisin 10 mg / KgBB atau 450-600 mg sekali sehari

Pirazinamid 25-35 mg / KgBB atau 1,5-2 gr sekali sehari

5. Kolitis Pseudomembran

Definisi

Peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan terbentuknya lapisan eksudat

(pseudomembran) yang melekat pada permukaan mukosa. Disebut pula sebagai kolitis

terkait antibiotik sebab umumnya timbul setelah menggunakan antibitotik. 3,4

16

Etiologi

Walaupun umumnya timbul sebagai akibat dari penggunaan antibiotik, namun kolitis

pseudomembran ini telah ditemukan sebelum era antibiotik. Yang dianggap sebagai kuman

penyebab adalah Clostridium difficile, toksin yang dikeluarkan menyebabkan kolitis.

Mekanisme pasti antibiotik menjadikan usus lebih rentan terhadap C.difficile belum jelas.

Penjelasan yang paling mungkin adalah penekanan flora normal usus oleh antibiotik

memberikan kesempatan tumbuh dan terbentuknya kolonisasi C.difficile disertai

pengeluaran toksin. 3,4

Epidemiologi

C.difficile ditemukan ditinja 3-5% pada orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun

dikolon. Kolitis pseudomembran bisa mengenai semua tingkat umur. Kemungkinan tidak

dilaporkannya kolitis pseudomembran karena untuk penegakan diagnosis diperlukan

kolonoskopi dan pemeriksaan toksin kuman ditinja. Penularan bisa terjadi akibat kontak

langsung dengan tangan, atau perantara makanan dan minuman yang tercemar. Semua jenis

antibiotik kecuali aminoglikosida intravena, potensial menimbulkan kolitis pseudomembran,

namun paling sering adalah ampisilin, klindamisin, dan sefalosporin. 3,4

Patogenesis

C.difficile menimbulkan kolitis dengan cara toxin-mediated. Kuman mengeluarkan

dua toksin utama yaitu toksin A dan toksin B. Toksin A merupakan enterotoksin yang sangat

berpengaruh terhadap semua kelain yang terjadi, sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan

tidak melekat pada mukosa yang masih utuh. Sebanyak 75% isolat C.difficile menghasilkan

kedua toksin tersebut. Kuman yang tidak menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis

maupun diare. Pemeriksaan toksin A dan toksin B diambil dari sediaan tinja, dengan metode

ELISA masing-masing spesifitasnya 98,6% sampai 100%.3,4

Gejala klinis

Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari menggunakan antibiotik, tapi mungkin

pula baru timbul setelah 6 minggu antibiotik dihentikan. Gejala paling sering dikeluhkan

adalah diare cair disertai kram perut. Diare yang terjadi dapat ringan tapi biasanya banyak

sampai 10-20 kali dalam sehari. Mual muntah jarang ditemukan. Sebagian besar pasien

mengalami demam walaupun dapat terjadi hiperpireksia, umumnya suhu tidak melampaui

38oC. Terdapat leukositosis sering melampaui 50.000/mm. Pada beberapa pasien hanya

17

diawali dengan demam dan leukositosis, sedangkan diare baru muncul beberapa hari

kemudian. Temuan lain meliputi nyeri tekan abdomen bawah, edema dan hipoalbuminemia.

Yang lebih sering terjadi adalah kolitis ringan. Pada kasus yang berat dapat terjadi

komplikasi berupa dehidrasi. Edema anasarka, gangguan elektrolit, megakolon toksik, atau

perforasi kolon. Penggunaan narkotik atau antiperistaltik meningkatkan resiko megakolon.

