biofar p5

42
UJI DISOLUSI (KETERSEDIAAN HAYATI IN VITRO) Suatu produk obat dapat berbeda dari produk pabrik lain dalam hal bahan baku, komposisi/formula, serta fabrikasinya. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam pelepasan bahan obat dari sediaan yang akhirnya akan berpengaruh pada efikasi/kemanjuran produk tersebut. (Abdou, 1989, Blanchard, Swachuck, Brodie, 1979). Pada umumnya produk obat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu rangkaian proses yang meliputi : 1. disintegrasi produk yang diikuti dengan pelepasan obat 2. pelarutan obat dalam media “aqueous” 3. absorbsi melalui membran sel menuju sirkulasi sstemik Pada ketiga proses di atas ditentukan oleh tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetic yang sering disebut tahap penentu kecepatan (Rate Limiting Step). Untuk obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan seringkali merupakan tahap yang paling lambat di dalam, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Sebaliknya untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalm air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat melewati membran merupakan yahap penentu kecepatannya. Telah banyak publikasi yang menyatakan adanya hubungan yang bemakna antar kecepatan disolusi berbagai bahan obat dari sediaannya dan absorbsinya. Obat-obat tersebut umumya meliputi obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabakan kelarutannya sangat kecil. Obat-obat yang memiliki kecepatn disolusi intrinsik yang < 0,1 mg/menit.cm 2 biasanya menimbulkan masalah serius pada absorbsinya, seangkan obat- obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsic > 1,0 mg/menit.cm 2 . Pada umunya kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tapi kecepatan absorbsinya. Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media

Upload: ika-chan

Post on 20-Jan-2016

89 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: biofar p5

UJI DISOLUSI (KETERSEDIAAN HAYATI IN VITRO)Suatu produk obat dapat berbeda dari produk pabrik lain dalam hal bahan baku,

komposisi/formula, serta fabrikasinya. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam pelepasan bahan obat dari sediaan yang akhirnya akan berpengaruh pada efikasi/kemanjuran produk tersebut. (Abdou, 1989, Blanchard, Swachuck, Brodie, 1979). Pada umumnya produk obat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu rangkaian proses yang meliputi :

1. disintegrasi produk yang diikuti dengan pelepasan obat

2. pelarutan obat dalam media “aqueous”

3. absorbsi melalui membran sel menuju sirkulasi sstemik

Pada ketiga proses di atas ditentukan oleh tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetic yang sering disebut tahap penentu kecepatan (Rate Limiting Step). Untuk obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan seringkali merupakan tahap yang paling lambat di dalam, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Sebaliknya untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalm air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat melewati membran merupakan yahap penentu kecepatannya.Telah banyak publikasi yang menyatakan adanya hubungan yang bemakna antar kecepatan disolusi berbagai bahan obat dari sediaannya dan absorbsinya. Obat-obat tersebut umumya meliputi obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabakan kelarutannya sangat kecil. Obat-obat yang memiliki kecepatn disolusi intrinsik yang < 0,1 mg/menit.cm2 biasanya menimbulkan masalah serius pada absorbsinya, seangkan obat-obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsic > 1,0 mg/menit.cm2. Pada umunya kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tapi kecepatan absorbsinya.Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses ddisintegrasi, dan degradasi sediaan, merupakan sebagaian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari sediaan.Kecepatan PelarutanSecara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu. Dapat juga diartikan sebagai kecepatan larut bahan obat dari sediaan farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil pecahnya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal tablettent bias diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut bahan obat dari sediaan tablet ke dalam medium penerima. Penelitian tentang disolusi telah dilakukan oleh Noyes Whitney dan dalam penelitiannya diperoleh persamaan yang mirip hokum difusi dari Fick :

dc = DAK (Cs-C)dt hdimana :dc/ct : laju pelarutan obatD : tetapan laju difusiA : luas permukaan partikel

Page 2: biofar p5

Cs : kadar obat dalam “stagnant layer”C : konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarutK : koefisien partisi munyak/airh : tebal “stagnant layer”Dari persamaan di atas terlihat bahwa kinetika pelarutan dapat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia, formulasi, dan pelarut.Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suat zat atau sediaan. Selain persamaan di atas cara lain untuk mengungkapkan pelarutan adalah sebagai berikut :1. Metode Klasik

Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tida diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.2. Metode Khan

Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency(DE)area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :

DE = 0t ∫Y dt x 100%

Y100.t

Beberapa eneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang terlarut. Keuntungan metode ini adalah :

a. dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE

b. dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran

dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo

3. Metode linierisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan sebagai contoh persamaan wagnerBerdasarkan pada asumsi sebagai berikut :a. kondisi percobaan harus dalam keadaan sink yaitu Cs>>>Cb. proses pelarutan mengikuti orde Ic. luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi waktud. kondisi proes pelarutannya non reaktif

AlatUji Disolusi FarmakopeUji disolusi hamper di semua negar telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama. Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam masing-masing farmakope, seperti jecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk monografi individu obat dan masing-masing farmakope.Alat Uji Disolusi 1 dan 2Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang menggunakan pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua adalah cara dayung yang menggunakan pengad uk bentuk dayng. Di Farmakope Indonesia kedua cara ini dikenal

dengan cara keranjang dan dayung.

