chronika biofar edisi terbaru

Upload: steven-multytalent-manchunian

Post on 14-Jul-2015

2.525 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Uji Disolusi dan Bioavailabilitas Dalam arti luas, obat adalah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup. Respon biologis tubuh terhadap suatu obat merupakan hasil interaksi antara zat obat dengan molekul-molekul yang penting secara fungsional dalam system hidup yaitu reseptor. Respon disebabkan oleh perubahan dalam proses biologis yang ada sebelum pemberian obat. Besarnya respon yang dihasilkan berhubungan dengan konsentrasi obat yang dicapai pada tempat obat tersebut bekerja. Konsentrasi ini tergantung pada banyaknya dosis obat yang diberikan, besarnya absorbsi dan distribusi ke tempat tersebut, dan laju serta besarnya obat yang dieliminasikan dari tubuh (Ganiswara, 1995). Setiap produk farmasi tertentu merupakan formulasi yang unik tersendiri. Di samping ramuan terapeutik yang aktif, formulasi inipun masih mengandung sejumlah unsur-unsur nonterapeutik. Bila dihubungkan dengan absorpsi dari obat maka setiap obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya diabsorpsi dengan buruk. Tiap obat harus dievaluasi satu-persatu dan diketahui cara pemberian yang paling baik dan dipersiapkan bentuk sediaanya. Suatu obat tunggal mungkin diformula menjadi bentuk sediaan yang banyak memberikan kecepatan absorpsi dan waktu mulai kerja obat (onset) serta puncak dan lamanya kerja obat yang berlainan (Anief, 2000). Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai

1

sistem sirkulasi sistemik dan menunjukkan kinetik perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan salah satu tujuan dalam merancang suatu bentuk sediaan dan keefektifan obat tersebut. Pengkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut (Syukri, Y. 2002). Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavalabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi sama sekali. Oleh karena faktor-faktor tersebut terlibat di dalam bioavalibilitas obat, khususnya pada absorpsi dalam saluran cerna, maka kadar obat sesudah pemakaian enteral dapat lebih bervariasi dibandingkan kadar obat sesudah pemakaian prentral (Shargel, 1988). Dari keterangan di atas maka dilakukan studi biofarmasi untuk melihat pengaruh bentuk sediaan terhadap laju absorpsi dan pengaruh rute pemberian terhadap parameter farmakokinetik.

1.1.2. Bioekivalensi Biofarmasi meneliti pengaruh formulasi obat terhadap efek terapetiknya. Dengan kata lain dalam bentuk sediaan mana, obat harus dibuat agar

2

menghasilkan efek yang optimal. Ketersediaan hayati obat dalam tubuh untuk diresorpsi dan juga untuk melakukan efeknya. Begitu pula kesetaraan terapeutis dari sediaan yang mengandung zat aktif sama. Istilah ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya ketidaksetaraan terapetik diantara sediaan bermerek dagang yang mengandung zat aktif yang sama dan dalam bentuk sediaan yang sama, serta diberikan dengan dosis yang sama. Berbagai kejadian (zat aktif menjadi tidak aktif atau menjadi toksik) dapat menyebabkan ketidaksetaraan tersebut. Studi biofarmasetika menyatakan bahwa metode fabrikasi dan formulasi akan mempengaruhi ketersediaan hayati suatu obat (Syukri, Y. 2002). Bioekivalensi produk obat adalah suatu sediaan yang laju dan jumlah absorpsinya tidak berbeda secara bermakna apabila diberikan dalam dosis dan kondisi yang sama. Beberapa obat ya ng mempunyai jumlah absorpsi sama tetapi berbeda dalam jumlah absorpsi dapat dianggap ekivalen farmasetik apabila perbedaan laju absorpsi tidak menyebabkan perbedaan efek klinik yang bermakna. Alasan utama dilakukannya studi bioekivalensi oleh karena produk obat yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding pada penderita (Shargel, 1988). Dua tablet yang mengandung zat aktif sama dengan kadar obat yang sama tetapi dari pabrik yang berlainan atau formula yang berlainan tidak selalu menghasilkan kadar obat dalam darah dan efek terapi yang sama. Kadang-kadang tablet dari satu pabrik tetapi dari batch yang berlainan dapat pula memberi efek yang berbeda. Ini disebabkan karena ketersediaan hayati masing-masing tablet saling berbeda. Kesetaraan terapeutik dari sediaan sediaan farmasi sangat

3

penting terutama untuk obat yang luas terapinya kecil dan aktivitasnya tergantung pada kadar plasma yang tetap, misalnya Digoksin, Deksametason dan sebagainya (Anief, 2000).

Dari keterangan di atas maka dilakukan studi biofarmasi untuk mengetahui bioekivalensi antara obat generik Furosemida dan obat paten Lasix.

1.2 Tujuan percobaan Untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan terhadap uji absorbsi. Untuk mengetahui pengaruh rute pemberian obat terhadap parameter farmakokinetik. Untuk mengetahui bioekivalensi dari dua produk obat yaitu obat generik dan obat paten.

1.3. Manfaat Percobaan - Untuk mengetahui cara pembuatan pereaksi yang digunakan dalam percobaan uji invitro, serta mengetahui prosedur pembuatan bahan dalam uji pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi. - Dapat mengetahui parameter parameter bioavailabilitas dan praktian dapat mengetahui perhitungan parameter parameter bioavailabilitas.

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uji Disolusi dan Bioavailabilitas

2.1.1. Uraian Bahan 2.1.1.1. Sulfadiazin

Nama kimia Nama IUPAC Nama lazim Rumus kimia BM Pemerian

: N-2-piridinil sulfanilamida : 4-amino-N-pyrimidin-2-yl-benzenesulfonamida : sulfadiazinum/sulfadiazine : C10H10N4O2S : 250,27 : serbuk, putih sampai agak kuning; tidak berbau atau hampir tidak berbau; stabil di udara tetapi pada pemaparan cahaya perlahan-lahan menjadi hitam.

Kelarutan

: praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam asam mineral encer, dalam larutan kalium hidroksida, dalam larutan natrium hidroksida dan dalam ammonium hidroksida; agak sukar larut dalam etanol dan dalam aseton; sukar larut dalam serum manusia pada suhu 37oC. (Ditjen POM, 1995).

5

2.1.1.1.1. Farmakologi Derivat pirimidin ini ( 1947 ) bersama sulfametaksazol dan sulfafurazol memiliki kegiatan atas dasar mg yang terkuat dari semua sulfa. Reasorbsinya dari usus agak lambat, sehingga sebagian obat bisa mencapai usus besar. Oleh karena itu, sulfadiazin berkhasiat terhadap disentri basiler, bahkan lebih efektif dibandingkan klorampenikol dan tetrasiklin. PP-nya paling rendah, rata rata 40 %, maka kadar obat dalam cairan obat paling tinggi dan sering digunakan poada meningitis. Plasma t nya 10 jam. Sulfadiazin merupakan obat pilihan kedua umtuk infeksi saluran kemih. Daya larutnya dalam kemih agak buruk ( sering menyebabkan kristaluria ) sehingga perlu diberikan natrium bikarbonat 3 kali sehari 3-4 g dan minum air lebih kurang 1,5 liter sehari. Dosis permulaan 2-4 g, kemudian 4-6 dd 1 g ( Tjay Tan Hoan dan R. Kirana, 2002).

2.1.1.1.2. Efek Samping Nausea, gangguan pencernaan, kurang nafsu makan, dan juga pusing. (Anonim, 2006)

2.1.1.1.3. Nama Dagang Lantrisul; Neotrizine; Sulfa-Triple; Sulfadiazine; Sulfaloid;

Sulfonamides Duplex; Sulfose; Terfonyl; Triple Sulfa; Triple Sulfas; Triple Sulfoid.

