bab ii kmb b

68

Click here to load reader

Upload: susy-julianti

Post on 26-Oct-2015

120 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KMB B

BAB II

PEMBAHASAN

A. ENSEFALITIS

1. Pengertian

Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh

bakteri cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus (Kapita selekta kedokteran

jilid 2, 2000). Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai sistem saraf pusat (SSP)

yang disebabkan oleh virus atau mikroorganisme lain yang nonpurulen

(Muttaqin, 2008).

Klasifikasi ensefalitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ensefalitis

supuratif akut dengan bakteri penyebab ensefalitis adalah Staphylococcus aureus,

Streptococcus, E. Colli, Mycobacterium, dan T. Pallidum. Sedangkan ensefalitis

virus dengan penyebabnya adalah virus RNA (Virus Parotitits), virus Morbili,

virus Rabies, virus Rubela, virus Dengue, virus Polio, Cockscakie A dan B,

Herpes Zoster, Herpes Simpleks, dan Varicella.

Kondisi ini dimana jaringan otak itu sendiri yang terinfeksi dan

meradang. Virus adalah penyebab yang paling umum. Virus tersebut sering

ditularkan oleh gigitan nyamuk.

Gambar. 1 a. Normal b. Abnormal

Page 2: BAB II KMB B

Penyebab tersering dari ensefalitis adalah virus kemudian herpes simpleks,

arbovirus, dan jarang disebabkan oleh enterovirus, mumps, dan adenovirus.

Ensefalitis bisa juga terjadi pascainfeksi campak, influenza, varicella, dan

pascavaksinasi pertusis.

2. Epidemiologi

Epidemiologi ensefalitis sangat bervariasi sesuai dengan faktor resiko

yang mempengaruhi masing-masing individu. Penyebab ensefalitis sendiri sangat

banyak, dari mulai virus , bakteri, jamur sampai dengan yang penyebabnya tidak

diketahui secara pasti. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan, penyebab

ensefalitis terbanyak di Indonesia yaitu virus Japanese B ensefalitis.

Sebagaimana telah dilaporkan pada tahun 1998 hingga 1999 wabah

ensefalitis pada manusia telah terjadi di Malaysia. Hasil identifikasi CDC

menunjukkan bahwa kasus ensefalitis ini disebabkan oleh Japanese B

encephalitis.

Gambar 2. Epidemiologi Encephalitis di dunia

Di Indonesia, kasus ensefalitis pada manusia telah banyak dilaporkan,

tetapi penyebab ensefalitis tersebut masih belum banyak terungkap karena

Page 3: BAB II KMB B

sulitnya diagnosis dan keterbatasan perangkat diagnostik yang dapat

mendiagnosa antigen dan antibody virus yang menyebabkan ensefalitis pada

manusia. Sementara itu, penyakit ensefalitis di Indonesia sangat dikaitkan erat

dengan infeksi virus Japanese B  encephalitis .

Di Indonesia Japanese B encephalitis telah banyak dilaporkan, baik secara

klinis, serologis, maupun isolasi virus. Gejala ensefalitis tidak dipengaruhi oleh

jenis kuman penyebab, karena semua mmanifestasi penyakit yang ditimbulkan

oleh berbagai kuman adalah sama. Hanya dapat dibedakan berdasarkan

anamnesa dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan.

3. Etiologi

a. Mikroorganisme : bakteri, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus.

Macam-macam Encephalitis virus menurut Robin :

1) Golongan enterovirus, yaitu : Poliomyelitis, virus coxsackie, virus

ECHO.

2) Golongan virus ARBO, yaitu : Western equire encephalitis, St. louis

encephalitis, Eastern equire encephalitis, Japanese B. encephalitis,

Murray valley encephalitis.

b. Infeksi virus yang bersifat sporadic : rabies, herpes simpleks, herpes zoster,

limfogranuloma, mumps, limphotic, choriomeningitis dan jenis lain yang

dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.

c. Encephalitis pasca infeksio, pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella,

pasca vaksinia, pasca mononucleosis, infeksious dan jenis-jenis yang

mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.

d. Reaksi toxin seperti pada thypoid fever, campak, chicken pox.

e. Keracunan : arsenic, CO.

Page 4: BAB II KMB B

5. Gejala Klinis Ensefalitis

Gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat,

dapat berlangsung akut dan perlahan-lahan. Masa prodromal berlangsung antara

1-4 hari. Pada umumnya pasien ensefalitis menunjukkan gejala seperti penyakit

meningitis namun tanpa disertai adanya tanda-tanda perangsangan meningeal.

Perangsangan meningeal dapat dijumpai jika telah melibatkan meningen, yang

disebut sebagai meningoensefalitis, diantaranya berupa :

a. Nyeri kepala

b. Demam

c. Penurunan kesadaran

d. Pusing, gangguan kognitif, perubahan tingkah laku

e. Kejang

f. Kelemahan anggota gerak, sampai dengan kelumpuhan

g. Munculnya tanda-tanda gangguan neurologis fokal bersamaan dengan

demam dan sakit kepala.

Gejala yang terjadi termasuk ditandai dengan tanda-tanda peningkatan

tekanan intracranial seperti sakit kepala yang sangat hebat, vertigo, mual, kejang

dan gangguan mental. Gejala lain yang mungkin terjadi yaitu, fotophobia,

gangguan sensorik dan kekakuan leher. Namun bedanya dengan meningitis, pada

ensefalitis tidak ditemukan adanya tanda-tanda perangsangan meningeal berupa

kaku kuduk, brudziski I & II, ataupun kernig.

Page 5: BAB II KMB B

B. MENINGITIS

1. Pengertian

Secara anatomi meningen menyelimuti otak dan medulla spinalis. Selaput

otak terdiri atas tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu duramater, arakhnoid, dan

piamater. Duramater terdiri atas lapisan yang berfungsi kecuali di dalam tulang

tengkorak, di mana lapisan terluarnya melekat pada tulang dan terdapat sinus

venosus.