“PENGUJIAN DISOLUSI TERHADAP TABLET GLYCEROL GUAIAKOLAT”

Page 3: biofar p5

I.             Tujuan1.      Melakukan uji disolusi terhadap tablet glycerol guaiacolat

II.          Prinsip1.      Disolusi

Disolusi   obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.

III.       Teori Dasar          Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia

zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).

Disolusi   adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah:1.      Teori film (model difusi lapisan)

2.      Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)

3.      Teori Solvasi terbatas/Inerfisial (Amir, 2007).Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan

utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan.Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil proses pelarutan persatuan waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara matematik sebagai berikut :

      dc / dt        = kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan waktu )      Cs                   = kelarutan  (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )      Ct               = konsentrasi bahan dalam  larutan untuk waktu t

      K               = konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan              jenuh dan tebal lapisan difusi (Shargel, 1988)Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan konstannya

suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien konsentasi antara konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada waktu (Shargel, 1988).

Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis larutan jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari larutan di sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan kelambatan difusi ini dapat menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan mensubtitusikan hukum difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner dan Bogoski, dapat memberikan kemungkinan perbaikan  kecepatan pelarutan secara konkret.

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan

Page 4: biofar p5

ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).

Lapisan difusi   adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh adanya kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai lapisan yang tidak teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan sulit untuk ditentukan, namun umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang (Tjay, 2002).

Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan melarut:   Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut   Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut   Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut   Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut   Kenaikan dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut

Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan melarut adalah :        Naiknya temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D        Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan menaikkan

nilai Cs (Ansel, 1989)

UJI DISOLUSI OBATUji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah

menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet (Voigt, 1995).

Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Voigt, 1995).

Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia.; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian  manusia sebagai obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :

Page 5: biofar p5

1.      Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%

2.      Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju penglepasan

dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis (Shargel, 1988).Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari

satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).

Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt, 1995).

Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :  Zat aktif mula-mula harus larut  Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna (Voigt, 1995).

Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan wajib USP   untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).

Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :

a)      Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo

b)      Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.

c)      Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk produk akhir.

d)      Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.

e)      Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.f)        Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif yang

baru.g)      Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo

sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem (Ansel, 1989).

Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul telah pecah. Pada

Page 6: biofar p5

tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan (Ansel, 1989).

IV.        Alat dan Bahana.      Alat1.      Alat Spektrofotometri2.      Alat Uji disolusi3.      Beaker glass4.      Botol vial5.      Kuvet6.      Pipet tetes7.      Syringe

b.      Bahan1.      Aquadest2.      Baku pembanding Glycerol Guaiakolat3.      Tablet Glycerol Guaiakolat

V.           ProsedurPembuatan larutan baku

Baku glycerol guaiacolat sebanyak 222 mg ditimbang dan dilarutkan dalam 100 ml air. Kemudian dibuat pengenceran bertingkat yaitu 70ppm, 60ppm, 50ppm, 40ppm, dan 30ppm. Setelah itu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum. Lalu dibuat kurva baku dari hasil pengukuran.

Uji  DisolusiPerlakuan pertama adalah dicari panjang gelombang serapan maksimum untuk baku

pembanding Glyceril Gualakoat. Langkah selanjutnya adalah tablet dicelupkan ke dalam medium aquadest sampai ke dasar yang terdapat dalam labu sebanyak 900mL, suhu dipertahankan pada 37.5oC, motor diatur pada kecepatan konstan 50 rpm. Kemudian cairan sample diambil pada selang waktu menit ke 5, menit ke 15 , menit ke 25, menit ke 35, dan menit ke 45 untuk menentukan jumlah obat dalam cairan itu. Kemudian diencerkan 1 mL dari setiap cuplikan menjadi 10 mL dengan medium dan tentukan absorbansinya pada panjang gelombang maksimum yang didapat pada percobaan. Untuk menentukan kadar obat maka digunakan alat spektrophotometri dengan mengukur tingkat absorbansi-nya.

VI.        Data Pengamatan1.      Pembuatan Kurva Kalibrasi

Tabel 1. Hasil pengukuran absorbansi larutan bakuNo Konsentrasi

1 30 ppm

2 40 ppm

3 50 ppm

Page 7: biofar p5

4 60 ppm

5 70 ppm

Kurva Kalibrasi

a = 0.008993b = 0.04126r = 0.999persamaan garis linear  y = 0.008993x + 0.04126

2.      Pengukuran absorbansi 3 tablet hasil disolusi dengan interval waktu 5, 15, 25, 35, 45 menitTabel 2.1 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-1

