blok 15 makalah

17
Kelainan pada Kulit yang Disebabkan Oleh Jamur Julianti Dewisarty Ranyabar 102011167 [email protected] FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Pendahuluan Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.Dermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit. (1) Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap sebagai tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering terkena disamping itu tinea pedis lebih banyak diderita oleh orang dewasa. Kenyataaannya, tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak menggunakan sepatu. 1

Upload: anty-dewi-sarty

Post on 20-Oct-2015

70 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

blok 15

TRANSCRIPT

Page 1: blok 15 makalah

Kelainan pada Kulit yang Disebabkan Oleh Jamur

Julianti Dewisarty Ranyabar

102011167

[email protected]

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Pendahuluan

Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah

penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau stratum korneum pada lapisan

epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur

dermatofita.Dermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang

menyerang kulit.(1)

Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan

telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap sebagai

tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos

kaki disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur.

Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering

terkena disamping itu tinea pedis lebih banyak diderita oleh orang dewasa. Kenyataaannya,

tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak menggunakan sepatu. Sinonim dari

tinea pedis adalah foot ringworm, athlete foot, foot mycosis. (2,3)

Pembahasan

I. Anamnesis

Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis

penyakit tertentu. Di dalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis.

Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap

keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan

untuk diwawancarai, misalnya keadaan gawat-darurat, afasia akibat strok dan lain

sebagainya. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit

1

Page 2: blok 15 makalah

sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan

sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-

obatan, lingkungan).

Berdasarkan kasus, anamnesa yang harus dilakukan terhadap pasien ialah:

Menanyakan identitas pasien seperti umur dan pekerjaannya.

Menanyakan keluhan utama pasien : apakah ada gatal atau tidak ?

Menanyakan riwayat penyakit sekarang, seperti gatalnya dimana, sejak kapan

gatalnya, gatal saat melakukan aktifitas atau tidak, dll.

Menanyakan riwayat penyakit dahulu seperti sebelumnya pernah gatal-gatal, atau

mungkin ada alergi obat tertentu.

Menanyakan riwayat penyakit keluarga seperti pernah menderita penyakit yang sama

seperti pasien.

Menanyakan riwayat social dan kebiasaan, seperti menanyakan bagaimana

lingkungan tempat tinggalnya, lalu bagaimana kebiasaan mandi, dll.

II. Pemeriksaan Fisik

Inspeksii

Inspeksi dilakukan dengan bantuan kaca pembesar. Pemeriksaan ini mutlak dilakukan

dalam ruangan yang terang. Anamnesis terarah dilakukan bersamaan dengan inspeksi

untuk melengkapi data diangnosis. Inspeksi dilakukan diseluruh tubuh penderita.

Hal yang perlu di perhatikan pada inspeksi adalah lokalisasi, warna,bentuk,ukuran,

penyebarang, batas dan efloresensi khusus.

Palpasi

Pemeriksaan ini diperhatikan adanya tanda-tanda radang aku atau tidak (dolor, kalor,

fungsiolasea) sedangkan rubor dan tumor dapat dinilai melalui inspeksi, selain itu

dapat juga di nilai ada atau tidaknya indurasi, fluksuasi dan pembesaran kelenjar

getah bening baik regional maupun generalisata.

2

Page 3: blok 15 makalah

III. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH)

Pada kerokan sisik kulit akan terlihat hifa bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang

diagnosis dermatofitosis. KOH digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel sehingga hifa

akan jelas kelihatan di bawah mikroskop. Kulit dari bagian tepi kelainan sampai dengan

bagian sedikit di luar kelainan  sisik kulit dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan

di atas gelas kaca, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20

menit untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea

pedis tipe vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.4

Gambar 5 : KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia).4

IV. Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:

A. Interdigitalis

Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari IV dan V

terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari

(subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka

sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian

kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah

diserang oleh jamur. Jika perspirasi berlebihan (memakai sepatu karet/boot, mobil yang

terlalu panas) maka inflamasi akut akan terjadi sehingga pasien terasa sangat gatal. Bentuk

klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama

3

Page 4: blok 15 makalah

sekali. Kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis,

limfangitis dan limfadenitis.5

Gambar 1 : Tinea pedis tipe interdigiti.5

B. Moccasin foot (plantar)

Tinea pedis tipe moccasin atau Squamous-Hyperkeratotic Type umumnya bersifat

hiperkeratosis   yang bersisik dan biasanya asimetris yang disebut foci.5 Seluruh kaki, dari

telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya

ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul

dan kadang-kadang vesikel.(1) Tipe ini adalah bentuk kronik tinea yang biasanya resisten

terhadap pengobatan. 

Gambar 2 : Tinea pedis pada telapak kaki.5

C. Lesi Vesikobulosa

Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula yang

terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke

punggung kaki atau telapak kaki. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang

berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Keadaan tersebut menimbulkan gatal yang sangat

4

Page 5: blok 15 makalah

hebat. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk selulitis, limfangitis dan kadang-

kadang menyerupai erisipelas. Jamur juga didapati pada atap vesikel.5,6

Gambar 3: Tinea pedis; vesikel yang meluas ke punggung kaki.6

D. Tipe Ulseratif

Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke dermis akibat maserasi

dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi pada sela-sela jari; dapat dilihat pada pasien

yang imunokompromais dan pasien diabetes.4

V. Diagnosis Kerja

Diagnosis tinea pedis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.

Pemeriksaaan laboratorium berupa Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20% ditemukan

hifa yaitu double conture (dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi (bercabang dua)

dan bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di ujung hifa. Hasil KOH

(-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong.4

VI. Diagnosis Banding

Scabies

Skabies atau sering juga disebut penyakit kulit berupa budukan dapat ditularkan melalui

kontak erat dengan orang yang terinfeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh infestasi

dan sensitisasi terhadap kutu Sarcoptes scabiei var hominis dan tinjanya pada kulit manusia.

Sarcoptes scabiei adalah kutu yang transparan, berbentuk oval, pungggungnya cembung,

perutnya rata dan tidak bermata. Skabies hanya dapat diberantas dengan memutus rantai

penularan dan memberi obat yang tepat.

Gambaran klinik

Penyakit skabies memiliki 4 gejala klinis utama, yaitu :

5

Page 6: blok 15 makalah

1. Pruritus nokturna, atau rasa gatal di malam hari, yang disebabkan aktivitas tungau

yang lebih tinggi dalam suhu lembab.

2. Penyakit ini dapat menyerang manusia secara kelompok. Mereka yang tinggal di

asrama, barak-barak tentara, pesantren maupun panti asuhan berpeluang lebih besar terkena

penyakit ini. Penyakit ini amat mudah menular melalui pemakaian handuk, baju maupun

seprai secara bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat kebersihan diri

dan lingkungan masyarakatnya rendah.

3. Adanya terowongan-terowongan di bawah lapisan kulit (kanalikuli), yang berbentuk

lurus atau berkelok-kelok. Jika terjadi infeksi skunder oleh bakteri, maka akan timbul

gambaran pustul (bisul kecil). Kanalikuli ini berada pada daerah lipatan kulit yang tipis,

seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar kemaluan (pada anak), siku bagian luar, kulit

sekitar payudara, bokong dan perut bagian bawah.

4. Menemukan kutu pada pemeriksaan kerokan kulit secara mikroskopis, merupakan

diagnosis pasti penyakit ini.

Kandidiosis intertriginosa

Kandidiasis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh spesies

Candida yaitu Candida albicans. Kandidiasis intertriginosa biasanya berupa lesi didaerah

lipatan kulit ketiak, lipat paha, lipat payudara, antara sela jari tangan aatau kaki, dan

umbilicus, yang berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan eritematosa.

Dermatitis intertriginosa.

Intertrigo merupakan istilah umum untuk kelainan kulit didaerah lipatan/intertriginosa, yang

dapat berupa inflamasi maupun infeksi bakteri atau jamur. Sebagai factor predisposisi ialah

keringat/kelembaban, kegemukan, gesekan antar 2 permukaan kulit dan oklusi.