Gbr. 3 Anatomi Pembungkus Otak

Falks serebri adalah lapisan vertikal duramater yang memisahkan kedua

hemisfer serebri pada garis tengah. Tentorium serebri adalah ruang horizontal

dari duramater yang memisahkan lobus oksipitalis dari serebellum. Arakhnoid

merupakan membran lembut yang bersatu di tempatnya dengan piamater ,

diantaranya terdapat ruang subarachnoid di mana terdapat arteri dan vena serebri

dan dipenuhi oleh cairan serebrospinal. Sisterna magna adalah bagian terbesar

dari ruang subarachnoid di sebelah belakang otak belakang, memenuhi celah di

antara serebellum dan medulla oblongata.

Piamater merupakan membran halus yang kaya akan pembuluh darah

kecil yang menyuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Piamater adalah

lapisan yang langsung melekat dengan permukaan otak dan seluruh medulla

spinalis.

Page 6: BAB II KMB B

Gambar 4. Lapisan pembungkus otak

Secara ringkas pengertian dari meningitis adalah radang pada meningen/

membran (selaput) yang mengelilingi otak dan medulla spinalis (Muttaqin,

2008). Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi

otak dan medulla spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ

jamur (Smeltzer & Bare, 2001). Meningitis adalah peradangan pada selaput

meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses

infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai

piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang

lebih ringan mengenai jaringan otak dan medulla spinalis yang superficial.

Meningitis diklasifikasikan menjadi, meningitis asepsis, sepsis dan

tuberkulosa. Meningitis aseptik mengacu pada salah satu meningitis virus atau

menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis,

limfoma, leukimia, atau darah di ruang subarachnoid. Meningitis sepsis

menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh organisme bakteri seperti

meningokokus, stafilokokus atau bacillus influenza. Meningitis tuberkulosa

disebabkan oleh basilus tuberkel (Smeltzer & Bare, 2001).

Page 7: BAB II KMB B

2. Epidemiologi

Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis.

Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan

distribusi terlihat lebih nyata pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi

pada bayi dan anak-anak karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk

sempurna.

Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenza di

negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di

Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau

sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus influenza tipe b di Amerika Serikat,

kira-kira 12.000 kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun.

Insiden Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun

penggunaan vaksin, Insiden Rate menjadi 2,2 per 100.000. Di Uganda (2001-

2002) Insiden Rate meningitis Hib pada usia < 5 tahun sebesar 88 per 100.000.

Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-

ekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan

jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara

yang sedang berkembang dibandingkan pada Negara maju.

Meningitis di daerah Afrika sub-Sahara memiliki pola epidemiologis

yang khusus. Daerah ini yang sering disebut juga sebagai meningitis belt meliputi

kurang lebih 10 negara di antaranya adalah Burkina Faso, Ghana, Togo, Benin,

Niger, Nigeria, Chad, Cameroon, Republik Afrika Tengah, dan Sudan. Di daerah

ini, infeksi meningokok yang disebabkan oleh serogrup A timbul secara berulang

setiap tahun sebagai suatu gelombang. Kejadian meningitis lebih sering terjadi

pada musim panas dimana kasus-kasus infeksi saluran pernapasan juga

meningkat. Derajat serangan penyakit meningkat pada akhir musim kering dan

secara cepat menurun setelah musim hujan mulai. Pada saat puncak terjadinya

Page 8: BAB II KMB B

epidemik, insidens penyakit dapat mencapai 1000/100.000 penduduk. Di Eropa

dan Amerika utara insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada musim

dingin dan musim semi.

3. Etiologi

Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan faktor penyebabnya :

a. Asepsis

Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau

menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak,

ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah di ruang subarachnoid.

b. Sepsis

Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh

organisme bakteri seperti meningokokus, stafilokokus, atau basilus

influenza.

c. Tuberkulosa

Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel.

Infeksi meningen umumnya dihubungkan dengan satu atau dua jalan,

yaitu melalui salah satu aliran darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi

bagian lain, seperti selulitis, atau melalui penekanan langsung seperti didapat

setelah cedera traumatic tulang wajah. Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus

merupakan iatrogenic atau hasil sekunder prosedur invasive (seperti lumbal

pungsi) atau alat-alat invasive (seperti alat pemantau TIK).

Page 9: BAB II KMB B

5. Gejala Klinis Meningitis

Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak,

letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan

cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.

Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih

serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang

disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise,

kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjar parotid sebelum invasi kuman ke

susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai

dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorokan, nyeri otot, demam, dan

disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah,

leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis

Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah

dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku

leher, dan nyeri punggung.

Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat

pernapasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara

akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan, kejang,

nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai

dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44% anak

dengan penyebab Haemophilus influenza, 25% oleh Streptococcus pneumonia,

21% oleh Streptococcus, dan 10% oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak

dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas,

penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat,

malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur,

keruh atau purulen.

Page 10: BAB II KMB B

Iritasi meningen, mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali

yang umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Rigiditas nukal (kaku leher)

adalah tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran

karena adanya spasme otot-otot leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat.

Tanda kerinig positif, ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadaan

fleksi ke arah abdomen, kaki tidak dapat diekstensi sempurna. Tanda Brudzinski,

bila leher pasien difleksikan maka hasilya fleksi lutut dan pinggul, bila dilakukan

fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah saatu sisi, maka gerakan yang

sama terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan.

Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan meningitis.

Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka. Tanda-tanda

peningkatan TIK sekunder akibat eksudat purulendan edema serebral terdiri dari

perubahan karakteristik tanda-tanda vital, pernafasan tidak teratur, sakit kepala,

muntah dan penurunan tingkat kesadaran. Adanya Ruam merupakan salah satu

ciri yang menyolok pada meningitis meningokokal.

Infeksi fulminating terjadi sekitar 10% pasien dengan meningitis

meningokokus, dengan tanda-tanda septikemia, demam tinggi yang tiba-tiba

muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar wajah dan ekstremitas) syok dan

tanda-tanda koagulopati intravaskuler diseminata (KID). Kematian mungkin

terjadi dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.

Page 11: BAB II KMB B

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

ENSEFALITIS DAN MENINGITIS

A. ENSEFALITIS

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan ensefalitis meliputi anamnesis riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial (pada

anak perlu dikaji dampak hospitalisasi).

a. Anamnesis

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa

anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kejang disertai

penurunan kesadaran.