6

2.1.1.2. Furosemida (Uji Bioekevalensi)

Nama kimia Nama IUPAC

: Asam 4-kloro-N-furfuril-5-Sulfanoilantranilat : 5-( aminosulfonyl )-4-chloro-2-[( 2-furanylmethyl )amino] benzoic acid

Nama lazim Rumus kimia BM Pemerian Kelarutan

: Furosemidum/furosemida : C12H11N2ClO5S : 330,745 : serbuk hablur, putih sampai hampir kuning; tidak berbau. : praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton, dalam dimetilformamidadan dan dalam larutan alkali hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).

2.1.1.2.1. Farmakologi Turunan sulfonilamida ini berdaya diuretis kuat dan bertitik kerja dilingkungan henle bagian menaik. sangat efektif pada keadaan udem diotak dan paru paru yang akut. mulai kerjanya pesat secara oral dalam 0,5- 1 jam dan bertahan 4 6 jam, intravena dalam beberapa menit dan 2,5 jam lamanya. Reabsorbsinya dari usus hanya lebih kurang 50 %, PP nya 97 %,Plasma t nya 30 60 menit. Eksresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi

7

juga melalui empedu. Efek sampingnya berupa umum, pada injeksi iv terlalu cepat dan jarang terjadi ketulian ( reversibel ) dan hipotensi, hipokaliemia reversible dapat pula terjadi. Dosis pada udema oral 40- 80 mg, jika perlu atau pada insufisiensi ginjal sampai 250-4000 mg sehari salam 2-3 dosis, injeksi iv ( perlahan ) 20-40 mg, pada keadaan kemelut hipertensi sampai 500 mg. Penggunaan im tidak dianjurkan ( Tjay Tan Hoan dan R. Kirana, 2002).

2.1.1.2.2. Interaksi Obat Antibiotik Aminoglikosida, Contoh: Garamycin Aspirin dan salisilat lainnya Indometasin Litium Sinergik dengan antihipertensi lain, contoh: Doxazosin Sucralfate

2.1.1.2.3. Data Farmakokinetik - Bioavabilitas - Metabolisme - Waktu Paruh - Eksresi - Rute ( Anonim, 2006) : 43-69% : Hati dan ginjal : sampai 100 menit : Renal 66% dan Biliari 33% : Oral, IV, IM

8

2.1.1.2.4. Nama dagang Aisemide, Dryptal, Beronald, Desdemin, Eutensin, Discoid, Frusetic, Diural, Frusid, Diurapid, Fulsix,

Durafurid,

Errolon,

Fuluvamide, Furesis, Furo-Puren, Furosedon, Hydro-rapid, Impugan, Katlex, Lasilix, Lasix, Lodix, Lowpston, Macasirool, Mirfat, Nicorol, Odemase, Profemin, Rosemide, Rusyde, Salix, Trofurit, Urex.

2.1.2. Bioavaibilitas 2.1.2.1. Defenisi Bioavaibilitas Ketersediaan hayati merupakan karakter suatu obat yang diberikan pada sistem biologis utuh. Secara keseluruhan ketersediaan hayati menunjukkan kinetik dan perbandingan kadar zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Istilah ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya ketidaksetaraan terapetik diantara sediaan bermerek dagang yang mengandung zat aktif sama dan dibuat dalam bentuk sediaan farmasetik yang serupa, serta diberikan dengan dosis yang sama. Beberapa kejadian ( zat aktif menjadi tidak aktif atau toksik ) dapat merupakan sebab ketidaksetaraan tersebut. Dari data kadar zat aktif dalam darah dapat diketahui ketersediaan hayati dan dosis manfaat yang merupakan bagian yang diserap dari dosis yang diberikan. Kesulitan yang dihadapi adalah kadang kadang tidak mungkin melakukan pengujian yang teliti tentang perubahan efek terapi obat. Pada proses disposisi zat aktif dalam tubuh, ketersediaan hayati merupakan indeks potensial terapetik suatu obat dan menunjukkan suatu karakteristik yang penting.

9

2.1.2.2. Evaluasi Bioavaibilitas Evaluasi ketersediaan hayati memerlukan kerjasama suatu tim pakar, karena : Keragaman reaksi makhluk hidup, kesulitan penetapan kadar runutan

senyawa kimia obat dalam cairan biologis, pengaruh subyek hidup dan pengaruh bentuk sediaan farmasi. Pemahaman keberadaan obat di dalam tubuh mendasari pembuatan

protokol percobaan. Jadi analisis hasil percobaan memerlukan seseorang pakar farmakokinetik yang dapat bekerja sama. Penelitian ketersediaan hayati kadang kadang memerlukan biaya yang mahal karena harus menggunakan subyek manusia. Oleh sebab itulah sebelum melakukan penelitian ketersediaan hayati perlu dilakukan serangkaian persiapan yang lengkap dan rinci agar dapat mengolah data yang diperoleh dan melakukan interpretasi yang cermat. Evaluasi ketersediaan hayati suatu obat atau berbagi bentuk sediaan farmasi dengan zat aktif yang sama mempunyai tiga tujuan yaitu : Dalam rangka pengembangan obat baru yaitu untuk menentukan cara

pemberian dan bentuk sediaan dan cara pemberian suatu obat baru. Setelah keputusan dibuat obat baru : untuk menetapkan mutu suatu obat

dan pengaturan kondisi pemakaian suatu obat dan pengaturan kondisi pemakaian obat sebagai fungsi dari keadaan penderita. Berkaitan dengan undang undang ; untuk memastikan kesetaraan mutu

obat yang diteliti dengan mutu obat sejenis yang dihasilkan oleh pabrik lain, sehingga memungkinkan penggantian obat ( Aiache, 1993 )

10

Studi

bioavailabilitas

atau

ketersediaan

hayati

(BA)

dan

atau

bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE) memainkan peranan penting dalam suatu periode pengembangan obat baru dan ekivalensi generiknya. Kedua studi itu penting juga untuk menyetujui adanya perubahan dalam manufacturing/formulasi produk obat. Studi bioavailabilitas (BA) dan bioekivalensi (BE) menyediakan informasi penting yang menjamin keamanan dan keefektifan obat bagi pasien. BA dan BE seringkali dinyatakan dalam luas di bawah kurva (area under curve) konsentrasi obat dalam plasma darah - waktu (AUC) dan konsentrasi maksimum obat dalam plasma darah (Cmax). Dari profil tersebut dapat diinterpretasikan tersedianya kadar obat dalam plasma darah yang memadai yang dapat dipertahankan dalam rentang waktu tertentu sehingga obat tersebut dapat menghasilkan efek terapi yang diinginkan. Dengan studi BE maka dimungkinkan untuk membandingkan profil pemaparan sistemik (darah) suatu obat yang memiliki bentuk sediaan yang berbeda-beda (tablet, kapsul, sirup, salep, suppositoria, dan sebagainya), dan diberikan melalui rute pemberian yang berbeda-beda (oral, rektal, transdermal). Bioavailabilitas/ketersediaan hayati (BA) dapat didefinisikan sebagai rate (kecepatan zat aktif dari produk obat diabsorpsi/diserap di dalam tubuh ke sistem peredaran darah) dan extent (besarnya jumlah zat aktif dari produk obat yang dapat masuk ke sistem peredaran darah), sehingga zat aktif/obat tersedia pada tempat kerjanya untuk menimbulkan efek terapi/penyembuhan yang diinginkan. Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE) dapat didefinisikan, tidak adanya perbedaan secara signifikan/bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua

11

produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan produk obat uji dan tablet B yang merupakan produk obat pembanding (inovator), sehingga menjadi tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya diberikan dalam dosis zat aktif yang sama dan dalam desain studi yang tepat. Yang perlu diperhatikan dalam studi BA dan atau BE adalah perbedaan luas di bawah kurva konsentrasi zat aktif/obat dalam plasma - waktu (AUC) yang teramati, yang dinilai sebagai perbedaan efisiensi absorpsi obat karena adanya perbedaan kualitas produk obat yang dipengaruhi formulasi.

