Download - blok 15 makalah
Kelainan pada Kulit yang Disebabkan Oleh Jamur
Julianti Dewisarty Ranyabar
102011167
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Pendahuluan
Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah
penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau stratum korneum pada lapisan
epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur
dermatofita.Dermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang
menyerang kulit.(1)
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan
telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap sebagai
tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos
kaki disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur.
Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering
terkena disamping itu tinea pedis lebih banyak diderita oleh orang dewasa. Kenyataaannya,
tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak menggunakan sepatu. Sinonim dari
tinea pedis adalah foot ringworm, athlete foot, foot mycosis. (2,3)
Pembahasan
I. Anamnesis
Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis
penyakit tertentu. Di dalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis.
Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan
untuk diwawancarai, misalnya keadaan gawat-darurat, afasia akibat strok dan lain
sebagainya. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
1
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan
sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-
obatan, lingkungan).
Berdasarkan kasus, anamnesa yang harus dilakukan terhadap pasien ialah:
Menanyakan identitas pasien seperti umur dan pekerjaannya.
Menanyakan keluhan utama pasien : apakah ada gatal atau tidak ?
Menanyakan riwayat penyakit sekarang, seperti gatalnya dimana, sejak kapan
gatalnya, gatal saat melakukan aktifitas atau tidak, dll.
Menanyakan riwayat penyakit dahulu seperti sebelumnya pernah gatal-gatal, atau
mungkin ada alergi obat tertentu.
Menanyakan riwayat penyakit keluarga seperti pernah menderita penyakit yang sama
seperti pasien.
Menanyakan riwayat social dan kebiasaan, seperti menanyakan bagaimana
lingkungan tempat tinggalnya, lalu bagaimana kebiasaan mandi, dll.
II. Pemeriksaan Fisik
Inspeksii
Inspeksi dilakukan dengan bantuan kaca pembesar. Pemeriksaan ini mutlak dilakukan
dalam ruangan yang terang. Anamnesis terarah dilakukan bersamaan dengan inspeksi
untuk melengkapi data diangnosis. Inspeksi dilakukan diseluruh tubuh penderita.
Hal yang perlu di perhatikan pada inspeksi adalah lokalisasi, warna,bentuk,ukuran,
penyebarang, batas dan efloresensi khusus.
Palpasi
Pemeriksaan ini diperhatikan adanya tanda-tanda radang aku atau tidak (dolor, kalor,
fungsiolasea) sedangkan rubor dan tumor dapat dinilai melalui inspeksi, selain itu
dapat juga di nilai ada atau tidaknya indurasi, fluksuasi dan pembesaran kelenjar
getah bening baik regional maupun generalisata.
2
III. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH)
Pada kerokan sisik kulit akan terlihat hifa bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang
diagnosis dermatofitosis. KOH digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel sehingga hifa
akan jelas kelihatan di bawah mikroskop. Kulit dari bagian tepi kelainan sampai dengan
bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan
di atas gelas kaca, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20
menit untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea
pedis tipe vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.4
Gambar 5 : KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia).4
IV. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:
A. Interdigitalis
Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari IV dan V
terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari
(subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka
sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian
kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah
diserang oleh jamur. Jika perspirasi berlebihan (memakai sepatu karet/boot, mobil yang
terlalu panas) maka inflamasi akut akan terjadi sehingga pasien terasa sangat gatal. Bentuk
klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama
3
sekali. Kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis,
limfangitis dan limfadenitis.5
Gambar 1 : Tinea pedis tipe interdigiti.5
B. Moccasin foot (plantar)
Tinea pedis tipe moccasin atau Squamous-Hyperkeratotic Type umumnya bersifat
hiperkeratosis yang bersisik dan biasanya asimetris yang disebut foci.5 Seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya
ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul
dan kadang-kadang vesikel.(1) Tipe ini adalah bentuk kronik tinea yang biasanya resisten
terhadap pengobatan.
Gambar 2 : Tinea pedis pada telapak kaki.5
C. Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula yang
terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke
punggung kaki atau telapak kaki. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang
berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Keadaan tersebut menimbulkan gatal yang sangat
4
hebat. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk selulitis, limfangitis dan kadang-
kadang menyerupai erisipelas. Jamur juga didapati pada atap vesikel.5,6
Gambar 3: Tinea pedis; vesikel yang meluas ke punggung kaki.6
D. Tipe Ulseratif
Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke dermis akibat maserasi
dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi pada sela-sela jari; dapat dilihat pada pasien
yang imunokompromais dan pasien diabetes.4
V. Diagnosis Kerja
Diagnosis tinea pedis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20% ditemukan
hifa yaitu double conture (dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi (bercabang dua)
dan bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di ujung hifa. Hasil KOH
(-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong.4
VI. Diagnosis Banding
Scabies
Skabies atau sering juga disebut penyakit kulit berupa budukan dapat ditularkan melalui
kontak erat dengan orang yang terinfeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh infestasi
dan sensitisasi terhadap kutu Sarcoptes scabiei var hominis dan tinjanya pada kulit manusia.
