blok 15 yuhuuu
DESCRIPTION
cfddfdfTRANSCRIPT
Penyakit Jamur Pada Sela Jari Kaki
Nama : Nanang Agung Permadi
Nim : 102013354/E9
Email : [email protected]
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta 2013
Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731
Pendahuluan
Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Dermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit.
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari.
Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai daerah
tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Efek ini lebih nyata pada
sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling serimg terkena. Tiga genus utama yang
menjadi penyebabnya adalah Tricophyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Species yang
paling sering menyebabkan tinea pedis adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton
mentagrophytes. Tinea pedis dapat ditransmisikan melalui kontak langsung. Gejala yang
ditimbulkan antara lain kulit pecah bersisik serta rasa gatal. Kenyataannya, tinea pedis jarang
ditemukan pada populasi yang tidak menggunakan sepatu. Sinonim dari tinea pedis adalah foot
ringworm, athlete foot, foot mycosis.
1
Skenario
Seorang perempuan berusia 21 tahun, pekerjaan tukang cuci baju, datang ke puskesmas
dengan keluhan gatal pada sela-sela jari kaki kanan dan kiri, sejak 2 bulan yang lalu.
Rumusan Masalah
Dari skenario diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
Perempuan 21 tahun mengalami gatal pada sela-sela jari kaki kanan dan kiri sejak
2 bulan yang lalu.
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis adalah wawancara yang dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis
penyakit tertentu. Anamnesis memiliki tujuan untuk menentukan diagnosis kemungkinan
sehingga membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik
dan penunjang. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau
terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak
memungkinkan untuk diwawancarai. Anamnesis yang baik akan terdiri dari Identitas, Keluhan
utama, Riwayat penyakit sekarang, Riwayat penyakit dahulu, Riwayat penyakit dalam keluarga
dan Riwayat pribadi. Beberapa pertanyaan diajukan dalam melakukan diagnosis. Seperti: 1,2
1. Ada tidaknya gejala lokal akibat keganasan seperti kebiasaan buang air besar,
hematemesis, hemoptisis.
2. Ada tidaknya gejala sistemik seperti demam, penurunan berat badan, anoreksia, gatal.
3. Ada tidaknya gejala metastasis seperti ikterus, pembesaran kelenjar getah bening.
4. Adanya manifestasi nonmetastatik dari keganasan.
5. Tingkat fungsional pasien.
Dalam anamnesis harus diketahui riwayat penyakit terdahulu. Riwayat penyakit dahulu
dapat diketahui melalui ada tidaknya riwayat keganasan, penyebaran lokal, ada tidaknya
riwayat terapi atau pembedahan, dan ada tidaknya riwayat pajanan karsinogen. Jika
didapatkan riwayat terapi, harus diketahui apakah pasien pernah memperoleh kemoterapi,
radioterapi, atau terapi hormonal. Harus diketahui juga efek samping yang timbul. Pada
riwayat keluarga harus diketahui apakah ada dari salah satu keluarga yang mengalami
2
penyakit kanker. Harus diperhitungkan riwayat sosial yang dialami oleh pasien,
bagaimana pasien dan keluarganya mengatasi penyakit yang diderita oleh pasien.
Selain itu dilakukan inspeksi untuk melihat gejala klinis dan memastikan apa yang telah
didapatkan dari hasil anamnesis, selain itu pemeriksaan inspeksi sangat berguna untuk membantu
menentukan diagnosa awal suatu penyakit kulit.2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-
temuan dalam anamnesis. Salah satu pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-
tanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh
yang normal adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari
mendekati 37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka
normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-80 kali permenit. Dalam keadaan normal,
frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.1
Kedua adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah dengan inspeksi dan palpasi.