2.1.2.3. Metode Penenilaian Bioavaibilitas Penilaian ketersediaan hayati pada sukarelawan dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode dengan menggunakan data darah, data urin dan data farmakologis atau klinis. Data darah atau data urin lazim digunakan untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiatnya telah diketahui cara dan validitasnya. Jika cara dengan validitas analisis belum diketahui, dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif. Meskipun metode ekskresi urin mempunyai keuntungan diantaranya menghindari gangguan dan bahaya dari pengambilan secara intravena, namun metode ini juga mempunyai kerugian diantaranya tidak semua obat diekskresikan melalui urin sehingga ekskresi urin hanya mewakili sebagian kecil dari fraksi kecil ketersediaan hayati obat. Ada beberapa metode langsung dan tidak langsung untuk penilaian ketersediaan hayati pada manusia. Pemilihan metode bergantung pada tujuan

12

studi, metode analisis untuk penetapan kadar obat dan sifat produk obat. Parameter-parameter yang berguna dalam penentuan ketersediaan hayati suatu obat meliputi : 1. Data plasma a.waktu untuk mencapai konsentrasi plasma maksimal (tmaks), satuannya adalah satuan waktu misalnya, menit dan jam b.konsentrasi plasma maksimal dalam darah (Cmaks), satuannya adalah satuan konsentrasi, misalnya g/ml dan mg/ml c.luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu dari t = 0 sampai t = ~ (AUC < 0-~) menunjukkan suatu ukuran dari jumlah total obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik AUC tidak tergantung pada rute pemberian dan proses eliminasi obat selama proses eliminasi obat tidak berubah. AUC dapat ditentukan dengan suatu prosedur integrasi numeric, metode rumus trapesium atau secara langsung dengan menggunakan planimeter. Satuan AUC adalah konsentrasi waktu (misalnya, mg jam/ml). 2. Data urin Agar didapat perkiraan yang sahih, obat harus diekskresi dalam jumlah yang bermakna di dalam urin dan cuplikan urin harus dikumpulkan secara lengkap. a.jumlah kumulatif obat yang diekskresi dalam urin (Du). Data ini secara langsung berhubungan dengan jumlah total obat terabsorpsi b.laju ekskresi obat dalam urin (dDu/dt) c.waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimum dalam urin (t~)

13

3. Efek farmakologi akut Merupakan pengukuran kuantitatif yang dilakukan dengan melihat efek farmakologi akut yang ditimbulkan, misalnya efek pada diameter pupil, kecepatan denyut jantung atau tekanan darah dapat digunakan sebagai indeks dari ketersediaan hayati obat. Penggunaan efek farmakologi obat untuk menentukan ketersediaan hayati memerlukan adanya kaitan dosis-respon. Dengan demikian ketersediaan hayati dapat ditentukan dengan memeriksa kurva dosis-respon maupun total area dari kurva efek farmakologi akut-waktu. 4. Respon klinik Perbedaan dari respon klinik mungkin disebabkan oleh perbedaan farmakokinetika atau farmakodinamika obat antar individu produk-produk obat yang bioekivalen harus mempunyai ketersediaan hayati yang sistemik yang sama, sehingga respon obat yang sama dapat diperkirakan. Oleh sebab itu, perubahan respon klinik antar individu yang tidak dikaitkan dengan ketersediaan hayati mungkin disebabkan adanya perbedaan dalam farmakodinamika obat diantaranya adalah umur, toleransi obat, interaksi obat dan faktor-faktor patofisiologik yang tidak diketahui (Syukri, 2002).

2.1.2.4. Faktor Faktor farmasetik yang mempengaruhi Bioavaibilitas Obat Bioavaibilitas obat aktif dalam suatu bentuk sediaan padat bergantung pada beberapa faktor, yang meliputi : Disintegrasi produk obat dan pelepasan partikel obat aktif

14

Secara umum telah dikenal sejak beberapa tahun yang lalu bahwa sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi kedalam partikel partikel kecil dan melepaskan obat. Pelarutan obat Pelarutan merupakan proses dimana zat kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdistegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorpsi obat. Absorpsi atau permeasi obat melintasi membran sel

2.1.2.5. Kegunaan Uji Bioavailabilitas Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan : a. jumlah atau bagian obat yang diabsorpsi dari bentuk sediaan b. kecepatan obat diabsorpsi c. masa kerja obat berada dalam cairan biologic atau jaringan, bila dihubungkan dengan respon pasien d. hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi atau efek toksik M.E.C. =Minimum Effective Concentration = kadar obat minimum dalam darah yang masih berefek. A.U.C. =Area Under the Curve = daerah di bawah kurva. Dalam industri farmasi ketersediaan hayati dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih dan menyusun formula sediaan obat dengan :

15

a. membandingkan macam-macam formulasi substansi obat untuk menentukan formula mana yang paling cocok mengenai absorpsi obatnya b. membandingkan ketersediaan hayati substansi obat dari bermacam-macam batch sediaan obat yang diproduksi. c. membandingkan ketersediaan hayati substansi obat dari bermacam-macam sediaan obat seperti tablet, kapsul, eliksir. d. membandingkan ketersediaan hayati substansi obat dari sediaan obat yang sama tapi dari lain pabrik (Anief, 1994).

2.1.3. Disolusi 2.1.3.1. Defenisi Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut(Syukri.Y,2002). Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi dan degradasi sediaan, merupakan faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat sediaan. Kecepatan disolusi obat merupakan tahap pembatas kecepatan (rute limiting step) sebelum obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna, ada dua kemungkinan yang akan berfungsi sebagai pembatas kecepatan. Bahan berkhasiat dari sediaan padat tersebut pertama-tama

16

harus terlarut, sesudah itu barulah obat yang berada dalam larutan melewati membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat, obat akan berdifusi secara pasif atau transport aktif, kelarutan obat merupakan pembatas kecepatan absorpsi melalui membran saluran cerna. Sebaliknya, kecepatan obat yang kelarutannya kecil akan dibatasi, karena kecepatan disolusi dari obat tidak larut atau disintegrasi sediaan relatif pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif. Apabila kecepatan absorpsi tidak dapat ditentukan oleh salah satu dari dua tahap, maka tidak satupun dari kedua tahap merupakan pembatas kecepatan (Syukri.Y,2002).

2.1.3.2. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Uji Disolusi A. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat. Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi (Syukri.Y,2002). B. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat. Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi (Syukri.Y,2002).

17

C. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut: suspensi, kapsul, tablet dan tablet salut. Secara toritis disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama, karena di antara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul, tablet-kaplet, suppositoria, suspensi, topikal dan transdermal. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju disolusi. Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama. Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi di antaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan dan porositas (Syukri.Y,2002).

18

D. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metoda uji yang dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat. Metoda penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda tergantung pada metode uji yang digunakan (Syukri, Y. 2002).

2.1.3.3. Metode Uji disolusi Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian antara persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul , kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi , uji disolusi atau uji waktu hancur tidak setara khusus dinyatakan untuk sediaan bersalut enterik, maka digunakan cara pengujian untuk sediaaan lepas lambat , kecuali dinyatakan lain pada masing-masing monografi (Ditjen POM, 1995). Alat uji disolusi yang digunakan dalam percobaan adalah dissolution tester metode pengaduk bentuk dayung. Alat terbuat dari sebuah wadah tertutup yang

19

terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor dan alat dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk . Batang berada pada posisi sedemikian rupa sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yanag berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata.Dayung memenuhi spesifikasi denagan jarak 25 mm lebih kurang 2mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian

berlangsung. Daun dan batang batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut yang inert Sediaan dibiarkan tenggelam di dasar wadah sebelum dayung mulai diputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah menyapunya sediaan . Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37 + 0,5 C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas halus dan tetap .Pada bagian atas wadah ujungnya melebar , untuk mencegah penguapan dapat digunakan suatu penutup yang pas . Batang logam berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur kecepatan digunakan sehingga memungkinkan untuk memilih kecepatan putar yang dikehendaki dan mempertahankan kecepatan seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas lebih kurang sekitar 4% .(Ditjen POM,1995).

20

2.2.