Riwayat penyakit saat ini

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui

jenis kuman penyebab. Di sini harus ditanya dengan jelas tentang gejala

yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk.

Pada pengkajian klien ensefalitis biasanya didapatkan keluhan yang

berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK. Keluhan

gejala awal yang sering adalah sakit kepala dan demam. Sakit kepala

disebabkan ensefalitis yang berat dan sebagai akibat iritasi otak. Demam

umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit.

Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih

mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering

Page 12: BAB II KMB B

menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya

menurunkan keluhan kejang tersebut.

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan

ensefalitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan

awal adanya penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya

penyakit, demikian pula respons individu terhadap proses fisiologis.

Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan

penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsive, dan koma.

Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang menjadi predisposisi

keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami campak, cacar air,

herpes, dan bronkopneumonia. Pengkajian pada anak mungkin didapatkan

riwayat menderita penyakit yang disebabkan oleh virus seperti virus

influenza, varicella, adenovirus, kokssakie, echovirus atau parainfluenza,

infeksi bakteri, parasit satu sel, cacing, fungus, riketsia.

Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien seperti

pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotic dan

reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat

meningkatkan komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat

mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan

dasar untuk mengkaji lebih jauh serta untuk memberikan tindakan

selanjutnya.

b. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien ensefalitis meliputi beberapa penilaian yang

memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai

status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping

yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien

Page 13: BAB II KMB B

terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam

keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan

sehari-harinya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Apakah ada

dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan

kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas

secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra

tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa

digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk

mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan

perubahan prilaku akibat stres.

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi

dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan

memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasikkan pengkajian

terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan

terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji

terdiri atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit

neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana

pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di

dalam sistem dukungan individu.

c. Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,

pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian

anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-

B6) dengan fokus pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan

dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital (TTV).

Pada klien ensefalitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih

Page 14: BAB II KMB B

dari normal, yaitu 39-410C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan

proses inflamasidari selaput otak yang sudah mengganggu pusat pengatur

suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-

tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan

sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan

adanya infeksi pada sistem pernapasan sebelum mengalami ensefalitis.

Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda

peningkatan TIK.

1) B1 (Breathing)

Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan

otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering

didapatkan pada klien ensefalitis yang disertai adanya gangguan pada

sistem pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan

kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan

ensefalitis berhubungan akumulasi secret ddari penurunan kesadaran.

2) B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)

hipovolemik yang sering terjadi pada klien ensefalitis.

3) B3 (Brain)

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap

dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

Tingkat kesadaran

Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien ensefalitis biasanya berkisar

pada tingkat latergi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah

mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai

Page 15: BAB II KMB B

tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian

asuhan keperawatan.

Fungsi serebri

Status mental: obseravasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai

gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik.

Pada klien ensefalitis tahap lanjut biasanya status mental klien

mengalami perubahan.

Pemeriksaan saraf kranial

Saraf I. Fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan pada klien

ensefalitis.

Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan

papiledema mungkin didapatkan terutama pada ensefalitis supuratif

disertai abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya

peningkatan TIK.

Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien

ensefalitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa

kelainan. Pada tahap lanjut ensefalitis yang telah mengganggu

kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan

didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien ensefalitis

mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap

cahaya.

Saraf V. Pada klien ensefalitis didapatkan paralisis pada otot sehingga

mengganggu proses mengunyah.

Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris

karena adanya paralisis unilateral.

Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.

Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik sehingga

mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.

Page 16: BAB II KMB B

Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.

Saraf XI. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada

fasikulasi. Indra pengecapan normal.

Sistem motorik

Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada

ensefalitis tahap lanjut mengalami perubahan.

Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau

periosteum derajat refleks pada respon normal. Refleks patologis akan

didapatkan pada klien ensefalitis dengan tingkat kesadaran koma.

Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia. Pada keadaan

tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak

dengan ensefalitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang

dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan ensefalitis. Kejang

terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.

Sistem sensorik

Pemeriksaan sensorik pada ensefalitis biasanya didapatkan perasaan

raba normal, perasaan nyeri normal, perasaan suhu normal, tidak ada

perasaan abnormal di permukaan tubuh, perasaan proprioseptif normal,

dan diskriminatif normal.

Peradangan pada selaput otak mengakibatkan sejumlah tanda yang

mudah dikenali pada ensefalitis. Tanda tersebut adalah kaku kuduk,

yaitu ketika adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran

karena adanya spasme otot-otot leher.

Page 17: BAB II KMB B

4) B4 (Bladder)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan

berkurangnya volume haluaran urin, hal ini berhubungan dengan

penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

5) B5 (Bowel)

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam

lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien ensefalitis menurun karena

anoreksia dan adanya kejang.

6) B6 (Bone)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan

mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari

klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

2. Diagnosis Keperawatan

a. Gangguan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan peningkatan

intakranial.

b. Gangguan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret,

kemampuan batuk menurun penurunan kesadaran.

c. Risiko tinggi defisit cairan dan hipovolemik.

d. Nyeri berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak.

e. Risiko tinggi gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.

f. Gangguan eliminasi.

g. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang, perubahan status mental,

dan penurunan tingkat kesadaran.

h. Risiko kejang berulang.

Page 18: BAB II KMB B

i. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,

penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran, kerusakan persepsi/

kognitif.

j. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan kerusakan penerima

rangsang sensorik, transmisi sensorik, dan integrasi sensori.

k. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit,

perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan aktual

dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada

harapan.

3. Intevensi Keperawatan

a. Gangguan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan peningkatan

intakranial.

Data penunjang : Malaise, pusing, nausea, muntah, iritabilitas, kejang,

kesadaran menurun, bingung, delirium, koma.

Perubahan refleks-refleks, tanda-tanda aneurologis,

fokal pada meningitis, tanda-tanda peningkatan tekanan

intracranial (bradikardi, tekanan darah meningkat),

nyeri kepala hebat.

Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi

perfusi jaringan otak meningkat.