Tedesco (1982) melaporkan gejala klinis yang ditemukan pada kolitis pseudomembran dapat

dilihat pada tabel 1. 3,4

Diagnosis

Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik perlu

dipikirkan terjadi kolitis pseudomembran. Diagnosis kolitis pseudomembran dapat cepat dan

akurat dibuat dengan melakukan kolonoskopi. Sensitivitasnya tinggi dan merupakan alat

diagnostik definitif. Jika ditemukan lesi khas kolitis pseudomembran seyogyanya tetap

dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Secara tipikal diawali dengan lesi kecil

(2-5 mm) putih atau kekuningan, diskret, timbul, mukosa diantaranya seringkali terlihat

normal atau mungkin ditemukan berbagai derajat eritema, granularitas dan kerapuhan. Jika

lesi membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu-abuan dan jika

diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa dibawahnya mengalami ulserasi. 3,4

C.difficile tumbuh pada 95% biakan tinja pasien kolitis pseudomembran yang

terdiagnosis dengan kolonoskopi. Hasil biakan positif tidak diagnostik karena pada pasien

yang berada di rumah sakit tanpa kolitis ditemukan biakan c.difficile positif sebesar 10-25%.

Sebagai standar baku adalah ditemukannya toksin B pada tinja sehubungan dengan efek

sitopatik toksin B pada kultur jaringan. Karena pemeriksaan ini memakan waktu dan mahal

biasanya cukup memeriksa toksin A dengan ELISA. 3,4

Gambaran histopatologi kolitis pseudomembran bervariasi tergantung beratnya

penyakit dan saat kapan biopsi dikerjakan. Price and Davies (1977) membagi lesi menjadi 3

18

tipe (tabel 2). Lesi tipe 3 yang ditandai dengan nekrosis total mukosa tidak khas karena

C.difficile dapat terjadi pula kasus berat lainnya misalnya kolitis iskemia. 3,4

Diagnosis banding

Kolitis pseudomembran perlu dibedakan dengan kasus diare akibat patogen lain, efek

samping penggunaan obat yang bukan antibiotik, kolitis non infeksi dan sepsis intra

abdominal. 3,4

Penatalaksanaan

Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga menjadi

penyebab, juga obat yang mengganggu peristaltik dan mencegah penyebaran nosokomial.

Pada kasus yang ringan keadaan sudah bisa teratasi dengan penghentian antibiotik disertai

pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus dengan gejala-gejala yang lebih berat

seyogyanya dilakukan pemeriksaan deteksi toksin C.difficile dan terapi spesifik per oral

menggunakan metronidazole atau vankomisin. 3,4

Pada kolitis ringan sampai sedang digunakan metronidazole dengan dosis per oral

250-500 mg empat kali sehari selama 7-10 hari. Pada kasus dengan kolitis yang berat

menggunakan vankomisin peroral dosisnya 125-500 mg empat kalo sehari selama 7-14

hari.alternatif pengobatan lainnya menggunakan kolestiramin untuk mengikat toksin yang

dihasilkan C.difficile, tetapi obat ini juga mengikat vankomisin; diberikan peroral dengan

dosis 4 gram tiga kali sehari selama 5-10 hari. 3,4

Pada kasus yang berhasil disembuhkan, ternyata dalam beberapa minggu atau bulan

kemudian sebanyak 15-35% kambuh. Dianjurkan setelah pengobatan spesifik diusahakan

kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman laktobasilus atau ragi

(Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu. 3,4

19

2.4 Kolitis Radiasi

2.4.1 Definisi

Peradangan kolon sebagai komplikasi abdominal dan pelvis akibat terapi radiasi

terhadap terapi ginekologi (Ca servik), urologi (Ca prostat, Kandung Kemih dan testis) dan

rectum.6,7,8

Walaupun kolon relatif radioresisten, namun insiden kerusakan jaringan akibat

radiasi lebih tinggi dibanding segmen usus yang lain. Ini terjadi karena umumnya dosis yang

diberikan untuk terapi tumor pada daerah ini lebih tinggi serta akibat rektum dan sigmoid

relatif terfiksir (imobilitas) didaerah ini. 75% pasien tumor daerah pelvis dengan radioterapi

akan beresiko mengakibatkan colitis radiasi. 6,8,9

2.4.2 Patofisologi dan faktor resiko

Terjadinya klinis bergantung dari dosis radiasi yang diterima, cara dan frekuensi