Bioekivalensi

2.2.1. Kesetaraan Obat Berbagai penelitian membuktikan adanya resiko yang berkaitan engan pemahaman yang terlalu sederhana tenyang notasi kesetaraan obat. Kesetaraan obat dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu : Kesetaraan farmakoklinik yaitu kesetaraan dua obat dengan 2 molekul berbeda tapi memiliki aktivitas intrinsik yang sama dan yang secara in vivo bekerja pada substrat molekular yang sama. Kesetaran kimia yaitu kesetaran 2 obat yang masing masing dengan cara dan dosis zat aktif yang sama. Kesetaraan farmasetik yaitu kesetaraan antara dua bentuk yang sama dengan zat aktif dan dosis lazim yang sama. Kesetaraan biologik atau bioekuivalen yaitu obat yang mempunyai kesetaraan kimia atau kesetaraan farmasetik, yang bila diberikan dengan posologi yang sama dengan mengacu pada kadar obat dalam darah, menunjukkan kriteria ketersediaan hayati yang sama pada setiap individu. Kesetaraan klinik atau terapetik yaitu obat dengan kesetaraan

farmakologik, kimia atau farmasetik, yang bila diberikan dengan posologi yang sama akan memberikan efektivitas terapetik yang sama dan terkendali serta mempunyai toksisitas yang sama ( Aiache, 1993 ). Kesetaraan jumlah obat dalam sediaan belum tentu menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu yang disebut ekuivalensi biologik atau bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia tetapi tidak berekuivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioinekuivalensi. Ini terutama

21

terjadi pada obat obat yang bioekuivalensinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna, misalnya digoksin dan difenilhidantoin, dan pada obat obat yang mengalami metabolisme selama absorpsinya misalnya eritromisin dan levodopa. Perbedaan bioavaibilitas sampai dengan 10 % umumnya tidak menimbulkan perbedaan yang berarti terutama dalam efek kliniknya , artinya memperlihatkan ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10 % dapat menimbulkan inekuivalensi terapi, terutama untuk obat obat yang memiliki indeks terapinya sempit, misalnya pada obat jantung digoksin, difenilhidantoin dan juga teofilin (Ganiswara,S,1995 ) . Ekuivalensi kimia, kesetaraan jumlah obat dalam sediaan belum tentu menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu yang disebut ekuivalensi biologi atau bioekivalensi. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia tetapi tidak berekuivalensi biologik dikatakan memperlihatkan

bioinekuivalensi. Ini terutama terjadi pada obat-obat yang absorbsinya lambat karena sukar larut dalam saluran cerna, misalnya digitoksin dan difenilhidantoin, dan pada juga pada obat yang mengalami metabolisme selama absorbsinya, misalnya eritromisin dan levedopa. Perbedaan bioavalaibilitas sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya memperlihatkan ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat menimbulkan inekuivalensi terapi .

2.2.2. Studi Bioekivalensi Bioekivalensi produk obat adalah suatu sediaan yang laju dan jumlah absorpsinya tidak berbeda secara bermakna apabila diberikan dalam dosis dan

22

kondisi yang sama. Beberapa obat yang mempunyai jumlah absorpsi sama tetapi berbeda dalam jumlah absorpsi dapat dianggap ekivalen farmasetik apabila perbedaan laju absorpsi tidak menyebabkan perbedaan efek klinik yang bermakna (Syukri, 2002). Dalam studi bioekivalensi, satu formulasi obat dipilih sebagai standar pembanding dari formulasi obat yang lain. Standar pembanding hendaknya

mengandung obat aktif terapetik dalam formulasi yang paling banya berada dalam sistemik (yakni larutan atau suspensi) dan dalam jumlah sama seperti formulasi lain yang dibandingkan. Pembanding hendaknya diberikan dengan rute yang sama seperti formulasi yang dibandingkan kecuali kalau suatu rute lain atau rute tambahan diperlukan untuk menjawab masalah farmakokinetika tertentu. Sebagai contoh, jika suatu obat aktif sangat sedikit berada dalam sistemik setelah pemberian oral, maka obat dapat dibandingkan baik setelah pemberian oral maupun intra vena. Bila standar pembanding tidak tersedia dapat diganti dengan produk lain, berupa suatu formulasi yang sedang leading di pasaran dan telah diakui oleh NDA yang secara ilmiah mempunyai data keamanan dan efikasi yang sahih. Produk obat pembanding hendaknya merupakan produk yang diterima oleh profesi kesehatan, disebut juga dengan produk innovator atau produk dari pabrik yang pertama memproduksi obat tersebut (Shargel, L.1988). Perbedaan dalam bioavaibilitas antara produk-produk obat dari zat terapeutik terjadi karena perbedaan bahan formulasi yang digunakan, metode dari pabrik-pabrik pembuat yang digunakan, prosedur kontrol kualitas dalam proses pembuatan, dan metode pengolaan, pengemasan dan penyimpanan. Banyak variabel-variabel yang dapat menyebabkan perbedaan antar produk adalah

23

banyak. Misalnya, dalam pembuatan tablet, bahan atau jumlah bahan yang berbeda dari komponen formulasi seperti pengisi, zat pengembang, pengikat, pengisi, zat warna, pemberi rasa dan penyalutan yang digunakan. Ukuran partikel dan bentuk kristal dari suatu bahan farmasi dapat bervariasi antar formulasi. Menurut Food and Drug Administration, produk obat adalah ekuivalen secara farmasi jika produk tersebut mengandung bahan sama dan sama kekuatan, bentuk sediaan dan rute pemberiannya. Produk dianggap ekuivalen secara terapi jika obat tersebut ekuivalen secara farmasi dan dapat diharapkan memberikan efek terapi yang sama bila diberikan ke pasien pada kondisi yang dinyatakan dalam etiket (Ansel, 1989). Hasil pengujian suatu obat dengan membandingkan ketersediaan hayati obat tersebut dengan salah satu sediaan dipasaran dan mengandung zat aktif sejenis serta telah digunakan akan mempengaruhi keputusan diterima atau ditolaknya suatu obat. Tujuan suatu penelitian ketersediaan hayati, dalam hal ini adalah memindahkan karakter yang sudah diakui dinegara negara tertentu dan menerapkan karakter tersebut di negara lain. Jenis percobaan ini tidak mempermasalahkan integralitas maupun pre kinetik disposisi zat aktif suatu obat yang telah diketahui dan yang digunakan sebagai opembanding. Dengan demikian data tersebut mencerminkan ketersediaan hayati relatif obat yang diteliti terhadap pembanding Membandingkan ketersediaan obat baru dengan obat pembanding yang dapat atau tidak dapat diberikan pada jalur pemberiaan obat yang sama akan mempengaruhi penilaian hasil penelitian. Ketaatan pada protokol harus dijaga sedemikian agar mendekati keadaan teoritis.

24

Pada pemilihan subjek, agar keadaannya mendekati keadaan terapetik sesungguhnya maka sebaiknya digunakan subyek manusia. Walau tidak ada acuan tentang ketersediaan hayati absolut atau relatif dari suatu obat, namun penelitian dapat menjadi lebih sederhana bila tujuan penelitian hanya mencari jawaban apakah ada kesetaraan biologik antara obat yang diteliti dengan obat pembanding ( Aiache, 1993 ).

2.2.3. Dasar Penetapan Ketersediaan Hayati pada Studi Bioekivalensi Dasar-dasar untuk menetapkan ketersediaan hayati pada studi

bioekivalensi, antara lain : 1. Ketersediaan hayati dari suatu produk obat dilakukan jika laju&jumlah absorpsi produk, sebagaimana dinyatakan oleh perbandingan parameter-parameter terukur (missal, konsentrasi bahan obataktif dalam darah, laju ekskresi urin&efek farmakologik), tidak berbeda secara bermakna dengan produk pembanding. 2. Teknik analisis statik yang dipakai hendaknya cukup peka untuk menemukan perbedaan laju&jumlah absorpsi yang tidak disebabkan oleh adanya perbedaan subjek 3. Suatu produk obat yang berbeda dari bahan pembanding dalam hal laju absorpsi, tetapi tidak berbeda dalam jumlah absorpsi, dapat dianggap berada dalam sistemik jika perbedaan laju absorpsi disengaja dan dinyatakan dengan tepat dalam table dan atau laju absorpsi tidak mengganggu keamanan dan efektivitas produk obat.