Kriteria hasil : Tingkat kesadaran meningkat menjadi sadar,

disorientasi negative, konsentrasi baik, perfusi jaringan

dan oksigenasi baik, tanda-tanda vital dalam batas

normal, dan syok dapat dihindari.

Intervensi Rasionalisasi

Monitor klien dengan ketat terutama

setelah lumbal pungsi. Anjurkan klien

Untuk mencegah nyeri kepala yang

menyertai perubahan tekanan

Page 19: BAB II KMB B

berbaring minimal 4-6 jam setelah

lumbal pungsi.intrakranial

Monitor tanda-tanda peningkatan

tekanan intracranial selama perjalanan

penyakit (nadi lambat, tekanan darah

meningkat, kesadaran menurun, napas

irregular, refleks pupil menurun,

kelemahan).

Untuk mendeteksi tanda-tanda syok,

yang harus dilaporkan ke dokter

untuk intervensi awal.

Monitor tanda-tanda vital dan

neurologis tiap 5-30 menit. Catat dan

laporkan segera perubahan-perubahan

tekanan intracranial ke dokter.

Perubahan-perubahan ini

menandakan ada perubahan tekanan

intracranial dan penting untuk

intervensi awal.

Hindari posisi tungkai ditekuk atau

gerakan-gerakan klien, anjurkan untuk

tirah baring.

Untuk mencegah peningkatan

tekanan intracranial.

Tinggikan sedikit kepala klien dengan

hati-hati, cegah gerakan yang tiba-tiba

dan tidak perlu dari kepala dan leher,

hindari fleksi leher.

Untuk mengurangi tekanan

intracranial.

Bantu klien aktivitas dan gerakan-

gerakan klien. Beri petunjuk untuk BAB

(jangan enema). Anjurkan klien untuk

menghembuskan napas dalam bila

miring dan bergerak di tempat tidur.

Cegah posisi fleksi pada lutut.

Untuk mencegah keregangan otot

yang dapat menimbulkan

peningkatan tekanan intracranial.

Waktu prosedur perawatan disesuaikan

dan diatur tepat waktu dengan periode

relaksasi; hindari rangsangan

Untuk mencegah eksitasi yang

merangsang otak yang sudah iritasi

dan dapat menimbulkan kejang

Page 20: BAB II KMB B

lingkungan yang tidak perlu.

Beri penjelasan keadaan lingkungan

pada klien.

Untuk mengurangi disorientasi dan

untuk klarifikasi persepsi sensorik

yang terganggu.

Evaluasi selama masa penyembuhan

terhadap gangguan motorik, sensorik,

dan intelektual.

Untuk merujuk ke rehabilitasi.

Kolaborasi pemberian steroid osmotic. Untuk menurunkan tekanan

intracranial.

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi

sekret, kemampuan batuk menurun penurunan kesadaran.

Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan,

jalan napas kembali efektif.

Kriteria hasil : Secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-

20x/ menit, tidak menggunakan otot bantu napas,

retriksi ICS (-), ronkhi (-/-), dapat mendemonstrasikan

cara batuk efektif.

Intervensi Rasionalisasi

Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas

tambahan, perubahan irama dan

kedalaman, peggunaan otot-otot

aksesoris, warna, dan kekentalan

sputum.

Memantau dan mengatasi komplikasi

potensial. Pengkajian fungsi

pernapasan dengan interval yang

teratur adalah penting karena

pernapasan yang tidak efektif dan

adanya kegagalan, akibat adanya

kelemahan atau paralisis pada otot-

otot interkostal dan diafragma

Page 21: BAB II KMB B

berkembang dengan cepat.

Atur posisi fowler dan semifowler. Peninggian kepala tempat tidur

memudahkan pernapasan,

meningkatkan ekspansi dada, dan

meningkatkan batuk lebih cepat.

Ajarkan cara batuk efektif. Klien berada pada risiko tinggi bila

tidak dapat batuk dengan efektif

untuk membersihkan jalan napas dan

mengalami kesulitan dalam menelan,

sehingga menyebabkan aspirasi

saliva dan mencetuskan gagal napas

akut.

Lakukan fisioterapi dada; vibrasi dada. Terapi fisik dada membantu

meningkatkan batuk lebih efektif.

Pemenuhan hidrasi cairan via oral

seperti minum air putih dan pertahankan

asupan cairan 2500 ml/hari.

Pemenuhan cairan dapat

mengencerkan mukus yang kental

dan dapat membantu pemenuhan

cairan yang banyak keluar dari

tubuh.

Lakukan pengisapan lendir di jalan

napas.

Pengisapan mungkin diperlukan

untuk mempertahankan kepatenan

jalan napas menjadi bersih.

c. Risiko tinggi gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dalam waktu 5 x 24

jam.

Page 22: BAB II KMB B

Kriteria hasil : Turgor baik, asupan dapat masuk sesuai kebutuhan,

terdapat kemampuan menelan, sonde dilepas, berat

badan meningkat 1 kg, Hb dan albumin dalam batas

normal.

Intervensi Rasionalisasi

Observasi tekstur dan turgor kulit. Mengetahui status nutrisi klien.

Lakukan oral hygiene. Kebersihan mulut merangsang nafsu

makan.

Observasi asupan dan keluaran. Mengetahui keseimbangan nutrisi

klien

Observasi posisi dan kebersihan sonde. Untuk menghindari risiko infeksi/

iritasi.

Tentukan kemampuan klien dalam

mengunyah, menelan, dan refleks batuk.

Untuk menetapkan jenis makanan

yang akan diberikan pada klien.

Kaji kemampuan klien dalam menelan,

batuk, dan adanya sekret.

Dengan mengkaji faktor-faktor

tersebut dapat menentukan

kemampuan menelan klien dan

mencegah risiko aspirasi.

Auskultasi bising usus, amati penurunan

atau hiperaktivitas bising usus.

Fungsi gastrointestinal bergantung

pada kerusakan otak. Bising usus

menentukan respons pemberian

makan atau terjadinya komplikasi

misal pada ileus.

Timbang berat badan sesuai indikasi. Untuk mengevaluasi efektivitas

asupan makanan.