VII. Patogenesis

Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi jaringan keratin.

Jamur harus tahan terhadap efek sinarultraviolet, variasi suhu dan kelembaban, persaingan

dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan sphingosines yang diproduksi oleh

keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus tumbuh dan menembus stratum korneum

dengan kecepatan lebih cepat daripada proses  proses deskuamasi. Proses penetrasi ini

6

Page 7: blok 15 makalah

dilakukan melalui sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan

nutrisi. Trauma dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan

baru muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk kompetisi

dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur

oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat tergantung pada aktivasi sistem

kekebalan tubuh. Keadaan basah dan hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam

pertumbuhan jamur. Selain itu hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari merupakan

faktor predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-80% dari seluruh penderita

dengan gangguan sirkulasi (arteri dan vena) kronik akibat onikomikosis dan/atau tinea pedis.

Jamur penyebab ada di mana-mana dan sporanya tetap patogenik selama berbulan-bulan

di lingkungan sekitar manusia seperti sepatu, kolam renang, gedung olahraga, kamar mandi

dan karpet.   Bukti eksperimen menunjukkan bahwa pentingnya faktor maserasi pada infeksi

dermatofita sela jari. Keadaan basah tersebut menunjang pertumbuhan jamur dan merusak

stratum korneum pada saat yang bersamaan. Peningkatan flora bakteri secara serentak

mungkin dan bisa juga memainkan peran. Terdapat bukti tambahan bahwa selama beberapa

episode simtomatik pada tinea pedis kronik, bakteri seperti coryneform bisa berperan sebagai

ko-patogenesis penting, tetapi apakah bakteri tersebut membantu memulai infeksi baru masih

belum diketahui. 2

VIII. Epidemiologi

Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering terjadi.

Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-19 sehubungan dengan

penyebaran Trichophytonrubrum ke Eropa dan Amerika. Hal ini dipengaruhi oleh perjalanan

orang keliling dunia, pendudukan koloni oleh Inggris dan Perancis pada abad ke-19 dan awal

abad ke-20 dan migrasi penduduk selama perang dunia kedua. Beberapa penulis berspekulasi

bahwa area endemik spesies ini bermula di Asia Tenggara. Tingkat prevalensi tinea pedis

secara nyata diketahui karena pasien tidak mencari nasihat medis kecuali kualitas hidup

mereka dipengaruhi, karena ini bukan penyakit yang mengancam jiwa. Diperkirakan 10%

dari jumlah penduduk di banyak negara menderita penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di

Eropa dan Amerika Utara berkisar 15-30% dan pada beberapa masyarakat tertentu lebih

tinggi, misalnya buruh tambang (sampai 70%) dan atlit. Tinea pedis lazim ditemukan pada

daerah beriklim tropis dan sedang.Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada

anak remaja terutama pada laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-

anak. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan paparan ulangan dermatofita sehingga orang

7

Page 8: blok 15 makalah

yang menggunakan fasilitas mandi umum seperti pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih

cenderung terinfeksi. 5

IX. Etiologi

Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling sering), T.

interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton floccosum.(22) T.

rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu

sandal (mocassinlike) pada kaki; T. mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang

vesikular dan lebih meradang sedangkan E. floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara

dua pola lesi diatas.7

X. Komplikasi.8

1. Selulitis.

Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis. Selulitis dapat

terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi bakteri pada daerah

subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder pada luka. Faktor predisposisi

selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit pembuluh darah perifer. Dalam keadaan

lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi dan fissura, akibatnya pertahanan kulit

menjadi menurun dan menjadi tempat masuknya bakteri pathogen seperti β-hemolytic

streptococci (group A, B C, F, and G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae,

dan basil gram negatif.(4,12) Apabila telah terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian

antibiotik. Jika terjadi gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka

digunakan antibiotik secara intravena. Antibiotik yang dapat digunakan berupa ampisillin,

golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon. 

2. Tinea Ungium.

Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya dihubungkan

dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum merupakan jamur penyebab

tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-pecah, dan tidak berwarna yang

merupakan dampak dari infeksi jamur tersebut. 