25

2.2.4. Kriteria Penetapan Persyaratan Bioekivalensi 1. Adanya fakta dari percobaan klinik yang terkendali dengan baik

atau pengamatan terkendali pada penderita yang menyatakan bahwa berbagai produk obat tidak memberi efek terapeutik sebanding. 2. Adanya fakta dari studi bioekivalensi yang terkendali dengan baik

menyatakan bahwa produk-produk tersebut bukan merupakan produkproduk yang ekivalen. 3. Adanya fakta bahwa produk obat yang memperlihatkan rasio

terapeutik yang sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah, serta penggunaannya secara aman dan efektif memerlukan dosis yang sesuai. 4. Penetapan secara medik oleh yang berwenang menyatakan bahwa suatu kekurangan bioekivalensi akan menyebabkan suatu efek yang tidak dikehendaki yang membahayakan pada pengobatan. 5. Sifat fisikokimia yang meliputi :

a. bahan obat aktif memiliki kelarutan rendah dalam air b. laju pelarutan dari produk tersebut sangat rendah c. bentuk struktur tertentu dari bahan aktif terlarut sangat rendah sehingga mempengaruhi absorpsi d. produk obat mempunyai perbandingan bahan tambahan yang besar terhadap bahan aktif e. kebutuhan akan bahan inaktif dalam formulasi 6. Sifat-sifat farmakokinetik antara lain : diserapnya bahan aktif

dalam jumlah besar pada bagian tertentu dari saluran cerna, derajat

26

absorpsinya kecil baik dalam bentuk murninya, terjadinya proses metabolisme yang terlalu cepat pada bagian terapeutik pada dinding usus atau hati, bahan obat aktif tidak stabil pada sisi target (Syukri, 2002). 2.3. Parameter Farmakokinetika Oleh karena konsentrasi obat bergantung pada waktu, dua variabel yaitu konsentrasi obat dan waktu, berturut-turut disebut sebagai variabel tergantung dan bebas, yang secara bersama dikenal sebagai data. Dari data ini dapat diperkirakan model farmakokinetik yang kemudian diuji kebenarannya, dan selanjutnya diperoleh parameter-parameter farmakokinetiknya. 2.3.1. Tetapan Laju Eliminasi Laju eliminasi untuk sebagian besar obat merupakan suatu proses order ke satu. Tetapan laju eliminasi , K, adalah suatu tetapan laju eliminasi order kesatu dengan satuan waktu-1. Pada umumnya hanya obat induk atau obat yang aktif yang ditentukan dalam kompartemen vaskular. Pemindahan atau eliminasi obat secara total dari kompartemen ini dipengaruhi oleh proses metabolisme (biotransformasi) dan ekskresi. Tubuh dapat dinyatakan sebagai suatu susunan, atau sistem dari kompartemen-kompartemen yang berhubungan secara timbal balik satu dengan yang lain. Suatu kompartemen bukan suatu daerah fisiologik atau anatomik yang nyata, tetapi dianggap sebagai suatu jaringan atau kelompok jaringan yang mempunyai aliran darah dan afinitas obat yang sama. Secara konsepsual, obat bergerak masuk dan keluar kompartemen secara dinamik. Model merupakan suatu sistem yang terbuka jika obat dieliminasi dari sistem tersebut.

27

2.3.2. Volume Distribusi Volume distribusi menyatakan suatu faktor yang harus diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang ditemukan dalam kompartemen cuplikan. Volume distribusi juga dapat dianggap sebagai (Vd) di mana obat terlarut.

2.3.3. Area di bawah Kurva (AUC) Area di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu adalah suatu ukuran dari jumlah bioavailabilitas suatu obat. AUC mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. AUC adalah area di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu dari t = 0 sampai t = , dan sama dengan jumlah obat tidak berubah yang mencapai sirkulasi umum dibagi klirens.

2.3.4. t maks Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada tmaks

absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obatmaks

sama dengan laju eliminasi obat. Satuan t menit)

adalah satuan waktu (misal : jam,

2.3.5. Cp maks Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian obat secara oral. Cpmaks

memberi suatu petunjuk

28

bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik dan untuk memberi suatu respon terapetik dan petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik obat. Satuan Cp maks adalah satuan konsentrasi. (misal, mg/ml).

2.3.6. Waktu Paruh Waktu paruh (t ) menyatakan waktu yang diperlukan oleh sejumlah obat atau konsentrasi obat untuk berkurang menjadi separuhnya Perkembangan farmakokinetik memungkinkan analisis parameter aktivitas terapetik yang lebih tepat dan yang dapat menunjukkan perbedaan dengan nyata organ yang memenfaatkan zat aktif tersebut serta analisis proses pre-disposisi zat aktif sediaan obat di dalam tubuh (Aiache,1993). Penyebaran dan peniadaan suatu zat aktif baik karena metabolisme dan atau pengeluaran serta reaksi farmakologik in vivo, dipengaruhi oleh keadaan fisio-patologik organ penerima pada respon yang teramati, dan oleh parameter aktivitas terapetik yang sulit atau bahkan tidak mungkin ditetapkan. Pada penderita yang sama, parameter yang sejenis relative tetap, namun penggunaan suatu obat (atau merek dagang) secara terus-menerus dapat menyebabkan perubahan karakteristik kimia atau farmasetik. Dengan kata lain bila zat aktif masuk ke dalam tubuh maka efek terapetiknya terutama tergantung pada organ penerima (Aiache,1993). Perkembangan farmakokinetik memungkinkan analisis parameter aktivitas terapetik yang lebih tepat dan yang dapat menunjukkan perbedaan dengan nyata organ yang memenfaatkan zat aktif tersebut serta analisis proses pre-disposisi zat aktif sediaan obat di dalam tubuh.

29

Penyebaran dan peniadaan suatu zat aktif baik karena metabolisme dan atau pengeluaran serta reaksi farmakologik in vivo, dipengaruhi oleh keadaan fisio-patologik organ penerima pada respon yang teramati, dan oleh parameter aktivitas terapetik yang sulit atau bahkan tidak mungkin ditetapkan. Pada penderita yang sama, parameter yang sejenis relative tetap, namun penggunaan suatu obat (atau merek dagang) secara terus-menerus dapat menyebabkan perubahan karakteristik kimia atau farmasetik. Dengan kata lain bila zat aktif masuk ke dalam tubuh maka efek terapetiknya terutama tergantung pada organ penerima (Aiache,1993).

2.4. Pengambilan sampel darah - Dalam keadaan normal harus digunakan sampel darah, meskipun sampel urine juga dapat digunakan - Biasanya kadar obat atau metabolit diukur dalam serum plasma. Dalam keadaan tertentu, kadar obat diukur dalam darah (misal : sulfa) -Sampel darah harus diambil pada waktu-waktu tertentu sehingga dapat menggambarkan fase-fase absorpsi, distribusi dan eliminasi obat. - Untuk kebanyakan obat diperlukan 12-18 sampel darah, yakni : 1 sampel sebelum obat : pada waktu nol ( t0 ) 2-3 sampel sebelum kadar maksimal ( C max ) 4-6 sampel sekitar C max 5-8 sampel setelah Cmax, sampai sedikitnya 3 atau lebih waktu paruh eliminasi obat dalam plasma (>3 x t )

30

Dengan demikian akan diperoleh AUC ( luas daerah di bawah kurva kadar obat terhadap waktu ) sedikitnya 80 % dari AUC yang diekstrapolasi ke tidak terhingga - Estimasi waktu paruh eliminasi harus dipoeroleh dari sedikitnya 3-4 sampel selama fase log linear terminal - Untuk obat atau metabolit aktifnya yang mempunyai waktu paruh eliminasi ( t1/2 ) sangat panjang, sampel darah harus diambil sampai sedikitnya 72 jam jika variabilitas intra-subyek kecil, atau lebih lama jika variabilitas intra-subyek besar. - Pada studi keadaan lunak, untuk obat dengan kronofarmakologi, jika ritme sirkadian diketahui mempengaruhi bioavabilitas, maka sampel darah harus diambil selama 1 siklus 24 jam penuh.