Berikan makanan dengan cara

meninggikan kepala.

Menurunkan risiko regurgitasi atau

aspirasi.

Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada Untuk klien lebih mudah menelan

Page 23: BAB II KMB B

waktu, selama dan sesudah makan. karena gaya gravitasi.

Kolaborasi dengan tim dokter untuk

memberikan cairan melalui IV atau

makanan melalui selang.

Mungkin diperlukan untuk

memberikan cairan pengganti dan

juga makanan jika klien tidak

mampu untuk memasukkan segala

sesuatu melalui mulut.

d. Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi lapisan otak.

Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam keluhan nyeri berkurang/ rasa

sakit terkendali.

Kriteria hasil : Klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks, dank lien

memverbalisasikan penurunan rasa sakit.

Intervensi Rasionalisasi

Usahakan membuat lingkungan aman

dan tenang

Menurunkan reaksi terhadap

rangsangan eksternal atau

kesensitifan terhadap cahaya dan

menganjurkan klien untuk

berinstirahat.

Kompres dingin (es) pada kepala Dapat menyebabkan vasokonstriksi

pembuluh darah otak

Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan

metode distraksi dan relaksasi napas

dalam.

Membantu menurunkan

(memutuskan) stimulasi sensasi

nyeri.

Lakukan latihan gerak aktif atau pasif

sesuai kondisi dengan lembut dan hati-

hati.

Data membantu relaksasi otot-otot

yang tegang dan dapat menurunkan

nyeri/ rasa tidak nyaman.

Kolaborasi pemberian analgesik. Mungkin diperlukan untuk

Page 24: BAB II KMB B

menurunkan rasa sakit.

Catatan: Narkotika merupakan

kontraindikasi karena berdampak

pada status neurologis sehingga

sukar untuk dikaji.

e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,

penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran, kerusakan persepsi/

kognitif.

Tujuan : Tidak terjadi kontraktur, footdrop, gangguan integritas

kulit, fungsi pencernaan dan kandung kemih optimal,

serta peningkatan kemampuan fisik.

Kriteria hasil : Skala ketergantungan klien meningkat menjadi bantuan

minimal.

Intervensi Rasionalisasi

Tinjau kemampuan fisik dan kerusakan

yang terjadi.

Mengidentifikasi kerusakan fungsi

dan menentukan pilihan intervensi.

Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala

tingkat ketergantungan.

Tingkatkan ketergantungan minimal

care (hanya memerlukan bantuan

minimal), oartial care (memerlukan

bantuan sebagian), dan total care

(memerlukan bantuan komplit dari

perawat dank lien yang memerlukan

pengawasan khusus karena risiko

cedera yang tinggi).

Berikan perubahan posisi yang teratur Perubahan posisi teratur dapat

Page 25: BAB II KMB B

pada klien. mendistribusikan berat badan secara

menyeluruh dan memfasilitasi

peredaran darah serta mencegah

dekubitus.

Pertahankan kesejajaran tubuh yang

adekuat, berikan latihan ROM pasif jika

klien sudah bebas panas dan kejang.

Mencegah terjadinya kontraktur atau

footdrop serta dapat mempercepat

pengembalian fungsi tubuh nantinya.

Berikan perawatan kulit secara adekuat,

lakukan masase, ganti pakaian klien

dengan bahan linen, dan pertahankan

tempat tidur dalam keadaan kering.

Memfasilitasi sirkulasi dan

mencegah gangguan integritas kulit.

Berikan perawatan mata, bersihkan

mata, dan tutup dengan kapas yang

basah sesekali.

Melindungi mata dari kerusakan

akibat terbukanya mata terus-

menerus.

Kaji adanya nyeri, kemerahan, bengkak

pada area kulit.

Indikasi adanya kerusakan kulit.

B. MENINGITIS

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan meningitis meliputi anamnesis riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial (pada

anak perlu dikaji dampak hospitalisasi).

a. Anamnesis

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa

anaknya meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang

dan penurunan tingkat kesadaran.

Riwayat penyakit saat ini

Page 26: BAB II KMB B

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis

kuman penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang

timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada

pengkajian klien meningitis, biasanya didapatkan keluhan yang

berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK.

Keluhan gejala awal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit

kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai

akibat iritasi meningen. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama

perjalanan penyakit. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk

dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang,

stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah

diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan

dengan meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya

merupakan awal adanya penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada

beratnya penyakit, demikian pula respon individu terhadap proses

fisiologis. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai

perkembangan penyakit dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.

Pengkajian lainnya yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama

menjalani perawatan di RS, pernahkah menjalani tindakan invasif yang

memungkinkan masuknya kuman ke meningen terutama melalui pembuluh

darah

Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan

adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi

pernahkah klien mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media,

mastoiditis, anemia sel sabit, dan hemoglobinopatis lain, tindakan bedah

saraf, riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh immunologis pada masa

Page 27: BAB II KMB B

sebelumnya. Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan pada klien terutama

apabila ada keluhan batuk produktif dan pernah menjalani pengobatan obat

antituberkulosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis

tuberkulosa. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien,

seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan

reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah

komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung

pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk

mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

b. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien meningitis meliputi beberapa dimensi yang

memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai

status emosi, kognitif, dan prilaku klien. Sebagian besar pengkajian ini

dapat diselesaikan melalui interaksi menyeluruh dengan klien dalam

pelaksanaan pengkajian lain dengan member pertanyaan dan tetap

melakukan pengawasan sepanjang waktu untuk menentukan kelayakan

ekspresi emosi dan pikiran. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan

klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit

yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan

masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-

harinya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Apakah ada dampak

yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa

cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,

dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).

Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa

digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk

mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan

perubahan prilaku akibat stres.

Page 28: BAB II KMB B

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi

dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan

memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasikkan pengkajian

terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan

terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji

terdiri atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit

neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana

pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di

dalam sistem dukungan individu.

c. Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,

pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian

anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-

B6) dengan focus pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan

dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital (TTV).