Inspeksi yang dilakukan awalnya adalah melihat kondisi umum pasien, apakah sakit ringan atau
berat. Selanjutnya dalam pemeriksaan kulit, dilakukan inspeksi kelainan kulit yang ditemukan,
apakah jenisnya, bagaimana warna dan bentuk lesi. Selanjutnya dilakukan palpasi pada lesi
untuk mengetahui suhu, mobilitas, nyeri tekan, dan kedalaman. Sikap sopan santun dan rasa
hormat terhadap tubuh dan pribadi pasien yang sedang diperiksa harus diperhatikan dengan baik
oleh pemeriksa.1,2
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) pada kerokan sisik kulit akan terlihat hifa bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis dermatofitosis. KOH digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel sehingga hifa akan jelas kelihatan di bawah mikroskop. Kulit dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan di atas gelas kaca, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20 menit untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea pedis tipe vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.2
3
2. Kultur jamur dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan dan menentukan sepsis
jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam bahan klinis pada media buatan.
Yang dianggap paling baik adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Media agar ini
ditambahkan dengan antibiotik (kloramfenikol atau sikloheksimid).2
3. Pemeriksaan histopatologi, karakteristik dari tinea pedis atau tinea manum adalah adanya
akantosis, hiperkeratosis dan celah (infiltrasi perivaskuler superfisialis kronik pada
dermis).
4
Gambar 6. Trichophyton rubrum; koloni Downy
Sumber: http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/pemeriksaan-untuk-penyakit/
Gambar 5. KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)
4. Pemeriksaan lampu Wood pada tinea pedis umumnya tidak terlalu bermakna karena
banyak dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea kapitis yang
disebabkan oleh Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di daerah
tersebut dikerok untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi.2
Diagnosis Kerja
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur
dermatofita.3
Klasifikasi dermatofitosis menurut Simons dan Gohar (1954) adalah dermatomikosis,
trikomikosis, dan onikomikosis berdasarkan bagian tubuh manusia yang terserang. Pembagian
yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit adalah berdasarkan lokasi. Dengan
demikian dikenal bentuk-bentuk:3
1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
2. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot
3. Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-
kadang sampai perut bagian bawah
4. Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan
5
Gambar 7. Gambaran histopatologi dari tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial dari epidermis
Sumber: http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/pemeriksaan-untuk-penyakit/
5. Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
6. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea di
atas.
Pada kasus diatas, disebutkan bahwa perempuan berusia 21 tahun tersebut mengalami
gatal pada sela jari kaki kanan dan kiri, dan dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerjanya adalah
Tinea pedis.3
Diagnosis Banding
Kandidiosis intertriginosa
Kandidiasis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh
spesies Candida yaitu Candida albicans. Kandidiasis intertriginosa biasanya berupa lesi didaerah
lipatan kulit ketiak, lipat paha, lipat payudara, antara sela jari tangan aatau kaki, dan umbilicus,
yang berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan eritematosa.
Dermatitis intertriginosa.
Intertrigo merupakan istilah umum untuk kelainan kulit didaerah lipatan/intertriginosa,
yang dapat berupa inflamasi maupun infeksi bakteri atau jamur. Sebagai factor predisposisi ialah
keringat/kelembaban, kegemukan, gesekan antar 2 permukaan kulit dan oklusi. 4
Etiologi
Sebagian besar kasus tinea pedis yang disebabkan oleh dermatofit, jamur yang
menyebabkan infeksi superfisial kulit dan kuku dengan menginfeksi keratin dari lapisan atas
pedis epidermis.5 Tinea ini paling sering disebabkan oleh spesies anthropophilic seperti
Trichophyton rubrum (60%), T. mentagrophytes (20%), Epidermophyton floccosum (10%) dan
lebih jarang oleh M. canis dan T. tonsurans. Namun, etiologi benar dalam setiap pasien yang
diberikan dapat menjadi rumit dengan adanya jamur saprofit, ragi dan / atau bakteri. Telah
diamati bahwa 9% dari kasus tinea pedis yang disebabkan oleh agen menginfeksi selain
6
dermatofit. Non Dermatophyte jamur Malassezia furfur, bakteri Corynebacterium minutissimum
dan ragi seperti spesies Candida juga ditemukan bertanggung jawab untuk tinea pedis.5
Patofisiologi
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara, yaitu Antropofilik, Zoofilik,
dan Geofilik. Antropofolik adalah transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit atau
klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan. Contohnya adalah M.audouini dan T.rubrum.