pemberian, keadaan nutrisi, umur dan adanya penyakit vaskular serta ada tidaknya operasi

saluran cerna sebelumnya. Dosis radiasi adalah salah satu faktor yang berperan besar dalam

menentukan toksisitas jaringan. Toksisitas terhadap gastrointestinal dilaporkan sebagai

grade yang bervariasi dari asimtomatik sampai keadaan yang mengancam jiwa. Secara

umum pada kolitis radiasi grade I dan II tidak membutuhkan terapi. Semakin besar lokasi

radiasi semakin besar resiko terjadi nya kolitis radiasi. 6,8,9

Penyakit vaskular yang menjadi komorbiditas terjadinya kolitis radiasi diantaranya

hipertensi, diabetes melitus dan aterosklerosis yang merupakan predisposisi iskemik dinding

usus dan gangguan dari perbaikan jaringan. Proses mikroocclusive pada diabetes melitus

merupakan predisposisi terjadinya iskemik jaringan gastrointestinal. Pada suatu penelitian

dilaporkan bahwa kolitis radiasi terjadi 34% lebih banyak pada pasien dengan diabetes

melitus. 6,8,9

Operasi abdomen sebelumnya meningkatnkan resiko terjadinya kolitis radiasi karena

terjadinya perubahan anatomik. Kemoterapi yang dikombinasi dengan radiasi juga dapat

mengakibatkan meningkatnya resiko kolitis radiasi diduga dapat terjadi karena adanya

perubahan siklus sel, perubahan replikasi sel, dan obat-obatan kemoterapi menyebabkan

DNA lebih mudah untuk terjadi kerusakan. 8,9,10

Mekanisme kolitis radiasi bermula dari radiasi yang menyebabkan kerusakan pada

DNA rantai ganda. Pertama-tama radiasi menyebabkan aktivasi signaling pathway yang

mengaktivasi supresor tumor P53 yang akhirnya membuat sel mengalami apoptosis karena

20

sel epitelial gastrointestinal cukup sensitif terhadap radiasi. Kolitis radiasi terjadi ketika

paparan zat radiasi mencapai ambang tertentu sehingga dapat merusak sel epitel

gastrointestinal yang lain. Radiasi tersebut mengakibatkan respon inflamasi terkait sel T,

makrofag, netrofil, yang akan mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi sel epitel. 6,7,10

Kerusakan lebih lanjut pada lapisan submukosa disebabkan oleh aktivasi leukosit

yang mengeluarkan reaktif oksigen metabolit yang merusak protein, karbohidrat, lipid, DNA

dan RNA. Proses inflamasi ini akan berlanjut, tetapi ketika radiasi dihentikan sel epitel akan

beregenerasi seperti semula. Pada beberapa pasien proses inflamasi ini berlanjut lebih jauh

dan menyebabkan ulserasi sehingga menjadi kronik serta menyebabkan fibrosis dan iskemik

pada intestinal. 6,7,10

Gambar 6 : Grading gejala gastrointestinal pada kolitis radiasi

21

2.4.3 Efek radiasi pada kolon dan rektumPada radioterapi kolon dan rektum sering mngakibatkan kolitis karena secara

anatomi kolon rdan rektum merupakan lokasi yang sering terkena radioterapi. Lokasi kolon,

sekum dan rektum yang terfiksasi memiliki resiko yang lebih besar untuk mendapat dosis

radiasi yang lebih tinggi. Kolitis radiasi akut menyebabkan gejala seperti sakit perut, diare,

tenesmus dan perdarahan rektum. Kolitis radiasi kronik terjadi secara progresif, onset terjadi

setelah beberapa bulan sampai tahun setelah radioterapi. 6,7,10

Suatu studi menunjukkan 15% insidensi kolitis radiasi kronik terjadi setelah

radioterapi kanker serviks. Komplikasi yang dapat terjadi adalah fistula, sepsis, perforasi dan