Pada klien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih

dari normal, yaitu 38-410C, dimulai dari fase sistemik, kemerahan, panas,

kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses

inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu pusat pengatur

suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-

tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan

sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan

adanya infeksi pada sistem pernapasan sebelum mengalami meningitis.

Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda

peningkatan TIK.

1) B1 (Breathing)

Page 29: BAB II KMB B

Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan

otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering

didapatkan pada klien meningitis yang disertai adanya gangguan pada

sistem pernapasan. Palpasi thoraks hanya dilakukan apabila terdapat

deformitas pada tulang dada klien dengan efusi pleura masif (jarang

terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi napas tambahan

seperti ronkhi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan

penyebaran primer dari paru.

2) B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien

meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami

renjatan (syok). Infeksi fulminating terjadi pada sekitar 10% klien

dengan meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda septicemia:

demam tinggi yang tiba-tiba mincul, lesi purpura yang menyebar

(sekitar wajah dan ekstrimitas), syok, dan tanda-tanda koagulasi

intravaskular diseminata (disseminated intravascular coagulation –

DIC). Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah serangan

infeksi.

3) B3 (Brain)

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap

dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

Tingkat kesadaran

Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar

dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian.

Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah

indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa

sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam

kewaspadaan dan kesadaran.

Page 30: BAB II KMB B

Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya

berkisar pada tingkat latergi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien

sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk

menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau

pemberian asuhan keperawatan.

Fungsi serebri

Status mental: obseravasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai

gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik

yang pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien

mengalami perubahan.

Pemeriksaan saraf kranial

Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan dan fungsi

penciuman normal.

Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan

papiledema mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif

disertai abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya

peningkatan TIK berlangsung lama.

Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien

meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa

kelainan. Pada tahap lanjut meningitis yang telah mengganggu

kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan

didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien meningitis

mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap

cahaya.

Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis

pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.

Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.

Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.

Page 31: BAB II KMB B

Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.

Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk

(rigiditas nukal).

Saraf XI. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada

fasikulasi. Indra pengecapan normal.

Sistem motorik

Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada

meningitis tahap lanjut mengalami perubahan.

Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau

periosteum derajat refleks pada respon normal. Refleks patologis akan

didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma.

Adanya refleks Babinski (+) merupakan tanda adanya lesi UMN.

Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada

keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada

anak dengan meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi.

Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan meningitis.

Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.

Sistem sensorik

Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba,

nyeri, dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan

tubuh. Sensasi proprioseptif dan diskriminatif normal.

Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan

peningkatan TIK. Tanda-tanda peningkatan TIK sekunder akibat

eksudat purulen dan edema serebri terdiri atas perubahan karakteristik

tanda-tanda vital (melebarnya tekanan pulsa dan bradikardia),

Page 32: BAB II KMB B

pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan penurunan tingkat

kesadaran.

4) B4 (Bladder)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan

berkurangnya volume haluaran urin, hal ini berhubungan dengan

penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

5) B5 (Bowel)

Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung.

Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan

adanya kejang.

6) B6 (Bone)

Adanya bengkak dan nyeri pada sensi-sendi besar (khususnya lutut dan

pergelangan kaki). Ptekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam.

Pada peyakit yang berat dapat ditemukan ekimosis yang besar pada

wajah dan ekstremitas. Klien sering mengalami penurunan kekuatan otot

dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas hidup

sehari-hari (ADL).

d. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik rutin pada klien meningitis meliputi laboratorium

klinik rutin (Hb, leukosit, LED, trombosit, retikulosit, glukosa).

Pemeriksaan faal hemostasis diperlukan untuk mengetahui secara awal

adanya DIC. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk

mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama

hiponatremia.

Pemeriksaan laboratorium

Page 33: BAB II KMB B

Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisis cairan

otak. Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan pada klien dengan peningkatan

tekanan intrakranial. Analisis cairan otak diperiksa untuk mengetahui

jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Kadar glukosa darah

dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya, kadar glukosa

cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum serum glukosa dan paada klien

meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.

Pemeriksaan lainnya diperlukan sesuai klinis klien meliputi foto Rontgen

paru, CT scan kepala. CT scan dilakukan untuk menentukan adanya

edema serebri atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal,

kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.

Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu

menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang

berguna sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas

penatalaksanaan pengobatan meningitis meliputi:

Pemberian antibiotic yang mampu melewati brier darah otak ke ruang

subarachnoid dalam konsentrasi yang cukup untuk menghentikan

perkembangbiakan bakteri. Biasanya menggunakan sefaloposforin generasi

keempat atau sesuai dengan hasil uji resistensi antibiotic agar pemberian

antimikroba lebih efektif digunakan. Obat anti-infeksi (meningitis

tuberkulosa):

1) Isoniazid 10-20 mg/kgBB/24 jam, oral, 2x sehari maksimal 500 mg

selama 1,5 tahun.

2) Rifampisin 10-15 mg/kgBB/24 jam, oral, 1x sehari selama 1 tahun.

3) Streptomisin sulfat 20-40 mg/kgBB/24 jam, IM, 1-2x sehari selama 3

bulan.

Page 34: BAB II KMB B

Obat ati-infeksi (meningitis bacterial):

1) Sefalosporin generasi ketiga.

2) Amfisilin 150-200 mg (400mg)/kgBB/24 jam, IV, 4-6x sehari.

3) Kloramfenikol 50 mg/kgBB/24 jam IV 4x sehari.

Pengobatan simtomatis:

1) Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2-0,5 mg/kgBB/dosis, atau rektal: 0,4-

0,6 mg/kgBB, atau Fenitoin 5 mg/kgBB/24 jam. 3x sehari atau

Fenobarbital 5-7 mg/kgBB/24 jam, 3x sehari.

2) Antipiretik: parasetamol/ asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis.

3) Antiedema serebri: Diuretik osmotic (seperti manitol) dapat digunakan

untuk mengobati edema serebri.

4) Pemenuhan oksigenasi dengan O2.

5) Pemeuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik: pemberian

tambahan volume cairan intravena.