Zoofilik adalah transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung maupun
tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau sebagai
kontaminan pada rumah atau tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan.
Contohnya adalah M.canis pada anjing dan kucing dan T.verrrucosum pada sapi. Geofilik adalah
transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi
radang. Contohnya adalah M.gypseum.4
Gejala dermatofitosis terjadi karena jamur mengadakan kolonisasi pada kulit, kuku, atau
rambut. Gambaran klinis bervariasi bergantung pada lokasi kelainan, respons imun selular
penderita terhadap penyebab, serta jenis spesies. Spesies jamur antropofilik umumnya
menyebabkan kelainan yang tenang tanpa peradangan, menahun; sedangkan infeksi spesies
zoofilik dan geofilik pada manusia memberikan gambaran lebih akut dengan peradangan.4
Epideomologi
Tinea pedis terdapat baik di daerah tropik maupun daerah lainnya. Penyakit ini banyak
terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-hari banyak bersepatu tertutup disertai
perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu atau sering basah.
Penderita biasanya orang dewasa. Prevalensi pada laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan.
Insidens meningkat sesuai dengan meningkatnya umur dan umunya terjadi pascapubertas. 3
Gejala Klinis
Tinea pedis yang tersering dilihat adalah bentuk interdigitalis (Gambar 1). Di antara jari
IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah
jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka sering
7
dilihat maserasi (Gambar 2). Aspek klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian
kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah
diserah oleh jamur. Bentuk klinis dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit
keluhan atau tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi
sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis dan dapat pula terjadi
erisipelas, yang disertai gejala-gejala umum.3
Gambar 1: Tinea Pedis tipe Interdigitalis (Sumber: Wolff K, Johnson RA.
Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology. 6th Edition.
New York: McGraw-Hill Companies; 2009)
Gambar 2: Tinea Pedis Tipe Interdigitalis dengan Maserasi (Sumber: Wolff K, Johnson RA.
Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology. 6th Edition.
New York: McGraw-Hill Companies; 2009)
8
Bentuk lain ialah moccasin foot (Gambar 3). Pada seluruh kaki, dan telapak, tepi sampai
punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat
pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.3
Gambar 3: Tinea Pedis Tipe Moccasin Foot (Sumber: Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color
atlas and synopsis of clinical dermatology. 6th Edition.
New York: McGraw-Hill Companies; 2009)
Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula (Gambar 4).
Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak
kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan
sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut kolaret. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada
bentuk ini, sehingga dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang-kadang menyerupai
erisiplas. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk menemukannya, sebaiknya diambil
atap vesikel atau bula untuk diperiksa secara sediaan langsung atau untuk dibiak.3
Gambar 4: Tinea Pedis Tipe Bulosa (Sumber: Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s
color atlas and synopsis of clinical dermatology. 6th Edition.
New York: McGraw-Hill Companies; 2009)
9
Penatalaksanaan
Pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian
griseofulvin yang bersifat fungistatik. Bagan dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara
umum, griseofulvin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g untuk orang
dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg per kg berat badan. Lama
pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita.
Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. BEARE dkk (1972)
menganjurkan dosis harian dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan
dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar penderita. Untuk
mempertinggi absorpsi obat dalam usus, sebaiknya obat dimakan bersama-sama makanan yang
banyak mengandung lemak. Untuk mempercepat waktu penyembuhan, kadang-kadang
diperlukan tidakan khusus atau pemberian obat topikal tambahan. Efek samping griseofulvin
jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15%
penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestivus ialah nausea,
vomitus dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.3,6
Pilihan pengobatan bergantung pada tempat keterlibatan dan jenis infeksi. Untuk tinea
pedis noninflamatorik kronik, imidazol atau keratolitik topikal berguna untuk membatasi pruritus
dan timbulnya sisik, namun sangat jarang bersifat kuratif. Pengobatan dengan griseofulvin lebih
efektif, tetapi memerlukan waktu terapi berbulan-bulan untuk menyembuhkan dari jamur dan
bahkan kemudian disertai dengan angka kekambuhan yang tinggi, terutama jika yang terlibat
adalah kuku. Infeksi setempat paling baik diobati dengan imidazol topikal, tetapi penyakit yang
menyebar luas, terutama pada para pasien penurunan imunitas seluler, memerlukan terapi
antijamur sistemik.3,6
Obat per oral yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang bersifat
fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut
sebanyak 200 mg per hari selama 10–2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol
merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.3,6
Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai sifat hepatotoksik terutama bila
diberikan lebih dari sepuluh hari, dapat diberikan suatu obat tiazol yaitu itrakonazol yang
merupakan pemilihan yang baik. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir
oleh penyakit jamur biasanya cukup 2x 100-200mg sehari dalam kapsul selama 3 hari. Khusus
10
untuk onikomikosis dikenal sebagai dosis denyut selama 3 bulan. Cara pemberian sebagai
berikut: diberikan 3 tahap dengan interval 1 bulan. Setiap tahap selama 1 minggu dengan dosis
2x200 mg sehari dalam kapsul.3,7
Komplikasi
Selulitis. Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis. Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi bakteri pada daerah subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder pada luka. Faktor predisposisi selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit pembuluh darah perifer. Dalam keadaan lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi dan fissura, akibatnya pertahanan kulit menjadi menurun dan menjadi tempat masuknya bakteri pathogen seperti β-hemolytic streptococci (group A, B C, F, and G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan basil gram negatif. Apabila telah terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian antibiotik. Jika terjadi gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka digunakan antibiotik secara intravena. Antibiotik yang dapat digunakan berupa ampisillin, golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon.
Tinea Ungium. Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum merupakan jamur penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-pecah, dan tidak berwarna yang merupakan dampak dari infeksi jamur tersebut.8
Pencegahan
Tinea pedis atau kaki Atlet adalah salah satu yang paling umum dari semua penyakit
kaki. Memberikan penjelasan kepada pasien yang baik, dengan petunjuk sederhana mengenai
pentingnya kebersihan kaki, dapat membantu mencegah dan meminimalkan perkembangan tinea
pedis. Penjelasan yang baik terdiri dari instruksi kebersihan yang baik, menekankan pentingnya
mengeringkan kaki, perawatan kuku yang baik, dan memakai sepatu dengan benar dan pas
dengan kaus kaki kering bersih. Hal ini penting untuk langkah-langkah pencegahan, sehingga
menghindari kemungkinan infeksi melalui kontak interpersonal serta menggunakan olahraga.
Penggunaan bubuk kaki antijamur kontroversial tetapi mungkin membantu bagi orang-orang
rentan terhadap pedis tinea yang memiliki eksposur sering daerah dimana adanya jamur.5
11
Prognosis
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa minggu setelah
pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun kronik. Kasus yang lebih berat
dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak
dilakukan pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.
Kesimpulan
Dalam skenario kali ini dimana didapatkan seorang perempuan berusia 21 tahun dengan
pekerjaan tukang cuci baju dengan keluhan gatal pada sela jari kaki kiri dan kanan sejak 2 bulan
yang lalu, diyakini sebagai salah satu kelainan dermatofitosis yaitu tinea pedis dengan ciri khas
utama, terlihat fisura dan maserasi pada sela-sela jari kaki. Pengobatan yang baik dapat
dilakukan dengan itrakonazol dan dilakukan pencegahan dengan menjaga higiene dari kaki
penderita untuk mencegah timbulnya tinea pedis kembali.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.110-112
2. Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p. 89- 104.
3. Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
Edisi 6 cetakan ke 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.h.92-3
4. Verma S, Heffernan MP. In. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill; 2008. p.1807-21.
5. Kumar V, Tilak R, Praskash P et al. Tinea pedis an update. Asian Journal of Medical
Sciences 2 (2011) 134-138
6. Joyce LK, Evelyn RH. Farmakologi dan proses perawatan medis. Jakarta: EGC;
2012.h.205-7
7. Gunawan J. Patologi klinik kedokteran. Edisi 7. Vol 1. Jakarta: EGC; 2007.h.232
8. Siregar, RS. Penyakit jamur kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2010.h.36
12
13