perdarahan. Gejala yang tibul diantaranya sakit perut, diare atau konstipasi. Konstipasi yang

terjadi karena fibrosis dan pembentukan striktur pada kolon. Tidak seperti radiasi pada usus

halus, radiasi pada kolon tidak menyebabkan penurunanal absorpsi makanan sehingga jarang

terjadi gejala malabsorpsi. Radiasi menyebabkan peningkatan resiko kanker. Pasien yang

mendapatkan radioterapi memiliki resiko lebih tinggi terhadap kanker terutama pasa lokasi

radiasi.9,11,12

Kerusakan jaringan akibat radiasi dapat dibedakan atas kerusakan akibat whole body

radiation dan localized iradiation. 7,12,13

Whole body Radiation

Akibat radiasi dengan dosis > 600 rad. Gejala awal berupa mual, muntah penurunan

sekresi lambung, Dekstruksi difus mukosa sal cerna (usus halus), gangguan tulang belakang,

terganggunya fungsi mukosa sal cerna, perubahan flora usus, kehilangan cairan elektrolit,

sepsis (pertumbuhan mikroorganisme fakultatif). Jika dosis dradiasi < 150rad gejala dapat

hilang dengan sendirinya. . 6,7,12,13

Localized irradiation

Dalam fase akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dan sel2 endotel pembuluh

darah saluran cerna yang diikuti dengan edema submukosa akibat terjadinya peningkatan

permiabilitas kapiler. Dalam fase akut jarang ditemukan ulkus. Jika dosis yang diberikan

relatif kecil, semua kerusakan ini akan reversibel tanpa sekuele. 7,13,14

Dengan meningkatnya dosis radiasi dalam fase lanjut akan terjadi ulserasi yang

ekstensif dan persisten serta terjadi pelebaran ireguler dari pembuluh darah kecil yang

disebut sebagai teleangiektasia. Dapat terjadi perubahan epitel yang progresif sssehingga

terjadi atrofi, fibrosis bahkan bisa timbul striktur serta trombosis yang mengakibatkan

iskemi jaringan. Pada kasus-kasus tertentu dapat terjadi fistula bahkan perforasi. Sebagian

22

penulis melaporkan timbulnya efek karsinogenesis sebagai akibat lanjut dari terapi radiasi

namun mekanismenya belum diketahui.15,16

Manifestasi klinis kolitis radiasi dibagi atas gejala akut dan gejala kronik. Gejala

akut dapat berupa mual, muntah, diare dan tenesmus. Umumnya dapat terjadi dalam kurun

waktu 6 minggu setelah selesai radiasi. Sanagat jarang terjadi perdarahan pada fase akut ini.

Keluhan umumnya berkurang dengan pengurangan dosis atau frekuensi pemberian serta

hilang dalam waktu 2-6 bulan. Gejala kronik biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama pasca

radiasi, umumnya 6-9 bulan setelah terapi radiasi selesai. Pada beberapa pasien gejala timbul

setelah lebih dari sepuluh tahun pasca radiasi. Gejala yang timbul biasanya berupa

hematoskezia, diare, kolik, tenesmus. 17,18

Pasien dengan perdarahan minimal umumnya tidak memerlukan transfusi darah,

70% diantaranya mengalami remisis spontan. Hanya kira-kira 5% yang memerlukan

tindakan pembedahan. Namun pada pasien dalam kondisi lebih berat memerlukan tindakan

transfusi darah, angka remisi spontan kecil sekali (0-20%) 50% diantaranya memerlukan

tindakan pembedahan dengan tingkat kematian yang tinggi (60%). 16,17

Ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan patofisiologi timbulnya keluhan dan

gejala kolitis radiasi yaitu nekrosis mukus dan kerusakan vaskular submukosa. Keluhan ini

biasanya disebabkan kerusakan mukosa, tetapi sebagian lagi dapat diakibatkan oleh