2. Diagnosis Keperawatan

a. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan peradangan dan

edema pada otak dan selaput otak.

b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan infeksi

meningokokus.

c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi pada meningen dan

peningkatan metabolisme umum.

d. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan perubahan tingkat

kesadaran, depresi pusat napas di otak.

e. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi

sekret, penurunan kemampuan batuk, dan perubahan tingkat kesadaran.

f. Risiko tinggi defisit cairan tubuh berhubungan dengan muntah dan demam.

Page 35: BAB II KMB B

g. Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak.

h. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan adanya kejang berulang, fiksasi

kurang optimal.

i. Risiko peningkatan TIK berhubungan dengan peningkatan volume

intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.

j. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik

umum.

3. Intervensi Keperawatan

a. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan peradangan dan

edema pada otak dan sel otak.

Data penunjang : Malaise, pusing, nausea, muntah, iritabilitas, kejang,

kesadaran menurun, bingung, delirium, koma.

Perubahan refleks-refleks, tanda-tanda neurologis, fokal

pada meningitis, tanda-tanda peningkatan tekanan

intracranial (bradikardi, tekanan darah meningkat),

nyeri kepala hebat.

Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi

perfusi jaringan otak meningkat.

Kriteria hasil : Tingkat kesadaran meningkat menjadi sadar,

disorientasi negative, konsentrasi baik, perfusi jaringan

dan oksigenasi baik, tanda-tanda vital dalam batas

normal, dan syok dapat dihindari.

Intervensi Rasionalisasi

Monitor klien dengan ketat terutama

setelah lumbal pungsi. Anjurkan klien

berbaring minimal 4-6 jam setelah

Untuk mencegah nyeri kepala yang

menyertai perubahan tekanan

intrakranial

Page 36: BAB II KMB B

lumbal pungsi.

Monitor tanda-tanda peningkatan

tekanan intracranial selama perjalanan

penyakit (nadi lambat, tekanan darah

meningkat, kesadaran menurun, napas

irregular, refleks pupil menurun,

kelemahan).

Untuk mendeteksi tanda-tanda syok,

yang harus dilaporkan ke dokter

untuk intervensi awal.

Monitor tanda-tanda vital dan

neurologis tiap 5-30 menit. Catat dan

laporkan segera perubahan-perubahan

tekanan intracranial ke dokter.

Perubahan-perubahan ini

menandakan ada perubahan tekanan

intracranial dan penting untuk

intervensi awal.

Hindari posisi tungkai ditekuk atau

gerakan-gerakan klien, anjurkan untuk

tirah baring.

Untuk mencegah peningkatan

tekanan intracranial.

Tinggikan sedikit kepala klien dengan

hati-hati, cegah gerakan yang tiba-tiba

dan tidak perlu dari kepala dan leher,

hindari fleksi leher.

Untuk mengurangi tekanan

intracranial.

Bantu klien aktivitas dan gerakan-

gerakan klien. Beri petunjuk untuk BAB

(jangan enema). Anjurkan klien untuk

menghembuskan napas dalam bila

miring dan bergerak di tempat tidur.

Cegah posisi fleksi pada lutut.

Untuk mencegah keregangan otot

yang dapat menimbulkan

peningkatan tekanan intracranial.

Waktu prosedur perawatan disesuaikan

dan diatur tepat waktu dengan periode

relaksasi; hindari rangsangan

lingkungan yang tidak perlu.

Untuk mencegah eksitasi yang

merangsang otak yang sudah iritasi

dan dapat menimbulkan kejang

Page 37: BAB II KMB B

Evaluasi selama masa penyembuhan

terhadap gangguan motorik, sensorik,

dan intelektual.

Untuk merujuk ke rehabilitasi.

Kolaborasi pemberian steroid osmotic. Untuk menurunkan tekanan

intracranial.

b. Resiko peningkatan TIK berhubungan dengan peningkatan volume

intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.

Tujuan : Tidak terjadi peningkatan TIK pada klien dalam waktu

3 x 24 jam.

Kriteria hasil : Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala,

mual-mual dan muntah, GCS: 4,5,6, tidak terdapat

papiledema. TTV dalam batas normal.

Intervensi Rasionalisasi

Mandiri

Kaji factor penyebab dari situasi/

keadaan individu/ penyebab koma/

penurunan perfusi jaringan dan

kemungkinan penyebab peningkatan

TIK.

Deteksi dini untuk memprioritaskan

intervensi, mengkaji status

neurologis/ tanda-tanda kegagalan

untuk menentukan perawatan

kegawatan atau tindakan

pembedahan.

Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam. Suatu keadaan normal bila sirkulasi

serebri terpelihara dengan baik atau

fluktuasi ditandai dengan tekanan

darah sistemik, penurunan dari

otoregulator kebanyakan merupakan

tanda penurunan difusi local

vaskularisasi darah serebri.

Page 38: BAB II KMB B

Pertahankan kepala/ leher pada posisi

yang netral, usahakan dengan sedikit

bantal. Hindari penggunaan bantal yang

tinggi pada kepala.

Perubahan kepala pada satu sisi

dapat menimbulkan penekanan pada

vena jugularis dan menghambat

aliran darah otak (menghambat

drainase pada vena serebri), sehingga

dapat meningkatkan tekanan

intrakarnial.

Observasi tingkat kesadaran dengan

GCS

Perubahan kesadaran menunjukkan

peningkatan TIK dan berguna

menentukan lokasi dan

perkembangan penyakit.

Kolaborasi

Pemberian O2 sesuai indikasi

Menurunkan hipoksemia dapat

meningkatkan vasodilatasi serebri,

volume darah, dan menurunkan TIK.

c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi

sekret, penurunan kemampuan batuk, dan perubahan kesadaran.

Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan,

jalan napas kembali efektif.

Kriteria hasil : Secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-

20x/ menit, tidak menggunakan otot bantu napas,

retriksi ICS (-), ronkhi (-/-), dapat mendemonstrasikan

cara batuk efektif.

Intervensi Rasionalisasi

Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas

tambahan, perubahan irama dan

Memantau dan mengatasi komplikasi

potensial. Pengkajian fungsi

Page 39: BAB II KMB B

kedalaman, peggunaan otot-otot

aksesoris, warna, dan kekentalan

sputum.

pernapasan dengan interval yang

teratur adalah penting karena

pernapasan yang tidak efektif dan

adanya kegagalan, akibat adanya

kelemahan atau paralisis pada otot-

otot interkostal dan diafragma

berkembang dengan cepat.