2.5. Bentuk Sediaan Pada umumnya obat diberikan dalam bentuk sediaan seperti tablet, kapsul, suspensi dan lain-lain. Suatu bentuk sediaan obat terdiri dari bahan obat dan bahan-bahan pembantu yang tersusun dalam formula dan diikuti dengan petunjuk cara proses pembuatan. Malah sekarang ini pelepasan obat dari sediaan bisa diatur atau dikontrol sehingga absorpsi bisa terjadi lama di saluran cerna, maka timbulah sediaan farmasi yang semula dipakai tiga kali sehari menjadi satu kali sehari. Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat

31

tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah atau zat lain yang cocok. Kapsul adalah bentuk sediaan obat yang terbungkus cangkang kapsul, keras atau lunak. Cangkang kapsul dibuat dari Gelatin dengan atau tanpa zat tambahan lain (Ditjen POM, 1979). Bentuk sediaan dengan pelepasan terkendali dibedakan atas waktu pelepasan, sedangkan jumlah awal zat aktif yang dilepaskan harus

berkesinambungan dan tidak tergantung pada tempat dimana sediaan berada atau pada laju perlintasan dari lambung ke usus. Setiap pustaka umunya menggunakan istilah yang berbeda2 untuk menyatakan sediaan dengan pelepasan terkendali maupun cara pelepasan zat aktifnya. Ada tiga tipe bentuk sediaan dengan pelepasan terkendali yaitu: Sediaan dengan pelepasan atau aksi dipertahankan (Sustained Release),

merupakan bentuk sediaan yang mula-mula melepaskan zat aktif dalam jumlah cukup untuk mendapatkan ketersediaan hayati yang dikehendaki atau untuk menimbulkan efek farmakologi secepatnya (terutama bila ketersediaan hayati obat ditentukan oleh keterserapannya) dan dapat menjaga aktivitasnya dalam waktu yang lebih lama dari bila obat diberikan dalam dosis tunggal. Sediaan dengan aksi diperpanjang (Prolonged Action) Sediaan dengan aksi berulang (Repeat Action) ( Aiache, 1993)

32

2.6. Rute Pemberian Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut: a) Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik. b) Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama. c) Stabilitas obat di dalam lambung dan atau usus. d) Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute. e) Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter. f) Kemampuan pasien menelan obat melalui oral. Rute penggunaan obat dapat dengan cara: melalui rute oral : cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling

umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya adalah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Obat dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerjasama dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan apabila pasien koma. melalui rute parenteral : keuntungan pemberian obat secara suntikan

(parentral) adalah efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral, dapat diberikan kepada pasien yang tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah, dan sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya adalah dibutuhkan secara aseptis, menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak ekonomis.

33

-

melalui rute inhalasi : cara inhalasi hanya dapat dilakukan untuk obat yang

berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap misalnya diberikan dalam bentuk aerosol. Absorpsi terjadi melalui epitel paru dan mukosa saluran napas. Keuntungannya absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati dan pada penyakit paru obat dapat langsung diberikan pada bronkus. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metode khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru. melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan

sebagainya : cara ini terutama dimaksudkan untuk mendapatkan efek lokal. Misalnya pada mata, biasanya memerlukan absorpsi obat melalui kornea. Absorpsi terjadi lebih cepat bila kornea mengalami infeksi atau trauma. Absorpsi sistemik melaui saluran nasolakrimal sebenarnya tidak diinginkan, absorpsi disini dapat menyebabkan efek sistemik karena obat tidak mengalami metabolisme lintas pertama di hati. Melalui rute kulit : tidak banyak obat yang dapat menembus obat kulit

utuh. Jumlah obat yang dierap tergantung pada luas permukaan kulit yang terluka serta kelarutan obat dalam lemak karena epidermis bertindak sebagai sawar lemak (Ganiswara, 1995).

34

Skema Perjalanan Obat di dalam Tubuh

Obat = zat aktif+ pembawa

Dispersi Padatan zat aktif

Larut Molekuler zat akitif

Plasma Bentuk terikat Bentuk bebas Metabolit Absorpsi Eksresi

Depot

Liberasi

Disolusi Fase Biofarmasi

Distribusi

Biotransformasi Fase farmakokinetik

Reseptor Efek Farmakologi Fase farmakodinamik

(Anief, 2000)

35

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 3.1 Alat dan Bahan 3.1.1. Alat - alat Alat-alat yang digunakan dalam percobaan adalah dissolution tester (Erweka), spektrofotometer (Shimazu), neraca analitis (Sartorius, Metler Toledo), sentrifuge, mikroburet 10 ml, labu tentukur 1000 ml, labu tentukur 100 ml, labu tentukur 25 ml, labu tentukur 10 ml, beaker glass 1000 ml, maat pipet 5 ml, termometer, bola penghisap,pembuka mulut, pisau cukur dan alat-alat gelas lainnya.

3.1.2. Bahan - bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan adalah yang berkualitas pro analitis (Merck) yaitu sulfadiazin (tablet, kapsul, sediaan sustained release, larutan), asam trikloro asetat, reagen Bratton Marshall (1-naftil etilen diamin), heparin, NaOH 1N, aquadest, alkohol 70%, vaselin, amonium sulfamat, natrium nitrit, asam klorida, natrium klorida 0,9%.

3.2 Hewan Percobaan Hewan yang digunakan dalam percobaan adalah kelinci jantan dengan berat badan 1,5 - 2,5 kg.

36

3.3 Prosedur 3.3.1 Pembuatan Pereaksi Asam trikloroasetat 10% (b/v) Dilarutkan asam trikloroasetat 10 gram dalam air hingga 100 ml (Depkes RI, 1979). NaOH 1 N Dilarutkan 40,01 gram NaOH dalam air secukupnya hingga 1000 ml (Depkes RI, 1979). Heparin 10 IU (v/v) Diencerkan 0,2 ml heparin 5000 IU dalam NaCl 0,9% hingga 100 ml. (Depkes RI, 1979). Cairan Lambung Buatan pH 1,2 Dilarutkan 2 gram natrium klorida dalam 7 ml asam klorida dan air secukupnya hingga 1000 ml (Depkes RI, 1979). Reagen Bratton Marshall 0,05% (b/v) Dilarutkan 0,05 gram etilen diamin dihidroklorida dalam air hingga 100 ml (Depkes RI, 1979). Natrium nitrit 0,5% (b/v) Dilarutkan natrium nitrit 0,5 gram dalam air hingga 100 ml (Depkes RI, 1979). Amonium sulfamat 0,5% (b/v) Dilarutkan amonium sulfamat 0,5 gram dalam air hingga 100 ml (Depkes RI, 1979).

37

3.3.2

Pembuatan Kurva Kalibrasi In Vitro Sulfadiazin Ditimbang 250 mg sulfadiazin. Dilarutkan dengan medium lambung

buatan pH 1.2 dan diencerkan sampai 1000 ml (C=250 mcg/ml).Di pipet 4 ml dari larutan LIB 1 (C=250 mcg/ml) diencerkan sampai 100 ml (C=10 ppm). Kemudian dipipet 4; 5; 6; 7; 8; dan 9 ml dari larutan (C=10 ppm) diencerkan sampai 10 ml dengan konsentrasi pengukuran 4; 5; 6; 7; 8; 9; dan 10 mcg/ml. Diukur absorbansi dengan alat spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 242 nm.

3.3.3

Pembuatan Kurva Kalibrasi In Vivo Sulfadiazin Ditimbang 50 mg sulfadiazin. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml.