Menit ke- A1

5 0.277 0.2764

15 0.5118 0.5122

25 0.4875 0.4875

35 0.51 0.5076

45 0.4592 0.4593

Tabel 2.2 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-2Menit ke- A1

5 0.3893 0.3897

15 0.4657 0.4653

25 0.4729 0.4723

35 0.4498 0.4497

45 0.4779 0.4768

Tabel 2.3 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-3Menit ke- A1

Page 8: biofar p5

5 0.3475 0.3479

15 0.4392 0.44

25 0.4994 0.5001

35 0.5189 0.5184

45 0.4934 0.4931

3.      Konsentrasi 3 tablet yang larut dalam interval waktu tertentuTabel 3. Hasil perhitungan konsentrasi obat yang terdisolusi (dalam mg/ml)

Menit ke- Tablet ke-1

5 0.026167

15 0.052356

25 0.049632

35 0.051889

45 0.046485

4.      Persentase disolusi 3 tablet dalam interval waktu tertentuTabel 4. Hasil perhitungan % disolusi tablet

Menit ke- Tablet ke-1

5 9.42 %

15 18.85 %

25 17.87 %

35 18.68 %

45 16.73 %

Kurva laju disolusi tablet glycerol guaiacolat

VII.     Perhitungan

Page 9: biofar p5

Pembuatan Kurva Kalibrasia.       Pembuatan larutan stok

Baku yang digunakan : 222 mg dalam 100 ml

b.      Pengenceran larutan baku dengan variasi konsentrasi

  Konsentrasi 30 ppm  Konsentrasi 40 ppm

  Konsentrasi 50 ppm

  Konsentrasi 60 ppm

  Konsentrasi 70 ppm

Perhitungan konsentrasi dan %disolusi

VIII.  PembahasanDisolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zat-zat aktif

dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak dengan cairan tubuh.

Pada percobaan kali ini dilakukan uji laju disolusi terhadap tablet gliseril guaiakolat. Tujuan dilakukannya uji laju disolusi yaitu untuk mengetahui seberapa cepat kelarutan suatu tablet ketika kontak dengan cairan tubuh, sehingga dapat diketahui seberapa cepat keefektifan obat yang diberikan tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat yaitu temperatur, viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisa, dan sifat permukaan zat.

Secara umum mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet yaitu tablet yang ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan dipecah, mengalami disintegrasi menjadi granul-granul yang kecil yang terdiri dari zat-zat aktif dan zat-zat tambahan yang lain. Granul selanjutnya dipecah menjadi serbuk dan zat-zat aktifnya akan larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung di mana tablet tersebut harus bekerja.

Sebelum melakukan uji disolusi, terlebih dahulu dilakukan pembuatan kurva baku sampel gliseril guaiakolat. Prosedur pembuatan kurva baku sampel gliseril guaiakolat dimulai dengan menimbang sampel, kemudian sampel dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml, dan ditambahkan aquadest hingga mencapai tanda batas, dan dikocok hingga homogen. Larutan tersebut merupakan larutan sampel standar. Selanjutnya adalah dibuat pengenceran menjadi lima konsentrasi yang berbeda, yaitu 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, dan 70 ppm. Selanjutnya spektrofotometer UV-Vis disetting pada panjang gelombang dimana gliseril guaiakolat memberikan absorbansi, yaitu pada panjang gelombang 274 nm. Masing-masing sampel kemudian dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis, diukur absorbansi nya terlebih dahulu. Absorbansi yang terbaca haruslah berada pada rentang 0.2 hingga 0.8, sesuai hukum lambert-beer. Kemudian setelah absorbansinya berada pada rentang tersebut, kelima sampel dianalisis. Hasil analisis masing-masing sampel dapat dilihat dibawah ini :

        Konsentrasi 30 ppm = 0,311233        Konsentrasi 40 ppm = 0,39670        Konsentrasi 50 ppm = 0,495567

Page 10: biofar p5

        Konsentrasi 60 ppm = 0,583667        Konsentrasi 70 ppm = 0,66740

Setelah diketahui hasilnya, dibuat kurva baku yang berisi perbandingan antara konsentrasi dengan absorbansi. Kemudian dibuat persamaan garis nya dengan menggunakan metode regresi linier, dan didapat persamaan nya adalah sebagai berikut : y = 0,008993x+0,04126. Dengan nilai r adalah 0,999. Nilai r yang didapat sangat baik, karena nilai nya mendekati 1. Persamaan garis yang didapat tersebut nantinya akan digunakan untuk menghitung kadar sampel gliseril guaiakolat pada uji disolusi.

Selanjutnya dilakukan uji disolusi. Mula-mula 1000 ml aquadest dipanaskan hingga mencapai suhu 40oC dan sebelum digunakan suhu air harus dipertahankan pada suhu ± 37oC sesuai suhu tubuh. Selanjutnya 900 ml dari air tersebut dimasukkan ke dalam wadah gelas yang terdapat di dalam alat disolusi. Alat disolusi yang digunakan diisi dengan aquadest sebanyak ¾ bagian saja. Hal ini dilakukan untuk menganalogkannya dengan jumlah cairan tubuh. Selanjutnya sampel tablet dimasukkan ke dalam keranjang saringan yang kecil yang ada di dalam alat disolusi. Sampel tablet yang diuji adalah sebanyak 3 tablet. Sampel yang digunakan di sini yaitu tablet gliseril guaiakolat. Setelah itu, keranjang dicelupkan ke dalam pelarut. Alat disolusi lalu dinyalakan dan kecepatan diatur pada 100 rpm dan suhu 37oC. Suhu 37oC digunakan agar sama dengan suhu tubuh manusia.