Atur posisi fowler dan semifowler. Peninggian kepala tempat tidur

memudahkan pernapasan,

meningkatkan ekspansi dada, dan

meningkatkan batuk lebih cepat.

Ajarkan cara batuk efektif. Klien berada pada risiko tinggi bila

tidak dapat batuk dengan efektif

untuk membersihkan jalan napas dan

mengalami kesulitan dalam menelan,

sehingga menyebabkan aspirasi

saliva dan mencetuskan gagal napas

akut.

Lakukan fisioterapi dada; vibrasi dada. Terapi fisik dada membantu

meningkatkan batuk lebih efektif.

Pemenuhan hidrasi cairan via oral

seperti minum air putih dan pertahankan

asupan cairan 2500 ml/hari.

Pemenuhan cairan dapat

mengencerkan mukus yang kental

dan dapat membantu pemenuhan

cairan yang banyak keluar dari

tubuh.

Lakukan pengisapan lendir di jalan

napas.

Pengisapan mungkin diperlukan

untuk mempertahankan kepatenan

jalan napas menjadi bersih.

Page 40: BAB II KMB B

d. Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak.

Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam keluhan nyeri berkurang/ rasa

sakit terkendali.

Kriteria hasil : Klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks, dank lien

memverbalisasikan penurunan rasa sakit.

Intervensi Rasionalisasi

Usahakan membuat lingkungan aman

dan tenang

Menurunkan reaksi terhadap

rangsangan eksternal atau

kesensitifan terhadap cahaya dan

menganjurkan klien untuk

berinstirahat.

Kompres dingin (es) pada kepala Dapat menyebabkan vasokonstriksi

pembuluh darah otak

Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan

metode distraksi dan relaksasi napas

dalam.

Membantu menurunkan

(memutuskan) stimulasi sensasi

nyeri.

Lakukan latihan gerak aktif atau pasif

sesuai kondisi dengan lembut dan hati-

hati.

Data membantu relaksasi otot-otot

yang tegang dan dapat menurunkan

nyeri/ rasa tidak nyaman.

Kolaborasi pemberian analgesik. Mungkin diperlukan untuk

menurunkan rasa sakit.

Catatan: Narkotika merupakan

kontraindikasi yang berdampak pada

status neurologis, sukar untuk dikaji.

e. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan adanya kejang berulang, fiksasi

kurang optimal.

Page 41: BAB II KMB B

Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan, klien bebas dari

cedera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan

kesadaran.

Kriteria hasil : Klien tidak mengalami cedera apabila ada kejang

berulang.

Intervensi Rasionalisasi

Monitor kejang pada tangan, kaki,

mulut, dan otot-otot muka lainnya.

Gambaran iritabilitas sistem saraf

pusat memerlukan evaluasi yang

sesuai dengan intervensi yang tepat

untuk mencegah terjadinya

komplikasi.

Persiapkan lingkungan yang aman

seperti batasan ranjang, papan

pengaman, dan alat suction selalu

berada dekat klien.

Melindungi klien bila kejang terjadi.

Pertahankan bedrest total selama fase

akut.

Mengurangi risiko jatuh/ cedera jika

terjadi vertigo dan ataksia.

Kolaborasi pemberian terapi; diazepam,

fenobarbital.

Untuk mencegah atau mengurangi

kejang.

Catatan: fenobarbital dapat

menyebabkan depresi pernapasan

dan sedasi.

BAB IV

PENUTUP

Page 42: BAB II KMB B

A. Kesimpulan

Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh

bakteri cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus. Klasifikasi ensefalitis

meliputi : ensefalitis supurativa, ensefalitis siphylis, ensevalitis virus, ensefalitis

karena parasit (malaria serebral, toxoplasmosis, amebiasis dan sistiserkosis),

ensefalitis karena fungus dan riketsiosis serebri. Pemeriksaan penunjang yang

dapat dilakukan antara lain pemeriksaan cairan serebrospinal. Penatalaksanaan

dilakukan sesuai dengan faktor penyebab, antara lain berupa pemberian

antibiotik, antifungi, antiparasit, antivirus dan pengobatan simptomatis berupa

pemberian analgetik-antipiretik serta antikonvulsi.

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai

piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang

lebih ringan mengenai jaringan otak dan medulla spinalis yang superficial.

Gambaran meningeal yang disebabkan oleh infeksi meningokok membuat

profesi medis terpaku sehingga kemungkinan terjadinya infeksi ekstrameningeal

terlewatkan. Keadaan ini telah menimbulkan kegagalan umum dalam mengenali

sifat-sifat dasar penyakit seperti halnya sepsis meningokok yang pada akhirnya

menyebabkan berbagai akibat dalam bidang diagnosis dan pengobatan.

B. Saran

Diharapkan melalui makalah ini, mahasiswa dapat lebih memahami dan

mengerti definisi, etiologi, epidemiologi dari ensefalitis dan meningitis, serta

Page 43: BAB II KMB B

dapat menjelaskan patofisiologi sehingga dapat memunculkan diagnosa

keperawatan dari ensefalitis dan meningitis. Yang nantinya akan sangat

membantu kita sebagai perawat untuk melakukan tugas dalam pemberian asuhan

keperawatan kepada klien dengan ensefalitis dan meningitis

Namun kelompok menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, olehkarena itu mahasiswa juga diharapkan untuk banyak

membaca dan mencari informasi terbaru dari referensi lain.

DAFTAR PUSTAKA

Page 44: BAB II KMB B

Brunner & Suddarth, 2001. Keperwatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Lesmana, Murad. 2000. Epidemiologi Infeksi Meningokok. Jurnal Kedokteran

Trisakti Vol. 19, No.3.

Mansjoer, Arif. Suprohaita. Wardhani, Wahyu Ika. Setiowulan, Wiwiek. 2000.

Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta : Media Aesculapius.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Ganggguan

Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC.

Sacharian, Rosa M. 1993. Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku

Kedokteran Jakarta : EGC.