Kemudian ditambah HCL 1 N dikocok sampai larut dan dicukupkan volumenya dengan HCL 0,1 N sampai garis tanda. Dari larutan tersebut di pipet 5 ml dari LIB 1 dimasukkan ke dalam labu 50 ml, kemudian diadkan dengan HCL 0,1 N . Dipipet dari LIB II sebanyak 4; 5; 6; 7; 8; 9; dan 10 mcg/ml dimasukkan ke labu takar 10 ml, kemudian diadkan dengan HCL 0,1 N 3.3.4. Kurva Kalibrasi In vitro Furosemide Ditimbang 50 mg forusemide, larutkan dengan medium dapar phospat pH 7,4 dan diencerkan sampai sampai 100 ml (C=500 mcg/ml). Dipipet 2 ml dari larutan LIB I (C=500 mcg/ml), diencerkan sampai 100 ml (C=10 ppm). Kemudian dipipet 4; 5; 6; 7; 8; dan 9 ml dari larutan (C=10 ppm) diencerkan sampai 10 ml dengan konsentrasi pengukuran 4; 5; 6; 7; 8; 9; dan 10 mcg/ml. Diukur

absorbansi dengan spektrofotometer.

38

3.3.5. Kurva Kalibrasi In Vivo Furosemide Ditimbang 50 mg forusemide. Dimasukkan dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan NaOH 1 N hingga larut dan dicukupkan dengan aquadest sampai garis tanda. Dari larutan tersebut dipipet 2 ml dari larutan LIB I (C=500 mcg/ml), diencerkan sampai 100 ml (C=10 ppm). Kemudian pipet 4; 5; 6; 7; 8; dan 9 ml dari larutan (C=10 ppm) diencerkan sampai 10 ml dengan konsentrasi pengukuran 4; 5; 6; 7; 8; 9 dan 10 mcg/ml. Diukur absorbansinya dengan spektrofotometer. 3.3.6. Uji Disolusi Sulfadiazin Medium disolusi : Cairan lambung buatan pH 1,2 Volume Temperatur Putaran Metode : 900 ml : 37 0,5 oC : 100 rpm : Dayung

Diatur temperatur medium disolusi 37 0,5oC. Dimasukkan medium disolusi ke dalam tabung disolusi. Diatur putaran 100 rpm. Sediaan uji dimasukkan ke dalam tabung disolusi, lalu dihidupkan alat. Pada interval waktu dipipet cuplikan sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml. Diencerkan dengan medium disolusi sampai garis tanda. Setiap pengambilan cuplikan diganti dengan medium disolusi dalam jumlah yang sama.Larutan diukur serapan dengan alat spektrofotometer uv pada panjang gelombang maksimum 242 nm.

39

Interval Pengambilan : Kapsul : 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60,75 menit Tablet : 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60,75 menit Sustained release : 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60,75 menit 3.3.7. Uji Disolusi Furosemide Medium disolusi : Cairan dapar phospat pH 7,4 Volume Temperatur Putaran Metode : 900 ml : 37 0,5 oC : 100 rpm : Dayung

Diatur temperatur medium disolusi 37 0,5oC. Dimasukkan medium disolusi ke dalam tabung disolusi. Diatur putaran 100 rpm. Sediaan uji dimasukkan ke dalam tabung disolusi, lalu dihidupkan alat. Pada interval waktu dipipet cuplikan sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml. Diencerkan dengan medium disolusi sampai garis tanda. Setiap pengambilan cuplikan diganti dengan medium disolusi dalam jumlah yang sama.Larutan diukur serapan dengan alat spektrofotometer uv pada panjang gelombang maksimum 242 nm. Interval Pengambilan : Tablet : 5, 10, 20, 30, 45, 60,75 menit

3.3.8. Pengaruh Rute Pemberian Terhadap Bioavailabilitas 3.3.8.1. Pemberian secara Oral (Tablet dan Kapsul) Kelinci dipuasakan minimal 8 jam sebelum percoban, cukur bulu telinga hingga bersih menggunakan pisau cukur. Ambil sebanyak 1 ml darah dari vena marginal dengan pipa kapiler yang terawat heparin. Masukkan ke dalam tabung

40

sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10% , homogenkan dengan vortex, sentrifuge pada 2000 rpm selama 10 menit. Ambil supernatan dan masukkan kedalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko). Kemudian sedian obat (tablet dan kapsul) dimasukkan secara oral pada kelinci dengan bantuan oral sonde atau penyangga mulut (kelinci). Ambil 1 ml cuplikan darah pada menit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60, 75, 90, 120.

3.3.8.2. Pemberian secara Intravena Kelinci dipuasakan minimal 8 jam sebelum percoban, cukur bulu telinga hingga bersih menggunakan pisau cukur. Ambil sebanyak 1 ml darah dari vena marginal dengan pipa kapiler yang terawat heparin. Masukkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10% , homogenkan dengan vortex, sentrifuge pada 2000 rpm selama 10 menit. Ambil supernatan dan masukkan kedalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko). Berikan sediaan secara intravena pada vena marginal. Ambil 1 ml cuplikan darah pada menit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60, 75, 90, 120.

3.3.8.3. Analisis Sampel Sedian Sulfadiazin dari Cuplikan Darah Dipipet 1 ml larutan supernatan, lalu adkan dengan HCL 0,1 N sampai garis tanda kemudian ukur absorbansi dengan spektrofotometar (500 580)

3.3.8.4. Pemberian Sediaan Furosemida dan Lasix secara Oral Kelinci dipuasakan minimal 8 jam sebelum percobaan, Kelinci dipuasakan minimal 8 jam sebelum percoban, cukur bulu telinga hingga bersih menggunakan

41

pisau cukur. Ambil sebanyak 1 ml darah dari vena marginal dengan pipa kapiler yang terawat heparin. Masukkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10% , homogenkan dengan vortex, sentrifuge pada 2000 rpm selama 10 menit. Ambil supernatan dan masukkan kedalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko). Berikan sediaan secara intravena pada vena marginal. Ambil 1 ml cuplikan darah pada menit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60, 75, 90, 120.

3.3.8.5. Analisis Sedian Furosemida dan Lasix Cuplikan Darah Dipipet 1 ml larutan supernatan, lalu adkan dengan HCL 0,1 N sampai garis tanda kemudian ukur absorbansi dengan spektrofotometar (500 580)

42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Uji Disolusi 4.1.1. Uji Disolusi Sulfadiazin 4.1.1.1. Data Disolusi Sulfadiazin Dari percobaan uji disolusi terhadap sediaan kapsul, tablet dan sustained release diperoleh hasil seperti terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Persen Kumulatif Rata Rata Untuk Sediaan Kapsul, Tablet dan Sustained Release. Waktu (Menit) 5 10 20 30 45 60 75 Kapsul 46,599 68,909 77,293 86,252 90,644 91,250 92,743 % Kumulatif Tablet 3,078 5,452 9,198 21,939 22,946 24,248 27,102 SR 5, 24 6,47 34,06 58,76 70,82 71,11 72,84

4.1.1.2. Pembahasan Uji Disolusi Sulfadiazin Dari tabel 1 pada uji disolusi dapat dilihat bahwa % kumulatif dari sediaan bentuk kapsul jauh lebih besar bila dibandingkan dengan % kumulatif dari

sulfadiazin dalam bentuk tablet dan sediaan tablet memilki % kumulatif yang lebih besar bila dibandingkan dengan % kumulatif sediaan sulfadiazine dalam bentuk sustained release. ( kapsul > sustained release > tablet). Pada 5 menit pertama sulfadiazine yang terlarut pada sediaan kapsul 46,599 %, sustained release 5,247 %, tablet 3,078 %.