Sarcoptes scabiei adalah kutu yang transparan, berbentuk oval, pungggungnya cembung,
perutnya rata dan tidak bermata. Skabies hanya dapat diberantas dengan memutus rantai
penularan dan memberi obat yang tepat.
Gambaran klinik
Penyakit skabies memiliki 4 gejala klinis utama, yaitu :
5
1. Pruritus nokturna, atau rasa gatal di malam hari, yang disebabkan aktivitas tungau
yang lebih tinggi dalam suhu lembab.
2. Penyakit ini dapat menyerang manusia secara kelompok. Mereka yang tinggal di
asrama, barak-barak tentara, pesantren maupun panti asuhan berpeluang lebih besar terkena
penyakit ini. Penyakit ini amat mudah menular melalui pemakaian handuk, baju maupun
seprai secara bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat kebersihan diri
dan lingkungan masyarakatnya rendah.
3. Adanya terowongan-terowongan di bawah lapisan kulit (kanalikuli), yang berbentuk
lurus atau berkelok-kelok. Jika terjadi infeksi skunder oleh bakteri, maka akan timbul
gambaran pustul (bisul kecil). Kanalikuli ini berada pada daerah lipatan kulit yang tipis,
seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar kemaluan (pada anak), siku bagian luar, kulit
sekitar payudara, bokong dan perut bagian bawah.
4. Menemukan kutu pada pemeriksaan kerokan kulit secara mikroskopis, merupakan
diagnosis pasti penyakit ini.
Kandidiosis intertriginosa
Kandidiasis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh spesies
Candida yaitu Candida albicans. Kandidiasis intertriginosa biasanya berupa lesi didaerah
lipatan kulit ketiak, lipat paha, lipat payudara, antara sela jari tangan aatau kaki, dan
umbilicus, yang berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan eritematosa.
Dermatitis intertriginosa.
Intertrigo merupakan istilah umum untuk kelainan kulit didaerah lipatan/intertriginosa, yang
dapat berupa inflamasi maupun infeksi bakteri atau jamur. Sebagai factor predisposisi ialah
keringat/kelembaban, kegemukan, gesekan antar 2 permukaan kulit dan oklusi.
VII. Patogenesis
Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi jaringan keratin.
Jamur harus tahan terhadap efek sinarultraviolet, variasi suhu dan kelembaban, persaingan
dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan sphingosines yang diproduksi oleh
keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus tumbuh dan menembus stratum korneum
dengan kecepatan lebih cepat daripada proses proses deskuamasi. Proses penetrasi ini
6
dilakukan melalui sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan
nutrisi. Trauma dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan
baru muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk kompetisi
dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur
oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat tergantung pada aktivasi sistem
kekebalan tubuh. Keadaan basah dan hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam
pertumbuhan jamur. Selain itu hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari merupakan
faktor predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-80% dari seluruh penderita
dengan gangguan sirkulasi (arteri dan vena) kronik akibat onikomikosis dan/atau tinea pedis.
Jamur penyebab ada di mana-mana dan sporanya tetap patogenik selama berbulan-bulan
di lingkungan sekitar manusia seperti sepatu, kolam renang, gedung olahraga, kamar mandi
dan karpet. Bukti eksperimen menunjukkan bahwa pentingnya faktor maserasi pada infeksi
dermatofita sela jari. Keadaan basah tersebut menunjang pertumbuhan jamur dan merusak
stratum korneum pada saat yang bersamaan. Peningkatan flora bakteri secara serentak
mungkin dan bisa juga memainkan peran. Terdapat bukti tambahan bahwa selama beberapa
episode simtomatik pada tinea pedis kronik, bakteri seperti coryneform bisa berperan sebagai
ko-patogenesis penting, tetapi apakah bakteri tersebut membantu memulai infeksi baru masih
belum diketahui. 2
VIII. Epidemiologi
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering terjadi.
Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-19 sehubungan dengan
penyebaran Trichophytonrubrum ke Eropa dan Amerika. Hal ini dipengaruhi oleh perjalanan
orang keliling dunia, pendudukan koloni oleh Inggris dan Perancis pada abad ke-19 dan awal
abad ke-20 dan migrasi penduduk selama perang dunia kedua. Beberapa penulis berspekulasi
bahwa area endemik spesies ini bermula di Asia Tenggara. Tingkat prevalensi tinea pedis
secara nyata diketahui karena pasien tidak mencari nasihat medis kecuali kualitas hidup
mereka dipengaruhi, karena ini bukan penyakit yang mengancam jiwa. Diperkirakan 10%
dari jumlah penduduk di banyak negara menderita penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di
Eropa dan Amerika Utara berkisar 15-30% dan pada beberapa masyarakat tertentu lebih
tinggi, misalnya buruh tambang (sampai 70%) dan atlit. Tinea pedis lazim ditemukan pada
daerah beriklim tropis dan sedang.Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada
anak remaja terutama pada laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-
anak. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan paparan ulangan dermatofita sehingga orang
7
yang menggunakan fasilitas mandi umum seperti pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih
cenderung terinfeksi. 5
IX. Etiologi
Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling sering), T.
interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton floccosum.(22) T.
rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu
sandal (mocassinlike) pada kaki; T. mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang
vesikular dan lebih meradang sedangkan E. floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara
dua pola lesi diatas.7
X. Komplikasi.8
1. Selulitis.
Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis. Selulitis dapat
terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi bakteri pada daerah
subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder pada luka. Faktor predisposisi
selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit pembuluh darah perifer. Dalam keadaan
lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi dan fissura, akibatnya pertahanan kulit
menjadi menurun dan menjadi tempat masuknya bakteri pathogen seperti β-hemolytic
streptococci (group A, B C, F, and G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae,
dan basil gram negatif.(4,12) Apabila telah terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian
antibiotik. Jika terjadi gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka
digunakan antibiotik secara intravena. Antibiotik yang dapat digunakan berupa ampisillin,
golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon.
2. Tinea Ungium.
Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya dihubungkan
dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum merupakan jamur penyebab
tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-pecah, dan tidak berwarna yang
merupakan dampak dari infeksi jamur tersebut.
3. Dermatofid.
Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi “id”, merupakan suatu penyakit imunologik
sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat menyebabkan vesikel
8
atau erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris dan jari-jari tangan. Reaksi
dermatofid bisa saja timbul asimptomatis dari infeksi tinea pedis. Reaksi ini akan
berkurang setelah penggunaan terapi antifungal. Komplikasi ini biasanya terkena pada
pasien dengan edema kronik, imunosupresi, hemiplegia dan paraplegia, dan juga diabetes.
Tanpa perawatan profilaksis penyakit ini dapat kambuh kembali.
XI. Penatalaksanaan
Medika mentosa :
Untuk terapi topokal biasanya diberikan preparat derivat Imidazol, seperti :
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada
pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.
- Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat
pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan sampai
waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema
dan gatal.
- Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat
biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan
keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %
bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka waktu
2-6 minggu.
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali
sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang
rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat
sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.5
Intuk terapi sistemik biasanya digunakan obat :
Itrakonazole cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari.
Griseofulvin 500mg/hr sampai sembuh (4-6 minggu)
Non medika mentosa :
9
Jangan berjalan tanpa alas kaki di gym, kamar mandi, loker, kolam renang, atau
kamar hotel. Jamur yang menyebabkan kaki atlet mungkin ada di lantai. Untuk
melindungi kaki anda, pakailah sandal kamar mandi atau sandal jepit. Bila Anda
berisiko tinggi terkena kaki atlet, taburkan bubuk anti-jamur pada kaki Anda dan di
dalam sepatu. Jangan memakai sepatu orang lain. Cuci kaki Anda setiap hari dengan
sabun, dan benar-benar keringkan kaki Anda. Kenakan kaus kaki yang terbuat dari
kain yang cepat kering atau menjaga kelembaban kulit. Jangan lupa untuk mengganti
kaus kaki Anda setiap hari, dan cepat mengganti jika kaus kaki basah.
XII. Prognosis
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa minggu setelah
pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun kronik. Kasus yang lebih
berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi
bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.
XIII. Kesismpulan
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan telapak
kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa dan jarang pada
perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu
dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan
jamur makin subur.Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton
rubrum (paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton
floccosum.Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasion foot,
lesi vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan KOH ditemukan adanya hifadouble counture, dikotomi dan bersepta.
Penatalaksanaan disesuaikan berdasarkan tipe tinea pedis. Pengobatan dapat berupa
antifungal topikal maupun oral dan apabila ditemukan infeksi sekunder maka indikasi
penggunaan antibiotik. Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga
agar kaki tetap dalam keadaan kering dan bersih, hindari lingkungan yang lembab dan
pemakaian sepatu yang terlalu lama.
Daftar Pustaka
10
1. Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p. 89- 104.
2. Perea S, Ramos MJ, Garau M, Gonzalez A, Noriega AR, Palacio AD. Prevalence
and risk factors of tinea ungium and tinea pedis in the general population in Spain. J
Clin Microbiol 2000;38:3226-30.
3. 3. Sobera JO, Elewski BE. Fungal diseases. In. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini
RP, editors. Dermatology volume 1. 2nd ed. US: Mosby Elsevier; 2003. p.
4. Verma S, Heffernan MP. In. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New
York: McGraw-Hill; 2008. p.1807-21.
5. Falco OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. 3rd ed. Berlin:
Springer Verlag; 1991. p. 227-8.
6. Habif TP. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed.
London: Mosby; 2004. p. 409-456.
7. Viklund A, Burley C. Dermatology glossary: define your skin. [Online]. 2005 Nov 28
[cited 2010 June 8]; Available from: URL:http://www.chrisburley.com/
8. Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology for the
practicing allergist: tinea pedis and its complications.Clin Mol Allergy 2004;2:5.
11