perubahan sfingter ani interna karena kerusakan pada pleksus mienterikus. 6,7

2.5 Diagnosis dan Penatalaksanaan

Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan

fisik, endoskopi saluran cerna (rektosigmoidoskopi/kolonoskopi) dan pemeriksaan

histopatologi. Jika pemeriksaan endoskopi sulit dilakukan (oleh karena striktur hebat atau

fistula), dilakukan pemeriksaan barium enema. 6,7

Pada pemeriksaan kolonoskopi dapat ditemukan adanya gambaran teleangektasia,

edema, ulkus, striktur bahkan fistula, mukosa yang kaku serta mudah berdarah. 6,7

Klasifikasi Kottmeier

Derajat I keluhan ringan, kelainan mukosa minimal

Derajat II diare yang sering + mucus & darah, kolonoskopi jar nekrosis, ulkus/ stenosis

sedang

Derajat III stenosis berat sehingga dibutuhkan kolonostomi

Derajat IV terdapat fistula

23

Penatalaksanaan kolitis radiasi terutama dengan kerusakan yang berat,sampai saat ini

masih merupakan masalah. Pada umumnya terapi dimulai dengan pemberian steroid enema,

sulfasalazin/mesalazin serta sukralfat enema. Suatu studi prospektif menunjukkan beberapa

keuntungan klinis bila sulfasalazin oral dikombinasikan dengan steroid enema dibandingkan

dengan pemberian sukralfat enema sendiri. Hasil pengobatan akan lebih baik bila

sulfasalazin oral dikombinasikan dengan steroid enema dan sukralfat enema. Akhir-akhir ini

dilaporkan tentang efektifitas terapi oksigen hiperbarik, instilasi formalin serta ablasi laser

per-endoskopi. Saclaiders dan kawan-kawan (1995) melaporkan bahwa pemakaian formalin

secara topikal cukup aman dan efektif untuk pengobatan proktitis hemoragik akibat radiasi. 6,7

Gambar 7 : Perbedaan tatalaksana colitis radiasi akut dan kronik

Terapi hyperbaric oksigen

Hypervaric okssigen dinilai sangat efektif pada kolitis radiasi kronik dan luka yang

sulit sembuh pada regio anorektal. Mekaniasme terapi oksigen hiperbarik adalah

peningkatan gradien oksigen pada jaringan hipoksia yang menstimulasi terbentuknya

pembuluh darah baru yang mengurangi iskemik dan nekrosis jaringan. 6,7

24

Kontrol perdarahan

Kontrol perdarahan pada kolitis radiasi dapat menggunakan terapi koagulasi argon

plasma yang dinilai sebagai prosedur yang simpel dan aman. Jika terapi ini gagal dapat

diberikan terapi pemberian formalin lokal. Cara kedua untuk menghentikan perdarahan

adalah dengan diebrikan talidomid dosis rendah yang mencegah angiogenesis. 6,7

Pembedahan

Pada sepertiga pasien dengan kolitis radiasi kronik membutuhkan operasi dengan

indikasi obstruksi, perforasi, fistula dan perdarahan hebat. 6,7

Pada pengalaman di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI/RUPN Cipto Mangunkusumo, pasien-pasien kolitis radiasi derajat I dan II

memberikan respon yang cukup baik pada pengobatan dengan steroid enema

dikombinasikan dengan sukralfat enema dan mesalazin enema. 6

Pada pasien dengan kerusakan berat umumnya pengobatan medikamentosa menemui

kegagalan sehingga tidak jarang harus mengalami pembedahan karena perdarahan yang

tidak dapat dikendalikan, stenosis atau fistula. 6

25

BAB III

KESIMPULAN

Kolitis radiasi adalah peradangan kolon sebagai komplikasi abdominal dan pelvis

akibat terapi radiasi terhadap terapi ginekologi (Ca servik), urologi (Ca prostat, Kandung

Kemih dan testis) dan rectum. Gejala klinis yang timbul bergantung pada dosis radiasi yang

diterima, cara dan frekuensi pemberian, keadaan nutrisi, umur dan adanya penyakit vaskular

serta ada tidaknya operasi saluran cerna sebelumnya. Toksisitas terhadap gastrointestinal

dilaporkan sebagai grade yang bervariasi dari asimtomatik sampai keadaan yang

mengancam jiwa.