Pada saat tablet dimasukkan ke dalam alat disolusi, stopwatch mulai dijalankan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada menit ke-5, 15, 25, dan 35. Setelah 5 menit sampel diambil sebanyak 5 ml menggunakan syringe yang berselang, dan dimasukkan kedalam botol vial, kemudian kedalam alat disolusi yang berisi tablet gliseril guaiakolat yang telah diambil sampel larutannya sebanyak 5 ml, ditambahkan aquadest sebanyak 5 ml juga. Tujuannya untuk mengembalikan jumlah pelarut seperti semula karena pelarut dianalogikan sebagai cairan tubuh. Diulangi prosedur tersebut pada menit ke 15, 25, dan 35. Pengambilan pelarut diambil sekitar 1 cm keranjang tempat tablet. Hal ini dilakukan karena pada bagian tersebut dianggap merupakan bagian yang diabsorpsi oleh darah.

Setelah dilakukan pengambilan sampel, dilakukan analisis dengan menggunakan instrument. Instrument yang digunakan dalam analisis tersebut adalah spektrofotometer UV-Vis double beam. Analisis dilakukan secara bertahap dimulai dari tablet 1 hingga tablet 3 (masing-masing menit ke-5, 15, 25, dan 35). Sehingga total sampel yang dianalisis adalah sebanyak 12 sampel yang berada pada 12 botol vial yang berbeda. Pertama, dilakukan analisis terhadap blanko sampel (aquadest). Selanjutnya diikuti analisis 12 sampel tersebut. Kemudian dibuat rata-rata berdasarkan nilai absorbansi yang terbaca pada alat. Hal yang perlu diperhatikan dalam analisis dengan menggunakan instrument spektrofotometer UV-Vis double beam adalah saat pengisian sampel kedalam kuvet, jari tangan jangan sampai menyentuh bagian licin dari kuvet, karena jika jari tangan menyentuh bagian tersebut, maka protein akan menempel pada bagian licin daripada kuvet, yang mengakibatkan hasil analisis menjadi tidak akurat lagi. Selain itu, alat juga perlu disetting pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan sampel yang akan dianalisis.

Uji disolusi dapat digunakan untuk menentukan persentasi ketersediaan obat dalam sirkulasi sistemik pada waktu tertentu, hal ini berhubungan dengan bio-availabilitas yang dapat menjadi parameter efikasi (kemanjuran) dan mutu suatu produk obat. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk  sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut  ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.

Page 11: biofar p5

Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.

Ada tiga kegunaan uji disolusi yaitu menjamin keseragaman satu batch, menjamin bahwa

obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan Uji disolusi diperlukan dalam rangka

pengembangan suatu obat baru. Obat yang telah memenuhi persyaratan keseragaman bobot,

kekerasan, kerenyahan, waktu hancur dan penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat menjamin

bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi

tablet.

Tahapan yang dilakukan setelah pengujian disolusi adalah pengukuran absorbansi melalui

alat spektrofotometer uv-vis di panjang gelombang maksimumnya yaitu 274 nm. Hasil yang

didapatkan adalah :

1.      Tablet 1

-         Menit ke 5 = 0,2766

-         Menit ke 15 = 0,5121

-         Menit ke 25 = 0,4876

-         Menit ke 35 = 0,5079

-         Menit ke 45 = 0,4593

2.      Tablet 2

-         Menit ke 5 = 0,3894

-         Menit ke 15 = 0,4655

-         Menit ke 25 = 0,4727

-         Menit ke 35 = 0,4498

-         Menit ke 45 = 0,4769

3.      Tablet 3

-         Menit ke 5 = 0,3479

-         Menit ke 15 = 0,4397

-         Menit ke 25 = 0,5

-         Menit ke 35 = 0,5187

-         Menit ke 45 = 0,4931

Dari hasil percobaan tersebut terlihat bahwa absorbansi yang dihasilkan kurang tepat karena

seiring peningkatan waktu seharusnya absorbansinya meningkat tetapi dari data terlihat bahwa

absorbansinya naik dan kemudian di menit selanjutnya turun kembali. Hal ini dapat disebabkan

karena pada saat uji disolusi dilakukan terdapat pengotor atau kontaminan pada aquadest yang

digunakan sebagai medium disolusi dan saat pemasukkan aquadest setiap 10 menit sekali sebagai

pengganti larutan yang diambil. Hal ini menyebabkan kontaminan tersebut terserap juga

absorbansinya pada alat sehingga hasil absorbansi menjadi kurang akurat. Tetapi hasil absorbansi

yang dihasilkan pada uji ini baik karena memenuhi hukum lambert-beer yaitu 0,2-0,8.