43

Hal ini berarti sediaan kapsul memiliki laju disolusi yang lebih besar bila dibandingkan dengan sediaan tablet dan sustained release. Hal ini mungkin disebabkan karena kapsul merupakan sediaan yang terbungkus cangkang yang terbuat dari gelatin yang bersifat hidrofil sehingga lebih cepat larut dan melepaskan sulfadiazine dalam bentuk serbuk sehingga permukaan serbuk yang luas akan memudahkan proses disolusi dari sulfadiazine. Sedangkan pada tablet harus mengalami proses librasi terlebih dahulu dan pengaruh bahan tambahan yang diberikan pada saat pengolahan sehingga memperlama laju disolusinya. Sedangkan pada sediaan sustained release dirancang menggunakan matrik sehingga pelepasan obat akan terjadi secara bertahap dan perlahan sehingga terjadi penurunan laju disolusi. Untuk dapat diserap, semua zat aktif harus larut terlebih dahulu. Oleh sebab itu laju penyerapan merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif di dalam cairan tubuh ( saluran cerna misalnya ). Dengan demikian semua faktor yang mempengaruhi laju pelarutan juga mempengaruhi penyerapan ( Aiache, 1993 ). Bahan bahan tambahan seperti bahan pensuspensi menaikkan viskositas bahan pembawa obat dan oleh karena itu menurunkan laju pelarutan obat dari suspensi. Bahan pelicin tablet seperti magnesium stearat dapat menolak air dan bila digunakan dalam jumlah besar dapat menurunkan pelarutan dari obat (Shargel, L, 1988 ). Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan cara pengolahan. Secara umum laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut: suspensi , kapsul, tablet, dan tablet salut. Secara teoritis disolusi bermacam macam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama, karena

44

diantara masing masing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai (Syukri, 2002).

4.1.2. Uji Disolusi Furosemida dan Lasix 4.1.2.1. Data Disolusi Furosemide dan Lasix Tabel 2. Data Kumulatif Disolusi Furosemide dan Lasix Terlepas Waktu (menit) 5 10 20 30 45 60 75 Kumulatif terlepas (%) Furosemid Lasix 36,5107 99,97 70,8998 108,45 114,1560 121,15 121,4602 123,82 126,0274 131,75 126,6800 134,86 135,5491 135,48

4.1.2.2. Pembahasan Disolusi Furosemida dan Lasix Dari profil disolusi diatas dapat kita lihat bahwa laju disolusi furosemida sebagai obat standart lebih kecil dibandingkan dengan lasix, hal ini dapat kita lihat , misalnya pada menit ke 5 dimana % kumulatif furosemida sebesar 36,5107% sedangkan lasix sebesar 99,97%. Ada korelasi antara pengukuran kadar obat in vivo (dalam plasma) dengan pengukuran kadar obat secara in vitro. Uji pelarutan juga merupakan suatu bagian dari prosedur pengendalian kualitas baku produk. Oleh karena itu, uji disolusi ini dapat menjadi parameter dalam mengukur bioekivalensi dari produk obat. Jika suatu obat diabsorpsi secara sempurna setelah pelarutan, maka dengan

45

membandingkan proses obat terabsorpsi dengan terhadap proses obat terlarut dapat diperoleh korelasi yang linier. Dalam pemilihan metode pelarutan, harus mempertimbangkan media pelarutan yang tepat dan menggunakan pengadukan pelarutan yang lambat sehingga mendekati pelarutan invivo ( Shargel, 1988 ).

4.2. Uji Bioavabilitas Dari hasil pengukuran absorbansi pada setiap rute pemberian diperoleh nilai - nilai parameter farmakokinetik: Tabel 3: Nilai Parameter Farmakokinetik Sulfadiazin pada Uji In Vivo Parameter Farmakokinetik Cpo t Ke Ka AUC AUMC Vd t max C max F SD Tablet 0,3055 14,25 0,0486 1,1761 14,9779 735,2481 327,33 0,1336 SD Kapsul 5,6750 19,8 0,0303 0,0350 408,3836 26903,0264 16,4298 3,3438 SD intravena 1,4531 55,44 0,0125 0,0356 112,1175 8650,425 68816,1965 0,1335

Dari hasil percobaan dapat dilihat bahwa bioavailabilitas yang paling besar terdapat pada kapsul diikuti oleh intravena, dan tablet . . Ketersediaan hayati digunakan untuk memberi gambaran mengenai keadaan dan kecepatan obat diabsorpsi dari bentuk sediaan. Ketika obat diberikan secara intravena, ketersediaan hayatinya adalah 100 %. Bagaimanapun, ketika

46

suatu obat diberikan melalui rute lain (seperti melalui oral), maka ketersediaan hayatinya berkurang disebabkan oleh absorpsi obat yang tidak sempurna dan metabolisme. Bila dilihat pada tabel data, diketahui bahwa nilai AUC dari kapsul lebih besar dari sediaan IV, ini sebenarnya tidak benar. Hal ini terjadi mungkin disebabkan karena faktor fisiologis dari kelinci percobaan.

4.3. Uji Bioekivalensi 4.3.1. Data Bioavabilitas Furosemide dan Lasix Tabel 4: Nilai Parameter Farmakokinetik Furosemid pada Uji In Vivo Parameter Farmakokineti k Cpo t Ke Ka AUC AUMC Vd t max C max F 0,9792 25,7620 0,0269 0,0423 60,4474 3708,7733 40,8496 36,7701 1,7136 62,32 1,0111 1,0128 83,186 4035,7268 23,342 57,186 Furosemid Lasix

Tabel 5. Perbandingan Furosemide dan Lasix Parameter AUC C maks T maks Persyaratan : Lasix/Furosemide 1,3761 1,5552

47

0,8

AUC Lasix AUC Furosemide

01,2

0,8 0,8

Cmaks Lasix 01,2 Cmaks Furosemide Tmaks Lasix 01,2 Tmaks Furosemide

4.3.2. Pembahasan Dari data diatas dapat dilihat bahwa furosemida dan lasix tidak bioekivalen karena kedua obat tersebut memiliki perbandingan nilai AUC dan Tmaks yang tidak berada dalam range 0,8 sustained release. 3. Pada uji in vivo, ketersediaan hayati dari berbagai rute pemberian obat dari bentuk sediaan adalah sebagai berikut: intra vena nilai F nya adalah 1> dari intra muscular nilai Fnya 0,7 > sustained release nilai F nya 0,33 > Larutan nilai F nya 0,22 > kapsul nilai F nya 0,06 > tablet nilai F nya 0,05.

49

4.

Nilai C maks yang dihasilkan dari percobaan secara in vivo adalah untuk intra vena 60 mcg > dari intra muscular yaitu 41,11 mcg dan larutan yaitu 14,88 mcg .

5.2.

Saran 1. Sebaiknya waktu percobaan diperlama agar diperoleh fase eliminasi untuk sediaan sustained release 2. Sebaiknya digunakan obat dengan absorpsi yang lebih cepat dari pada Sulfadiazin sehingga waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama

DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M. (1993). Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi Kedua. Airlangga University Press. Surabaya. Hal: 11-14. Anief, M. (2000). Farmasetika. Cetakan Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal: 29-39, 52-53, 60-69. Anief, M., (1994). Farmasetika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Hal: 31-39. Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Penerjemah Faridah Ibrahim. Edisi Keempat. Universitas Indonesia. Jakarta. Hal: 110 Ditjen POM., (1995), Farmakope Indonesia, Edisi Keempat. Jakarta. Hal: 1083-1084. Ditjen POM., (1979), 579,654,681,748-749. Farmakope Indonesia , Edisi Keempat. Jakarta. Hal:

50

Furosemide. Online. Oktober 2006. http://n.wikipedia.org/wiki/furosemide Ganiswara, S.G., (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta. Hal: 3 6. Shargel, L. (1988). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.Penerjemah Fasich dan Sjamsiah. Edisi Kedua.Universitas Erlangga.Surabaya. Hal: 99102, 454-456. Sulfadiazin, Online. Oktober 2006. http://n.wikipedia.org/wiki/sulfadiazin Tjay Tan Hoan dan R. Kirana, (2002). Obat-obat Penting. Edisi Kelima. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Hal: 12

51