Dua mekanisme yang dapat menjelaskan patofisiologi timbulnya keluhan dan gejala

kolitis radiasi yaitu nekrosis mukus dan kerusakan vaskular submukosa. Diagnosis

umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, endoskopi saluran cerna

(rektosigmoidoskopi/kolonoskopi) dan pemeriksaan histopatologi.

Penatalaksanaan kolitis radiasi dimulai dengan pemberian steroid enema,

sulfasalazin/mesalazin serta sukralfat enema, terapi hyperbaric oksigen, kontrol perdarahan

menggunakan terapi koagulasi argon plasma dan pembedahan

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.2. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2.

Jakarta:EGC.3. Niezam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.4thed. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2006. P378-3804. Kumar N, Govil A, Puri AS, Gulati R, lain M. Rawal KK, Gupta R. Tuberculosis in

ulcerative colitis : bird in the bush. Trop Gastroenterol. 2005 ; 15 ; 2195. Haque R Huston CD. Hughes M, et al. Amebiasis. N Engl J Med. 2006 ; 348 : 15656. Makmun, Dadang. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.4thed. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. P3817. Abobakr K Shadad, Frank J Sullivan, Joseph D Martin, Laurence J Egan.

Gastrointestinal radiation injury: Symptoms, risk factors and mechanisms. World Journal of Gastroenterology. 2013. Diakses pada 6 Mei 2013

8. Yamada T. Textbook of Gastroenterology. In: Cohen SBS,editor. Radiation injury in the gastointestinal tract. 4 ed. Lippincott: Williams & Wilkins, 2003: 2760-2771

9. Coia LR, Myerson RJ, Tepper JE. Late effects of radiation therapy on the gastrointestinal tract. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1995; 31: 1213-1236

10. Emami B, Lyman J, Brown A, Coia L, Goitein M, Munzenrider JE, Shank B, Solin LJ, Wesson M. Tolerance of normal tissue to therapeutic irradiation. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1991; 21: 109-122

11. Henderson A, Andreyev HJ, Stephens R, Dearnaley D. Patient and physician reporting of symptoms and healthrelated quality of life in trials of treatment for early prostate cancer: considerations for future studies. Clin Oncol (R Coll Radiol) 2006; 735-743

12. Classen J, Belka C, Paulsen F, Budach W, Hoffmann W, Bamberg M. Radiation-induced gastrointestinal toxicity. Pathophysiology, approaches to treatment and prophylaxis. Strahlenther Onkol 1998; 174

13. Martin E, Pointreau Y, Roche-Forestier S, Barillot I. Normal tissue tolerance to external beam radiation therapy: small bowel. Cancer Radiother 2010; 14: 350-353

14. Andreyev J. Gastrointestinal complications of pelvic radiotherapy: are they of any importance? Gut 2005; 54: 1051-1054

15. Kountouras J, Zavos C. Recent advances in the management of radiation colitis. World J Gastroenterol 2008; 14: 7289-7301’

16. Willett CG. Technical advances in the treatment of patients with rectal cancer. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1999; 45:1107-1108

17. Gunnlaugsson A, Kjellén E, Nilsson P, Bendahl PO, Willner J, Johnsson A. Dose-volume relationships between enteritis and irradiated bowel volumes during 5-fluorouracil and oxaliplatin based chemoradiotherapy in locally advanced rectal cancer. Acta Oncol 2007; 46: 937-944

18. Minsky BD, Conti JA, Huang Y, Knopf K. Relationship of acute gastrointestinal toxicity and the volume of irradiated small bowel in patients receiving combined modality therapy for rectal cancer. J Clin Oncol 1995; 13: 1409-1416

27