Persyaratan uji disolusi dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji

sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap. Pada tahap 1 (S1), 6 tablet

diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu

tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka

Page 12: biofar p5

pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3 ). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi. Kriteria

penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel dibawah ini.

Tabel. 2.1. Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Tahap Jumlah Sediaan yang diuji

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%

S2 6 Rata – rata dari 12 unit (S1+ S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari

Q – 15%

S3 12 Rata – rata dari 24 unit (S1+ S2+ S3 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil

dari Q – 15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q – 25%

Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam waktu 45 menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm.

Perhitungan hasil dari uji disolusi dilakukan menggunakan rumus :% disolusi =Pengujian dilakukan terhadap tiga tablet untuk membandingkan hasil pada satu tablet

dengan tablet yang lainnya dan meminimalisir terjadinya kesalahan sehingga pengukuran dilakukan berulang. Hasil yang didapatkan melalui perhitungan adalah :

1.      Tablet 1

Menit ke 5 = 9,16075%

Menit ke 15 = 18,32776%

Menit ke 25 = 17,37406%

Menit ke 35 = 18,16425%

Menit ke 45 = 16,27248%

2.      Tablet 2

Menit ke 5 = 13,53578%

Menit ke 15 = 16,49457%

Menit ke 25 = 16,77451%

Menit ke 35 = 15,88415%

Menit ke 45 = 16,93780%

3.      Tablet 3

Menit ke 5 = 11,90375%

Menit ke 15 = 15,46742%

Menit ke 25 = 17,80827%

Menit ke 35 = 18,5342%

Menit ke 45 = 17,54041%

Page 13: biofar p5

      Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa nilai % disolusi ada yang naik kemudian turun kembali di selang 10 menit setelahnya. Seharusnya % disolusi meningkat seiring bertambahnya waktu dan mencapai 75% di menit 45 sesuai persyaratan uji disolusi. Hal ini dapat terjadi disebabkan karena faktor pengikat dan disintegran. Dimana bahan pengikat dan disintegran mempengaruhi kuat tidaknya ikatan partikel-partikel dalam tablet tersebut sehingga mempengaruhi pula kemudahan cairan untuk masuk berpenetrasi ke dalam lapisan difusi tablet menembus ikatan-ikatan dalam tablet tersebut. Dalam hal ini pemilihan bahan pengikat dan disintegran dan bobot dari penggunaan bahan pengikat dan disintegran sangat berpengaruh terhadap laju disolusi. Selain itu penyebab lain yang mungkin adalah formulasi dari sediaan tablet yang kurang baik. Faktor formulasi yang mempengaruhi laju disolusi diantaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan) dan kekerasan.  Faktor lain yang menyebabkan hasil percobaan tidak akurat adalah kecepatan pengadukan saat uji. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Semakin lama kecepatan pengadukan maka laju disolusi akan semakin tinggi. Pada percobaan ini kecepatan pengadukannya rendah sehingga % disolusi yang dihasilkan pun rendah.

Selain itu Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang diperoleh antara lain :

o   Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.o   Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.o   Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan pipet volume.o   Terdapat kontaminasi pada larutan sampel.o   Suhu yang dipakai tidak tepat.

IX.        KesimpulanBerdasarkan hasil percobaan, diperoleh %disolusi tablet glycerol guaikolat setelah 45

menit yaitu antara 16 – 18 %. Hal ini menunjukkan bahwa %disolusi glycerol guaikolat tidak memenuhi syarat pada Farmakope Indonesia yang menyebutkan bahwa ‘dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 75 %’ sehingga bisa dikatakan %disolusi tablet glycerolguaikolat pada percobaan tidak bagus.

Page 14: biofar p5

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Gaya Baru. Jakarta.Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah Farida Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika          Terapan. Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti    Sjamsiah, Apt. Airlangga University Press. Surabaya.

Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta:Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Gadjah Mada   Press. Yogyakarta.

Read more: http://laporanakhirpraktikum.blogspot.com/2013/06/g.html#ixzz2eOu9OBD0

Kelarutan Intrinsik Obat

KELARUTAN INTRINSIK OBAT

A.    Tujuan

Tujuan percobaan ini adalah sebagai berikut.

a. Menerapkan faktor - faktor yang mempengaruhi kelarutan zat

b. Menjelaskan pengaruh pelarut campur terhadap kelarutan zat

B.     Landasan Teori

Bahan-bahan dapat dicampurkan menjadi satu larutan sejati, larutan koloid atau dispersi

kasar. Larutan sejati didefenisikan sebagai suatu campuran dari dua atau lebih komponen yang

membentuk suatu dispersi molekul yang homogeny, yaitu system suatu fase, dimana komposisinya

dapat bervariasi dengan luas. Suatu larutan yang dbangun oleh 2 macam zat saja dikenal sebagai

larutan biner, dan komponen atau konstituennya dikenal dengan nama pelarut dan zat terlarut.