3. Dermatofid.

Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi “id”, merupakan suatu penyakit imunologik

sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat menyebabkan vesikel

8

Page 9: blok 15 makalah

atau erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris dan jari-jari tangan. Reaksi

dermatofid bisa saja timbul asimptomatis dari infeksi tinea pedis. Reaksi ini akan

berkurang setelah penggunaan terapi antifungal. Komplikasi ini biasanya terkena pada

pasien dengan edema kronik, imunosupresi, hemiplegia dan paraplegia, dan juga diabetes.

Tanpa perawatan profilaksis penyakit ini dapat kambuh kembali.

XI. Penatalaksanaan

Medika mentosa :

Untuk terapi topokal biasanya diberikan preparat derivat Imidazol, seperti :

a.  Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada

pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.

- Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas  dengan menghambat

pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan sampai

waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema

dan gatal.

-          Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat

biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan

keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %

bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka waktu

2-6 minggu.

b.   Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar

dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali

sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang

rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat

sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.5

Intuk terapi sistemik biasanya digunakan obat :

Itrakonazole cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari.

Griseofulvin 500mg/hr sampai sembuh (4-6 minggu)

Non medika mentosa :

9

Page 10: blok 15 makalah

Jangan berjalan tanpa alas kaki di gym, kamar mandi, loker, kolam renang, atau

kamar hotel. Jamur yang menyebabkan kaki atlet mungkin ada di lantai. Untuk

melindungi kaki anda, pakailah sandal kamar mandi atau sandal jepit. Bila Anda

berisiko tinggi terkena kaki atlet, taburkan bubuk anti-jamur pada kaki Anda dan di

dalam sepatu. Jangan memakai sepatu orang lain. Cuci kaki Anda setiap hari dengan

sabun, dan benar-benar keringkan kaki Anda. Kenakan kaus kaki yang terbuat dari

kain yang cepat kering atau menjaga kelembaban kulit. Jangan lupa untuk mengganti

kaus kaki Anda setiap hari, dan cepat mengganti jika kaus kaki basah.

XII. Prognosis

Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa minggu setelah

pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun kronik. Kasus yang lebih

berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi

bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.

XIII. Kesismpulan

Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan telapak

kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa dan jarang pada

perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu

dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan

jamur makin subur.Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton

rubrum (paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton

floccosum.Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasion foot,

lesi vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah

pemeriksaan KOH ditemukan adanya hifadouble counture, dikotomi dan bersepta.

Penatalaksanaan disesuaikan berdasarkan tipe tinea pedis. Pengobatan dapat berupa

antifungal topikal maupun oral dan apabila ditemukan infeksi sekunder maka indikasi

penggunaan antibiotik. Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga

agar kaki tetap dalam keadaan kering dan bersih, hindari lingkungan yang lembab dan

pemakaian sepatu yang terlalu lama.

Daftar Pustaka

10

Page 11: blok 15 makalah

1. Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit

dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p. 89- 104.

2. Perea S, Ramos MJ, Garau M, Gonzalez A, Noriega AR, Palacio AD. Prevalence

and risk factors of tinea ungium and tinea pedis in the general population in Spain. J

Clin Microbiol 2000;38:3226-30.

3. 3.      Sobera JO, Elewski BE. Fungal diseases. In. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini

RP, editors. Dermatology volume 1. 2nd ed. US: Mosby Elsevier; 2003. p.

4. Verma S, Heffernan MP. In. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller

AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New

York: McGraw-Hill; 2008. p.1807-21.

5. Falco OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. 3rd ed. Berlin:

Springer Verlag; 1991. p. 227-8.

6. Habif TP. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed.

London: Mosby; 2004. p. 409-456.

7. Viklund A, Burley C. Dermatology glossary: define your skin. [Online]. 2005 Nov 28

[cited 2010 June 8]; Available from: URL:http://www.chrisburley.com/

8. Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology for the

practicing allergist: tinea pedis and its complications.Clin Mol Allergy 2004;2:5.

11