Larutan dapat digolongkan sesuai dengan keadaan terjadinya zat terlarut dan pelarut, dan karena

Page 15: biofar p5

ada tiga wujud zat (padat, cair, dan gas), ada Sembilan kemungkinan sifat campuran homogeny

antara zat terlarut dan pelarut. Kelarutan gas dalam cairan adalah konsentrasi gas terlarut apabila

berada dalam kesetimbangan dengan gas murni diatas larutan. Kelarutan terutama bergantung pada

tekanan, temperature, adanya garam, reaksi kimia kadang-kadang terjadi antara gas dengan

pelarut. (Martin, 1990).

Istilah kelarutan dalam pengertian umum kadang-kadang perlu digunakan, tanpa

mengindahkan perubahan kimia yang mungkin terjadi. Pernyataan kelarutan zat dalam bagian

tertentu pelarut adalah kelarutan pada suhu 20o dan kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1

bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut

(Anonim, 1979).

Suatu larutan dikatakan jenuh apabila terjadi kesetimbangan antara fase solut dan fase

solven dalam larutan yang bersangkutan. Variabel-variabel yang dapat dipilih untuk penetapan

kelarutan yang dirumuskan oleh aturan Gibbs, yaitu F = C-P+2

F = derajat kebebasan

C = Jumlah komponen

P = Jumlah fasa (Anonim, 2011)

Untuk mengetahui kelarutan obat dalam tubuh salah satu cara yag dilakukan ialah dengan

uji disolusi. Waktu kelarutan obat di dalam tubuh sangat erat hubungannya dengan efektifitas obat

tersebut untuk menghilangkan rasa sakit bagi penderita. Semkin cepat obat tersebut larut maka

semakin efektif obat tersebut bekerja (Rachdiati,2008)

Pengaruh temperatur dan kelembaban udara terhadap kelarutan yaitu semakin tinggi suhu

maka harga konstanta laju kelarutan juga meningkat. Hal yang sama juga terjadi pada variasi RH,

semkin tinggi Variasi RH maka harga konstanta laju kelarutan juga meningkat (Ansar,2006).

Page 16: biofar p5

C.    Alat dan Bahan

1.      Alat

Alat – alat yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut.

a. Statif dan Klem

b. Erlenmeyer

c. Timbangan

d. Corong

e. Buret

f. Pipet tetes

g. Tabung reaksi

2.      Bahan

Bahan - bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut.

a. Asam salisilat

b. Air

c. Alkohol

d. Gliserol

e. Larutan NaOH 0,1 N

f. Phenolphtalein

g. Kertas Saring.

Page 17: biofar p5

D.    Prosedur Kerja

Page 18: biofar p5

 

E.  Hasil Pengamatan

a. Tabel Hasil Pengamatan

Tabung

ke-

Volume (ml) Volume NaOH yang

digunakan (ml)Air alkohol P. Glikol

1 6 0 4 9

2 6 0,5 3,5 6

3 6 1 3 5

4 6 1,5 2,5 3

5 6 3 1 2.5

6 6 3,5 0,5 6.5

7 6 4 0 6

b. Perhitungan

1. Molaritas NaOH

Diketahui : Normalitas NaOH = 0,1 N

Ditanyakan : Molaritas NaOH…….?

Perhitungan :

Page 19: biofar p5

Molar

2. Kadar asam salisilat

Tabung 1

Diketahui : V NaOH = 9 mL

M NaOH = 0,1 M

V asam salisilat = 5 mL

Ditanyakan : Kadar asam salisilat…….?

Perhitungan :

V NaOH x M NaOH = V asam salisilat x M asam salisilat

9 mL x 0,1 M = 5 mL x M asam salisilat

M asam salisilat = 0.18 M

Tabung II

Diketahui : V NaOH = 6 mL

M NaOH = 0,1 M

Page 20: biofar p5

V asam salisilat = 5 mL

Ditanyakan : Kadar asam salisilat…….?

Perhitungan :

V NaOH x M NaOH = V asam salisilat x M asam salisilat

6 mL x 0,1 M = 5 mL x M asam salisilat

M asam salisilat = 0,12 M

Tabung III

Diketahui : V NaOH = 5 mL

M NaOH = 0,1 M

V asam salisilat = 5 mL

Ditanyakan : Kadar asam salisilat…….?

Perhitungan :

V NaOH x M NaOH = V asam salisilat x M asam salisilat

5 mL x 0,1 M = 5 mL x M asam salisilat

M asam salisilat = 0,1 M

Tabung IV

Diketahui : V NaOH = 3 mL

M NaOH = 0,1 M

Page 21: biofar p5

V asam salisilat = 5 mL

Ditanyakan : Kadar asam salisilat…….?

Perhitungan :

V NaOH x M NaOH = V asam salisilat x M asam salisilat

3 mL x 0,1 M = 5 mL x M asam salisilat

M asam salisilat = 0,06 M

Tabung V

Diketahui : V NaOH = 2.5 mL

M NaOH = 0,1 M

V asam salisilat = 5 mL

Ditanyakan : Kadar asam salisilat…….?

Perhitungan :

V NaOH x M NaOH = V asam salisilat x M asam salisilat

2.5 mL x 0,1 M = 5 mL x M asam salisilat

M asam salisilat = 0,05 M

Tabung VI

Diketahui : V NaOH = 6.5 mL

M NaOH = 0,1 M

Page 22: biofar p5

V asam salisilat = 5 mL

Ditanyakan : Kadar asam salisilat…….?

Perhitungan :

V NaOH x M NaOH = V asam salisilat x M asam salisilat

6.5 mL x 0,1 M = 5 mL x M asam salisilat

M asam salisilat = 0,13 M

Tabung VII

Diketahui : V NaOH = 6 mL

M NaOH = 0,1 M

V asam salisilat = 5 mL

Ditanyakan : Kadar asam salisilat…….?

Perhitungan :

V NaOH x M NaOH = V asam salisilat x M asam salisilat

6 mL x 0,1 M = 5 mL x M asam salisilat

M asam salisilat = 0,12 M

3. Konstanta dielektrik (ε) masing-masing pelarut dalam pelarut campuran

1. Konstanta dielektrik air dalam pelarut campur

Pada tabung I – VII

Diketahui : ε air = 80,4

Page 23: biofar p5

V air = 60 (% v/v)

Ditanyakan : ε air dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε air dalam pelarut campur = ε air × % v/v air

=

= 48,24

2. Konstanta dielektrik etanol (alkohol)

Tabung I

Diketahui : ε alkohol = 25,7

V alkohol = 0 (% v/v)

Ditanyakan : ε alkohol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε alkohol dalam pelarut campur = ε alkohol × % v/v alkohol

= 25,7 ×

= 0

Tabung II

Diketahui : ε alkohol = 25,7

V alkohol = 5 (% v/v)

Ditanyakan : ε alkohol dalam pelarut campur…….?

Page 24: biofar p5

Perhitungan :

ε alkohol dalam pelarut campur=ε alkohol × % v/v alkohol

= 25,7 ×

= 1,285

Tabung III

Diketahui : ε alkohol = 25,7

V alkohol = 10 (% v/v)

Ditanyakan : ε alkohol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε alkohol dalam pelarut campur = ε alkohol × % v/v alkohol

= 25,7 ×

= 2,57

Tabung IV

Diketahui : ε alkohol = 25,7

V alkohol = 15 (% v/v)

Ditanyakan : ε alkohol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε alkohol dalam pelarut campur = ε alkohol × % v/v alkohol

Page 25: biofar p5

= 25,7 ×

= 3,855

Tabung V

Diketahui : ε alkohol = 25,7

V alkohol = 30 (% v/v)

Ditanyakan : ε alkohol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε alkohol dalam pelarut campur = ε alkohol × % v/v alkohol

= 25,7 ×

= 7,71

Tabung VI

Diketahui : ε alkohol = 25,7

V alkohol = 35 (% v/v)

Ditanyakan : ε alkohol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε alkohol dalam pelarut campur = ε alkohol × % v/v alkohol

= 25,7 ×

= 8,995

Tabung VII

Page 26: biofar p5

Diketahui : ε alkohol = 25,7

V alkohol = 40 (% v/v)

Ditanyakan : ε alkohol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε alkohol dalam pelarut campur = ε alkohol × % v/v alkohol

= 25,7 ×

= 10,28

3. Konstanta dielektrik propilen glikol

Tabung I

Diketahui : ε p.glikol = 42.5

V gliserol = 40 (% v/v)

Ditanyakan : ε gliserol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε gliserol dalam pelarut campur = ε × % v/v

= 42.5 ×

= 17

Tabung II

Diketahui : ε p.glikol = 42.5

V gliserol = 35 (% v/v)

Page 27: biofar p5

Ditanyakan : ε gliserol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε gliserol dalam pelarut campur = ε × % v/v

= 42.5 ×

= 14.875

Tabung III

Diketahui : ε p.glikol = 42.5

V gliserol = 30 (% v/v)

Ditanyakan : ε gliserol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε gliserol dalam pelarut campur = ε × % v/v

= 42.5 ×

= 12.75

Tabung IV

Diketahui : ε p.glikol = 42.5

V gliserol = 25 (% v/v)

Ditanyakan : ε gliserol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

Page 28: biofar p5

ε gliserol dalam pelarut campur = ε × % v/v

= 42.5 ×

= 10.625

Tabung V

Diketahui : ε p.glikol = 42.5

V gliserol = 10 (% v/v)

Ditanyakan : ε gliserol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε gliserol dalam pelarut campur = ε × % v/v

= 42.5 ×

= 4.25

Tabung VI

Diketahui : ε p.glikol = 42.5

V gliserol = 5 (% v/v)

Ditanyakan : ε gliserol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε gliserol dalam pelarut campur = ε × % v/v

= 42.5 ×

Page 29: biofar p5

= 2,125

Tabung VII

Diketahui : ε p.glikol = 42.5

V gliserol = 0 (% v/v)

Ditanyakan : ε gliserol dalam pelarut campur…….?

Perhitungan :

ε gliserol dalam pelarut campur = ε × % v/v

= 42.5 ×

= 0

4. Konstanta dielektrik pelarut campur

Tabung

Ke-ε air ε alkohol ε P.Glikol

ε pelarut campur

(ε air + ε alkohol + ε gliserol)

Konsentrasi

Asam Salisilat

1 48,24 0 17 65,24 0,18

2 48,24 1,285 14.875 64,4 0,12

3 48,24 2,57 12.75 63,56 0,1

4 48,24 3,855 10.625 62.72 0,06

5 48,24 7,71 4.25 60,2 0,05

Page 30: biofar p5

6 48,24 8,995 2,125 59,36 0,13

7 48,24 10,28 0 58,52 0.12

c.   Kurva

  Adapun

hubungan antara kelarutan asam salisilat dengan harga konstanta dielektrik bahan pelarut

campur, dapat digambarkan dengan kurva berikut.

F.         Pembahasan

Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat terlarut(solute),

untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan dalam jumlah maksimum zat terlarut

yang larut dalam suatu pelarut pada kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat

tertentu dapat larut dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut.

Page 31: biofar p5

Pada praktikum kali ini, dilakukan uji kelarutan terhadap asam salisilat dalam pelarut

propilen, etanol, dan campuran antara propilen glikol dengan volume masing-masing pelarut

divariasikan yang dimasukkan dalam tujuh tabung berbeda.

Uji pada tabung pertama dengan penambahan propilen glikol sebanyak 4 ml dan tanpa

penambahan etanol. Setelah dilakukan penggojogan selama 30 menit, sampel pada tabung I dititrasi

dengan NaOH 0.1N dan diperoleh volume NaOH sebanyak 9 ml saat titik akhir titrasi. Dengan

mengetahui volume NaOH, maka kemudian juga dapat menentukan konsentrasi asam salisilat, yaitu

sebesar 0.18M. Secara teori, asam salisilat tidak akan larut sempurna di dalam propilen glikol. Ini

disebabkan bahwa asam salisilat mempunyai sifat polar dan non-polar dilihat dari struktur

molekulnya. Sifat polar berasal dari gugus –OH dan sifat non-polar berasal dari gugus benzennya.

Berdasarkan perhitungan yang telah kami lakukan molaritas asam salisilat dari masing-masing

tabing adalah sebagai berikut.

Tabung ke- Konsentrasi (M) Asam Salisilat

1 0

2 0,28

3 0,1

4 0,12

5 0,12

6 0,3

7 0,22

Berdasarkan data diatas maka dapat dilihat bahwa pada tabung nomor 1 jumlah molaritasnya

yang paling kecil (0) dan tabung nomor 2 merupakan jumlah molaritasnya yang paling besar.

Page 32: biofar p5

Semakin kecil nilai konstanta dielektiknya maka jumlah asam salisilat yang terlarut semakin

besar dan begitu juga sebaliknya semakin besar nilai konstanta dielektriknya maka jumlah asam

salisilat yang terlarut semakinsedikit. Sesuai dengan hasil perhitungan yang ada,didapat pada tabung

nomor 1 nilai konstanta dielektriknya sebesar 68.24, angka ini merupakan angka yang paling besar

dari ke enam tabung yang lain. Oleh karena itu jumlah asam salisilat yang terlarut pada tabung

1 lebih besar dibanding dengan tabung yang lain.

Sedangkan pada tabung nomor 7 memiliki nilai konstanta dielektrik yang paling kecil yaitu

58.52, ini berarti jumlah asam salisilat yang terlarut pada tabung nomor 7 lebih kecil disbanding

dengan tabung yang lainnya.

G.                Kesimpulan

Dari percobaan ini dapat disimpulkan :

1. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat adalah sifat fisika dan kimia zat

terlarut dan pelarut, temperatur, tekanan, pH larutan, viskositas zat, pengadukan, ukuran partikel,

polimorfisme, sifat permukaan zat dan untuk jumlah yang lebih kecil bergantung pada hal

terbaginya zat terlarut. Untuk zat cair dan zat padat, tekanan mempunyai efek yang kecil terhadap

kelarutan.

2. Penggunaan larutan campuran mempengaruhi jumlah asam salisilat yang terlarut. Hal ini dibuktikan

dengan konsentrasi asam salisilat yang berbeda pada masing – masing tabung (tabung telah dibuat

dalam tujuh perlakuan yang berebeda).

Page 33: biofar p5

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI. Jakarta

Anonim. 2011. PenuntunPraktikum Farmasi Fisik I. Kendari : Universitas Haluoleo.

Ansar,dkk.2006.Pengaruh Temperatur dan Kelembaban Udara Terhadap Kelarutan Tablet effervescent. Majalah Farmasi Indonesia, 17(2). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Rachdiati,henny, dkk.2008.Penentuan Waktu Kelarutan Parasetamol Pada Uji Disolusi.Jurnal Nusa Kimia Vol 8 No.1 : 1-6.

Martin,A, dkk. 1990.Farmasi Fisik.Universitas Indonesia Press. Jakarta